LAPORAN AKHIR
PENELITIAN DOKTOR BARU
DANA ITS 2020
KERJASAMA PEMERINTAH DAN BADAN USAHA
YANG BERKELANJUTAN DENGAN SKEMA MIXED-HOUSING TRANSIT ORIENTED
DEVELOPMENT PADA RUMAH SUSUN DI INDONESIA
Tim Peneliti :
Farida Rachmawati (Teknik Sipil/FTSPK)
Ria Asih Aryani Soemitro (Teknik Sipil/FTSPK)
DIREKTORAT RISET DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
Daftar Isi
Daftar Isi... i
Daftar Tabel ... Error! Bookmark not defined. Daftar Gambar ... Error! Bookmark not defined. Daftar Lampiran ... ii
BAB I RINGKASAN ... 1
BAB II HASIL PENELITIAN ... 2
BAB III STATUS LUARAN ... 2
BAB IV PERAN MITRA (UntukPenelitian Kerjasama Antar Perguruan Tinggi) ... 13
BAB V KENDALA PELAKSANAAN PENELITIAN ... 15
BAB VI RENCANA TAHAPAN SELANJUTNYA ... Error! Bookmark not defined. BAB VII DAFTAR PUSTAKA ... 16
BAB VIII LAMPIRAN ... 18
Daftar Lampiran
Lampiran 1 Tabel daftar luaran
Lampiran 2 Bukti penerimaan jurnal internasional Lampiran 3 Bukti penerimaan jurnal nasional
BAB I RINGKASAN
Kendala keterbatasan pembiayaan dapat diselesaikan melalui Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Karena perumahan rakyat atau rumah murah memang merupakan kewajiban Pemerintah untuk menyediakan. Namun, dengan keterbatasan pendanaan, maka perlu dukungan dari sektor swasta untuk mempercepat supply, efisiensi pengelolaan dan alokasi resiko yang sesuai.
Rumah susun dipilih sebagai alternatif bentuk perumahan, sebagai respon terhadap kendala keterbatasan lahan dan tingginya harga lahan. Dengan KPBU, diharapkan Pemerintah dapat berkontribusi dalam hal penyediaan lahan, terutama pemanfaatan lahan di daerah yang strategis, dekat dengan pusat kegiatan. Selain untuk menyediakan hunian yang layak, juga dapat meningkatkan transport affordability. Kondisi saat ini, MBR melakukan trade-off antara cara menurunkan biaya kepemilikan rumah dengan mencari rumah layak dengan harga yang murah, namun dengan konsekuensi biaya transportasi yang lebih tinggi.
Pendekatan mixed-income housing Transit Oriented Development (TOD) direkomendasikan agar memungkinkan subsidi silang dan mewujudkan hunian yang berimbang yang berlokai di dekat sarana transportasi. Dari sisi finansial, pemulihan biaya dari investor akan lebih cepat dan ketidakpastian investasi akan dapat diminimalisir. Penelitian ini akan merekomendasikan skema kerjasama KPBU perumahan dengan mixed-housing yang paling sesuai untuk rumah susun di Indonesia serta mengusulkan skema finansial untuk skema tersebut. Interview dan pengambilan data sekunder akan dilakukan untuk mendukung penelitian ini. Analisa system dynamics akan digunakan untuk memodelkan skema finansial. Model kerjasama dan skema finansial diharapkan dapat memastikan bahwa investasi baik dari Pemerintah dan sector badan usaha layak dan berkelanjutan secara finansial, sosial dan lingkungan.
BAB II HASIL PENELITIAN
Studi ini mengambil dari wawancara semi-terstruktur dari 16 expert rumah susun seperti yang tercantum dalam tabel 2.1, observasi lapangan dan ulasan data sekunder mengenai pengembangan apartemen murah. Karena Indonesia memiliki tiga tingkatan pemerintahan, para responden dipilih dari perwakilan setiap tingkat pemerintahan. Tujuh responden dipilih sebagai perwakilan dari Kementerian (Pemerintah Pusat), satu dari pemerintah provinsi, lima dari pemerintah kota dan tiga dari perusahaan semi-swasta di sektor perumahan. 90% adalah manajemen puncak yang memutuskan kebijakan sewa apartemen murah. Para responden ini dipilih melalui purposive sampling karena informasi yang berkaitan dengan para responden dikumpulkan dari data di lembaga, seperti di kantor pemerintah dan perusahaan penyedia perumahan. Snowball sampling juga digunakan, dimana para responden direkomendasikan oleh responden awal yang diwawancarai. Mereka disarankan karena mereka dianggap sebagai ahli di bidang masalah. Metode ini sangat berguna dalam membangun jaringan untuk penelitian tertentu, yang belum tersedia populasi spesifik.
Table 1. Daftar Responden
ID Pemerintah BUMN Posisi
Pusat Daerah R1 √ Top Management R2 √ Top Management R3 √ Top Management R4 √ Middle management R5 √ Top Management R6 √ Top Management R7 √ Top Management R8 √ Middle management R9 √ Top Management R10 √ Top Management R11 √ Middle management R12 √ Top Management R13 √ Top Management R14 √ Top Management
R15 √ Top Management
R16 √ Top Management
2. 1. Alternatif Model Kerjasama dan Bentuk Mixed-Housing
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 20/2011, Pemerintah mewajibkan adanya perumahan mixed melalui peraturan Kementerian. Semua pengembang harus menyisihkan 20% dari semua tanah untuk perumahan murah. Banyak lembaga pemerintah telah mengadopsi perumahan mixed-housing sebagai strategi perencanaan tanpa memeriksa — atau bahkan mendefinisikan — apa itu perumahan mixed-housing, apa yang mencirikannya, dan bagaimana proyek-proyek mixed-housing berbeda satu sama lain. Berdasarkan definisi perumahan pendapatan mixed yang tidak jelas, terdapat beberapa peluang untuk mengembangkan beberapa skema perumahan pendapatan mixed. Beberapa bentuk rumah mixed adalah:
1. Perumahan mixed-income
Ini berarti upaya yang disengaja untuk membangun dan / atau memiliki perkembangan multi keluarga yang memiliki penmixed kelompok pendapatan sebagai bagian fundamental dari rencana keuangan dan operasionalnya. Perumahan mixed-housing biasanya menyatukan keluarga berpenghasilan rendah dan rumah tangga berpenghasilan tinggi untuk tinggal bersama di lokasi yang sama; Kedekatan spasial dianggap sebagai faktor penting yang mempengaruhi interaksi sosial dan ekspektasi antar warga.
Di Indonesia, perumahan kelas menengah dianggap ditempati oleh masyarakat kelas bawah dan menengah. Kelas pendapatan ditentukan oleh pendapatan rumah tangga. Oleh karena itu, terdapat dua jenis rumah: harga bersubsidi untuk kelas berpenghasilan rendah dan harga pasar untuk kelas berpenghasilan menengah. Perumahan mixed-housing juga diklasifikasikan menurut berbagai jenis subsidi yang digunakan untuk membuat unit rumah terjangkau bagi keluarga berpenghasilan rendah dan sedang.
