KAJIAN TEORI
A. Skizofrenia 1. Definisi
Skizofrenia dalam bahasa Yunani berasal dari kata “Schizo”
yang berarti split / perpecahan dan “Phren” yang berarti jiwa. Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan terpecahnya jiwa individu dengan gangguan ini. Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang dapat mempengaruhi perilaku dan perasaan individu.
Biasanya ditandai dengan gangguan pemahaman terhadap realita dan hilangnya daya tilik diri (insight) (Sadock, dalam Yudhantara, 2018).
Definisi Skizofrenia Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) dari DSM-I hingga DSM-V telah mengalami perubahan seiring bertambahnya gejala klinis yang berbeda-beda. Tetapi definisi tersebut memiliki tiga pandangan permasalahan utama yaitu a) pandangan Kraepelinian menekankan adanya Avolisi pada pasien Skizofrenia; b) pandangan Bleurian menekankan adanya perubahan disosiatif bersifat primer atau fundamental yang terdapat pada gejala negatif; c) pandangan Schneiderian menekankan pada distorsi realita atau gejala positif.
Ssecara umum disepakati bahwa Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang berat berdampak pada segala aspek kehidupan.
Ditandai dengan munculnya penyimpangan berupa gejala positif yang meliputi halusinasi, waham, gangguan kognitif dan persepsi, perilaku aneh serta gejala negatif yang meliputi afek yang abnormal, tidak ada kemauan (avolisi), dan terganggunya relasi personal (Ghufron & Riswanita, 2010).
2. Etiologi
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Hermiati & Harahap (2018) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kasus Skizofrenia, disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor genetik, lingkungan dan psikososial dengan kejadian Skizofrenia.
a. Genetik
Genetik memiliki fungsi untuk menyampaikan informasi kepada generasi berikutnya untuk menentukan sifat yang diturunkan. Studi keluarga menunjukkan bahwa keluarga Skizofrenik lebih mungkin mengembangkan gangguan tersebut kepada keturunannya dibandingan keluarga yang tidak menderita Skizofrenia.
b. Lingkungan
Kaplan & sadock (2006) menjelaskan bahwa rasa bermusuhan atau lingkungan yang penuh kritik, permasalahan dalam lingkungan tempat tinggal, perubahan pola hidup dan tekanan pekerjaan juga menjadi faktor pencetus munculnya
Skizofrenia. Data penelitian terkait menyebutkan bahwa penduduk yang tinggal di lingkungan perkotaan mempunyai resiko 3,22 kali mengalami Skizofrenia dibandingkan penduduk yang tinggal di lingkungan pedesaan. Selain itu beberapa penelitian yang dilakukan erat kaitannya dengan stigma yang ada dimasyarakat.
c. Psikososial
Menurut World Health Organization (WHO), 2014 menjelaskan bahwa faktor psikososial berkontrbusi terhadap Skizofrenia. Stressor sosiokultural dan stress yang menumpuk juga dapat mempengaruhi kejadian Skizofrenia dimasyarakat.
3. Gambaran Klinis
Meskipun gejala klinis Skizofrenia beraneka ragam, Division of Mental Health and Prevention of Substance Abuse World Health Organization pada tahun 2003 menjelaskan beberapa gejala Skizofrenia yang dapat ditemukan pada umumnya.
a. Delusi
Delusi atau disebut juga disorder of thought content atau the basic characteristic of madness. Merupakan keyakinan yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya.
b. Halusinasi
Kesalahan presepsi sensoris (baik visual maupun auditori) yang tidak sesuai dengan realita. gejala ini sering muncul pada pasien Skizofrenia
c. Afek abnormal
Pasien Skizofrenia biasanya menunjukan variasi emosional yang tidak sesuai ketika berinteraksi dengan lingkungan atau orang lain. Hal tersebut terjadi akibat pasien Skizofrenia kesulitan mengekspresikan perasaan serta ketidakmampuannya mengenali situasi.
d. Gangguan kepribadian motor
Posisi bizare dalam waktu yang lama, pengulangan, posisi yang tidak berubah, intens dan aktivitas yang tidak terorganisir atau penurunan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar merupakan tanda-tanda bahwa pasien Skizofrenia memliki gangguan psikomotor.
