• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAUL KEMISKINAN DALAM HIDUP MEMBIARA

B. Kaul Kemiskinan Religius

1. Peranan Kaul Kemiskinan

Banyak orang menganggap kemiskinan merupakan hal yang tidak masuk akal dan selalu mengidentifikasikannya dengan kepemilikkan dan kekayaan. Para religius yang mengucapkan kaul kemiskinan harus mengetahui peran kaul kemiskinan. Menurut Soenarja (1984: 100) peranan kaul kemiskinan adalah:

Mendobrak semangat kaya, tidak puas dengan yang ada, selalu serakah mau milik orang lain, menipu, menimbun harta. Semangat kemiskinan akan mendorong orang melepaskan diri dari godaan, kemewahan, menunjukan kebahagiaan dalam hidup sederhana dan bahagia, ikut merasakan akibat nyata kemiskinan.

Ada orang yang dengan sengaja menolak semangat kaya dengan kaul kemiskinan. Namun ada juga yang sulit meninggalkan semangat kaya. Di sini berlaku apa yang dikatakan Yesus “Alangkah sukarnya orang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah, lebih mudah seekor unta untuk masuk melewati lobang jarum (Mrk 10:23-25)”. Kata-kata Yesus ini merupakan teguran bagi para religius agar bersedia berbelarasa dan berpihak pada kaum miskin. Kesaksian kemiskinan akan nampak jika para religius meningkatkan semangat kemiskinan sehingga ia mau berpartisipasi dengan kaum miskin.

a). Kaul Kemiskinan Sebagai Ikatan.

Kaul kemiskinan yang diucapkan merupakan menyucian diri kepada Tuhan dalam hidup bakti dan berfungsi untuk membebaskan manusia dari ikatan dan kelekatan pada harta milik duniawi sehingga ia bebas menyerahkan diri dalam pengabdian kepada Tuhan. Akan tetapi untuk masing-masing Ordo/Tarekat/Kongregasi penekanan penghayatan kaul kemiskinan berbeda sesuai dengan rumusan dalam konstitusi masing-masing. Hal ini senada dengan ungkapan Soenarja (1984: 94) sebagai berikut:

Apa persis isi kaul kemiskinan untuk setiap tarekat itu diatur oleh kebijaksanaan konstitusi, yang paling kurang akan minta pertanggungjawaban atas penggunaan harta dunia demi kepentingan lembaga, anggota dan kerasulnya dapat menerapkan peraturan atau pembatasan seperlunya. Kaul dilakukan dalam Gereja, dan diatur oleh hukum Gereja.

Hubungan antar Tarekat dan anggotanya yang telah menyerahkan diri dengan ikatan kaul diatur atas hukum gereja (KHK kan 670) yang mengatakan: “Lembaga atau Tarekat harus mencukupi para anggotanya dengan segala sesuatu, yang menurut konstitusi diperlukan untuk melaksanakan tujuan mereka dipanggil”. Para anggota Tarekat tidak perlu memikirkan mengenai masalah kepemilikan harta duniawi karena telah diatur sejauh itu mendukung dalam tugas dan pelayanan. Sudah sangat jelas bahwa kaul kemiskinan merupakan suatu usaha ikatan ke dalam biara. Maksudnya dengan mengucapkan kaul kemiskinan seseorang menggabungkan diri ke dalam Tarekat tertentu. Oleh karena itu sebagai anggota mempunyai kewajiban untuk mematuhi segala peraturan yang ada dalam Tarekat termasuk mengenai kepemilikan harta duniawi.

b). Kaul Kemiskinan Sebagai Pembangkit Semangat.

Mengucapkan kaul kemiskinan berarti melepaskan segala milik pribadi menjadi milik bersama yang akan dipergunakan sejauh dibutuhkan dan mendukung karya pelayanan. Dengan kaul kemiskinan kita sungguh berkeinginan untuk mengungkapkan hadirat Allah dengan mengambil sikap yang wajar terhadap harta benda. Kemiskinan merupakan sarana perjumpaan kita dengan Allah, dan mengajak kita untuk menggunakan barang-barang sesuai dengan keperluan. Semangat kemiskinan sungguh nampak kalau orang tidak hanya berusaha melanggar peraturan kemiskinan dalam konstitusi tetapi berusaha mencari kebersihan dan kemurnian hatinya dengan menggunakan barang sesederhana mungkin dan penuh rasa syukur. Semangat kemiskinan yang dihayati

merupakan suatu kesempatan untuk mawas diri, memurnikan motivasi dengan semangat tanpa pamrih seperti yang ditegaskan oleh Soenarja (1984: 95) sebagai berikut:

Semangat kemiskinan menolak mentah-mentah sikap “aji mumpung”, panggilan dijadikan jalan untuk mencapai “kemajuan” material pada tangga masyarakat. Semangat kemiskinan tidak menggerutu, tidak menuntut, tetapi merasa senang dan puas, sekali-sekali mengalami akibat kemiskinan, menderita kekurangan, dan mungkin menanggung ejekan.

