• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA PADA MATERI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN MELALUI MEDIA ANIMASI KANTONG HITUNG SISWA KELAS 1 SEMESTER II SLB B YRTRW SURAKARTA TAHUN AJARAN 2010 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA PADA MATERI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN MELALUI MEDIA ANIMASI KANTONG HITUNG SISWA KELAS 1 SEMESTER II SLB B YRTRW SURAKARTA TAHUN AJARAN 2010 2011"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA

PADA MATERI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN

MELALUI MEDIA ANIMASI KANTONG HITUNG

SISWA KELAS 1 SEMESTER II

SLB-B YRTRW SURAKARTA

TAHUN AJARAN 2010/ 2011

SKRIPSI

Oleh:

MA’RUFI MUSTIKASARI

K5107023

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA

PADA MATERI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN

MELALUI MEDIA ANIMASI KANTONG HITUNG

SISWA KELAS 1 SEMESTER II

SLB-B YRTRW SURAKARTA

TAHUN AJARAN 2010/ 2011

Oleh:

MA’RUFI MUSTIKASARI

K5107023

Skripsi

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan

gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Luar Biasa

Jurusan Ilmu Pendidikan

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(3)

commit to user

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Surakarta, Oktober 2011

Persetujuan Pembimbing,

Pembimbing I Pembimbing II

(4)

commit to user

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan diterima untuk

memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Hari :

Tanggal :

Tim Penguji Skripsi

Nama Terang tanda tangan

Ketua : Drs. Gunarhadi, MA 1. __________

Sekretaris : Priyono, S.Pd, M. Si 2. __________

Anggota : Drs. A. Salim Choiri, M. Kes 3. __________

Anggota : Drs. Subagya, M.Si 4. __________

Disahkan oleh:

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Dekan

Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd.

(5)

commit to user

ABSTRAK

Ma’rufi Mustikasari. UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR

MATEMATIKA PADA MATERI PENJUMLAHAN DAN

PENGURANGAN MELALUI MEDIA ANIMASI KANTONG HITUNG SISWA KELAS I SEMESTER II SLB-B YRTRW SURAKARTA TAHUN AJARAN 2010/ 2011. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Oktober 2011.

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan prestasi belajar matematika pada materi penjumlahan dan pengurangan melalui media animasi kantong hitung pada siswa kelas 1 Semester II SLB-B YRTRW Surakarta.

Penelitian ini berbentuk Penelitian Tindakan Kelas merupakan pencermatan terhadap kegiatan belajar yang berupa sebuah tindakan yang sengaja dimunculkan yang terjadi dalam sebuah kelas bersama. Penelitian ini berupa kolaborasi atau kerjasama antar peneliti, guru dan peserta didik. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, test, dan dokumentasi. Untuk menguji validitas data, penulis menggunakan validitas isi atau content validity. Penulis menyesuaikan item-item dalam instrumen dengan kebutuhan penelitian dan keadaan sekolah yang diteliti. Item tersebut disesuaikan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar pada sekolah tersebut. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif komparatif dan analisis kritis. Data kuantitatif berupa hasil test dianalisis dengan menggunakan deskriptif komparatif yaitu dengan mencari nilai rerata dan presentase ketuntasan belajar. Kemudian membandingkan nilai test antara siklus dengan indikator ketercapaian. Sedangkan data kualitatif yang berasal dari hasil obervasi, wawancara dan dokumen dianalisis dengan menggunakan analisis kritis.

Peningkatan prestasi dan keaktifan peserta didik dalam penelitian ini dapat dilihat dari hasil pretest, test siklus I, dan test siklus II serta pengamatan keaktifan peserta didik dalam pembelajaran matematika yang dilakukan oleh peneliti yang dapat digambarkan bahwa prosentasi keberhasilan adalah 9/9 X 100% = 100%.

(6)

commit to user

ABSTRACT

Ma’rufi Mustikasari. THE ATTEMPT OF IMPROVING THE MATHEMATICS LEARNING ACHIEVEMENT IN SUMMING AND SUBTRACTING MATERIAL USING COUNTING SACK ANIMATION MEDIA IN THE I GRADERS OF SEMESTER II OF SLB-B YRTRW SURAKARTA IN THE SCHOOL YEAR OF 2010/ 2011. Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta Sebelas Maret University, October 2011.

The objective of research is to improve the mathematics learning achievement in summing and subtracting material using counting sack animation media in the I Graders of Semester II of SLB-B YRTRW Surakarta.

This study belonged to a Classroom Action Research, the one observing the learning teaching in the form of action generated deliberately occurring in a collective class. This study was collaboration of authors, teachers, and students. Techniques of collecting data used were interview, observation, test, and documentation. In order to validate the data, the writer used content validity. The writer adjusted the items of instrument with the research’s demand and the condition of school studied. Those items were adjusted with the standard competency and basic competency of the school. Techniques of analyzing data used were descriptive normative and critical analyses. The quantitative data included the result of test analyzed using descriptive comparative technique, by finding the mean and percentage value of learning passing, then comparing the tests value between cycles using achievement indicator. Meanwhile, the qualitative data derived from the result of observation, interview and document that were than analyzed using critical analysis.

The improvement of student’s achievement and activeness can be seen

from the implementation of pretest, cycle I test, and cycle II test as well as the

observation on students’ activeness in mathematics learning by the author that can

be represented in the percentage successfulness of 9/9 x 100% = 100%.

(7)

commit to user

MOTTO

Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.

(QS. Al Insyirah: 7)

Pelajarilah ilmu dan mengajarlah kamu, rendahkanlah dirimu terhadap guru-gurumu dan berlakulah lemah lembut terhadap murid-muridmu.

(8)

commit to user

HALAMAN PERSEMBAHAN

Kusuntingkan skripsi ini untuk:

Bapak Ibu tercinta dan Kakak-kakakku yang menjadi semangat dalam menopang langkahku dengan kasih sayang, doa, dan pengorbanan yang tak

pernah bertepi

Sahabat-sahabat terbaikku, Atik, Amin, Ayub, Arfira, Haris, Deni, Nurul, Puji, Triana, Dwi, Pramitha, Umi, Pita, semoga persahabatan ini tak kan

lekang oleh waktu

Teman-teman seperjuangan PLB 2007, yang memberikan motivasi dan bantuan

(9)

commit to user

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia dan rahmat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR

MATEMATIKA PADA MATERI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN MELALUI MEDIA ANIMASI KANTONG HITUNG SISWA KELAS I SEMESTER II SLB-B YRTRW SURAKARTA TAHUN AJARAN 2010/ 2011. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Peneliti menerima banyak bantuan dalam penyusunan skripsi ini dari berbagai pihak. Untuk itu peneliti menyampaikan ucapan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS yang telah memberikan ijin menyusun skripsi ini.

2. Drs. R. Indianto, M.Pd., Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP UNS Surakarta yang telah menyetujui permohonan penyusunan skripsi ini. 3. Drs. Gunarhadi, MA, Ketua Program Studi Pendidikan Luar Biasa FKIP

UNS yang telah menyetujui permohonan penyusunan skripsi ini.

4. Priyono, S. Pd, M. Si, Sekertaris Program Studi Pendidikan Luar Biasa FKIP UNS yang telah menyetujui permohonan penyusunan skripsi ini. 5. Drs. A. Salim Choiri, M.Kes; Pembimbing I yang telah memberikan

bimbingan dan pengarahan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

6. Drs. Subagya, M. Si; Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

7. Semua dosen Program Studi Pendidikan Luar Biasa FKIP UNS atas ilmu yang telah diberikan selama ini.

8. Bapak Misdi, S. Pd, Kepala Sekolah SLB-B YRTRW Surakarta yang telah memberikan ijin penelitian di SLB-B YRTRW Surakarta.

(10)

commit to user

10.Bapak Ibu dan Kakak-kakak tercinta yang telah memotivasi dan mendoakan setiap saat.

11.Sahabat-sahabatku Atik, Amin, Ayub, Arfira, Haris, Deni, Nurul, Puji, Triana, Dwi, Pramitha, Umi, Pita.

12.Teman-teman PLB 2007 yang selalu memberi motivasi dan dukungan 13.Berbagai pihak yang telah membantu penulis, yang tidak mungkin penulis

sebutkan satu persatu.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca.

