• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH WAKTU PENCUCIAN DAN VARIETAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH WAKTU PENCUCIAN DAN VARIETAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI

(Glycine max (L.) Merill) PADA BUDIDAYA JENUH AIR

DI LAHAN PASANG SURUT

YUNIARTI PUSPITASARI

A24062089

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

YUNIARTI PUSPITASARI. Pengaruh Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine Max (L.) Merill) pada Budidaya Jenuh Air di Lahan Pasang Surut. (Dibimbing Oleh MUNIF GHULAMAHDI).

Budidaya jenuh air (BJA) merupakan penanaman dengan memberikan air secara terus menerus melalui parit-parit di sekitar petak pertanaman dan membuat tinggi permukaan air di bawah permukaan tanah tetap sehingga lapisan tanah di bawah perakaran jenuh air. Pencucian lahan dapat mengurangi pengaruh negatif bahan beracun yang berbahaya bagi tanaman.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pencucian dan varietas terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai (Glycine max (L.) Merill) pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut. Penelitian ini dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, dari bulan April sampai Agustus 2010.

Percobaan ini menggunakan Rancangan Petak Terpisah dengan tiga ulangan. Perlakuan terdiri dari dua faktor yaitu waktu pencucian dan varietas. Waktu pencucian sebagai petak utama terdiri dari perlakuan tanpa pencucian, pencucian setiap 2, 4 dan 6 minggu. Varietas sebagai anak petak yang terdiri dari Varietas Tanggamus, Slamet, Willis dan Anjasmoro. Setiap petak utama dikelilingi saluran air yang berukuran lebar 30 cm dan dalam 25 cm, dengan demikan kondisi petakan akan selalu basah pada saat air irigasi diberikan. Pemberian air irigasi dilakukan sejak penanaman sampai panen dengan ketinggian muka air 15 cm di bawah permukaan tanah.

Hasil penelitian menunjukan bahwa varietas memberikan respon yang berbeda terhadap waktu pencucian. Varietas Tanggamus memperoleh hasil tertinggi pada pencucian setiap dua minggu yaitu sebesar 3.08 ton/ha, varietas Slamet dan Willis pada pencucian setiap empat minggu yaitu berturut-turut sebesar 2.4 ton/ha dan 2.71 ton/ha. Produktivitas tertinggi diperoleh varietas Anjasmoro dengan waktu pencucian setiap dua minggu sekali (4.06 ton/ha) namun tidak berbeda nyata dengan pencucian setiap empat minggu sekali (3.99 ton/ha) dan pencucian setiap enam minggu sekali (3.93 ton/ha).

(3)

TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI

(Glycine max (L.) Merill) PADA BUDIDAYA JENUH AIR DI

LAHAN PASANG SURUT

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

YUNIARTI PUSPITASARI

A24062089

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(4)

TERHADAP

PERTUMBUHAN

DAN

PRODUKSI

KEDELAI (Glycine max (L.) Merill) PADA BUDIDAYA

JENUH AIR DI LAHAN PASANG SURUT

Nama : YUNIARTI PUSPITASARI

NIM

: A24062089

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS NIP. 19590505 198503 1 004

Mengetahui.

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr. NIP. 19611101 198703 1 003

(5)

Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 22 Juni 1988. Penulis merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara dari pasangan Cipto Utomo dan Sri Ngatemi. Penulis memulai pendidikan di TK Bhina Putra pada tahun 1992 dan tamat pada tahun 1994. Penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri 3 Siraman pada tahun 1994 dan tamat pada tahun 2000. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Metro pada tahun 2000 dan tamat pada tahun 2003. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Metro pada tahun 2003 dan tamat pada tahun 2006.

Selepas dari SMA, penulis melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006. Penulis diterima di IPB melalui jalur USMI (Undangan Siswa Masuk IPB). Penulis diterima di Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa tahun 2009. Penulis juga aktif dalam kepengurusan Keluarga Mahasiswa Lampung IPB periode 2006-2008 dan menjadi panitia pada berbagai acara di IPB pada tahun 2006-2010.

(6)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. yang telah memberikan kekuatan dan hidayahNya sehingga penulisan skripsi dengan judul Pengaruh Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merill) pada Budidaya Jenuh Air di Lahan Pasang Surut dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dukungan moril maupun materil sehingga penelitian dan skripsi dapat diselesaikan dengan baik.

2. Kedua orang tua yang telah memberikan restu, doa, bimbingan serta dukungan sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan penelitian dengan baik

3. Rekan satu penelitian, Bapak Ngatimin, keluarga Bapak Suaji serta petani Desa Banyu Urip atas bimbingan selama penulis melaksanakan penelitian.

4. Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya, MSi selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan. Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Bogor, Januari 2011

(7)

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 3 Hipotesis ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4 Botani Kedelai ... 4

Lingkungan Tumbuh Kedelai ... 4

Lahan Pasang Surut ... 5

Budidaya Jenuh Air ... 7

Respon Varietas pada Budidaya Jenuh Air ... 8

BAHAN DAN METODE ... 11

Tempat dan Waktu Penelitian ... 11

Pelaksanaan Percobaan ... 12

Pengamatan ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

Agroekologi Lokasi Penelitian ... 16

Hasil ... 20

Pembahasan ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

Kesimpulan ... 36

Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(8)

No Halaman 1. Tinggi Tanaman pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas ... 20 2. Jumlah Daun per Tanaman pada Beberapa Waktu Pencucian

dan Varietas ... 21 3. Jumlah Cabang pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas ... 22 4. Pengaruh Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap

Jumlah Cabang pada 8 MST ... 22 5. Jumlah Buku Produktif dan Non Produktif pada Beberapa

Waktu Pencucian dan Varietas ... 23 6. Kandungan Hara Daun pada Beberapa Waktu Pencucian dan

Varietas pada 6 MST ... 24 7. Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Kandungan

Hara K dan Mn pada 6 MST ... 24 8. Serapan Hara pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas

pada 6 MST ... 25 9. Pengaruh Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Bobot Kering

Batang, Daun, Akar dan Bintil pada 6 MST ... 26 10. Umur Berbunga dan Umur Panen pada Beberapa Waktu

Pencucian dan Varietas ... 27 11. Pengaruh Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Jumlah

Polong Isi dan Polong Hampa ... 28 12. Pengaruh Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap

Bobot 100 Biji ... 28 13. Produktivitas Empat Varietas Kedelai pada Berbagai Waktu

(9)

No Halaman 1. Ukuran Saluran dan Kedalaman Muka Air ... 12 2. Petakan Percobaan ... 13 3. Skema Pengaturan Air ... 13 4. Klasifikasi Rawa Pasang Surut Menurut Tipe Luapan

Maksimum dan Minimum ... 16 5. Jaringan Drainase di Desa Banyu Urip ... 17 6. Pertumbuhan Empat Varietas Kedelai pada BJA di Lahan

Pasang Surut pada Umur 6 MST ... 19 7. Ukuran Biji Varietas Tanggamus, Slamet, Willis dan

Anjasmoro ... 29 8. Regresi Pengaruh Waktu Pencucian terhadap Produktivitas

Kedelai ... 29 9. Jumlah Polong Empat Varietas pada BJA ... 35

(10)

No Halaman

1. Hasil Rekapitulasi Sidik Ragam ... 43

2. Hasil Analisis Air Sebelum Penanaman ... 44

3. Hasil Analisis Air Setelah Penanaman ... 44

4. Hasil Analisis Tanah Sebelum Penanaman ... 45

5. Hasil Analisis Tanah Setelah Penanaman ... 46

6. KriteriaVarietas ... 54

(11)

Latar Belakang

Kedelai merupakan salah satu tanaman pangan yang penting bagi penduduk Indonesia sebagai sumber protein nabati, bahan baku industri, pakan ternak dan bahan baku industri pangan. Protein yang tinggi pada kedelai berperan penting dalam kebutuhan gizi masyarakat Indonesia (Budiarti dan Hadi, 2006). Produksi kedelai dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan kedelai nasional. Setiap tahun pemerintah mengimpor kedelai sekitar 1,3 juta ton untuk memenuhi kebutuhan. Rendahnya produktivitas dan belum optimalnya pengembangan areal pertanaman kedelai menjadi salah satu faktor penyebab. Usaha yang perlu untuk dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional adalah dengan memperluas lahan budidaya kedelai dan meningkatkan produktivitasnya (Irwan, 2006).

Penurunan luas areal produksi kedelai akhir-akhir ini sudah mencapai kondisi kritis, yaitu penurunannya lebih dari 60% pada luas areal panen dan lebih dari 50% pada produksi kedelai nasional. Peningkatan impor kedelai tidak dapat dihindari untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan salah satu penyebabnya adalah harga kedelai impor cukup rendah. Kondisi demikian menyebabkan kedelai Indonesia tidak berkembang bahkan dapat dikatakan mengalami kemunduran (Budiarti dan Hadi, 2006).

Permintaan kedelai terus meningkat jauh melampaui produksi dalam negeri. Kebutuhan kedelai per tahun 2009 diperkirakan mencapai 2 037 530 ton, sedangkan produksi dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun (Sudaryanto dan Swastika, 2007). Produksi kedelai nasional tahun 2008 dari luas areal panen 590 956 ha sekitar 775 710 ton. Tahun 2009 luas areal panen meningkat menjadi 772 791 ha dengan produksi sekitar 974 512 ton. Pada tahun 2010 luas areal panen dan produksi kedelai mengalami penurunan dari tahun 2009 menjadi 672 242 ha dengan produksi 905 015 ton (BPS, 2010).