MIxed-building memiliki arti bahwa terdapat lebih dari satu fungsi bangunan, yang disebut dengan mixed use. Itu bisa digunakan sebagai perumahan dan komersial. Bangunan tempat tinggal terdiri dari unit, baik unit sewa maupun kepemilikan. Sedangkan bagian komersialnya adalah kios, retail atau warung, yang disediakan untuk menunjang dan menambah pendapatan penyewa. Skema ini cocok untuk apartemen murah yang dikhususkan untuk masyarakat berpenghasilan rendah atau masyarakat relokasi. Ini juga bertujuan untuk meningkatkan kemampuan penyewa untuk membayar. Bagian komersial lainnya yang disewakan oleh masyarakat diharapkan dapat memungkinkan adanya program subsidi silang, karena dapat meningkatkan pendapatan para operator rumah susun murah. Ritel dapat menerima produk bisnis penyewa.
3. Mixed-tenure
Mixed tenure memungkinkan dua kepemilikan di lingkungan. Bentuk tenurial bisa dalam bentuk sewa atau kepemilikan. Studi sebelumnya menyatakan bahwa bauran penguasaan lahan tidak memberikan pengaruh apa pun pada suatu hasil, seperti masalah dan manfaat yang terkait dengan penmixed tampaknya hanya berdampak kecil pada kepuasan lingkungan warga. Kepemilikan yang berbeda dapat dibangun di gedung yang sama atau di gedung yang berbeda tetapi tetap dalam satu kawasan (lingkungan) yang sama. Serupa dengan skema lainnya, skema ini bertujuan untuk melaksanakan program subsidi silang untuk mengurangi subsidi pemerintah.
Namun skema tersebut tidak bisa diterapkan karena terkait dengan aset pemerintah yang tidak bisa dimiliki oleh perseorangan. Padahal menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 yang menyatakan bahwa apartemen murah tergolong aset pemerintah. Memang diperbolehkan untuk disewakan, namun penentuan sewa harus mempertimbangkan kemampuan penyewa dan kesediaan untuk membayar (ATP / WTP). Peraturan Menteri Dalam Negeri no 19/2016 juga menyebutkan bahwa nilai tanah dan bangunan harus menjadi faktor pertimbangan dalam penetapan sewa. Itulah alasan mengapa perumahan tenurial mixed sulit. Jika memungkinkan, mekanisme akan menggunakan skema ini: tanah bisa disewa dari swasta untuk menekan harga jual, karena biaya pembebasan tanah lebih mahal. Oleh karena itu, skema yang paling memungkinkan adalah sewa jangka panjang dengan menggunakan hak guna bangunan.
“Bagian tersulit untuk memprakarsai kolaborasi antara publik dan swasta adalah tenurial, karena berkaitan dengan aset pemerintah. Mixed-income, yang berupa persewaan dan kepemilikan, tidak mungkin dilakukan. Namun, jika dibutuhkan, Tanah bisa disewa dari swasta untuk menekan harga jual, karena biaya pembebasan tanah lebih mahal. Skema yang paling memungkinkan adalah sewa jangka panjang (hak atas bangunan) ”- R9
Dalam kasus perumahan mixed, peraturan pemerintah tidak mengizinkan aktivitas komersial di atas perumahan murah. Berdasarkan peraturan tersebut, perumahan murah merupakan akomodasi bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Karena itu, orang berpenghasilan menengah ke atas tidak diperbolehkan tinggal di sana. Peraturan ini harus dipertimbangkan sebagai salah satu program perumahan mixed yang akan diluncurkan.
Salah satu tujuan utama adalah untuk memungkinkan pelaksanaan subsidi silang. Jika hanya untuk MBR, dimana harga sewa /jual tidak ditetapkan tinggi, maka kelayakan proyek tidak akan terpenuhi. Mixed-income akan menutup gap tersebut.
Sedangkan untuk tanah, bangunan rumah akan dibangun tanah negara, tanah swasta atau tanah Pemerintah daerah. Pengadaan tanah negara melalui mekanisme pemanfaatan lahan kosong milik BUMN atau Kementerian.
Kombinasi kerjasama akan seperti matriks berikut:
Skema 1 Skema 2 Skema 3 Lahan Pemerintah daerah Pemerintah pusat
(Tanah negara)
Swasta Desain, konstruksi dan
pembiayaan
Swasta Swasta Pemerintah dan swasta Operasional Perawatan Swasta Swasta Swasta
Prasarana sarana dan utilitas
Pemerintah daerah Pemerintah daerah Pemerintah daerah
Cost recovery Pengelolaan rusun umum dan komersial (mixed house - inclusionary
zoning) sehingga memungkinkan cross subsidy
Untuk lebih memahami bagaimana skema hunian pendapatan mixed dilaksanakan, pembahasan akan dibagi menjadi lahan, desain dan konstruksi, pembiayaan, dan kemitraan. Salah satu alasan dibalik program rumah mixed adalah untuk meningkatkan pasokan rumah murah di Indonesia.
Tujuan lainnya adalah untuk memaksimalkan keuntungan sektor swasta untuk menarik mereka pada investasi ini. Institusi publik yang tidak dapat menyediakan sumber yang cukup untuk proyek pembaruan perkotaan sebagian besar menerapkan model bagi hasil. Dalam model ini, mereka bekerja sama dengan kontraktor perumahan swasta domestik atau internasional. Model bagi hasil tersebut dikenal dengan model Public Private Partnership (PPP). Partisipasi swasta diyakini dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kemiskinan melalui penyediaan perumahan murah. Namun, sebagai swasta juga mempertimbangkan keuntungan, kelayakan finansial harus diperhitungkan.
Untuk memaksimalkan pendapatan apartemen murah, baik sewa maupun kepemilikan, harus dikelola dalam hunian mixed. Unit berbiaya rendah penuh tidak akan menghasilkan pendapatan yang cukup untuk laba atas investasi atau pemeliharaan operasi. Selain itu, tidak ada investor yang akan terlibat dalam investasi perumahan murah, karena proyek tersebut tidak layak. Kelayakan proyek ditunjukkan dengan pendapatan yang lebih besar dari biaya. Yang terpenting dari proyek perumahan mixed adalah skema keuangan untuk mendukung program subsidi silang dan untuk memenuhi kelayakan proyek. Empat jenis perhatian telah dirangkum dan dikelompokkan dari wawancara semi-terstruktur untuk mempromosikan hunian mixed-housing untuk apartemen murah di Indonesia, yang dijelaskan pada Gambar 1.
