• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMPARASI KINERJA MODEL PREDICTIVE CONTROL MULTIVARIABLE DENGAN DECOUPLER PADA SISTEM TATA UDARA PRESISI DAN SISTEM TANGKI TERHUBUNG SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KOMPARASI KINERJA MODEL PREDICTIVE CONTROL MULTIVARIABLE DENGAN DECOUPLER PADA SISTEM TATA UDARA PRESISI DAN SISTEM TANGKI TERHUBUNG SKRIPSI"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPARASI KINERJA MODEL PREDICTIVE CONTROL MULTIVARIABLE DENGAN DECOUPLER PADA SISTEM TATA UDARA PRESISI DAN SISTEM

TANGKI TERHUBUNG

SKRIPSI

SARRAH ADE KARIMARIZA

0806455452

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO DEPOK

JUNI 2012

(2)

KOMPARASI KINERJA MODEL PREDICTIVE CONTROL MULTIVARIABLE DENGAN DECOUPLER PADA SISTEM TATA UDARA PRESISI DAN SISTEM

TANGKI TERHUBUNG

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

SARRAH ADE KARIMARIZA

0806455452

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO DEPOK

JUNI 2012

(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Sarrah Ade Karimariza

NPM : 0806455452

Tanda Tangan :

Tanggal : 13 Juni 2012

(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat meenyelesaikan laporan seminar yang dilaksanakan pada semester ganjil di Departemen Teknik Elektro, Universitas Indonesia. Laporan skirpsi diberi judul Komparasi Kinerja Model Predictive Control Multivariable dengan Decoupler Pada Sistem Tata Udara Presisi dan Sistem Tangki Terhubung. Penulisan laporan ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah skripsi yang merupakan salah satu mata kuliah wajib Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Penyelesaian laporan ini didukung oleh beberapa pihak baik yang menyelenggarakan maupun yang menyediakan sarana bantuan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ir. Aries Subiantoro M.SEE sebagai dosen pembimbing seminar.

2. Victor Fonso ST sebagai senior saya yang telah mengajari banyak hal mengenai identifikasi sistem maupun sistem tata udara presisi, serta pengalamannya di dalam pengerjaan seminar miliknya.

3. Nur Hidayat ST sebagai senior saya yang juga telah mengajari saya di dalam pengambilan data PAC.

4. Orang tua dan keluarga saya yang telah mendukung saya dalam doa.

5. Rekan-rekan Teknik Elektro.

Akhir kata, penulis berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga laporan ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Depok, 13 Juni 2012

Penulis

(6)

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Sarrah Ade Karimariza

NPM : 0806455452

Program Studi : Teknik Elektro Departemen : Teknik Elektro Fakultas : Teknik

Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

KOMPARASI KINERJA MODEL PREDICTIVE CONTROL

MULTIVARIABLE DENGAN DECOUPLER PADA SISTEM TATA UDARA PRESISI DAN SISTEM TANGKI TERHUBUNG

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan. mengalihmedia/format- kan, mengelola dalam bentuk data (database), merawat dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

demikian surat pernyataan in saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Depok Pada tanggal 3 Juli 2012

Yang menyatakan

(Sarrah Ade Karimariza)

(7)

Nama : Sarrah Ade Karimariza Program Studi : Teknik Elektro

Judul : Komparasi Kinerja Model Predictive Control Multivariable dengan Decoupler Pada Sistem Tata Udara Presisi dan Sistem Tangki Terhubung

Penelitian ini akan mengembangkan pengendali multivariable model predictive control yang memiliki kemampuan untuk menjaga suhu dan kelembaban pada rentang nilai tertentu. Permasalahan pada pengendalian system ini adalah dalam menjaga suhu pada nilai 20-25°C dan kelembaban pada nilai 45-55% seiring perubahan beban panas yang terjadi sepanjang waktu. Sistem multivarible ini juga memiliki efek saling mempengaruhi/kopling. Metode baru yang diterapkan pada penelitian ini adalah penerapan pengendali prediktif pada precision air conditioning dengan decoupler, melibatkan constraints, dan memiliki struktur MIMO. Penelitian ini juga merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya yaitu Model Predictive Control (MPC) dengan metode identifikasi N4SID offline. Metode identifikasi yang digunakan di penelitian ini merupakan jenis N4SID dan PO-MOESP.

