• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. masalah (Schneidman dalam Maris, Berman, Silverman, dan Bongar, 2000). Bagi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. masalah (Schneidman dalam Maris, Berman, Silverman, dan Bongar, 2000). Bagi"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. LATAR BELAKANG

“I'm just tired of dealing with all the bullshit. Tired of dealing with all the pain and rage I have inside of me. I'm tired of being unloved, unliked, unappreciated and judged. I'm tired of just getting more **** for my brain to deal with every day. More to cry about and more to want to scream uncontrollably about. Tired of my body, of all the pain and hardship it creates. It's hard to have any hope whatsoever when you just feel like a piece of **** every day.”

(I Hate Myself & I Want To Die (2008). http://www.experienceproject.com.)

Dewasa ini, bunuh diri telah dipandang sebagai salah satu penyelesaian masalah (Schneidman dalam Maris, Berman, Silverman, dan Bongar, 2000). Bagi sebagian orang, bunuh diri telah menjadi satu-satunya jalan menuju solusi dari masalah hidup yang menekan. Bagai melihat melalui celah pipa, tidak ada harapan dan penyelesaian lain yang tersisa. Sakit yang dirasakan dan pikiran yang berkecamuk sungguh tak bisa lagi dibendung. Mereka melihat tidak ada titik terang di masa depan dan sulit bagi mereka menemukan alasan untuk hidup lebih lama lagi. Mengakhiri hidup menjadi alternatif untuk bebas dari masalah hidup.

Bunuh diri telah menjadi suatu masalah global. Data World Health Organization (WHO) pada tahun 2006 melaporkan bahwa setiap tahunnya di dunia terdapat 10-20 juta orang yang berupaya melakukan bunuh diri dan 1 juta orang diantaranya meninggal karena bunuh diri. WHO memperkirakan angka ini sama dengan satu orang melakukan bunuh diri setiap menit dan satu orang mencoba bunuh diri setiap 3 detik. Berdasarkan data dari Direktur WHO Bidang

(2)

Kesehatan Mental dan Kekerasan, Benedetto Saraceno (2005) jumlah rata-rata penduduk Indonesia yang meninggal akibat bunuh diri mencapai 24 orang dari 100 ribu penduduk. Dengan jumlah populasi Indonesia yang sekarang sebanyak 220 juta orang, berarti ada 50 ribu orang yang bunuh diri setiap tahunnya dengan usia rata-rata korban yang bervariasi dari belasan tahun sampai dengan 65 tahun. Prevalensi ini cenderung meningkat setiap tahunnya (Surilena, 2005).

Merespon angka kematian yang begitu tinggi, hendaknya bunuh diri tidak dipandang sebelah mata. Meskipun demikian, bunuh diri juga bukanlah hal yang mudah untuk dipahami. Perilaku bunuh diri sendiri tidak terbatas hanya pada perilaku bunuh diri yang berhasil dilakukan, tetapi juga pada percobaan bunuh diri, pikiran bunuh diri, dan perilaku melukai diri baik dengan intensi mati ataupun tidak mati (Maris dkk., 2000). Bunuh diri yang berhasil dilakukan biasanya didahului oleh percobaan dan pikiran bunuh diri. Oleh sebab itu, meskipun setiap jenis perilaku tersebut memiliki pengertian yang berbeda, populasi yang melakukannya tumpang tindih (Linehan, dalam Maris dkk.,2000). Di samping itu, bunuh diri sulit untuk dipahami secara keseluruhan karena perbedaan individual seperti yang diungkapkan Alvarez bahwa “ Suicide means different things to different people at different times” (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003: hlm 213 ). Hal ini berarti walaupun setiap orang yang melakukan bunuh diri pernah memikirkan atau mencoba bunuh diri, akar masalah yang mengantarkan mereka ke pikiran tersebut bisa bervariasi.