Indonesia mempunyai kawasan rawa yang sangat luas, yaitu sekitar 33.43 juta ha atau hampir 20% dari luas daratan kepulauan nusantara (197.944 juta ha). Kawasan rawa ini terbagi menjadi dua, yaitu rawa pasang surut dan rawa lebak.

(12)

Rawa pasang surut meliputi luas sekitar 20.15 juta ha, terdiri dari tiga tipologi lahan utama yaitu lahan gambut (10.9 juta ha), lahan sulfat masam (6.70 juta ha) dan lahan alluvial lainnya yang merupakan endapan sungai (fluviatil), non-sulfat masam (2.07 juta ha) serta sisanya merupakan berbagai lahan salin (0.48 juta ha) (Noor, 2004). Lahan pasang surut merupakan lahan harapan bagi produksi pertanian masa mendatang, karena penciutan lahan subur untuk berbagai keperluan non pertanian dan laju pertumbuhan penduduk serta perkembangan industri (Adri et al., 2001).

Lahan pasang surut mempunyai potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai lahan usaha tani apabila tanah aluvial bersulfidik ini tidak terlalu masam dan miskin unsur hara (Widjaja dan Adhi, 1996). Luas lahan pasang surut di Indonesia sekitar 20.1 juta ha, dan sekitar 9.53 juta hektar berpotensi untuk dijadikan lahan pertanian. Lahan pasang surut yang mempunyai potensi tinggi untuk ditanami kedelai seluas 2.08 juta ha, sedangkan yang berpotensi sedang seluas 1.33 juta ha (Ghulamahdi, 2009).

Permasalahan pengembangan kedelai di lahan pasang surut adalah tingginya kadar pirit yang menyebabkan rendahnya pH tanah pada saat kondisi teroksidasi. Kadar pirit yang tinggi menyebabkan produktivitas kedelai di lahan pasang surut masih rendah hanya sekitar 800 kg/ha. Rendahnya produktivitas tanaman di lahan pasang surut disebabkan oleh tingginya kemasaman tanah, kelarutan Fe, Al dan Mn serta rendahnya ketersediaan unsur hara tanaman terutama P dan K. Usaha penurunan kadar pirit lahan pasang surut dapat dilakukan dengan cara mempertahankan tinggi muka air agar kondisi tanah lebih reduktif. Adanya teknologi Budidaya Jenuh Air (BJA) memberikan peluang untuk menurunkan kadar pirit (Ghulamahdi, 2009).

Budidaya Jenuh Air (BJA) dapat memperbaiki pertumbuhan dan peningkatan produksi dibandingkan irigasi biasa pada beberapa varietas kedelai. Hasil penelitian pengembangan bertanam kedelai di tanah jenuh air menunjukan bahwa dengan budidaya jenuh air diperoleh peningkatan hasil biji kedelai mencapai 2,4 ton/ha (Sumarno,1986). Varietas Tanggamus bisa mencapai hasil 4.51 ton/ha biji kering dengan budidaya jenuh air di lahan pasang surut (Ghulamahdi, 2009). Penanaman dengan sistem BJA sangat potensial

(13)

dikembangkan di Indonesia. Budidaya jenuh air merupakan salah satu usaha ke arah ekstensifikasi pertanaman kedelai dengan memanfaatkan lahan seperti rawa dan daerah pasang surut (Iman et al,. 1988).

Drainase lahan pertanian adalah suatu usaha membuang “kelebihan air” secara alamiah atau buatan dari permukaan tanah atau dari dalam tanah sampai kondisi optimal untuk menghindari pengaruh yang merugikan terhadap pertumbuhan tanaman (Suhatmo, 2003). Pembuangan air dari lahan dapat mencuci bahan-bahan beracun yang berbahaya bagi tanaman. Pengelolaan air untuk mencegah terjadinya oksidasi pirit menjadi sangat penting dan merupakan salah satu faktor kunci untuk keberhasilan usaha tani di lahan pasang surut (Suriadikarta, 2005).

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh waktu pencucian dan varietas terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai (Glycine max (L.) Merill) pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut.

Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:

1. Ada pengaruh waktu pencucian terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai

2. Ada pengaruh varietas terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai 3. Ada pengaruh interaksi varietas dan waktu pencucian terhadap

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Kedelai

Kedelai (Glycine max (L) Merril ) merupakan tanaman pangan semusim dari famili Leguminoseae. Tanaman kedelai termasuk berbatang semak yang dapat mencapai ketinggian antara 30-100 cm. Batang ini beruas-ruas dan memiliki percabangan antara 3-6 cabang. Daun kedelai mempunyai ciri-ciri antara lain helai daun (lamina) oval, dan tata letaknya pada tangkai daun bersifat majemuk berdaun tiga (trifoliolatus). Daun ini berfungsi sebagai alat untuk proses fotosíntesis, respirasi dan transpirasi (Rukmana dan Yuyun, 1996)

Biji kedelai berkeping dua yang terbungkus oleh kulit biji. Embrio terletak diantara keping biji. Warna kulit buah bermacam-macam ada yang kuning, hitam, hijau dan cokelat. Bentuk biji kedelai pada umumnya bulat lonjong, ada yang bundar atau bulat agak pipih. Besar biji bervariasi tergantung varietas. Di Indonesia, besar biji bervariasi dari 6 g-30 g (Suprapto, 2001).

Pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe, yaitu tipe determinate dan indeterminate. Perbedaan sistim pertumbuhan batang ini didasarkan atas keberadaan bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan tipe batang determinate ditunjukan dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga. Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila pucuk batang tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga (Adisarwanto, 2005).

Lingkungan Tumbuh Kedelai

Tanaman kedelai dapat beradaptasi terhadap berbagai jenis tanah yang bertekstur ringan hingga sedang, dan berdrainase baik. Kedelai peka terhadap kondisi salin (Rubatzky dan Yamaguchi, 1988). Kedelai tumbuh baik pada tanah bertekstur gembur, lembab, tidak tergenang air, dan memiliki pH 6-6.8. Pada pH 5.5 kedelai masih dapat berproduksi, meskipun tidak sebaik pada pH 6-6.8. Pada pH <5.5 pertumbuhan kedelai sangat terlambat karena keracunan alumunium

(15)

(Najiyati dan Danarti, 1999). Pada pH di bawah 5.0 pertumbuhan bakteri bintil dan proses nitrifikasi berjalan kurang baik (Suprapto, 2001).

Tanaman kedelai dapat tumbuh pada kondisi suhu yang beragam. Suhu tanah yang optimal dalam proses perkecambahan yaitu 30°C. Bila tumbuh pada suhu tanah yang rendah (<15°C), proses perkecambahan menjadi sangat lambat, bisa mencapai 2 minggu. Hal ini dikarenakan perkecambahan biji tertekan pada kondisi kelembaban tanah tinggi. Sementara pada suhu tinggi (>30°C), banyak biji yang mati akibat respirasi air dari dalam biji yang terlalu cepat. Tanaman kedelai dapat tumbuh optimal pada suhu lingkungan 24-25°C (Irwan, 2006).

Jumlah air yang digunakan oleh tanaman kedelai tergantung pada kondisi iklim, sistem pengelolaan tanaman, dan lama periode tumbuh. Umumnya kebutuhan air pada tanaman kedelai berkisar 350-450 mm selama masa pertumbuhan kedelai. Pada saat perkecambahan, faktor air menjadi sangat penting karena akan berpengaruh pada proses pertumbuhan. Kebutuhan air semakin bertambah seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Kebutuhan air paling tinggi terjadi pada saat masa berbunga dan pengisian polong (Irwan, 2006).

Lahan Pasang Surut

Lahan pasang surut merupakan lahan marginal yang memiliki berbagai kendala biofisik dan sosial ekonomi. Kendala biofisik antara lain, kesuburan lahan dan pH tanah yang rendah, hama dan penyakit, jaringan irigasi yang belum berfungsi dengan baik, penurunan permukaan air tanah yang cukup dalam menyebabkan terjadinya lapisan pirit yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Kendala dari aspek sosial ekonomi adalah keterbatasan tenaga kerja, modal, tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah serta sarana dan prasarana penunjang kurang kondusif (Adri et al., 2001).

Berdasarkan tipe luapan air, lahan pasang surut dapat dibedakan menjadi lahan bertipe luapan air A, B, C, atau D. Lahan yang bertipe luapan air A adalah lahan pasang surut yang langsung dan selalu terluapi air, baik pada saat pasang besar maupun kecil. Lahan tipe B adalah lahan yang hanya terluapi air pada saat pasang besar saja. Lahan tipe C lahan tidak terluapi air walaupun pasang besar, namun air tanahnya dangkal. Lahan tipe D adalah lahan yang tidak terluapi oleh

(16)

pasang besar maupun pasang kecil, namun permukaan air tanahnya dalam, lebih dari 50 cm (Suastika et al., 1997). Kedelai pada umumnya diusahakan di lahan pasang surut tipe C atau D, dengan pola tanam padi-kedelai atau palawija lain (Sabran et al., 2000).

Lahan pasang surut potensial dicirikan oleh adanya lapisan pirit (FeS2) pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan tanah. Lahan pasang surut potensial di Sumatra Selatan memiliki kedalaman lapisan pirit antara 50-100 cm. Tekstur tanahnya bervariasi, sebagian besar adalah liat dan liat berdebu, hanya sebagian kecil lempung berliat dan lempung liat berdebu dengan pH (H2O) tanahnya berkisar antara 3.3 sampai 5.9 (Thamrin, 2000).

