• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Model representasi dan linkage politik para aleg perempuan di Pati cukup beragam. Beragamnya model ini dipengaruhi oleh perbedaan pengalaman pribadi serta latar belakang sosial keagamaan mereka. Artinya, identitas keperempuanan para Aleg tidak cukup menjelaskan bahwa mereka memiliki suara yang sama dalam mengawal pelaksanaan program PUG.

Karena suara perjuangan mereka juga ditentukan oleh identitas-identitas lain yang melekat dalam diri perempuan tersebut. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa representasi deskriptif itu tidak penting. Representasi deskriptif tetap merupakan hal yang penting, namun tidak bisa hanya dilihat sebagai sesuatu yang bisa bekerja dengan sendirinya (taken for granted).

Praktek representasi yang dijalankan oleh mereka bergerak di antara pendulum self-interest dan gender-interest. Ada yang lebih cenderung ke arah pendulum self-interest, sehingga orientasinya lebih untuk kepentingan pribadi dan tidak akuntabel terhadap isu-isu gender. Begitupun sebaliknya ada yang lebih bergerak dalam pendulum gender-interest, di mana isu-isu gender menjadi salah satu komitmen politik yang diperjuangkan. Meskipun yang kedua ini pada dasarnya resiprokal dalam menempatkan posisi di antara dua pendulum tersebut (untuk tidak mengatakan bahwa mereka tidak memiliki self-interest).

Untuk membedakan keduanya dibuatlah tiga kategori model representasi deskriptif; pasif, aktif, dan simbolik. Para aleg yang masuk kategori pasif meletakkan isu gender bukan pada skala prioritas dalam agenda politik yang diusungnya. Demikian sebaliknya, para aleg yang dikategorikan aktif, mereka memiliki perspektif gender dalam menjalankan tugas dan wewenangnya di parlemen lokal, termasuk bagaimana memperjuangkan kebijakan anggaran yang responsif gender. Sedangkan yang terakhir (deskriptif-simbolik) adalah bahwa latar belakang kultur keagamaan mereka juga menentukan fungsi representasi yang dijalankan, yang mana secara simbolik mereka merepresentasikan sebuah ormas keagamaan

(2)

tertentu, seperti NU dan al-Hidayah, lebih spesifiknya misalnya terkait dengan sayap perempuan ormas tersebut.

Sedangkan dalam konteks model linkage politiknya, praktek yang dijalankan oleh para aleg perempuan memperlihatkan kecenderungan ke arah model linkage pseudo-programatik, meskipun terdapat juga yang kharismatik dan klientelistik. Model pseudo-programatik ini menejelaskan praktek linkage mereka yang lebih didasarkan pada ikatan daerah pemilihan dalam setiap rogram-program yang menjadi prioritas. Agenda politik mereka tidak secara programatik didesain untuk seluruh warga Pati secara keseluruhan, melainkan lebih didasarkan pada pertimbangan daerah di mana mereka dipilih. Lebih spesifiknya, wilayah-wilayah yang mana menopang perolehan suara signifikan bagi kemenangannya. Dalam kerangka linkage programatik, seharusnya warga Pati secara keseluruhan mendapatkan prioritas yang sama meskipun mereka tidak memiliki kontribusi dalam proses pemenangannya ketika pemilu legislatif.

Dalam menjalankan linkage politiknya, para aleg perempuan ini ada yang melalui mediator, serta ada juga yang secara langsung dengan warga atau konstituennya (direct). Jika melalui mediator, para aleg perempuan sering memanfaatkan sayap perempuan ormas keagamaan, seperti Fatayat NU dan Aisyiah. Sedangkan para aleg yang tidak memanfaatkan sayap perempuan ormas keagamaan, biasanya melalui jaringan kepala desa atau tim pemenangnya saat proses pemilihan umum. Tentu saja ketika melalui sayap perempuan ormas, ada korelasi positif dengan isu-isu gender. Sedangkan ketika melalui jaringan kepala desa atau tim pemenangnya, logika kepentingannya tidak digerakkan oleh keberpihakan pada pentingnya keadilan gender dalam pembangunan daerah.