Meskipun tidak ada cara yang bisa dilakukan untuk mencegah bunuh diri yang telah terjadi, pertambahan angka bunuh diri bisa dicegah melalui percobaan

(3)

bunuh diri yang pernah dilakukan. Sebelum berhasil bunuh diri, sekitar 30-40 % pelaku bunuh diri pernah melakukan setidaknya satu kali percobaan bunuh diri (Maris dkk., 2000). Di samping itu, dari kasus-kasus percobaan bunuh diri yang terjadi, sebanyak 25-50% beresiko mengulangi upaya bunuh diri (Beck & Steer, dalam Dieserud, Roysamb, Braverman, Dalgard, & Ekeberg, 2003). Angka pengulangan bunuh diri tersebut lebih tinggi untuk orang yang sudah mencoba bunuh diri berulang kali daripada untuk yang baru pertama kali melakukannya. Percobaan bunuh diri telah dikenal sebagai salah satu faktor prediktif yang paling menentukan perilaku bunuh diri di masa mendatang (Skogman & Ojehagen, 2003; Freedenthal, 2001).

Salah satu faktor untuk memprediksi percobaan bunuh diri baik yang dilakukan untuk pertama kali maupun yang berulang kali adalah pikiran bunuh diri (suicidal ideation). Pikiran bunuh diri merupakan antecedent yang selalu mendahului percobaan bunuh diri dan bunuh diri yang berhasil dilakukan (Arria, O‟Grady, Caldeira, Vincent, Wilcox, & Wish, 2009). Jadi, sebelum seseorang mencoba bunuh diri, dia pastilah terlebih dahulu memikirkan tentang bunuh diri. Umumnya, berpikir tentang bunuh diri bisa dikategorikan pasif dan aktif, dimana pasif berarti ketika memikirkan tentang bunuh diri, subjek bukan pelaku langsung (Saya berharap seseorang menabrakku hingga mati), sedangkan aktif berarti subjek merupakan pelaku langsung (Saya ingin gantung diri). Kemudian, dia akan memilih metode untuk mengakhiri hidupnya, bersamaan dengan pikiran bagaimana tubuh mereka akan terlihat ketika ditemukan orang lain, seberapa cepat hal itu akan berlangsung, seberapa sakit yang akan dirasakan, memikirkan untuk

(4)

mengganti metode, dan lain sebagainya. Setelah memilih metodenya, dia akan menentukan waktu yang tepat kecuali jika orang tersebut tergolong impulsif.

Walaupun begitu, banyak orang yang pernah memikirkan tentang bunuh diri tetapi tidak pernah melakukan percobaan bunuh diri ataupun bunuh diri (Maris dkk., 2000). Mereka hanya merencanakan, mempertimbangkan, merenungi, dan berfantasi mengenai ide tentang bunuh diri tanpa ada intensi untuk melakukannya. Linehan (dalam Maris dkk., 2000) memperkirakan 24 % dari populasi dunia pernah memikirkan tentang bunuh diri pada suatu waktu tertentu dalam kehidupan.

Oleh sebab itu, pastilah terdapat perbedaan kognitif pada orang yang suicidal dan non-suicidal. Levensen mengatakan “ orang yang suicidal memiliki beberapa gaya berpikir yang unik atau karakteristik kognitif tertentu yang menghambat kemampuannya untuk mencari solusi yang mungkin dari masalah hidup dan mengurangi kapasitas untuk mengatasi tekanan hidup”. Sedangkan Schneidman menyatakan bahwa suicidal cognition itu kaku, tidak logis, dan bersifat dikotomi. Adapun beberapa karakteristik suicidal cognition antara lain kekakuan kognisi (cognitive rigidity), berpikir dikotomi (dichotomous thinking), kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah (deficient problem-solving), keputusasaan (hopelessness), perfeksionisme, konsep diri negatif, gaya berpikir rumiatif (ruminative response style), dan memori autobiografi (autobiographical memory) yang kurang. Dengan memiliki karakteristik kognitif tersebut, seseorang berkemungkinan besar memiliki pikiran bunuh diri (dalam Ellis & Rutherford, 2008).

