i
HUBUNGAN ANTARA REINFORCEMENT DENGAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR
SEGUGUS II KECAMATAN NANGGULAN KABUPATEN KULON PROGO TAHUN AJARAN 2015/2016
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Reny Dwi Wahyuni NIM 12108241093
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
v MOTTO
Alloh SWT akan memberikan yang terbaik untuk setiap hamba-Nya
(penulis)
“Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan”
(QS. Al-Insyirah: 6)
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kan kau dustakan?”
vi
PERSEMBAHAN
Dengan mengharap ridho Allah SWT, Tugas Akhir Skripsi ini penulis
persembahkan untuk:
1. Orang tua dan keluarga besar atas doa dan dukungannya sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
2. Teman-teman yang selalu memotivasi dan mendoakan sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
vii
HUBUNGAN ANTARA REINFORCEMENT DENGAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR
SEGUGUS II KECAMATAN NANGGULAN KABUPATEN KULON PROGO TAHUN AJARAN 2015/2016
Oleh
Reny Dwi Wahyuni NIM. 12108241093
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat reinforcement, tingkat motivasi belajar matematika, dan hubungan antara reinforcement dengan motivasi belajar matematika siswa kelas V SD segugus II Kecamatan Nanggulan Kabupaten Kulon Progo tahun ajaran 2015/2016.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian korelasi dengan menggunakan metode kuantitatif. Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas V SD segugus II Kecamatan Nanggulan Kabupaten Kulon Progo yang berjumlah 86 siswa. Pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling dengan jumlah sampel sebanyak 71 siswa. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah angket. Teknik analisis menggunakan korelasi Pearson Product Moment.
Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: (1) tingkat reinforcement
siswa kelas V SD segugus II Kecamatan Nanggulan Kabupaten Kulon Progo tahun ajaran 2015/2016 sebagian besar berada pada kategori sedang dengan persentase 66,20%, (2) tingkat motivasi belajar matematika siswa kelas V SD segugus II Kecamatan Nanggulan Kabupaten Kulon Progo tahun ajaran 2015/2016 sebagian besar berada pada kategori sedang dengan persentase 63,38%, (3) terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara reinforcement
dengan motivasi belajar matematika siswa kelas V SD segugus II Kecamatan Nanggulan Kabupaten Kulon Progo tahun ajaran 2015/2016, yang dibuktikan dengan hasil uji korelasi yaitu nilai signifikansi hasil analisis SPSS 0,000 lebih kecil dari nilai taraf signifikansi 0,05 (0,000 < 0,05) pada taraf signifikansi 5%.
viii
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, yang telah
melimpahkan segala rahmat dan nikmat-Nya sehingga pada kesempatan ini
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan antara
Reinforcement dengan Motivasi Belajar Matematika Siswa Kelas V Sekolah
Dasar Segugus II Kecamatan Nanggulan Kabupaten Kulon Progo Tahun Ajaran
2015/2016”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi
tingkat sarjana pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik atas kerjasama, bimbingan, dan bantuaan dari semua pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan
untuk menyelesaikan studi pada program studi S1 PGSD FIP Universitas
Negeri Yogyakarta.
2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah
memberikan izin penelitian guna penyusunan Tugas Akhir Skripsi.
3. Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang
telah memberikan izin penelitian guna penyusunan Tugas Akhir Skripsi.
4. Ketua Jurusan PSD (Pendidikan Sekolah Dasar) yang telah membantu
x DAFTAR ISI
hal
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...xv
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Pembatasan Masalah ... 8
D. Perumusan Masalah ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 9
F. Manfaat Penelitian ... 10
BAB II. KAJIAN PUSTAKA A. Kajian tentang Reinforcement ... 11
1. Pengertian Reinforcement ... 11
2. Tujuan Reinforcement ... 13
3. Prinsip Reinforcement ... 15
4. Komponen Reinforcement ... 17
B. Kajian tentang Motivasi Belajar ... 19
1. Pengertian Motivasi Belajar ... 19
2. Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar ... 23
xi
C. Pembelajaran Matematika ... 27
D. Siswa Sekolah Dasar ... 31
E. Penelitian yang Relevan ... 36
F. Kerangka Berpikir ... 37
G. Hipotesis Penelitian ... 38
BAB III METODE PENELITIAN A. Populasi dan Sampel Penelitian ... 39
1. Populasi ... 39
2. Sampel ... 40
B. Setting Penelitian ... 40
1. Tempat Penelitian... 40
2. Waktu Penelitian ... 41
C. Metode Penelitian... 41
D. Variabel Penelitian ... 41
E. Teknik Pengumpulan Data ... 42
F. Definisi Operasional Variabel ... 44
1. Reinforcement ... 44
2. Motivasi Belajar ... 44
G. Instrumen Penelitian... 45
1. Pengembangan Instrumen ... 45
a. Instrumen Reinforcement ... 45
b. Instrumen Motivasi Belajar ... 46
2. Penyusunan dan Penyuntingan Item ... 47
3. Penyekoran Instrumen ... 47
xii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ... 61 1. Tingkat Reinforcement ... 61 2. Tingkat Motivasi Belajar ... 67 3. Hubungan antara Reinforcement dengan Motivasi Belajar Matematika... 72 B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 75
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
xiii
DAFTAR TABEL
hal Tabel 1. Data persebaran siswa kelas V SD Segugus II Kecamatan Nanggulan 39
Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen Variabel Reinforcement ... 46
Tebel 3. Kisi-kisi Instrumen Variabel Motivasi Belajar ... 47
Tabel 4. Hasil Uji Validitas untuk Instrumen Reinforcement ... 50
Tebel 5. Kisi-kisi Instrumen Reinforcement Setelah Divalidasi ... 51
Tebel 6. Hasil Uji Validitas untuk Instrumen Motivasi Belajar... 52
Tebel 7. Kisi-kisi Instrumen Motivasi Belajar Setelah Divalidasi ... 53
Tebel 8. Indeks Koefisien Reliabilitas ... 55
Tabel 9. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Reinforcement ... 55
Tabel 10. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Motivasi Belajar ... 55
Tabel 11. Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai r ... 59
Tabel 12. Hasil Analisis Deskriptif Variabel Reinforcement ... 61
Tabel 13. Distribusi Frekuensi Skor Reinforcement ... 62
Tabel 14. Distribusi Frekuensi Tingkat Reinforcement ... 64
Tabel 15. Skor Perolehan Indikator Angket Reinforcement ... 65
Tabel 16. Hasil Analisis Deskriptif Variabel Motivasi Belajar Matematika ... 67
Tabel 17. Distribusi Frekuensi Skor Motivasi Belajar Matematika ... 68
Tabel 18. Distribusi Frekuensi Tingkat Motivasi Belajar Matematika ... 70
Tabel 19. Skor Perolehan Angket Motivasi Belajar Matematika ... 71
Tabel 20. Hasil Uji Normalitas (Kolmogorov Smirnov) ... 73
Tabel 21. Rangkuman Hasil Uji Linearitas ... 73
Tabel 22. Hasil Uji Korelasi Variabel Reinforcement dengan Motivasi Belajar Matematika ... 74
Tabel 23. Data Uji Coba Kuesioner Reinforcement ... 102
Tabel 24. Data Uji Coba Kuesioner Motivasi Belajar ... 104
Tabel 25. Data Hasil Penelitian Angket Reinforcement... 130
Tabel 26. Data Hasil Penelitian Angket Motivasi Belajar ... 135
xiv
DAFTAR GAMBAR
hal Gambar 1. Faktor yang Mempengaruhi Belajar ... 24 Gambar 2. Hubungan antara Reinforcement dengan Motivasi Belajar
xv
DAFTAR LAMPIRAN
hal
Lampiran 1. Surat Keterangan Validasi Expert Judgment ... 84
Lampiran 2. Instrumen Uji Coba Sebelum Penelitian ... 87
Lampiran 3. Data Uji Coba Instrumen Penelitian ... 101
Lampiran 4. Uji Reabilitas ... 109
Lampiran 5. Instrumen Penelitian Setelah Uji Coba ... 114
Lampiran 6. Data Hasil Penelitian ... 129
Lampiran 7. Uji Normalitas, Uji Linearitas, dan Uji Korelasi ... 144
Lampiran 8. Kategori Data Hasil Penelitian ... 148
Lampiran 9. Dokumentasi Pelaksanaan Penelitian ... 151
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu hal yang penting di dalam kehidupan.
