• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS POLA BELAJAR, MOTIVASI BEKERJA DAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS POLA BELAJAR, MOTIVASI BEKERJA DAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

ANALISIS POLA BELAJAR, MOTIVASI BEKERJA DAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA

A. POLA BELAJAR

Pola belajar merupakan hal yang sangat penting dalam belajar selain motivasi dan metode belajar karena dalam pola belajar terdapat kesinambungan (continuity) jika mengingat pengertian bahwa belajar adalah proses tanpa henti menyangkut perubahan sikap. Pola belajar ini tentunya berbeda pada setiap manusia, khususnya pada kelompok mahasiswa yang bekerja. Belajar sebagaimana menurut teori belajar yang telah penulis sampaikan pada Bab II (Landasan Teori) harus terjadi tiga hal: membawa perubahan, adanya kecakapan baru, dan terjadi karena usaha sengaja (kesadaran). Belajar dengan demikian merupakan proses perubahan kualitatif dan kuantitatif pengetahuan sekaligus perilaku seseorang.

Pola belajar mahasiswa yang bekerja ternyata sangat kompleks dan tidak bisa dimasukkan dalam satu cabang pembelajaran tertentu dalam teori belajar selain harus diakui kenyataannya bahwa selama ini teori psikologi cenderung menggeneralisir proses belajar sebelum diturunkan menjadi teknik dan metode belajar. Pada obyek penelitian yang diaplikasikan dalam skripsi ini adalah mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo yang bekerja yang tentunya telah mengalami kebudayaan yang lebih kompleks karena telah bersimpangan dengan banyak hal: kebudayaan jawa, budaya urban (dari pedesaan ke perkotaan), dan budaya ilmiah karena memasuki kehidupan kampus. Karena itulah dalam analisis ini teori-teori pembelajaran harus dikombinasikan-ulang dalam mendeskripsikan pola belajar mahasiswa yang bekerja.

1. Teori Belajar

Teori connectionisme atau bond psychology Mende Thorndike yang menjelaskan bahwa yang menjadi dasar belajar itu ialah asosiasi

(2)

antara kesan pancaindera (sense impression) dengan implus untuk bertindak (impulse to action), sehingga menurutnya belajar yang baik pada binatang dan manusia adalah dengan prinsip “trial and error, selecting and connecting”.1 Apakah mahasiswa yang bekerja, yang mengawali pola belajarnya dengan problem dan situasi khusus itu harus memilih respon yang tepat untuk mencapai tujuannya dengan cara mencari respons yang tepat? Pada beberapa mahasiswa yang bekerja dan menjadi obyek penelitian hal ini tidak terjadi, mereka tidak perlu trial and error karena lebih dari separuh mengakui memiliki “contact person” terpercaya yang mengabarkan keadaan dan situasi akademik di kampus agar mereka tidak tertinggal dalam perkuliahan. “Teman dekat” inilah yang rajin membaca pengumuman, membantu mendiskusikan tugas serta mencarikan apa yang diperlukan agar dirinya tidak ketinggalan. Mahasiswa yang bekerja dengan demikian tidak mengaplikasikan teori Thorndike tentang trial and error jika melihat kenyataan di lapangan bahwa masa tidak aktif mereka dilakukan dengan kesengajaan, asal masih belum terlambat dan tetap bisa selesai melaksanakan perkuliahan sampai selesai. Teori Thorndike tidak bisa diterapkan pada mahasiswa yang bekerja karena dalam pola belajar mahasiswa yang bekerja terjadi proses pembelajaran yang berangsur-angsur dan memakai pemilihan yang sudah pasti.

Teori yang menarik adalah teori conditioning Ivan Petrovitch Pavlov yang pernah meraih nobel ketika meneliti respon anjing terhadap bunyi bel yang polanya diubah. Pertanda (signal) dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam adaptasi terhadap kondisi di sekitarnya. “Sekresi psikis” (psychic secretion) atau refleks bersyarat (conditioned reflex disingkat CR) yang terjadi pada mahasiswa yang bekerja pada awalnya adalah tingkat kebutuhan fisiologis dan safety need

