• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Simpulan

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah adalah pertama munculnya kesadaran kognitif dari proses membangun gerakan penyadaran melalui pendekatan personal dan munculnya kesadaran individu dan kelompok bahwa perempuan harus terlibat dalam pembangunan. Kedua faktor membuka akses dengan adanya pihak eksternal yaitu NGO dengan pengorganisasian kelompok, peningkatan kapasitas, ketiga memanfaatkan ruang partisipasi dengan terlibat dalam musrenbang dan kontrol dengan mempengaruhi kebijakan dalam musrenbang.

Peran dan fungsi masing-masing aktor juga berpengaruh yaitu Informal leader cukup berpengaruh mendorong partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Aktor-aktor intermediary juga cukup kuat mempengaruhi partisipasi perempuan Desa Wonolelo. Kekuatan organisasi juga mempengaruhi keberhasilan inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan Desa Wonolelo melalui peran dari FKKP Wonolelo. Proses-proses tersebut membawa partisipasi perempuan Desa Wonolelo ke dalam derajat citizen participation genuine information (konsultasi sejati), effective advisory board (badan penasehat yang efektif). Tahap partnership (kemitraan) dan delegated control (kendali yang terdelagasi) belum tercapai.

Dalam proses inisiasi pelembagaan partisipasi perempuan, mekanisme dan prosedur juga menjadi indikator keberhasilan proses pelembagaan. Prasyarat terkait dengan definisi yang jelas dan aturan yang jelas dalam proses perencanaan dan penganggaran, yaitu hal-hal apa saja yang harus didiskusikan, tahapan dan jangka waktu, aturan dalam pengambilan keputusan (skala prioritas), metode distribusi tanggungjawab, otoritas dan sumber daya yang dimiliki di masing- masing kabupaten/kota sudah dipenuhi. Di kabupaten Bantul, adanya Perda No.7 Tahun 2005 dan Perda No.24 Tahun 2008 dan adanya petunjuk tehnis

(2)

pelaksanaan musrenbang juga cukup memperkuat upaya pelembagaan partisipasi tersebut.

Terkait dengan output dan outcome yang dihasilkan, adanya kemauan untuk membangun kapasitas masyarakat dan pejabat tentang penganggaran partisipatif dan ada kesepahaman untuk membangun kesepakatan tentang alokasi serta kehadiran dan ketertarikan dari organisasi masyarakat sipil dan warga negara secara umum untuk keberlanjutan partisipasi sudah terpenuhi. Proses ini berhasil meningkatkan alokasi anggaran untuk posyandu, dan pemberdayaan ekonomi.

Keberhasilan pelembagaan partisipasi perempuan Desa Wonolelo bukan karena adanya Perda Partisipasi dan Transparansi Publik, Perda Perencanaan Daerah maupun mekanisme jaring asmara (penjaringan aspirasi masyarakat) DPRD atau adanya invited spaces, ataupun adanya popular spaces. Selama ini kita terjebak dalam kerangka pemahaman bahwa ketika partisipasi dilembagakan dalam bentuk perda maka secara otomatis partisipasi tersebut akan berjalan.

Memahami partisipasi perempuan hanya dari sisi kerja-kerja prosedural dan manajerial atau tehnokratis tidak akan memberi makna dari partisipasi itu sendiri.

(Cornwall dan Coeho,2007:5) mengatakan praktek partisipasi yang normatif mengasumsikan bahwa warganegara telah siap untuk terlibat dalam urusan publik dan begitu pula para birokrat yang dianggap bersedia untuk mendengarkan dan merespons tuntutan dari arus bawah. Aspek ini jelas menegasikan adanya perbedaan sumber daya (modal) yang dimiliki partisipan dan mengabaikan konteks budaya dan struktur dalam masyarakat. Bagi Cornwall dan Coelho (2007), partisipasi merupakan ruang atau arena yang sedemikian politis sehingga pertarungan kepentingan di dalamnya sudah tidak terhindarkan lagi. Di satu sisi, negara (state) mengupayakan ruang formal (invited space) agar partisipasi warga bisa terakomodasi, sesuai dengan kepentingan pemerintah yang berkuasa. Namun, hal itu juga akan dibarengi oleh usaha masyarakat (civil society) untuk menciptakan ruangnya sendiri (popular space), yang dibentuk guna menghindari campur tangan negara. Ruang partisipasi ini bukan ruang final, namun sebagai arena (politik) yang saling diperebutkan.

Pelembagaan partisipasi perempuan Desa Wonolelo membuktikan teori dari Cornwall tersebut. Pada kurun waktu Tahun 2004-2006, partisipasi perempu-

(3)

an desa Wonolelo menggunakan arena popular spaces, namun praktek ini justru membuat warga dan negara berhadap-hadapan, bahkan antar warga juga berha- dap-hadapan. Hadirnya invited spaces melalui Perda Transparansi dan Partisipasi Publik No.5 Tahun 2005 dan Perda No.24 tahun 2008 dimanfaatkan oleh FKKP Wonolelo untuk mendorong pelembagaan partisipasi perempuan Desa Wonolelo.

Ruang partisipasi bukan hanya sekedar ruang yang disediakan negara dengan seperangkat aturan seperti peraturan daerah, peraturan bupati atau petunjuk tehnis pelaksanaan musrenbang, atau bahkan masa reses anggota DPRD dan sidang-sid- ang DPRD. Ruang yang disediakan oleh negara tersebut tidak cukup dibiarkan be- gitu saja, namun harus dibangun wahana popular spaces dan mempertemukannya dalam pelembagaan partisipasi perempuan.

Temuan dalam penelitian ini sekaligus juga menkonfirmasi bahwa proses pelembagaan partisipasi dibutuhkan infusi nilai-nilai sehingga menjadi sesuatu yang normal dan terjadi dalam tubuh FKKP Wonolelo. Dari adanya inisiasi pihak eksternal membangun revitalisasi kelompok perempuan, sadar bahwa ada masalah dan mencari solusi melalui keterlibatan dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Pelembagaan diyakini mendapatkan pengaruh terbesar dari struktur dan kultur. Namun kemudian muncul keyakinan bahwa aktor individual juga memiliki kemampuan mempengaruhi institusi. Pengaruh terbesar dari struktur ditandai denga pengaruh dari kepala desa dan ketua LPMD Desa Wonolelo yang tidak hanya mengundang, namun juga mengawal, bersedia negosiasi. Aktor individual yang mempengaruhi organisasi juga muncul, baik di dalam masyarakat maupun di level negara.

Individu dan organisasi diyakini tidak hanya pasrah terhadap struktur dan kultur, tetapi bisa juga berinovasi dan melakukan tindakan strategis untuk mempengaruhi perubahan. Dalam konteks pelembagaan partisipasi, instrumen aturan, regulasi dan instrumen yang lain tidak cukup tanpa ada upaya individu untuk mempengaruhi proses pelembagaan partisipasi. Mereka harus memiliki kemampuan untuk mempengaruhi institusi dan bisa berinovasi melakukan tindakan strategis untuk mempengaruhi perubahan dalam mendorong pelembagaan partisipasi. Munculnya informal leader dalam pelembagaan

(4)

partisipasi perempaun Desa Wonolelo yang sangat mempengaruhi pelembagaan partisipasi di level komunitas membuktikan teori tersebut.

Pelembagaan partisipasi juga membutuhkan aktor-aktor negara untuk didorong membangun aliansi jangka panjang dengan masyarakat sipil. Efektifitas kegiatan pelembagaan sangat dipengaruhi oleh faktor keterlibatan partisipan yang ada dan bukan semata dorongan kebijakan. Munculnya aktor negara di level desa seperti kepala desa dan LPMD yang kuat mendorong pelembagaan partisipasi dan bu Ratna dari BKKPPB adalah salah satu bukti bahwa aktor negara juga bisa berkontribusi positif terhadap pelembagaan partisipasi perempuan.

Pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah tidak bisa dikatakan gagal, namun dibutuhkan satu pemahaman tentang momentum yang tepat untuk memastikan bahwa pendekatan kebutuhan kebijakan tidak semata-mata dorongan kebijakan itu sendiri, tetapi karena adanya kebutuhan kelembagaan lokal. Peran keterlibatan partisipan juga penting karena pelembagaan sebagai sebuah strategi dilakukan justru untuk menghindari dominasi keputusan masyarakat oleh elit lokal, gagalnya pemberian ruang bagi kaum marginal, serta menghindari bias partisipasi. Dominasi keputusan masyarakat oleh elit dapat menyebabkan adanya perilaku mengambil untung secara berlebihan dan menggagalkan relasi timbal balik antara pemilik dengan wakilnya dalam mekanisme pendelegasian. Kegagalan pemberian ruang bagi kaum marginal menyebabkan partisipasi semu dan buruknya kolektifitas sebagai awal dari komitmen sosial. Kondisi ini terjadi ketika dalam forum refleksi partisipasi perempuan dalam musrenbang se Kabupaten Bantul menunjukkan bahwa ada proses kegagalan pemberian ruang dan pemanfaatan ruang kelompok perempuan dalam musrenbang.

Berbagai hal yang berkembang terkait mendorong demokrasi yang didambakan terutama terkait partisipasi warga, setidaknya ada dua pandangan berbeda dalam menempatkan posisi warga dan pemerintahan daerah. Pertama yang memposisikan warga negara dan pemerintahan daerah dalam perspektif demokrasi representatif. Perspektif ini menempatkan peran warga yang terpenting adalah dalam memilih wakil yang akuntabel dalam pemerintahan lokal.

Pandangan kedua menuntut peran warga lebih aktif melalui partisipasi langsung

(5)

dalam berbagai kegiatan publik. Pendekatan ini peduli pada transformasi pengetahuan yang melampaui pengetahuan tentang ruang publik (public sphere) dan demokrasi representatif, dan menentang batasan-batasan antara public dan privat yang memungkinkan bentuk-bentuk yang lebih langsung dari keterkaitan demokratik (Gaventa dan Valderama, 1999).

Pelembagaan partisipasi perempuan Wonolelo dalam perencanaan dan penganggaran daerah dengan segala dinamikanya memberi bukti bahwa menguatkan warga dan mendorong warga terutama perempuan untuk terus menerus aktif dalam proses penganggaran menjadi keharusan. Aktor negara juga harus terus menerus secara aktif membuka ruang partisipasi dan memahami serta menyepakati kebutuhan warga atas anggaran daerah. Proses ini dibutuhkan enganging state (membangun komunikasi aktif) dengan negara.

Di tengah-tengah pesimisme atas kegagalan negara mendorong pelembagaan partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah, maka cerita tentang pelembagaan partisipasi perempuan Desa Wonolelo dalam perencanaan dan penganggaran daerah menghadirkan praktek yang berbeda. Tidak lagi bicara soal partisipasi semu ataupun partisipasi prosedural, namun praktek tersebut membuka wacana bahwa state actor bisa memainkan peran positif mendorong pelembagaan partisipasi perempuan. perempuan memiliki kapasitas membangun kesadaran partisipasi adalah langkah untuk mengawal kebijakan.

citizen control juga menjadi pekerjaan besar untuk mendorong kontrol warga atas sumberdaya publik.

B. Rekomendasi

Advokasi pelembagaan partisipasi perempuan dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Pemerintah harus mempertimbangkan bahwa organisasi formal perempuan seperti PKK dan Dasawisma bukan sebagai keharusan organisasi yang harus dihadirkan dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah. Pemerintah dari mulai level desa sampai dengan kabupaten harus melibatkan kelompok-kelompok perempuan diluar organisasi formal perempuan yang telah ada dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah.

(6)

2. Arena partisipasi warga dalam ruang-ruang yang sudah disediakan oleh negara harus terus menerus proaktif dimanfaatkan oleh kelompok perempuan untuk mendorong perbaikan proses perencanaan dan penganggaran daerah.

3. Aktor negara harus proaktif menyediakan mekanisme dan prosedur yang jelas dan detail tentang tahapan proses perencanaan dan penganggaran daerah serta mudah dipahami oleh kelompok perempuan.

4. Program dan kebijakan harus diinformasikan secara jelas dan mudah dipahami kepada kelompok perempuan dalam setiap tahapan proses perencanaan dan penganggaran daerah.

Refleksi Teoritis

Dalam teori ladder of citizen empowerment, untuk mencapai tahap delegated control tidak mudah, dan nampaknya citizen control tidak mungkin terjadi, karena pemegang kuasa anggaran atau implementasi tehnis pelaksanaan anggaran adalah pemerintah daerah. Peneliti sendiri berpendapat bahwa kendali warga ini bisa didefinisi ulang yaitu adanya peran serta warga untuk melakukan pengawasan atas implementasi APBD, bukan melaksanakan dan memegang dana APBD, karena memang yang seharusnya mengelola adalah negara.

Dalam teori pelembagaan partisipasi, model invited spaces dan popular spaces tidak bisa dipisahkan dalam konteks partisipasi perempuan dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Model populer spaces biasanya tidak bertahan lama ketika isu yang didesakkan sudah tidak relevan, namun model invited spaces memiliki kelebihan bahwa ruang ini memberi jaminan pelembagaan partisipasi dalam jangka panjang. Namun, Cornwall mengingatkan bahwa pelembagaan partisipasi adalah sebuah proses politik dimana ada aktor- aktor yang bermain dalam arena partisipasi dan relasi kuasa negara dan warga harus dinegosiasikan. Dalam hal ini peneliti sepakat dengan konsep Cornwall tersebut berdasarkan hasil penelitian praktek partisipasi perempuan Desa Wonolelo dalam Perencanaan dan Penganggaran Daerah.

Referensi

Dokumen terkait

a) Identitas responden yaitu nama, umur, jenis kelamin, tanggal lahir, berat badan lahir, alamat, pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan

Hasil perhitungan analisis berdasarkan kriteria investasi Net Present Value (NPV), net B/C ratio, Break Even Point (BEP) menunjukkan bahwa investasi mesin penetas

Gilmer (1966) berpendapat bahwa tingkat turnover yang cenderung lebih tinggi pada karyawan berusia muda disebabkan karena mereka masih memiliki keinginan untuk mencoba-coba

Setelah penerapan e-LKPD berbasis inkuiri terbimbing untuk sikap yang akan dilatih serta diharapkan siswa menjadi aktif dalam prosedur kerja ilmiah dimulai

Hasil feedback ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan untuk mengetahui tingkat pemahaman visi misi Prodi S1 Farmasi STIKES Borneo Lestari mutu pelayanan

2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan dalam rangka penyesuaian terhadap objek dan besarnya retribusi pelayanan persampahan/kebersihan dengan tingkat

Analisis Disajikan data panjang, penampang, dan modulus elastis sebuah pegas besi, peserta didik dapat menganalisis pertambahan panjang saat ujuang batang pegas ditarik

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan Ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pemberi kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban peserta dari