(5)

Beberapa penelitian mengenai karakteristik pikiran bunuh diri masih terus berkembang hingga saat ini. Salah satu penelitian oleh Marzuk, Leon, Hartwell, & Portera (2005) mendapatkan bahwa pikiran untuk melakukan bunuh diri merupakan sebuah keputusan eksekutif yang dilakukan oleh area prefrontal cortex pada otak. Area ini biasanya bertugas menimbang alternatif yang ada dan menghasilkan alternatif baru, membuat strategi untuk bebas dari jalan buntu, memulai dan melaksanakan suatu rencana. Semua fungsi area ini akan terhambat jika individu memiliki kekakuan kognisi (cognitive rigidity). Menurut Marzuk dkk. (2005), pikiran orang yang bunuh diri diciri-cirikan dengan kekakuan kognisi (cognitive rigidity) yang meliputi berpikir secara dikotomi (dichotomous thinking) dan kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah (deficient problem-solving). Individu yang berpikir secara dikotomi mengkonsepkan masalah-masalah dalam dua kutub yang berlawanan seperti baik atau buruk, benar atau salah, sekarang atau tidak akan pernah lagi, dan lain sebagainya. Cara berpikir dikotomi pada individu yang ingin melakukan bunuh diri dapat berujung pada situasi yang membahayakan. Ketika mereka harus mengatasi masalah yang terjadi, pilihan yang terlihat adalah antara hidup dengan menyedihkan atau mati. Di samping itu, kekakuan kognisi juga menyebabkan individu tidak mampu untuk memikirkan solusi alternatif untuk mengatasi masalahnya sehingga meningkatkan keputusasaan (hopelessness) dalam diri individu. Dengan meningkatnya keputusasaan, individu memiliki resiko yang lebih besar untuk bunuh diri.

Karakteristik lain yang telah diteliti adalah perfeksionisme. Perfeksionisme telah diidentifikasi sebagai salah satu variabel yang penting untuk

(6)

menjelaskan perbedaan individual pada distress psikologi yang dialami individu, seperti depresi, keputusasaan (hopelessness), dan perilaku bunuh diri (O‟Connor, O‟Connor, & Marshall, 2007). Melalui penelitian O‟Connor dkk., (2007), didapatkan bahwa efek-efek maladaptif dari perfeksionisme dimediasi oleh gaya berpikir yang disebut brooding (brooding ruminative response style).

Sehubungan dengan ruminative response style, yaitu gaya berpikir yang secara terus menerus berfokus pada mood negatif dan implikasinya, Chan dkk., (2009) menyatakan bahwa kejadian hidup yang negatif berdampak pada kecenderungan bunuh diri melalui brooding ruminative response style dan depresi. Gaya berpikir ini sendiri juga berhubungan langsung dengan pikiran bunuh diri tanpa adanya simtom depresi. Di samping itu, brooding juga diasosiasikan dengan usaha mengatasi masalah (coping style) yang pasif seperti menolak, menghindari, dan mencoba mengabaikan kehadiran stresor. Berdasarkan hasil penelitian Chan dkk. (2009), ditemukan bahwa brooding dapat mempengaruhi keputusasaan (hopelessness) melalui kecenderungan individu mengatribusi kejadian negatif yang terjadi dengan sebab yang stabil dan global. Dengan kata lain, individu dengan gaya berpikir brooding yang mengalami kejadian hidup negatif akan cenderung mengatribusikan sebab kejadian tersebut sebagai sesuatu yang menetap sehingga keputusasaan akan meningkat dan menyebabkan munculnya pikiran bunuh diri. Atribusi diri sebagai sebab kejadian hidup yang negatif merupakan bukti dari konsep diri yang negatif.