Karakteristik PAC didapatkan dengan memberikan variasi tegangan input kipas dan kompresor, serta memperhatikan pengaruhnya terhadap output berupa suhu dan kelembaban kabinet. Model proses dibentuk dengan metode N4SID dan PO- MOESP untuk mendapatkan nilai A, B, C, dan D sebagai matriks koefisien state space yang kemudian menjadi masukan pengendali prediktif. Pengendali prediktif multivariable berbeda bentuk fungsi kriterianya yaitu melibatkan dua variable pada setiap pencuplikan. Delay juga diperhitungkan mengingat respon system cukup lambat, sehingga berpengaruh pada penentuan prediction horizon yaitu setidaknya bernilai lebih besar dari delay. Pengaruh kopling dari multivariable system dapat dikurangi dengan penggunaan decoupler.

Pengendali multivariable model predictive ini direalisasikan melalui software Matlab dengan perangkat pendukung berupa Data Acquition (DAQ).

Penelitian ini diuji secara simulasi dengan program Matlab. Hasil keluaran pengendali pada PAC dibandingkan dengan hasil pada Coupletank.

Kata kunci: prediktif, coupletank, multivariable, Precision Air Conditioning

(8)

HALAMAN JUDUL ………. i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ……….… ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….… iii

KATA PENGANTAR ………. iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR ………. v

ABSTRAK ……….… vi

DAFTAR ISI ………. vii

DAFTAR TABEL ………. x

DAFTAR GAMBAR ………. xii

1. PENDAHULUAN ………. 1

1.1 Latar Belakang ………. 1

1.2 Tujuan Penelitian ………. 2

1.3 Pembatasan Masalah ………. 2

1.4 Metodologi Penelitian ………. 3

1.5 Sistematika Penulisan ………. 3

2. DASAR TEORI ………. 5

2.1 Sistem Tata Udara Presisi ………. 5

2.1.1 Model Sistem PAC ………. 5

2.1.2 Penurunan Persamaan Model Proses ………. 5

2.1.3 State Space Sebagai Model Proses ………. 9

2.2 Identifikasi Sistem ………. 10

2.2.2 Identifikasi Model State Space dengan Metode N4SID …………. 10

2.2.2 Identifikasi Model State Space dengan Metode MOESP dan PO- MOESP ………... 11

2.3 Desain Filter Kalman Sebagai Estimator Variabel Keadaan ………. 12

(9)

2.4 Model Predictive Control ………. 14

2.4.1 Konsep Dasar MPC ………. 14

2.4.2 Keunggulan MPC ………. 15

2.4.3 Rumus Prediksi ………. 16

2.4.4 Fungsi Kriteria ………. 19

2.5 Relative Gain Array ………. 19

2.6 Decoupling ………. 22

2.7 State of The Art ……….………… 24

3 PERANCANGAN MPC DENGAN DECOUPLER ………. 35

3.1 Uji Karakteristik PAC ………. 35

3.2 Model Proses ………. 39

3.2.1 Model Proses Tanpa Decoupler ………. 39

3.2.2 Model Proses Dengan Decoupler ………. 42

3.3 Pengaruh Decoupler Pada Model Proses ………. 44

3.4 Merancang Model Predictive Control Tanpa Constraint ………. 48

3.5 Merancang Model Predictive Control Dengan Constraint ………. 52

3.6 Block Simulink MPC Pada PAC ………. 55

3.6.1 Simulink MPC Tanpa Decoupler ………. 55

3.6.2 Simulink MPC dengan Decoupler ………. 57

4 HASIL SIMULASI DAN ANALISIS ………. 58

4.1 Analisis Model Proses ………. 58

4.1.1 Model Proses Tanpa Decoupler ………. 58

4.1.2 Model Proses Dengan Decoupler ………. 61

4.2 Perbandingan Pengendalian Sistem Orde Tinggi (PAC) dengan Sistem Orde Rendah (Couple Tank) ………. 66

4.2.1 Pengendalian Pada Sistem Multivariable Orde Rendah ……. 66

4.2.2 Pengendalian Pada Sistem Multivariable Orde Tinggi …..…. 77

(10)

5 KESIMPULAN DAN SARAN ………. 87

5.1 Kesimpulan ………. 87

5.2 Saran ……… 87

DAFTAR REFERENSI ………. 88

LAMPIRAN ………. 91

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Konsep Kalman Filter ……….……… 13