Gambar 1. Aspek yang mempengaruhi KPBU mixed-housing
Design and Construction
Land Financing
2. 2. Skema Finansial
Bagian ini menjelaskan penghitungan dan hasil dari penghitungan keuangan. Hasil tersebut dijelaskan dalam bentuk jumlah unit bersubsidi dan harga pasar serta pembayaran kredit kepemilikan rumah. Proyek ini memiliki data properti sebagai berikut:
Table 2. Property data
Land area 27,000 sqm Building coverage ratio 30%
Floor area ratio 3 Rentable area from
commercial space
9138.285 sq.m Car parks 6818.34 sq.m
car space: 3750.09 sq.m (208 spaces)
motorcycle space: 1022.75 sq.m (682 spaces)
Building Coverage Ratio (BCR) adalah persentase perbandingan antara luas total bangunan dengan luas tanah keseluruhan. Pemerintah daerah mengatur rasio cakupan bangunan untuk menentukan luas maksimum lantai dasar atau luas lantai pertama. Sedangkan Floor area ratio (FAR) adalah ukuran luas lantai suatu bangunan dalam kaitannya dengan luas tanah / bidang tempat bangunan tersebut berada. JAUH dinyatakan sebagai angka desimal dan diperoleh dengan membagi total luas bangunan dengan luas total bidang (luas bangunan ÷ banyak luas). FAR akan membantu desainer untuk menentukan lantai nomor yang bisa dibangun.
Dalam hal jumlah unit memiliki korelasi dengan luas satuan dan rasio luas lantai. Dalam konteks proyek hunian mixed, dimana terdapat dua kelas masyarakat dalam satu rukun tetangga. Konsep proyek perumahan pendapatan mixed akan mengarahkan pengembang untuk fokus pada kisaran tingkat subsidi yang termasuk dalam proyek dan proporsi atau alokasi unit berbagai kelompok pendapatan. Alokasi mengacu pada distribusi unit bersubsidi dan unit harga pasar yang termasuk dalam proyek perumahan pendapatan mixed. Alokasi ini sangat bergantung pada harga tanah dan regulasi rasio luas lantai. Terkait skema keuangan, FAR harus dimaksimalkan, terutama di lokasi prima. Selanjutnya, proporsi mixed harus dihitung untuk memaksimalkan keuntungan. Semakin tinggi FAR, semakin banyak unit bersubsidi yang dapat dibangun. Selain itu, semakin rendah biaya lahan, semakin banyak unit bersubsidi yang dapat dialokasikan. Di apartemen mixed, unit
bersubsidi dan harga pasar dibangun di area yang sama. Alokasi masing-masing jenis unit ditunjukkan pada tabel 3.
Table 3. Planned number of unit and sales price.
Type No of units/ floor/ tower No of towers No of floors Total unit Floor area (sq.m) Total floor area (sq.m) Sales price Non-subsidized (IDR) * Subsidized (IDR) Studio 7 2 22 308 23 7084 224 million 1 BR 11 2 22 484 37 17908 360 million 306 million 2 BR 4 2 22 176 49 8624 688 million Common area 2 22 130.86 5757,8 Total 968 39,373.84
*The price escalation is set by 30% per year
Pembangunan apartemen ini direncanakan selama 3 tahun, dengan total biaya pembangunan Rp 436 miliar = Rp5.533.158 juta per meter persegi. Agaknya, biaya konstruksi dijadwalkan dalam 3 tahun berbasis kemajuan masing-masing 30%, 35% dan 35%. 60% dari total biaya konstruksi dibiayai dari pinjaman bank daerah, dengan tingkat bunga 9% dan jangka waktu pengembalian selama 3 tahun.
Apartemen murah ini direncanakan menjadi perumahan pembangunan yang berorientasi transit. Itulah alasan mengapa, itu dibangun di sebelah stasiun kereta. Lokasinya juga dekat dengan beberapa universitas. Karena lahan di sekitar rel kereta api dimiliki oleh perusahaan perkeretaapian Indonesia (PT KAI), maka pihak pengembang bekerja sama dengan perusahaan tersebut untuk mengembangkan perumahan masyarakat berpenghasilan campuran. PT KAI menyewakan tanah tersebut selama 50 tahun. Ini terkait dengan status tanah. Status tanah awal KAI adalah “hak pakai” kemudian harus diubah menjadi “HPL”. Sedangkan status bangunannya adalah “HGB”. Status HGB bisa digunakan selama 30 tahun dengan perpanjangan 20 tahun. Pengembang harus membayar biaya sewa tanah kepada pemilik tanah sebagai wujud pembagian keuntungan dari kontribusi perusahaan.
Untuk menghitung kelayakan investasi proyek, pendapatan yang diusulkan diperkirakan. Apartemen ini terdiri dari kawasan hunian (51,37% dari total luas) dan kawasan komersial (48,63% dari total luas). Pendapatan dari daerah pemukiman berasal dari penjualan unit, dan
biaya layanan bulanan. Sedangkan pendapatan dari kawasan komersial diperkirakan dari sewa ruko, retribusi bulanan dan izin parkir terdaftar bulanan. Estimasi detailnya dapat dilihat pada tabel 3. Peningkatan pendapatan ditetapkan sebesar 2% per tahun. Pengeluaran selama masa investasi meliputi tagihan listrik dan air, gaji pegawai, pajak properti tahunan, retribusi limbah, sewa tanah dan pemeliharaan gedung.
Pajak properti tahunan tunduk pada Undang-undang Indonesia no 28/2009. Pajak tersebut dikenakan atas objek pajak yang bergantung pada luas wilayah kena pajak dan harga tanah yang disebut NJOP. Nilai ketetapannya adalah 20% dari NJOP, kemudian diberlakukan juga pengurangan pajak. Beda daerah berbeda potongan pajaknya, misalnya potongan pajak untuk Depok Rp 80 juta, sedangkan untuk Surabaya Rp 75 juta. Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak tersebut adalah 0,5%. Rumus untuk menentukan pajak properti adalah ((NJOP - 20% x NJOP)) - pengurangan pajak.
2. 3. Skema subsidi untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Bantuan keuangan disediakan untuk penyewa berpenghasilan rendah. Target pasar untuk proyek ini adalah pegawai swasta, pegawai pemerintah dan eksekutif muda, yang merupakan pembeli rumah pertama (belum pernah memiliki rumah sebelumnya). Minimum take home pay pembeli menyesuaikan dengan tingkat keterjangkauan untuk setiap area.
Harga jual dibatasi oleh pemerintah dengan margin yang rendah, karena mempertimbangkan kemampuan membayar dan keterjangkauan. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat no 242/2020 mengatur entitas yang memenuhi syarat untuk menerima hibah dan unit bersubsidi. Luas unit maksimum untuk unit bersubsidi = 36 meter persegi. Oleh karena itu, subsidi dapat diberikan untuk pembeli studio atau 1 kamar tidur. Selanjutnya unit tersebut diutamakan untuk penyewa keluarga. Dalam studi kasus ini, unit bersubsidi dialokasikan 50% dari semua unit 1 kamar tidur, karena unit tersebut diatur untuk keluarga. Sesuai aturan, harga jual apartemen ini dipatok Rp 306 juta per unit atau 8,5 juta semi gross area (SGA). Plafon dan harga dasar ditetapkan pemerintah berdasarkan keterjangkauan masyarakat di masing-masing wilayah. Misalnya di Jakarta Pusat, plafon harga apartemen bersubsidi Rp 9 - 9,6 juta / sq. sedangkan non subsidi Rp 21 juta / sq. Harga tersebut berbeda dengan harga di apartemen non-subsidi di luar Jakarta yang Rp 15-16 juta / sq.