Surakarta, Oktober 2011

Penulis

DAFTAR ISI

(11)

commit to user

PENGAJUAN SKRIPSI ... ii

PERSETUJUAN ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR GRAFIK ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

A. Tinjauan Pustaka ... 10

1. Hakekat Anak Tunarungu ... 10

a. Pengertian Anak Tunarungu ... 12

b. Faktor Penyebab Ketunarunguan ... 13

c. Klasifikasi Anak Tunarungu ... 19

d. Karakteristik Anak Tunarungu ... 28

2. Hakekat Prestasi Belajar ... 32

a. Pengertian Belajar ... 32

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar ... 33

c. Pengertian Prestasi Belajar. ... 36

3. Hakekat Mata Pelajaran Matematika untuk Anak Tunarungu ... 37

(12)

commit to user

b. Hakekat Mata Pelajaran Matematika untuk Anak

Tunarungu ... 43

4. Hakekat Media Animasi Kantong Hitung ... 46

a. Pengertian Media ... 46

b. Jenis-jenis Media Pembelajaran ... 48

c. Kriteria Pemilihan Media Pembelajaran ... 49

d. Fungsi dan Manfaat Media Pembelajaran ... 51

e. Pengertian Media Animasi Kantong Hitung ... 53

5. Penggunaan Media Animasi Kantong Hitung pada Pembelajaran Matematika Materi Penjumlahan dan Pengurangan untuk Anak Tunarungu ... 54

B. Kerangka Berpikir ... 56

C. HipotesisTindakan ... 58

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 59

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 59

1. Tempat Penelitian ... 59

2. Waktu penelitian ... 59

B. Pendekatan Penelitian ... 60

C. Subjek Penelitian ... 62

D. Teknik Pengumpulan Data ... 63

1. Observasi ... 63

2. Wawancara ... 66

3. Teknik Analisis Dokumen ... 68

4. Teknik Test ... 69

E. Sumber Data ... 71

F. Uji Validitas Data ... 71

G. Teknik Analisis Data ... 73

H. Indikator ... 74

I. Prosedur Penelitian... 75

1. Prasiklus ... 75

(13)

commit to user

3. Pelaksanaan Siklus ... 76

a. Perencanaan ... 76

b. Tindakan ... 79

c. Observasi ... 79

d. Analisis Refleksi ... 80

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 81

A. Deskripsi Awal ... 81

B. Deskripsi Hasil Penelitian ... 82

1. Prasiklus ... 82

a. Hasil Test Kemampuan Awal ... 82

b. Hasil Observasi Keaktifan Peserta Didik ... 84

2. Pelaksanaan Siklus I ... 87

a. Perencanaan ... 87

b. Tindakan ... 91

c. Pengamatan ... 92

d. Analisis Refleksi ... 98

3. Pelaksanan Siklus II ... 99

a. Perencanaan ... 99

b. Tindakan ... 104

c. Pengamatan ... 106

d. Analisis Refleksi ... 113

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 113

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN... 118

A. Simpulan ... 118

B. Saran ... 118

C. Implikasi ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 120

LAMPIRAN ... 123

DAFTAR TABEL

(14)

commit to user

1. Klasifikasi Anak Tunarungu Dikaitkan dengan Penyebab Derajat

Ketulian, Nilai Prognostik, dan Validitas Gangguan Pendengaran ... 21

2. Rincian Jadwal Waktu dan Jenis Penelitian ... 59

3. Daftar Nama Peserta Didik Kelas I SLB-B YRTRW Surakarta ... 62

4. Instrumen Pedoman Observasi Terhadap Kemampuan Guru Mengelola Kelas... 64

5. Instrumen Pedoman Observasi Terhadap Kemampuan Guru Menjelaskan ... 65

6. Instrumen Pedoman Observasi Terhadap Kemampuan Guru Melakukan Tindakan dalam Pembelajaran Matematika dengan Media Animasi Kantong Hitung ... 65

7. Instrumen Kriteria Keberhasilan Guru Melakukan Tindakan dalam Pembelajaran Matematika dengan Media Animasi Kantong Hitung ... 66

8. Instrumen Keaktifan Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika dengan Media Animasi Kantong Hitung ... 68

9. Kisi-Kisi Soal ... 70

10.Deskripsi Indikator Ketercapaian ... 75

11.Daftar Nilai Hasil Pretest Mata Pelajaran Matematika ... 82

12.Tabulasi Keaktifan Awal Peserta Didik Kelas I SLB-B YRTRW Surakarta ... 85

13.Hasil Observasi Keaktifan Awal Peserta Didik Kelas I SLB-B YRTRW Surakarta ... 86

14.Daftar Nilai Hasil Test Siklus I Mata Pelajaran Matematika ... 94

15.Tabulasi Keaktifan Peserta Didik Kelas I SLB-B YRTRW Surakarta Siklus I ... 96

16.Hasil Observasi Keaktifan Peserta Didik Kelas D IC SLB-B YRTRW Surakarta Siklus I ... 97

17.Daftar Nilai Hasil Test Siklus II Mata Pelajaran Matematika ... 108

(15)

commit to user

19.Hasil Observasi Keaktifan Peserta Didik Kelas I SLB-B YRTRW Surakarta Siklus II ... 110 20.Peningkatan Nilai Test Tiap siklus ... 111

(16)

commit to user

Gambar

1. Penggaris ... 40

2. Bola ... 40

3. Meja ... 40

4. Penggaris ... 41

5. Bola ... 41

6. Meja ... 41

7. Animasi Kantong Hitung 8 ... 54

8. Animasi Kantong Hitung 9 ... 55

9. Animasi Kantong Hitung 10 ... 56

10. Alur Kerangka Berpikir ... 57

11. Prosedur Penelitian Tindakan Kelas ... 61

12. Animasi Kantong Hitung 13 ... 77

13. Animasi Kantong Hitung 14 ... 78

14. Animasi Kantong Hitung 15 ... 78

15. Animasi Kantong Hitung 16 ... 89

16. Animasi Kantong Hitung 17 ... 89

17. Animasi Kantong Hitung 18 ... 89

18. Animasi Kantong Hitung 19 ... 102

19. Animasi Kantong Hitung 20 ... 103

20. Animasi Kantong Hitung 21 ... 103

(17)

commit to user

1. Perbandingan Hasil Pretest dengan KKM ... 83 2. Perbandingan Hasil Test Siklus I dengan Hasil Pretest ... 94 3. Perbandingan Hasil Pretest, Hasil Test Siklus I dan Hasil Test II ... 112

(18)

commit to user

Lampiran

1. Silabus SDLB ... 123

2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus I ... 124

3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Siklus II ... 130

4. Kisi-Kisi Soal ... 136

5. Soal Evaluasi ... 137

6. Kunci Jawaban ... 138

7. Daftar Nama Peserta Didik ... 139

8. Instrumen Keaktifan Peserta Didik Siklus I ... 140

9. Instrumen Pedoman Observasi Terhadap Kemampuan Guru Mengelola Kelas Siklus I ... 142

10. Instrumen Pedoman Observasi Terhadap Kemampuan Guru Menjelaskan Siklus I ... 144

11. Instrumen Pedoman Observasi Terhadap Kemampuan Guru Melakukan Tindakan dengan Menggunakan Media Animasi Kantong Hitung Siklus I ... 146

12. Instrumen Pedoman Observasi Kriteria Keberhasilan Guru dalam Melakukan Tindakan dengan Menggunakan Media Animasi Kantong Hitung Siklus I ... 147

13. Instrumen Keaktifan Peserta Didik Siklus II ... 149

14. Instrumen Pedoman Observasi Terhadap Kemampuan Guru Mengelola Kelas Siklus II ... 151

15. Instrumen Pedoman Observasi Terhadap Kemampuan Guru Menjelaskan Siklus II ... 153

16. Instrumen Pedoman Observasi Terhadap Kemampuan Guru Melakukan Tindakan dengan Menggunakan Media Animasi Kantong Hitung Siklus II ... 156

17. Instrumen Pedoman Observasi Kriteria Keberhasilan Guru dalam Melakukan Tindakan dengan Menggunakan Media Animasi Kantong Hitung Siklus II ... 157

(19)

commit to user

19. Tabulasi Test Siklus I ... 159

20. Tabulasi Test Siklus II ... 160

21. Surat Perijinan Penelitian ... 161

(20)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Telinga sebagai indera pendengaran manusia merupakan organ untuk melengkapi informasi yang diperoleh melalui penglihatan. Berdasar hal tersebut, kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan pendengaran berarti kehilangan kemampuan menyimak secara utuh peristiwa di sekitarnya, sehingga semua peristiwa yang terekam oleh penglihatan anak tunarungu tampak seperti terjadi secara tiba-tiba tanpa dapat memahami gejala awalnya.