Salah satu komponen utama dalam pendidikan adalah peserta didik. Peserta
didik memiliki peran penting dalam keberhasilan pembelajaran. Dalam proses
pembelajaran terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan
peserta didik, salah satunya adalah faktor motivasi belajar peserta didik.
Hamzah B. Uno (2010: 23) menegaskan bahwa motivasi belajar mempunyai
peranan besar dalam keberhasilan seseorang dalam belajar.
Motivasi yang berkaitan dengan pembelajaran adalah motivasi belajar.
Oemar Hamalik (2011: 105) telah mengembangkan teori tentang motivasi
yang berdasarkan perbuatan belajar. Perbuatan belajar akan berhasil bila
berdasarkan motivasi pada diri siswa. siswa dapat dipaksa untuk belajar tetapi
tidak dapat dipaksa untuk menghayatinya. Disinilah peran guru untuk
berupaya agar siswa mau belajar dan memiliki keinginan belajar
terus-menerus.
Sardiman (2007: 2) mengatakan bahwa interaksi antara pengajar dengan
warga belajar, diharapkan merupakan proses motivasi. Maksudnya, bagaimana
dalam proses interaksi itu pihak pengajar mampu memberikan dan
mengembangkan motivasi serta reinforcement kepada pihak warga
belajar/siswa/subjek didik, agar dapat melakukan kegiatan belajar secara
2
Reinforcement (penguatan) yang lazim digunakan dalam proses
pembelajaran berupa penguatan positif sehingga reinforcement dapat
memberikan motivasi pada siswa untuk meningkatkan perilaku positif
tersebut. Salah satu bentuk tingkah laku siswa yang positif adalah belajar.
Namun belum diketahui secara ilmiah apakah pemberian reinforcement
berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa kelas V di SD segugus II
Kecamatan Nanggulan Kabupaten Kulon Progo.
Pada dasarnya reinforcement dibutuhkan oleh setiap individu, termasuk
peserta didik di Sekolah Dasar. Reinforcement diperlukan peserta didik untuk
meningkatkan motivasi belajarnya. Ketika peserta didik mendapatkan
reinforcement maka peserta didik akan cenderung bersemangat dan
mempunyai motivasi untuk terus belajar. Siswa yang memiliki motivasi
belajar yang tinggi akan cenderung menyukai mata pelajaran apapun. Namun
sebaliknya, siswa yang memiliki motivasi belajar rendah cenderung kurang
berminat untuk belajar mata pelajaran apapun. Jika siswa tersebut dibiarkan
begitu saja maka siswa tidak akan mengalami peningkatan, bahkan dapat
mengalami kegagalan terus-menerus dikarenakan kurangnya dorongan untuk
belajar. Oleh karena itu reinforcement turut andil dalam meningkatkan
motivasi belajar terhadap suatu mata pelajaran.
Salah satu mata pelajaran yang perlu dikuasai siswa adalah matematika.
Matematika merupakan dasar ilmu untuk mempelajarai ilmu-ilmu lainnya dan
sehari-3
hari. Oleh karena itu penerimaan matematika perlu ditanamkan dan dipelajari
dengan benar sejak dini.
Berdasarkan dari hasil penelitian di Indonesia Moch. Masykur Ag dan Abdul Halim Fathani (2007: 34) menyatakan bahwa tingkat penguasaan peserta didik dalam matematika pada semua jenjang pendidikan masih sekitar 34%. Ini sangat memprihatinkan. Anggapan masyarakat khususnya di kalangan pelajar, matematika masih merupakan mata pelajaran sulit, membingungkan bahkan sangat ditakuti oleh sebagian besar pelajar.
Matematika merupakan mata pelajaran yang dikembangkan secara
nasional oleh pusat. Perlu kita ingat bahwa matematika merupakan salah satu
mata pelajaran yang penting dimana matematika diujikan dalam Ujian Akhir
Nasional bagi siswa Sekolah Dasar. Namun dalam kenyataannya, penguasaan
matematika di jenjang sekolah selalu menjadi permasalahan. Hal ini terbukti
dari hasil Ujian Nasional (UN) yang diselenggarakan memperlihatkan
rendahnya persentase kelulusan siswa dalam ujian tersebut, baik yang
diselenggarakan di tingkat pusat maupun di daerah. Pendapat Ahmad Susanto,
(2013: 185) menyebutkan bahwa penguasaan matematika selalu menjadi
permasalahan besar. Hasil ujian nasional (UN) yang diselenggarakan
memperlihatkan rendahnya persentase kelulusan siswa dalam ujian tersebut,
baik yang diselanggarakan di tingkat pusat maupun di daerah. Pada umumnya,
yang menjadi faktor penyebab ketidaklulusan siswa dalam ujian nasional ini
adalah rendahnya kemampuan siswa dalam materi pelajaran matematika.
Hasil-hasil penelitian masih menujukkan bahwa proses pembelajaran
matematika di Sekolah Dasar masih belum menunjukkan hasil yang
4
UASBN) di mana rata-rata hasil belajar matematika untuk siswa Sekolah
Dasar berkisar antara nilai 5 dan 6, bahkan lebih kecil dari angka ini, Ahmad
Susanto (2013: 191).
Oleh karena itu, siswa diharapkan dapat menguasai mata pelajaran
tersebut untuk dapat memperbaiki hal-hal demikian. Namun yang ditemui saat
ini, pentingnya mata pelajaran matematika tidak diikuti dengan ketertarikan
siswa untuk mempelajarinya. Tidak sedikit siswa mempunyai keyakinan
bahwa mata pelajaran matematika adalah pelajaran yang sulit. Kesulitan yang
dihadapi oleh siswa jika diikuti oleh reinforcement yang rendah maka akan
mengakibatkan rendahnya motivasi belajar siswa terhadap mata pelajaran
matematika.
Salah satu tujuan dilakukannya penguatan menurut Novan Ardy Wiyani
(2013: 36) adalah memotivasi, membangkitkan, dan meningkatkan motivasi
belajar sehingga memudahkan peserta didik dalam belajar. Dengan demikian
diharapkan motivasi siswa terutama motivasi belajar siswa dapat meningkat
dengan adanya penguatan (reinforcement) dari guru. Reinforcement
merupakan cara untuk membesarkan hati siswa untuk lebih berpartisipasi aktif
dalam kegiatan pembelajaran. Ketika siswa mendapat reinforcement, maka
siswa akan merasa mendapat penghargaan atas usahanya. Sehingga apabila
siswa merasa dihargai, maka siswa akan termotivasi untuk melakukan kembali
perbuatan tersebut. Dengan kata lain, reinforcement dapat membuat siswa
lebih aktif berpartisipasi dalam pembelajaran sehingga lebih termotivasi untuk
5
Namun demikian tidak semua siswa di Sekolah Dasar mendapatkan
reinforcement yang optimal dari guru. Banyak siswa yang tidak mendapatkan
reinforcement sehingga siswa kurang termotivasi untuk belajar dan merasa
bahwa mata pelajaran yang dipelajari adalah mata pelajaran yang sulit. Dari
kesulitan yang siswa alami akan membuat siswa tidak menyukai dan tidak
termotivasi untuk belajar mata pelajaran tersebut. Salah satu mata pelajaran
yang tidak disukai siswa adalah matematika. Kurangnya motivasi dalam
belajar matematika juga didukung dari hasil observasi, angket, dan wawancara
di empat sekolah yang merupakan SD anggota gugus II Kecamatan
Nanggulan, pada tanggal 26, 28, 30 Oktober dan 2, 4 November 2015.
Beberapa masalah pada mata pelajaran matematika khususnya terkait
dengan proses belajar siswa diantaranya yaitu masalah pertama adalah mata
pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang paling tidak disukai dan
paling ditakuti oleh siswa. Berdasarkan angket dan wawancara dengan siswa,
68,6% siswa menganggap matematika sebagai pelajaran yang sulit, sehingga
mereka tidak menyukai pelajaran matematika.