Peserta dari sektor pemerintah menjelaskan beberapa bentuk bantuan keuangan bagi pembeli apartemen murah, seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), subsidi bantuan (SBUM), subsidi suku bunga, dan bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT). SBUM adalah pengurangan uang muka menjadi 1% dari harga jual, sedangkan FLPP adalah alokasi anggaran pemerintah untuk subsidi pembiayaan perumahan. Mengingat margin harga jual antara apartemen murah dan rumah murah non subsidi terlalu besar, pemerintah memberikan subsidi berupa selisih suku bunga pinjaman apartemen bersubsidi. Suku bunga apartemen bersubsidi lebih rendah daripada apartemen non subsidi yang dikeluarkan oleh lembaga keuangan dan akan dibayar oleh pemerintah selama 15-20 tahun. Suku bunga untuk unit non subsidi (market-rate) adalah 7,25% dan jangka waktu pengembalian 15 tahun, sedangkan suku bunga untuk unit subsidi 10 tahun pertama adalah 4,5%, maka suku bunga normal akan diberlakukan pada sisa periode.
Perbedaan paling signifikan antara unit bersubsidi dan non-subsidi terkait dengan harga jual dan jadwal penjualan. Pembeli bersubsidi tidak dapat mulai membayar sebelum masa konstruksi berakhir. Pasalnya, pemerintah tidak akan membayar subsidi sebelum unit siap untuk proses serah terima. Jika masa konstruksi direncanakan selama 3 tahun, maka penjualan unit bersubsidi bisa dimulai pada tahun ketiga, dan diasumsikan butuh waktu dua tahun untuk menjual seluruh unit bersubsidi. Sebaliknya, penjualan unit non subsidi bisa dimulai pada awal masa konstruksi atau tahun pertama masa konstruksi (pra penjualan). Berdasarkan asumsi pengembang, mungkin diperlukan waktu 4 tahun untuk menjual semua unit non-subsidi. Pembeli non-subsidi membayar uang muka kemudian mulai membayar pinjaman kepemilikan rumah. Pajak penjual (pajak penghasilan atas pendapatan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan) sesuai peraturan pemerintah no 34/2016. Pajak penghasilan untuk penjualan apartemen murah adalah 1% dari harga jual.
2. 4. Hasil Analisa Finansial Mixed-Housing dan Mixed-use
Parameter utama yang digunakan untuk menentukan hasil studi kasus dirangkum pada Tabel 4. Tabel 4 mengilustrasikan parameter kunci apa yang ditetapkan sebagai konstanta dalam proyek apartemen model keuangan sebagai studi kasus dan untuk menentukan pengaruh parameter kunci terhadap kelayakan proyek untuk melengkapi setiap skenario kasus untuk penilaian keuangan. Variabel input untuk model keuangan adalah biaya konstruksi, pendapatan, dan beban. Ini divariasikan secara metodis untuk mendapatkan keluaran dari Indikator Proyek, yaitu jumlah unit
bersubsidi. Jumlah satuan direpresentasikan dalam satuan persen dari total satuan, divariasikan dengan kelipatan 5% dengan batas minimal 15% dan batas maksimal 40%. Indikator proyek ini dinilai untuk Equity IRR dan net present value (NPV). Ketika NPV positif dan IRR> tingkat pengembalian yang disyaratkan, itu berarti proyek tersebut menarik bagi investor swasta, maka proyek kemitraan mungkin layak untuk dikejar.
Karakteristik utama dari proyek ini meliputi: (a) opsi pembayaran kembali pinjaman (b) durasi pekerjaan konstruksi: 3 tahun; (c) distribusi tahunan konstruksi: 30% di tahun pertama,
35% di tahun ke-2, 35% di tahun ke-3 dan (d) membutuhkan tingkat pengembalian 12%.
Lembar kerja ini berisi investasi awal, pendapatan, pengeluaran, depresiasi, dan pajak, yang disesuaikan secara khusus untuk studi kasus ini. Demikian juga, Arus Kas tahunan digambarkan dalam model keuangan grafis. Salah satu keluaran dari model keuangan tersebut adalah Net present value sebagai salah satu indikator keuangan. Keluaran lainnya adalah internal rate of return yang menggambarkan tingkat pengembalian investasi berdasarkan perhitungan parameter keuangan.
Variabel input model keuangan untuk skenario kasus paling menarik dari studi kasus ini adalah 25% dari seluruh unit yang dialokasikan untuk unit bersubsidi. Alokasi unit bersubsidi minimum adalah 10% dan incremental 5%. NPV (dari perspektif pengembang) adalah nilai sekarang setelah pajak dan keuangan, selama seluruh periode investasi. Menurut model ini, proyek akan menghasilkan sumber keuangan bagi pengembang karena NPV lebih besar dari nol. Delapan uji coba menggunakan skenario kasus unit bersubsidi telah diselesaikan untuk studi kasus tersebut.
Tabel 4. Parameter kelayakan investasi Economic parameters
Period of investment 20 years
Inflation rate 2%
Tax rate 21% (based on perppu 1/2020)
Required rate of return 12%
Hasil ini didasarkan pada skenario bahwa unit bersubsidi dialokasikan pada unit 1 kamar tidur, dengan target penyewa adalah keluarga dengan maksimal 2 anak. Skenario yang berbeda akan
menghasilkan proporsi yang berbeda dari unit bersubsidi dan unit harga pasar. Skenario dan hasil lainnya dijelaskan pada tabel 5.
Table 5. Maximum subsidized unit based on some scenario Scenario Maximum of subsidized unit Subsidized units on studio 50%
Subsidized units on 1 Bedroom 30% Subsidized units on Combination
(50% studio: 50% 1 Bedroom) 35% Subsidized units on Combination
BAB III STATUS LUARAN
1.Artikel Jurnal
No Judul Artikel Nama Jurnal Status Kemajuan*)
1 Prospects for mixed-income housing for low-cost apartment in Indonesia
Urban Research and Practice
under review
(submitted on18 Nov 2020)
2 Partnership Scheme Alternatives for Low-Cost Apartment In Indonesia
Jurnal Manajemen Aset Infrastruktur dan Fasilitas
accepted
Vol 4 no 4, October 2020
*) Status kemajuan: Persiapan, submitted, under review, accepted, published 2. Artikel Konferensi
No Judul Artikel Nama Konferensi (Nama Penyelenggara, Tempat,
Tanggal)
Status Kemajuan*)
BAB IV PERAN MITRA
(UntukPenelitian Kerjasama Antar Perguruan Tinggi)BAB V KENDALA PELAKSANAAN PENELITIAN
Penelitian ini menghadapi kendala survey data primer, karena keterbatasan perijinan survey ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan kementerian Keuangan di Jakarta, sebagai efek dari kebijakan Work for Home.