Gambar 2.2 Strategi receding horizon ………. 15

Gambar 2.3 Diagram Blok MPC ……….……… 15

Gambar 2.4 Struktur Masukan-Keluaran Bentuk P-canonical …….……… 20

Gambar 2.5 Skema Sistem dengan Decoupler ……….… 23

Gambar 2.6 Perkembangan Pengendali sistem tata udara dari tahun ke tahun…... 30

Gambar 3.1 Prototype Precision Air Conditioning ………. 35

Gambar 3.2 Bagan Sistem Tata Udara Presisi/PAC ………. 36

Gambar 3.3 Hubungan Suhu terhadap waktu dari data ke-12 ……… 38

Gambar 3.4 Hubungan Kelembaban terhadap waktu dari data ke-12 …… 38

Gambar 3.5 Model Proses Tanpa Decoupler ……… 39

Gambar 3.6 Model Proses Dengan Decoupler ……… 42

Gambar 3.7 Flowchart MPC Tanpa Constraint ……… 49

Gambar 3.8 Flowchart MPC Dengan Constraint ……… 52

Gambar 3.9 Simulink MPC Tanpa Decoupler ………. 55

Gambar 3.10 Setpoint Generator ………. 55

Gambar 3.11 Block Format Setpoint ……….……… 56

Gambar 3.12 Simulink MPC Dengan Decoupler ……….…… 57

Gambar 4.1 Output MPC (Coupletank Tanpa Decoupler) saat Hu=2 dan Hp=3... 67

Gambar 4.2 Output MPC (Coupletank Tanpa Decoupler) saat Hu=3 dan Hp=3... 67

Gambar 4.3 Output MPC (Coupletank Tanpa Decoupler) saat Hu=3 dan Hp=6... 68

Gambar 4.4 Output MPC (Coupletank Tanpa Decoupler) saat Hu=6 dan Hp=6... 68

Gambar 4.5 Output MPC (Coupletank Tanpa Decoupler) saat Hu=6 dan Hp=12... 69

Gambar 4.6 Output MPC (Coupletank Tanpa Decoupler) saat Hu=12 dan Hp=12.. 69

Gambar 4.7 Output MPC (Coupletank Dengan Decoupler) saat Hu=2 dan Hp=3... 70

Gambar 4.8 Output MPC (Coupletank Dengan Decoupler) saat Hu=3 dan Hp=3... 70

(12)

Gambar 4.9 Output MPC (Coupletank Dengan Decoupler) saat Hu=3 dan Hp=6... 71 Gambar 4.10 Output MPC (Coupletank Dengan Decoupler) saat Hu=6 dan Hp=6.. 71 Gambar 4.11 Output MPC (Coupletank Dengan Decoupler)saat Hu=6 dan Hp=12. 72 Gambar 4.12 Output MPC (CoupletankDenganDecoupler)saat Hu=12 dan Hp=12.72 Gambar 4.13 Output MPC (Coupletank Tanpa Decoupler) saat Q=10 …..…. 73 Gambar 4.14 Output MPC (Coupletank Tanpa Decoupler) saat Q=50 ……... 74 Gambar 4.15 Output MPC (Coupletank Tanpa Decoupler) saat Q=100 …...… 74 Gambar 4.16 Output MPC (Coupletank Dengan Decoupler) MPC saat Q=10…… 75 Gambar 4.17 Output MPC (Coupletank Dengan Decoupler) saat Q=50 ……... 75 Gambar 4.18 Output MPC (Coupletank Dengan Decoupler) saat Q=100 …...… 76 Gambar 4.19 Output MPC pada Q=10 dan R=1 dengan Model PAC ……... 77 Gambar 4.20 Output MPC pada Q=100 dan R=1 dengan Model PAC …….. 77 Gambar 4.21 Output MPC pada Q=100 dan R=10 dengan Model PAC …….. 78 Gambar 4.22 Output MPC pada Q=1000 dan R=1 dengan Model PAC ……... 78 Gambar 4.23 Output MPC pada Hu=2 dan Hp= 3 dengan Model PAC …….. 80 Gambar 4.24 Output MPC pada Hu=3 dan Hp= 3 dengan Model PAC …….. 80 Gambar 4.25 Output MPC pada Hu=3 dan Hp= 6 dengan Model PAC …….. 81 Gambar 4.26 Output MPC pada Hu=6 dan Hp= 6 dengan Model PAC …….. 81 Gambar 4.27 Output MPC pada Hu=6 dan Hp=12 dengan Model PAC …….. 82 Gambar 4.28 Output MPC pada Sinyal Referensi 1 dengan Model PAC …..… 83 Gambar 4.29 Output MPC pada Sinyal Referensi 2 dengan Model PAC …..… 84 Gambar 4.30 Output MPC pada Sinyal Referensi 3 dengan Model PAC …..… 84 Gambar 4.31 Output MPC pada Sinyal Referensi 4 dengan Model PAC …..… 85 Gambar 4.32 Output MPC pada Sinyal Referensi 5 dengan Model PAC …..… 85 Gambar 4.33 Output MPC dengan Decoupler pada Model PAC …………...… 86

