• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa di dunia yang paling majemuk dipandang dari segi banyaknya agama, kepercayaan, tradisi, kesenian, kultur dan etnis. Untuk menggambarkan pluralitas masyarakat dan keberagaman budaya Indonesia, para Pendiri Republik ini pada tahun 1945 telah mempergunakan motto ”Bhinneka Tunggal Ika” sebagai motto nasional.

Bhinneka Tunggal Ika adalah bahasa Sansekerta yang berarti ”Berbeda-beda Tetapi Tetap Satu”. Motto ini diambil dari gagasan brilian pujangga Empu Tantular, seorang pemikir cemerlang pada zaman kejayaan kerajaan Hindu Majapahit (1293-1478).

1

Para penguasa kerajaan Majapahit, yang muncul sebagai kerajaan Hindu terbesar sebelum kedatangan Islam di Indonesia, menggunakan motto tersebut untuk memelihara komitmen kesatuan seluruh rakyat dan menjaga integritas wilayah kerajaan. Tujuan penggunaan kembali motto ini oleh para Pendiri Republik ini sebagai motto nasional adalah untuk mempertegas visi kebangsaan dan aspirasi sosial politik mereka guna merekat, merawat, mempererat dan memperkuat persatuan nasional, integritas wilayah dan stabilitas negara Indonesia yang kita kenal sebagai NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). NKRI dipatok sebagai sudah final dan ditetapkan sebagai “harga mati”.

2

Setelah dicapai konsensus nasional untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sampailah saatnya bangsa kita untuk betul-betul membudayakan dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi bersama kita itu. Pancasila adalah ideologi terbuka. Ungkapan yang sederhana tetapi sarat

1

Ahmad Syafii Mufid, Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia cet.1 (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012), hal.xiii.

2

Ibid, hal.xiii.

(2)

makna ini sekarang berkembang dan mulai membudayakan dalam masyarakat kita. Memang suatu konsep yang abstrak seperti “Pancasila adalah ideologi terbuka “ memerlukan waktu untuk memantapkan proses pemahaman, penghayatan, pembudayaan dan pengamalannya dalam masyarakat.

3

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki tradisi keberagaman yang sangat plural, tidak hanya agama mainstream yang terlembaga, tapi juga kepercayaan lokal dan tetap bertahan sampai kini.

Kepercayaan lokal dengan sistem ajaran, tradisi, pengikut merupakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat hingga kini, bahkan jauh sebelum negara Indonesia merdeka. Meskipun tampak stagnan dan tak berdaya dalam kehidupan sosial keagamaan, ekonomi dan politik, namun komunitas pengikut kepercayaan lokal. Hal itu terkait dengan adanya perubahan- perubahan baik desakan dari dalam dirinya sendiri, maupun desakan perubahan yang diakibatkan karena adanya perkembangan di sekitarnya, yaitu perubahan kehidupan sosial keagamaan dan kehidupan sosial politik yang terus berubah.

Agama sendiri mempunyai pengertian sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan. Dan sesungguhnya bagi mereka yang tidak mempercayainya, tidak memiliki hak tuntutan kepatuhan apapun, apalagi harus mengalami paksaan untuk mengikuti suatu agama tertentu. Karena Negara Indonesia telah mengatur bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, ketentuan itu diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Negara bedasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

4

3

Oetojo Oesman dan Alfian, Pancasila Sebagai Ideologi, cet.2, (Jakarta: Perum Percetakan Negara RI,1991),hal.4.

4

Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (1) dan (2).

(3)

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pengamalan budi luhur yang ajarannya bersumber dari kearifan lokal bangsa Indonesia.

5

Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, selanjutnya disebut Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

6

Jika dilihat dari akar katanya, maka istilah ”kebatinan” berasal dari kata ”batin” (bahasa Arab) yang berarti ”di dalam”, ”yang tersembunyi”.

Karena sifatnya yang tersembunyi, maka kebatinan sangat sulit untuk dirumuskan karena bersifat subjektif. Meskipun begitu, ada banyak definisi istilah kebatinan yang telah dirumuskan, di antaranya : Pertama, Definisi yang dikemukakan oleh H.M Rasyidi yang mengatakan bahwa kata ”batiny”

terambil dari kata ”batin” yang artinya bagian dalam. Kata ”batiny” dapat diartikan sebagai orang-orang yang mencari arti yang dalam dan tersembunyi dalam kitab suci. Mereka mengartikan kata-kata itu tidak menurut bunyi hurufnya tetapi menurut bunyi interpretasi sendiri yang di dalam bahasa Arab disebut ta`wil (penjelasan suatu kata dengan arti lain daripada arti bahasa yang sebenarnya atau yang sewajarnya).

7

Pada tanggal 28 September 2016 para pemohon dari penghayat kepercayaan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh para pemohon penghayat kepercayaan yang didalam Undang-Undang tersebut berisikan pasal-pasal yang terindikasi adanya

5

Indonesia, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Perba Nomor 43/Nomor 41 Tahun 2009, Pasal 1 Nomor 2.

6

Ibid, Pasal 1 Nomor.3.

7

Ibid, hal.67.

(4)

tindakan diskriminatif yang berindikasi dapat menghilangkan hak konstitusional penghayat kepercayaan. Para pemohon itu adalah Komunitas Marapu di Sumba Timur, Pulau Sumba, penganut kepercayaan Parmalim di Sumatera Utara, pusat Parmalim sendiri terletak di Kabupaten Toba Samosir, penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di Medan, Sumatera Utara, penganut kepercayaan Sapto Darmo. Mereka mengajukan PUU itu karena di dalam Undang-Undang tersebut mengandung pasal-pasal yang berindikasi adanya diskriminatif secara administratif, agamis, dan politis.

Pasal-pasal yang diajukan itu adalah pasal 61 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang berbunyi : “KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua.”

8

Ayat (2) nya berbunyi : “Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang- undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan”.

9

Di dalam Pasal 64 UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ayat (1) yang berbunyi : “KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki- laki, atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el”.Ayat (5) yang berbunyi : “Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama

8

Indonesia,Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pasal 61 ayat (1) .

9

Indonesia,Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

pasal 61 ayat (2).

(5)

berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan.”

10

Akibat adanya UU Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, masyarakat penghayat aliran kepercayaan mengalami tindakan diskriminasi dengan adanya pasal yang menyebut kan bahwa penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan oleh para stakeholder.

Tindakan-tindakan diskriminasi itu berupa :

11

1. Pemohon I Pengujian Undang-Undang yaitu Komunitas Penghayat Kepercayaan Marapu melakukan perkawinan antar pemeluk kepercayaan dari Komunitas Marapu yang dilakuka secara adat, tidak diakui oleh negara, akibatnya anak-anak mereka sulit mendapatkan akta kelahiran. Demikian pula dengan persoalan KTP elektronik, untuk mendapatkan KTP elektronik dengan mudah, sebagian penganutnya terpaksa berbohong menuliskan agama diluar dari kepercayaannya pada KTP elektronik.

2. Pemohon II penganut kepercayaan Parmalim di Sumatera Utara yang merupakan salah satu dari pemohon Pengujian Undang-Undang mengalami tindakan diskriminasi berupa adanya ketidakcocokan antara identitas agama yang dituliskan di kartu keluarga dan KTP elektronik. Kerugian konstitusional yang dialami para penganut Parmalim, yakni ada yang disyaratkan berpindah agama terlebih dahulu jika mau diterima pada pekerjaan yang dilamarnya,tidak dapat mengakses hak atas jaminan sosial,kesulitan untuk mengakses dokumen kependudukan seperti KTP elektronik, KK, Akte Nikah, dan akte lahir.

12

10

Indonesia,Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan,pasal 64 ayat (1) dan (5).

11

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor : 97/PUU-XIV/2016”, hal.5.

12

Ibid, hal.7.

(6)

3. Pemohon III penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di Medan, Sumatera Utara. Dengan adanya Pasal 61 ayat (1) juncto ayat (2) dan pasal 64 ayat (1) juncto ayat (5) UU Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa kolom agama di KK dan KTP elektronik untuk kepercayaan dikosongkan, Pemohon III secara tidak langsung telah mengalami diskriminasi. Bahwa anak dari Pemohon III yang bernama Dessy Purba di tolak melamar pekerjaan, meskipun nilai dan prestasinya bagus. Penolakan tersebut karena kolom agama di KTP elektroniknya bertanda strip. Calon pemberi kerja menganggap bahwa strip identik dengan ateis atau kafir. Walaupun memenuhi kriteria dan syarat-syarat yang dibutuhkan dan memiliki nilai akademik yang bagus di ijazahnya, ia tidak diterima sebegai pekerja. Dessy juga kesulitan ketika hendak menerima upah dari perusahaan tempat ia bekerja,karena pihak perusahaan dan pihak bank mempersoalkan kolom agama yang dikosongkan dan meminta klarifikasi kepada Pemerintah setempat dan Pengurus Kepercayaan Ugamo Bangso Batak. Bahwa selain itu, Pemohon III juga ternyata tidak bisa mengakses modal usaha dari lembaga keuangan. Tanda strip pada KTP elektronik Pemohon III menyebabkan mereka tidak bisa mengakses modal usaha dari lembaga keuangan, seperti bank ataupun koperasi.

4. Pemohon IV merupakan penganut kepercayaan Sapto Darmo. Salah satu

kelompok penghayat atau dalam bahasa pemerintah disebut sebagai “aliran

kepercayaan” yang penganut nya pernah mencapai ratusan ribu di Indonesia,

terutama di Jawa. Namun sejak 1965, karena tekanan politik penganut

kepercayaan ini menurun secara cepat dan hanya dipraktikan secara diam-

diam.Kebanyakan penghayat Sapto Darmo berasal dari kelas menengah ke

bawah, bahkan sebagian miskin dan proses pemiskinan terus berlangsung

karena kebanyakan dari mereka hanya bersekolah sampai tingkat

menengah.Selain faktor ekonomi, salah satu alasan mereka enggan

meneruskan sekolah adalah adanya, tuntutan secara halus maupun kasar, agar

mereka mengikuti pelajaran agama yang diakui pemerintah.Dan bagi

Pemohon IV, keberadaan pasal 61 ayat (1) juncto ayat (2) dan pasal 64 (1)

juncto ayat (5) UU Administrasi Kependudukan telah memberikan dampak

(7)

bagi Pemohon IV. Sebagai penghayat kepercayaan, karena di kolom elektronik kolom agamanya kosong sehingga Pemohon IV dan penganut Sapto Darmo lainnya mendapat tindakan diskriminasi dari masyarakat umum.Akibat dari kolom agama yang kosong pula pemakaman keluarga dari Pemohon IV ditolak di pemakaman umum manapun di Kabupaten Brebes.

13

Akibat adanya pasal 61 ayat (1) juncto ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan dan pasal 64 ayat (1) juncto ayat (5) UU Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Yang mengakibatkan adanya tindakan diskriminasi yang diakibatkan dari pasal 61 ayat (1) juncto ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan dan pasal 64 ayat (1) juncto ayat (5) UU Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan sehingga para pemohon dalam hal ini para penghayat kepercayaan tidak dapat mengakses pelayanan publik.

Pada hari Selasa, 7 November 2017 Mahkamah Konstitusi memutuskan putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya.

14

Tinjauan dari penulis dilihat dari sudut pandang Agama dan keyakinan penulis yang beragama islam mengenai Pengakuan Penetapan Atas Disahkan Putusan Mahkamah Konstitusi PUU Nomor 97/PUU- XIV/2016 memandang penganut kepercayaan sebagai sebuah agama.

Pengertia Agama terdiri dari kata ‘agama’ dalam bahasa Indonesia berarti sama dengan kata Din dari bahasa Arab dan Semit, atau dalam bahasa- bahasa Eropa sama dengan religion (Inggris), La religion (Perancis), de religie (Belanda). Agama, secara bahasa berasal dari bahasa Sanskerta.

Menurut satu pendapat, tersusun dari kata, a = tidak, dan gam = pergi; jadi tidak pergi; tetap di tempat ; diwarisi turun temurun. Demikianlah sifat

13

Ibid, hal.9.

14

Ibid,hal.154-155.

(8)

Agama, diwarisi secara turun temurun. Pendapat lain menyatakan, agama berarti teks atau kitab suci, demikianlah faktanya sebagian besar agama mempunyai kitab suci. Pendapat lain menyatakan dari kata gam berarti tuntunan. Karena agama mengandung ajaran-ajaran yang menjadi tuntunan hidup bagi penganutnya.

15

Din dalam bahasa Semit berarti ‘undang-undang atau hukum’. Dalam bahasa Arab berarti menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan, dan kebiasaan.Agama selalu membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum yang harus dipatuhi oleh pemeluknya.Memang demikianlah sifat agama, menguasai diri seseorang dan membuatnya tunduk dan patuh kepada Tuhan, dengan menjalankan ajaran-ajaran agama.Agama juga membawa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dijalankan oleh pengikutnya menjadi

‘hutang’ baginya.Paham kewajiban dan kepatuhan membawa pula kepada paham ‘balasan’. Bagi yang menjalankan kewajiban dan yang patuh akan mendapatkan balasan kebaikan dari Tuhan, dan bagi yang tidak menjalankan kewajiban dan yang tidak patuh akan mendapatkan balasan tidak baik (siksa).

16

Religi (Bahasa Latin), berasal dari kata relegere yang berarti mengumpulkan, membaca. Karena agama merupakan kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan, terkumpul dalam kitab suci yang harus di baca.

Menurut pendapat lain dinyatakan, berasal dari religare yang berarti mengikat. Karena agama mempunyai sifat-sifat mengikat bagi manusia.Dalam agama juga terdapat ikatan antara roh manusia dengan Tuhan. Selanjutnya, agama juga mengikat manusia dengan Tuhan.

17

Intisari dari istilah-istilah di atas adalah ‘ikatan’.Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia.Ikatan ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan manusia sehari- hari.Ikatan tersebut berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari

15

Zuhroni, Dasar dan Sumber Syariat Islam, ed.pertama, cet.1,(Jakarta : Universitas YARSI, 2010), hal.48.

16

Ibid.hal.48.

17

Ibid.

(9)

manusia.Satu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, suatu kekuatan ghaib yang tak dapat ditangkap dengan pancaindera.

18

Dikaitkan dengan arti agama di atas maka sesungguhnya pengertian agama menjadi sangat luas.Tiada seorang pun yang tidak menganut suatu ajaran agama. Boleh jadi seseorang menyatakan dirinya tidak beragama namun pada hakikatnya ia telah membuat suatu ajaran tertentu menjadi agamanya. Suatu saat sebuah majalah menulis judul, “An Aerobic : The New Religion”.Majalah ini mencoba menggambarkan betapa aerobic telah menjadi sebuah agama bagi banyak manusia lengkap dengan doktrin-doktrin kesehatan, ritual, serta komunitas penganutnya yang begitu fanatik.

19

Dalam pengelompokkannya menurut sifat dan kondisi masyarakat penganutnya, seperti agama-agama yang dianut oleh masyarakat primitif dan agama-agama yang dianut oleh masyarakat yang sudah maju atau masyarakat yang telah meninggalkan fase keprimitifannya, seperti agama monoteisme dan agama politeisme.

20

Ada lagi yang membagi dari asal dan sumbernya, agama dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

21

a. Agama wahyu disebut juga munazzal (yang diturunkan dari sisi Allah), Agama Samawi, Agama Langit, Agama Profetis, atau Revealed Religions, yaitu ajaran Allah yang disampaikan oleh para rasul-Nya, yaitu Agama Yahudi, Agama Nasrani, dan Agama Islam.

b. Agama budaya disebut juga Agama Ardhi, Agama Wadh`i, Agama Bumi, Agama Filsafat, Natural Religions, Agama Alam, dan Non- RevealedReligions, yakni ajaran-ajaran yang dihasilkan oleh pikiran atau perasaan manusia secara komulatif, seperti Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, Shinto, dan lain-lain.

Di antara ciri Agama Samawi, antara lain :

22

18

Ibid, hal.49.

19

Azyumardi Azra, Toto Suryana, Ishak Abdulhaq dan Didin Hafiduddin, Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, ed.3, cet.3.(Jakarta : Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 2002), hal.31.

20

Zuhroni, op.cit.,hal.50.

21

Ibid, hal.50.

(10)

1. Berasal dari wahyu, bukan ciptaan manusia siapa pun selain Allah.

2. Konsep Ketuhananya adalah monoteisme mutlak (tauhid).

3. Disampaikan oleh Nabi/Rasul. Mereka tidak menciptakan agama, melainkan hanya sebatas menyampaikannya.

4. Mempunyai kitab suci yang autentik, tidak tercampuri oleh tangan manusia.

5. Ajarannya bersifat tetap, tidak berubah walaupun tafsirnya berubah sesuai dengan kecerdasan dan kepekaan para pengikutnya.

6. Kebenarannya bersifat universal, berlaku bagi setiap manusia, masa, dan keadaan.

Di antara ciri Agama Ardli atau Agama Budaya, antara lain :

23

1. Hasil fikiran dan atau perasaan manusia.

2. Tumbuh secara evolusi atau kumulatif dalam masyarakat penganutnya, tidak dipastikan waktu kelahirannya.

3. Tidak disampaikan oleh Rasul Tuhan, tetapi oleh pendeta atau mungkin seorang filosuf.

4. Pada umumnya tidak memiliki kitab suci, kalau ada, kitabnya telah mengalami perubahan dalam perjalanan historis agama.

5. Ajarannya dapat berubah-ubah seiring dengan perubahan akal masyarakat penganutnya, atau filosufnya.

6. Konsep ketuhanannya adalah dinamisme, animisme, atau politeisme, paling tinggi adalah monoteisme-nisbi.

7. Kebenaran prinsip-prinsip ajarannya tak tahan terhadap kritik akal, teorinya tentang alam ternyata keliru setelah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan, dan fahamnya tentang alam ghaib tak dapat dicerna oleh akal.

BERDASARKAN DIATAS, Penulis menganalisis putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dalam tulisan berjudul “PENGAKUAN PENETAPAN ATAS STATUS PRIBADI WARGA NEGARA PENGANUT KEPERCAYAAN DI INDONESIA DITINJAU DARI

22

Ibid,hal.51.

23

Ibid.

(11)

UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN” (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 97/PUU-XIV/2016).

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah status pribadi penduduk penganut penghayat kepercayaan di tinjau dari Undang-Undang No. 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ?

2. Bagaimanakah pertimbangan hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 ?

3. Bagaimana pandangan islam terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penelitian harus mempunyai tujuan yang hendak dicapai dengan jelas. Dalam penelitian ini tujuan yang hendak dicapai yaitu : 1. Untuk mengetahui status pribadi dan hukum masyarakat penghayat

kepercayaan terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam perkaraputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.

3. Untuk mengetahui pandangan islam terkait dengan perkara putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.

(12)

Manfaat yang hendak dicapai yaitu : 1. Manfaat Teoritis

a) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu pemikiran bagi perkembangan masyarakat dalam memahami aliran penghayat kepercayaan.

b) Diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan acuan terhadap penelitian- penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu pemikiran untuk mewujudkan adanya persamaan hak di mata hukum.

b) Untuk lebih mengembangkan penalaran dan untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

c) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberika masukan dan sumbangan pemikiran bagi para pihak yang terkait.

D. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual atau konsepsionil merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti.

24

Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.

25

Dalam penelitian hukum normatif, kerangka konsep dapat diambil dari peraturan perundang-undangan yang digunakan maupun merumuskan pengertian hukum.

26

Maka kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

24

Soekanto, Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta:

Universitas Indonesia (Ui-Press), 2015), hal. 132.

25

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, ed. 1, cet. 17, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hal.7.

26

Soerjono Soekanto, op. cit., hal. 143.

(13)

1. Data Kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang terstruktur sebagai hasil dari kegiatan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

27

2. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

28

3. Masyarakat Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai Warga Negara Indonesia.

29

4. Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.

30

5. Agama adalah ikatan-ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia.

31

6. Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai- nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

32

7. Marapu adalah sebuah agama atau kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba yang meyakini adanya kekuasaan Yang Maha Tinggi.

33

8. Parmalim adalah sebuah kepercayaan “Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” yang tumbuh dan berkembang di Sumatera Utara.

34

9. Sapto Darmo adalah sebuah kelompok penghayat atau dalam bahasa pemerintah disebut sebegai “aliran kepercayaan”.

35

27

Indonesia,Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan,pasal 1 Nomor 9.

28

Indonesia,Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan,pasal 1 Nomor 2.

29

Indonesia,Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan,pasal 1 Nomor 3.

30

Indonesia,Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan,pasal 1 Nomor 22.

31

Zuhroni, Dasar dan Sumber Syariat Islam, ed.pertama, cet.1,(Jakarta : Universitas YARSI, 2010), hal.49.

32

Indonesia, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Perba Nomor 43/Nomor 41 Tahun 2009, Pasal 1 Nomor 3.

33

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor: 97/PUU-XIV/2016”,hal 5.

34

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor: 97/PUU-XIV/2016”,hal 8.

35

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan Nomor: 97/PUU-XIV/2016”,hal 9.

(14)

10. Mahkamah Konstitusi adalah sebuah lembaga tinggi negara yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

36

E. Metode Penelitian

Metode penelitian menurut Soerjono Soekanto pada hakekatnya memberikan pedoman, tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari,menganalisa dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya.