BAB VI DAFTAR PUSTAKA
Alteneiji, K., Alkass, S., & Dabous, S. (2019a). Assessment of Public-Private Partnership Models for Housing Delivery in the UAE. 2019 Advances in Science and Engineering Technology International Conferences (ASET), 1–4.
https://doi.org/10.1109/ICASET.2019.8714350
Alteneiji, K., Alkass, S., & Abu Dabous, S. (2019b). Critical success factors for public–private partnerships in affordable housing in the United Arab Emirates. International Journal of Housing Markets and Analysis. https://doi.org/10.1108/IJHMA-06-2019-0061
Aribigbola, A. (2011). Housing Affordability as a Factor in the Creation of Sustainable
Environment in Developing World: The Example of Akure, Nigeria. Journal of Human Ecology, 35(2), 121-131. doi: 10.1080/09709274.2011.11906397
Ebenezer, K. T., Samuel, A., & Edward, B. (2016). A critical success model for PPP public housing delivery in Ghana. Built Environment Project and Asset Management, 6(1), 58-73. doi: doi:10.1108/BEPAM-04-2014-0026
Clapham, D. (2018). Housing Theory, Housing Research and Housing Policy. Housing, Theory and Society, 35(2), 163-177. doi: 10.1080/14036096.2017.1366937
Ibem, E. O. (2011). Public-Private Partnership (PPP) in Housing Provision in Lagos Megacity Region, Nigeria. International Journal of Housing Policy, 11(2), 133-154. doi:
10.1080/14616718.2011.573204
Li, B., Akintoye, A., Edwards, P. J., & Hardcastle, C. (2005). Critical success factors for PPP/PFI projects in the UK construction industry. Construction Management and Economics, 23(5), 459-471. doi: 10.1080/01446190500041537
Liu, T., Chan, A., & Wang, S. (2014). PPP Framework for Public Rental Housing Projects in China. In ICCREM 2014.
Mukhtar, M. M., Amirudin, R., & Mohamad, I. (2016). Housing delivery problems in
developing countries: a case study of Nigeria. Journal of Facilities Management, 14(4), 315-329. doi: doi:10.1108/JFM-12-2015-0037
Othman, A., & Abdellatif, M. (2011). Partnership for integrating the corporate social
responsibility of project stakeholders towards affordable housing development: A South African perspective. Journal of Engineering, Design and Technology, 9(3), 273-295. doi: doi:10.1108/17260531111179906
Rahmawati, F, and Adi, T.J.W, (2007), Pemilihan Partner Kerjasama Sebagai Critical Success Factor Dalam Public Private Partnership, Proceeding of Post Graduate Seminar, Civil Engineering Department, Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Rachmawati, F., Soemitro, R. A. A., Adi, T. J. W., & Susilawati, C. (2018). Critical success factor for partnership in low-cost apartments project: Indonesia perspective. Pacific Rim Property Research Journal, 24(2), 149-160. doi: 10.1080/14445921.2018.1461769 Rachmawati, F., Susilawati, C., & Goonetilleke, A. (2018). An affordability review for
low-cost apartment rent In 2018 Joint Asia-Pacific Network for Housing Research and Australasian Housing Researchers Conference.
Ramzanpour, M., & Nourtaghani, A. (2019). Impact of Four Physical Design Factors on Mixed-Income Housing. Journal of Architectural Engineering, 25(1), 1–8. https://doi.org/10.1061/(ASCE)AE.1943-5568.0000332
Read, D. C., & Sanderford, D. (2017). Making places and making tradeoffs: mixed-income housing development in practice. Journal of Place Management and Development, 10(5), 461-478. doi: doi:10.1108/JPMD-12-2016-0074
Srinivas, S., Bell, K. C., Toha, K., Zaenal, A., & Collier, W. (2015). A Review of Indonesian Land-based Sectors with Particular Reference to Land Governance and Political Economy Retrieved from http://www.oicrf.org/document.asp?ID=14940
Susilawati, C. (2018b). Housing policy and social development in Indonesia. In R. L. H. H. In Chiu, Seong-Kyu (Ed.), Housing Policy, Wellbeing and Social Development in Asia. New York: CRC Press (Taylor & Francis Group).
Susilawati, C., & Yakobus, S. (2010). New affordable strata title housing solutions : a case study in Surabaya, Indonesia. Paper presented at International Conference On Construction & Real Estate Management, Brisbane.
Trangkanont, S., & Charoenngam, C. (2014). Critical failure factors of public-private partnership low-cost housing program in Thailand. Engineering, Construction and Architectural Management, 21(4), 421-443. doi: doi:10.1108/ECAM-04-2012-0038 Zhang, X., and Chen, S, (2013). A Systematic Framework for Infrastructure Development
Through Public Private Partnership, International Association of Traffic and Safety Sciences (IATSS) Research no 36 (2013), Elsevier
BAB VII LAMPIRAN
Lampiran berisi tabel daftar luaran (Format sesuai lampiran 1) dan bukti pendukung luaran wajib dan luaran tambahan (jika ada) sesuai dengan target capaian yang dijanjikan
LAMPIRAN 1 Tabel Daftar Luaran
Program : Penelitian Doktor Baru Nama Ketua Tim : Farida Rachmawati
Judul : Kerjasama Pemerintah Dan Badan Usaha Yang Berkelanjutan Dengan Skema Mixed-Housing Transit Oriented Development Pada Rumah Susun Di Indonesia
1.Artikel Jurnal
No Judul Artikel Nama Jurnal Status Kemajuan*)
1 Prospects for mixed-income housing for low-cost apartment in Indonesia
Urban Research and Practice
under review
(submitted on18 Nov 2020)
2 Partnership Scheme Alternatives for Low-Cost Apartment In Indonesia
Jurnal Manajemen Aset Infrastruktur dan Fasilitas
accepted
Vol 4 no 4, October 2020
*) Status kemajuan: Persiapan, submitted, under review, accepted, published 2. Artikel Konferensi
No Judul Artikel Nama Konferensi (Nama Penyelenggara, Tempat,
Tanggal)
Status Kemajuan*)
3. Paten
No Judul Usulan Paten Status Kemajuan
*) Status kemajuan: Persiapan, submitted, under review 4. Buku
No Judul Buku (Rencana) Penerbit Status Kemajuan*)
*) Status kemajuan: Persiapan, under review, published 5. Hasil Lain
*) Status kemajuan: cantumkan status kemajuan sesuai kondisi saat ini 6. Disertasi/Tesis/Tugas Akhir/PKM yang dihasilkan
No Nama Mahasiswa NRP Judul Status*)
1 Adhika Nandi Wardhana 03111950030010 Model Alokasi
Risiko Kerjasama Pemerintah-Badan Usaha Dalam Proyek Rusunawa Menggunakan Game Theory in progress
LAMPIRAN 2
BUKTI PUBLIKASI JURNAL INTERNASIONAL
URBAN, RESEARCH AND PRACTICE
LAMPIRAN 3
BUKTI PUBLIKASI JURNAL NASIONAL
Editorial Team
Chief Editor
1. Hitapriya Suprayitno, Departemen Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia
Editorial Board
1. Ria Asih Aryani Soemitro, Departemen Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia
2. Data Iranata, Departemen Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, Indonesia
3. Alex Abdi Chalik, Widyaiswara Utama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Indonesia
4. Danang Parikesit, University Network for Indonesia Infrastructure Development (UNIID), Indonesia
(e)ISSN 2615-1847 (p)ISSN 2615-1839 Jurnal Manajemen Aset Infrastruktur & Fasilitas – Vol. 4, No. 4, Oktober 2020
Partnership Scheme Alternatives for Low-Cost Rental
Public Apartment in Indonesia
Alternatif Skema Kerjasama bagi Rumah Susun Sewa (Rusunawa)
Tarif Rendah di Indonesia
Ria Asih Aryani Soemitro1,a), Farida Rachmawati1,b), Tri Joko Wahyu Adi1) & Connie Susilawati2)
1)Civil Engineering Department, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya 2)QUT Business School, Queensland University of Technology, Australia
