• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGOLAHAN LUMPUR 15. Teknik Lingkungan. Program Studi. Nama Mata Kuliah. Perencanaan Bangunan Pengolahan Air Minum. Jumlah SKS 3

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGOLAHAN LUMPUR 15. Teknik Lingkungan. Program Studi. Nama Mata Kuliah. Perencanaan Bangunan Pengolahan Air Minum. Jumlah SKS 3"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Program Studi Teknik Lingkungan

Nama Mata Kuliah Perencanaan Bangunan Pengolahan Air Minum

Jumlah SKS 3

Pengajar 1. Prof. Dr. Ir. Mary Selintung, MSc.

2. Dr. Eng. Ir. Hj. Rita Tahir Lopa, MT 3. Ir. Achmad Zubair, MSc.

4. Dr. Eng. Bambang Bakri, ST., MT.

5. Roslinda Ibrahim, SP., MT

Sasaran Belajar

Setelah lulus mata kuliah ini mahasiswa mampu membuat perencanaan dan perancangan bangunan pengolahan air minum

Mata Kuliah Prasyarat Penyediaan Air Minum

Deskripsi Mata Kuliah

Mata Kuliah bangunan pengolahan air Minum merupakan mata kuliah yang diwajibkan bagi mahasiswa semester VI yang telah mengikuti materi perkuliahan penyediaan air minum. Materi perkuliahan mencakup pembahasan mengenai pengertian dan metode perencanaan bangunan pengolahan air minum; penentuan kebutuhan air dan debit air baku, analisis kualitas air baku, perencanaan bangunan unit pengolahan: intake, prasedimentasi, koagulasi dan flokulasi, sedimentasi, filtrasi, disinfeksi, pengolahan lumpur, reservoir dan pengolahan lumpur.

PENGOLAHAN LUMPUR 15

(2)

I PENDAHULUAN

1.1 CAKUPAN ATAU RUANG LINGKUP MATERI PEMBELAJARAN

Materi pembahasan pada pertemuan ke-15 (limabelas) ini adalah sistem jaringan distribusi yang terdiri dari:

 Sumber dan karakteristik lumpur

 Pengolahan lumpur

 Kriteria desain

1.2 SASARAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti pertemuan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan sumber, karakteristik, cara pengolahan dan kriteria desain bangunan pengolahan lumpur.

1.3 PRILAKU AWAL MAHASISWA

Sebaiknya mahasiswa telah mengetahui dan memahami materi pembahasan pada perkuliahan sebelumnya, utamanya materi pengaliran air melalui pipa pada unit distribusi

1.4 MANFAAT

Manfaat yang diperoleh setelah mengikuti pertemuan ini adalah meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai sumber, karakteristik dan cara pengolahan lumpur serta mempu membuat perencanaan bangunan pengolahan lumpur dengan mengacu pada kriteria desain yang telah dipelajari.

1.5 URUTAN PEMBAHASAN

Materi pembahasan dimulai dengan pengetahuan mengenai sumber dan karakteristik lumpur. Selanjutnya pembahasan secara berurut mengenai metode pengolahan lumpur dan kriteria desain bangunan pengolahan lumpur.

1.6 PETUNJUK BELAJAR

Mahasiswa diharapkan membaca isu terkait pada media massa yang menambah wawasan secara umum. Membaca bahan yang akan dikuliahkan pada minggu berikut agar dapat lebih siap dan dapat didiskusikan pada pertemuan berikut.

(3)

II PENYAJIAN

2.1 SUMBER DAN KARAKTERISTIK LUMPUR

Proses pengolahan air baku menjadi air yang berkualitas air minum di Instalasi Pengolahan Air (IPA) menghasilkan residu atau buangan berupa lumpur.

Lumpur yang dihasilkan berasal dari proses sedimentasi. Lumpur dari proses sedimentasi merupakan lumpur hasil endapan flok-flok yang terbentuk setelah mengalami proses koagulasi dan flokulasi.

Lumpur yang banyak mengandung padatan diperoleh dari hasil proses pemisahan padat-cair dari limbah yang sering disebut dengan sludge atau lumpur encer, di dalam sludge tersebut sebagian besar mengandung air dan hanya beberapa persen berupa zat padat. Umumnya persentase kandungan air tersebut dapat mencapai 95-99%.