37

Selain itu, Soerjono Soekanto juga menarik beberapa kesimpulan mengenai peranan metodologi dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yaitu sebagai berikut :

1. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap;

2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar, untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui;

3. Memberikan pedoman untuk mengorganisasikan serta mengintegrasikan pengetahuan, mengenai masyarakat;

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada dalam suatu penelitian.

Adapun metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif didefenisikan sebagai penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.

38

Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti

36

Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24 C ayat (1).

37

Soerjono Soekanto, 2006.Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press.hlm 6-7.

38

Elvira Dewi Ginting, Analisis Hukum mengenai Reorganisasi Perusahaan dalam

Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2010), hal. 20.

(15)

bahan pustaka atau data sekunder.

39

Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.

40

b. Jenis Data

Jenis data yang akan digunakan penulis dalam penelitian ini adalah Data Sekunder. Data Sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,hasil penelitian yang berwujud laporan,buku harian dan seterusnya.

41

Data Sekunder yang digunakan penulis antara lain buku- buku,literatur,dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu antara lain :

Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat terdiri dari : 1) UUD 1945

2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013Tentang Administrasi

KependudukanPerubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

1. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.

42

Yang digunakan sebagai bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku hukum, hasil penelitian hukum seperti skripsi, tesis, serta artikel dan jurnal hukum.

2. Bahan Hukum Tersier, yaknibahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

43

Dalam hal ini, yangdipergunakan oleh penulis yaitu berupa kamus, ensiklopedia, dan berbagai sumber dari situs internet.

c. Teknik Pengumpulan Data

Didalam penelitian, pada umumnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka,pengamatan atau observasi,dan wawancara atau interview.

44

Pada penelitian ini, penulis menggunakan alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan untuk

39

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, ed. 1, cet. 17, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hal.13.

40

Soekanto, Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3, (Jakarta:

Universitas Indonesia (Ui-Press), 2015), hal.52.

41

Ibid,.hal 12.

42

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, ed. 1, cet. 17, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hal.13.

43

Ibid, hal.13.

44

Soerjono Soekanto, op.cit., hal.66.

(16)

mendapatkan konsep-konsep, teori dan peraturaan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan.

d. Analisis Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif melalui kasus dan undang-undang.Data yang diperoleh dianalisa secara kwalitatif. Metode kwalitatif adalah suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif-analitis.

45

Untuk menggambarkan dan menemukan fakta-fakta hukum secara menyeluruh dan mengkaji secara sistematis peraturan nasional yang berkenaan dengan penetapan status pribadi dan hukum penganut aliran kepercayaan di tinjau dari UU No.24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

F. Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Kerangka teoritis yang memberi gambaran secara sederhana tentang teori-teori.

BAB III Uraian jawaban atas rumusan masalah, mengenai pembahasan bagaimana status pribadi penganut kepercayaan dalam hukum Indonesia dan analisis pertimbangan hakim.

BAB IV Uraian mengenai pandangan Islam.

BAB V Penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

45

Ibid, hal.250.

Referensi

Dokumen terkait

penelitian yang dilakukan oleh Bella (2014) menyatakan bahwa Terdapat pengaruh positif signifikan kemudahan penggunaan terhadap minat bertransaksi

Teluk Pucung Bekasi Utara Dinas Bina Marga & Tata Air - 1 3 18 2 Rehabilitasi Jalan Mangga Kweni Blok A4 Taman Wisma Asri Kel.. Noer

Studi literatur ini cara mempelajari pernyataan yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti, dapat diperoleh dari sumber buku, internet, jurnal serta hasil penelitian

Namun kenyataanya pengurusan dokumen pertanahan yang terdiri dari pembuatan akta tanah dan surat penyerahan tanah di Kecamatan Sigi Biromaru belum sesuai dengan

terletak pembenaran dari pemidanaan terlepas dari manfaat yang hendak dicapai. Adanya pemidanaan karena ada pelanggaran hukum. Jadi menurut teori ini, pidana

97/Puu-XIV/2016 yang menyatakan Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan

Dari citra merek dan kualitas produk yang dimiliki oleh Waroeng Steak & Shake Melati Pekanbaru tentunya dinilai sudah baik dalam membuat konsumen merasakan

Pasal 1 beberapa ketentuan dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124,