Tunarungu merupakan suatu keadaaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengaran. Akibat dari hal tersebut, anak tunarungu mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi yang bersifat auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan aktifitas berbahasa dan komunikasi secara verbal.

Istilah tunarungu digunakan untuk orang yang mengalami gangguan pendengaran yang mencakup tuli dan kurang dengar. Orang yang tuli adalah orang yang mengalami kehilangan pendengaran (lebih dari 70 dB) yang mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain baik dengan memakai maupun tidak memakai alat bantu dengar. Orang yang kurang dengar adalah orang yang mengalami kehilangan pendengaran (sekitar 27 sampai 69 dB) yang biasanya dengan menggunakan alat bantu dengar, sisa pendengarannya masih memungkinkan untuk memproses informasi bahasa sehingga dapat memahami pembicaraan orang lain di sekitarnya. Ocha, 2010 (dalam,

http://ochamutz91.wordpress.com/2010/05/29/karakteristik-dan-pendidikan-anak-tuna-rungu/).

(21)

commit to user

ditingkatkan. Anak tunarungu yang tidak mempunyai kelainan lain, potensi kecerdasannya normal bahkan mungkin supernormal, namun karena daya ingat anak tunarungu ini kurang terhadap hal-hal yang diverbalisasikan, ditambah dengan kemampuan yang kurang dalam kemampuan daya abstraksinya, anak tunarungu pada umumnya menunjukkan prestasi yang lebih rendah dibanding anak mendengar.

Berdasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu mengalami masalah dalam hal pendengaran yang mengakibatkan kesulitan dalam

memperoleh dan mengolah informasi yang bersifat auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan aktivitas berbahasa dan komunikasi secara verbal. Hal tersebut berpengaruh terhadap penerimaan dan pengolahan informasi dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga mengakibatkan prestasi akademik mereka rendah. Prestasi akademik yang rendah pada anak tunarungu mengakibatkan pendidikan anak tunarungu menjadi lebih lambat dibanding anak mendengar.

Anak yang mengalami kelainan pendengaran akan menanggung konsekuensi sangat kompleks, tidak terkecuali dalam pendidikannya. Berdasar hal tersebut, maka untuk mengembangkan potensi anak tunarungu secara optimal praktis memerlukan layanan atau kebutuhan pendidikan secara khusus. Kebutuhan pelayanan pendidikan khusus ini, tidak lepas dari penggunaan indera Anak tunarungu dalam masalah transfer of knowledge yang hanya terbatas pada indera visual atau penglihatan saja. Permasalahan anak tunarungu dalam transfer of knowledge ini berlaku bagi seluruh mata pelajaran, tidak terkecuali mata pelajaran

matematika.

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran pokok yang selalu diajarkan pada jenjang pendidikan sejak TK, SD, SLTP, SMA bahkan tidak

(22)

commit to user

Parwoto (2007: 125) mengatakan “matematika adalah ilmu tentang struktur-struktur abstrak karena penelaahan bentuk-bentuk dalam matematika membawa matematika itu ke dalam struktur-struktur abstrak pengetahuan”. Pengetahuan matematika merupakan ilmu yang abstrak bagi peserta didik, terlebih bagi peserta didik tunarungu yang daya abstraksinya rendah. Banyak alasan perlunya peserta didik belajar matematika.

Cornelius (dalam Mulyono Abdurrohman, 1999: 253) mengemukakan lima alasan perlunya belajar matematika karena matematika merupakan (1) sarana berpikir yang jelas dan logis, (2) sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, (3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman, (4) sarana untuk mengembangkan kreativitas, dan (5) sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya.

Aspek-aspek pemahaman suatu konsep termasuk pemahaman rumus-rumus dan aplikasinya merupakan hal yang sangat penting yang harus dimiliki peserta didik dalam pembelajaran matematika, akan tetapi dalam kenyataannya masih banyak peserta didik yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan

permasalahan matematika, hal ini dikarenakan pemahaman konsep yang dimiliki peserta didik kurang.

Berdasar beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan disiplin ilmu yang mempunyai sifat khas, bila dibandingkan dengan disiplin ilmu yang lain, maka pembelajaran matematika sebaiknya tidak disamakan dengan ilmu yang lain. Matematika sebagai suatu ilmu mengenai struktur dan hubungan-hubungannya sangat memerlukan simbol-simbol dan lambang-lambang.

(23)

commit to user

merupakan proses berjenjang (bertahap), dimulai dari konsep yang sederhana menuju konsep yang lebih sukar. Pembelajaran Matematika harus dimulai dari tahapan konkrit ke semikonkrit, dan berakhir pada yang abstrak. Pembelajaran Matematika hendaknya mengikuti metode spiral yang artinya dalam memperkenalkan konsep atau bahan yang baru perlu memperhatikan konsep atau bahan yang telah dipelajari, tidak terkecuali materi penjumlahan dan pengurangan.

Materi penjumlahan dan pengurangan memegang peranan penting di dalam mata pelajaran matematika, karena merupakan dasar yang harus dimiliki

oleh seseorang untuk mempelajari matematika lebih lanjut. Konsep penjumlahan dan pengurangan harus dilakukan dengan benar dalam mengajarkannya. Materi penjumlahan dan pengurangan menjadi landasan untuk mempelajari operasi hitung yang lebih tinggi, seperti perkalian dan pembagian, serta operasi-operasi hitung yang lainnya. Ini berarti bahwa dengan memahami penjumlahan dan pengurangan, peserta didik tidak terkecuali peserta didik tunarungu akan mudah mempelajari operasi hitung lainnya. Hal tersebut membawa konsekuensi bahwa guru sebagai individu, dituntut untuk menguasai berbagai macam kemampuan, di antaranya kemampuan memilih dan menentukan materi maupun media pembelajaran.

Menurut Piaget (dalam Mulyono Abdurrohman, 1999: 34) Perkembangan intelektual meliputi empat tahap berikut: (1) tahap sensori-motorik (0:0-2:0 tahun), (2) tahap praoperasional (2-7 tahun), (3) tahap operasional konkrit (7-11 tahun), dan (4) tahap operasional formal (usia 11 tahun ke atas).

Bruner (dalam Mulyono Abdurrohman, 1999:34) berpendapat terdapat tiga tahapan dalam proses Pembelajaran yaitu: (1) Tahapan Enactive adalah tahap dalam proses belajar yang ditandai oleh manipulasi secara langsung objek-objek berupa benda atau peristiwa konkret; (2) tahap Econic ditandai oleh penggunaan perumpamaan atau tamsilan (imagery); (3) sedangkan tahapan Symbolic ditandai oleh penggunaan simbol dalam proses belajar.

(24)

commit to user

konvensional. Metode konvensional yang digunakan oleh guru lebih berfokus dengan metode ceramah dan tidak melibatkan aktivitas peserta didik sehingga kemampuan peserta didik dalam memecahkan operasi hitung khususnya penjumlahan dan pengurangan kurang maksimal.

Peneliti dalam melaksanakan observasi pembelajaran matematika di kelas I SLB-B YTRW Surakarta, khususnya pada materi penjumlahan dengan atau tanpa teknik menyimpan dan pengurangan dengan atau tanpa teknik meminjam, menemukan bahwa ternyata setelah di jelaskan dan diberikan tugas

tentang operasi hitung penjumlahan dan pengurangan, kurang lebih hanya 33% yang dapat menyelesaikannya dengan baik. Mereka masih terfokus pada besar kecilnya bilangan dan tanda operasinya saja tanpa mempertimbangkan posisi bilangan yang telah diketahui dan yang harus dicari, misalnya pada soal 33 + … = 60, peserta didik mencari jawabannya dengan menjumlahkan kedua suku yang diketahui sehingga jawaban peserta didik menjadi: 33 + 93 = 60. Jawaban 93, diperoleh dari hasil menjumlah 33 dengan 60. Peserta didik sering mengulang kesalahan yang sama, meskipun pada pertemuan sebelumnya telah dijelaskan dan diberi latihan soal dengan jumlah yang cukup tentang operasi penjumlahan dan pengurangan, baik suku yang tidak diketahui berada di ruas kanan maupun pada salah satu suku di ruas kiri.