 Sumber Lumpur o Grit Chamber o Bak sedimentasi I o Bak sedimentasi I o Bak filter

o Bak penurunan kesadahan o Bak presipitasi

 Karakteristik Lumpur

Karakteristik lumpur tergantung dari sumber lumpur,

o Lumpur dari grit chamber dan sedmentasi I merupakan padatan/lumpur kasar (kebanyakan anorganik)

o Lumpur dari sedimentasi II mengandung padatan tersuspensi dan bahan kimia koagulan, misalnya lumpur alum.

o Lumpur dari filter merupakan lumpur alur yang tidak mengendap di bak sedimentasi.

(4)

2.2 JENIS PENGOLAHAN LUMPUR

Tujuan penanganan lumpur adalah menghasilkan lumpur dengan kandungan padatan setinggi-tingginya, atau volume yang sekecil-kecilnya dan stabil serta tidak memiliki dampak lingkungan yang lebih buruk. Peningkatan kandungan padatan atau pengurangan kadar air dapat dilakukan melalui beberapa cara. Umumnya upaya pengelolaan terhadap lumpur meliputi tahap- tahap pengerjaan:

1. Pengentalan atau pemekatan lumpur (sludge thickening)

Proses pengentalan lumpur bertujuan untuk meningkatkan kekentalan atau kandungan padatan dalam lumpur dengan cara pengeluaran air. Pada umumnya lumpur yang dihasilkan dari unit pengolahan air limbah masih encer dengan kandungan padatan antara 0,5-1,0% atau kandungan air 99,5-99%, sehingga perlu dipekatkan secara gravitasi hingga 2-3% atau kandungan air 97-98% dengan menggunakan thickener.

 Pengentalan Lumpur secara Gravitasi

Pengentalan lumpur secara gravitasi adalah salah satu metode yang umum digunakan. Unit pengental gravitasi bekerja dengan gaya gravitasi seperti halnya dengan tangki pengendap lainnya. Prinsip dasar dan bentuk unit ini juga menyerupai tangki pengendap yang biasa, perbedaannya hanya pada nilai beban permukaan yang lebih rendah. Alat ini berbentuk tangki bundar dilengkapi dengan penggaruk lumpur.

Kepekatan lumpur kimia-fisika dapat mencapai kadar padatan kering 5-10% atau kandungan air 90-95%, sedangkan untuk lumpur biologi hanya mencapai kadar padatan kering antara 2-3% kandungan air antara 97-98%.

Hasil pengentalan yang diperoleh untuk lumpur campuran dari lumpur kimia – fisika dan lumpur biologi mencapai kepekatan dengan kadar padatan kering 2- 8% atau kandungan air 92-98%,. Unit pengental gravitasi umumnya digunakan sebagai unit pertama di dalam bagian penanganan lumpur.

Kelebihan dengan cara ini adalah mudah dalam pengoperasian dan perawatan (maintenance). Kelemahan dengan cara ini adalah seringkali timbul

(5)

lumpur yang naik ke atas (sludge floating) akibat dari terlalu lama lumpur berada dalam bak lumpur karena tidak cepat dikeluarkan. Hal ini dapat menyebabkan kondisi anaerobik sehingga menghasilkan gas. Gas tersebut akan membawa sekelompok lumpur ke permukaan. Ciri-ciri lumpur tersebut adalah berbau dan berwarna hitam.

 Pemekatan Lumpur secara Flotasi (Floating Thickening)

Dibandingkan dengan pemekatan lumpur secara gravitasi, alat ini lebih sukar pengoperasiannya dan diperlukan pula penambahan bahan kimia polimer untuk meningkatkan konsentarasi lumpur dari 85% menjadi 98%.

Dengan terkonsentrasinya lumpur dapat meningkatkan efisiensi alat.

Pemakaian bahan kimia polimer untuk memekatkan lumpur biologi sekitar 2-5 kg berat kering polimer/ mg zat padat. Penggunaan rasio udara-padatan sangat mempengaruhi kinerja sistem ini, pada umumnya nilai rasio udara- padatan bervariasi, maksimum pada kisaran dari 2-4% untuk mengapungkan zat padat.