Jika model representasi dan model linkage politik para aleg perempuan ini diintegrasikan, maka terlihat bagaimana korelasi ataupun perpaduan keduanya. Sehingga dalam konteks pelaksanaan program PUG, terlihat bahwa perpaduan model yang paling kuat pengaruhnya terhadap program PUG adalah perpaduan antara model representasi deskriptif-aktif dengan model linkage pseudo-programatik. Artinya, jika representasi

(3)

dampaknya terhadap pelaksanaan program PUG terlihat cukup efektif, dengan indikator adanya kepentingan gender praktis dan strategis yang diperhatikan. Sedangkan jika representasi deskriptif-aktif berpadu dengan linkage kharismatik, terlihat cukup efektif dengan indikator adanya kepentingan gender praktis dan strategis yang diperhatikan hanya, saja ruang lingkupnya masih dibatasi oleh tirai identitas keagamaan. Jika representasi deskriptif-pasif berpadu dengan linkage klientelistik, maka implikasinya terhadap pelaksanaan program PUG cukup efektif, dengan indikator adanya kepentingan gender praktis yang diperhatikan, meskipun motif politis untuk pemilu berikutnya cukup dominan.

Sedangkan dalam model representasi deskriptif-pasif yang sebagian besar hanya berpadu dengan linkage pseudo-programatik. Pengruhnya terkait pelaksanaan program PUG pun tidak terlalu efektif. Karena para aktor yang berada dalam kategori ini justru cenderung lebih berorientasi pada kepentingan pribadi, dibanding dengan memperjuangkan kepentingan gender. Dalam konklusi yang agak ekstrim, perpaduan kedua model ini hanya akan menghasilkan tindakan aktor yang pragmatik. Para aktor yang berada dalam jalur model ini rata-rata kehadiran mereka dalam politik hanya karena berkah dari struktur patriarki dan oligarki partai politik.

Meskipun tidak dinafikan juga, bahwa peningkatan kapasitas pengetahuan salah seorang aleg perempuan di Pati justru melalui proses pembelajaran paska kehadiran mereka di arena politik formal. Artinya, meskipun proses partisipasi seorang aleg perempuan atas dorongan suami (baca: struktur patriarki) atau atas jaringan oligarki partai politik, tidak berarti mereka tidak bisa diharapkan kontribusinya dalam advokasi isu-isu gender, selama ada kehendak untuk menguatkan kapasitas pengetahuannya.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam banyak kasus (termasuk di Pati juga), proses yang instan tersebut sering menjadi sumber kegagalan representasi politik perempuan. Namun, pada dasarnya yang penting dilakukan adalah bagaimana mereka memiliki kehendak untuk berusaha melakukan peningkatan kapasitas pengetahuan terkait isu-isu gender dan demokrasi yang subtantif. Hal itu jauh lebih menjanjikan perubahan

(4)

dibanding sekedar mengutuk bahwa proses partisipasi politik mereka sudah cacat sejak awal.

Yang terakhir adalah perpaduan antara model representasi deskriptif simbolik dengan linkage pseudo-programatik dan kharismatik. Jika keduanya dipadukan maka pengaruhnya terhadap pelaksanaan program PUG cukup efektif, meskipun target komunitasnya masih sangat terbatas, khususnya berbasikan identitas keagamaan (baca: Islam). Melalui majelis ta’lim, aleg perempuan ini berusaha memperkenalkan isu-isu gender tentu saja dalam bingkai doktrin Islam yang lebih ramah perempuan. Selain itu, majelis ta’lim juga bisa menjadi arena untuk menampung aspirasi warga. Dalam bentuk yang minimalis, tentu kerja-kerja semacam ini layak untuk diapresiasi. Tentu saja pada saat yang sama harus didorong dan diarahkan ke arah yang lebih strategis, misalnya mendorong partisiasi warga di dalam arena Musrenbang, serta memberikan pendidikan politik yang mencerdaskan agar mampu melakukakan kontrol terhadap kerja-kerja yang dilakukan oleh para aleg yang bersangkutan.

Lebih detailnya, integrasi antara model representasi dan linkage politik aleg perempuan ini beserta indikator yang menjadi penandanya dalam konteks pelaksanaan PUG dapat dipetakan dalam tabel berikut ini:

Tabel 4.1

Integrasi Model Representasi Politik dan Model Linkage Politik serta Indikatornya dalam konteks Pelaksanaan Program PUG

MODEL REPRESENTASI

LINKAGE POLITIK Pseudo-

Programatik Kharismatik Klientelistik Deskriptif-Aktif

Peduli dengan Kepentingan Geder Praktis dan Strategis

Peduli dengan Kepentingan Geder Praktis dan Strategis

-

Deskriptif-Pasif Tidak Peduli dengan

Kepentingan Gender - Peduli dengan Kepentingan Gender Praktis

(5)

Penting untuk ditegaskan di sini bahwa berhasil tidaknya program PUG tentu saja tidak mungkin hanya disandarkan pada peran aleg perempuan. Keberhasilan program PUG tentu saja ditentukan oleh para aktor di semua arena, baik Negara, Pasar, maupun Masyarakat. Ketika para aktor semua arena ini menyadari pentingnya mengintegrasikan isu gender dalam proses pembangunan daerah, maka secara pelan dan pasti akan ada perubahan yang signifikan. Mengharapkan para aktor di arena Negara dan Pasar akan baik dengan sendirinya memang agak sedikit absurd. Oleh karena itu dibutuhkan hadirnya kelompok penekan (organisasi masyarakat sipil) yang kuat untuk memastikan terselenggaranya kebijakan pembangunana yang sensitif gender. Ironinya, dalam konteks Pati, peran kelompok penekan ini masih sangat minim (khususnya terkait isu-isu gender). Penyandaran peran aleg perempuan terkait program PUG dalam studi ini lebih bertendensi pada upaya melihat bekerjanya kehadiran perempuan di arena representasi formal.

Tidak bisa dipungkiri bahwa program pengarusutamaan gender, khususnya dalam konteks kebijakan anggaran dan kebijakan sosial, dalam pembangunan daerah Pati mengalami stagnasi. Stagnasi yang terjadi ini tentu disebabkan oleh banyak faktor, namun yang paling dominan adalah karena terjadinya proses depolitisasi demokrasi, yang mana menjadikan gagasan PUG mengalami segregasi dan tidak dianggap penting. PUG pun kemudian hanya berhenti sebagai proses teknis tanpa dilihat sebagai proses politik untuk memastikan adanya perubahan alokasi sumberdaya yang mencerminkan adanya prinsip keadilan gender dalam desain pembangunan daerah. Hal tersebut diperparah lagi oleh struktur kelembagaan yang masih patriarkhis, baik di level legislatif maupun eksekutif. Serta minimnya peran aktor-aktor di ranah intermediari dalam memainkan isu-isu gender agar menjadi diskursus publik di Pati.

Deskriptif- Simbolik

Peduli dengan Kepentingan Geder Praktis dan Strategis

Peduli dengan Kepentingan Geder Praktis dan Strategis

-

(6)

Di tengah stagnasi pelaksanaan program PUG tersebut, sebagian aleg perempuan berusaha mengisi kemandegan tersebut dengan caranya masing- masing. Meskipun dalam prakteknya, cara yang digunakan saling tumpang tindih antara menggunakan prosedur formal dan informal atau mekanisme demokratik dan non-demokratik. Tentu saja dinamika prosedur dan mekanisme yang digunakan tersebut cukup wajar jika melihat konteks politik yang dihadapinya, di mana arus depolitisasi demokrasi mengalir sangat deras.

Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian aleg perempuan juga turut tenggelam dalam arus depolitisasi demokrasi yang sedang berlangsung, yang mana merupakan faktor penghambat paling dominan. Artinya, sebagian aleg perempuan juga menjadi bagian dalam proses terciptanya stagnasi program PUG.

B. Lesson Learned

Pertanyaannya kemudian, pelajaran apa yang bisa diambil dari pengalaman model representasi dan linkage politik pada program PUG di Pati? Setidaknya ada tiga hal pokok yang bisa direfleksikan dari pengalaman aleg perempuan di Pati.

Pertama, jika dikaitkan dalam konteks diskursus keterwakilan perempuan di Indonesia, integrasi model tersebut memberi gambaran bagaimana pentingnya melihat dimensi linkage politik dalam kajian representasi politik perempuan. Dengan memotret linkage politik ini dapat terlihat sejauh mana dinamika akuntabilitas yang diberikan oleh seorang wakil (baca: aleg perempuan) terhadap warga yang diwakilinya. Artinya, tidak semua aleg perempuan memiliki kepedulian terhadap kepentingan gender (baik yang praktis maupun yang strategis). Dari integrasi model tersebut bisa dilihat bahwa tindakan aktor (baca: aleg perempuan) juga sangat dipengaruhi oleh konteks politik yang melingkupi aktor tersebut. Hal ini yang kadang diabaikan dalam studi-studi tentang representasi politik perempuan yang mana lebih mengejar aspek hasil keluaran (output) yang cukup ambisius dibanding menyelami proses politik yang berlangsung serta dinamika linkage-nya. Penilaian yang hanya mengedepankan aspek output dari

(7)

kebijakan kuota perempuan (baca: representasi deskriptif) akan terjebak dalam logika hitam putih dalam membaca realitas kehadiran perempuan dalam institusi perwakilan formal, parlemen. Sehingga dimensi relasi kuasa yang dihadapi para aleg perempuan baik di level fraksi, struktur parlemen secara luas, di level eksekutif, maupun di ranah intermediari tidak dapat dicermati dengan baik.

Dalam konfigurasi demokrasi yang tenggelam dalam arus depolitisasi, terlalu naif membayangkan peran aktor dalam demokrasi perwakilan terkait program PUG akan berjalan dalam harmoni dan selesai dalam rumus teknokratik. Kebijakan afirmasi berbasis quota 30 % juga tidak bisa diandaiakan dengan mudah akan bekerja dengan sendirinya pasca ditetapkan regulasinya. Perlu disadari bahwa kebijakan afirmasi yang ada saat ini dipatuhi setengah hati oleh partai politik. Di samping itu, sistem pemilu yang ada saat ini menempatkan kompetisi antar individu sebagai ruh utamanya.

Jadi, tidak perlu heran jika kemudian banyak para aktifis perempuan yang cukup menjanjikan kiprahnya pada akhirnya tetap saja tidak tertolong dengan kebijakan afirmasi ini. Bahkan sangat mungkin, yang terjadi justru praktek “pembajakan” atas kebijakan afirmasi ini oleh elit-elit oligarki partai politik. Artinya, agar tidak terlalu heran dengan paradoks-paradoks yang muncul, kebijakan afirmasi harus diletakkan dalam kerangka pertarungan politik dan pertarungan kuasa yang berjalan penuh ketidakpastian. Pendek kata, representasi deskriptif bukanlah sesuatu yang taken for granted.

Kedua, pengalaman model representasi dan linkage politik yang dipraktekkan oleh aleg perempuan menegaskan bahwa kapasitas aktor dalam melakukan advokasi program PUG merupakan hal penting di tengah kuatnya hambatan struktur sosial-politik yang dihadapinya. Kapasitas aktor inilah yang memungkinkan adanya “terobosan-terobosan” dalam fungsi keagenan (agency) untuk memperjuangkan program PUG secara individual. Tentu saja terobosan yang dilakukan oleh sebagian aleg perempuan tersebut belum memperlihatkan perubahan-perubahan signifikan, dengan indikator- indikator yang ambisius. Namun, terobosan yang dilakukan itu bisa dilihat melalui indikator sederhana terkait bagaimana kepedulian mereka dalam

(8)

memperjuangkan kepentingan gender praktis maupun strategis, dalam konteks kebijakan anggaran dan kebijakan sosial di Pati.