Correspondance : a)ria@ce.its.ac.id & b)farida.rachmawati@gmail.com
ABSTRACT
The low-cost apartment development program is one of the reliable solutions to reduce housing backlog in Indonesia, especially in some major cities, due to land scarcity and high price of land. In order to accelarate the low-cost apartment, either ownership or rental apartment, it needs the private sector’s involvement. However, it requires suitable partnership scheme to attract the private sector and to deal with the land provision problem. The objective of this study is to propose partnership scheme alternative for low-cost apartment. Interview to nine government officers (ministry and local) and three person from private sector companies have been conducted to explore the possibilities of the proposed scheme. The result shows that there two major groups of scheme alternatives, which are classified based on the land owner. The first group is the scheme, which government owns the land, while the second group is the scheme, which the land is owned by the private sector. The first group has three alternative schemes, while the second one has two alternative schemes.
Keywords: facility management, partnership scheme, low-cost apartment, Indonesia
BACKGROUND
Urbanisation issue has arisen in some developing countries, such as in Indonesia. It leads to the needs of affordable housing. The land scarcity and high land price close to employment centre are the obstacle of low-cost housing provision (Rachmawati, Soemitro, Adi, & Susilawati, 2015). Major urban areas in Indonesia faces the problem related the supply for basic service because of the lack of housing investment. In the current condition, the majority public housing supply, both landed house and low-cost apartment, still comes from the government. Indonesian Ministry of Public Works and Public Housing (Ministry of PUPR) claimed the housing backlog reaches 7.64 million unit in the beginning of 2020. The supply target is expected to be achieved by the government and the private sector involvement.
One of procurement and partnership method is Public Private Partnership, which has been applied in many infrastructure projects. PPPs bring benefit to give an opportunity for private sector to contribute to public infrastructure development and service provision. They also enable to merge the resources of both public and private sectors to provide the better services (Zhang and Chen 2013). In the housing research, PPP has been introduced as the method to involve private sector. In Indonesia, PPP is used as the delivery method in all toll road project and power plant project (National Body of Development Planning, 2014). Therefore, it will be the great chance for both public and private sector to collaborate in developing low cost apartment, in the land availability, building construction or operation maintenance stage. The government support can be in the form of cross-subsidy policies, subsidies public utilities, and
(e)ISSN 2615-1847 (p)ISSN 2615-1839
Jurnal Manajemen Aset Infrastruktur & Fasilitas – Vol. 4, No. 4, Oktober 2020
the provision of land (Sengupta, 2005), while the industrial estate support can be in the form of Corporate Social Responsibility (CSR) for a collaboration on legal aspects, technology, economy and society (Othman A and Abdellatif M, 2011).
Unfortunately, the current partnership in the housing sector is still limited in land rental. The private sector rents the land for low-cost apartment, then the government as the building operator pays the rental fee annually. Partnership between government and private sector, such as industrial estate developer in providing low-cost apartment for employee bring a lot of good effects for both parties. The short distance between workplace and housing leads to high efficiency, both transportation cost and time. It also maintains the employee’s energy for working which leads to higher productivity. Meanwhile, the government has the benefits such as reduce number of illegal settlement, and accelarate the low-cost housing provision program.
Various types of partnerships have been implemented to reflect different project objectives and requirements. These partnership scheme are arranged based on the level of private sector’s involvement (Kwak, Chih & Ibbs, 2009). In the extreme condition, public sector provides full service and full responsibility for all aspects of delivering public services; while at the other extreme condition, the private sector takes those roles. The degree of private involvements are varied in between and tends to increases. These PPP scheme are also arranged based on finance sources and ownership of properties. The partnership is a long-term contract, which contains variety of uncertain projection and circumstances. Therefore, it needs a proper scheme that enable risk allocation. The main reasons for partnerships are the expectation that the private sectors are able to share the risk sharing and are able to deliver, finance, maintain, and operate project at more effective cost than the public sector (Mladenovic and Vajdic, 2013). Moreover, one of critical success factors of partnership in housing sector is stakeholder’s commitment and appropriate risk allocation and risk sharing (Rachmawati, Soemitro, Adi & Susilawati, 2018). Meanwhile, Low-Cost Public Rental Apartment, as capital Public Facility, have to be well managed. This must be included in the partnership scheme (Soemitro & Suprayitno 2018). Several types of Low-Cost Public Rental Apartment has been identified in Surabaya (Purnaasari, Soemitro & Suprayitno 2020).
The study discussed the partnership scheme is still limited and focused on certain schemes. This study attempted to propose alternative partnership scheme, based on land owner. This paper begins with a background followed by the research methods and the case study description. Then it continues with an analysis, which is supported by data from semi-structured interviews. The recommendations are summarized based on theory and the results of data analysis. Finally, this paper provides the study conclusions and implications for future research.
RESEARCH METHOD
The data collection is conducted by observation and structured interview. The semi-structured interview was aimed to obtain the respondents opinion the existing low-cost apartment policy. Therefore, the respondents are the key person in low-cost apartment management, either from province or district/municipal government. The semi-structured interview participants also came from the private sector or non-government sector, such as officer from National Housing Company (Perumnas), industrial estate developer and some private housing developers as potential player in low-cost apartment sector. Some of them have contributed to be partner in housing development. In the province government level, the officers from state-owned company who are responsible for low-cost apartment management owned by province and local government were interviewed and asked for their opinion related to housing finance policy related to low-cost apartments and partnership scheme.