Hasil pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 4-6% atau kandungan air 94-96% untuk lumpur biologi dengan penambahan bahan kimia polimer, sedangkan tanpa penambahan bahan kimia polimer kadar padatan kering hanya mencapai 3-5% atau kandungan air 95-97%. Kelebihan cara ini adalah waktu tinggal jauh lebih singkat yaitu sekitar 15 – 30 menit dan hasil lumpur lebih pekat, sehingga volume lumpur lebih sedikit. Kelemahan cara ini adalah cara pengoperasian lebih sulit, biaya operasional tinggi, karena ada penambahan bahan kimia, biaya perawatan relatif tinggi dan penggunaan listrik cukup besar. Sistem penyapuan lumpur (scrapper) menggunakan rantai sering bermasalah karena terdapat bagian yang bergesekan. Permasalahan scrapper dapat diatasi dengan mengganti rantai penggerak secara periodik.

2. Stabilisasi lumpur (sludge stabilization)

Stabilisasi lumpur merupakan upaya mengurangi kandungan senyawa organik dalam lumpur atau mencegah aktivitas mikroorganisme. Tujuan

(6)

stabilisasi lumpur adalah agar lumpur menjadi stabil dan tidak menimbulkan bau busuk dan gangguan kesehatan saat dilakukan proses maupun saat pembuangan ke lingkungan. Stabilisasi lumpur dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain adalah sebagai berikut:

 Digestasi anaerobik

Proses ini merupakan suatu proses degradasi senyawa organik dalam lumpur secara anaerobik. Stabilisasi ini biasanya hanya untuk lumpur biologi dan dilakukan sebelum proses pengeluaran air dari lumpur. Dengan proses digestasi ini, sekitar 50% senyawa organik dalam lumpur dapat diubah menjadi gas bio yang tersusun dari metan (CH4) dan CO2 apabila di dalam senyawa organik tersebut terdapat kandungan sulfur, maka dihasilkan H2S.

Produk gas bio ini sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi, sedangkan lumpur sisa yang diperoleh bisa dimanfaatkan sebagai pupuk.

Digestasi lumpur dilakukan dalam tangki tertutup dengan sistem pengeluaran gas dan dapat dilengkapi dengan sistem pengadukan. Waktu retensi yang diperlukan antara 10-20 hari dengan beban padatan antara 2-4 kg/m3. Hasil pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 2-5% atau kandungan air 95-98% untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur campuran kimia-fisika-biologi kadar padatan kering hanya mencapai 1,5-4% atau kandungan air 96-98,5%.

Kelebihan sistem ini adalah pengurangan volume lumpur dengan penguraian dalam artian pengurangan lumpur diubah menjadi gas yang dapat dimanfaatkan sebagai energi panas. Kelemahan dari sistem ini adalah cara pengoperasiannya agak sulit.

 Stabilisasi aerobik

Pada prinsipnya proses ini sama seperti proses lumpur aktif pada pengolahan air limbah, yaitu degradasi senyawa organik dalam lumpur terjadi secara aerobik. Proses stabilisasi aerobik dapat dilakukan dalam suatu tanki terbuka, sebelum ataupun setelah dilakukan proses pengeluaran air dari

(7)

dalam lumpur. Metode stabilisasi aerobik lumpur yang sudah mengalami proses pengeluaran air merupakan bentuk pengomposan yang banyak dilakukan di industri.

Proses stabilisasi dilakukan dengan beban padatan berkisar antara 1,6- 4,8 kg/m3,jam dengan waktu retensi 10-15 hari. Udara dimasukkan ke dalam tanki untuk mensuplai oksigen, sehingga kadar oksigen terlarut dapat diperhatikan minimal 1-2 mg/L. Dengan pengaturan pH, kelembaban suhu dan penambahan nutrisi yang sesuai, maka lumpur hasil proses stabilisasi dapat dimanfaatkan sebagai kompos. Hasil pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 2,5-7% atau kandungan air 93-97,5% untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur campuran kimia-fisika-biologi kadar padatan kering hanya mencapai 1,5-4% atau kandungan air 96-98,5%.