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 State of The Art ………..……… 30 Tabel 3.1 Karakteristik PAC ……….………. 37 Tabel 3.2 Konstanta Numerator dari Fungsi Alih Model PO-MOESP ….…. 41 Tabel 3.3 Konstanta Denumerator dari Fungsi Alih Model PO-MOESP ….…. 41 Tabel 4.1 Controllability dan Observability Tanpa Decoupler ………….…. 60 Tabel 4.2 Gain dan RGA Tanpa Decoupler ……….…. 61 Tabel 4.3 Controllability dan Observability Dengan Decoupler ………….…. 65 Tabel 4.4 Gain dan RGA Dengan Decoupler ……….…. 65

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan teknologi yang diiringi peningkatan gaya hidup masyarakat, menuntut perbaikan maupun perluasan di bidang telekomunikasi. Telekomunikasi membutuhkan datacenter sebagai media penyimpanan maupun pengolahan data.

Perawatan datacenter membutuhkan energi yang cukup besar yaitu mencapai 40%

dalam hal pendinginan. Berbagai penelitian dikembangkan untuk mendapatkan kontroler yang dapat menangani hal tersebut. Kontroler konvensional seperti PI, PD, dan PID sangat sederhana dan ringan, namun tidak cocok untuk sistem nonlinier.

Model prediktif cocok untuk menangani sistem yang kompleks, nonlinier dan memiliki delay yang cukup lama. Sedangkan Fuzzy dan Neural Network (NN) juga mampu menangani sistem nonlinier dan delay, tetapi perhitungannya sangat rumit dan berat, sehingga membutuhkan perangkat hitung yang lebih cepat dan canggih.

Akibatnya biaya implementasinya menjadi lebih mahal dibanding MPC maupun PID.

Pendinginan dilakukan oleh Precision Air Conditioning (PAC) yang diharapkan memiliki constraints (suhu dan kelembaban tertentu). Seperti halnya peralatan industri, PAC memiliki sifat kompleks, nonlinier, memiliki delay, unstable open loop, dan nonminimum phase.

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya yaitu Model Predictive Control (MPC) dengan N4SID offline. Melalui banyak penelitian, MPC terbukti mampu menangani sistem yang kompleks dan masih dapat dioperasikan dalam mikrokontroler, tidak seperti Fuzzy atau NN yang membutuhkan banyak waktu dan memori. MPC lebih mampu menangani constraints & delay yang panjang dibanding PID, terlebih PAC ini bersifat MIMO dengan input berupa tegangan kipas dan kompresor, serta output berupa suhu dan kelembaban.

(15)

Perancangan MPC akan dilakukan dengan menambahkan decoupler yang betujuan untuk mempermudah pengendalian sistem multivariable. Metode identifikasi yang digunakan yaitu N4SID jenis recursif atau bekerja secara online.

Sedangkan pemrograman dilakukan dengan bahasa C dengan simulink Matlab.

1.2 Tujuan Penelitian:

Tujuan dari penulisan laporan penelitian ini meliputi:

- Mendesain pengendali smart PAC menggunakan MPC dengan constraints. T dan RH harus dijaga konstan pada rentang tersebut, sehingga dibutuhkan pengendali dengan kemampuan melibatkan constraints. Kabinet atau ruangan pada data center dirancang khusus agar perangkat berada pada kondisi suhu (T) 20°C - 22°C dan kelembaban (RH) 45-55 %.

- Menerapkan dan membandingkan hasil keluaran MPC pada sistem tata udara presisi dan sistem tangki terhubung.

- Mengatasi beban panas pada perangkat yang bervariasi sepanjang waktu secara nonlinier dan menjadi kendala jika hanya menggunakan pengendali konvensional.

- Merancang decoupler untuk memudahkan proses pengendalian.

1.3 Pembatasan Masalah

Penelitian ini terbatas pada pencarian model proses terbaik dari sistem tata udara presisi (PAC) yang bersifat MIMO dengan 2 input (kipas & kompresor) dan 2 output (suhu dan kelembaban). Penerapan decoupler pada model proses dari beberapa metode identifikasi sistem yaitu: PO-MOESP dan N4SID. Jenis MPC yang digunakan yaitu MPC dengan constraint. Pengendalian akan dilakukan secara

(16)

nonlinier dan memiliki delay. Time sampling dilakukan selama 5 detik sekali dengan bantuan m.file, c-mex, dan simulink pada Matlab. Pengendalian akan memanfaatkan decoupler untuk menghilangkan efek kopling dari sistem PAC. Hal serupa juga akan diterapkan pada sistem tangki terhubung sebagai pembanding.