(e)ISSN 2615-1847 (p)ISSN 2615-1839 Jurnal Manajemen Aset Infrastruktur & Fasilitas – Vol. 4, No. 4, Oktober 2020
CASE STUDY DESCRIPTION
Indonesia has three tiers of government, which province and district/municipal is the second and third tiers respectively. East Java Province, one of 34 provinces in Indonesia has a total population of 39.29 million in 2019 and is divided into 29 districts and 9 municipals (Statistic Bureau-East Java Province, 2019). Greater Surabaya is the part of this province that includes Gresik District, Sidoarjo District and Surabaya Municipality. Surabaya is the capital city of this province, which the total population in 2019 was 2.85 million, and 40% of these are migrant tenants (Statistic Bureau-East Java Province, 2019).
The low-cost apartments in Surabaya Metropolitan Area are classified into four administrators in charge, Surabaya government, Sidoarjo government, Gresik government and East Java provincial government. There are 33 low-cost rental apartments, which are located in Greater Surabaya (Surabaya, Sidoarjo and Gresik). 20 low-cost rental apartments are managed by government of Surabaya, 4 of them are managed by government of Sidoarjo, 5 of them are managed by government of East Java Province and the rest are operated by government of Gresik.
RESULT AND DISCUSSION
According to the survey, all stakeholders agree that the Public Private Partnership arrangement is essential to combine the strengths of the private sector with those of the public sector in order to overcome challenges faced by affordable housing and to achieve superior outcomes. They found other benefits of implementing PPP. Better risk allocation is the first and important benefit based on overall, public and private perceptions. Li et al (2005) and Ismail (2013) mentioned that transfer of risk to private sector variable is the major reason to implement PPPs. This is because, it is believed private sector might be able to manage some types of risk more effective which ultimately lead to a better quality of services provided, cost savings and the reduction. While public sector is able to manage the risk related to admit and society. Therefore, using proper risk sharing mechanism, both public and private sector will allocate the risk to the party best able to manage it. While accelaration of infrastructure provision is the second benefit according to overall, public and private perceptions. The respondent’s answer is in accordance with Ismail (2011) concerning PPP advantage to fasten delivery of public infrastructure, because the private sector is perceived as being more innovative and efficient due to their competitive commercial environment.
There are variety PPP schemes based on the owner of the asset. They lies between supply and management until private ownership. The bottom line of PPP in low-cost apartment is in the end of concession period, the asset should be owned by the government, as the low-cost apartment is categorized as public building. In addition, the low-cost apartment provision is one of government programs. Therefore, there are three main groups of PPP scheme, which meet that requirement, they are contracting or supply and management, Build Operate Transfer (BOT) and Design, Build, Finance, Operate (DBFO). Table 1 described the advantages and disadvantages of those groups.
(e)ISSN 2615-1847 (p)ISSN 2615-1839
Jurnal Manajemen Aset Infrastruktur & Fasilitas – Vol. 4, No. 4, Oktober 2020
Table 1. Advantages and Disadvantages of PPP Scheme
Supply & Management BOT DBFO
Ownership of building Yes Yes Yes
Ownership of land Yes Yes
Responsibility for investment Yes No Yes
Responsibility for operational & maintenance No No Yes
Enhanced risk sharing Yes Yes Yes
Duration of contract Long Long M edium
This advantages and disadvantages matrix will help to design the partnership scheme. For example, in BOT, land and building remains in public ownership, while key driver is the transfer of operating risk in addition to design and construction risk. Similar to BOT, supply and management has the key advantage that facility is financed and owned by public sector. Its key driver is the transfer of design and construction risk under contract/agreement with Private party to design and build public facility. The proposed partnership model will not totally adopt those schemes; some adjustment will apply to suit the real condition.
There are some possibilities combination in terms of the responsible party for each stage as described in table 2. This matrix shows that land could be provided by government, then the building could be provided by the government as well, while operation and maintenance would be served by the private sector. The other alternative is land would be provided by government, while building and operation maintenance would be served by the private sector.
On the other hand, if land is provided by private sector, the building could be provided by private sector and private as well. While the building which is provided by both government and private sector, the operation maintenance could be managed by the private sector. Another possibility is both government and private sector are actively involved in design, construction and operation maintenance stage.
Table 2. Combinations of PPP Model
Government Private
Sector Shared Government
Private Sector Shared Comb 1 x x x Comb 1 x x Comb 2 x x x Comb 1 x x Comb 3 x x Comb 3 x x Comb 4 Comb 4 x x x Comb 5 x x x x x Comb 1 x x Comb 1 x x Comb 2 x x Comb 2 x x x Comb 3 x x Comb 3 x Comb 4 x Comb 4 x x Comb 5 x x x x x
Land is provide d by Gove rnme nt Land is provide d by Private Se ctor
Design and Construction
Operation and Maintenance
Note: Comb = combination
The proposed model could be developed from those combinations. However, there are some constraints related to which party will responsible for the certain scheme. There are two reasons that operation and maintenance should be kept by private sector :
1. The private sector is best able to manage operation and maintenance stage. Previous studies (Ke et al, 2011; Ameyaw et al, 2013) suggest that activities and risks related to
(e)ISSN 2615-1847 (p)ISSN 2615-1839 Jurnal Manajemen Aset Infrastruktur & Fasilitas – Vol. 4, No. 4, Oktober 2020
operation maintenance stage should be borne by the private sector, as they have capability, both technical and financial to overcome the problems in operation maintenance. 2. The private sector can be more flexible to do transaction process with tenants using the
more flexible financing mechanism. The flexible financing mechanism is one of the outcomes in preliminary survey, which is considered should be applied by the low-cost apartment operator in order to provide better service to tenants. Risks which have not been managed well in the past by government, should be transferred if cost-effective (construction, operation), should be borne by private sector.
While the building in the design and construction could be provided by both parties, as the government has annual program, so that the private sector may contribute to intensify the supply of low-cost apartment units. Government may subsidy the private sector nvestment by granting the low-cost apartment units. Then, the unit would be operated by the private sector. Some combination possibilities are then summarized into the table 3.
Table 3. Summary of Combination Possibilities
No. Selection
1 ok Government Private Sector
Government-land Based Mixed Development Cross-subsidized Revenue generated from commercial unit/ facilities
2 ok Private Sector Private Sector
Government-land based – Annuity Based Subsidized Local government pays long-term annuity to private partner 3 X Shared Shared
4 ok Shared Private Sector
Government-Land Based Direct Relationship Beneficiaries pay monthly rent to private partner 5 X Private Sector Government
1 ok Private Sector Private Sector Private Land Based Model
Revenue generated from units rent & commercial facilities
2 ok Shared Private Sector Private Land Based Community
Revenue generated from units & commercial rent 3 X Shared Shared 4 X Government Government Name Recovery by Operation Maintenance Land is provided by the government Land is provided by the private sector
Combination Design & Construction
For both models tabulated above, there are five key stakeholders need to be considered. Those five stakeholders are as follows.