Kelebihan sistem ini adalah lebih mudah dalam pengoperasian dan mudah dalam pengontrolan. Kelemahan dari sistem ini adalah banyak membutuhkan energi, yaitu energi listrik untuk pembangkit oksigen.

 Stabilisasi dengan kapur

Penambahan kapur ke dalam lumpur mengakibatkan aktifitas mikroorganisme terhenti, tetapi tidak mempengaruhi kandungan senyawa organik dalam lumpur. Proses stabilisasi ini umumnya dilakukan untuk mengatasi masalah bau yang timbul. Untuk menjamin lumpur tetap stabil, maka pH lumpur harus dipertahankan di atas pH 11,8.

Metoda stabilisasi ini perlu pengawasan pH dan juga perlakuan pencampuran bahan kimia kapur dengan lumpur secara baik agar pH lumpur homogen. Hasil pemekatan dengan sistem ini mencapai kadar padatan kering antara 3-6% atau kandungan air 94-97% untuk lumpur kimia-fisika, sedangkan untuk lumpur campuran kimia-fisika-biologi kadar padatan kering hanya mencapai 1-1,5% atau kandungan air 98,5-99%.

Kelebihan sistem ini adalah pengoperasian mudah dan biaya operasional relatif rendah. Kelemahan sistem ini adalah tidak terjadi pengurangan

(8)

kandungan air atau volume lumpur. Pada pengoperasian sistem ini sering terjadi perubahan nilai pH sehingga perlu dipantau terus menerus.

3. Pengeluaran air (sludge dewatering)

Tujuan proses pengeluaran air lumpur ialah menghilangkan sebanyak mungkin air yang terkandung dalam lumpur setelah proses pengentalan.

Persyaratan kadar padatan kering lumpur yang diinginkan tergantung pada penanganan akhir yang akan dilakukan, umumnya berkisar 30%. Proses pengeluaran air lumpur dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain menggunakan alat:

 Belt Press

Proses pengeluaran air lumpur yang digunakan di industri antara lain belt filter press. Tipe alat ini banyak digunakan di industri pulp dan kertas.

Pengeluaran air dari lumpur yang dapat dilakukan dengan alat ini melalui 2 tahapan, :

o Daerah Pengeluaran Air (Draining Zone)

Pada daerah ini lumpur mengalir dan tersebar secara merata di atas lembaran wire. Pengeluaran air dilakukan tanpa tekanan, hanya mengandalkan gravitasi sampai mencapai kadar padatan tertentu, selanjutnya lumpur memasuki daerah pengeringan bertekanan.

o Daerah Pengeringan Bertekanan (Pressing Zone)

Air keluar dari lumpur dengan cara dijepit di antara dua belt atau wire sambil ditekan oleh rol secara bertahap di daerah pressing zone, dengan tekanan meningkat sejalan dengan mengecilnya rol. Pada saat dijepit, air diperas ke luar sampai akhir daerah bertekanan, yang selanjutnya memasuki daerah pengelupasan lumpur dari belt atau wire (share zone).

Sebelum difungsikan kembali di daerah pengeluaran air, belt atau wire perlu dicuci dahulu. Umumnya kadar padatan kering yang bisa dicapai antara 30-40% atau kandungan air 60-70%, untuk lumpur kimia-fisika dan 22-30% atau kandungan air 70-78%, untuk lumpur biologi. Pengkondisian

(9)

lumpur dengan menambahkan polimer perlu dilakukan untuk mempercepat dan mempermudah pengeluaran air.

Alat pengering lumpur dirancang untuk beban 150-300 kg padatan kering/m lebar wire per jam untuk lumpur yang sulit dipisahkan airnya, sedangkan untuk lumpur yang mudah dipisahkan airnya 250-500 kg padatan kering/m lebar wire/jam. Belt penjepit baik bagian atas maupun bawah, setelah melepaskan lumpur, perlu dicuci, sebelum difungsikan kembali di daerah pengeluaran air. Kelebihan alat ini adalah kapasitas olah yang besar dan kandungan padatan kering yang relatif tinggi. Kelemahan yaitu membutuhkan biaya operasional yang relatif tinggi karena penggunaan bahan kimia polielektrolit yang tinggi dan kebutuhan energi listrik yang besar. Disamping itu maintenance membutuhkan biaya yang lebih tinggi dan operasional lebih sulit karena permasalahan di belt/wire dan tracking sistem (alat pengarah belt/wire).