Berkaitan dengan konsep diri, Ellis dan Rutherford (2008) menyatakan bahwa konsep diri yang negatif berkontribusi besar pada pembentukan pikiran

(7)

bunuh diri. Konsep diri adalah kumpulan kepercayaan seseorang terhadap dirinya sendiri yang dibentuk secara sadar dan dielaborasi dari pengalaman-pengalaman, yang kemudian dapat mempengaruhi proses informasi tentang diri dan cara individu memandang dunia (Weiten & Lloyd, 2006).

”...aku tidak cukup kompeten untuk melakukan sesuatu dengan benar. Aku adalah pengecut terbesar di sekolah.... Aku pendek, jelek, mukaku seperti kartun, dagu yang bengkak, kulit yang jelek, mata yang asimetris, dan rambut di mukaku yang tidak tumbuh tepat...Teman-teman selalu menertawaiku. Aku tidak punya kemampuan, ketrampilan, atau bakat. Aku tidak berharga. Aku tidak punya sesuatu yang bisa dibanggakan dan tidak akan pernah punya itu. Aku lebih baik mati daripada hidup dengan membenci diriku. Setiap melihat cermin, aku marah dan sedih dengan pantulan yang ada di depanku...”

(Think About Suicide (2007).http://www.experienceproject.com)

Konsep diri negatif yang merupakan karakteristik pikiran bunuh diri tercermin dari pernyataan orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri di atas. Menurut Bandura, penilaian diri yang disfungsional terutama perceived-inefficacy mempunyai peran penting dalam kecemasan dan depresi (dalam Pervine, Cervone, & John, 2005). Di samping itu, Baumeister memperkenalkan istilah “self-concept confusion” dimana individu yang memiliki harga diri yang rendah sebenarnya hanya tidak mengenal diri mereka dengan baik sehingga mengatribusikan hal-hal yang negatif pada diri mereka (dalam Weiten & Lloyd, 2006). Penelitian lain mengenai konsep diri menunjukkan bahwa individu yang melakukan bunuh diri berulang-ulang mempunyai harga diri yang lebih rendah daripada individu yang hanya mencoba bunuh diri sekali. Sebagai tambahan, penelitian oleh Merwin & Ellis (2004), mengemukakan bahwa konsep diri juga menjadi indikator kemampuan coping yang maladaptif pada remaja, dimana ketidakmampuan mengatasi konflik dengan orang tua, perubahan status dalam

(8)

kelompok teman sebaya, isolasi sosial, penolakan, pemutusan hubungan romantis menimbulkan keputusasaan yang membuat para remaja mencoba melakukan bunuh diri.

Meskipun konsep diri yang negatif bisa berakibat pada pikiran bunuh diri, sebagian orang yang melakukan tindakan bunuh diri malah memiliki konsep diri yang dimotivasi oleh kebermaknaan. Dalam proses membangun makna dan memperkuat self-transcendence, para teroris pelaku bom bunuh diri membentuk konsep diri yang dimotivasi oleh makna personal. Mereka memilih identitas tersebut dan merasa bebas untuk mengadopsi identitas dan menerima segala konsekuensi dari perilakunya yang ekstrim. Hal ini dapat mengurangi dan mengeliminasi perasaan bersalah atas apa yang dilakukan. Terlebih lagi, dalam melakukan perilaku destruktif tersebut, mereka menemukan arti hidup dan tujuan hidup yang dianggap “mulia”. Proses pemaknaan ini membantu individu membangun identitas dan memperkuat self-worth. Oleh sebab itu, para pelaku bom bunuh diri mendefinisikan diri mereka dengan konsep diri yang bermakna sehingga melakukan perilaku destruktif dapat meningkatkan harga diri dan self-worth (Morgan, 2007).