1. Ministry and local government
Ministry government commonly plays a role as a regulator or policy maker, while local government will execute the plan. In addition, the local government has the authority to manage the land asset. In this study, local government is province and municipal/district government
(e)ISSN 2615-1847 (p)ISSN 2615-1839
Jurnal Manajemen Aset Infrastruktur & Fasilitas – Vol. 4, No. 4, Oktober 2020
2. Private sector or private partner
Private partner could be in the term of housing developer, industrial estate company or other private sector
3. Beneficiary
Beneficiary is the organization appointed by the government to manage and operate the low-cost apartment
4. Financial institution
Financial institution could be in the term of financier or the guarantee fund institution 5. Community
In some areas, community or village government has the authority to own the lad asset which could be utilized for the low-cost apartment.
Regarding land provision by the public sector, enhancing access to low cost land, there are two options:
1. Enhancing the land pool or land banking, owned by local government, state-owned company or government agencies, which are very poorly utilized and are often illegally encroached.
2. Redevelop of ineffective public urban areas to increase the value of land. It has the potential to create value by combining government’s program and the ability of private sector to design, construct and operate the asset effectively.
CONCLUSIONS
This paper reveals the alternative partnership scheme for low-cost apartment. The collaboration or partnership could be meant as the degree of involvement of each stakeholder. In the extreme condition, public sector provides full service and full responsibility for all aspects of delivering public services; while at the other extreme condition, the private sector takes those roles. The degree of private involvements are varied in between and tends to increases. These PPP scheme are also arranged based on finance sources and ownership of properties.
This research presented two generic PPP model based on the owner of the land. First model is Government-Based Land. Three models have been generated from this generic model. There are Government-land Based Mixed Development Cross-subsidized Low-cost Apartment, Government-land based – Annuity Based Subsidized Low-cost Apartment, Government-Land Based Direct Relationship Rental Low-cost Apartment. The building is constructed by the private sector and the low-cost apartment management as well. Meanwhile, the second model is Private-Based Land, include Private Land Based Model and Private Land Based Community. In Private land based model, the construction and the management are the private sector’s responsible, while in the second model, the public sector and the beneficiary play the dominant role in construction and management There are five key stakeholders involved in all schemes: Ministry government, Local government, Private partner, Beneficiary and Financial institution.
Given the proposed alternative partnership schemes for low-cost apartment, this study could be enhanced by obtaining further data from a wide range of respondents and more comprehensive decision-making method. In addition, the risk analysis could be adapted to decide the most suitable scheme. To a larger extent, the findings of this study could be adapted and applied to public low-cost rental apartment development in countries, in which land and buildings are provided by the government.
(e)ISSN 2615-1847 (p)ISSN 2615-1839 Jurnal Manajemen Aset Infrastruktur & Fasilitas – Vol. 4, No. 4, Oktober 2020
REFERENCES
Ameyaw E.E., Chan A.P.C. (2013). Identifying public–private partnership (PPP) risks in Managing water supply projects in Ghana. Journal of Facilities Management, 11 (2) (2013), pp. 152-182
Indonesian Statistical Bureau (Biro Pusat Statistik – BPS). 2019. Population Density (http://www.jatim.bps.go.id) (accessed July 9, 2020)
Indonesian Ministry of Public Works and Public Housing (2014a), Strategic Planning of Directorate of Low-cost Apartment, Indonesian Ministry of Public Works and Public Housing
Ismail, S., & Ajija, S. R. (2011). Critical Success Factors of Public Partnership (PPP) Implementation in Malaysia. The Seventh Join Venture International Conference, 28-29
September 2011. Institut Teknologi Bandung Indonesia.
Ismail, S. (2013), “Critical success factors of public private partnership (PPP) implementation in Malaysia”, Asia-Pacific Journal of Business Administration, Vol. 5 No. 1, pp. 6-19. Ke, Y., Wang, S., Chan, A., & Cheung, E. (2011). Understanding the risks in China’s PPP
projects: ranking of their probability and consequence. Engineering, Construction, And
Architectural Management., 18(5), 481–496. doi:10.1108/09699981111165176
Kwak, Y., Chih, Y., & Ibbs, C. (2009). Towards a Comprehensive Understanding of Public Private Partnerships for Infrastructure Development. California management review., 51(2), 51–78. doi:10.2307/41166480
Li, B., Akintoye, A., Edwards, P. J., & Hardcastle, C. (2005). Critical success factors for PPP/PFI projects in the UK construction industry. Construction Management and
Economics, 23(5), 459-471. doi:10.1080/01446190500041537
Mladenovic, G and Vajdic, N. (2013). Use of Key Performance Indicator for PPP Transport Projects to Meet Stakeholders’ performance Objectives, Built Environment Project and
Asset Management vol 3 no 2 pp 228-249
Othman, A., & Abdellatif, M. (2011). Partnership for integrating the corporate social responsibility of project stakeholders towards affordable housing development: A South African perspective. Journal of Engineering, Design and Technology, 9(3), 273-295. doi:doi:10.1108/17260531111179906
Purnamasari, A.W. Soemitro, R.A.A. & Suprayitno, H. (2020). “Perbandingan Pengelolaan Rusunawa: Pemilik, Penghuni, Pengelola, Pembiayaan, Luas Unit, Tarif dan Fasilitas”.
Jurnal Manajemen Aset Infrastruktur & Fasilitas, Vol. 4, No. 2, April 2020.
Rachmawati, F., Soemitro, R. A. A., Adi, T. J. W., & Susilawati, C. (2015). Low-cost Apartment Program Implementation in Surabaya Metropolitan Area. Procedia
Engineering, 125, 75-82. doi:https://doi.org/10.1016/j.proeng.2015.11.012
Rachmawati, F., Soemitro, R. A. A., Adi, T. J. W., & Susilawati, C. (2018). Critical success factor for partnership in low-cost apartments project: Indonesia perspective. Pacific Rim
Property Research Journal, 1-12. doi:10.1080/14445921.2018.1461769
Sengupta, U. (2005), Government intervention and public–private partnerships in housing
delivery in Kolkata, www.elsevier.com
Soemitro, R.A.A. & Suprayitno, H. (2018). “Pemikiran Awal tentang Prinsip Dasar Manajemen Aset Fasilitas”. Jurnal Manajemen Aset Infrastruktur & Fasilitas, Vol. 2, Suplemen 1,
Juni 2018.
Zhang, X., and Chen, S, (2013). A Systematic Framework for Infrastructure Development Through Public Private Partnership, International Association of Traffic and Safety
Sciences (IATSS) Research no 36 (2013), Elsevier
(e)ISSN 2615-1847 (p)ISSN 2615-1839