 Filter Press

Prinsip kerja sistem ini adalah memberi tekanan pada lumpur yang berada di antara lempengan-lempengan filter (filter plate). Tekanan diberikan melalui gaya hidrolik di kedua sisi lempengan. Filter ini tersusun dari plate and frame filter berjumlah banyak, dimana bagian dalam dari frame tersebut ditarik oleh filter kain yang bersambungan. Setelah frame terkunci karena tekanan hidrolik atau tekanan tangan, lumpur akan tertekan masuk dari tabung suplai ke dalam ruang filtrasi.

Air yang tersaring karena tekanan itu akan jatuh dari frame, lumpur akan mengental karena kehilangan air dan tersiasa di bagian dalam.

Penambahan tekanan berkisar antara 1-10 kgf/cm2, tetapi karena resistan tekanan yang masuk bertambah besar, maka akan terbentuk cukup adonan di bagian dalam. Apabila sudah terjadi kondisi seperti ini maka pengisian lumpur dihentikan. Tipe alat penyaring tekanan ini umumnya digunakan di industri kecil, antara lain seperti industri tekstil. Kelebihan dari sistem ini adalah sederhana dalam konstruksi dan biaya operasional yang relatif lebih rendah.

(10)

Kelemahan adalah hanya dapat digunakan untuk penanganan lumpur yang sedikit.

 Drying Bed

Salah satu metode paling sederhana adalah drying bed atau bak pengering lumpur. Pengeluaran air lumpur dilakukan melalui media pengering secara gravitasi dan penguapan sinar matahari. Lumpur

yang berasal dari pengolahan air limbah secara langsung tanpa proses pemekatan terlebih dahulu dapat dikeringkan dengan drying bed. Deskripsi bak pengering berupa bak dangkal berisi media penyaring pasir setinggi 10-20 cm dan batu kerikil sebagai penyangga pasir antara 20-40 cm, serta saluran air tersaring (filtrat) di bagian bawah bak. Pada bagian dasar bak pengering dibuat saluran atau pipa pembuangan air dan di atasnya diberi lapisan kerikil (diameter 10-30 mmÆ) setebal 20 cm dan lapisan pasir kasar (3-5 mmÆ) setebal 20-30 cm. Media penyaring merupakan bahan yang memiliki pori besar untuk ditembus air. Pasir, ijuk dan kerikil merupakan media penyaring yang sering digunakan.

Pengisian lumpur ke bak pengering sebaiknya dilakukan 1 kali sehari dengan ketebalan lumpur di bawah 15 cm. Mengingat keterbatasan daya tembus panas matahari, maka kedalaman bak ikurang dari 50 cm. Jika lumpur masuk terlalu banyak, permukaan lumpur tampak mengering tetapi lapisan bawah masih basah, sehingga pengurangan air perlu waktu berhari-hari. Jika saringan tersumbat maka air tidak dapat keluar, sehingga pengurangan kadar air tidak terjadi.

Pengurangan kandungan air dalam lumpur menggunakan sistem pengeringan alami dengan matahari, maka air akan keluar melalui saringan dan penguapan. Pada mulanya keluarnya air melalui saringan berjalan lancar dan kecepatan pengurangan air tinggi, tetapi jika bahan penyaring (pasir)

(11)

tersumbat maka proses pengurangan air hanya tergantung kecepatan penguapan. Kecepatan pengurangan air pada bak pengering lumpur seperti ini bergantung pada penguapan dan penyaringan, dan akan sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca seperti suhu, kelembaban, kecepatan angin, sinar matahari, hujan, ketebalan lapisan lumpur, kadar air, sifat lumpur yang masuk dan struktur kolam pengeringan. Waktu pengeringan biasanya antara 3-5 hari.

Kelebihan sistem ini adalah pengoperasian yang sangat sederhana dan mudah, biaya operasional relatif rendah dan hasil olahan lumpur bisa kering atau kandungan padatan yang tinggi. Kelemahan sistem ini adalah membutuhkan lahan yang luas dan sangat tergantung cuaca.