Sebagian besar tanah mineral di daerah pasang surut bersifat sulfat masam. Kadungan pirit dalam tanah sulfat masam beragam dan cenderung semakin meningkat ke lapisan bawah, terutama pada Sulfaquent dan sulfaquept (Breemen dan Pons, 1973). Pirit membahayakan tanaman apabila berada dalam suasana teroksidasi yang menyebabkan turunnya pH dengan cepat. Terjadinya oksidasi bahan sulfidik yang mengandung lapisan pirit dalam tanah diawali dari kekurangan air dalam tanah sehingga permukaan air tanah turun melampaui posisi lapisan pirit. Kondisi seperti ini menyebabkan terjadinya reaksi antara senyawa pirit (FeS2) dengan oksigen (O2) yang menghasilkan unsur dan senyawa yang beracun bagi tanaman (Hadi, 2004).

Keracunan Al merupakan salah satu faktor terbesar yang menghambat pertumbuhan tanaman pada tanah masam (Koswara dan Leiwakabessy, 1972). Semakin rendah pH maka konsentrasi Al dalam tanah semakin tinggi. Konsentrasi Al yang cukup tinggi pada tanah masam (pH<4.7) dapat menghambat pertumbuhan beberapa spesies, tidak hanya karena efeknya yang merusak ketersediaan fosfat, tetapi juga karena menghambat penyerapan besi dan karena efek bercun secara langsung terhadap metabolisme tumbuhan (Salisbury da Ross, 1995).

Alumunium akan terakumulasi pada akar tanaman dan dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan akar untuk mentranslokasikan fosfat dari tanah ke pembuluh vascular (Russel and Ressel, 1986). Keracunan Al

(17)

menghambat perpanjangan dan pertumbuhan akar primer, serta menghalangi pembentukan akar lateral dan bulu akar (Hakim et al., 1986).

Budidaya Jenuh Air

Pengairan untuk membuat kondisi tanah jenuh air dapat dilakukan dengan cara ”sub surface irrigation” yaitu irigasi yang menitikberatkan pada kedalaman muka air tanah di bawah permukaan tanah, sehingga air tidak tergenang, tetapi sudah melebihi kapasitas lapang (Wiroatmojo dan Sulistyono, 1991). Budidaya jenuh air (BJA) merupakan penanaman di atas bedengan dengan memberikan air secara terus menerus di dalam parit, sehingga tanah di bawah perakaran menjadi jenuh air tetapi tidak tergenang (Purwaningrahayu et al., 2004).

Budidaya jenuh air juga dapat diterapkan di areal dengan irigasi cukup baik atau pada areal penanaman dengan drainase kurang baik (Ghulamahdi, 1991). Tanpa saluran drainase yang baik, kelembaban tanah menjadi tinggi dan menyebabkan pertumbuhan tanaman kedelai menjadi tidak optimal, lingkungan tanah jenuh air yang ekstrim akan mengakibatkan akar tanaman menjadi busuk karena kekurangan oksigen sehingga penyerapan unsur hara terhambat dan akhirnya tanaman tumbuh kerdil (Sumarno,1986).

Budidaya kedelai pada lahan basah dapat meningkatkan hasil 20-80% (Indradewa et al. 2004). Secara garis besar Ralph (1983) menyimpulkan bahwa tanaman kedelai yang dibudidayakan dengan genangan dalam parit mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dan hasil lebih tinggi dibanding dengan yang dibudidayakan dengan pengairan luapan seperti yang dilakukan petani karena: (1) mendapatkan lengas dalam jumlah cukup sepanjang hidupnya, (2) pertumbuhan bintil terus berlanjut sampai fase pengisian polong, (3) mengalami penundaan penuaan dan perpanjangan fase reproduktif.

Tinggi muka air tetap akan menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya (Natahnson et al., 1984). Pertumbuhan tanaman meningkat setelah melewati masa aklimatisasi. Peningkatan pertumbuhan ini sangat berhubungan dengan peningkatan nodulasi dan fiksasi N2 yang besar (Ghulamahdi et al., 2006). Budidaya jenuh air hampir

(18)

sama dengan padi sawah. Perbedaannya pada ketinggian muka air. Pada budidaya jenuh air tinggi muka air beberapa sentimeter di bawah permukaan tanah, sedangkan padi sawah tinggi muka air beberapa sentimeter di atas permukaan tanah (Lawn, 1985).

Respon Varietas pada Budidaya Jenuh Air

Tanggap varietas kedelai terhadap keadaan jenuh air berbeda-beda. Kedelai yang berumur lebih panjang biasanya mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dan produksi yang lebih tinggi dibandingkan kedelai berumur pendek (CSIRO, 1983; Ghulamahdi et al., 1991). Berdasarkan lamanya periode tumbuh dari sejak tanam sampai polong matang, varietas kedelai digolongkan menjadi tiga kelompok umur, yaitu umur genjah (<80 hari); umur sedang (80-85 hari); dan umur dalam (>85 hari) (Somaatmadja et al., 1985).

Kemampuan akar dari berbagai jenis tanaman dalam menghisap air tanah tersedia berbeda-beda. Kandungan air tanah optimal bagi kedelai adalah pada kisaran tegangan air 0.3-0.5 atm. Keadaan status tanah yang demikian menyebabkan serapan hara N, P, K, dan Ca berlangsung baik dan tanaman dapat memanfaatkan nitrogen yang terfiksasi di bintil-bintil akar. Pertumbuhan tanaman kedelai terhambat bila tanah lebih basah dari keadaan pada tegangan air 0.3 atm (Suryantini, 2002).

Tahap aklimatisasi tanaman kedelai terhadap keadaan jenuh air berlangsung selama dua minggu atau antara 2-4 minggu setelah pelaksanaan irigasi dimulai (Treodson et al., 1983). Akar dan bintil akar kedelai di bawah muka air mati pada awal aklimatisasi dan selanjutnya tumbuh bintil akar di atas muka air. Kandungan N dalam daun menurun dan terjadi klorosis (CSIRO, 1983). Total bobot kering tanaman pada budidaya jenuh air lebih rendah dibandingkan dengan budidaya biasa pada tahap aklimatisasi karena penurunan luas daun (Treodson et al., 1983).

Pertumbuhan kedelai pada tahap setelah aklimatisasi ditunjukkan oleh banyaknya akar dan bintil yang muncul di atas permukaan air, dan daun menjadi hijau kembali. Jika tanaman kedelai telah tumbuh, pengaruh penggenangan tergantung dari fase pertumbuhan terjadinya genangan dan lamanya waktu

(19)

penggenangan (Whigham dan Minor, 1978). Genangan air yang berkepanjangan akan mengurangi ketersediaan oksigen di lapisan perakaran. Respirasi akar akan terganggu, yang dalam jangka panjang dapat mematikan tanaman. Selain itu genangan yang terjadi setelah biji ditanam menghambat difusi oksigen sehingga respirasi biji terganggu (Sabran et al., 2000).

Laju pertumbuhan pada budidaya jenuh air menjadi lebih tinggi daripada budidaya biasa (CSIRO, 1983). Di tanah jenuh air, banyak fotosintat digunakan untuk pertumbuhan bagian tanaman di dalam tanah terutama bintil. Meskipun demikian penyerapan nitrogen menurun terutama karena akar bagian bawah yang berada dalam tanah jenuh mati, sehingga luas permukaan akar menurun (Indradewa et al. 2004). Penurunan penyerapan nitrgen menyebabkan tanaman mengalami gejala klorosis (Ralph, 1985). Gangguan pertumbuhan akibat defisiensi N yang dialami oleh tanaman dapat ditanggulangi dengan memberikan pupuk N (Wiroatmodjo dan Sulistyono, 1991).

Kandungan N daun tanaman pada budidaya jenuh air meningkat, sehingga menjadi sama dengan budidaya biasa pada saat 28-42 hari setelah pelaksanaan irigasi dimulai. Total bobot kering tanaman pada budidaya jenuh air menjadi lebih tinggi daripada budidaya lahan biasa pada saat 50-70 hari setelah tanam (Nathanson et al., 1984).

Hasil pengujian varietas kedelai pada budidaya jenuh air di lahan pasang surut menunjukkan bahwa varietas yang memberikan hasil tertinggi berturut-turut adalah Tanggamus, Slamet, Anjasmoro, dan Wilis. Tanggamus dapat mencapai hasil sebesar 4,51 ton biji kering/ ha, karena mempunyai jumlah polong isi terbanyak, meskipun mempunyai bobot 100 biji hanya 10 gram. Oleh karena itu Tanggamus merupakan varietas terpilih yang akan dikembangkan selanjutnya pada teknologi budidaya jenuh air di lahan pasang surut (Ghulamahdi, 2009).

Pencucian Lahan

Pengelolaan tanah dan air merupakan kunci utama keberhasilan pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut. Pengaturan dan pengelolaan air ditujukan untuk mengendalikan keadaan air di petakan lahan dan mempercepat proses pencucian bahan beracun. Pengelolaan tanah dan air meliputi jaringan tata

(20)

air makro maupun mikro, penataan lahan, ameliorasi dan pemupukan. Sistem pengelolaan tata air mikro berfungsi untuk mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, mencegah pertumbuhan gulma pada pertanaman padi di sawah, mencegah terbentuknya bahan beracun bagi tanaman terutama Fe2+ melalui penggelontoran dan pencucian, mengatur tinggi muka air dan menjaga kualitas air di petakan lahan dan saluran (Suriadikarta, 2005). Selain itu, pengelolaan tata air mikro dapat meningkatkan pH tanah. Pembuatan saluran cacing pada petakan dan disekeliling petakan lahan dapat memperlancar keluar masuknya air pada petakan lahan yang sekaligus untuk mencuci bahan beracun (Adri et al., 2001).

Menurut Subagyono et al (1999), pencucian bahan beracun dari petakan dilakukan dengan memasukkan air ke petakan sebelum tanah dibajak, kemudian air tersebut dikeluarkan setelah pengolahan tanah selesai. Untuk memperlancar pencucian bahan beracun, pada petakan lahan dibuat saluran cacing dengan jarak 6-8 m. Lahan yang mempunyai lapisan pirit dalam, saluran cacing dibuat dengan jarak 20 m atau lebih. Pencucian akan baik bila air cukup tersedia, baik dari hujan maupun air pasang. Oleh karena itu, air di dalam petakan lahan perlu diganti setiap dua minggu pada saat pasang besar. Kehilangan nitrogen terutama disebabkan oleh adanya penguapan (volatilization), denitrifikasi (denitrification), pencucian (leaching), atau menjadi tidak tersedia karena immobilisasi (immobilization). Komponen penyebab kehilangan nitrogen terbesar di lahan sawah adalah adanya proses pencucian dan aliran drainase (Suhatmono, 2003).

(21)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, dari bulan April sampai Agustus 2010.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas Tanggamus, Slamet, Willis dan Anjasmoro, kapur, pupuk kandang, inokulat Rhizobium, insektisida berbahan aktif karbosulfan, pupuk Urea, SP-36 dan KCl. Peralatan yang digunakan adalah alat-alat budidaya pertanian, sprayer, timbangan dan meteran.

Metode Percobaan

Percobaan ini menggunakan Rancangan Petak Terpisah dengan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari dua faktor yaitu waktu pencucian dan varietas. Perlakuan waktu pencucian sebagai petak utama yang terdiri dari empat taraf yaitu tanpa pencucian, 2, 4 dan 6 minggu sekali. Perlakukan varietas sebagai anak petak yang terdiri dari empat varietas yaitu Tanggamus, Slamet, Willis dan Anjasmoro.

Model rancangan percobaan yang digunakan adalah: Yijk = µ + αi + βj+ δij + γk + βγjk+ δijk Keterangan:

Yijk : Nilai hasil pengamatan dari suatu percobaan pada ulangan taraf ke-i, waktu pencucian taraf ke-j dan varietas taraf ke-k

µ : Nilai tengah

αi : Pengaruh dari ulangan taraf ke- i pada petak utama

βj : Pengaruh dari waktu pencucian taraf ke-j pada anak petakan

δij : Pengaruh galat yang muncul pada waktu pencucian taraf ke-j dan ulangan taraf ke-i

(22)

γk : Pengaruh dari varietas taraf ke-k

βγjk : Nilai interaksi antara waktu pencucian taraf ke-j dan varietas taraf ke-k δijk : Pengaruh galat pada ulangan taraf ke-i, waktu pencucian taraf ke-j dan

varietas taraf ke-k

Pengolahan data dilakukan dengan uji-F. Apabila menunjukan hasil yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 5 %.

Pelaksanaan Percobaan

Persiapan lahan di lapangan dilakukan dengan membuat petakan percobaan sebanyak 48 petakan dengan ukuran anak petak 2 m x 4m dan petak utama dengan ukuran 4 m x 8 m. Setiap petak utama dikelilingi saluran air yang berukuran lebar 30 cm dan dalam 25 cm, dengan demikan kondisi petakan akan selalu basah pada saat air irigasi diberikan. Pemberian air irigasi dilakukan sejak penanaman sampai panen dengan ketinggian muka air 15 cm di bawah permukaan tanah (Gambar 1 dan 2).

Sumber air yang digunakan dalam penelitian berasal dari saluran sekunder yang mendapatkan pengaruh pasang surut air laut dan dialirkan melalui saluran drainase. Kelebihan air pada musim penghujan dibuang melalui saluran pembuangan supaya tanah tidak terlalu jenuh. Pengairan dilakukan dengan menggunakan sistem satu arah. Saluran kuarter dibuat dua buah untuk pemasukan dan pengeluaran. Saluran kuarter dibuat tegak lurus terhadap saluran tersier dan saluran cacing dibuat tegak lurus terhadap saluran kuarter. Di muara saluran kuarter pemasukan dibuat pintu air dan dibagian ujungnya ditutup dengan tanah. Pada bagian ujung saluran kuarter pembuangan dipasang pintu air dan bagian muaranya ditutup tanah (Gambar 3).

(23)

Gambar 2. Petakan Percobaan

Keterangan: : Aliran Air : Pematang/Jalan

: Pintu air : Anak Petak (2 x 4m) : Jembatan : Jarak antar anak petak Gambar 3. Skema Pengaturan Air

(24)

Pemasukan air dilakukan dengan membuka pintu air saluran tersier dan kuarter pemasukan, kemudian pintu ditutup kembali sebatas ketinggian muka air. Air di dalam saluran terus dikendalikan dengan cara menambahkan atau mengurangi air supaya ketinggian air tetap yaitu 15 cm di bawah permukaan tanah. Pembuangan air dilakukan dengan membuka seluruh pintu air pembuangan.

Pada saat pengolahan tanah diberikan 2 ton kapur/ha, 2 ton pupuk kandang/ha, 200 kg SP-36/ha, dan 150 kg KCl/ha. Kapur, pupuk kandang, SP-36 dan KCl dicampur dan diinkubasikan di tanah selama1 minggu. Sebelum ditanam, benih diberi inokulan Rhizobium sebanyak 5 g/kg benih dan insektisida karbosulfan (Marshal 25 ST) sebanyak 15 g/kg benih. Insektisida diberikan untuk mengatasi lalat bibit. Pemupukan daun N diberikan pada saat tanaman berumur 3, 4, 5, dan 6 minggu. Pupuk N yang digunakan adalah pupuk urea dengan konsentrasi 7.5 g urea/ l air menggunakan volume semprot 400 l air/ha.

Benih kedelai ditanam dangkal dengan kedalaman tanam 1-2 cm, menggunakan jarak tanam 20 cm x 25 cm, 3 biji per lubang. Pemeliharaan tanaman meliputi, penyulaman, penjarangan, pengendalian gulma dan hama penyakit. Pada 2 MST tanaman dijarangkan dari 3 tanaman per lubang menjadi 2 tanaman per lubang (populasi 400 000 tanaman/ha). Tanaman yang disisakan adalah tanaman yang paling baik pertumbuhannya. Penyiangan dilakukan pada 3 dan 6 MST secara mekanis. Pencucian lahan dilakukan dengan mengeluarkan air dari petakan sesuai dengan perlakuan.

Pengamatan

Karakter yang diamati dalam penelitian ini adalah: 1. Tinggi tanaman

Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai titik tumbuh yang terletak di ujung pangkal bunga utama. Pengukuran dilakukan setiap dua minggu sekali pada 10 tanaman contoh.

2. Jumlah daun trifoliet

Dihitung setiap dua minggu sekali dengan menghitung semua daun yang sudah membuka penuh dari 10 tanaman contoh.

(25)

3. Jumlah cabang

Penghitungan dilakukan pada saat tanaman berumur 6, 8, 10 dan 13 MST dengan cara menghitung jumlah semua cabang pada 10 tanaman contoh. 4. Umur berbunga (MST)

Penghitungan dilakukan satu kali pada saat 50% tanaman pada petakan panen dari setiap perlakuan telah berbunga.

5. Bobot bintil akar, batang dan daun (g)

Dilakukan satu kali pada saat tanaman berumur 6 minggu. 6. Umur panen (MST)

Panen dilakukan pada saat 90% tanaman pada petakan panen dari setiap perlakuan memperlihatkan perubahan warna polong menjadi kecoklatan disertai dengan daun yang gugur dan menguning.

7. Jumlah polong isi dan hampa per tanaman

Penghitungan dilakukan sebanyak satu kali saat panen dengan menghitung semua polong yang berisi dan hampa dari 10 tanaman sampel.

8. Bobot 100 biji (g)

Dilakukan dengan cara menimbang 100 butir biji yang dipanen dari petakan panen.

9. Bobot biji per 3m2 (ton/ha)

Dilakukan dengan cara menimbang seluruh biji hasil panen pada setiap petakan.

10. Analisis fisik dan kimia tanah

Dilakukan pada saat sebelum dan setelah tanam. 11. Analisis hara N, P, K, Fe dan Mn

(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Agroekologi Lokasi Penelitian

Desa Banyu Urip terletak di kecamatan Tanjung Lago Kabupaten Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Kabupaten Banyuasin memiliki iklim tropis dan basah dengan suhu selama periode April-Agustus 2010 berkisar antara 24.5-29.6 oC, kelembaban udara 74-94% dan curah hujan 0.3-113.8 mm (Lampiran 7). Sebagian besar wilayah Kabupaten Banyuasin merupakan dataran rendah pesisir yang terletak di bagian hilir aliran Sungai Musi dan Sungai Banyuasin. Wilayahnya pada umumnya berupa lahan basah yang terpengaruh pasang surut. Sebagian besar lahan basah tersebut dimanfaatkan untuk pertanian pangan lahan basah, khususnya persawahan pasang surut (Banyuasin, 2010).

Desa Banyu Urip terletak pada ketinggian 1-2 m dari permukaan laut dan berjarak 42 km dari Selat Bangka. Sebagian besar luas lahan Desa Banyu Urip merupakan areal persawahan. Letaknya yang berada di hilir Sungai Musi dan Sungai Banyuasin menyebabkan daerah ini mendapatkan pengaruh pasang surut air laut. Daerah ini termasuk kedalam areal dengan tipe luapan C yang tidak terluapi walaupun terjadi pasang besar, namun air tanahnya sangat dangkal (Banyuasin, 2010) (Gambar 4).

Gambar 4. Klasifikasi Rawa Pasang Surut Menurut Tipe Luapan Maksimum dan Minimum (Widjaja dan Adhi, 1992)

(27)

Jaringan drainase terdiri dari saluran primer, sekunder, tersier dan kuarter. Saluran primer merupakan saluran navigasi yang berhubungan langsung ke sungai utama. Tegak lurus dengan saluran primer terdapat saluran sekunder yang menghubungkan saluran primer dengan saluran tersier. Saluran kuarter atau saluran cacing dibuat tegak lurus terhadap saluran tersier, fungsinya adalah untuk mempercepat pencucian bahan beracun dari lahan. Saluran sekunder pemasukan yang melintasi perkampungan dinamakan Saluran Pedesaan (SPD) dan saluran pembuangan dinamakan Saluran Drainase Utama (SDU) (Gambar 5).

Gambar 5. Jaringan Drainase di Desa Banyu Urip

Kondisi Umum

Berdasarkan hasil analisis air yang dilakukan sebelum penanaman dapat diketahui bahwa tingkat salinitas air yang digunakan tergolong rendah dengan

S

b. Saluran Sekunder a. Saluran Primer

c. Saluran Tersier d. Saluran Kuarter

12-13 m 6 m

(28)

nilai DHL 488 uS/cm yang didominasi oleh Na+ dan Cl-. Air bersifat masam dengan pH 5.4 dan kadar lumpur 0.20 mg/l (Lampiran 2). Analisis air yang dilakukan setelah penanaman menunjukan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan pH air dan DHL. Jumlah ion-ion yang dibutuhkan tanaman seperti Na, Ca dan Mg juga mengalami peningkatan. Hal ini menunjukan bahwa air irigasi memberikan sumbangan hara yang cukup besar terhadap tanaman (Lampiran 3).

Hasil analisis tanah sebelum penanaman menunjukan tanah bersifat masam dengan pH H2O 5.26 dan KCl 4.29. Penambahan kapur diharapkan dapat meningkatkan pH tanah sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimal. Tanah bertekstur liat berdebu berpasir dengan kadar liat 57%, debu 42 % dan pasir 1% dengan KTK tanah sebesar 19.55 cmol/kg dan pirit (FeS2) 0.04% (Lampiran 4). Pencucian lahan dapat meningkatkan pH tanah. Hasil analisis tanah setelah penanaman menunjukan nilai pH H2O dan KCl yang lebih tinggi dibandingkan sebelum penanaman (Lampiran 5).

Kedelai mulai berkecambah pada umur 3 HST (Hari Setelah Tanam) dan terlihat tumbuh serempak pada 5 HST. Rata-rata persentase tumbuh yaitu 83.5% untuk Tanggamus, Slamet 92.62%, Willis 76.5% dan Anjasmoro 64.9%. Satu minggu setelah penanaman dilakukan penyulaman yang bertujuan untuk mengganti benih kedelai yang tidak tumbuh atau mati. Setelah dilakukan penyulaman pada 7 HST persentase tumbuh meningkat, Tanggamus menjadi 97.26%, Slamet 98.7%, Willis 87.5 % dan Anjasmoro 85.6 %. Daun trifoliate sempurna tampak pada umur 2 MST.

Gejala penguningan daun tampak pada umur 3 MST yang diduga akibat translokasi hara dari tajuk ke akar untuk proses pembentukan akar dan bintil akar. Pada tahap aklimatisasi banyak akar tanaman yang mati akibat kondisi jenuh. Kemudian tanaman memperbaiki pertumbuhannya dengan membentuk akar dan bintil akar yang baru. Pemberian pupuk urea melalui daun dapat meningkatkan ketersedian unsur N dalam daun sehingga daun kembali hijau. Pemupukan N melalui daun memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan tanaman. Nitrogen merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman yang sangat diperlukan untuk pembentukan dan pertumbuhan bagian-bagian vegetatif tanaman

(29)

seperti daun, batang dan akar. Namun jika N terlalu banyak dapat menghambat pembungaan dan pembuahan pada tanaman.

Kedelai tumbuh secara merata dengan tinggi tanaman yang relatif sama (Gambar 6). Kedelai memiliki penampakan daun yang berbeda-beda. Varietas Tanggamus dan Slamet memiliki bentuk daun ovale yang berukuran kecil, varietas Willis mempunyai bentuk daun agak lancip berukuran kecil sedangkan varietas Anjasmoro memiliki bentuk daun ovale dengan ukuran daun lebar dan warna lebih hijau. Varietas Tanggamus memiliki urat daun yang lebih tebal dan jelas dibandingkan dengan varietas lainnya. Lingkungan tumbuh yang sesuai menyebabkan tanaman tumbuh serempak dan merata. Hama ulat grayak menyerang pertanaman kedelai sejak umur 2 MST dan menyebabkan daun menjadi rusak. Namun kondisi tersebut dapat diatasi dengan pengendalian hama secara kimia.

Gambar 6. Pertumbuhan Empat Varietas Kedelai pada BJA di Lahan Pasang Surut pada Umur 6 MST

a. Tanggamus b. Slamet

(30)

Hasil

Hasil uji F menunjukan bahwa perlakuan pencucian tidak berpengaruh nyata terhadap sebagian besar peubah yang diamati. Perlakuan pencucian memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kering bintil akar, jumlah polong hampa, kandungan hara K dan berpengaruh sangat nyata terhadap kandungan Mn. Varietas memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan Fe, Mn dan sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada 2, 6, 8 dan 10 MST, jumlah cabang pada 2, 4, 6 dan 10 MST, umur berbunga, umur panen, bobot biji per petak, bobot 100 biji serta kandungan hara K. Interaksi antara waktu pencucian dan varietas berpengaruh nyata terhadap jumlah cabang pada 8 MST dan sangat nyata terhadap bobot 100 biji serta kandungan hara K dan Mn (Lampiran 1).

Pada awal pertumbuhan, varietas Anjasmoro memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan varietas lainnya. Varietas Anjasmoro nyata paling tinggi pada umur 2 dan 4 MST. Namun pada umur 6-10 MST varietas Slamet nyata lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya. Laju pertumbuhan tinggi tanaman meningkat cepat pada umur 2-4 MST mencapai 130% dari tinggi tanaman pada umur 2 MST dan pada umur 4-6 MST mencapai 137% dari tinggi tanaman pada umur 4 MST. Pada umur 6-8 MST, pertumbuhan tinggi tanaman sebesar 20% dari tinggi tanaman 6 MST dan pada umur 8-10 MST hanya bertambah 2 % dari tinggi tanaman pada 8 MST (Tabel 1).

Tabel 1. Tinggi Tanaman pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas

Perlakuan Umur (MST) 2 4 6 8 10 ...cm... Tanpa pencucian 12.47 28.81 66.03 80.21 82.54 2 Minggu 12.46 27.99 69.45 81.19 82.97 4 Minggu 12.46 28.27 68.03 83.05 84.95 6 Minggu 12.49 29.49 68.31 84.25 86.32 ...cm... Tanggamus 11.39d 28.11ab 64.33b 82.11b 84.66b

Slamet 12.68b 29.32ab 74.57a 98.18a 100.77a

Willis 11.84c 27.34b 67.42b 79.04b 80.60b

Anjasmoro 13.96a 29.80a 65.51b 69.34c 70.74c

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

(31)

Pada umur 8 MST perlakuan tanpa pencucian menghasilkan rata-rata 16.1 daun, pencucian setiap dua minggu 16.9 daun, empat minggu 17.3 daun dan enam minggu 16.3 daun. Varietas Tanggamus memiliki jumlah daun paling banyak pada 2 MST, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas Slamet. Pada umur 4 MST jumlah daun varietas Slamet nyata paling banyak dibandingkan dengan varietas lainnya. Varietas Anjasmoro menghasilkan daun terbanyak pada umur 6, 8 dan 10 MST. Pada umur 10 MST terjadi penurunan jumlah daun akibat terjadinya pengguguran daun menjelang panen (Tabel 2). Pengguguran daun terjadi akibat adanya translokasi hara dari daun ke komponen produksi. Akibatnya daun berubah warna dari hujau menjadi kuning kemudian gugur.

Tabel 2. Jumlah Daun per Tanaman pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas Perlakuan Umur (MST) 2 4 6 8 10 Tanpa pencucian 1.9 6.2 13.5 16.1 14.3 2 Minggu 2.0 6.0 14.2 16.9 13.9 4 Minggu 2.0 6.1 13.5 17.3 14.0 6 Minggu 2.0 6.2 13.3 16.3 13.8 Tanggamus 2.1a 6.1b 12.4b 15.5b 13.5b

Slamet 2.0a 6.4a 13.0b 16.3ab 12.9b

Willis 1.9b 5.9b 14.1a 17.3a 14.1b

Anjasmoro 1.9b 6.0b 14.9a 17.5a 15.6a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

Jumlah cabang muncul secara merata pada saat tanaman berumur 6 MST. Jumlah cabang mengalami peningkatan setiap minggunya. Pada 13 MST perlakuan tanpa pencucian, 2, 4 dan 6 minggu memiliki cabang berturut-turut sebesar 3.2, 3.3, 3.8 dan 3.7 cabang. Pada 6 dan 8 MST percabangan tertinggi dibentuk oleh varietas Anjasmoro. Jumlah cabang varietas Willis lebih tinggi dibandingkan dengan Tanggamus pada 6 dan 8 MST dan varietas Slamet memiliki jumlah cabang yang paling sedikit. Pengamatan jumlah cabang pada saat panen (13 MST) menunjukan bahwa varietas Willis memiliki jumlah cabang paling banyak dan yang terendah adalah varietas Tanggamus. Jumlah cabang varietas Slamet tidak berbeda nyata dengan Anjasmoro (Tabel 3).

(32)

Tabel 3. Jumlah Cabang pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas

Perlakuan Umur (MST) 6 8 13 Tanpa pencucian 1.9 2.4 3.2 2 Minggu 1.9 2.6 3.3 4 Minggu 1.9 2.7 3.8 6 Minggu 1.5 2.5 3.7 Tanggamus 1.8b 2.5bc 3.3b Slamet 1.3c 2.3c 3.6ab Willis 1.9b 2.5b 3.7a

Anjasmoro 2.2a 2.8a 3.4ab

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

Varietas Anjasmoro dengan pencucian setiap empat minggu sekali menghasilkan jumlah cabang terbanyak, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan pencucian setiap enam minggu sekali. Varietas Slamet dengan pencucian setiap enam minggu sekali memiliki jumlah cabang terendah. Varietas Tanggamus dengan pencucian setiap dua minggu nyata lebih rendah dibandingkan pada pencucian setiap empat minggu. Varietas Anjasmoro memiliki kecenderungan jumlah cabang paling tinggi pada semua perlakuan kecuali pada perlakuan tanpa pencucian. Pada perlakuan tanpa pencucian varietas Willis adalah yang tertinggi (Tabel 4).

Tabel 4. Pengaruh Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Jumlah Cabang pada 8 MST

Pencucian Varietas

Tanggamus Slamet Willis Anjasmoro Tanpa pencucian 2.3bcd 2.3bcd 2.6abcd 2.5abcd

2 Minggu 2.2cd 2.6abcd 2.6abcd 2.8abc

4 Minggu 2.9ab 2.3bcd 2.6abcd 2.9a

6 Minggu 2.7abcd 2.1d 2.3bcd 2.9a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

Buku produktif merupakan tempat terbentuknya bunga yang selanjutnya membentuk polong, sedangkan buku yang tidak menghasilkan polong disebut buku non produktif. Semakin banyak jumlah buku produktif maka mempunyai

(33)

potensi jumlah polong yang lebih tinggi. Kedelai yang ditanam dengan perlakuan pencucian setiap empat minggu sekali memiliki jumlah buku produktif lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan tanpa pencucian, pencucian setiap dua dan enam minggu walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Pencucian setiap enam minggu sekali menghasilkan buku produktif paling sedikit dan buku non produktif paling banyak (Tabel 5).

Jumlah buku berkaitan dengan tinggi tanaman dan jumlah cabang. Varietas Slamet dengan tinggi tanaman paling tinggi memiliki jumlah buku produktif dan non produktif paling banyak. Varietas Tanggamus memiliki rata-rata tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan Willis, namun jumlah buku total varietas Willis lebih tinggi dibandingkan Tanggamus (Tabel 5). Jarak antar buku varietas Anjasmoro lebih pendek dibandingkan dengan varietas lainnya. Tinggi tanaman varietas Anjasmoro nyata paling rendah, namun jumlah buku produktif dan non produktif varietas Anjasmoro tidak berbeda nyata dengan varietas Tanggamus, Slamet dan Willis.

Tabel 5. Jumlah Buku Produktif dan Non Produktif pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas

Perlakuan Buku

Produktif Non Produktif

Tanpa pencucian 24.2 4.8 2 Minggu 24.9 4.3 4 Minggu 28.0 4.3 6 Minggu 23.3 5.2 Tanggamus 23.7 4.5 Slamet 27.3 5.7 Willis 25.3 4.4 Anjasmoro 24.1 4.0

Kandungan hara K pada pencucian dua minggu sekali menunjukan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pencucian lainnya, begitu pula dengan kandungan hara Mn. Perbedaan yang tidak nyata ditunjukan oleh kandungan hara Fe pada pencucian dua dan empat minggu. Kandungan hara N, P, K dan Fe pada varietas Anjasmoro lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya meskipun untuk N dan P tidak berbeda nyata. Varietas Tanggamus memiliki kandungan Mn yang nyata lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya (Tabel 6).

(34)

Tabel 6. Kandungan Hara Daun pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas pada 6 MST

Perlakuan Kandungan Hara

N P K Fe Mn

Pencucian ...%... ...ppm... Tanpa Pencucian 5.14 0.34 1.43b 350.75b 161.25c

2 Minggu 5.34 0.32 1.50a 455.5a 182.75a

4 Minggu 5.15 0.34 1.34c 470.25a 175.67b

6 Minggu 5.46 0.34 1.33c 344.17b 173.42b

Varietas

Tanggamus 5.19 0.34 1.34c 403.42ab 188.1a

Slamet 5.27 0.33 1.37c 375.58b 162.5c

Willis 5.35 0.34 1.41b 385.8b 172.1b

Anjasmoro 5.55 0.35 1.48a 455.8a 170.42b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

Perlakuan varietas Anjasmoro dengan pencucian setiap dua minggu sekali memiliki kandungan K yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kandungan K terendah dimiliki oleh varietas Tanggamus dengan pencucian setiap empat minggu sekali. Pada pencucian setiap empat minggu varietas Tanggamus memiliki kandungan Mn yang nyata paling tinggi dan yang terendah adalah varietas Willis dengan perlakuan tanpa pencucian, namun tidak berbeda nyata dengan varietas Slamet dan Anjasmoro dengan perlakuan yang sama (Tabel 7).

Tabel 7. Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Kandungan Hara K dan Mn pada 6 MST

Pencucian Varietas

Tanggamus Slamet Willis Anjasmoro K (%)

Tanpa Pencucian 1.42bcd 1.41bcd 1.44bc 1.45bc

2 Minggu 1.46bc 1.42bcd 1.48b 1.65a

4 Minggu 1.21g 1.29ef 1.38cde 1.47b

6 Minggu 1.29f 1.35def 1.34def 1.35def

Mn (ppm)

Tanpa Pencucian 184.7b 155.7d 148d 156.7d

2 Minggu 187b 182b 187.3b 174.7bc

4 Minggu 206.3a 149d 162cd 185.3b

6 Minggu 174.3bc 163.3cd 191b 165cd

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

(35)

Serapan hara N, P, K, Fe dan Mn menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata pada semua perlakuan pencucian dan varietas. Tanaman menyerap hara N, P, K dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan hara Fe dan Mn. Pencucian setiap enam minggu memiliki kecenderungan nilai serapan hara N, P dan Mn yang lebih tinggi dibandingkan dengan pencucian lainnya. Varietas Slamet menyerap hara N, P dan K cenderung lebih banyak dibandingkan dengan verietas Tanggamus, Willis dan Anjasmoro (Tabel 8).

Tabel 8. Serapan Hara pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas pada 6 MST

Perlakuan Serapan Hara

N P K Fe Mn Pencucian ...mg/tanaman... Tanpa Pencucian 162.10 10.36 43.56 1.03 0.49 2 Minggu 171.87 10.67 48.79 1.46 0.59 4 Minggu 150.32 9.89 40.09 1.38 0.51 6 Minggu 188.99 11.76 45.62 1.21 0.60 Varietas Tanggamus 176.35 11.39 46.18 1.36 0.64 Slamet 183.36 11.58 48.03 1.31 0.57 Willis 143.98 9.00 38.12 1.01 0.46 Anjasmoro 169.59 10.72 45.73 1.39 0.53

Pada perlakuan waktu pencucian, bobot akar tidak berkorelasi positif terhadap bobot kering batang dan daun. Bobot kering batang dan daun lebih tinggi pada pencucian setiap enam minggu. Sedangkan bobot kering akar tertinggi dicapai pada perlakuan tanpa pencucian walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan pencucian lainnya. Bobot kering bintil akar pada perlakuan pencucian setiap dua minggu sekali menunjukan hasil yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan yang terendah adalah pencucian setiap empat minggu akan tetapi tidak berbeda nyata dengan pencucian setiap enam minggu (Tabel 9).

Varietas Tanggamus memiliki tinggi tanaman yang paling rendah pada 6 MST, namun memiliki bobot kering batang yang lebih tinggi dibandingkan Willis dan Anjasmoro. Hal ini diduga karena batang varietas Wiliis dan Anjasmoro lebih sukulen sehingga bobot kering batangnya lebih rendah dibandingkan Tanggamus.

(36)

Varietas Anjasmoro memiliki jumlah daun yang paling banyak dibandingkan varietas lainnya pada 6 MST, namun bobot kering daunnya lebih rendah dibandingkan varietas Tanggamus dan Slamet. Urat daun yang lebih jelas dan tebal pada varietas Tanggamus dan Slamet menyebabkan bobot kering daunnya lebih tinggi. Serapan hara N, P dan K yang tinggi menyebabkan varietas Slamet memiliki bobot kering batang, daun dan akar yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya. Serapan Fe yang tinggi pada varietas Anjasmoro diduga menyebabkan pertumbuhan varietas Anjasmoro terhambat sehingga bobot keringnya menjadi rendah.

Perakaran varietas Anjasmoro kurang berkembang pada budidaya jenuh air. Hal ini ditunjukan dengan rendahnya bobot kering akar (0.63 g) yang diduga akibat tingginya translokasi fotosintat ke bagian tajuk, sehingga hanya sedikit fotosintat yang ditranslokasikan ke akar akibatnya akar kurang berkembang. Ukuran akar yang besar memungkinkan munculnya bintil akar yang lebih banyak. Namun dengan bobot kering akar yang rendah, varietas Anjasmoro memiliki bobot kering bintil akar paling tinggi. Hal ini diduga karena ukuran bintil yang lebih besar, sehingga walaupun jumlahnya lebih sedikit namun memiliki bobot kering yang lebih tinggi (Tabel 9).

Tabel 9. Pengaruh Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Bobot Kering Batang, Daun, Akar dan Bintil pada 6 MST

Perlakuan Bagian Tanaman

Batang Daun Akar Bintil

...g...

Tanpa pencucian 4.69 3.14 0.80 0.18ab

2 Minggu 4.65 3.24 0.79 0.19a

4 Minggu 4.31 2.94 0.64 0.11b

6 Minggu 4.73 3.34 0.71 0.13b

...g...

Tanggamus 4.86ab 3.39 0.77ab 0.12

Slamet 5.60a 3.51 0.87a 0.13

Willis 4.07b 2.68 0.69ab 0.15

Anjasmoro 3.85b 3.06 0.63b 0.21

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

Kedelai berbunga 50% pada umur 5-6 MST. Anjasmoro memiliki rata-rata waktu berbunga paling cepat (36.1 hari) namun memiliki waktu panen paling

(37)

lambat (91.3 hari). Hal ini menunjukan bahwa waktu reproduktif varietas Anjasmoro lebih lama dibandingkan varietas lainnya yaitu 55.2 hari, Tanggamus 48.41 hari, Slamet 45.9 dan Willis 48.2 hari. Semakin lama umur panen maka semakin besar ukuran biji (Adisarwanto, 2003). Varietas Slamet dan Willis dipanen pada umur yang sama dan nyata lebih cepat dibandingkan Tanggamus dan Anjasmoro (Tabel 10).

Tabel 10. Umur Berbunga dan Umur Panen pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas

Perlakuan Umur Berbunga Panen ...HST... Tanpa pencucian 38.9 88.2 2 Minggu 38.7 88.0 4 Minggu 38.7 88.0 6 Minggu 38.7 88.6 ...HST... Tanggamus 40.7a 89.1b Slamet 40.3b 86.3c Willis 38.0c 86.3c Anjasmoro 36.1d 91.3a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa semakin pendek selang waktu pencucian, jumlah polong hampa yang dihasilkan semakin banyak. Pencucian lahan setiap dua minggu sekali menghasilkan jumlah polong hampa yang lebih banyak dibandingkan dengan pencucian setiap empat (2.13%) dan enam minggu (1.75%). Namun pencucian lahan perlu dilakukan dalam satu siklus hidup tanaman kedelai. Pada perlakuan tanpa pencucian (4.09%) jumlah polong hampa tidak berbeda nyata dengan pencucian setiap dua minggu (4.06%).

Jumlah polong isi mengalami peningkatan sampai pencucian setiap empat minggu dan mengalami penurunan pada pencucian setiap enam minggu. Varietas Tanggamus memperoleh jumlah polong isi yang lebih banyak dibandingkan dengan varietas lainnya. Varietas Anjasmoro memiliki jumlah polong hampa tertinggi. Hal ini diduga akibat rimbunnya kanopi tanaman serta ukuran polong yang besar sehingga terjadi kompetisi dalam memanfaatkan sinar matahari, nutrisi ataupun pembusukan polong (Tabel 11).

(38)

Tabel 11. Pengaruh Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Jumlah Polong Isi dan Polong Hampa

Perlakuan Polong % Polong Hampa

Isi Hampa

Tanpa pencucian 50.8 2.2a 4.09

2 Minggu 54.0 2.3a 4.06 4 Minggu 62.9 1.4ab 2.13 6 Minggu 48.9 0.9b 1.75 Tanggamus 55.6 1.1 1.90 Slamet 54.3 1.9 3.41 Willis 52.3 1.3 2.46 Anjasmoro 54.0 2.4 4.17

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

Varietas Anjasmoro dengan pencucian setiap dua minggu memiliki bobot 100 biji yang nyata lebih tinggi. Bobot 100 biji varietas Slamet adalah yang terendah dan tidak berbeda signifikan pada semua perlakuan pencucian. Varietas Tanggamus memperoleh bobot 100 biji tertinggi pada pencucian setiap empat minggu, sedangkan varietas Willis memperoleh bobot 100 biji tertinggi pada perlakuan pencucian setiap enam minggu (Tabel 12).

Tabel 12. Pengaruh Interaksi Waktu Pencucian dan Varietas terhadap Bobot 100 Biji

Pencucian Varietas Rata-rata

Tanggamus Slamet Willis Anjasmoro . . . g. . .

Tanpa pencucian 11.97f 10.41g 15.37cd 22.33ab 15.02

2 Minggu 11.94f 10.06g 14.11de 22.84a 14.73

4 Minggu 13.75e 10.05g 15.21cd 21.25b 15.06

6 Minggu 11.91f 10.95fg 15.99c 22.11b 15.24

Rata-rata 12.39c 10.36d 15.17b 22.13a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

Varietas Anjasmoro menghasilkan bobot 100 biji tertinggi. Hal ini menunjukan bahwa varietas Anjasmoro memiliki ukuran biji yang paling besar (Gambar 7). Jumlah polong isi varietas Tanggamus lebih banyak dibandingkan dengan Anjasmoro, perbedaanya adalah 1.58 polong. Namun bobot 100 biji Anjasmoro lebih tinggi dengan perbedaan 9.74 g sehingga menghasilkan produksi biji yang lebih tinggi.

(39)

Gambar 7. Ukuran Biji Varietas Tanggamus, Slamet, Willis dan Anjasmoro

Pencucian lahan berpengaruh positif terhadap produktivitas kedelai. Gambar 8 menunjukkan hasil regresi antara waktu pencucian terhadap produktivitas kedelai. Waktu pencucian dan produksi memiliki hubungan linear dengan persamaan y = -0.042x + 3.126 dan nilai R2 sebesar 0.938. Semakin panjang interval pencucian maka produktivitas akan menurun.

Gambar 8. Regresi Pengaruh Waktu Pencucian terhadap Produktivitas Kedelai Produktivitas kedelai meningkat dengan budidaya jenuh air di lahan pasang surut. Masing-masing varietas memberikan respon yang berbeda pada kondisi jenuh air. Varietas Tanggamus dan Anjasmoro memperoleh hasil tertinggi

(40)

pada perlakuan pencucian setiap dua minggu sedangkan varietas Slamet dan Willis memperoleh hasil tertinggi pada pencucian setiap empat minggu. Produktivitas tertinggi diperoleh varietas Anjasmoro dengan pencucian setiap dua minggu yaitu sebesar 4.06 ton/ha dan terendah adalah varietas Slamet pada perlakuan tanpa pencucian sebesar 2.16 ton/ha ( Tabel 9).

Tabel 13. Produktivitas Empat Varietas Kedelai pada Berbagai Waktu Pencucian

Pencucian Varietas Rata-rata

Tanggamus Slamet Willis Anjasmoro ...ton/ha... Tanpa pencucian 2.31 2.16 2.44 3.36 2.57 2 Minggu 3.08 2.41 2.46 4.06 3.00 4 Minggu 2.80 2.62 2.71 3.99 3.03 6 Minggu 2.73 2.40 2.29 3.93 2.84 Rata-rata 2.73b 2.39b 2.48b 3.83a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf 5%

Pembahasan

Pengaruh Waktu Pencucian terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai

Pembuangan air dari saluran mengakibatkan tercucinya unsur-unsur N, Al, Fe dan SO4-. Pembuatan saluran kemalir pada saluran tersier sangat efektif untuk menampung dan mencuci asam-asam atau bahan beracun yang terbentuk selama musim kemarau (Widhaja dan Adhi, 1990). Kualitas air akan menurun jika disimpan terlalu lama dalam saluran. Unsur-unsur beracun dalam tanaman akan larut dan terbuang ke dalam saluran sehingga berbahaya bagi tanaman. Proses pencucian dan pergantian air dari lahan dapat meningkatkan kualitas air dalam saluran sehingga dapat meningkatkan pH serta menurunkan konsentrasi Fe dan Al. Pada awal penanaman kandungan Fe yang ada dalam tanah adalah 1585 ppm, namun setelah dilakukan pencucian kandungan Fe turun menjadi rata-rata 123.47 ppm. Pencucian lahan memberikan pengaruh linear terhadap produksi kedelai. Hal ini diduga karena kandungan Fe tanah yang cukup tinggi pada awal penanaman.

(41)

Hasil analisis tanah yang dilakukan sebelum pengolahan tanah menunjukan bahwa tanah bersifat masam dengan pH KCl 4.29, 1.09 cmol/kg Al3+, 1585 ppm Fe dan 292 ppm Mn. Pada pH kurang dari 5.5 pertumbuhan kedelai sangat lambat karena keracunan almunium. Pertumbuhan bakteri bintil dan proses nitrifikasi akan berjalan kurang baik (Suprapto, 2001). Selain itu adanya lapisan pirit (FeS2) pada tanah dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Apabila terkena udara (teroksidasi), pirit berubah menjadi zat besi dan asam belerang yang dapat meracuni tanaman. Namun pada saat kondisi lahan basah atau tergenang, oksidasi pirit dapat ditekan sehingga tidak berbahaya bagi tanaman.

Air irigasi dapat memberikan sumbangan hara bagi tanaman. Kedelai yang ditanam pada perlakuan pencucian setiap dua minggu memiliki kandungan hara K, Fe dan Mn yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Unsur K berperan membantu pembentukan protein dan karbohidrat dalam biji, Fe diperlukan dalam proses pembentukan klorofil yang berperan dalam proses fotosintesis dan Mn merupakan komponen penting dalam proses asimilasi. Semakin tinggi jumlahnya dalam daun, maka akan mendukung proses pembentukan dan pengisian biji.

Kondisi tidak jenuh air dengan kedalaman 15 cm cukup memadai untuk pertumbuhan akar secara maksimal. Kondisi air yang tersedia serta radiasi matahari yang tinggi meningkatkan proses metabolisme tanaman sehingga laju fotosintesis meningkat. Tingginya fotosintat yang tersedia dan distribusinya ke organ reproduktif menyebabkan pengisian biji menjadi optimal. Namun tanaman dengan jumlah polong yang lebat juga sering menunjukan beberapa polong hampa. Hal ini diduga akibat terjadinya kompetisi sinar matahari, nutrisi ataupun pembusukan polong. Semakin tinggi intensitas waktu pencucian memiliki kecenderungan persentase jumlah polong hampa yang lebih tinggi.

Pencucian setiap dua minggu menghasilkan bobot kering bintil akar paling tinggi. Drainase pada lahan dapat meningkatkan aerasi tanah, memperbaiki struktur tanah serta meningkatkan nitrogen dalam tanah. Selain itu kelarutan besi akan menurun dengan adanya drainase. Aerasi dan kondisi tanah yang baik akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan akar ke semua arah sehingga

(42)

mampu mengekstrak air dan hara dalam jumlah besar. Perakaran tanaman kedelai berkorelasi positif terhadap jumlah bintil akar. Ketersediaan air yang cukup memacu tanaman untuk membentuk bintil akar efektif yang lebih banyak. Peningkatan bintil akar dapat meningkatkan aktivitas nitrogenase dan serapan hara (Ghulamahdi et al., 2006).

Pengaruh Varietas terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai

Respon varietas kedelai terhadap budidaya jenuh air berbeda-beda. Varietas Slamet lebih toleran terhadap genangan dibandingkan dengan varietas lainnya. Pada saat kondisi tergenang, kedelai yang toleran genangan memiliki tinggi tanaman 29% lebih tinggi daripada yang peka. Genangan yang lebih lama akan mengurangi tinggi tanaman (Sullivan et al., 2001). Pada awal pertumbuhan Anjasmoro memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan varietas lainnya. Namun mulai 6 MST laju pertumbuhan menurun dan tinggi tanamannya menjadi paling rendah sampai 10 MST. Kedelai berbiji besar tinggi tanamannya cenderung lebih pendek dibandingkan kedelai berbiji sedang (Adie dan Krisnawati., 2007).

Varietas kedelai yang dibudidayakan pada lahan pasang surut memiliki pola serapan hara daun yang berbeda. Kandungan hara yang tinggi tidak selalu diikuti oleh kemampuan menyerap hara yang baik. Varietas Anjasmoro memiliki kandungan hara yang lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lain, namun serapan hara varietas Slamet lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya. Perbedaan pola serapan hara diduga merupakan bentuk adaptasi varietas kedelai terhadap kondisi jenuh air. Serapan hara yang baik akan mendorong pertumbuhan vegetatif tanaman yang kemudian dapat meningkatkan bobot kering tanaman. Fe merupakan unsur yang berperan penting dalam proses pembentukan klorofil. Serapan Fe yang baik pada varietas Anjasmoro menyebabkan warna daunnya lebih hijau dibandingkan varietas lainnya.

Bunga kedelai umumnya tumbuh di ketiak tangkai daun yang disebut rasim. Semakin banyak cabang dengan jarak antar buku yang pendek maka semakin banyak pula rasim untuk munculnya bunga. Pembentukan bunga juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Pada suhu tinggi dan kelembaban rendah,

(43)

jumlah sinar matahari yang jatuh pada ketiak tangkai daun lebih banyak sehingga akan merangsang pembentukan bunga. Suhu lingkungan saat pembungaan berkisar antara 24.8-28.6oC. Namun tidak semua bunga kedelai berhasil membentuk polong, dengan tingkat keguguran 20-80 %. Umumnya varietas dengan banyak bunga per buku memiliki keguguran bunga yang lebih tinggi daripada yang berbunga sedikit (Adie dan Krisnawati, 2007). Keguguran bunga terjadi apabila suhu lingkungan lebih dari 40 oC (Irwan, 2006).

Ketersediaan air pada fase berbunga, pembentukan polong dan pengisian biji sangat penting. Kekurangan air pada fase berbunga dan pembentukan polong dapat menyebabkan rontoknya bunga dan polong muda. Pada fase pengisian polong kekurangan air dapat menyebabkan gugurnya polong, perkembangan polong jelek dan menurunnya aktifitas fotosintesis sehingga bobot biji menurun. Pada budidaya basah air selalu tersedia sehingga fase generatif berlangsung tanpa hambatan kekurangan air.

Bobot dan ukuran biji merupakan sifat kuantitatif dari faktor genetik yang pada kondisi tertentu akan berubah-ubah sesuai lingkungan tumbuh tanaman (Adie, 2005). Biji kedelai yang ditanam pada budidaya jenuh air memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan pada budidaya biasa. Garside et al., (1992) menyatakan bahwa tanaman yang dapat menyembuhkan klorosis sebelum berbunga akibat perlakuan jenuh air, pada pertumbuhan berikutnya akan memiliki kemampuan mengakumulasi cadangan makanan di dalam biomassa vegetatif yang lebih tinggi. Dengan demikian cadangan makanan yang terkandung pada biomassa vegetatif yang dapat dimobilisasi pada saat pembentukan bunga dan pengisian biji menjadi lebih banyak.

Jumlah polong isi Anjasmoro lebih sedikit bila dibandingkan dengan Tanggamus, perbedaannya yaitu sebesar 1.58. Namun rata-rata bobot 100 biji Anjasmoro (22.13 g) lebih tinggi dibandingkan Tanggamus (12.39 g) sehingga bobot biji per petak menjadi lebih besar. Menurut Slatyer (1971) hasil tanaman serealia (biji-bijian) ditentukan oleh fotosintesis yang terjadi setelah pembungaan. Begitu pula dengan tanaman kedelai, hasil biji kering tanaman bergantung pada fotosintat yang tersedia dan distribusinya khususnya selama fase pengisian biji.

Gambar

Tabel 1. Tinggi Tanaman pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas
Tabel 2.  Jumlah Daun per Tanaman pada Beberapa Waktu Pencucian dan  Varietas  Perlakuan  Umur (MST)  2  4  6  8  10  Tanpa pencucian  1.9  6.2  13.5  16.1  14.3  2 Minggu  2.0  6.0  14.2  16.9  13.9  4 Minggu  2.0  6.1  13.5  17.3  14.0  6 Minggu  2.0  6.
Tabel 3. Jumlah Cabang pada Beberapa Waktu Pencucian dan Varietas
Tabel 5.  Jumlah Buku Produktif dan Non Produktif pada Beberapa Waktu  Pencucian dan Varietas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perlakuan umur panen berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan, hasil serta kualitas benih kedelai varietas burangrang tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman,

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa keragaan Varietas Anjasmoro lebih tinggi dan berbeda nyata dengan varietas Grobogan, sedangkan aplikasi rhizobium dan varietas tidak

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan varietas padi gogo memperlihatkan pengaruh nyata pada peubah pertumbuhan dan produksi seperti tinggi tanaman 4, 6, 8 dan 10

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan interaksi pemberian berbagai pupuk kandang dan varietas bayam berbeda nyata pada parameter tinggi tanaman (Tabel 3) umur 2 MST

Pada Tabel 6 menunjukkan hasil bobot kering akar menunjukkan pengaruh yang nyata pada perlakuan genotip Varietas Wilis, Varietas Tanggamus dan Genotip Argopuro//IAC,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan varietas berbeda nyata terhadap pertumbuhan tanaman yang ditunjukkan pada parameter tinggi tanaman (2 MST), parameter jumlah

Perlakuan beberapa jenis varietas berpengaruh nyata pada perameter tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang dan panjang daun pasir. Pada penelitian ini perlakuan

Varietas Anjasmoro merupakan tanaman tertinggi dengan jumlah daun yang berbeda tidak nyata dengan Tanggamus pada umur 4 MST.. Varietas Anjasmoro memiliki laju