1.4 Metodologi Penelitian

Studi literatur dilakukan untuk mendapatkan referensi sebagai pertimbangan dalam menentukan jenis pengendali yang optimal dari sistem PAC. Studi literatur dilakukan dengan cara mereview jurnal-jurnal, seminar, serta skripsi mengenai pengendali prediktif, sistem pendinginan, dan hal-hal lain yang terkait.

Beberapa jurnal menunjukkan bahwa MPC lebih fleksible untuk diintegrasikan dengan pengendali lain untuk mendapatkan performa yang lebih baik.

Pengendali bisa berupa neural network, fuzzy multicriteria[1], dan hybrid. MPC terbukti sesuai untuk mengendalikan berbagai jenis sistem tata udara salah satunya Air Conditioning system. Sistem tata udara umumnya merupakan sistem nonlinier yang memiliki delay cukup lama dan kompleks dalam hal perhitungan[1]. MPC juga mampu menangani sistem linier yang tidak stabil dan nonminimum phase.

1.5 Sistematika Penulisan

Laporan skripsi ini terdiri dari lima bab, yaitu:

1. Bab 1 Pendahuluan

Berisi Latar bekang, tujuan penelitian, pembatasan masalah, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

2. Bab 2 Dasar Teori

(17)

Pada bab ini, penulis menjelaskan teori mengenai cara kerja PAC, desain observer, MPC untuk sistem MIMO, RGA, serta decoupling.

3. Bab 3 Perancangan MPC dengan Decoupler

Pada Bab 3 penulis menjelaskan perhitungan untuk mendapatkan model proses dengan decoupler, beserta perbedaannya dengan model proses tanpa decoupler. Bab 3 juga berisi perancangan MPC baik dengan decoupler dan tidak, serta penerapannya dengan simulink.

4. Bab 4 Hasil Simulasi dan Analisis

Bab ini menampilkan hasil pengendalian MPC pada model proses baik yang belum didekople maupun yang sudah dengan decoupler. Penulis juga membandingkan hasil pengendalian antara sistem multivariable orde rendah dan sistem multivariable orde tinggi. Analisis dilakukan berdasarkan tuning parameter pengendali yang divariasikan. Perbandingan juga dilakukan pada sinyal referensi yang berbeda.

5. Bab 5 Kesimpulan dan Saran

(18)

BAB II DASAR TEORI

2.1 Sistem Tata Udara Presisi

2.1.1 Model Sistem PAC

Model sistem atau model proses merupakan bagian yang sangat penting dalam MPC. Model dari sebuah plant (PAC) memiliki kerumitan yang tinggi jika langsung diturunkan dari rumus termodinamika. Oleh karena itu, diperlukan proses identifikasi untuk mendapatkan model yang dapat mewakili karakteristik dari PAC. Model sistem dapat diturunkan dari metode N4SID, MOESP, PO- MOESP, dan metode lainnya. Setelah model proses yang tepat didapatkan, baru dapat dilakukan perancang pengendali MPC.

2.1.2 Penurunan Persamaan Model Proses

Model proses yang akan dikendalikan berupa sistem tata udara presisi.

Model ini didapatkan dengan beberapa asumsi yaitu[25]:

• Terjadi campuran udara di dalam evaporator, kondenser, dan lingkungan.

• Suhu di evaporator dianggap konstan

• Sisi udara di evaporator meliputi daerah kering (dry region) dan daerah basah (wet region)

• Volume udara sisi wet region 4 kali lipat volume udara di sisi dry region

• Pada kondenser hanya meliputi dry region

• Tekanan kompresor dan beban dianggap konstan

• Aliran refrigerant yang mengalir ke kondenser kedua dianggap sebesar 10% dari aliran refrigerant yang keluar dari kompresor (masuk dan keluar dari evaporator)

• Kecepatan aliran udara volumetric dalam sistem dianggap konstan.

(19)

Asumsi di atas dilanjutkan dengan menurunkan persamaan matematis dari model kompresor, model evaporator, model kondenser kedua, model udara masuk cabinet, dan model kabinet[25].

• Model Kompresor

Model kompresor yang digunakan pada sistem tata udara presisi dapat diperhitungkan dengan persamaan (2.1):

 =  1 + 0.015 

− 1 (2.1)

dimana,

= aliran massa refrigran total keluaran kompresor (kg/s)

 = kecepatan kompresor (rps)

 !" = swept volume kompresor ($%)

' = volume spesifik dari superheat refrigerant ($%/)*) + = tekanan kondensasi (kPa)

+ = tekanan evaporasi (kPa) , = indeks kompresi

Nilai dari swept volume didapatkan dari persamaan (2.2):