 Screw Press

Screw press seperti terlihat di Gambar 9.10 menghasilkan lumpur kering (cake) dengan kadar padatan kering 30 – 70% atau kandungan air 30-70%.

Apabila lumpur yang akan diolah berasal dari campuran lumpur kimia-fisika dengan lumpur biologi, maka perlu ditambahkan koagulan polimer atau polielektrolit (PE), sebaliknya apabila hanya berasal dari lumpur kimia-fisika tanpa penambahan koagulan polimer atau polielektrolit (PE), dengan pemakaian umumnya sekitar 1-2 ppm.

Besarnya tekanan yang dihasilkan tergantung dari pengaturan perbedaan jarak antara puncak ulir tekan sepanjang poros dengan kekuatan tekan flange penahan yang ditentukan oleh kondisi dan jumlah pegas yang digunakan. Alat screw press sangat hemat energi. Penggunaan alat screw press makin banyak diterapkan di industri khususnya industri pulp dan kertas.

 Centrifugal

Pada prinsipnya alat ini memisahkan padatan dalam lumpur dari cairan melalui proses sedimentasi dan sentrifugasi. Adabeberapa tipe sentrifugasi tetapi yang umum digunakan adalah tabung horizontal berbentuk kerucut- silindris yang di dalamnya dilengkapi juga dengan screw conveyor yang dapat berputar.Kecepatan putaran conveyor ini sedikit lebih lambat dibandingkan dengan putaran tabung horizontal.

(12)

Lumpur masuk melalui suatu tabung yang tak bergerak terletak sepanjang garis pusat tabung, kemudian didorong keluar oleh conveyor dan didistribusikan ke bagian sisi tabung. Lumpur mengendap dan dipadatkan oleh adanya kekuatan centrifugasi, kemudian dibawa oleh conveyor ke daerah pengeringan dalam tabung di bagian yang runcing, cairannya yang telah terpisah dikeluarkan di bagian yang lainnya. Pada sistem ini padatan kering mencapai sampai 50% atau kandungan air 50%. Pengkondisian lumpur dengan menambahkan koagulan polimer adalah untuk mempercepat dan mempermudah pengeluaran air. Pemakaian koagulan polimer antara 2 – 6 kg/ton padatan lumpur kering.

Biaya investasi dan operasi alat sentrifugal mahal, karena diperlukan bahan kimia pengkondisi dan konsumsi energi listrik yang tinggi. Biaya pemeliharaannya juga tinggi jika dibandingkan dengan alat yang lain.

 Rotary Drum Vacuum Filter

Penyaringan terjadi pada permukaan drum yang berputar. Drum berputar ini dibagi dalam beberapa bagian yang masing – masing berada di bawah tekanan vakum. Sekitar 20 – 40% bagian drum akan terendam lumpur dan mengambil zat padat membentuk padatan lumpur yang menempel di permukaan karena diserap pompa vakum. Sebelum bagian drum dengan padatan lumpur yang menempel terendam kembali, padatan tersebut akan terlepas setelah dicuci. Lumpur kimia-fisika dapat dikeluarkan airnya sampai mencapai padatan kering sebesar 7-9% atau kandungan air 91-93% tanpa perlu dikondisikan dahulu dengan bahan kimia.

(13)

Lumpur biologi mencapai padatan kering sebesar 4-9% atau kandungan air 91-96%, sedangkan lumpur campuran mencapai padatan kering sebesar 5-9% atau kandungan air 91-95%. Beban lumpur kimia – fisika umumnya 30 kg padatan kering /m2 jam, sedangkan untuk lumpur biologi atau lumpur campuran bebannya lebih kecil yaitu 10 -20 kg padatan kering/m2jam dengan hasil padatan kering sekitar 15% dan sebelumnya perlu dikondisikan terlebih dahulu. Kelebihan dari cara ini adalah kapasitas pengolahan yang besar.

Kelemahannya adalah pencapaian padatan kering yang masih rendah dan alat ini lebih cocok digunakan untuk lumpur yang berserat.