1

S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), hlm. 132

(3)

tetapi kemudian bergeser menjadi tahapan kebutuhan berafiliasi dan aktualisasi diri. Motivasi yang kebanyakan bermula dari kebutuhan memenuhi biaya hidup dan perkuliahan lantas bergeser menjadi kebutuhan hidup tenang, memperoleh pengakuan dari orang lain melalui “organisasi” yang digeluti serta mengaktualisasikan diri. Di sinilah pergeseran motivasi dan kebutuhan itu terjadi, di mana “perangsang bersyarat” (conditioned stimulus disingkat CS) dalam pengertian Pavlov beradu dengan perangsang tak bersyarat (unconditioned stimulus (dalam penelitian Pavlov ini adalah makanan yang disediakan untuk anjing) berubah menjadi tingkat kebutuhan lanjutan dalam pengertian Maslow dan Clelland, sampai muncul refleks tak bersyarat (unconditioned reflex disingkat UR) bernama “aktualisasi diri”. Persepsi awal yang mengemuka bahwa mahasiswa yang bekerja dipicu dari kebutuhan memenuhi kebutuhan biologis memang benar namun pada akhirnya terjadi pergeseran ke tingkat kebutuhan yang lebih tinggi. Hal ini tentu saja tidak berarti bahwa teori conditioning (perangsangan terus menerus) tidak berarti menjadi pola pembelajaran bagi mahasiswa yang bekerja, karena ada banyak hal yang tidak bisa dipelajari dari teori conditioning karena pada mahasiswa yang bekerja teori conditioning hanya terjadi ketika mereka membiasakan diri pada dunia baru yang tidak berhubungan langsung dengan disiplin ilmu yang pernah mereka tekuni di bangku kuliah. Dengan catatan bahwa mereka tidak berangkat dengan “tangan kosong” karena sedikit banyak telah memiliki gambaran seperti apa dunia yang akan mereka geluti. Bahasa Inggris dan bahasa Arab pada mereka yang berprofesi sebagai penerjemah atau ilmu jurnalistik bagi mereka yang menekuni pekerjaan sambilan sebagai penulis di surat kabar.

Teori belajar yang sangat menarik adalah perspektif teori Gestalt tentang belajar. Belajar menurut teori Gestalt adalah berdasarkan keseluruhan, reorganisasi pengalaman (interaksi individu), dan memakai

(4)

insight (melihat hubungan antar obyek yang dipelajari).2 Pandangan ini sangat terlihat pada mahasiswa yang bekerja pada bidang-bidang yang tidak terlalu relevan dengan apa yang dipelajari di kampus di mana dia bisa menghubungkan antara apa yang ditemuinya di masyarakat sebagai pengalaman kemudian di-reorganisasi setelah menemukan hubungannya. Teori Gestalt menuntut kedewasaan mental karena harus berani melakukan reorientasi motivasi. Mahasiswa yang bekerja di sektor wiraswasta berani mengambil resiko untuk tidak mengandalkan ijazahnya sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan di sektor formal karena ada banyak pilihan lain.

2. Fase Belajar

Fase belajar berlangsung dalam empat fase yang berturut-turut, yakni fase “apprehending” dimana seseorang harus memperhatikan stimulus tertentu melalui panca indera, menangkap artinya dan memahaminya. Setelah itu fase “acquisition”, yang mampu melakukan sesuatu yang belum diketahui sebelumnya, kemudian disimpan (fase “storage”), yang pada suatu waktu diperlukan dapat diambil dari simpanan tersebut yang disebut fase “retrieval” atau mengambil kembali. Retrieval ini tidak semata-mata mengeluarkan kembali apa yang disimpan, akan tetapi menggunakannya dalam situasi tertentu atau untuk memecahkan suatu masalah. Ada kemungkinan bahwa apa yang disimpan itu dikeluarkan dalam bentuk yang lain daripada sewaktu disimpan. Gejala ini termasuk transfer apa yang dipelajari itu.3

Keempat fase ini bila dilihat hanya terjadi bila ada sesuatu yang diingat dari apa yang dipelajari itu, sehingga dapat dikatakan merupakan suatu proses menghafal. Padahal pada kegiatan belajar mahasiswa tidak semua pengetahuan harus dihafal, dan penggunaan waktu hanya untuk menghafal banyak hal adalah merupakan kegiatan yang tidak efisien.

2

S. Nasution, Ibid, hlm. 134 3

(5)

Menghafal perlu jika pengetahuan itu kompeten dengan spesialisasi bidang yang ditekuni.

Kecakapan yang telah dimiliki oleh mahasiswa yang bekerja sangat membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas kampus. Sebagian besar mereka berasal dari madrasah aliyah yang artinya mereka telah memiliki bekal dan gambaran dalam mempelajari mata kuliah di kampus.

3. Jenis/Tipe Belajar

Kehidupan kampus mengharuskan mahasiswa tidak hanya cakap dalam menghafal sebuah konsep namun juga dituntut untuk dapat mengerti, memahami, bahkan mengkritisi sebuah konsep yang dipelajari.

Jenis/tipe belajar di kampus pun menuntut mahasiswa tidak hanya mampu belajar lambang, kata istilah, definisi, peraturan, persamaan, pernyataan sifat dan lain-lain jenis informasi, namun dituntut untuk belajar konsep/pengertian, belajar prinsip, dan juga mampu mengembangkan belajar ketrampilan.

Belajar konsep/pengertian menuntut mahasiswa untuk dapat menggabungkan berbagai jenis informasi menjadi suatu pengertian yang integral. Informasi yang tadinya sepotong-potong dan berasal dari berbagai sumber menjadi pengertian yang menampilkan berbagai sudut pandang. Selanjutnya belajar prinsip, yaitu belajar mengerti pola hubungan fungsional antar konsep yang kemudian mampu mengembangkan ketrampilan belajar, yaitu mampu memanipulasi dan mengkoordinasi berbagai konsep yang diterimanya.

Mahasiswa yang bekerja terlibat secara aktif dalam internalisasi di masyarakat. Keterlibatan ini terlihat pada keterlibatan mental dan keterlibatan fisik. Keterlibatan mental mengacu kepada keterlibatan intelektual dan emosional mereka. Keterlibatan intelektual mengacu pada keaktifan mereka mengkaji, menelaah, dan memahami informasi yang sedang dipelajari dari lingkungan sosial sehingga dari keaktifan itu mahasiswa akan belajar sesuatu. Sedangkan keterlibatan emosional

(6)

mengacu kepada kemampuan mahasiswa untuk memberi makna terhadap sesuatu yang dipelajari. Dengan demikian, mahasiswa yang bekerja telah banyak memperoleh sesuatu dengan keterlibatan mereka dalam dunia kerjanya.

4. Gaya Belajar

Gaya belajar adalah kombinasi dari menyerap, mengatur, dan mengolah informasi. Gaya belajar mengacu pada "individual’s characteristic and preferred ways of gathering, interpreting, organizing, and thinking about information". Dari kedua pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa secara umum ada dua kategori utama cara individu belajar. Pertama, cara menyerap informasi dengan mudah dan kedua, cara mengatur dan mengolah informasi. Gaya belajar ini sebetulnya menjadi cara bagi mahasiswa yang bekerja untuk mengejar ketertinggalan mereka mengenai respons dan “contact person” tentang keadaan dan situasi akademik di kampus. Kenyataan di lapangan yang menunjukkan bahwa masa tidak aktif mereka penuh dengan keterbatasan, maka kemudahan menyerap informasi, pengaturan dan pengolahan yang cepat harus mereka pilih. Mahasiswa yang bekerja dengan demikian telah mengaplikasikan teori ini.

Selanjutnya gaya belajar dapat dikelompokkan berdasarkan kemudahan dalam menyerap informasi (perceptual modality), cara memproses informasi (information processing), dan karakteristik dasar kepribadian (personality pattern). Pengelompokan berdasarkan perceptual modality didasarkan pada reaksi individu terhadap lingkungan fisik dan cara individu menyerap data secara lebih efisien. Pengelompokan berdasarkan information processing didasarkan pada cara individu merasa, memikirkan, memecahkan masalah, dan mengingat informasi. Sedangkan pengelompokan berdasarkan personality pattern didasarkan pada perhatian, emosi, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh individu.

Individu memiliki kecenderungan gaya belajar yang berbeda-beda. Gaya belajar visual lebih senang melihat apa yang sedang dipelajari.

(7)

Gambar/visualisasi akan membantu mereka yang memiliki gaya belajar visual untuk lebih memahami ide atau informasi daripada apabila ide atau informasi tersebut disajikan dalam bentuk penjelasan. Apabila seseorang menjelaskan sesuatu kepada orang yang memiliki kecenderungan gaya belajar visual, mereka akan menciptakan gambaran mental tentang apa yang dijelaskan oleh orang tersebut.

Sementara itu, individu yang cenderung memiliki gaya belajar auditorial kemungkinan akan belajar lebih baik dengan mendengarkan. Mereka menikmati saat-saat mendengarkan apa yang disampaikan orang lain. Individu yang memiliki kecenderungan gaya belajar kinestetik akan belajar lebih baik apabila terlibat secara fisik dalam kegiatan langsung. Mereka akan belajar sangat baik apabila mereka dilibatkan secara fisik dalam pembelajaran. Mereka akan berhasil dalam belajar apabila mereka mendapat kesempatan untuk memanipulasi media untuk mempelajari informasi baru.

Untuk membantu mahasiswa yang memiliki kecenderungan gaya belajar visual, bahan ajar yang digunakan hendaknya (a) menggunakan grafik, film, slide, dan ilustrasi untuk memperkuat proses belajar; (b) memanfaatkan warna dalam menunjukkan pokok-pokok materi yang penting; (c) memberikan petunjuk secara tertulis; (d) menyediakan bahan belajar berupa program video dan televisi; serta (e) memvisualkan kata atau fakta yang harus diingat.

Bahan ajar yang cocok untuk mahasiswa yang cenderung memiliki gaya belajar auditorial adalah yang dilengkapi dengan bahan terekam atau program siaran. Mahasiswa yang memiliki kecenderungan gaya belajar auditorial hendaknya diberi kesempatan untuk aktif dalam kegiatan kelompok. Melalui kegiatan kelompok, mahasiswa dapat mendiskusikan materi yang disajikan dalam bahan ajar atau menjadi tutor sebaya satu sama lain. Di samping itu, mahasiswa dapat merekam ringkasan materi pelajaran yang telah dibuatnya setelah mempelajari bahan ajar.

(8)

Bagi mahasiswa yang memiliki kecenderungan gaya belajar kinestetik, bahan ajar yang digunakan hendaknya memberikan kesempatan kepada mereka untuk melakukan belajar melalui pengalaman, seperti membuat model, melakukan praktek atau praktikum, bermain peran, dan sebagainya. Di samping itu, mahasiswa yang memiliki kecenderungan gaya belajar kinestetik dianjurkan untuk melakukan, misalnya, menulis fakta yang harus dikuasai berulang kali, mengingat fakta sambil bekerja, atau menerapkan semboyan bahwa belajar selama 4 x 10 menit lebih baik daripada selama 1 x 40 menit.

Dalam sistem belajar mandiri, bahwa strategi belajar merupakan salah satu teknik yang harus dimiliki oleh individu agar berhasil dalam belajarnya. Strategi belajar adalah teknik atau ketrampilan yang dipilih individu untuk menguasai materi yang dipelajari.

Mengetahui gaya dan strategi belajar sangat diperlukan oleh seorang mahasiswa agar dapat belajar lebih efektif dan produktif. Tuntutan lebih tinggi bagi mahasiswa yang harus belajar secara mandiri seperti mahasiswa yang bekerja.

Ada dua kategori strategi belajar yaitu strategi belajar holistik dan atomistik. Individu yang menerapkan strategi belajar holistik menghubungkan materi yang sedang dipelajari dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki. Di samping itu, mereka juga menekankan pada pentingnya pengenalan pengetahuan baru dalam kaitannya dengan struktur pengetahuan yang sudah ada. Sedangkan individu yang menerapkan strategi belajar atomistik menekankan pada pentingnya hafalan dan mengulang pelajaran untuk mempersiapkan diri mengikuti ujian.

B. MOTIVASI BEKERJA DAN BERPRESTASI

Pandangan pendidikan lama untuk lulus kuliah, sarjana, baru mencari kerja kini mulai bergeser. Beberapa mahasiswa yang duduk di bangku perkuliahan kini mulai merasakan keresahan, kegelisahan dan keraguan

(9)

tentang bagaimana mereka menempuh kehidupan di kampus dan sekeluarnya mereka dari kampus. Apalagi ditambah semakin banyak cerita beredar di kampus maupun melalui hasil-hasil penelitian tentang sedikitnya lulusan kampus yang diterima bekerja sesuai dengan bidang keilmuannya. Masa-masa ‘nyaman’ di mana mahasiswa hanya duduk tenang di kelas atau di laboratorium telah sedikit-demi-sedikit berubah seiring banyaknya mahasiswa yang berwirausaha. Kini makin banyak dijumpai usaha fotokopi di daerah sekitar kampus yang dikelola mahasiswa, juga semakin beredar makelar-makelar mahasiswa yang menawarkan jasa pembuatan jaket jurusan, dan masih banyak lagi. Kesadaran akan makna pendidikan dan pembelajaran yang sesungguhnya di kalangan mahasiswa mulai terbuka.