 !"=.- (2.2) dimana,

/= displacement volume kompresor ($%) 0 = jumlah silinder pada kompresor

• Model Evaporator

Evaporator pada PAC terdiri dari wet region dan dry region. Pada dry region, persamaan matematisnya ditunjukan dengan persamaan (2.3) berikut:

123435/6

/7 = 1234389:;<=<.− :5> = ?@5:A6BCDECFH G6 (2.3)

(20)

Wet region pada evaporator dapat diturunkan melalui persamaan (2.4):

12343H/6

/7 + 43HJ/K

/7 = 1234389:5− :5> + 438ℎJ(L;<=<. L5) + ?@H:A6G6H (2.4) L5=9M.M5NO6PGM.MOQ6GR.RNOR>

5MMM (2.5)

/K

/7 =(H×M.M5NO65MMMGM.MOQ)-T-U (2.6) Persamaan matematis pada dinding evaporator PAC dapat dijabarkan pada persamaan (2.7):

12A4AA/6V

/7 = ?@56BCDECFH G6− :A + ?@H6G6H − :A −

5(ℎ!− ℎ<) (2.7) dimana,

123 = kalor spesifik udara (kJ/kg°C)

12A = kalor spesifik dinding evaporator/kondenser (kJ/kg°C) 43 = kerapatan udara (kg/m3)

4A = kerapatan dinding evaporator/kondenser (kg/m3)

5 = volume sisi udara evaporator di dry region (m3)

H = volume sisi udara evaporator di wet region (m3)

A = volume sisi udara evaporator total (m3) 8 = kecepatan aliran udara volumetris (m3/s) J = kalor laten evaporasi udara (kJ/kg)

?@5 = perpindahan kalor keseluruhan di dry region evaporator (kW/°C)

?@H = perpindahan kalor keseluruhan di wet region evaporator (kW/°C)

L;<=<. = kelembaban spesifik udara di ruang pusat data (kg/kg) L5 = kelembaban spesifik udara keluaran evaporator (kg/kg) :;<=<. = suhu udara di ruang pusat data (°C)

:5 = suhu udara diantara dry region dan wet region evaporator (°C)

(21)

:5 = suhu udara keluaran evaporator (°C) :A = suhu dinding evaporator (°C)

5 = aliranmassa refrigran di evaporator (kg/s) (5 = ) < = entalpi di input evaporator (kJ/kg)

! = entalpi di output evaporator (kJ/kg)

• Model Kondenser Kedua

Berbeda dengan evaporator, kondenser hanya meliputi dry region.

Persamaan (2.8) merupakan persamaan matematis kondenser kedua dari sistem tata udara presisi.

12343A H/6P

/7 = 123438(:5− :H) + ?@%:A H6G6H P (2.8)

Dinding kondenser kedua dapat dijabarkan melalui persamaan (2.9):

12A4AA H/6VP

/7 = ?@%6G6H 2−:AX2 − H(ℎ! H− ℎ< H) (2.9) dimana,

A H = volume sisi udara kondenser kedua (m3)

?@% = perpindahan kalor keseluruhan di kondenser kedua (kW/°C) :H = suhu udara keluaran kondenser kedua (°C)

:A H = suhu dinding kondenser kedua (°C)

H = aliranmassa refrigran di kondenser kedua (kg/s) (H = 10% )

< H = entalpi di input kondenser kedua (kJ/kg) ! H = entalpi di output kondenser kedua (kJ/kg)

Udara keluar dari kondenser kedua melalui fan kemudian menuju ke kabinet. Kelembaban spesifik udara setelah melewati fan (L%) dianggap sama dengan kelembaban spesifik keluaran kondenser sekunder (LH), hal ini ditunjukkan oleh persamaan (2.10) [25]

L%= LH= L5 (2.10)

(22)

Persamaan (2.11) merupakan fungsi matematis model udara masuk (supply air):

:% =Z[\]Z\6PG^ [_

[\]\ (2.11) dimana,

:% = Suhu udara setelah melewati fan

`2a = heat dari fan (kW)

• Model Kabinet

Suhu kabinet memiliki persamaan matematis:

12343 ;b/6Bc

/7 = 123438(:%− : ;b) + `a!;/ (2.12) Persamaan matematis kelembaban kabinet:

43 ;b/KBc

/7 = 438(L%− L ;b) +  (2.13) dimana,

 ;b = volume kabinet (m3) : ;b = suhu udara kabinet (°C)

L ;b = Kelembaban spesifik udara kabinet (kg/kg)

`a!;/ = beban heat sensible dari peralatan

 = beban kelembaban di kabinet (kg/s)

Kelembaban relatif (d) dari sistem tata presisi diperoleh dari persamaan (2.14):

d =(M.eHHGK)K f (2.14) dengan,

+J= 0.6108ijk 6GH%l.%5l.Hl6 (2.15)

2.1.3 State Space Sebagai Model Proses

Perhitungan dari metode MPC dapat dicari dengan asumsi model proses bersifat linier sehingga persamaan model proses yang dipakai pada metode ini merupakan persamaan model ruang keadaan linier seperti di bawah ini:

(23)

j()) = @j()) + mn())

o()) = 1j()) + pn()) (2.16) di mana j ∈ ℝ0 merupakan vektor keadaan berdimensi orde (0), n ∈ $ merupakan vektor masukan sistem berupa sinyal kendali berdimensi jumlah masukan ($), o ∈ ℝk vektor keluaran sistem berdimensi jumlah keluaran (k) dan

@ ∈ ℝ0j0, m ∈ ℝ0j$, 1 ∈ ℝkj0, p ∈ ℝkj$ merupakan matriks parameter sistem.

Adanya matriks p menyatakan sistem memiliki direct feedthrough, yaitu masukan sistem (n) berpengaruh langsung terhadap keluaran sistem (o). Dalam hal ini, nilai horizon yang ditentukan harus memenuhi sk = sn jika p ≠ 0.

Sebaliknya, jika p = 0, maka nilai sk tidak harus sama dengan sn. Pada persamaan model proses di atas, diasumsikan tidak ada gangguan atau disturbance pada sistem[29].

2.2 Identifikasi Sistem

2.2.1 Identifikasi Model State space dengan Metode N4SID

Metode N4SID merupakan pengembangan dari metode identifikasi subspace. Metode ini dikembangkan oleh Van Overschee De Moor (1994, 1996) dengan cara mengidentifikasi sistem berdasarkan data-data masukan dan keluaran dengan menggunakan prosedur aljabar linear yang sederhana. Metode N4SID berbeda dengan metode klasik yang menghasilkan fungsi alih dari data-data masukan dan keluaran yang didapat dari sistem. Kemudian model state space didapatkan dengan teknik realisasi, serta menghitung state vektor dengan menggunakan Kalman Filter. Perbedaannya terletak pada alur penyelesaian, pada metode subspace, dengan teknik aljabar linear sederhana didapatkan state vector dari data-data masukan dan keluaran sistem. Dengan leastsquares, maka akan didapatkan model state space dan fungsi alih. Metode yang digunakan merupakan metode identifikasi subspace deterministic untuk sistem LTI diskrit.

Algoritma N4SID dapat dijelaskan sebagai berikut[28]:

(24)

1) Menghitung dekomposisi LQ dari Up, Uf, Yp, dan Yf dari persamaan (2.17)

t?

u2

v

w = xy55 0 0 yH5 yHH 0 y%5 y%H 0z t`56

`H6

`%6w (2.17) 2) Menghitung nilai { dari persamaan (2.18)

{ = |}||€ v|u2= y%HyHHu2= ‚ƒ„ (2.18) 3) Mengurai matriks dengan dekomposisi SVD dari persamaan(2.19)

{ = ?5 ?Hx…5 0 0 0 ⋱ 0 0 0 …<

z ‡5H66ˆ (2.19)

4) Menentukan nilai extended observability matriks ‚ƒ untuk mendapatkan parameter matrils A dan C

5) Menghitung nilai matriks B dan D dari persamaan (2.20) dan (2.21)

‰ƒ = 9y%5− y%HyHHyH5>y55=5

(2.20)

‰ƒ = t

p 0

1m p … 0

… 0

1@ƒ=Hm 1@ƒ=%m ⋱ ⋮

… p

w (2.21)

2.2.2 Identifikasi Model State space dengan Metode MOESP dan PO- MOESP

MOESP berbeda dengan N4SID, khususnya pada komponen yang akan diproyeksikan. Masukan dan keluaran selanjutnya diikutsertakan dalam metode N4SID. Sedangkan pada metode MOESP, hanya masukan dan keluaran lampau saja yang diproyeksikan. Berikut algoritma metode MOESP[28]:

1) Menghitung dekomposisi LQ dari Up dan Yp dengan persamaan(2.22):

‡?M|ƒ=5

vM|ƒ=5ˆ = Œ`6 = ‡Œ55 0

ŒH5 ŒHHˆ ‡``5H66ˆ (2.22)

2) Menghitung dekomposisi SVD dari menggunakan persamaan(2.23)

(25)

ŒHH= ?5 ?Hx…5 0 0 0 ⋱ 0 0 0 …<

z ‡5H66ˆ (2.23)

3) Menghitung nilai extended observability matriks dari persamaan (2.24) untuk menentukan parameter matriks A dan C.