2.3 KRITERIA DESAIN Sludge Drying Bed

 Unit sludge drying bed terdiri dari:

o Bak/bed berukuran 6 -9 meter (lebar); 7,5 – 37,5 meter (panjang); 20 – 30 cm (kedalaman lumpur)

o Pasir, tebal 15 -25 cm o Kerikil, tebal 15 – 30 cm

o Drain, dibawah kerikil untuk menampung resapan air dari lumpur

 Luas drying bed dapat dihitung dengan persamaan:

A = K (0,01 R + 1,0) Dimana:

A = luas per kapita, ft2/kap

K = faktor yang tergantung pada tipe digestion K = 1,0 untuk anaerobik digestion

K = 1,6 untuk aerobic digestion R = hujan tahunan

(14)

14

III PENUTUP

3.1 RANGKUMAN

Sumber lumpur pada instalasi pengolahan lumpur berasal dari grit chamber, bak sedimentasi, pencucian filter, bak penurunan kesadahan dan presipitasi.

Karakteristik lumpur tergantung pada sumbernya.

Tujuan penanganan lumpur adalah menghasilkan lumpur dengan kandungan padatan setinggi-tingginya, atau volume yang sekecil-kecilnya dan stabil serta tidak memiliki dampak lingkungan yang lebih buruk. Peningkatan kandungan padatan atau pengurangan kadar air dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain dengan thickening, flotasi dan dewatering.

3.2 SOAL TES FORMATIF

Untuk mengetahui tingkat penguasaan pengetahuan yang diperoleh mahasiswa, maka dosen sebagai fasilitator memberikan tes formatif berupa pertanyaan sebagai berikut:

1. Jelaskan tujuan penanganan lumpur!

2. sludge drying bed merupakan salah satu metode paling sederhana dan banyak digunakan dalam penanganan lumpur, coba jelaskan secara singkat proses penanganan lumpur dengan metode ini !

3.3 UMPAN BALIK

Diskusi dan memberikan pertanyaan untuk memonitor penerimaan mahasiswa akan bahan kuliah yang disajikan.

3.4 DAFTAR PUSTAKA

Hamer, Mark J. 1975,Water and Waste Water Technology, John Wiley & sons, Inc

Kawamura, Susumu (1991), Integrated Design of Water Treatment Facilities, John Wiley & Sons, Inc., New York.

Masduki, A. (2009), Bahan Ajar Mata Kuliah Pengolahan Air Minum, Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP, ITS Surabaya.

Direktorat Jendral Cipta Karya 1998. Petunjuk Teknis Perencanaan Rancangan Teknik Sistem Penyediaan Air Minum Perkotaan Vol.V.

Referensi

Dokumen terkait

Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien dalam keadaan  pucat, tekanan darah 80/40 mmHg, frekwensi nadi 110 x/m, frekwensi pernapasan  pucat, tekanan darah 80/40 mmHg, frekwensi nadi

Lumpur berasal dari unit sedimentasi yang dibuang secara rutin setiap 10 menit dengan volume lumpur rerata 144,93 m 3 /hari dan pada kondisi maksimum 628,30 m 3 /hari, unit

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan secara empirik yaitu pendekatan dengan mengadakan survei dan pengamatan langsung ke objek penelitian untuk

Orang berusaha dengan kedua tangan, maka kedua tangan itu akan binasa, artinya usahanya akan gagal; '!. Watabb!"– "Dan binasalah dia."(ujung

Beberapa prestasi yang telah dicapai oleh PSM UKM adalah sebagai Juara Pertama dalam 1st Parahyangan International Chamber Choir Competition (Bandung, 2009); Juara UMUM Kompetisi

Visual Basic .NET (VB 7), dirilis pada tahun 2002, Beberapa yang mencoba pada versi pertama .NET ini mengemukakan bahwa bahasa ini sangat powerful tapi bahasa yg digunakan

Hal ini mengindikasikan bahwa persamaan yang disarankan oleh program dengan metode desain faktorial dapat memprediksi nilai-nilai yang akan dihasilkan oleh setiap

Asuransi Raya, ada beberapa risiko yang tidak dijamin seperti : kerugian atau kerusakan, biaya atas kendaraan bermotor dan atau tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga,