• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori

1. Lanjut Usia (Lansia) a. Definisi Lansia

Secara umum, seseorang dikatakan dengan lanjut usia (lansia) apabila usia di atas 60 tahun disebabkan oleh faktor tertentu yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar baik jasmani, rohani, maupun sosial. Kelompok dengan kategori lanjut usia akan mengalami suatu proses yang disebut Aging Process atau proses penuaan (Nugroho, 2012). Proses penuaan merupakan proses sepanjang hidup yang dimulai sejak permulaan kehidupan (Kholifah, 2016).

Siklus kehidupan yang ditandai dengan menurunnya berbagai fungsi organ tubuh dan semakin rentannya tubuh terhadap berbagai serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian disebut juga proses penuaan. Misalnya sistem kardiovaskuler, pembuluh darah, pernafasan, pencernaan, endokrin dan lain sebagainya (Fatmah, 2010). Lansia juga akan mengalami proses hilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri secara perlahan sehingga tidak dapat mempertahankan tubuh dari infeksi dan tidak mampu memperbaiki jaringan yang rusak (Sunaryo, 2016).

Kelompok lansia dipandang kelompok masyarakat yang berisiko mengalami gangguan kesehatan, diantaranya meningkatnya disabilitas fungsional fisik.

Disabilitas fungsional pada lansia merupakan spons tubuh sejalan dengan bertambahnya umur seseorang dan proses kemunduran yang diikuti dengan munculnya gangguan fisiologis penurunan fungsi, gangguan kognitif, gangguan afektif, dan gangguan psikososial (Adriani dan Wirjatmadi, 2012). Seseorang yang dikatakan tua jika mempunyai ciri-ciri seperti munculnya uban di rambut, kulit keriput, dan gigi mulai menghilang (ompong) (Maryam, 2008).

b. Batasan Usia Lansia

(2)

Batasan usia pada lansia dari waktu ke waktu berbeda. Menurut Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut usia, yang dimaksud dengan lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Kemenkes, 2016). Menurut Kementerian Kesehatan (2013) mengklasifikasikan lansia terdiri dari

1) Pra lansia yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

2) Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.

3) Lansia resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.

4) Lansia potensia yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.

5) Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

Berdasarkan World Health Organization (WHO) (2015) menyatakan bahwa usia lansia dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu

1) Usia pertengahan (middle age) yaitu usia 45-59 tahun.

2) Lanjut usia (elderly) yaitu usia 60-74 tahun.

3) Lanjut usia tua (old) yaitu usia 75-89 tahun.

4) Usia sangat tua (very old) yaitu usia ≥90 tahun.

2. Kadar Gula Darah

a. Definisi Kadar Gula Darah

Kadar gula darah adalah sejumlah glukosa yang terdapat di plasma darah (Dorland dan Newman, 2010). Suatu peningkatan glukosa setelah makan dan mengalami penurunan di waktu pagi hari bangun tidur. Konsentrasi terhadap gula darah atau peningkatan serum glukosa diatur secara ketat di dalam tubuh. Glukosa dialirkan melalui darah sebagai sumber utama energi untuk sel-sel tubuh (Rudi dan Kwureh, 2017).

Kadar gula darah sangat erat kaitannya dengan penyakit DM. Peningkatan kadar gula darah sewaktu ≥200 mg/dL yang disertai dengan gejala polyuria,

(3)

polydipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya untuk menegakkan diagnosis DM (Perkeni, 2011).

b. Klasifikasi Kadar Gula Darah

Kadar gula darah sewaktu disebut juga kadar gula darah acak. Pemeriksaan kadar gula darah adalah pemeriksaan gula darah kapiler dengan glukometer. Tes ini dapat dilakukan kapan saja dan kadar gula darah sewaktu dikatakan normal jika hasilnya tidak lebih dari 200 mg/dL (ADA, 2014). Apabila pemeriksaan didapatkan hasil peningkatan kadar gula darah sesuai dengan diagnosis DM, maka perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengonfirmasi dengan pemeriksaan gula plasma puasa ulang atau dengan tes toleransi gula oral. Klasifikasi diagnosis DM dengan pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dan puasa berdasarkan Perkeni (2015) sebagai berikut:

Tabel 2.1. Kadar Gula Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL)

Bukan DM Belum pasti DM

DM Kadar gula darah

sewaktu (mg/dL) Kadar gula darah puasa (mg/dL)

Plasma Vena Darah Kapiler Plasma Vena Darah Kapiler

<100

<90

<100 <90

100-199 90-199 100-125

90-99

≥200

≥200

≥126

≥100 Sumber: Perkeni, 2015

Klasifikasi kriteria diagnosis DM menurut Perkeni (2015) ditegakkan bila:

1) Nilai Gula Darah Sewaktu (GDS) >200 mg/dL ditambah 4 gejala khas DM positif (banyak makan, sering kencing, sering haus dan berat badan turun).

2) Nilai Gula Darah Puasa (GDP) >126 mg/dL ditambah 4 gejala khas DM positif (banyak makan, sering kencing, sering haus dan berat badan turun). Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.

3) Nilai GDPP >200 mg/dL meskipun nilai GDP <126 mg/dL dan atau 4 gejala khas DM tidak semuanya positif.

4) TGT (Toleransi Gula Terganggu) ditegakkan bila nilai GDPP 140-199 mg/dL dan gula plasma puasa <100 mg/dL.

(4)

5) GDPT (Gula Darah Puasa Terganggu) bila nilai GDP 100-125 mg/dL dan nilai TTGO gula plasma 2-jam <140 mg/dL.

6) Nilai HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).

c. Cara Pengukuran Kadar Gula Darah

Menurut Rudi (2017) ada beberapa cara yang bisa dilakukan baik secara pribadi maupun tes klinik, diantaranya:

1) Tes darah

Tes darah dapat dilakukan di laboratorium dengan diperiksa yaitu darah saat puasa dan setelah makan. Sebelum melakukan pemeriksaan, harus berpuasa dahulu selama 12 jam. Kadar gula darah yang normal selama berpuasa antara 70-110 mg/dL. Kemudian, pengambilan darah akan dilakukan kembali 2 jam setelah makan, bila hasilnya >140 mg/dL maka pasien menderita kencing manis atau DM.

2) Glukometer

Tes ini dapat dilakukan di laboratorium yang diperiksa bisa gula darah sewaktu, gula darah puasa (puasa terlebih dahulu minimal selama 8 jam sebelum diperiksa) ataupun gula darah 2 jam setelah makan. Kadar gula darah sewaktu normalnya adalah <140 mg/dL, kadar gula darah puasa normalnya adalah 70-110 mg/dL, dan gula darah saat 2 jam setelah makan normalnya <140 mg/dL. Tes ini juga bisa dilakukan sendiri di rumah jika mempunyai alatnya.

Cara pengukurannya antara lain dengan menusukkan jarum pada jari untuk mengambil sampel darah, kemudian sampel darah dimasukkan ke dalam celah yang tersedia pada mesin glucometer. Hasilnya tidak terlalu akurat, tetapi bisa digunakan untuk memantau gula bagi penderita apabila ada indikasi gula darah tinggi dapat segera melakukan pengecekan di laboratorium dan menghubungi dokter. Alat glukometer terkini sudah dirancang begitu mudah digunakan dan tidak menimbulkan rasa sakit pada saat pengambilan sampel darah.

(5)

3. Diabetes Melitus Tipe 2

a. Definisi Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 merupakan kelainan metabolik dengan etiologi multifaktorial. Penyakit ini ditandai dengan hiperglikemia dan memengaruhi metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak (Azrimaidaliza, 2011). DM merupakan penyakit yang dapat menimbulkan komplikasi baik mikrovaskuler maupun makrovaskular, serta menghasilkan kerusakan organ dan jaringan (Hakeem et al., 2018). Kerusakan organ dan jaringan ini dapat menyebabkan lansia dengan menderita DM tipe 2 mengalami gangguan kognitif, depresi, polifarmasi, sarkopenia, dan penurunan fisik (Yakaryilmaz dan Ozturk, 2017).

DM tipe 2 merupakan salah satu masalah kesehatan yang berdampak pada produktivitas dan menurunkan sumber daya manusia (Imelda, 2019). Penyakit ini bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin. DM disebut dengan the silent killer karena dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan (Fatimah, 2015).

b. Etiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Etiologi DM tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. DM tipe 2 sering terlihat dari faktor keturunan dan ditandai dengan resistensi insulin dan defisiensi insulin. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar menyebabkan terjadinya DM tipe 2, diantaranya kelebihan berat badan (indeks massa tubuh (IMT) 25-29,9 kg/m2) atau obesitas (indeks massa tubuh (IMT) >30 kg/m2), diet tinggi lemak, rendah serat, dan kurang aktivitas fisik (BMJ, 2021). Peningkatan berat badan merupakan faktor risiko terjadi DM tipe 2.

Penelitian terbaru yang menyatakan adanya hubungan antara DM tipe 2 dengan obesitas yang melibatkan sitokin pro-inflamasi yaitu tumor nerosis facto alfa (TNFA) dan interleukin 6 (IL-6), resistensi insulin, gangguan metabolisme asam lemak, proses seluler seperti disfungsi mitokondria, dan stres retikulum endoplasma (Decroli, 2019). Resistensi insulin memengaruhi terutama pada hati,

(6)

otot, jaringan adiposit, dan ditandai dengan gangguan kompleks pada reseptor seluler, fungsi glukosa intraseluler kinase, serta proses metabolisme seluler lainnya (BMJ, 2021).

c. Patofisiologi Diabetes Melitus tipe 2

Resistensi insulin pada otot, liver, dan kegagalan sel beta pankreas sudah dikenal sebagai patofisiologi dari DM tipe 2. Selain otot, liver, dan sel beta pankreas, terdapat organ lain penyebab DM tipe 2, diantaranya jaringan lemak (meningkatnya lipolysis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pankreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin) (Perkeni, 2015). DM tipe 2 tidak hanya disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan tersebut disebut sebagai resistensi insulin (Fatimah, 2015).

Resistensi insulin merupakan kondisi dimana insulin dalam tubuh tidak cukup menggunakan tindakan yang proporsional untuk konsentrasi darah.

Kerusakan aksi insulin pada organ target utama seperti sel otot, lemak dan hati sehingga memaksa pankreas mengompensasi untuk memproduksi insulin lebih banyak (Kahn et al., 2014). Ketika produksi insulin oleh sel beta pankreas tidak adekuat guna mengompensasi peningkatan resistensi insulin, maka kadar gula darah akan meningkat sehingga akan terjadi hiperglikemia kronik. Hiperglikemia kronik pada DM tipe 2 semakin merusak sel beta di satu sisi dan memperburuk resistensi insulin di sisi lain, sehingga penyakit DM tipe 2 semakin progresif (Decroli, 2019).

Pada awal perkembangan DM tipe 2, sel beta pankreas menunjukkan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel beta pankreas (Fatimah, 2015). Sel beta pankreas merupakan sel penting diantara sel lainnya seperti sel alfa, sel delta, dan sel jaringan ikat pada pankreas. Jumlah dan kualitas sel beta pankreas dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain proses regenerasi dan kelangsungan hidup sel beta sendiri, mekanisme seluler sebagai pengatur sel beta, kemampuan

(7)

adaptasi sel beta ataupun kegagalan mengompensasi beban metabolik dan proses apoptosis sel (Delicoli, 2019).

Patofisiologi penderita DM tipe 2 terdapat organ lain yang berperan selain otot, liver, dan sel beta pankreas yang biasa disebut sebagai the ominious octet (Perkeni, 2015).

Sumber: PERKENI, 2015

Gambar 1. The ominious octet yang berperan hiperglikemia pada DM Tipe 2

Secara garis besar patofisiologi DM tipe 2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) yaitu:

1) Kegagalan sel beta pankreas

Pada saat diagnosis DM tipe 2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah berkurang.

2) Liver

Pada penderita DM tipe 2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu glukoneogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver hepatic glucose production (HGP) meningkat.

3) Otot

Pada penderita DM tipe 2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.

(8)

4) Sel lemak

Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (free fatty acid) dalam plasma. Peningkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. gangguan yang disebabkan oleh FFA disebut sebagai lipotoxocity.

5) Usus

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding jika diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon like polypeptide-1) dan GIP (glucose dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe 2 mengalami defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Incretin segera dipecah oleh keberadaan enzim DPP-4 sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit.

Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja enzim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan gula darah setelah makan.

6) Sel alfa pankreas

Sel alfa pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia. Sel alfa berfungsi dalam sintesis glukagon dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal.

7) Ginjal

Ginjal merupakan organ yang berperan dalam patogenesis DM tipe 2.

Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. 90 persen dari glukosa terfiltrasi akan diserap kembali melalui SGLT-2 (sodium glucose co- transporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sisa 10 persen akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden sehingga

(9)

akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2.

8) Otak

Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obesitas baik DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak.

d. Tanda dan Gejala Diabetes Melitus Tipe 2

Tanda dan gejala yang dirasakan untuk pasien DM tipe 2 menurut Smeltzer (2013) dan Kowalak (2011), diantaranya:

1) Poliuria (air kencing yang keluar banyak) dan polydipsia (rasa haus yang berlebih) yang disebabkan osmolalitas serum tinggi akibat kadar gula darah meningkat.

2) Anoreksia dan polifagia (rasa lapar berlebih) terjadi karena glukosuria yang menyebabkan keseimbangan energi negatif.

3) Keletihan (rasa cepat lelah) dan kelemahan disebabkan penggunaan glukosa oleh sel menurun.

4) Kulit kering, lesi kulit atau luka lambat sembuh, dan rasa gatal pada kulit.

5) Sakit kepala, rasa kantuk, dan gangguan pada aktivitas disebabkan oleh kadar glukosa intrasel yang rendah.

6) Kram pada otot, iritabilitas, serta emosi yang yang labil akibat ketidakseimbangan elektrolit.

7) Gangguan penglihatan yang mengakibatkan pemandangan kabur karena pembengkakan akibat glukosa.

8) Sensasi kesemutan di tangan dan kaki disebabkan kerusakan jaringan saraf.

9) Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen disebabkan karena neuropati otonom yang menimbulkan konstipasi.

10) Mual, diare, dan konstipasi disebabkan karena dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit serta neuropati otonom.

(10)

e. Determinan Risiko terjadinya Diabetes Melitus Tipe 2 Determinan yang berkaitan dengan DM Tipe 2, diantaranya:

1) Kegemukan (obesitas)

Penelitian Rahati (2014) melaporkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara obesitas dengan kadar gula darah pada derajat kegemukan dengan IMT

>24,9 kg/m2 dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah menjadi 200 mg/dL. Penelitian lain yang dilakukan oleh Shahraki (2008) menyebutkan bahwa tingkat pendidikan rendah pada dewasa dapat menjadi penentu kuat dalam kelebihan berat badan atau obesitas. Kelebihan berat badan atau obesitas ini dapat meningkatkan risiko terkena penyakit DM tipe 2.

2) Hipertensi

Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak tepatnya penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada sirkulasi pembuluh darah perifer (Fatimah, 2015). Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam komplikasi pada penderita DM tipe 2, salah satunya makroangiopati.

Makroangiopati merupakan komplikasi pada pembuluh darah besar yang memengaruhi perubahan tekanan darah (Townsend, 2010).

3) Riwayat keluarga DM

Seseorang yang menderita DM diduga mempunyai gen diabetes. Gen diabetes merupakan gen resesif yang bersifat homozigot dengan riwayat penyakit DM. DM tipe 2 berasal dari interaksi genetik dan berbagai faktor yang sudah lama dianggap berhubungan (Fatimah, 2015). Perkembangan penyakit DM tipe 2 berasal dari 40% jika salah satu orang tua menderita DM, dan 70%

jika kedua orang tua menderita DM (Ali, 2013).

4) Dislipidemia

Keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah (Trigliserida

>250 mg/dL). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin dengan rendahnya HDL (<35 mg/dL) yang terjadi pada orang DM. Menurut penelitian Trisnawati dan Setyorogo (2013) menjelaskan bahwa perempuan memiliki kadar gula darah yang tidak terkendali disebabkan karena perempuan

(11)

mempunyai LDL (Low Density Lipoprotein) lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan memiliki hormon estrogen yang mana pada saat menopause hormon tersebut akan berkurang sehingga dapat menyebabkan kadar LDL dalam tubuh melonjak.

5) Usia

Semua penelitian epidemiologi pada berbagai populasi, prevalensi DM meningkat berdasarkan usia seseorang. Pada populasi Eropa, usia yang terkena penyakit DM berkisar antara 50-60 tahun. Namun, usia ini secara signfikan lebih rendah pada populasi Amerika dan India (Snehalatha dan Ramachandran, 2009). Menurut Smeltzer (2013) melaporkan bahwa usia memiliki kaitan erat dengan kenaikan jumlah gula darah dan tekanan darah, sehingga semakin bertambah usia maka risiko untuk mengalami DM tipe 2 semakin tinggi.

6) Alkohol dan rokok

Perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan peningkatan frekuensi DM tipe 2. Peningkatan perubahan gaya hidup ini banyak dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan pengurangan aktivitas fisik. Perubahan konsumsi alkohol dan rokok juga memengaruhi peningkatan kejadian DM tipe 2. Alkohol akan mengganggu metabolisme gula darah terutama pada penderita DM tipe 2, sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan darah. Seseorang akan meningkat tekanan darah apabila mengonsumsi alkohol lebih dari 60 ml/hari setara dengan 100 ml proof wiski, 240 ml wine atau 720 ml (Fatimah, 2015).

Menurut penelitian Trisnawati dan Setyorogo (2013) menunjukkan bahwa asap rokok dapat meningkatkan kadar gula darah. Pengaruh nikotin pada asap rokok dapat merangsang kelenjar adrenal dan dapat meningkatkan kadar gula dalam darah.

7) Lingkungan

Lingkungan berpengaruh pada perkembangan DM tipe 2 termasuk obesitas, perubahan gaya hidup, berat bayi lahir rendah maupun besar, faktor stres, dan ketersediaan sumber daya. Lingkungan memainkan peran utama dalam perkembangan DM, tetapi tidak memengaruhi setiap orang dengan cara yang

(12)

sama (Ali, 2013). Ketersediaan sumber daya umum seperti penggunaan transportasi umum, trotoar, atau tempat umum yang dirancang untuk mendorong melakukan aktivitas fisik dan interaksi sosial. Individu yang hidup di lingkungan tersebut dan melakukan aktivitas seperti jalan kaki dapat mengurangi risiko obesitas (Dendup et al., 2018).

4. Konsumsi Makanan

a. Definisi Konsumsi Makanan

Konsumsi makanan adalah susunan makanan yang merupakan suatu kebiasaan yang dimakan seseorang dalam jenis dan jumlah bahan makanan setiap orang dalam hari yang dikonsumsi atau dimakan dengan jangka waktu tertentu (Almatsier, 2005). Makanan diperlukan sebagai bahan bakar dalam pembentukan ATP. Selama pencernaan, banyak zat gizi yang diabsorpsi untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh (Tandra, 2008). Berdasarkan jumlah yang dibutuhkan oleh tubuh, zat gizi terbagi menjadi dua yaitu zat gizi makro dan zat gizi mikro.

Zat gizi makro merupakan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah besar dengan satuan gram (g). Zat gizi yang termasuk kelompok zat gizi makro diantaranya karbohidrat, lemak, dan protein. Zat gizi mikro merupakan zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dengan jumlah kecil tetapi ada di dalam makanan.

Zat gizi yang termasuk dalam zat gizi mikro diantaranya mineral dan vitamin dengan satuan miligram (mg) (Almatsier, 2005).

b. Indeks Glikemik Makanan bagi Diabetes Melitus tipe 2

DM tipe 2 sangat dipengaruhi oleh konsumsi makanan yang digunakan untuk terapi medis dalam mengendalikan glukosa, lemak, dan tekanan darah.

Perencanaan makanan hendaknya dengan kandungan zat gizi yang cukup dan disesuaikan dengan kebutuhan tubuh seperti pengurangan total lemak terutama lemak jenuh, serta konsumsi glukosa dan karbohidrat (Di Piro et al., 2008). Salah satu cara untuk mengontrol asupan makan pada DM tipe 2 yaitu dengan pengaturan makan melalui pemilihan konsep indeks glikemik (IG).

(13)

IG merupakan ukuran kecepatan suatu pangan dalam meningkatkan kadar gula darah setelah dikonsumsi (Diyah et al., 2016). Pangan dengan IG tinggi akan menaikkan kadar gula darah secara cepat, sedangkan pangan IG rendah akan menaikkan kadar gula darah secara lambat. IG pangan banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya kadar serat, perbandingan amilosa dan amilopektin, daya cerna pati, kandungan monosakarida, kadar lemak dan protein, cara pengolahan, serta zat anti gizi pangan (Rimbawan dan Siagian, 2004). Nilai IG dapat dikelompokkan menjadi tiga kelas, yaitu IG rendah (<55), sedang (55 – 70), dan tinggi (>70) (Pruett, 2010).

Tabel 2.2. Makanan yang termasuk IG Rendah, Sedang, dan Tinggi

IG Rendah Nilai IG IG Sedang Nilai IG IG Tinggi Nilai IG

Beras coklat Tortila jagung Mie instan Bihun Talas rebus Nasi merah Susu skim Yoghurt Jeruk bali Pir Apel Jeruk Anggur Kurma Kacang tanah Kacang kedelai Kacang mede asin Kacang merah Kacang hitam Kacang polong Kacang hijau Wortel Ketela Talas Jamur Brokoli Teh Kopi Kedelai Keju Kelapa Mentega

Susu rendah lemak Susu kedelai

50 52 47 53 53 50 32 33 25 38 39 40 43 42 7 15 27 29 30 42 31 47 37 54 10 10 10 16 18 33 45 30 26 44

Instant oatmeal Beras Basmati Jagung Pisang Bubur polos Madu Pepaya Mangga Melon Es Krim Kismis Bit Nanas

Ubi jalar rebus Roti kering Roti tawar putih

66 70 69 58 58 58 60 60 65 62 64 64 66 63 67 70

Roti gandum utuh Keripik jagung Bubur beras Kerupuk Kurma Semangka Lobak Nasi putih Biskuit Wafer Donat Makaroni

Roti gandum putih Kentang panggang Kentang rebus Kentang goreng Labu

74 81 78 87 103 103 97 83 79 77 76 71 75 85 88 75 75

(14)

Sumber: Diabetes Solution Center, 2017

c. Zat Gizi Makanan bagi Diabetes Melitus Tipe 2

Secara umum, DM Tipe 2 dalam mengendalikan kadar gula darah dapat dilihat berdasarkan diet atau asupannya. Konsumsi makanan yang dikendalikan dapat melihat dari zat gizi makro meliputi energi, karbohidrat, protein, dan lemak, serta zat gizi mikro meliputi vitamin C, vitamin D, kalsium, dan magnesium.

1) Energi

Konsumsi energi berpengaruh terhadap usia dan kualitas hidup lansia.

Kebutuhan energi seiring bertambahnya usia mengalami penurunan. Penurunan jumlah energi bagi lansia sangat bermanfaat dalam mengurangi penyakit metabolik, salah satunya DM tipe 2 (Shlisky et al., 2017). Berikut rerata jumlah kebutuhan energi menurut usia lansia (≥60 tahun):

Tabel 2.3. Rerata Jumlah Kebutuhan Energi

Usia Rerata Kebutuhan Energi laki-laki (kkal/hari)

Rerata Kebutuhan Energi perempuan (kkal/hari) 50-64 tahun

65-80 tahun

≥80 tahun

2150 1800 1600

1800 1550 1400 Sumber: Angka Kecukupan Gizi, 2019

Ada beberapa cara dalam menentukan jumlah energi yang dibutuhkan penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan energi basal yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi dengan beberapa faktor yaitu jenis kelamin, usia, aktivitas, berat badan, dan lain-lain. Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan energi antara lain (Perkeni, 2015):

a) Jenis Kelamin

Kebutuhan energi basal per hari untuk perempuan sebesar 25 kal/kgBB sedangkan untuk laki-laki sebesar 30 kal/kgBB.

b) Usia

(15)

Penderita usia diatas 40 tahun, kebutuhan energi dikurangi 5% untuk setiap dekade antara 40 dan 59 tahun. Usia diantara 60 dan 69 tahun, dikurangi 10.

Usia diatas 70 tahun dikurangi 20%.

c) Aktivitas Fisik atau Pekerjaan

Kebutuhan energi dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.

Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat. Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas ringan seperti pegawai kantor, guru, ibu rumah tangga. Penambahan sejumlah 30%

pada aktivitas sedang seperti pegawai industri ringan, mahasiswa, militer yang sedang tidak perang. Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat seperti petani, buruh, atlet, militer dalam keadaan latihan. Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat seperti tukang becak, tukang gali.

d) Stress Metabolik

Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress metabolik (sepsis, operasi, trauma).

e) Berat Badan

Penderita DM yang gemuk, kebutuhan energi dikurangi sekitar 20-30%

tergantung pada tingkat kegemukan. Berat badan kurus, kebutuhan energi ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. Jumlah energi yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kal per hari untuk perempuan, dan 1200-1600 kal perhari untuk laki-laki.

2) Karbohidrat

Karbohidrat yang dianjurkan oleh DM tipe 2 sebesar 45-65% total asupan energi. Pembatasan karbohidrat total kurang dari 130 g/hari tidak dianjurkan (Perkeni, 2015). Sumber karbohidrat yang dikonsumsi berasal dari jenis karbohidrat yang kompleks. Jenis karbohidrat kompleks misalnya dari pati ataupun makanan yang berserat tinggi seperti sereal atau buah. Perlu diperhatikan juga efek glikemia diantara berbagai makanan yang komposisi tampak sama. IG dapat melihat kuantitas glikemia dalam makanan (Azrimaidaliza, 2011).

(16)

Peningkatan konsumsi karbohidrat dapat meningkatkan sekresi insulin untuk mempertahankan homeostasis insulin. Konsumsi karbohidrat yang tinggi berhubungan dengan penerimaan energi yang setelah konsumsi makanan tersebut menyebabkan kadar insulin tinggi dan menghasilkan perkembangan DM lebih cepat (Rahati et al., 2014).

3) Protein

Kebutuhan protein pada laki-laki menjadi sedikit lebih rendah dibandingkan wanita setelah usia 50 tahun. Kebutuhan protein yang dianjurkan sebesar 10- 20% dari total asupan energi. Sumber protein yang baik diantaranya ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe (Perkeni, 2015).

Konsumsi protein hewani yang tinggi berkaitan dengan peningkatan risiko DM tipe 2, sedangkan protein nabati yang tinggi berkaitan dengan penurunan risiko DM tipe 2 (Malik et al., 2016). Daging merah dan daging olahan merupakan faktor risiko terjadinya DM tipe 2, sedangkan kedelai dan produk susu merupakan pelindung dari DM tipe 2. Jenis dan sumber makanan protein harus diperhatikan dalam pencegahan DM tipe 2 (Tian et al., 2017)

4) Lemak

Penyandang DM harus membatasi konsumsi lemak, terutama konsumsi lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan. Lemak jenuh salah satu determinan diet yang penting untuk menentukan kadar LDL kolesterol di dalam plasma.

Aspek penting dalam komposisi diet yaitu konsumsi lemak jenuh <10% dari total energi atau <8% bagi pasien dengan risiko kardiovaskuler tinggi.

Tingginya risiko penyakit kardiovaskuler pada pasien DM menyebabkan bahwa konsumsi lemak jenuh memberikan efek terhadap metabolisme lemak (peningkatan kolesterol dan LDL), resistensi insulin, dan tekanan darah (Azrimaidaliza, 2011).

Kebutuhan lemak yang dianjurkan sebesar 20-25% dari kebutuhan energi dan tidak diperkenankan melebihi 30% dari total konsumsi energi. Konsumsi kolesterol yang dianjurkan untuk pasien DM yaitu <300 mg/hari. Makanan sumber lemak yang harus dibatasi yaitu berasal dari daging, makanan laut,

(17)

produk susu, margarin, dan makanan olahan yang banyak mengandung lemak trans (Rahati et al., 2014).

5) Vitamin C

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa vitamin C berfungsi sebagai antioksidan yang dapat menurunkan resistensi insulin melalui perbaikan fungsi endotelial dan menurunkan stres oksidatif sehingga mencegah berkembangnya kejadian DM tipe 2. Vitamin C berperan memodulasi aksi insulin pada penderita DM dan berhubungan dengan menurunkan gula darah (Ismail et al., 2012). Upaya perawatan penderita DM tipe 2 melalui suplementasi antioksidan atau makanan kaya dengan antioksidan yang memberikan manfaat dalam memperkuat enzim pertahanan dan menurunkan peroksidasi lipid (Dallatu et al., 2011).

Bahan makanan vitamin C yang dianjurkan bersumber dari makanan alami seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Apabila dikonsumsi sesuai dengan kebutuhan dapat memberikan manfaat dalam mencegah terjadinya penyakit degeneratif dan menurunkan kadar gula darah (Azrimadizaliza et al., 2010).

Menurut studi prospektif menyatakan bahwa konsumsi buah dan sayuran sebanyak 1,6 porsi/minggu lebih baik dibandingkan dengan konsumsi 0,7 porsi/minggu bagi penderita DM tipe 2 (Wilson et al., 2017).

6) Vitamin D

Vitamin D diperlukan dalam penyerapan kalsium yang penting untuk kesehatan tulang, khususnya lansia. Vitamin D diperoleh dari sinar matahari serta makanan vitamin D banyak terdapat di ikan, telur, sereal, margarin (Rahati et al., 2014). Menurut penelitian kohort Mitri (2011) mengemukakan bahwa subjek yang mengonsumsi asupan vitamin D >500 IU/hr dapat menurunkan risiko DM sebanyak 13% dibandingkan mengonsumsi <200 IU/hr.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa status vitamin D yang rendah dapat berkontribusi terhadap resistensi insulin. Status vitamin D yang rendah berkaitan dengan tanda-tanda gangguan metabolisme glukosa, seperi HbA1c.

Usia lansia juga berkaitan dengan penurunan konsentrasi 7-dehydrocholesterol dalam kulit manusia, pengurangan paparan matahari, penyerapan vitamin D di

(18)

gastrointestinal yang menurun sehingga lansia mengalami kekurangan vitamin D (Dalgard et al., 2011).

7) Kalsium

Konsumsi kalsium yang cukup dapat membantu memperlambat pengeroposan tulang yang berkaitan dengan usia sehingga dapat mengakibatkan terjadinya osteoporosis dan patah tulang. Makanan yang mengandung kalsium diantaranya susu serta produk susu (Azrimaidaliza, 2011). Konsumsi kalsium juga memerankan dalam berbagai fungsi yang berkaitan dengan homeostasis glukosa. Kalsium mengatur proses intraseluler dimediasi insulin dalam jaringan yang berpartisipasi dalam fungsi sekresi sel bera pankreas dan fosforilasi reseptor insulin (Garach et al., 2019).

8) Magnesium

Magnesium merupakan komponen biji-bijian yang ditemukan di kulit sereal. Magnesium yaitu komponen penting berbagai enzim dan mineral kedua terbanyak dalam intrasel. Magnesium akan mempermudah glukosa masuk ke dalam sel dan juga merupakan kofaktor dari berbagai enzim untuk oksidasi glukosa. Pentingnya konsumsi magnesium yang cukup terutama pasien DM tipe 2 berkaitan dengan perannya dalam pemeliharaan homeostasis glukosa darah bersama dengan aktivasi faktor-faktor yang terlibat dalam sensitivitas insulin (Faradhita et al., 2014).

Kurangnya kadar magnesium di dalam tubuh akan mengurangi aktivitas tirosin kinase di dalam reseptor insulin sehingga akan berdampak terhadap penurunan sensitivitas insulin. Menurut penelitian Larrson dan Wolk (2007) menyatakan bahwa konsumsi magnesium berbanding terbalik terhadap risiko terjadinya DM tipe 2. Potensi peran protektif konsumsi makanan yang mengandung magnesium terhadap DM tipe 2 yaitu kemampuan dalam memperbaiki sensitivitas insulin.

d. Hubungan Konsumsi Zat Gizi Makanan dengan Diabetes Melitus Tipe 2 Konsumsi makanan yang diasup melebihi kebutuhan tubuh dapat menyebabkan lebih banyak glukosa yang ada di dalam tubuh. Pada penderita DM

(19)

tipe 2, jaringan tubuh tidak mampu untuk menyimpan dan menggunakan glukosa sehingga kadar gula akan naik dan menjadi racun bagi tubuh. Tingginya kadar gula darah dipengaruhi oleh tingginya asupan energi dari makanan (Arviani, 2015).

Konsumsi energi yang berhubungan dengan tingginya kadar gula darah berasal dari asupan lemak. Lansia dengan diabetes mengonsumsi total lemak (>25-30%), asam lemak jenuh (>13%), asam lemak tak jenuh tunggal (>10%) dan konsumsi karbohidrat rendah (<35-40%) berkaitan dengan kontrol glikemik yang buruk pada laki-laki dibandingkan perempuan (Mi-Hye et al., 2010).

Terdapat beberapa penelitian yang mengemukakan tidak seimbangnya konsumsi energi, karbohidrat, dan protein dapat mengakibatkan terjadinya penyakit DM. Penelitian dari Muliani (2013) menjelaskan bahwa ada hubungan antara konsumsi energi dengan peningkatan kadar gula darah pada penderita DM tipe 2.

Energi yang dikonsumsi berasal dari karbohidrat, protein, dan lemak yang jika dikonsumsi dapat menyebabkan hiperglikemi. Total konsumsi protein dan protein hewani berkaitan dengan risiko tinggi terjadinya DM tipe 2, sedangkan protein nabati berkaitan dengan risiko rendah DM tipe 2. Konsumsi daging merah, unggas, dan olahan daging yang berlebihan berkaitan dengan risiko tinggi DM tipe 2 (Tian et al., 2017)

Konsumsi makanan dengan IG tinggi juga dapat progresifitas penyakit memburuk. Makanan dengan IG tinggi berpengaruh pada kecepatan dan jumlah gula darah dengan cepat sehingga dapat menyebabkan resistensi insulin. Selain itu, konsumsi makanan dengan IG tinggi dapat merangsang penurunan sekresi insulin yang dapat memengaruhi kerja atau fungsi sel beta pankreas (Diyah et al., 2016).

Pasien DM sering mengonsumsi makanan dengan IG tinggi maka berdampak pada hiperglikemik hingga komplikasi DM seperti katarak, gagal ginjal, jantung koroner, ketosidosis hingga stroke (Almatsier, 2005).

Menurut Hoerudin (2012) menyatakan bahwa makanan dengan IG rendah dan tinggi dapat dibedakan berdasarkan kecepatan pencernaan dan penyerapan glukosa serta fluktuasi kadar dalam darah. Makanan IG rendah mengalami proses pencernaan lambat, sehingga laju pengosongan lambung berlangsung lambat.

Makanan dengan IG tinggi laju pengosongan lambung, pencernaan karbohidrat,

(20)

dan penyerapan gula darah relatif tinggi sehingga menyebakan kadar gula darah meningkat.

Selain konsumsi zat gizi makro, zat gizi mikro seperti vitamin C, vitamin D, kalsium, dan magnesium berpengaruh pada penderita DM tipe 2. Konsumsi vitamin C yang rendah berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya DM tipe 2.

Vitamin C merupakan antioksidan yang dapat mencegah berkembangnya stres oksidatif, sehingga vitamin C dapat mencegah berkembangnya DM tipe 2 (David et al., 2015). Vitamin D pada kadar 25 (OH) D diketahui berhubungan terbalik dengan homeostasis glukosa, resistensi insulin dan fungsi sel beta pankreas. Jika kadar 25 (OH) D lebih tinggi maka fungsi sel beta lebih baik, menurunkan kadar gula darah, serta menurunkan resistensi insulin pada penderita DM tipe 2 (Garach et al., 2019).

Berdasarkan penelitian kohort pada studi Genome Korea selama 10 tahun menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara konsumsi kalsium dengan kejadian DM tipe 2. Konsumsi kalsium yang tinggi dapat menurunkan berkembangnya DM tipe 2 (Nam Kim et al., 2018). Selain itu, penelitian Faradhita (2014) menyatakan bahwa semakin tinggi konsumsi magnesium di dalam tubuh maka semakin rendah kadar gula darah puasa. Penderita DM tipe 2 mengonsumsi magnesium dalam jumlah cukup dan mengatur pola makan yang baik dapat mengendalikan kadar gula darah di dalam tubuh.

5. Olahraga

a. Definisi Olahraga

Olahraga merupakan pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh kontraksi otot rangka dan dapat meningkatkan pengeluaran energi. Olahraga dilaksanakan dengan terencana dan terstruktur yang melibatkan gerakan tubuh berulang-ulang serta ditujukan untuk meningkatkan kebugaran jasmani. Bagi penderita DM, olahraga dapat membantu dalam peningkatan kontrol glikemik, penurunan resistensi insulin, peningkatan kardiorespiratori, penurunan tekanan darah, dan pengelolaan berat badan (Sigal et al., 2018).

(21)

Olahraga bagi penderita DM tipe 2 memiliki peranan penting dalam mengendalikan kadar gula darah. Saat melakukan olahraga terjadi peningkatan pemakaian glukosa oleh otot yang aktif sehingga secara langsung dapat menyebabkan penurunan gula darah (Sidartawan, 2006). Bagi lansia sebaiknya olahraga melihat dari kriteria frekuensi, intensitas, waktu dan tipe. Frekuensi merupakan seberapa sering olahraga dilakukan, berapa hari dalam satu minggu.

Intensitas merupakan seberapa keras suatu olahraga dilakukan. Intensitas diklasifikasikan menjadi intensitas rendah, sedang, dan tinggi. Waktu mengacu pada durasi dengan seberapa lama suatu olahraga dilakukan dalam satu pertemuan (Ambardini, 2009).

b. Klasifikasi Olahraga

Menurut Maryam (2008) olahraga yang dilakukan lansia termasuk penderita DM tipe 2 dalam kehidupan sehari-hari dapat meningkatkan dan memelihara kebugaran, olahraga tersebut diantaranya:

1) Pekerjaan rumah dan berkebun

Kegiatan ini membutuhkan energi yang akan mengeluarkan keringat, tetapi harus dikerjakan secara tepat agar nafas sedikit lebih cepat, denyut jantung lebih cepat, dan otot menjadi lelah. Pekerjaan rumah dan berkebun bagi lansia dianjurkan untuk melakukannya dalam intensitas sedang selama 30 menit setiap hari dalam seminggu.

2) Jalan santai

Jalan santai sangat baik untuk meregangkan otot-otot kaki. Bila jalan semakin cepat dapat bermanfaat untuk daya tahan tubuh. Jika melangkah dengan panjang dan mengayunkan lengan 10-20 kali dapat melenturkan tubuh. Hal ini bergantung pada kebiasaan berjalan seseorang.

3) Jalan cepat

Jalan cepat merupakan olahraga lari dengan kecepatan di bawah 11 km/jam atau dibawah 5,5 menit/km. Jalan cepat berguna untuk mempertahankan kesehatan dan kesegaran jasmani yang aman bagi lansia. Selain itu, biayanya murah dan menyenangkan, mudah, serta berguna bila dilakukan dengan benar.

(22)

Posisi yang dianjurkan pada saat jalan cepat adalah pandangan lurus kedepan, bernafas normal melalui hidung atau mulut, kepala, dan badan lemas serta tegak, tangan digenggam ringan, kaki mendapat di tumit atau pertengahan telapak kaki, langkah tidak terlalu besar, serta ujung kaki mengarah ke depan. Jalan cepat dilakukan dengan frekuensi 3-5 kali seminggu, lama latihan 15-30 menit, dilakukan tidak kurang dari 2 jam setelah makan.

4) Renang

Renang paling baik dilakukan untuk menjaga kesehatan karena pada saat berenang hampir semua otot tubuh bergerak, sehingga kekuatan otot meningkat.

Aktivitas renang baik untuk orang-orang yang menderita penyakit lemah otot atau kaku sendi karena dapat melancarkan peredaran darah jika dilakukan secara teratur.

5) Bersepeda

Bersepeda baik untuk meningkatkan peregangan dan daya tahan tetapi tidak menambah kelenturan pada derajat yang tinggi. Kegiatan ini dapat dilakukan sesuai kemampuan dan harus disertai latihan aerobik. Latihan fisik ini dapat dilakukan sekurangnya 30 menit dengan intensitas sedang, 5 hari dalam seminggu atau 20 menit dengan intensitas tinggi, 3 hari dalam seminggu dan 2 hari dalam seminggu. Modifikasi aktivitas ini dapat dilakukan dengan bersepeda statis bagi lansia yang mengalami gangguan penglihatan dan osteoartritis.

6) Senam

Senam lansia merupakan aktivitas ringan dan mudah dilakukan dengan tidak memberatkan yang diterapkan pada lansia. Salah satu contoh senam yaitu senam diabetes atau senam aerobik. Senam aerobik dapat memerbaiki kerja insulin, pengendalian glukosa darah, oksidasi, serta penimbunan lemak di otot (Kurniawan dan Wuryaningsih, 2016).

7) Latihan beban

Latihan beban dapat meningkatkan masa otot rangka. Tingkat aktivitas fisik yang direkomendasikan dapat membantu menurunkan berat badan, gula darah, dan tekanan darah.

c. Hubungan Olahraga dengan Diabetes Melitus Tipe 2

(23)

Olahraga bagi penderita DM dilakukan dengan berbagai pertimbangan terhadap kadar gula darah dan insulin (Ambardini, 2009). Penelitian Nurayati dan Adriani (2017) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara olahraga dengan kadar gula darah puasa responden penderita DM tipe 2. Olahraga secara langsung berhubungan dengan kecepatan pemulihan gula darah otot. Saat olahraga, otot menggunakan glukosa yang disimpan sehingga glukosa tersebut akan berkurang.

Kekurangan glukosa pada otot, otot mengambil glukosa di dalam darah sehingga glukosa di dalam darah menurun yang mana dapat meningkatkan kontrol gula darah (Barnes, 2012).

Penelitian Jayaprasad (2018) menyatakan bahwa aktivitas fisik seperti olahraga dengan frekuensi kurang 3 kali lebih tinggi menyebabkan DM tipe 2.

Olahraga dengan frekuensi yang kurang menyebabkan DM tipe 2 lebih tinggi, sedangkan olahraga dengan frekuensi yang sedang hingga tinggi memiliki pengaruh pada insulin dan metabolisme C-peptida pada DM tipe 2. Olahraga mengakibatkan insulin semakin meningkat sehingga kadar gula darah akan berkurang serta dapat menurunkan kejadian DM tipe 2, khususnya pada lansia (Hu et al., 2019). Olahraga yang kurang dapat menurunkan produksi NO (Nitric Oxide) yang secara paralel menurunkan produksi endhotelial drive relaxing factor (EDRF) sehingga menyebabkan kerusakan pembuluh darah (Rajasa et al., 2016). Pada orang jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke dalam tubuh berubah sebagai lemak dan glukosa. Jika insulin tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi energi, maka akan menimbulkan DM (Kemenkes, 2010).

6. Pendampingan Keluarga

a. Definisi Pendampingan Keluarga

Pendampingan merupakan bentuk pelayanan perawatan oleh seseorang dengan usia lansia di lingkungan keluarga atau rumah sebagai wujud perhatian terhadap lansia dengan mengutamakan peran keluarga (Widyakusuma, 2013).

Pendampingan terutama mengacu pada semangat, tindakan memedulikan dan mendampingi secara generik. Keluarga bagian terpenting bagi semua orang khususnya lansia dengan penderita DM tipe 2. Keluarga merupakan sekelompok

(24)

manusia yang tinggal dalam satu rumah tangga dalam kedekatan yang konsisten dan hubungan yang erat (Badriah dan Sahar, 2018). Peran keluarga harus memulai berbenah diri terhadap lansia dengan mengontrol pola makan dan aktivitas fisik.

Hal tersebut sangat membutuhkan bantuan dari orang sekitar terutama keluarga dengan menceritakan kondisi DM pada orang terdekat, sehingga dapat membantu dalam kontrol diet dan program pengobatan (Wardani dan Isfandiari, 2014).

Pendampingan perawatan di rumah dapat meningkatkan kehidupan keluarga dan mengurangi beban khususnya bagi lansia karena keterbatasannya.

Pendampingan dan dukungan oleh keluarga yang kuat menunjukkan bahwa intervensi perawatan bagi lansia dengan DM tipe 2 berdampak positif dalam menghasilkan peningkatan kepatuhan diet (Markle-Reid et al., 2017). Pemberian perawatan kesehatan harus membutuhkan pengetahuan, kompetensi, dan keterampilan khusus yang dapat memengaruhi perubahan yang terjadi dalam pengaturan kepatuhan diet khususnya DM tipe 2 (Floriano et al., 2012).

b. Jenis Pendampingan Keluarga

Pendampingan keluarga bertugas seperti tugas rumah tangga yang meliputi membantu perawatan pribadi dan melakukan tugas-tugas perawatan dengan tenaga medis. Fungsi dari pendampingan keluarga adalah merawat pasien yang menderita suatu penyakit termasuk menyediakan makanan, membawa pasien ke pelayanan kesehatan, dan memberikan dukungan emosional, kasih sayang, dan perhatian.

Menurut Barbosa dan Figueiredo (2015) ada 3 jenis pendampingan keluarga, diantaranya:

1) Pendampingan Primer

Pendampingan primer merupakan pendampingan utama dengan tingkat tanggung jawab tertinggi mengenai perawatan dan melakukan tugas terbesar dari tugas-tugas pengasuhan. Pendampingan primer melakukan perawatan sendiri atau bersama dengan yang lain.

2) Pendampingan Sekunder

Pendampingan sekunder merupakan seseorang yang melakukan tugas-tugas dengan tingkat yang sama dengan pendampingan primer. Namun, tingkat

(25)

tanggung jawab dari pendampingan sekunder berbeda dengan primer, sehingga pendampingan sekunder tidak berkewajiban untuk mengambil keputusan tentang dukungan dan perawatan pasien. Pendampingan sekunder menyediakan perawatan bersama dengan pendampingan sekunder.

3) Pendampingan Tersier

Pendampingan tersier merupakan pendampingan yang memiliki sedikit atau tidak memiliki tanggung jawab sama sekali untuk memutuskan merawat pasien.