Masalah kedua, nilai Ulangan Tengah Semester (UTS) September 2015
kurang memuaskan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari guru kelas V
SD anggota gugus II Nanggulan, dapat diketahui bahwa hasil UTS semester
gasal tahun 2015 menunjukkan bahwa matematika menempati urutan terendah
dalam perolehan nilai apabila dibandingkan dengan mata pelajaran lain,
dengan rata-rata nilai 72,1. Sedangkan rata-rata nilai PKn 77,09, rata-rata nilai
rata-6
rata nilai Bahasa Inggris 79,4, rata nilai Bahasa Indonesia 79,00, dan
rata-rata nilai IPA 75,00.
Masalah ketiga, siswa cenderung kurang termotivasi saat belajar
matematika. Hal ini terlihat ketika pembelajaran matematika siswa kurang
memperhatikan dan kurang konsentrasi. Nampak terlihat ketika pembelajaran
matematika sebagian besar siswa kurang memperhatikan pembelajaran
matematika. Beberapa siswa ramai dengan temannya, menyanyi, berbicara
dengan teman sebangku, bermain tali, dan bermain bolpoin.
Masalah keempat, penggunaan reinforcement dalam pembelajaran masih
kurang optimal. Guru cenderung memberikan reinforcement kepada siswa
secara umum sehingga siswa kurang menyadari respon yang diberikan guru.
Selama pelajaran berlangsung, guru hanya memberikan reinforcement
sesekali kepada salah satu siswa yang mengerjakan soal matematika dengan
benar. Padahal menurut pendapat Marno & M. Idris (Barnawi & Mohammad
Arifin (2012: 208) yang mengatakan bahwa reinforcement diberikan kepada
siswa dengan tujuan meningkatkan perhatian siswa dalam proses belajar;
membangkitkan, memelihara, dan meningkatkan motivasi belajar siswa;
mengarahkan pengembangan berpikir siswa kearah berpikir divergen;
mengatur dan mengembangkan diri anak dalam proses belajar; dan
mengendalikan serta memodifikasi tingkah laku siswa yang kurang positif dan
mendorong munculnya tingkah laku yang produktif. Dengan pemberian
reinforcement siswa akan merasa mendapatkan penghargaan atas usahanya
7
Berdasarkan beberapa hal di atas, reinforcement yang diberikan oleh
guru belum maksimal dan masih bersifat umum sehingga peneliti ingin
meneliti terkait dengan reinforcement yang diberikan oleh guru kepada siswa
dari sudut pandang siswa dan terkait dengan motivasi belajar siswa itu sendiri.
Selain itu berdasarkan hasil penelitian Herning Tyas Sarwastuti (2011: 86)
membuktikan bahwa reinforcement berpengaruh positif dan signifikan
terhadap motivasi berprestasi siswa pada mata pelajaran matematika SD
Negeri Danurejan tahun ajaran 2010/2011 yang ditunjukkan dengan nilai
korelasi sebesar 0,332, oleh karena itu peneliti ingin meneliti hal tersebut di
SD segugus II Kecamatan Nanggulan Kabupaten Kulon Progo. Peneliti ingin
mengetahui apakah terdapat hubungan yang positif antara reinforcement
dengan motivasi belajar matematika siswa. Dengan demikian, judul penelitian
ini adalah “Hubungan antara Reinforcement dengan Motivasi Belajar
Matematika Siswa Kelas V Sekolah Dasar Segugus II Kecamatan Nanggulan
Kabupaten Kulon Progo Tahun Ajaran 2015/2016”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, dapat
diidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Hasil observasi, angket siswa, dan wawancara dengan siswa, menunjukkan
matematika sebagai mata pelajaran yang tidak disukai pada siswa kelas V
8
2. Rata-rata nilai Ulangan Tengah Semester (UTS) semester gasal mata
pelajaran matematika menempati urutan terendah, dibandingkan dengan
mata pelajaran lainnya.
3. Siswa cenderung kurang termotivasi saat pembelajaran matematika.
4. Reinforcement yang diberikan oleh guru belum maksimal dan masih
bersifat umum.
5. Reinforcement dengan motivasi belajar matematika berhubungan positif
namun belum pernah diteliti di SD segugus II Kecamatan Nanggulan,
Kabupaten Kulon Progo.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti hanya membatasi pada
masalah reinforcement dan motivasi belajar matematika siswa kelas V SD
segugus II Kecamatan Nanggulan Kabupaten Kulon Progo tahun ajaran
2015/2016. Pada penelitian ini reinforcement yang dimaksud adalah
reinforcement yang bersifat positif yang lazim digunakan dalam proses
pembelajaran.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah pada
9
1. Berapa besar tingkat reinforcement pada pembelajaran matematika kelas V
Sekolah Dasar Segugus II Kecamatan Nanggulan Tahun Ajaran
2015/2016?
2. Berapa besar tingkat motivasi belajar matematika siswa kelas V Sekolah
Dasar Segugus II Kecamatan Nanggulan Tahun Ajaran 2015/2016?
3. Apakah reinforcement memiliki hubungan yang positif dengan motivasi
belajar matematika pada siswa kelas V Sekolah Dasar Segugus II
Kecamatan Nanggulan Tahun Ajaran 2015/2016?
E. Tujuan Penelitian
Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Untuk mengetahui berapa besar tingkat reinforcement pada pembelajaran
matematika kelas V Sekolah Dasar Segugus II Kecamatan Nanggulan
Tahun Ajaran 2015/2016.
2. Untuk mengetahui berapa besar tingkat motivasi belajar matematika siswa
kelas V Sekolah Dasar Segugus II Kecamatan Nanggulan Tahun Ajaran
2015/2016.
3. Untuk mengetahui positif atau negatif hubungan antara reinforcement
dengan motivasi belajar matematika pada siswa kelas V Sekolah Dasar
10 F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu manfaat yang bersifat teoritis
dan manfaat yang bersifat praktis.
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pengembang
pendidikan untuk mengembangkan suatu teori mengenai hubungan
reinforcement terhadap motivasi belajar matematika.
2. Manfaat praktis
a. Bagi Sekolah
Memberikan informasi kepada guru, kepala sekolah, dan wali murid
mengenai hubungan antara reinforcement dengan motivasi belajar
matematika di Sekolah Dasar sehingga dapat menjadi masukan guru
dalam pelaksanaan pendidikan dan pemberian reinforcement untuk
meningkatkan motivasi belajar matematika siswa Sekolah Dasar.
b. Bagi Siswa
Memberikan informasi siswa Sekolah Dasar mengenai hubungan
antara reinforcement dengan motivasi belajar matematika sehingga
siswa dapat termotivasi dalam belajar matematika dan menyadari
bahwa matematika merupakan bekal penting di dalam kehidupan siswa
11 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian tentang Reinforcement 1. Pengertian Reinforcement
Buchari Alma, dkk., (2010: 40) mengatakan bahwa reinforcement
adalah respon positif terhadap suatu tingkah laku tertentu dari siswa yang
memungkinkan tingkah laku tersebut timbul kembali. Moh. Uzer Usman
(2013: 80-81) menyatakan bahwa:
Penguatan (reinforcement) adalah segala bentuk respons, apakah bersifat verbal ataupun nonverbal, yang merupakan bagian dari modifikasi tingkah laku guru terhadap tingkah laku siswa, yang bertujuan untuk memberikan informasi atau umpan balik (feedback)
bagi si penerima (siswa) atas perbuatannya sebagai suatu tindak dorongan ataupun koreksi. Atau, penguatan adalah respons terhadap suatu tingkah laku yang dapat meningkatkan kemungkinan berulangnya kembali tingkah laku tersebut. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk mengganjar atau membesarkan hati siswa agar mereka lebih giat berpartisipasi dalam interaksi belajar-mengajar.
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Marno dan M. Idris (2014:
130) yang menyatakan bahwa penguatan adalah respons positif yang
dilakukan guru atas perilaku positif yang dicapai anak dalam proses
belajarnya, dengan tujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan
perilaku tersebut. Marno dan M. Idris (2014: 130) menyatakan pula bahwa
penguatan dapat diartikan pula sebagai respons terhadap suatu tingkah
laku yang dapat meningkatkan kemungkinan berulangnya kembali tingkah
laku tersebut.