Salah satu penyebab rendahnya daya retensi hasil belajar ini menurut pandangan kaum strukturalis adalah karena proses pemahaman peserta didik terhadap konsep abstrak penjumlahan dan pengurangan tidak dilakukan melalui proses pengalaman yang nyata. Eisenhart (dalam http://sutisna.com/jurnal/jurnal-kependidikan/penerapan-konsep-kesetimbangan-pada-operasi-penumlahan-dan pengurangan-di-sekolah-dasar).

Berdasarkan asumsi di atas dan observsi yang telah dilakukan oleh

(25)

commit to user

1. peserta didik belum menguasai materi prasyarat untuk sebuah konsep baru. 2. peserta didik kurang mampu mengkomunikasikan konsep yang telah dipelajari

baik gagasan, tanggapan atau lambang.

3. materi ajar matematika yang abstrak, disampaikan dengan tidak memperhatikan tahapan pembelajaran yang bersifat konkrit ke abstrak.

4. media yang digunakan tidak tepat, kurang memperhatikan tahapan kognitif peserta didik tunarungu.

Permasalahan tersebut hendaknya perlu dicarikan alternatif metode

pembelajaran yang mampu melibatkan peserta didik secara aktif sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Proses belajar mengajar juga akan lebih variatif dan kreatif jika menggunakan media pembelajaran. Begitu juga dalam mata pelajaran matematika, terlebih lagi bagi anak tunarungu.

Hamalik (dalam Azhar Arsyad, 2005: 15) mengemukakan bahwa, “pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh psikologis terhadap siswa”.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa media merupakan alat yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan pelajaran agar materi yang disampaikan lebih dapat dipahami oleh peserta didik. Penggunaan media yang menarik mampu meningkatkan prestasi peserta didik. Keberhasilan penggunaan

media untuk meningkatkan prestasi peserta didik tergantung pada isi pesan, cara menjelaskan pesan, dan karakteristik penerima pesan. Media pembelajaran dapat

menghasilkan atau mendekati realitas, dapat mengganti kata-kata yang merupakan lambang tidak sempurna. Hal ini dapat mudah membantu meningkatkan dan merangsang minat dari sebuah kelas yang apatis. Media-media pembelajaran juga mempunyai hubungan nilai hiburan serta tidak memperkecil arti pokok pelajarannya, tetapi justru membantu memperjelas konsep yang akan disampaikan.

(26)

commit to user

memerlukan bantuan alat yang sifatnya nyata, terlihat dengan jelas dalam menangkap ide atau konsep yang diajarkan. Setiap media yang digunakan oleh guru matematika dalam proses pengajarannya harus berdasarkan tujuan intruksional yang telah disusun. Artinya tujuan itulah yang menentukan media karena materi yang disajikan didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai, maka dengan sendirinya media tersebut harus mengandung ide-ide atau konsep-konsep yang terkandung dalam materi tersebut.

Sejalan dengan teori-teori tersebut, maka peneliti berusaha memecahkan

masalah tersebut melalui pengunaan media animasi kantong hitung dalam pembelajaran matematika khususnya materi penjumlahan dan pengurangan. Penelitian ini, akan memulai pembelajaran matematika dari tahapan konkrit menuju abstrak sebagaimana yang diungkapkan oleh Bruner. Media animasi kantong hitung pada tahapan proses pembelajaran, menurut Bruner termasuk dalam tahap Econic yang ditandai oleh penggunaan perumpamaan atau tamsilan.

Media animasi adalah menciptakan gerakan, seperti yang sering dilihat dalam televisi maupun di layar lebar. Kata animasi berasal dari kata animation yang berasal dari kata dasar to anime di dalam kamus Indonesia inggris berarti menghidupkan. Secara umum animasi merupakan suatu kegiatan menghidupkan, menggerakkan benda mati. Suatu benda mati diberi dorongan, kekuatan, semangat dan emosi untuk menjadi hidup atau hanya berkesan hidup. Animasi dapat membantu proses kegiatan belajar mengajar, jika peserta didik melakukan proses kognitif dibantu dengan animasi, sedangkan tanpa aniamsi proses kognitif sulit dilakukan. Peserta didik yang memiliki latar belakang dan pengetahuan bahasa yang rendah cenderung memerlukan bantuan, salah satunya animasi, yang bertujuan untuk menangkap konsep materi yang disampaikan. Animasi juga dapat dijadikan media yang menarik perhatian peserta didik agar tetap fokus dan

semangat dalam mengikuti proses belajar mengajar. Perlakuan khusus pada penggunaan media animasi untuk pembelajaran anak tunarungu adalah peran serta dari guru sebagai fasilitator.

(27)

commit to user

Penggunaaan media animasi dalam sistem pengajaran diharapkan dapat lebih efektif dan membantu anak tunarungu dalam memecahkan masalah berhitung penjumlahan dan pengurangan. Ilustrasi animasi atau gambar bergerak juga diharapkan dapat menghidupkan pemahaman peserta didik dalam pemecahan masalah penjumlahan dan pengurangan angka-angka yang bersifat abstrak.

Media animasi kantong dalam penelitian ini merupakan media animasi yang berisi gambar-gambar animasi tiga dimensi yang dapat bergerak otomatis yang berupa kantong-kantong hitung beserta lidi-lidi. Setiap penambahan dan

pengurangan lidi dalam kantong tersebut, maka lidi akan berkurang secara otomatis. Proses berkurang dan bertambahnya lidi tersebut akan nampak secara visual sehingga menguntungkan anak tunarungu yang inderanya terbatas pada visual. Proses visual tersebut akan membantu peserta didik untuk lebih mudah membayangkan proses bertambahnya dan berkurangnya suatu bilangan.

Berdasar pada permasalahan-permasalahan yang dijelaskan di atas, maka mendorong penulis untuk melakukan penelitian dan mengkaji lebih lanjut ke dalam skripsi dengan judul “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika pada Materi Penjumlahan dan Pengurangan Melalui Media Animasi Kantong Hitung Siswa Kelas I Semester II SLB-B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2010/ 2011”.

B. Rumusan Masalah

Apakah Penerapan Media Animasi Kantong Hitung dapat Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika pada Materi Penjumlahan dan Pengurangan Siswa Kelas I Semester II SLB-B YRTRW Surakarta Tahun Ajaran 2010/ 2011?

C. Tujuan Penelitian

(28)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Bagi Sekolah:

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini bagi sekolah adalah bertambahnya referensi media pembelajaran menuju perkembangan kualitas pembelajaran matematika yang efektif, kreatif dan menyenangkan pada materi penjumlahan dan pengurangan.

2. Guru

a. Pembelajaran matematika melalui media animasi kantong hitung dalam

meningkatkan prestasi belajar matematika peserta didik tunarungu kelas I Semester II SLB-B YRTRW Surakarta dapat diterapkan oleh guru, serta memberikan alternatif solusi pada kesulitan penyampaian materi penjumlahan dan pengurangan pada mata pelajaran matematika.

b. Salah satu pilihan untuk penerapan pendekatan pembelajaran dengan pilihan media pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik tunarungu kelas I Semester II SLB-B YRTRW Surakarta.

3. Peserta didik tunarungu kelas I Semester II SLB-B YRTRW Surakarta a. Alternatif media belajar untuk meningkatkan prestasi belajar matematika

peserta didik.

b. Sarana untuk membantu peserta didik dalam melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan dalam mata pelajaran matematika.

4. Peneliti selanjutnya

a. Salah satu referensi untuk melakukan kajian-kajian lebih lanjut mengenai suatu rancangan pembelajaran matematika pada materi penjumlahan dan pengurangan melalui media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik.

(29)

commit to user

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Hakekat Anak Tunarungu

a. Pengertian Anak Tunarungu

Anak tunarungu atau anak yang mengalami kelainan pendengaran dalam kehidupan sehari-hari sering diasumsikan sebagai orang yang tidak mendengar sama sekali atau disebut tuli oleh masyarakat awam. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa kelainan dalam aspek pendengaran dapat mengurangi fungsi pendengaran. Asumsi tersebut tidak seluruhnya salah, namun perlu diluruskan, karena tidak semua anak tunarungu mengalami kehilangan pendengaran secara total atau tuli.

Istilah tunarungu diambil dari kata “tuna” yang artinya kurang dan “rungu” yang artinya pendengaran. Berdasar hal tersebut dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang kurang mampu mendengar atau tidak mampu mendengar suara. Tunarungu juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan

kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengaran.