Tugas yang dilakukan oleh pendampingan tersier biasanya meliputi belanja, berkebun, dan membayar tagihan. Pendampingan tersier dapat memberikan perawatan apabila pendampingan keluarga yang lain tidak hadir.

c. Hubungan Pendampingan Keluarga dengan Diabetes Melitus Tipe 2

Pendampingan keluarga merupakan faktor yang dapat memengaruhi kualitas hidup lansia dalam memertahankan kadar gula darah. Tingginya tanggung jawab anggota keluarga dalam perawatan lansia dengan DM dapat menyebabkan penurunan komplikasi dan peningkatan kepatuhan diet lansia dalam menjaga kesehatannya (Badriah dan Sahar, 2018). Lansia dengan pendampingan keluarga yang buruk jarang menyiapkan makanan yang sesuai dengan kebutuhan dapat memberikan pola hidup yang tidak sehat. Pendampingan keluarga yang baik dapat menjaga pola hidupnya menjadi lebih baik, seperti pemantauan gula darah, tekanan darah, perencanaan dalam menyiapkan makanan, dan olahraga sehingga diet yang dijalankan juga dapat memengaruhi kesehatannya.

Pendampingan keluarga dapat berpengaruh dalam meningkatkan kepatuhan dalam mengonsumsi makanan, kesembuhan pasien, dan menumbuhkan kesadaran dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan pemecahan masalah pada pasien DM.

Keluarga merupakan sarana untuk memotivasi khususnya lansia dalam memberikan dukungan emosional untuk menjalankan diet dan gaya hidup terkait dengan penyakit DM yang diderita (Widayati et al., 2018).

Pendampingan juga mempunyai peranan penting dalam meningkatkan keberfungsian sosial. Sosial yang mendukung terutama peran keluarga menjadi faktor keberhasilan dalam melaksanakan kepatuhan diet. Penelitian yang dilakukan

(26)

oleh Paramita (2013) terhadap 33 keluarga dengan anggota keluarga penderita DM, mendapatkan hasil bahwa pengaruh yang signifikan terapi pendampingan keluarga terhadap tingkat kemandirian keluarga pada penderita DM tipe 2. Lansia dengan DM tipe 2 menjadi faktor penting dilihat dari perubahan fisiologis, perubahan fungsional, perubahan kognitif, dan perubahan psikososial. Ketika lansia berfikir tentang kesejahteraan hidup maka lansia akan terdorong untuk hidup dengan pola hidup yang sehat dengan mematuhi apa yang sudah diajarkan dari petugas kesehatan maupun keluarga sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan lansia secara menyeluruh (Istikharoh et al., 2015).

Penelitian Narayani (2009) menyatakan bahwa pengetahuan keluarga akan berdampak pada peningkatan sikap dan perilaku mereka dalam memberikan perawatan dan pendampingan terhadap aktivitas sehari-hari pada lansia.

Pengetahuan yang dimiliki keluarga dapat mengambil sikap yang tepat dalam pemberian perawatan, diantaranya memberikan asuhan dan perawatan sebaik mungkin tanpa mengganggu atau mengurangi kemandirian diri lansia yang diasuh sehingga tercapai tujuan memberikan kesehatan lansia yang optimal.

(27)

B. Kerangka Berpikir

: Diteliti : Tidak diteliti

Gambar 2. Kerangka Berpikir Determinan Zat Gizi Makro dan Mikro, Olahraga serta Pendampingan Keluarga terhadap Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 pada Lanjut Usia.

Konsumsi Makanan

Pendampingan Keluarga

Kepatuhan

 

Olahraga

Konsumsi Zat Gizi Makro  1. Karbohidrat 2. Protein 3. Lemak

Konsumsi Zat Gizi Mikro  1. Vitamin C 2. Vitamin D 3. Kalsium 4. Magnesium

Resistensi Insulin

Kadar Gula Darah 

 Diabetes Melitus Tipe 2

Penyakit Komplikasi

Baik Kurang

Karakteristik Partisipan 1. Usia

2. Jenis Kelamin 3. Tingkat Pendidikan 4. Status Gizi

Baik Kurang

Kadar Gula Darah 

 Diabetes Melitus Tipe 2

Konsumsi Makanan Olahraga

Konsumsi Zat Gizi Makro  1. Karbohidrat 2. Protein 3. Lemak

Konsumsi Zat Gizi Mikro  1. Vitamin C 2. Vitamin D 3. Kalsium 4. Magnesium

(28)

C. Hipotesis

1. Konsumsi makanan zat gizi makro dapat memengaruhi diabetes melitus tipe 2 pada lanjut usia.

2. Konsumsi makanan zat gizi mikro dapat memengaruhi diabetes melitus tipe 2 pada lanjut usia.

3. Olahraga dapat memengaruhi diabetes melitus tipe 2 pada lanjut usia.

4. Pendampingan keluarga dapat memengaruhi diabetes melitus tipe 2 pada lanjut usia.

Gambar

Gambar 1. The ominious octet yang berperan hiperglikemia pada DM Tipe 2
Gambar  2.  Kerangka  Berpikir  Determinan  Zat  Gizi  Makro  dan  Mikro,  Olahraga  serta  Pendampingan Keluarga terhadap Kejadian Diabetes Melitus Tipe 2 pada Lanjut Usia

Referensi

Dokumen terkait

Upaya-upaya yang dilakukan untuk menanggulangi hambatan dalam pengembangan model pembiasaan pada pembelajaran agama Hindu di SLB/C Kemala Bhayangkari Tabanan dalam

Altenatif pengunaan energi dari minyak bumi yang menipis itu adalah dengan menggunakan bentuk energi lain atau berupaya untuk hemat dalam penggunaan energi minyak bumi. Bentuk lain

Meski demikian adanya inovasi baru yang dilakukan PT.PLN (Persero) dalam memberikan pelayanan yang prima, namun masih banyak masyarakat yang tetap menggunakan listrik

Etika Deep Ecology, dengan hidup sederhana dan selaras dengan alam akan menjadi pengendali manusia untuk tidak memuaskan pemenuhan kebutuhannya yang jumlahnya

Berdasarkan analisis data pada uji statistik tersebut maka terdapat perbedaan efektivitas antara antiseptik chlorexidine glukonat dengan phenoxylethanol dalam

Maka tujuan ―blood storage― dengan proses yang khusus adalah memperlambat penghancuran agar ketiadaan peremajaan dapat diatasi.Sel darah merah yang telah disimpan

DESKRIPSI UNIT : Unit ini berhubungan dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja yang dibutuhkan dalam melakukan pengetesan, penggelontoran dan desinfeksii

menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Menunjukkan interaksi siswa pada saat kegiatan diskusi kelas berlangsung. Menunjukkan keterlibatan siswa dalam mengambil kesimpulan..