Penguatan merupakan bentuk respons guru dengan menggunakan
12
didik (Novan Ardy Wiyani, 2013: 35-36). Barnawi & Mohammad Arifin
(2012: 208) berpendapat bahwa penguatan ialah respons positif dalam
pembelajaran yang diberikan guru terhadap perilaku peserta didik yang
positif dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan perilaku
tersebut. Dapat diartikan pula penguatan ialah respons terhadap suatu
tingkah laku yang sengaja diberikan agar tingkah laku tersebut dapat
terulang kembali.
J.J. Hasibuan & Moedjiono (2009: 58) mengartikan reinforcement
sebagai penguatan dengan tingkah laku guru dalam merespons secara
positif suatu tingkah laku tertentu siswa yang memungkinkan tingkah laku
tersebut timbul kembali. Sejalan dengan Saidiman (Hamzah B. Uno, 2006:
168) yang menyatakan bahwa memberi penguatan diartikan dengan
tingkah laku dalam merespons secara postif suatu tingkah laku tertentu
siswa yang memungkinkan tingkah laku tersebut timbul kembali.
Hamzah B. Uno (2006: 168) berpendapat bahwa keterampilan
memberikan penguatan merupakan keterampilan yang arahnya untuk
memberikan dorongan, tanggapan, atau hadiah bagi siswa agar dalam
mengikuti pelajaran merasa dihormati dan diperhatikan. Penghargaan
mempunyai pengaruh positif dalam kehidupan manusia sehari-hari, yaitu
mendorong seseorang memperbaiki tigkah laku serta meningkatkan
kegiatannya atau usahanya.
Berdasarkan paparan di atas dapat dikaji bahwa reinforcement atau
13
dilakukan siswa dalam proses pembelajaran sehingga memunculkan
kembali perilaku tersebut. Dengan demikian siswa merasa diakui dan
dihargai sehingga mendorong siswa kembali melakukan perilaku tersebut.
2. Tujuan Reinforcement
J.J. Hasibuan & Moedjiono (2009: 58) menyatakan tujuan dari
pemberian penguatan, yaitu:
a. Meningkatkan perhatian siswa;
b. Melancarkan atau memudahkan proses belajar; c. Membangkitkan dan mempertahankan motivasi;
d. Mengontrol atau mengubah sikap yang mengganggu kearah tingkah laku belajar yang produktif;
e. Mengembangkan dan mengatur diri sendiri dalam belajar; f. Mengarahkan kepada cara berpikir yang baik/divergen dan
inisiatif pribadi.
Menurut Moh. Uzer Usman (2013: 81) penguatan mempunyai
pengaruh berupa sikap positif terhadap proses belajar siswa dan bertujuan
meningkatkan perhatian siswa terhadap pelajaran, merangsang dan
meningkatkan motivasi belajar, serta meningkatkan kegiatan belajar dan
membina tingkah laku siswa yang produktif.
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Marno & M. Idris (2014:
130-131), tujuan menggunakan penguatan adalah sebagai berikut.
a. Meningkatkan perhatian siswa dalam proses belajar;
b. Membangkitkan, memelihara, dan meningkatkan motivasi belajar siswa;
c. Mengarahkan pengembangan berpikir siswa kearah berpikir divergen;
14
e. Mengendalikan serta memodifikasi tingkah laku siswa yang kurang positif serta mendorong munculnya tingkah laku yang produktif.
Menurut Saidiman (Hamzah B. Uno, 2006: 168) keterampilan memberikan penguatan bertujuan untuk: (a) meningkatkan perhatian siswa, (b) memperlancar atau memudahkan proses belajar, (c) membangkitkan dan mempertahankan motivasi, (d) mengontrol atau mengubah sikap yang mengganggu kearah tingkah laku bagi yang produktif, (e) mengembangkan dan mengatur diri sendiri dalam belajar, (f) mengarahkan pada cara berpikir yang baik/divergen dan inisiatif pribadi.
Tujuan penggunaan keterampilan memberi penguatan di dalam
kelas menurut Syaiful Bahri Djamarah (2010: 118) adalah untuk:
a. Meningkatkan perhatian siswa dan membantu siswa belajar bila pemberian penguatan digunakan secara selektif.
b. Memberi motivasi kepada siswa.
c. Dipakai untuk mengontrol atau mengubah tingkah laku siswa yang mengganggu, dan meningkatkan cara belajar yang produktif.
d. Mengembangkan kepercayaan diri siswa untuk mengatur diri sendiri dalam pengalaman belajar.
e. Mengarahkan terhadap pengembangan berpikir yang divergen (berbeda) dan pengambilan inisiatif yang bebas.
Menurut Novan Ardy Wiyani (2013: 36), tujuan dilakukannya
penguatan adalah sebagai berikut.
a. Untuk memberi umpan balik (feedback) bagi peserta didik atas perilakunya sehingga dapat mengendalikan perilaku peserta didik dari yang semula negatif menjadi positif.
b. Meningkatkan dan memusatkan perhatian peserta didik terhadap materi pembelajaran yang sedang dibahas.
c. Memotivasi, membangkitkan, dan meningkatkan motivasi belajar sehingga memudahkan peserta didik dalam belajar. d. Memberikan ganjaran dan membesarkan hati peserta didik agar
mereka lebih aktif berpartisipasi dalam kegiatan belajar.
Berdasarkan paparan di atas dapat diuraikan bahwa tujuan dari
15
siswa agar lebih aktif dalam pembelajaran, mengarahkan belajar siswa,
dan mendorong munculnya tingkah laku yang positif.
3. Prinsip Reinforcement
Prinsip penggunaan menurut Buchari Alma (2010: 42) adalah (1)
Penuh kehangatan, antusias, dan jujur; (2) Hindari reinforcement negatif:
kritikan, hukuman; (3) Bervariasi. (4) Penuh arti bagi siswa. (5) Bersifat
pribadi. (6) Langsung/segera.
Menurut J.J. Hasibuan & Moedjiono (2009: 60), prinsip
penggunaan penguatan yaitu:
a. Penuh kehangatan dan keantusiasan.
b. Menghindari penggunaan respons negatif.
c. Bermakna bagi siswa.
d. Dapat bersifat pribadi atau kelompok.
Hal ini sejalan dengan prinsip penggunaan reinforcement yang
dikemukakan oleh Moh. Uzer Usman (2013: 82) yaitu: a) kehangatan dan
keantusiasan, b) kebermaknaan, dan c) menghindari penggunaan respons
yang negatif. Adapun jabaran masing-masing prinsip penggunaan
penguatan atau reinforcement adalah sebagai berikut.
a. Kehangatan dan keantusiasan
Sikap dan gaya guru, termasuk suara, mimik, dan gerak badan, akan
menunjukkan adanya kehangatan dan keantusiasan dalam memberikan
16
ikhlas dalam memberikan penguatan karena tidak disertai kehangatan
dan keantusiasan.
b. Kebermaknaan
Penguatan hendaknya diberikan sesuai dengan tingkah laku dan
penampilan siswa sehingga ia mengerti dan yakin bahwa ia patut diberi
penguatan. Dengan demikian penguatan itu bermakna baginya. Yang
jelas jangan sampai terjadi sebaliknya.
c. Menghindari penggunaan respons negatif
Walaupun teguran dan hukuman masih bisa digunakan, respons negatif
yang diberikan guru berupa komentar, bercanda menghina, ejekan
yang kasar perlu dihindari karena akan mematahkan semangat siswa
untuk mengembangkan dirinya. Misalnya, jika seorang siswa tidak
dapat memberikan jawaban yang diharapkan, guru jangan langsung
menyalahkannya, tetapi bisa melontarkan pertanyaan kepada siswa
lain.
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Syaiful Bahri Djamarah (2010:
123-124) yang menyatakan bahwa prinsip penggunaan penguatan kepada
siswa yaitu (a) hangat dan antusias; (b) hindari penggunaan penguatan
negatif; (c) penggunaan bervariasi; (d) bermakna. Marno dan M. Idris
(2014: 131-132) juga menyatakan bahwa prinsip penggunaan penguatan
adalah (a) kehangatan; (b) antusiasme; (c) bermakna; dan (d) menghindari
17
Berdasarkan paparan di atas dapat diuraikan bahwa prinsip
penggunaan penguatan (reinforcement) yaitu bersifat positif, kehangatan
dan keantusiasan, kebermaknaan, dan memotivasi.
4. Komponen Reinforcement
Novan Ardy Wiyani (2013: 36) menyatakan bahwa ada dua jenis
penguatan, yaitu penguatan verbal dan nonberbal. Penguatan verbal
berbentuk ucapan, baik dalam bentuk kata-kata, seperti ucapan betul,
bagus, hebat, bagus, dan lainnya serta dalam bentuk kalimat seperti
ucapan “Wah pekerjaanmu bagus sekali”.
Selain itu Novan Ardy Wiyani (2013: 36) lebih lanjut memaparkan
penguatan nonverbal berbentuk gerakan-gerakan fisik guru (gestural),
contohnya adalah sebagai berikut.
a. Penguatan dengan gerakan isyarat dari anggota tubuh seperti menganggukkan kepala, wajah ceria, wajah mendung, tersenyum, tertawa, kontak pandang mata, mengangkat ibu jari tangan, tepuk tangan, dan sebagainya.
b. Penguatan dengan sentuhan seperti memegang atau menepuk bahu, mengusap kepala, jabat tangan, dan sebagainya.
c. Penguatan dengan pendekatan kepada peserta didik, seperti berdiri di samping peserta didik, guru duduk di dekat peserta didik, dan lainnya.
d. Penguatan dengan hadiah.
Barnawi & Mohammad Arifin (2012: 209-210), berpendapat bahwa
dalam reinforcement atau penguatan terdapat 2 komponen yaitu
a. Penguatan verbal, yaitu tanggapan guru berupa kata-kata pujian, dukungan, dan pengakuan.
18
Menurut Wingkel (Hamzah B. Uno, 2006: 169-170) komponen
keterampilan pemberi penguatan ialah sebagai berikut:
a. Penguatan verbal, berupa kata-kata atau kalimat yang diucapkan guru.
b. Penguatan gestural, berupa mimik, gerakan wajah atau anggota badan yang dapat memberikan kesan kepada siswa.
c. Penguatan dengan cara mendekati, dengan cara mendekai siswa untuk menyatakan perhatian guru terhadap pekerjaan, tingkah laku, atau penampilan siswa.
d. Penguatan dengan sentuhan, dapat menyatakan penghargaan kepada siswa dengan menepuk pundak siswa, menjanat tangan siswa, atau mengangkat tangan siswa.
e. Penguatan dengan memberikan kegiatan yang menyenangkan. f. Penguatan berupa tanda atau benda, merupakan usaha guru
dalam menggunakan bermacam-macam simbol penguatan untuk menunjang tingkah laku siswa yang positif.
J.J. Hasibuan & Moedjiono (2009: 59) menyatakan beberapa
keterampilan memberi penguatan adalah (a) penguatan verbal, (b)
penguatan gestural, (c) penguatan dengan cara mendekati, (d) penguatan
dengan sentuhan, (e) penguatan dengan memberikan kegiatan yang
menyenangkan, (f) penguatan berupa tanda atau benda.
Sejalan dengan pendapat Syaiful Bahri Djamarah (2010: 120-122)
yang mengemukakan bahwa komponen pemberian penguatan yaitu (a)
penguatan verbal; (b) penguatan gestural; (c) penguatan kegiatan; (d)
penguatan mendekati; (e) penguatan sentuhan; dan (f) penguatan tanda.
Marno dan M. Idris (2014: 133-134) juga menyatakan bahwa komponen
keterampilan memberikan penguatan adalah (a) penguatan verbal; (b)
penguatan berupa mimik muka dan gerakan badan (gestural); (c)
19
(e) penguatan dengan kegiatan yang menyenangkan; dan (f) penguatan
berupa simbol atau benda.
Pemberian penguatan menurut Wingkel (Hamzah B. Uno, 2006:
169) bisa dalam bentuk sebagai berikut: (a) perhatian kepada guru, kawan,
atau objek diskusi; (b) tingkah laku belajar, membaca, pekerjaan di papan
tulis; (c) penyelesaian hasil pekerjaan (PR); (d) kualitas pekerjaan atau
tugas (kerapian, keindahan); (e) perbaikan/penyempurnaan tugas; (f)
tugas-tugas mandiri.
Pitadjeng (2006: 41) menyatakan bahwa ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan bagi anak didik, dan anak didik cenderung berusaha untuk mengulangi atau meninggalkan apa yang telah dicapainya itu. Guru yang memberikan pujian terhadap anak didik, akan semakin menguatkan konsep yang tertanam pada diri anak, dan merupakan hadiah bagi anak didik yang kelak akan meningkatkan dirinya dalam menguasai pelajaran.
Berdasarkan paparan di atas, peneliti sepakat dengan pendapat Wingkel
(Hamzah B. Uno, 2006: 169-170) yang menyatakan bahwa komponen
reinforcement yaitu penguatan secara verbal, gestural, mendekati,
sentuhan, memberi kegiatan menyenangkan, dan menggunakan tanda atau
benda.
B. Kajian tentang Motivasi Belajar 1. Pengertian Motivasi Belajar
Isbandi Rukmianto Adi (Hamzah B. Uno, 2010: 3) menyatakan
bahwa istilah motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai
kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu
20
101) motivasi adalah keadaan yang terdapat dalam diri seseorang yang
mendorongnya untuk melakukan aktivitas tertentu guna pencapaian suatu
tujuan.
Motivasi adalah kekuatan, baik dari dalam maupun dari luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Atau dengan kata lain, motivasi dapat diartikan sebagai dorongan mental terhadap perorangan atau orang-orang sebagai anggota masyarakat. Motivasi dapat diartikan juga sebagai proses untuk mencoba memengaruhi orang atau orang-orang yang dipimpinnya agar melakukan pekerjaan yang diinginkan, sesuai dengan tujuan tertentu yang telah ditetapkan lebih dahulu (Hamzah B. Uno, 2010: 1).
Sugihartono, dkk (2012: 20) mengartikan motivasi sebagai suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan perilaku tertentu dan yang memberi arah dan ketahanan pada tingkah laku tersebut. Sementara John W Santrock (Sumiati dan Asra, 2008: 30) menyatakan bahwa motivasi adalah proses yang memberi semangat (dorongan), arah dan kegigihan perilaku, artinya perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan bertahan lama.
Sejalan dengan Oemar Hamalik (2011: 50-51) yang menyatakan bahwa motivasi adalah dorongan buatan atau tindakan tertentu. Perbuatan belajar terjadi karena adanya motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan belajar. Dorongan itu dapat timbul dari dalam diri subjek yang belajar yang bersumber dari kebutuhan tertentu yang ingin mendapat pemuasan; atau dorongan yang timbul karena rangsangan dari luar sehingga subjek melakukan perbuatan belajar.
Belajar adalah proses perubahan tingkah perilaku atau pribadi
seseorang berdasarkan interaksi antara individu dan lingkungannya yang
dilakukan secara formal, informal, dan nonformal (Hamzah B. Uno, 2010:
23).
21
(stimulus), maka anaak akan mereaksi dengan respons. Hubungan stimulu-respons ini akan menimbulkan kebiasaan-kebiasaan otomatis pada belajar. Jadi pada dasarnya kelakuan anak adalah terdiri atas respons-respons tertentu terhadap stimulus-stimulus tertentu.
Slameto (Novan Ardy Wiyani, 2013: 17) mengartikan belajar
sebagai suatu proses usaha yang dilakukan oleh individu untuk
memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan
sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan
lingkungannya.
Hamzah B. Uno (2010: 15) menegaskan bahwa belajar adalah
pemerolehan pengalaman baru oleh seseorang dalam bentuk perubahan
perilaku yang relatif menetap, sebagai akibat adanya proses dalam bentuk
interaksi belajar terhadap suatu objek (pengetahuan), atau melalui suatu
penguatan (reinforcement) dalam bentuk pengalaman terhadap suatu objek
yang ada dalam lingkungan belajar.
Seseorang akan berhasil dalam belajar, kalau pada dirinya sendiri ada
keinginan untuk belajar. Inilah prinsip dan hukum pertama dalam kegiatan
pendidikan dan pengajaran. Keinginan atau dorongan untuk belajar inilah
yang disebut dengan motivasi, Sardiman (2007: 40). Motivasi belajar
merupakan suatu hal yang penting dalam proses pembelajaran. Seperti
halnya yang dikemukan Hamzah B. Uno (2010: 23) yang menyatakan
bahwa motivasi dan belajar merupakan hal yang saling memengaruhi.
Belajar adalah perubahan tingkah laku secara relatif permanen dan secara
22
practice) yang dilandasi tujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Oemar
Hamalik (2011: 106) mengatakan bahwa motivasi adalah perubahan energi
dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan
dan reaksi untuk mencapai tujuan.
Hamzah B. Uno (2010: 23) menegaskan bahwa hakikat motivasi
belajar adalah dorongan internal dan eksternal pada siswa-siswa yang
sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku, pada umumnya
dengan beberapa indikator atau unsur yang mendukung. Sumiati dan Asra
(2008: 59) berpendapat bahwa motivasi belajar adalah sesuatu yang
mendorong siswa untuk berperilaku yang langsung menyebabkan
munculnya perilaku dalam belajar. Siswa akan melakuakan suatu proses
belajar betapa pun beratnya jika ia mempunyai motivasi tinggi.
Menurut Raymond J. Wlodkowski dan Judith H.Jaynes, (2004: 11)
menyatakan bahwa motivasi belajar adalah suatu nilai dan suatu dorongan
untuk belajar. Motivasi belajar adalah segala sesuatu yang dapat
memotivasi peserta didik atau individu untuk belajar (Ridwan Abdullah
Sani, 2014: 49). Sardiman (2007: 75) mengemukakan bahwa motivasi
belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non-intelektual. Peranannya
yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan
semangat untuk belajar. Siswa yang memiliki motivasi kuat, akan
mempunyai banyak energi untuk melakukan kegiatan belajar.
23
belajar secara aktif, kreatif, efektif, inovatif, dan menyenangkan dalam rangka perubahan perilaku, baik dalam aspek kognitif, psikomoyorik, maupun psikomotor.
Berdasarkan paparan di atas dapat dikaji bahwa motivasi belajar
merupakan suatu kemauan atau kondisi yang menimbulkan perubahan
perilaku, baik dalam pengetahuan, sikap, maupun keterampilan.
2. Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Belajar
Oemar Hamalik (2011: 86) menyatakan bahwa motivasi dapat
bersumber dari dalam diri siswa sendiri berdasarkan kebutuhan, dorongan
dan kesadaran pada tujuan belajar. Motivasi ini disebut motivasi intrinsik.
Motivasi belajar dapat juga tumbuh berkat rangsangan dan tekanan atau
desakan dari luar, misalnya dengan hadiah, ganjaran, hukuman dan
pemberian harapan lainnya, yang disebut motivasi ekstrinsik.
Hamzah B. Uno (2010: 23) menyatakan bahwa motivasi belajar
dapat timbul karena faktor intrinsik, berupa hasrat dan keinginan berhasil
dan dorongan kebutuhan belajar, harapan akan cita-cita. Sedangkan faktor
ekstrinsiknya adalah adanya penghargaan, lingkungan belajar yang
kodusif, dan kegiatan belajar yang menarik. Tetapi harus diingat, kedua
faktor tersebut disebabkan oleh rangsangan tertentu, sehingga seseorang
berkeinginan untuk melakukan aktivitas belajar yang lebih giat dan
semangat.
Oemar Hamalik (2011: 51) mengatakan bahwa motivasi yang timbul
24
dengan motivasi yang disebabkan oleh rangsangan dari luar. Namun dalam
praktiknya, sering motivasi dari dalam itu tidak ada, atau belum timbul.
Keadaan ini memerlukan rangsangan dari luar sehingga timbul motivasi
belajar.
Terdapat 2 faktor yang mempengaruhi belajar yaitu faktor internal
dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri
individu yang sedang belajar, sedangkan faktor eksternal adalah faktor
yang ada di luar individu. (Sugihartono, dkk., 2012: 76)
Faktor yang mempengaruhi motivasi belajar dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 1. Faktor yang mempengaruhi belajar (Sugihartono, dkk., 2012: 76)
Faktor yang mempengaruhi belajar
Faktor Internal Faktor Eksternal
25
Motivasi belajar dapat timbul karena faktor intrinsik, berupa hasrat
dan keinginan berhasil dan dorongan kebutuhan belajar, harapan akan
cita-cita. Sedangkan faktor ekstrinsiknya adalah adanya penghargaan,
lingkungan belajar yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik.
Tetapi harus diingat, kedua faktor tersebut disebabkan oleh rangsangan
tertentu, sehingga seseorang berkeinginan untuk melakukan aktivitas
belajar yang lebih giat dan semangat.
Menurut Edward L. Thorndike dalam teori pembelajaran Thorndike
(Pitadjeng, 2006: 39) mengemukakan beberapa hukum belajar yang
dikenal dengan sebutan “Law of Effect” menurut hukum ini belajar akan
lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti
dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau kepuasan ini bisa
timbul sebagai akibat siswa mendapat pujian atau ganjaran lainnya.
Stimulus ini termasuk reinforcement. Setelah anak didik berhasil
melaksanakan tugasnya dengan tepat dan cepat, pada diri anak muncul
kepuasan sebagai akibat sukses yang diraihnya.
Berdasarkan pendapat di atas, peneliti setuju dengan pendapat
Sugihartono yang menyebutkan bahwa terdapat 2 faktor yang
mempengaruhi belajar yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar,
26
3. Karakteristik Siswa yang Memiliki Motivasi Belajar
Hamzah B. Uno (2010: 10) mengatakan bahwa motivasi adalah
dorongan internal dan eksternal dalam diri seseorang untuk mengadakan
perubahan tingkah laku, yang mempunyai indikator sebagai berikut: (1)
adanya hasrat dan keinginan untuk melakukan kegiatan, (2) adanya
dorongan dan kebutuhan melakukan kegiatan, (3) adanya harapan dan
cita-cita, (4) penghargaan dan penghormatan atas diri, (5) adanya lingkungan
yang baik, dan (6) adanya keinginan yang menarik. Sugihartono, dkk..
(2012: 78) mengatakan bahwa motivasi belajar yang tinggi tercermin dari
ketekunan yang tidak mudah patah untuk mencapai sukses meskipun
dihadang oleh berbagai kesuitan.
Sugihartono, dkk (2012: 78) menyatakan bahwa motivasi yang tinggi dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa. Motivasi yang tinggi dapat ditemukan dalam sifat perilaku siswa antara lain:
1) Adanya kualitas keterlibatan siswa dalam belajar yang sangat tinggi.
2) Adanya perasaan dan keterlibatan afektif siswa yang tinggi dalam belajar.
3) Adanya upaya siswa untuk senantiasa memelihara atau menjaga agar senantiasa memiliki motivasi belajar tinggi.
Salah satu unsur belajar sebagai proses yang dimodifikasi dari Traver
(Abdul Majid, 2013: 34) adalah peserta didik yang termotivasi. Aktivitas
belajar untuk mencapai tujuan belajar tidak akan terjadi apabila peserta
didik tidak termotivasi untuk belajar. Motivasi belajar itu akan lahir
manakala peserta didik merasakan bahwa apa yang disampaikan dalam
27
datang dari dalam diri peserta didik, bukan “dipaksakan” oleh pihak luar,
walaupun motivasi dari luar diperlukan.
Dalam penelitian ini, peneliti setuju dengan pendapat Hamzah B.
Uno (2010: 10) mengatakan bahwa motivasi adalah dorongan internal dan
eksternal dalam diri seseorang untuk mengadakan perubahan tingkah laku,
yang mempunyai indikator sebagai berikut: (1) adanya hasrat dan
keinginan untuk melakukan kegiatan, (2) adanya dorongan dan kebutuhan
melakukan kegiatan, (3) adanya harapan dan cita-cita, (4) penghargaan dan
penghormatan atas diri, (5) adanya lingkungan yang baik, dan (6) adanya
keinginan yang menarik.
C. Pembelajaran Matematika
Bidang studi matematika merupakan salah satu komponen pendidikan
dasar dalam bidang-bidang pengajaran. Bidang studi matematika ini
diperlukan untuk proses perhitungan dan proses berpikir yang sangat
dibutuhkan orang dalam menyelesaikan berbagai masalah, (Ahmad Susanto,
2013: 184). Menurut Depdiknas (Ahmad Susanto, 2013: 184), matematika
berasal dari bahasa Latin, manthanein atau mathema yang berarti “belajar
atau hal yang dipelajari”, sedang dalam bahasa Belanda, matematika disebut
wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran.
Ahmad Susanto (2013: 184-185) menyatakan bahwa matematika memiliki
bahasa dan aturan yang terdefinisi dengan baik, penalaran yang jelas dan
sistematis, dan struktur atau keterkaitan antarkonsep yang kuat. Unsur utama
28
asumsi (kebenaran konsistensi). Selain itu matematika juga bekerja melalui
penalaran induktif yang didasarkan fakta dan gejala yang muncul untuk
sampai pada perkiraan tertentu. Tetapi perkiraan ini, tetap harus dibuktikan
secara deduktif, dengan argumen yang konsisten.
Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat
meningkatkan kemampuan berpikir dan berargumentasi, memberikan
konstribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja,
serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, Ahmad Susanto (2013: 185).
Lebih lanjut Ahmad Susanto (2013: 183) menyatakan bahwa
matematika merupakan salah satu bidang studi yang ada pada semua jenjang
pendidikan, mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi.
Bahkan matematika diajarkan di taman kanak-kanak secara informal.
Matematika menurut Ruseffendi (Heruman, 2008: 1) adalah bahasa simbol;
ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif; ilmu tentang
pola keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak
didefinisikan, ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan
akhirnya ke dalil. Sedangkan hakikat matematika menurut Soedjati
(Heruman, 2008: 1), yaitu memiliki objek tujuan abstrak, bertumpu pada
kesempatan, dan pola pikir yang deduktif.
Heruman (2008: 2) menegaskan bahwa dalam matematika, setiap
konsep yang abstrak yang baru dipahami siswa perlu segera diberi penguatan,
29
melekat dalam pola pikir dan pola tindakannya. Untuk keperluan inilah, maka
diperlukan adanya pembelajaran melalui perbuatan dan pengertian, tidak
hanya sekedar hafalan atau mengingat fakta saja, kerana hal ini akan mudah
dilupakan siswa.
Lebih lanjut Heruman (2008: 3) memaparkan pembelajaran
matematika menekankan pada konsep-konsep matematika yakni:
a. Pemahaman Konsep Dasar (Pemahaman Konsep), yaitu pembelajaran suatu konsep baru metematika, ketika siswa belum pernah mempelajari konsep tersebut.
b. Pemahaman Konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep, yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika.
c. Pembinaan Keterampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep dan pemahaman konsep.
Ahmad Susanto, (2013: 186-187) menyatakan bahwa pembelajaran
matematika adalah suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru
untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan
kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan
penguasa yang baik terhadap materi matematika.
Menurut Wragg (Ahmad Susanto, 2013: 188), menyebutkan bahwa
proses pembelajaran matematika bukan sekedar transfer ilmu dari guru ke
siswa, melainkan suatu proses kegiatan, yaitu terjadi interaksi antara guru
dengan siswa serta antara siswa dengan siswa, dan antara siswa dengan
lingkungannya. Selain itu, juga dapat dipahami bahwa pembelajaran
matematika bukan hanya sebagai transfer of knowledge, yang mengandung
makna bahwa siswa merupakan objek dari belajar, namun hendaknya siswa
30
dikatakan belajar matematika apabila pada diri seseorang tersebut terjadi
suatu kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan tingkah laku yang
berkaitan dengan matematika. Heruman (2008: 5) menyatakan bahwa pada
pembelajaran matematika harus terjadi pula belajar secara “konstruktivisme”
Piaget. Dalam konstruktivisme, konstruksi pengetahuan dilakukan sendiri
oleh siswa, sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan menciptakan
iklim yang kondusif.
Ahmad Susanto (2013: 189) menyatakan secara umum tujuan
pembelajaran matematika di Sekolah Dasar adalah agar siswa mampu dan
terampil menggunakan matematika. Selain itu juga, dengan pembelajaran
matematika dapat memberikan tekanan penataran nalar dalam penerapan
matematika. Lebih lanjut Ahmad Susanto (2013: 183) memaparkan bahwa
tujuan pembelajaran matematika di sekolah dimaksudkan agar siswa tidak
hanya terampil menggunakan matematika, tetapi dapat memberikan bekal
kepada siswa dengan tekanan penataan nalar dalam penerapan matematika
dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat di mana ia tinggal.
Pitadjeng (2006: 70) berpendapat bahwa jika ada anak didik yang tidak
punya motif untuk belajar matematika, guru dapat memberikan motivasi pada
anak untuk belajar matematika, misalnya dengan hadiah bagi yang berhasil,
atau memberi poin untuk dapat menjawab hadiah, mendapat poin, mendapat
nilai baik, dapat mengungguli nilai teman, mendapat pujian dari guru atau
31
Berdasarkan pemaparan di atas dapat dikaji bahwa pembelajaran
matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang dapat
membangun penguasaan terhadap materi matematika sehingga meningkatkan
pengetahuan tentang matematika. Dalam pembelajaran matematika Sekolah
Dasar guru berperan sebagai fasilitator yang berperan memberi penguatan
kepada siswa sehingga siswa senantiasa termotivasi untuk terus belajar dan
dapat mengaplikasikan konsep matematika yang telah dipelajari dan dikuasai
dalam kehidupannya sehari-hari.
D. Siswa Sekolah Dasar
Ahmad Susanto (2013: 70) mengatakan bahwa anak yang berada di
Sekolah Dasar masih tergolong anak usia dini, terutama di kelas awal, adalah
anak yang berada pada rentangan usia dini. Masa usia dini merupakan masa
yang pendek tetapi merupakan masa yang sangat penting bagi kehidupan
seseorang. Oleh karena itu, pada masa ini seluruh potensi dimiliki anak perlu
didorong sehingga akan berkembang secara optimal. Siswa Sekolah Dasar
merupakan masa transisi dari sekolah taman kanak-kanak (TK) ke Sekolah
Dasar.
Lebih lanjut Ahmad Susanto (2013: 86) menyatakan bahwa masa usia
Sekolah Dasar adalah masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia
enam hingga kira-kira usia sebelas atau dua belas tahun. Sesuai dengan
karakteristik anak usia Sekolah Dasar yang suka bermain, memiliki rasa ingin
32
kelompok sebaya. Oleh karena itu, pembelajaran di sekolah dasar diusahakan
untuk terciptanya suasana yang kondusif dan menyenangkan.
Sejalan dengan Mgs. Nazarudin (2007: 45) yang menyatakan bahwa
dalam psikologi perkembangana usia peserta didik Sekolah Dasar (SD) berada
dalam periode „late childhood‟ (akhir masa kanak-kanak), yakni kira-kira
berada dalam rentan usia antara enam/tujuh samapai tiba saatnya individu
menjadi matang secara seksual sekitar usia tiga belas tahun. Sementara itu
perkembangan mental pada anak Sekolah Dasar, yang paling menonjol
meliputi perkembangan intelektual, bahasa, sosial, emosi, dan moral
keagamaan. Pada perkembangan intelektual, anak usia Sekolah Dasar (usia
6-12 tahun) anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual, atau
melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan intelektual atau
kemampuan kognitif, seperti membaca, menulis, dan menghitung, Ahmad
Susanto (2013: 72-73).
Menurut Syamsu Yusuf (Ahmad Susanto, 2013: 73), pada anak usia
6-12 tahun ini ditandai dengan tiga kemampuan atau kecakapan baru, yaitu
mengklasifikasikan (mengelompokkan), menyusun, dan mengasosiasikan
(menghubungkan atau menghitung) angka-angka atau bilangan. Kemampuan
yang berkaitan dengan perhitungan angka, seperti menambah, mengurangi,
mengalikan, dan membagi. Di samping itu, pada akhir masa ini anak sudah
memiliki kemampuan memecahkan masalah (problem solving) yang
33
Dengan mengacu pada teori penahapan perkembangan kognitif Piaget,
maka dapat diketahui bahwa anak usia Sekolah Dasar berada pada tahapan
operasional konkret (usia 7-11 tahun). Dimana pada rentang usia ini anak
mulai menunjukkan perilaku belajar yang berkembang, yang ditandai dengan
ciri-ciri berikut:
1. Anak mulai memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek
situasi ke aspek lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara
serentak.
2. Anak mulai berpikir secara operasional, yakni anak mampu memahami
aspek-aspek kumulatif materi, seperti: volume, jumlah, berat, luas,
panjang, dan pendek. Anak juga mampu memahami tentang
peristiwa-peristiwa yang konkret.
3. Anak dapat menggunakan cara berpikir operasional untuk mengklasifikasi
benda-benda yang bervariasi beserta tingkatannya.
4. Anak mampu membentuk dan menggunakan keterhubungan aturan-aturan,
prinsip ilmiah sederhana, dan menggunakan hubungan sebab akibat.
5. Anak mampu memahami konsep substansi, volume zat cair, panjang,
pendek, lebar, luas, sempit, ringan, dan berat.
Pada usia siswa Sekolah Dasar (7-8 tahun hingga 12-13 tahun), menurut
teori kognitif Piaget termasuk pada tahap operasional konkret. Berdasarkan
perkembangan kognitif ini, maka anak usia Sekolah Dasar pada umumnya
mengalami kesulitan dalam memahami matematika yang bersifat abstrak.
34
siswa Sekolah Dasar pada umumnya (Ahmad Susanto, 2013: 184). Menurut
Kardi (Pitadjeng, 2006: 9), sifat anak SD-MI dikelompokkan menjadi 2 yaitu,
pada umur 6-9 tahun (anak SD tingkat rendah) dan pada umur 9-12 tahun
(anak SD tingkat tinggi). Adapun penjabarannya sebagai berikut.
1. Sifat anak SD kelompok umur 6-9 tahun.
Anak kelompok umur ini sifat fisiknya sangat aktif sehingga mudah
merasa letih dan memerlukan istirahat. Koordinasi otot-otot kecil masih
belum sempurna, karena itu masih ada yang belum bisa memegang pensil
dengan baik. Untuk dapat menciptakan proses belajar matematika yang
efektif dan hidup guru harus dapat menentukan suasana yang tepat dengan
kondisi siswa. hindari anak menulis atau mengerjakan soal matematika
yang berkepanjangan karena dapat menyebabkan anak jemu, bosan, lelah
dan keterampilan menulisnya semakin menurun. Sifat sosial anak SD-MI
kelompok umur ini antara lain mereka mulai memilih kawan yang disukai,
mulai senang membentuk kelompok bermain yang anggotanya kecil,
sering bertengkar, dan kompetisi diantara mereka sangat menonjol. Sifat
emosional anak pada kelompok ini adalah mereka mulai menaruh
perhatian terhadap apa yang dirasakan temannya. Sedangkan sifat mental
anak kelompok usia ini adalah senang sekali belajar.
2. Sifat anak SD kelompok umur 9-12 tahun
Salah satu sifat fisik anak kelompok umur ini adalah senang dan sudah
dapat mempergunakan alat-alat dan benda-benda kecil. Sifat sosialnya
35
persaingan antara kelompok anak laki-laki dengan kelompok anak
perempuan dalam menyelesaikan tugas pekerjaan rumah maupun
kompetensi dalam permainan. Sedangkan sifat mental anak kelompok
umur ini adalah mereka mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, lebih
kritis, ada yang mempunyai rasa percaya diri yang berlebihan, dan ingin
lebih bebas.
Novan Ardy Wiyani (2013: 70) menyatakan bahwa peserta didik yang
berada pada periode Sekolah Dasar (SD) berada dalam periode late childhood
atau akhir masa kanal-kanak, yaitu kurang lebih berada dalam rentang usia
antara enam/tujuh tahun hingga tiba saatnya peserta didik menjadi individu
yang matang secara seksual sekitar usia tiga belas tahun. Periode SD ini
ditandai dengan kondisi yang sangat berpengaruh terhadap penyesuaian
pribadi serta penyesuaian sosial peserta didik SD.
Sigmund Freud (Novan Ardy Wiyani, 2013: 70) memberi nama fase
usia SD dengan fase latent, yang mana dorongan-dorongan pada diri peserta
didik seakan-akan mengendap (laten), tidak menggelora seperti masa-masa
sebelumnya dan sesudahnya. Masa SD ini dapat diperinci menjadi dua fase,
antara lain:
a. Masa kelas rendah SD, saat peserta didik berada pada kelas 1, 2, dan 3 di
usia sekitar 6 sampai dengan 9 tahun;
b. Masa kelas atas SD, saat peserta didik berada pada kelas 4, 5, dan 6 di
36
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat dikaji bahwa siswa
Sekolah Dasar merupakan anak usia dini usia 6-13 tahun yang sedang berada
pada tahap perkembangan belajar, baik secara kognitif, afektif, maupun
psikomotor. Pada masa-masa ini lingkungan di sekitar siswa sangat
berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Jika dalam pembelajaran tercipta
suasana yang menyenangkan bagi siswa tentunya siswa akan lebih menikmati
pembelajaran tersebut, namun begitu pula sebaliknya.
E. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan antara lain:
1. “Pengaruh Reinforcement dan Media Pengajaran Terhadap Motivasi
Berprestasi Siswa Pada Mata Pelajaran Matematika Kelas Tinggi Sekolah
Dasar Negeri Kecamatan Danurejan Yogyakarta” yang disusun oleh
Herning Tyas Sarwastuti pada tahun 2011. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa pemberian reinforcement dan penggunaan media
pengajaran dapat mempengaruhi motivasi berprestasi siswa secara
signifikan pada mata pelajaran matematika kelas tinggi SD Negeri
Kecamatan Danurejan tahun ajaran 2010/2011 dengan pembuktian
diperoleh harga F sebesar 26,880 dengan harga peluang ralat (p) sebesar
0,000, nilai korelasi R sebesar 0,413 dan R2 sebesar 0,170. Bobot sumbangan efektif kedua variabel secara bersama-sama sebesar 17%.
2. “Hubungan Kecerdasan Emosi dengan Semangat Belajar Siswa Kelas V
37
yang disusun oleh Rian Ika Maryani tahun 2011. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa terdapat hubunga positif dan signifikan anatara
kecerdasan emosi dengan semangat belajar siswa kelas V Sekolah Dasar
Segugus I Kecamatan Galur tahun ajaran 2010/1011 yang ditunjukkan
dengan r sebesar 0,766.
F. Kerangka Berpikir
Pembelajaran matematika Sekolah Dasar bertujuan agar siswa dapat
mengaplikasikan konsep matematika yang telah dipelajari dan dikuasai dalam
kehidupannya sehari-hari. Matematika merupakan ilmu pasti yang berkaitan
dengan penalaran. Maka dari itu, proses pembelajaran sangat memerlukan
penguatan dari guru sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
Dengan demikian siswa tidak merasa jenuh atau bosan dengan matematika.
Apabila siswa merasa senang dengan matematika maka siswa akan
termotivasi sehingga pembelajaran dapat berjalan secara maksimal, begitu
juga sebaliknya.
Motivasi belajar siswa dapat dibangun dengan penciptaan suasana
belajar yang menyenangkan. Dalam menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan dapat melalui pemberian penguatan (reinforcement) yang
tepat. Penguatan (reinforcement) merupakan tanggapan positif guru terhadap
perilaku yang dilakukan siswa sehingga memunculkan kembali perilaku
tersebut. Reinforcement dapat berupa penghargaan baik secara verbal maupun
38
hasilnya dihargai. Dengan demikian akan mendorong adanya motivasi belajar
dan memunculkan kembali perilaku siswa tersebut.
Berdasarkan paparan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk
menguji hubungan positif antara reinforcement dengan motivasi belajar
matematika. Penelitian ini merumuskan reinforcement dan motivasi belajar
matematika sebagai dua variabel yang berhubungan positif, sebagaimana
Sardiman (2007: 94) menyatakan bahwa salah satu bentuk dan cara untuk
menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah adalah dengan
pujian. Pujian ini adalah bentuk reinforcement yang positif dan sekaligus
merupakan motivasi yang baik. Hubungan antara reinforcement dengan
motivasi belajar matematika digambarkan di bawah ini.
Gambar 2. Hubungan antara Reinforcement dengan Motivasi Belajar Matematika
G. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas, maka
dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini yaitu “terdapat hubungan yang
positif antara reinforcement dengan motivasi belajar matematika siswa kelas
V Sekolah Dasar segugus II Kecamatan Nanggulan tahun ajaran 2015/2016”. Reinforcement