Menurut Djoko Sindhusakti (1997: 23), “Anak tunarungu adalah anak yang pada periode 3 tahun pertama dari kehidupannya mengalami gangguan pendengaran, yang mengakibatkan terjadinya gangguan bicara oleh karena persepsi dan asosiasi dari suara datang ke telinga terganggu”.

(30)

commit to user

mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar”.

Donald F. Mores (dalam Murni Winarsih, 2007: 22) berpendapat bahwa tunarungu adalah istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang

ringan sampai berat sehingga menghambat proses infomasi bahasa melalui pendengaran baik menggunakan alat bantu maupun tidak menggunakan alat bantu.

Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak. Mufti Salim, (dalam Sutjihati Somantri, 1996: 74).

Menurut Sudibyo Markus (dalam Sardjono, 2000: 6) “Anak tunarungu wicara adalah mereka yang menderita tunarungu sejak bayi atau sejak lahir, yang karenanya tak dapat menangkap pembicaraan orang lain, sehingga tak mampu mengembangkan kemampuan bicaranya, meskipun tak mengalami gangguan pada alat suaranya”.

Anak tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya, sehingga mengalami gangguan berkomunikasi secara verbal. Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak –Anak dengar pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunaruguan pada saat berbicara, mereka berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama sekali, mereka berisyarat . Sukaesih, 2010 (dalam http://sukaesih21.wordpress.com/2010/05/29/pengertian-anak-tunarungu/).

Megawati Iswari (2007: 57) menyatakan istilah tunarungu ditujukan pada anak yang kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian yang disebut kurang dengar, maupun seluruhnya yang disebut tuli.

Menurut Soewito (dalam Sardjono, 1999: 9), “Anak tunarungu adalah seorang yang mengalami kesulitan pendengaran berat sampai total, yang tidak dapat lagi menangkap tutur kata tanpa melihat bibir lawan bicaranya”.

(31)

commit to user

kesulitan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain baik dengan memakai maupun tidak memakai alat bantu dengar. Orang yang kurang dengar adalah orang yang mengalami kehilangan pendengaran (sekitar 27 sampai 69 dB) yang biasanya dengan menggunakan alat bantu dengar, sisa pendengarannya memungkinkan untuk memproses informasi bahasa sehingga dapat memahami pembicaraan orang”.

Permanarian menyatakan bahwa banyak istilah di dalam bahasa Inggris yang dipergunakan yang mengacu pada populasi individu yang menyandang ketunarunguan. Istilah tersebut didefinisikan berdasarkan kebutuhan pendidikan dan budaya. Istilah tersebut antaralain adalah:

1. Kata "deaf" menurut definisi Individuals with Disabilities Education Act, (undang-undang pendidikan bagi individu penyandang cacat Amerika Serikat) tahun 1990 adalah ketunarunguan yang berdampak negatif terhadap kinerja pendidikan individu dan demikian parah sehingga individu itu terganggu dalam kemampuanya untuk memproses informasi linguistik (komunikasi) melalui pendengaran, dengan ataupun tanpa amplifikasi (alat bantu dengar).

2. Istilah "hard of hearing" berarti ketunarunguan, baik permanen maupun berfluktuasi, yang berdampak negatif terhadap kinerja pendidikan seorang individu tetapi yang memungkinkannya mempunyai akses ke komunikasi verbal pada tingkat tertentu dengan ataupun tanpa amplifikasi (IDEA 1990).

3. Istilah "Deaf" yang ditulis dengan huruf D kapital mengacu pada individu penyandang ketunarunguan yang mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai anggota "budaya tunarungu" (Deaf Culture. Individu-individu ini memandang dirinya sebagai satu populasi yang dipersatukan oleh kesamaan latar belakang budaya, kesamaan pengalaman, kesamaan riwayat keluarga (menikah dengan sesama tunarungu), dan kesamaan bahasa yaitu American Sign Language (ASL).

4. Istilah "hearing-impaired" kini sering dipergunakan untuk mengacu pada mereka yang "deaf" maupun yang "hard of hearing". Istilah "deaf mute" dan "deaf and dumb" (tuli bisu) kini tidak dipergunakan lagi. Istilah tersebut tidak hanya dianggap kuno, tetapi juga dipandang ofensif. Survey tahun 1981 di Australia menemukan bahwa 59% dari populasi tunarungu menyandang ketunarunguan ringan, 11% sedang, 20% berat, dan 10% tidak dapat dipastikan klasifikasinya. (http://permanarian16.blogspot.com/2008/04/definisi-dan-klasifikasi-tunarungu.html).

(32)

commit to user

menyerang telinga bagian luar, tengah, maupun dalam. Kerusakan tersebut mulai dari taraf ringan, sedang, maupun tuli total, sehingga mengakibatkan terjadinya hambatan dalam perkembangan bahasanya dan memerlukan pendidikan khusus sesuai karakteristiknya. Ketunarunguan ini juga mengakibatkan anak mengalami kesulitan dalam memperoleh dan mengolah informasi yang bersifat auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan aktivitas berbahasa dan komunikasi secara verbal. Hambatan komunikasi yang bersifat auditif tersebut berpengaruh terhadap penerimaan dan pengolahan informasi dalam kegiatan

belajar mengajar, sehingga mengakibatkan prestasi akademik mereka rendah dan pendidikan anak tunarungu menjadi lebih lambat dibanding anak mendengar. Atas dasar itulah, pemberian layanan pendidikan yang relevan dengan karakteristik kelainan anak tunarungu dapat diharapkan menimbulkan motif berprestasi.

Anak yang mengalami kelainan pendengaran akan menanggung konsekuensi sangat kompleks, tidak terkecuali dalam pendidikannya. Anak tunarungu seringkali dihinggapi rasa keguncangan, tidak percaya diri dan tidak mampu mengontrol lingkungannya. Kondisi ini tidak menguntungkan bagi penderita tunarungu yang harus berjuang dalam meniti tugas perkembangannya. Beberapa rentetan masalah yang muncul akibat gangguan ini, penderita akan mengalami berbagai hambatan dalam meniti perkembangannya, tidak terkecuali aspek akademiknya. Berdasar hal tersebut, maka untuk mengembangkan potensi anak tunarungu secara optimal praktis memerlukan layanan atau kebutuhan secara khusus tidak terkecuali dalam penggunaan media dalam pembelajaran.

b. Faktor Penyebab Ketunarunguan

Ketunarunguan disebabkan oleh banyak faktor. Beberapa ahli

mendefinisikan penyebab ketunarunguan dari berbagai sudut pandang. Berdasarkan waktu terjadinya, penyebab ketunarunguan dapat terjadi pada waktu sebelum lahir (prenatal), ketika lahir (natal), dan setelah dilahirkan (postnatal).

(33)

commit to user

1. Faktor dalam diri anak

Faktor dalam diri yang bisa menyebabkan ketunarunguan antaralain:

a) Disebabkan oleh faktor keturunan dari salah satu atau kedua orangtuanya yang mengalami ketunarunguan. Banyak kondisi genetik yang berbeda sehingga dapat menyebabkan ketunarunguan. Transmisi yang disebabkan oleh gen yang dominan represif dan berhubungan dengan jenis kelamin. b) Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit campak Jerman (rubella).

Penyakit rubella pada masa kandungan tiga bulan pertama akan berpengaruh buruk pada janin. Rubella dari pihak ibu merupakan penyebab

yang paling umum yang dikenal sebagai penyebab ketunarunguan.

c) Ibu yang sedang mengandung menderita taxoemenia, hal ini bisa mengakibatkan kerusakan pada plasenta yang mempengaruhi terhadap pertumbuhan janin. Jika hal tersebut menyerang syaraf atau alat-alat pendengaran maka anak tersebut akan lahir dalam keadaan tunarungu. 2. Faktor dari luar diri anak

a) Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan. Misal, anak terserang herpes implex, jika infeksi ini menyerang alat kelamin ibu dapat menular pada saat

anak dilahirkan. Demikian pula dengan penyakit kelamin yang lain, dapat ditularkan melalui terusan jika virusnya masih dalam keadaan aktif. Penyakit-penyakit yang ditularkan oleh ibu kepada anak yang dilahirkan dapat menimbulkan infeksi yang dapat menyebabkan kerusakan pada alat-alat atau syaraf pendengaran.

b) Meningitis atau radang selaput. Berdasar beberapa hasil penelitian para ahli tentang ketunarunguan yang disebabkan karena meningitis antaralain penelitian yang dilakukan vermon.

c) Otitis media (radang telinga bagian tengah)

Otitis media adalah radang pada telinga bagian tengah. Sehingga

(34)

commit to user

anak-anak sebelum mencapai usia 6 tahun. Anak-anak secara berkala harus mendapat pemeriksaan dan pengobatan yang teliti sebelum memasuki sekolah karena kemungkinan menderita otitis media yang menyebabkan ketunarunguan. ketunarunguan yang disebabkan otitis media adalah tunarungu tipe konduktif. Davis dan Flower mengatakan bahwa nanah yang ada di telinga bagian tengah lebih sering menjadi penyebab hilangnya pendengaran. Otitis media juga dapat ditimbulkan karena infeksi pernafasan atau pilek dan penyakit anak-anak seperti campak.

d) Penyakit lain atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan kerusakan alat-alat pendengaran bagian tengah dan dalam.

Moh. Effendi (2006: 65-66) menyatakan, secara terinci determinan ketunarunguan yang terjadi sebelum, saat, dan sesudah anak dilahirkan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Ketunarunguan sebelum lahir (prenatal), yaitu ketunarunguan yang terjadi ketika anak masih dalam kandungan ibunya. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan ketunarunguan yang terjadi pada saat anak dalam kandungan, antaralain adalah a) hereditas atau keturunan, menurut Moores presentasi anak yang mengalami ketunarunguan jenis ini sekitar 30%-60%. Ketunarunguan jenis ini sering disebut tunarungu genetis; b) maternal rubella, merupakan penyakit cacar air Jerman, atau campak. Virus penyakit tersebut berbahaya jika menyerang wanita ketika tiga bulan pertama waktu kehamilan sebab dapat mempengaruhi atau berakibat buruk terhadap anak atau bayi yang dikandungnya; c) pemakaian antibiotik overdosis, beberapa obat-obatan antibiotik yang jika diberikan dalam jumlah besar akan mengakibatkan ketunarunguan atau kecacatan yang lain. Contoh obat-obat tersebut adalah sterptomycin, dan kanamicin; d) taxoemia, ketika sang ibu sedang

mengandung, karena suatu sebab tertentu sang ibu menderita keracunan pada darahnya (taxoemia). Kondisi ini dapat berpengaruh pada rusaknya placenta

(35)

commit to user

2. Ketunarunguan yang terjadi saat lahir (neonatal), yaitu ketunarunguan yang terjadi saat anak dilahirkan. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan ketunarunguan yang terjadi pada saat anak dilahirkan antaralain sebagai berikut: a) lahir premature, premature adalah proses bayi lahir yang terlalu dini sehingga berat badan dan panjang badannya realatif sering di bawah normal, dan jaring-jaringan tubuhnya masih sangat lemah, akibatnya anak lebih mudah terkena anoxia (kekurangan oksigen) yang berpengaruh pada kerusakan inti cochlea; b) Rhesus Factor, ketunarunguan yang dialami oleh anak-anak yang

dilahirkan bisa jadi karena ketidakcocokan antara rhesus ibu dengan rhesus anak yang dikandungnya. Ketidakcocokan rhesus tersebut dapat terjadi jika seorang perempuan memiliki rhesus negatif kawin dengan laki-laki yang mempunyai rhesus positif maka akan ada kemungkinan anak yang dikandung mempunyai rhesus positif, seperti yang dimiliki ayahnya, dan tidak sejenis dengan rhesus ibunya. Akhirnya sel-sel darah merah yang membentuk antibodi, justru akan merusak sel-sel darah merah anak, dan anak mengalami kekurangan sel darah merah (anemia), menderita sakit kuning (jaundice). Ketika anak tersebut lahir akan menderita ketunarunguan. Jadi kesimpulannya, selama anak yang dikandung, jika jenis rhesus darah anak tidak sesuai dengan rhesus darah ibu yang mengandungnya, selama itu pula anak yang dilahirkan

akan mengalami abnormalitas (kelainan), dan sebaliknya jika rhesus darah sesuai maka anak yang dilahirkan akan normal; c) tang verlossing, adakalanya bayi yang dikandung tidak dapat lahir secara wajar, artinya untuk mengeluarkan bayi tersebut dari kandungannya mempergunakan pertolongan atau bantuan alat. Untuk mengatasi kondisi yang demikian biasanya dokter menggunakan tang dalam membantu lahir bayi. Lahir dengan cara ini memang dapat berhasil, tetapi tidak jarang mengalami kegagalan yang fatal pada

susunan syaraf pendengaran, akibatnya kemungkinan anak mengalami ketunarunguan.

(36)

commit to user

a) Penyakit meningitis cerebralis, adalah peradangan yang terjadi pada selaput otak. Terjadinya ketunarunguan ini karena pada pusat susunan syaraf pendengaran mengalami kelainan akibat peradangan tersebut. Jenis ketunarunguan akibat peradangan selaput otak ini biasanya jenis ketunarunguan perseptif. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya peradangan yang fatal harus berhati-hati dalam menjaga bagian-bagian vital di daerah kepala, agar tidak mengalami kecelakaan, seperti jatuh, atau terkena benturan benda-benda keras, yang akan berakibat fatal.

b) Infeksi, ada kemungkinan sesudah anak lahir kemudian terserang penyakit campak (measles), thypus, influeza, dan lain-lain. Keberadaan anak yang

terkena akut akan menyebabkan anak mengalami tunarungu persepektif karena virus-virus akan menyerang bagian-bagain penting dalam rumah siput (cochlea) sehingga mengakibatkan peadangan.

c) Otitis media, keadaan ini menunjukkan dimana cairan otitits media (kopoken=jawa) yang berwarna kekuning-kuningan tertimbun di dalam telinga tengah. Kalau keadaanya sudah kronis atau tidak terobati dapat menimbulkan gangguan pendengaran, karena hantaran suara yang melalui telinga bagian tengah terganggu. Pada penderita secretory otitis akan menderita ketunarunguan konduktif. Bedanya cairan mengental dan menyumbat rongga telinga bagian tengah, dan terjadi pembesaran adenoid, sinusitis dan seterusnya sehingga terjadilah alergi pada alat pendengaran.

penyakit ini sering terjadi pada masa anak-anak, satu dari delapan anak yang diduga mengalami otitis media.

M. Tholib, (dalam http://bintangbangsaku.com/artikel/2009/02/anak-tunarungu/) mengemukakan pendapat tentang factor penyebab tunarungu sebagai berikut: 1. penyebab tunarungu tipe konduktif:

a. kerusakan/ gangguan yagn terjadi pada telinga luar yang dapat disebabkan antaralain oleh:

1) tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar (atresia meatus skudtikud externus), dan

(37)

commit to user

b. keruskan/ gangguan yang terjadi pada telinga tengah, yang dapat disebabkan antaralain oleh hal-hal berikut:

1) Ruda Paksa, yairu adanya tekanan/ benturan yagn keras pada telinga seperti karena jatuh tabrakan, tertusukk, dan sebagainya.

2) Terjadinya peradangan/ infeksi pada telinga tengah (otitis media),

3) Otosclerosisi, yaitu terjadinya pertumbuhan tulang pada kaki tulang stapes,

4) Tympanysclerosis, yaitu adanya lapisan kalsium/ zat kapur pada gendang dengar (membran timpani) dan tulang pendengaran.

5) Anomali kongenital dari tulang pendengaran atau tidak terbentuknya tulang pendengarn yang dibawa sejak lahir.

6) Disfungsi tuba eusthachius (saluran yang menghubungakn rongga telinga tengah dengan rongga mulut), akibat alergi atau tumor pada nasopharynx.

2. penyebab terjadinya tunarungu tipe sensorineural a. disebabkan oleh faktor genetik (keturunaan) b. disebabkan oleh faktor nongenetik antaralain:

1) rubella (campak Jerman)

2) ketidaksesuaian antara darah ibu dan anak 3) meningitis (selaput otak)

4) trauma akustik

Trybus dalam Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996: 32-33) mengemukakan bahwa “penyebab tunarungu yaitu: 1) keturunan, 2) penyakit bawaan dari pihak ibu, 3) komplikasi selama kehamilan dan kelahiran, 4) radang selaput otak, 5) otitis media, dan 6) penyakit anak berupa radang atau luka-luka.

Menurut Moh. Amin dkk (dalam Sardjono, 2000: 10) berdasarkan

waktunya faktor penyebab ketunarunguan adalah sebagai berikut: (1) faktor sebelum anak dilahirkan (prenatal), (2) faktor saat anak dilahirkan (natal), (3)

faktor sesudah anak dilahirkan (postnatal). Hal tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai brikut:

(38)

commit to user

a) Faktor keturunan (hereditas)

b) Cacar air, campak (rubella, gueman measles) c) Terjadi taxoemia (keracunan darah)

d) Penggunaan pil kina atau obat-obatan dalam jumlah besar (usaha untuk mengugurkan kandungan)

e) Kelahiran premature

f) Kekurangan osigen (anoxia)

2) Pada waktu proses kelahiran (masa neonatal)

a) Faktor rhesus (Rh) ibu dan anak tidak sejenis b) Anak lahir dengan bantuan forcept (alat bantu tang) c) Proses kelahiran yang terlalu lama

3) Sesudah anak dilahirkan (masa postnatal) a) Infeksi (measles/ campak)

b) Meningitis (peradangan selaput otak) c) Otitis media yang kronis

d) Terjadi infeksi pada alat-alat pernafasan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa terdapat banyak faktor penyebab ketunarunguan, baik ditinjau dari waktu terjadinya ataupun tempat terjadinya kerusakan indera pendengaran. Faktor-faktor tersebut saling terkait. Berdasarkan waktu terjadinya, penyebab ketunarunguan meliputi prenatal (sebelum dilahirkan atau dalam kandungan), neonatal (saat dilahirkan), dan post natal (sesudah masa kelahiran). Berdasar pada tempat kerusakannya, ketunarunguan disebabkan oleh kerusakan indera bagian luar, tengah dan dalam. Penyebab ketunarunguan tersebut bisa terjadi karena penggunaan obat-obat kimia yang berlebihan, baik disengaja ataupun tidak.

c. Klasifikasi Anak Tunarungu

(39)

commit to user

Menurut Moh. Effendi (2006: 63-65) ditinjau dari lokasi terjadinya ketunarunguan, klasifikasi anak tunarungu dapat dikelompokkan menjadi sebagai berkut:

1. Tunarungu konduktif

Ketunarunguan tipe konduktif ini terjadi karena beberapa organ yang berfungsi sebagai penghantar suara di telinga bagian luar, seperti liang telinga, selaput gendang, serta ketiga tulang pendengaran yang terdapat di telinga bagian dalam dan dinding-dinding labirin mengalami gangguan. Gangguan pendengaran

yang terjadi pada organ-organ penghantar suara ini jarang sekali melebihi rentangan antara 60-70 dB dari pemeriksaan audiometer. Oleh karena itu, tipe tunarungu ini disebut tunarungu konduktif.

2. Tunarungu perseptif

Ketunarunguan perseptif disebabkan oleh terganggunya organ-organ pendengaran yang terdapat di belahan telinga bagian dalam. Sebagaimana orang, telinga di bagian dalam memiliki fungsi sebagai alat persepsi dari getaran suara yang dihantarkan oleh organ-organ pendengaran di belahan telinga bagian luar dan tengah. Ketunarunguan perseptif ini terjadi jika getaran suara yang diterima oleh telinga bagian dalam (terdiri dari rumah siput, serabut syaraf pendengaran, corti) yang bekerja mengubah rangsang mekanis menjadi rangsang elektris, tidak dapat diteruskan ke pusat pendengaran di otak. Oleh karena itu, tunarungu tipe ini disebut juga tunarungu saraf (saraf yang berfungsi untuk mempersepsi bunyi atau suara).

3. Tunarungu campuran

Ketunarunguan tipe campuran ini sebenarnya untuk menjelaskan bahwa pada telinga yang sama rangkain organ-organ telinga yang berfungsi sebagai penghantar dan menerima rangsangan suara mengalami gangguan, sehingga

tampak pada telinga tersebut telah terjadi campuran antara ketunarunguan konduktif dan ketunarunguan perseptif.

(40)

commit to user

validitas sosial akibat gangguan pendengaran. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Klasifikasi Anak Tunarungu Dikaitkan dengan Penyebab Derajat Ketulian, Nilai Prognostik, dan Validitas Gangguan Pendengaran

Jenis Ketulian Pathologi Derajat

Ketulian

Prognostik Sosial

Tuli konduksi Kerusakan telinga luar dan tengah

Tuli syaraf Kerusakan pada reseptor tegah

Tuli campuran Kerusakan telinga luar,tengah,dalam

Berat-total Reversibel Baik

Kurang Jelek

Tuli sentral Tumor, trauma pendarahan dalam otak

Berat Irreversible Jelek

Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengarkan bunyi, Ashman dan Elkins (1994: 2) mengklsifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori yaitu:

1. Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi dimana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sering diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.

2. Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi dimana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 41-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).

(41)

commit to user

suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.

4. Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment), yaitu kondisi dimana orang hanya dapat mendengar bunyi hanya dengan intensitas 96 dB atau lebih ke atas. Mendengar percakapan normal tidak mungkin baginya, sehingga dia sangat tergantung pada komunikasi visual. Sejauh tertentu, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi (superpower).

Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996: 32) mengklasifikasikan anak tunarungu menjadi tiga klasifikasi berdasarkan anatomi fisiologisnya, yaitu: 1. Tunarugu konduksi (hantaran), merupakan ketunarunguan yang keruskan atau

tidak berfungsinya alat-alat pengantar getaran suara pada telinga bagian tengah. Tunarungu konduksi terjadi karena pengurangan intensitas bunyi yang mencapai telinga bagian dalam, dimana syaraf pendengaran berfungsi.

2. Tunarungu sensorineural (syaraf) merupakan ketunarunguan yang disebabkan karena kerusakan atau tidak berfungsinya alat-alat pendengaran bagian dalam syaraf pendengaran yang menyalurkan getaran ke pusat pendengaran pada Lobus Temporalis.

3. Tunarungu campuran, merupakan ketunarunguan yang pada syaraf pendengaran, baik bagain luar, tengah, dan dalam.

Berdasarkan tingkat kerusakan atau kehilangan kemampuan mendengar, menurut Sukaesih tunarungu dibagi menjadi: 1) Sangat ringan, 27- 40 dB; 2) Ringan, 41-44 dB; 3) Sedang, 56-70 dB; 4) Berat, 71-90 dB; 5) Ekstrim, 91 dB keatas tuli. (http://sukaesih21.wordpress.com/2010/05/29/pengertian-anak-tunarungu/).

(42)

commit to user

Berdasarkan kepentingan pendidikan Andreas Dwidjosumanto (dalam Sutjihati Somantri 1996: 74) mengemukakan klasifikasi berdasarkan tingkat keberfungsian telinga, sebagai berikut:

1. Tingkat I: Kehilangan kemampuan mendengar antara 35 sampai 54 dB, penderita hanya memerlukan latihan berbicara dan bantuan mendengar secara khusus.

2. Tingkat II: kehilangan kemampuan mendengar antara 55 sampai 69 dB. Penderitanya kadang memerlukan penempatan sekolah secara khusus dalam

kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara, dan bantuan latihan berbahasa secara khusus.

3. Tingkat III: kehilangan kemampuan mendengar antara 70 sampai 89 dB. 4. Tingkat IV: Kehilangan kemampuan mendengar 90 dB ke atas.

Kirk dan Gallagher (dalam Megawati Iswari, 2007: 58) mengemukakan tingkatan tunarungu antara lain:

1. tunarungu ringan yang kehilangan kemampuan mendengar 27-40 dB 2. tunarungu sedang yang kehilangan kemampuan mendengar 41-55 dB 3. tunarungu berat yang kehilangan kemampuan mendengar 71-90 dB

4. tunarungu sangat berat yang kehilangan kemampuan mendengar 91 dB ke atas. Menurut Ocha, ketunarunguan dapat diklasifikasikan berdasarkan

beberapa hal. Klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran, ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut

a) Tunarungu Ringan (Mild Hearing Loss) b) Tunarungu Sedang (Moderate Hearing Loss).

c) Tunarungu Agak Berat (Moderately Severe Hearing Loss) d) Tunarungu Berat (Severe Hearing Loss)

e) Tunarungu Berat Sekali (Profound Hearing Loss)

2. Berdasarkan saat terjadinya, ketunarunguan dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

a) Ketunarunguan Prabahasa (Prelingual Deafness) b) Ketunarunguan Pasca Bahasa (Post Lingual Deafness) 3. Berdasarkan letak gangguan pendengaran secara anatomis,

ketunarunguan dapat di-klasifikasikan sebagai berikut. a) Tunarungu Tipe Konduktif

(43)

commit to user

4. Berdasarkan etiologi atau asal usulnya ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut.

a) Tunarungu Endogen b) Tunarungu Eksogen

(http://ochamutz91.wordpress.com/2010/05/29/karakteristik-dan-pendidikan-anak-tuna-rungu/).