Semangat itu bukanlah tuntutan, tetapi suatu bukti nyata bahwa orang merasa puas, mapan dan mencintai kemiskinan. Orang yang menggunakan aji mumpung akan menggunakan kesempatan secara pamrih dengan berusaha memperkaya diri tanpa memikirkan orang lain. Semangat kemiskinan akan mendorong kita untuk menolak arus konsumtif yang ingin memiliki barang serba mewah, tetapi dengan semangat kemiskinan seseorang akan lebih senang memilih yang sederhana dan secukupnya sesuai dengan kebutuhan.

2. Makna Kaul Kemiskinan.

Makna kaul kemiskinan tidak terletak pada apa yang dimiliki secara pribadi maupun bersama, melainkan bagaimana bersikap pada kekayaan tersebut. Kemiskinan yang diucapkan para religius sangat bermakna untuk membantu pembaharuan hidup rohani bagi kaum miskin. Hadisumarta (1980: 305-306) mengatakan:

Kemiskinan kita sebagai religius, baik dalam bentuk kemiskinan pribadi/induvidual, maupun kemiskinan komunitas atau kelompok, dan ungkapan lahiriah konkret kemiskinan harus benar-benar mampu menghadirkan Gereja di antara sesama membuktikan kerelaan Gereja untuk ikut mengusahakan keadilan sosial.

Dengan kaul-kaul kebiaraan termasuk kaul kemiskinan diharapkan dapat mendatangkan Kerajaan Allah di tengah-tengah kaum miskin. Kemiskinan menurut Injil yang kita hayati dengan pertolongan kaul bukanlah sekedar melepas diri dari pelbagai hal atau barang melainkan mampu bersikap tepat terhadap Allah dan terhadap dirinya sendiri dalam menggunakan harta benda. Dasar kemiskinan injili adalah keyakinan dan pengalaman akan cinta Allah, akan keagungan-Nya dan kesadaran bahwa kita sebenarnya tidak berarti apapun di hadapan Allah. Ajaran Yesus tentang kemiskinan dalam injil yang diwartakan melalui teladan-Nya terdapat dalam pelepasan diri yakni semangat lepas bebas. Semangat lepas bebas itu dimaksudkan agar kita sebagai manusia memang lebih mengutamakan Tuhan. Kita ingin menyatu dengan Tuhan dan semua hal yang lain dianggap sebagai sarana. Menurut Hadisumarta (1980: 307), “Pelepasan diri terdiri dari dua segi yang merupakan satu kesatuan yaitu segi teologis dan segi insani. Segi teologis kemiskinan yang dialami Yesus merupakan diri dari kemuliaanNya dan menjadi manusia, sedangkan segi insani kemiskinan-Nya adalah seluruh hidup di dunia mulai dari kelahiran-Nya di kandang Betlehem sampai kematianNya di kayu salib”.

Yesus sungguh-sungguh memberikan teladan kemiskinan bagi kita. Ia rela mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Flp 2:7). Ia rela menghampakan diri dari tingkat Ilahi ke tingkat manusiawi bahkan memasuki golongan kaum miskin. Lebih lanjut Hadisumarta (1980: 308) menguraikan unsur-unsur kemiskinan sejati menurut Injil yaitu:

a) Allah diberi prioritas melebihi segala sesuatu. Pengalaman batin/rohani mengenai Allah dalam cinta dan keagunganNya, sedangkan segala lainnya tidak berarti.

b) Pelepasan diri (renunsiasi): kemiskinan harus dilaksanakan atas pilihan sendiri, bukan sekedar sebagai pelaksanaan kewajiban, harus dialami, baik dalam sikap pribadi dalam batin, maupun dalam bentuk lahiriah.

c) Kerendahan hati: Tertulianus, seorang Bapa Gereja berkata: tiada seorangpun miskin hatinya, kecuali orang yang rendah hati. Sebab kemiskinan kristiani tak dapat ada bersama dengan kesombongan, sebab yang satu akan menghancurkan yang lain.

d) Pengabdian: merupakan suatu dimensi/segi horisontal kemiskinan. Dimensi vertikal kemiskinan ialah hubungannya dengan Allah, sedangkan dimensi horisontal ialah hubungannya dengan semua ciptaan Allah: kaum miskin, tertindas dan tersamping. Seperti kehampaan Kristus, “kenosis Kristus” ditujukan untuk mengisi dan memenuhi orang lain, untuk memperkaya orang lain, begitu juga kemiskinan kita ditujukan untuk mengabdi orang lain.