Beberapa faktor resiko yang bisa menyebabkan munculnya pikiran bunuh diri juga telah diteliti. Depresi telah lama dikenal sebagai salah satunya, namun mayoritas individu yang mempunyai pikiran bunuh diri tidak memenuhi kriteria simtom depresi yang tinggi (Arria dkk., 2009). Penelitian lain juga mengatakan bahwa mayoritas orang yang mengalami peraasaan depresi dan putus asa malah tidak melakukan percobaan bunuh diri (Pirelli & Jeglic, 2009). Kurangnya

(9)

dukungan sosial juga merupakan salah satu faktor resiko pikiran bunuh diri terutama pada tahap perkembangan dewasa awal. Sedangkan faktor yang berhubungan dengan keluarga antara lain konflik dengan orang tua, komunikasi yang buruk, rendahnya dukungan yang dirasakan, dan ketidakberfungsian keluarga. Pikiran bunuh diri juga diasosiasikan dengan ketidakteraturan afektif dan gangguan penggunaan alkohol (Arria dkk.,2009).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dilihat bahwa karakteristik-karakteristik pikiran bunuh diri saling berinteraksi satu sama lain untuk memperkuat kemungkinan munculnya pikiran bunuh diri yang akhirnya berujung pada percobaan bunuh diri. Meskipun demikian, faktor kognitif dalam perilaku bunuh diri merupakan topik baru yang masih terus berkembang. Berdasarkan pemikiran tersebut, peneliti tertarik untuk melihat gambaran pikiran bunuh diri pada individu pelaku percobaan bunuh diri.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui: bagaimana gambaran pikiran bunuh diri pelaku percobaan bunuh diri?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pikiran bunuh diri pelaku percobaan bunuh diri.

(10)

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana pengetahuan di bidang Psikologi Klinis, khususnya mengenai pikiran bunuh diri pada pelaku percobaan bunuh diri.

2. Manfaat Praktis

a. Secara praktis penulis berharap melalui hasil penelitian ini dapat dipahami bagaimana sebenarnya pikiran seseorang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri.

b. Penulis berharap melalui hasil penelitian ini dapat diketahui apa yang melatarbelakangi munculnya pikiran bunuh diri.

c. Penulis berharap melalui hasil penelitian ini, dapat menambah wawasan pembaca mengenai bagaimana karakteristik pikiran bunuh diri berkontribusi pada terjadinya percobaan bunuh diri.

d. Dengan memahami pikiran bunuh diri, penulis berharap dapat memberikan saran yang tepat untuk subjek penelitian.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan yang disusun dalam penelitian ini adalah : Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

(11)

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan suicidal cognition dan konsep diri.

Bab III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, definisi operasional, metode pengambilan subjek, metode pengambilan data, metode analisis data, dan kredibilitas penelitian.

Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian

Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga membahas data-data penelitian dari teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian, serta saran-saran yang diperlukan, baik untuk penyempurnaan penelitian ataupun untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

79 Berdasarkan hasil persamaan regresi model fixed effect menunjukkan nilai koefisien

Hal tersebut adalah ditunjukkan oleh rata-rata nilai distribusi pasar selama periode 2001-2012 menunjukkan nilai yang positif, dimana hal ini menunjukkan bahwa

Tabel analisis ragam pengaruh perlakuan konsentrasi MA dan perbandingan TPS/LLDPE terhadap kemampuan biodegradabilitas (kuantitatif- persentase penurunan nilai kuat

BAB III PANDANGAN HIJKUM ISLAM TENTANG OPERASI PENGGANTIAN DAN PENYEMPURNAAN ALAT KELAMIN SERTA AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP STATUS PERKAWINAN DAN KEWARISAN A.. Tinjauan

N.B: Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

1.Strategi adaptasi sosial adalah tindakan yang dilakukan berulang- ulang dan bentuk penyesuaian terhadap lingkungan masyarakat, dalam penelitian ini pada lingkungan

Adalah prinsip atau sifat- sifat yang mendasari akuntansi dan seluruh Adalah prinsip atau sifat- sifat yang mendasari akuntansi dan seluruh output-nya, termasuk laporan keuangan

Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti melakukan penelitian terkait penerapan multimedia pembelajaran interaktif materi Simetri Molekul berbasis guide-discovery learning