4. Prognosis
Pasien Skizofrenia dapat memiliki fungsi hidup yang relatif baik di masyarakat dengan pengobatan yang tepat dan konseling suportif. Hingga saat ini belum ada obat yang bersifat kuratif untuk Skizofrenia. Pengobatan yang efektif hanya dapat mengurangi gejala, mengurangi kemungkinan episode psikosis yang terjadi, mempersingkat durasi episode psikotik, dan secara umum membuat
mayoritas orang dapat hidup secara lebih produktif. Kunci prognosis pasien Skizofrenia yaitu kepatuhan pasien. Pasien Skizofrenia umumnya memiliki tingkat kepatuhan yang rendah, baik karena denial, efek samping pengobatan, maupun karena delusi atau paranoid yang dialami pasien. Studi menunjukkan tingkat kepatuhan berkisar antara 26-63% (Frankenburg, 2018).
Pasien yang mendapat pengobatan optimal umumnya akan dapat pulih total atau mampu berfungsi secara normal. Sebuah studi menunjukkan dalam sepuluh tahun setelah diagnosis awal, sekitar lima puluh persen orang yang didiagnosis menderita Skizofrenia tercatat mampu hidup secara mandiri dengan kualitas hidup yang baik. Dua puluh lima persen membutuhkan bantuan orang lain, dan lima belas persen tidak dapat hidup normal sama sekali serta membutuhkan perawatan di rumah sakit (Nemade & Dombeck, 2018).
5. Prevalensi
Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia menunjukan peningkatan yang signifikan dalam kurun waktu 5 tahun dari 1,7 per mil menjadi 7,0 per mil (Riskesdas 2013, Riskesdas 2018). Hasil riset Riskesdas 2018 juga menyebutkan sebanyak 84,9% pasien Skizofrenia di Indonesia telah berobat. Akan tetapi, tercatat sebanyak 48,9% penderita psikosis tidak meminum obat secara rutin dan 51,1% meminum secara rutin. Sebanyak 36,1% penderita yang
tidak rutin minum obat dalam satu bulan terakhir beralasan merasa sudah sehat. 33,7% tidak rutin berobat dan 23,6% tidak mampu membeli obat secara rutin.
Prevalensi gangguan jiwa di DKI mencapai 1,1 per mil dari total keseluruhan warga atau sekitar 14.000 jiwa. Jumlah ini mencakup orang dengan gangguan jiwa berat dan gangguan jiwa ringan. Dari jumlah tersebut, 4.600 orang telah teridentifikasi melalui program pemerintah DKI yaitu Ketuk Pintu Layani dengan Hati (KPLDH) pada 2017. Ini belum termasuk warga binaan di panti-panti sosial (Harian Republika, 2018).
6. Peran Okupasi Terapis
Pada kondisi kesehatan mental, okupasi terapis memiliki banyak peranan. Diantaranya, meningkatkan pelayanan okupasi terapi dalam program terapi harian, menyediakan pelayanan klinis, mendesain program prevention, memberikan edukasi dan pelatihan bagi care givers, konsultan bagi keluarga dan pasien (AOTA 1998;
Learnard, Walsh, & Ward, 1999; Scott, 1999).
Pasien dengan gangguan mental kronis seperti Skizofrenia seringkali tidak mampu konsisten dalam aktivitas kehidupan sehari- harinya termasuk juga merawat dirinya sendiri. Pasien Skizofrenia bahkan membutuhkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan aktivitasnya sehari-hari. Dalam hal ini peran okupasi terapis sangat dibutuhkan untuk membatu pasien Skizofrenia dapat berpartisipasi
dalam komunitas serta meningkatkan kualitas hidup (Bruce & Borg, 2002).
B. Masalah Perawatan Diri pada Skizofrenia
Menurut teori keperawatan Orem (1991) perawatan diri diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan individu untuk dirinya sendiri dalam hal mempertahankan kehidupan, kesehatan, dan kesejahteraan. Orem menyatakan apabila individu tidak mampu memenuhi kebutuhan perawatan dirinya dan membutuhkan bantuan dari orang lain maka dapat dikatakan bahwa individu tersebut mengalami defisit perawatan diri.
Kemampuan perawatan diri individu dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, status kesehatan, tingkat perkembangan, lingkungan dan sosial budaya serta ketersediaan sumber-sumber atau fasilitas. Kegiatan-kegiatan yang termasuk perawatan diri diantaranya Buang Air Kecil / BAK, Bang Air Besar / BAB, berpakaian, bercukur, menjaga kebersihan gigi dan mulut, serta mengaplikasikan dan membersihkan kosmetik / make up (berhias).
Salah satu aspek penting dalam rehabilitasi psikososial khususnya pada pasien Skizofrenia adalah memulihkan kemampuan perawatan diri klien. Sebuah penelitian menjelaskan bahwa upaya perawatan diri yang adekuat sangat dibutuhkan bagi pasien Skizofrenia untuk mencapai kehidupan yang normal. Kebutuhan perawatan diri pasien skizofrena lebih besar daripada kemampuannya melakukan aktvitas perawatan diri. Sulit
bagi pasien Skizofrenia untuk melaksanakan perawatan diri secara mandiri. Hal tersebut disebabkan gangguan kognitif, afektif maupun perilaku yang muncul pada pasien Skizofrenia (Moore & Pichler dalam Susanti, 2010).
Masalah kurangnya perawatan diri pada pasien Skizofrenia menjadi lebih kompleks lagi apabila dikaitkan dengan stigma masyarakat yang melekat pada individu dengan gangguan jiwa. Untuk itu masalah defisit perawatan diri pada Skizofrenia tidak boleh di anggap remeh (Susanti, 2010). Dalam Karya Tulis Ilmiah ini penulis akan memberikan rehabilitasi pada pasien Skizofrenia dengan defisit perawatan diri melalu aktivitas berhias (Make Up).
C. Berhias (Make Up) 1. Definisi
Berhias atau Make Up merupakan salah satu jenis perawatan diri. Aktivitas berhias selalu identik dengan kosmetik. Kosmetik sendiri berasal dari bahasa Yunani kosmetikos yang artinya berhias, menghiasi atau mengatur (Mulyawan, 2013).
Definisi kosmetik menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No 445/Menkes/Permenkes/1998 adalah sediaan atau paduan bahan yang siap digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir) gigi dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melndungi supaya tetap dalam keadaan
baik tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan penyakit.
2. Manfaat
Kesehatan merupakan dasar dari kecantikan. Pemakaian kosmetik yang tepat akan bermanfaat bagi kesehatan yang hasilnya dapat dilihat secara langsung karena penggunaannya di luar tubuh.
Pemakaian kosmetik pada wajah juga dapat menutupi kekurangan wajah seperti jerawat dan warna kulit tidak merata yang seringkali membuat seseorang merasa kurang percaya diri (Mitu, 2013).
3. Tujuan
Menurut Iswari & Latifah (2013) tujuan dari penggunaan kosmetik selain untuk kebersihan pribadi juga untuk meningkatkan daya tarik dan rasa percaya diri melalui Make Up. Melindungi dan merawat kulit dari faktor eksternal tubuh (Sinar UV, debu, polusi, dan lain-lain) yang mengakibatkan kerusakan dan penuaan secara umum membantu seseorang lebih menikmati dan menghargai hidup.
4. Jenis-jenis Kosmetik
Jenis kosmetik yang umum digunakan adalah kosmetik wajah.
Kosmetik wajah digunakan untuk merias wajah sehingga terlihat lebih menarik sekaligus menutupi kekurangan yang ada di wajah. Jenis kosmetik ini hanya melekat pada kulit dan tidak meresap sehingga tidak memberikan efek permanen bagi wajah (Mulyawan, 2013).
Iswari & Latifah (2013) menyebutkan beberapa jenis kosmetik wajah diantaranya :
a. Pelembab atau moisturizer digunakan untuk mengatasi kulit kering
b. Alas Bedak atau foundation, Alas Bedak digunakan untuk melindungi kulit dari polusi dan meratakan warna kulit
c. Bedak atau powder, Bedak berfungsi untuk memberi kesan lebih cerah pada wajah.
d. Perona Mata atau eyeshadow, Perona mata digunakan untuk merias kelopak mata, terdiri dari berbagai macam warna.
e. Pensil Alis, Pensil alis digunakan untuk membentuk alis mata.
f. Maskara, Maskara digunakan untuk menghias bulu mata yang dapat menghitamkan, menembalkan dan memanjangkan bulu mata.
g. Eyeliner, Eyeliner digunakan untuk memperjelas garis bulu mata.
h. Perona Pipi atau blush on, Perona pipi digunakan untuk menampilkan warna kosmetik yang lebih lembut pada wajah dengan membuat garis bentuk muka yang lebih baik dan mengurangi tampilan yang kurang baik pada wajah.
i. Pemulas Bibir
1) Lipstick : digunakan sebagai pewarna bibir yang terdiri dari berbagai macam warna
2) Lipgloss : digunakan sebagai pengkilap bibir yang dapat membuat bibir agak menyala, tidak mudah kering dan pecah- pecah
D. Kepercayaan Diri 1. Definisi
Kepercayaan diri adalah suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek kelebihan yang dimilikinya. keyakinan tersebut membuatnya merasa mampu untuk bisa mencapai berbgai tujuan hidupnya (Hakim, 2002). Kepercayaan diri merupakan suatu keyakinan dalam jiwa manusia bahwa tantangan hidup apapun harus dihadapi dengan berbuat sesuatu.
Menurut Angelis (2003) kepercayaan diri lahir dari kesadaran bahwa jika memutuskan untuk melakukan sesuatu, maka sesuatu itu pula yang harus dilakukan. Kepercayaan diri akan datang dari kesadaran individu bahwa individu tersebut memiliki tekad untuk melakukan apapun, sampai tujuan yang ia inginkan tercapai. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri adalah keyakinan yang muncul dari dalam diri dan memberikan dorongan agar mampu melakukan sesuatu.
Widjaja (2016) menjelaskan secara internal kepercayaan diri dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya :
a. Konsep Diri
Terbentuknya kepercayaan diri seseorang diawali dengan perkembangan konsep diri. Konsep diri diperoleh dari hubungan interaksi dalam kelompok. (Anthony dalam Ghufron, 2014).
b. Harga Diri
Harga diri merupakan penilaian terhadap diri sendiri baik penilaian positif maupun negatif. Harga diri yang tinggi merupakan nilai positif yang kita letakkan pada diri kita sendiri, harga diri rendah timbul akibat penilaian negatif atas diri kita.
(Dariuszky dalam Mastiara, 2017).
c. Kondisi Fisik
Penampilan fisik berpengaruh besar bagi kepercayaan diri seseorang (Harter dalam Santrock, 2003) juga menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara penamplan fisik dengan harga diri secara umum pada individu di segala usia. Orang yang merasa kurang secara fisik cenderung pasif dalam melakukan kegiatan atau aktivitasnya sehari-hari (Adams dalam Santrock, 2003).
d. Pengalaman Hidup.
Pengalaman dapat menjadi menjadi faktor menurunnya rasa percaya diri. Sebaliknya, pengalaman juga dapat menjadi faktor munculnya rasa percaya diri seseorang (Anthony dalam Ghufron, 2014).
2. Hubungan Kepercayaan Diri dengan Harga Diri
Febriana (2016) mengungkapkan Harga diri (Self-esteem) adalah penilaian yang dilakukan terhadap diri sendiri. individu yang mempunyai harga diri yang tinggi cenderung melihat dirinya sebagai individu yang berhasil dan percaya bahwa dirinya mudah menerima orang lain, sebagaimana menerima dirinya sendiri. Konsep diri yang positif akan membentuk harga diri yang positif pula.
Santoso dalam Ghufron (2010) juga menjelaskan bahwa tingkat harga diri seseorang akan mempengaruhi tingkat kepercayaan diri seseorang. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa semankin tinggi harga diri, semakin tinggi kepercayaan diri individu. Jadi terdapat hubungan positif antara harga diri dengan kepercayaan diri (Mastiara, 2017).
E. Kerangka Acuan Kognitif Perilaku 1. Definisi
Dalam kasus ini kerangka acuan yang digunakan adalah Cognitive Behavioral Therapy atau Kerangka Acuan Kogniitif Perilaku. Kerangka acuan ini memiliki asumsi bahwa ketika mengubah pikiran dan keyakinan atau meningkatkan pengetahuan seseorang maka akan mempengaruhi perilaku dan kinerja (Dobson &
Dozois, 2010). Perubahan kognitif individu melalui proses yang
bertahap, dimana mengubah pengetahuan dasar dan sikap seseorang terhadap dirinya membutuhkan waktu.
Kerangka acuan kognitif perilaku ini tidak hanya diterapkan pada konteks dan setting psikososial saja, melainkan dapat diterapkan pada segala usia baik anak, dewasa maupun orang tua. Dengan prasyarat klien memiliki tingkat kognitif yang baik karena, ketika seorang individu belajar strategi kognitif baru dalam merespon kejadian saat ini, individu harus mampu mempersiapkan hal-hal yang harus dihadapi dan pemecahan masalah di masa yang akan datang.
2. Strategi
Bruce & Borg (2002) menjelaskan beberapa strategi okupasi terapi yang digunakan dalam kerangka acuan kognitif perilaku, diantaranya:
a. Pengembangan Pengetahuan Melalui Membaca
Salah satu strategi untuk mengubah pikiran dan pengetahuan dasar klien adalah dengan membaca. Melalui literatur yang di sediakan terapis pasien diminta memahami dan mengerti sebuah konsep dasar agar menghasilkan perilaku dan respon yang baik.
b. Penggunaan Film dan Media Visual
Selain melalui membaca, media visual berupa gambar dan film juga diperlukan khususnya untuk mendemonstrasikan task behavior. Terapis dapat berdiskusi dengan klien tentang apa yang
ada dalam film sehingga klien dapat berpartisipasi aktif dalam memahami isi film tersebut.
c. Modeling dan Physical Guidance
Modeling digunakan untuk membangun task skills, seperti tugas yang melibatkan pembelajaran dalam pekerjaan misalnya perawatan diri, atau olahraga. Terapis berperan sebagai model untuk memeragakan urutan dari sebuah aktivitas, kemudian berikan kesempatan kepada klien untuk mempraktikkan kembali apa yang telah dicontohkan.
Terapis juga dapat menggunakan Physical Guidance, dengan menempatkan tangan pada tangan kien sebagai usaha dalam melakukan aktivitas. Guidance digunakan Untuk mencapai kesuksesan. terapis secara bertahap menghilangkan bantuan fisik.
Terapis membantu klien menyatakan pencapaian secara verbal.
d. Listening for Must
Intervensi Okupasi Terapis tidak selamanya berfokus pada suatu
“Must”. Okupasi Terapis akan membantu pasien untuk melihat bagaimana suatu kewajiban mempengaruhi perasaan tidak mampu dan kegagalan.
e. Homework
Strategi ini biasanya sering digunakan karena membuat kilen berpartisipasi aktif dengan pemberian tugas. Terapis berperan sebagai korektor.
f. Role Play
Role play digunakan di berbagai konteks Okupasi Terapi untuk mempersiapkan pasien menghadapi pekerjaan dan tantangan sosial. Biasanya terapis melakukan aktivitas pada setting tertentu supaya pasien mampu mengidentifikasi aktivitas dan peran yang seharusnya dilakukan sebagai respon dari kemampuan melaksanakan tugas. Dengan strategi ini terapis secara aktif berpartisipasi untuk mendemonstrasikan metode yang efektif untuk merespon permasalahan dalam suatu situasi.
3. Pro-kontra Para Ahli
a. Kelebihan Kerangka Acuan Kognitif Perilaku
Bruce & Borg (2002) berpendapat bahwa kerangka acuan kognitif perilaku dapat meningkatkan kemampuan pemahaman pada proses belajar. Hal tersebut didukung dengan pemberian penguatan atau Reinforcement. Kerangka acuan ini juga sangat membatu Okupasi Terapis untuk mengajarkan pemecahan masalah kepada pasien dengan masalah Problem Solving (Prayitno, 2019).
b. Kelemahan Kerangka Acuan Kognitif Perilaku
Kemampuan seseorang untuk memahami atau meyakini sesuatu juga dipengaruhi oleh perkembangan kognitif. Kerangka acuan ini hanya dapat diterapkan pada pasien dengan level kognitif tinggi ( Level 5 – 6 ) dan sulit diterapkan apabila perkembangan kognitif pasien kurang (Bruce & Borg, 2002).
4. Kecenderungan Penulis
Pada kasus ini kerangka acuan kognitif perilaku cenderung sesuai diterapkan pada pasien Skizofrenia dengan level kognitif tinggi yang memiliki masalah perilaku maladaptif yaitu kepercayaan diri.
Menurut Beck dalam Prayitno (2019) “Kognisi maladaptif berkontribusi pada peningkatan tekanan emsional dan perilaku maladaptif sehingga dengan mengubah pemahaman dan keyakinan pasien diharapkan dapat menghasilkan perubahan perilaku adaptif.