Paradigma lama tentang pendidikan adalah lulus kuliah, sarjana baru kemudian mencari kerja. Sehingga mahasiswa yang kuliah sambil berwirausaha atau bekerja malah dipandang sebagai mahasiswa-mahasiswa yang terdesak secara finansial. Akibat dari pandangan kerja setelah lulus tersebut, sarjana yang lulus dalam keadaan nol pengalaman semakin menumpuk dan prosentasenya semakin besar. Stereotype berpikir untuk berpikir kerja setelah lulus kuliah mengakibatkan calon mahasiswa asal-asalan dalam memilih bidang studi perkuliahan. Bidang apapun akhirnya diambil asal bisa kuliah atau asal bergengsi walaupun tidak sesuai dengan minat bakat dan bayangan masa depannya. Akhirnya, setelah bekerja, orang-orang tersebut memilih pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang ilmunya. Perkuliahan seakan menjadi beban, kuliah hanya mengejar ijazah. Padahal sekali lagi, fakta menunjukkan bahwa ijazah sudah tidak lagi relevan dalam menentukan masa depan seseorang apabila tidak diimbangi dengan life skill yang baik.

Mahasiswa yang kuliah sambil berwirausaha atau bekerja berarti sudah mencuri start masa depan. Ketika kebanyakan orang berpendapat bahwa bekerja itu setelah lulus kuliah, mereka berpikir lebih cepat. Mereka merintis karir sejak duduk di bangku perkuliahan sehingga pada waktu lulus sudah memiliki skill tambahan baik di bidang usaha yang mereka ambil maupun dalam hal-hal umum seperti manajemen diri, manajemen waktu, manajemen

(10)

konsentrasi, perencanaan finansial, skill kepemimpinan, komunikasi, dan lain lain. Pada saat itulah mahasiswa yang sudah berwirausaha atau bekerja sejak duduk di bangku kuliah bisa lebih bebas menentukan pilihan dalam meraih masa depannya. Entah mau meneruskan jenjang akademis, menjadi profesional, ataukah meraih kemandirian lebih dengan jalan berwirausaha.

Memang berat pada awalnya, apalagi sistem perkuliahan yang ketat seakan tidak mengizinkan mahasiswa untuk mencari alternatif mengambil jalan berwirausaha sambil kuliah. Juga ditambah ‘kenyamanan sesaat’ yang menjanjikan jika mahasiswa mau fokus dalam menjalani perkuliahan. Karena itulah, selama ini muncul pandangan bahwa mahasiswa yang berwirausaha atau bekerja adalah mahasiswa yang terdesak secara finansial. Padahal tidak selamanya seperti itu. Mahasiswa yang berwirausaha adalah mahasiswa yang visioner (memiliki pandangan), yang lebih cepat menyadari bahwa masa depannya telah dimulai hari ini. Mahasiswa yang kuliah sambil bekerja adalah mahasiswa yang tidak puas dengan hanya mendapatkan ‘ilmu-ilmu otak kiri’ di bangku perkuliahan dan haus akan ilmu-ilmu yang bisa di dapat melalui kegiatan-kegiatan ekstra yang berguna untuk masa depan mereka.

Apabila mahasiswa yang sedang duduk tenang di bangku perkuliahan belum tergambar rencana masa depan dan tujuan hidupnya maka keluar dari zona nyaman untuk kuliah sekaligus berwirausaha akan membuatnya Anda menjadi mahasiswa yang memiliki nilai plus. Mahasiswa yang berjuang dari kegagalan satu ke kegagalan lain, mahasiswa yang tahan banting, mahasiswa yang lebih siap untuk memasuki dunia kerja riil, dan mahasiswa yang lebih cepat menyadari bahwa masa depan dimulai sedetik setelah ini, bukan setelah lulus kuliah.

Salah satu contohnya adalah mereka mampu mempromosikan suatu produk, menawarkan jasa, melayani konsumen, memenuhi kebutuhan, dan yang paling utama mereka memiliki skill yang justru tidak diajarkan di bangku perkuliahan. Mereka berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru dan kreatif, berusaha mencari umpan balik (feedback) tentang pekerjaannya,

(11)

berusaha memilih resiko yang moderat dalam perbuatannya, dan berusaha mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatan-perbuatannya.

C. HUBUNGAN POLA BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR

Nana Sudjana menjelaskan bahwa prestasi belajar bukan hanya merupakan hasil intelektual saja, melainkan harus meliputi tiga aspek yang dimiliki siswa, yakni aspek kognitif (penguasaan intelektual), aspek afektif (berhubungan dengan sikap dan nilai), dan aspek psikomotorik (kemampuan/ketrampilan bertindak/berperilaku).4

Sehingga penilaian prestasi belajar sebagai hasil yang telah dicapai oleh murid, tidak hanya berupa angka atau huruf, tetapi juga dapat berupa tindakan yang mencerminkan hasil belajar yang telah dicapai.

Indeks prestasi atau yang sering disebut dengan IP, menjadi satu tolak ukur yang diterapkan di Fakultas Tarbiyah - bahkan di semua perguruan tinggi - dalam menilai apakah mahasiswa itu berhasil dalam belajar atau tidak. Dosen yang hanya menilai dari kemampuan kognitif saja dalam memberikan nilai pada mata kuliah tertentu tidak bisa dikatakan bahwa nilai itu telah mencakup aspek yang menjadi tujuan dari pendidikan, yakni aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.

Aspek afektif mendapat porsi yang sedikit, sedangkan aspek kognitif mendapat penilaian yang terbanyak. Padahal hasil belajar tidak bisa dinyatakan dengan hanya mengukur pada aspek kognitif saja. Dengan demikian indeks prestasi mahasiswa tidak bisa dikatakan menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan belajar, hanya bisa dikatakan sebagai tolak ukur.

Jika indeks prestasi mahasiswa mengalami penurunan selama mereka bekerja, tidak bisa dikatakan hasil belajar mereka mengalami penurunan. Kecerdasan mereka sebetulnya mengalami pergeseran dari kecerdasan di luar IQ, seperti Emotional Intelligent (EI), bakat, ketajaman pengamatan sosial, hubungan sosial, kematangan emosional yang harus juga dikembangkan.

4

Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 22

(12)

Kematangan emosional mahasiswa yang bekerja dapat diketahui pada perjuangan mereka bangkit dari kegagalan satu ke kegagalan lain. Mereka tahan banting, lebih siap untuk memasuki dunia kerja riil, dan lebih cepat menyadari bahwa masa depan dimulai sedetik setelah ini, bukan setelah lulus kuliah.

Setiap individu memiliki keunikan tersendiri sehingga dalam proses belajarnyapun terdapat keunikan pula. Ada yang cepat dalam belajar, ada yang lambat, dan ada pula yang kreatif.

Banyak rumusan-rumusan yang dianjurkan oleh para ahli tentang beberapa teknik/cara belajar yang efektif dan efisien. Apa yang telah dikemukakan para ahli hendaklah digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi. Teknik yang baik adalah teknik yang banyak memberikan arti. Jika teknik yang satu kurang sesuai dengan kondisi kita maka dapat memodifikasi teknik tersebut atau dengan menggabungkan dengan teknik yang lain.

Referensi

Dokumen terkait

Pengungkapan mengenai kontrak asuransi jiwa menurut PSAK No 36 diungkapkan dalam laporan keuangan melalui Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) termasuk kebijakan

Telah dilakukan penelitian tentang Analisis Kadar Kalsium (Ca) Pada Ceker Ayam Kampung Dan Ceker Ayam Potong Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom.. Penelitian ini

Peringkat EM yang berada satu level di atas akan mendapatkan Poin Pemeliharaan Peringkat kecuali kalau dia memiliki 2000 OV di kaki lainnya (tidak kompres) akan mendapatkan

Selama melakukan praktik di SMP Negeri 4 Yogyakarta, praktikan melakukan need assessment dengan menggunakan instrumen Identifikasi Kebutuhan dan Masalah Siswa (IKMS), yang

Sesuai dengan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh bukti empiris tentang pengaruh Kepemilikan Institusional, Dewan

Untuk mengetahui bahan makanan dan pelengkap yang digunakan pada hidangan Main Course?. Untuk mengetahui teknik pengolahan hidangan Main Course

Hasil penaksiran ini menunjukkan bahwa variabel upah sektor pertanian, variabel PDRB sektor pertanian, dan variabel pengeluaran untuk belanja pegawai mempunyai

Untuk mengetahui sejauh mana fungsionalitas Aplikasi “Game Sejarah Malang” dapat berjalan pada perangkat Android yang telah dibangun dengan engine. Corona yang