Menurut Moh. Effendi (2006: 59-60) berdasarkan kepentingan

pendidikan, secara terinci anak tunarungu dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 20-30 dB (slight loses)

Ciri-ciri anak tunarungu kehilangan pendengaran pada rentangan tersebut antaralain: (a) kemampuan mendengar masih baik karena berada di garis batas antara pendengaran normal dan kekurangan pendengaran taraf ringan, (b) tidak mengalami kesulitan memahami pembicaraan dan dapat mengikuti sekolah biasa danegan syarat tempat duduknya diperhatiakn, terutama harus dekat dengan guru, (c) dapat belajar bicara secara efektif dengan melalui kemampuan pendengarannya, (d) perlu diperhatikan kekayaan perbendaharaan bahasanya supaya perkembanagan bahasa dan bicaranya tidak terhambat, dan (e) disarankan yang bersangkutan menggunakan alat bantu dengar untuk membantu meningkatkan ketajaman daya pendengarannya. Untuk kepentingan pendidikannya pada anak tunarungu kelompok ini cukup hanya memerlukan latihan membaca bibir untuk pemahaman percakapan.

2. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 30-40 dB (mild losses) Ciri-ciri anak kehilangan pendengaran pada rentangan tersebut antaralain: (a) dapat mengerti percakapan biasa pada jarak sangat dekat, (b) tidak mengalami kesulitan untuk mengekspresikan isi hatinya, (c) tidak dapat menangkap suatu percakapan yang lemah, (d) kesulitan menangkap isi pembicaraaan dari lawan bicaranya, jika berada pada posisi tidak searah dengan pandangannya (berhadapan), (e) untuk menghindari kesulitan bicara perlu mendapatkan

(44)

commit to user

(hearing aid) untuk menambah ketajaman daya pendengarannya. Kebutuhan layanan pendidikan untuk anak tunarungu kelompok ini yaitu memmbaca bibir, latihan pendengaran, latihan bicara, artikulasi, serta latiahn kosakata.

3. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 40-60dB (moderate losses)

Ciri-ciri anak kEhilangan pendengaran pada rentangan tersebut antaralain: (a) dapat mengerti percakapan keras pada jarak dekat, kira-kira satu meter, sebab ia kesulitan menangkap percakapan pada jarak normal, (b) sering terjadi mis-understanding terhadap lawan bicaranya, jika ia diajak bicara, (c) penyandang

tunarungu kelompok ini mengalami kelainan bicara terutama, pada huruf konsonan. Misalnya huruf konsonan “K” atau “G” mungkin diucapkan menjadi “T” atau “D”, (d) kesulitan menggunakan bahasa dengan benar dalam percakapan, (e) perbendaharaan kosakatanya sangat terbatas. Kebutuhan layanan pendidikan untuk anak tunarungu kelompok ini meliputi latihan artikulasi, latihan membaca bibir, latihan kosakata serta perlu menggunakan alat bantu dengar untuk membantu ketajaman pendengarannya.

4. Anak tunarungu yang kehilangan pendengaran antara 60-75 dB (severe losses) Ciri-ciri anak kehilangan pendngaran pada rentangan tersebut adalah: (a) kesulitan membedakan suara, dan (b) tidak memiliki kesadaran bahwa benda-benda yang ada di sekitarnya memiliki getaran suara. Kebutuhan layanan pendidikannya, perlu lyanan khusus dalam belajar bicara maupun bahasa, menggunakan alat bantu dengar sebab anak yang tergolong kategori ini tidak mampu berbicara spontan. Oleh sebab itu, tunarungu ini disebut juga tunarungu pendidikan, artinya mereka benar-benar dididik sesuai dengan kondisi tunarungu. Pada instensitas suara mendengar suara keras dari jarak dekat, seperti gemuruh pesawat terbang, gonggongan anjing, teter mobil, dan

sejenisnya. Kebutuhan pendidikan anak tunarungu kelompok ini perlu latihan pendengaran intensif, membaca bibir, latihan pembentukan kosakata.

(45)

commit to user

Ciri-ciri anak kehilangan pendengaran pada kelompok ini, hanya dapat mendengar suara keras sekali pada jarak kira-kira 1 inchi atau sama sekali tidak mendengar. Biasanya ia tidak menyadari bunyi keras, mungkin juga ada reaksi jika dekat telinga. Anak tunarungu kelompok ini meskipun menggunakan pengeras suara, tetapi tetap tidak dapat memahami atau menangkap suara. Jadi, mereka menggunakan alat bantu dengar atau tidak dalam belajar bicara atau bahasanya sama saja. Kebutuhan layanan pendidikan untuk anak tunarungu dalam kelompok ini meliputi membaca bibir, latihan mendengar untuk

kesadaran bunyi, latihan membentuk dan membaca ujaran dengan menggunakan metode-metode pengajaran yang khusus, seperti tactile kinestetic, visualisasi yang dibantu dengan segenap kemampuan inderanya

yang tersisa.

Berdasarkan penyebabnya, terdapat tiga jenis ketunarunguan:

1. Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada

bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga seseorang.

2. Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan

pada bagian dalam telinga atau syaraf pendengaran yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan berupa bunyi ke otak.

3. Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat

proses pendengaran yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemrosesan pendengaran ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya. Seorang anak dapat juga mengalami kombinasi

bentuk-bentuk ketunarunguan. (http://permanarian16.blogspot.com/2008/04/definisi-dan-klasifikasi-tunarungu.html).

Uden (dalam Murni Winarsih, 2007: 26) mengklasifikasikan tunarungu menjadi tiga yaitu:

1) berdasarkan saat terjadinya, meliputi:

(46)

commit to user

b) tunarungu setelah lahir: terjadi tunarungu setelah lahir yang disebabkan karena kecelakaan atau penyakit

2) berdasarkan tempat kerusakan

a) kerusakan telinga luar dan tengah b) kerusakan telinga bagian dalam 3) berdasarkan taraf penguasaan bahasa

a) tuli prabahasa: terjadi tunarungu pada saat belum menguasai bahasa

b) tuli purna bahasa: terjadi tunarungu setelah menguasai bahasa. Menurut Samuel A.Kirk yang dikutip oleh Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1996: 29) kehilangan pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai

berikut:

1. 0 dB : menunjukkan pendengaran yang optimal

2. 1-26 dB : menunjukkan seseorang yang masih mempunyai pendengaran yang normal

3. 27-40 dB : mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan memerlukan terapi bicara (tergolong tunarungu ringan) 4. 41-55 dB : mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti diskusi

kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara (tergolong tunarungu sedang).

5. 56-70 dB : hanya bisa mendengar suara dari jarak dekat, masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu mendengar serta dengan cara yang khusus (tergolong tunarungu agak berat).

6. 71-90 dB : hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat, kadang-kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan luar biasa yang intensif, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara secara khusus (tergolong tunarungu berat).

Gambar

Gambar 1. Penggaris
Gambar  4. Penggaris
Gambar 6. Meja
gambar-gambar animasi tiga dimensi yang dapat bergerak otomatis yang berupa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengumpulan data pada penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 21 mei 2010 di SMA N 1 Karanganom kelas X, kelas yang digunakan sebanyak 2 kelas dari 8 kelas

Pabrik sodium tetra silikat dari sodium karbonat dan pasir silika dengan kapasitas produksi 18.000 ton per tahun direncanakan beroperasi selama 330 hari per tahun. Pabrik

Data Kelompok Siswa Kelas XI Linatas Minat Tindakan IV... Data Hasil Observasi

Based on this concern, this qualitative study was aimed to explore the moral values of traditional folklores and to integrate them in the teaching English for young

[r]

To help underpin a strategy of upward trajectory, occupational and professional groups attempt to exploit opportunities for exclusionary closure; see, for example, Richardson (1997)

[r]

It is proven by the data gained from the interview and direct observation in this research (p.90) that students are motivated to learn English when they are using