Namun demikian, memang tidak bisa dipungkiri bahwa ada persoalan yang cukup serius di bidang representasi dalam konteks demokrasi lokal. Satu hal yang cukup mempengaruhi rusaknya bidang representasi tersebut (setidaknya dalam kasus Pati) adalah konteks pragmatisme masyarakat yang ditumbuhsuburkan oleh praktik money politics yang dilakukan para elit.

Nyaris semua Aleg perempuan di Pati mengakui bahwa mereka melakukan money politics hanya besarannya saja yang agak berbeda satu sama lain.

Adanya money politics ini membuat mereka lebih loyal kepada warga atau desa yang memang benar-benar turut membantu dalam proses pemenangannya. Dana aspirasi mereka nyaris dibagikan hanya untuk mereka yang pernah menjadi tim pemenangannya atau daerah pemilihan yang perolehan suaranya menopang kemenangannya.

Ketiga, pengalaman stagnasi program PUG di Pati menjadi pelajaran menarik bagaimana pentingnya mengintegrasikan advokasi isu-isu gender ke dalam isu demokrasi yang lebih luas. Karena perbaikan dan pendalaman demokrasi di aras lokal akan menjadi pintu masuk yang strategis bagi kampanye PUG dalam pembangunan daerah. Artinya, konsolidasi gerakan perempuan dengan gerakan demokrasi menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar lagi, karena satu sama lain akan saling melengkapi dalam upaya mewuudkan demokrasi yang lebih subtantif. Gagasan PUG akan kesulitan menemukan ruang dalam proses pembangunan daerah di tengah para elit-elit politisi yang hanya memanfaatkan instrumen demokrasi untuk kepentingan pribadi dan jaringan kroninya.

Selain itu, di tengah kuatnya kultur patriarki di masyarakat, tentu saja dibutuhkan bahasa lain yang lebih efektif dalam mengawal desain pembangunan yang berkeadilan gender. Sepertinya isu kesejahteraan sosial yang basisnya universal jauh lebih efektif dibanding dengan isu gender yang masih sektoral. Tentu saja kesimpulan ini tanpa berpretensi untuk menjadi reduksionis dalam melihat realitas dan kompleksitas persoalan yang ada di Pati. Hanya saja isu kesejahteraan (welfare) akan relatif diterima oleh semua

(9)

pihak. Tentu saja kesejahteraan warga secara universal berbasiskan prinsip kesetaraan gender dalam pembangunan daerah.[]

Referensi

Dokumen terkait

▪ Melaksanakan penilaian dan refleksi dengan mengajukan pertanyaan atau tanggapan peserta didik dari kegiatan yang telah dilaksanakan sebagai bahan masukan untuk perbaikan

Kohesi merujuk pada perpaduan bentuk sedangkan koherensi pada perpautan makna. Kalimat atau kata yang dipakai bertautan, pengertian yang satu menyambung pengertian yang

Menurut beberapa penjabaran yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa psychological well-being wanita dewasa lajang yaitu kesejahteraan

Teori-teori tersebut mengatakan bahwa profitabilitas mempengaruhi terjadinya praktik perataan laba karena investor seringkali terpusat pada informasi laba karena

Analisis kesenjangan bertujuan untuk mengetahui secara lebih rinci perbedaan antara derajat kepentingan yang diharapkan oleh karyawan dengan derajat kepentingan aktual yang

Meskipun peningkatan perilaku pemberian ASI ekslusif tidak dipengaruhi oleh status pekerjaan ibu, tetapi dengan adanya pembatasan social berskala besar pada masa

Pada penelitian ini yang dilakukan dihutan primer Taman Nasional Gunung leuser ditemukan 32 jenis liana dengan nilai H’= 3,037 dengan kategori tinggi sedangkan

Dari latar belakang diatas dapat diambil suatu rumusan masalah yaitu bagaimana memilih lokasi yang baik dalam pembangunan bengkel alat dan mesin pertanian agar tepat