3. Kemiskinan Ungkapan Kenabian

Ungkapan yang sering kali muncul dari kalangan biarawan-biarawati, demikian: “kami tidak perlu memikirkan kebutuhan sehari-hari karena kami mempunyai rumah bagus, kebutuhan selalu terpenuhi, tak usah memikirkan soal makanan dan pakaian”. Pernyataan ini sering memunculkan pertanyaan yang tidak asing lagi yakni “masih relevankah kemiskinan zaman sekarang dalam hidup

membiara?”. Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus kembali melihat tujuan hidup membiara yang terungkap dalam Anjuran Apostolik Paus Paulus II tentang Hidup Bakti (VC, 1996 art 22) sebagai berikut: “...hidup bakti berarti mengikuti Kristus dari lebih dekat dan terus menerus mewujudkan dalam Gereja melalui ketiga kaul”. Ketiga kaul diucapkan sebagai perwujudan Kerajaan Allah. Dengan kaul-kaul yang diucapkan seorang religius mendapat tugas perutusan memberi kesaksian bahwa Allah adalah satu-satunya harta kekayaan manusia yang sejati.

Kita dapat belajar dari kemiskinan Yesus yang rela mempersembahkan segala milik-Nya bahkan diri-Nya kepada Bapa. Sikap-Nya menerima sepenuhnya rencana Bapa nampak dalam sikap-Nya yang tidak melekat pada harta benda duniawi. Kemiskinan Yesus dapat dikonkretkan dengan membagikan kepada orang lain segala yang dimiliki-Nya, waktu, bakat dan kepandaian. Praktek kemiskinan sebagai penghayatan terhadap kaul kemiskinan dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk misalnya kemiskinan harta benda (jasmani) dan kemiskinan dalam roh (miskin batin). Kemiskinan religius terhadap harta benda dianggap tidak relevan lagi karena dalam melaksanakan karya pelayanan membutuhkan sarana yaitu kekayaan. Melalui pelayanan para religius dapat memberi kesaksian dan pewartaan terhadap orang lain. Kemiskinan religius mengungkapkan satu kenyataan dasar pada manusia yakni dia sepenuhnya tergantung pada Allah. Kemiskinan dapat dihayati sebagai sikap batin seperti yang diungkapkan oleh Ladjar (1983: 50) sebagai berikut:

Di hadapan Allah dan manusia, kemiskinan rohani ini menjadi sikap rendah hati yang mendalam. Orang yang miskin demi Kerajaan Allah mengakui dengan rendah hati bahwa segalanya diterimanya dari Allah, dan karena itu segalanya mau dikembalikan kepada-Nya dengan memberikan kepada

sesama yang lebih membutuhkan. Ia tidak memegahkan diri entah atas harta kekayaan materiil atau atas harta milik rohani serta kemampuan yang dapat menjadi jaminan bagi dirinya.

Maksudnya adalah pertemuan pribadi dengan Kristus, maka kemiskinan pertama-tama terletak dalam ikatan cinta kasih dengan Kristus, sehingga orang mampu mempercayakan diri kepada Tuhan dengan meninggalkan harta miliknya. Sikap ini menunjukkan bahwa manusia tergantung sepenuhnya kepada Allah sebagai wujud sabda pengutusan Yesus yang melarang para pengikut-Nya membawa dan memiliki harta benda dalam perjalanan mewartakan Kerajaan Allah (Luk 10:1-12). Ketergantungan dalam tugas pewartaan merupakan ungkapan iman akan Allah dan kesediaan untuk ikut serta dalam penghampaan diri Kristus. Pewartaan akan Allah melalui kaul kemiskinan dapat dilakukan dengan memberi perhatian dan kesaksian terhadap kaum miskin. Pewartaan melalui kaul kemiskinan merupakan suatu ungkapan kenabian di tengah masyarakat dengan pengorbanan dan perjuangan. Para religius harus mampu memberi kesaksian dengan hidup sederhana dan rendah hati, serta terbuka terhadap situasi di sekitarnya.

Dokumen terkait