‚ƒ = ?5. …55/H (2.24) 4) Menentukan nilai parameter B dan D dari persamaan (2.25)

?H6t

p 0

1m p … 0

… 0

1@ƒ=Hm 1@ƒ=%m ⋱ ⋮

… p

w = ?H6ŒH5Œ55=5

(2.25)

Metode identifikasi MOESP ini hampir sama dengan metode PO-MOESP.

Perbedaannya terletak pada noisenya. Metode MOESP mengasumsikan noise dari data sekarang ada hubungannya dengan noise data sebelumnya. Sedangkan pada metode PO-MOESP, noise data sekarang dan sebelumnya diasumsikan tidak saling mempengaruhi.

2.3 Desain Filter Kalman Sebagai Estimator Variabel Keadaan

Jenis observer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kalman Filter. Filter Kalman merupakan metode yang digunakan untuk merancang observer. Fungsi observer adalah sebagai estimator state atau variabel keadaan untuk desain kontroler. Estimator diperlukan karena di dalam semua sistem pasti terdapat faktor gangguan. Filter kalman dinilai mampu menangani gangguan, hal ini ditunjukkan dengan memenuhi syarat state yang diestimasi. Syarat tersebut meliputi: nilai rata-rata state yang diestimasi mendekati nilai state yang sebenarnya dan meminimalisir nilai variansi kesalahannya.

(26)

Gambar 2.1 Konsep Kalman Filter

Gambar 2.1 menunjukkan konsep filter kalman, dimana x merupakan nilai estimasi dan P merupakan kovarian error-nya. Nilai ƒ|ƒ didefinisikan sebagai a-posteoriori state estimate yaitu state yang diestimasi pada step k, yang didapatkan dari data sebelum step k. Sedangkan nilai ƒ|ƒ=5 merupakan a- posteoriori state estimate yaitu koreksi dari a-priori state estimate setelah hasil pengukuran didapatkan. Dalam proses inilah dapat dihitung nilai error, lalu kalman filter mengupdate estimasi state yang tidak diketahui dengan menggunakan informasi pada hasil pengukuran setiap waktu step k.

Pada filter kalman, terdapat proses error covariance propagation yaitu untuk menemukan pengaruh waktu terhadap matriks kovarian error. Caranya dengan menemukan perhitungan Pk|k jika diketahui Pk|k-1 dan menemukan perhitungan Pk|k-1 jika diketahui Pk-1|k-1. Hasil estimasi dapat dipercaya apabila nilai estimate error covariance semakin kecil.

Kalman filter pada pengendalian sistem tata udara presisi, digunakan untuk mengestimasi state j()) sebagai variable yang tak terukur. Nilai estimasi ini akan digunakan sebagai masukan dari pengendali MPC. State j()) yang diestimasi ini berupa matriks berukuran 8x1 berdasarkan penurunan dari model proses. Nilai j()) dapat dijabarkan sebagai berikut:

(27)

j =

Ž







j5()|)) H()|)) %()|)) R()|)) Q()|)) e()|)) l()|)) O()|))‘’’’’’’’“

(2.26)

dimana:

5()|)) = : ;b /Suhu cabinet (°C)

H()|)) = L ;b/Kelembaban relatif kabinet (kg/kg) %()|)) = :5/Suhu udara keluaran evaporator (°C)

R()|)) = :5′/Suhu udara antara dry region dan wet region evaporator (°C)

Q()|)) = :H/Suhu udara keluaran kondenser kedua (°C) e()|)) = :A/Suhu dinding evaporator (°C)

l()|)) = :A H/Suhu dinding kondenser kedua (°C)

O()|)) = L5/Kelembaban spesifik keluaran evaporator (kg/kg)

2.4 Model Predictive Control

2.4.1 Konsep Dasar MPC

Konsep dasar MPC dideskripsikan pada gambar 2.3:

- Memprediksi keluaran yang akan datang dalam rentang waktu tertentu (horizon) menggunakan model proses

- Menjaga keluaran proses agar nilainya mendekati trayektori acuan, dengan meminimasi fungsi criteria dan menghitung sinyal kendali - Sinyal kendali u(k|k) dikirim menuju proses dan sinyal kendali

berikutnya tidak digunakan (keluaran y(k+1) nilainya sudah diketahui). Langkah diulangi dari awal dengan sinyal kendali u(k+1|k+1) yang diperoleh dari konsep receding horizon. Strategi receding horizon dideskripsikan seperti pada gambar 2.2[26].

(28)

Gambar 2.2 Strategi receding horizon

Gambar 2.3 Diagram Blok MPC

2.4.2 Keunggulan MPC

Setiap jenis pengendali memiliki karakteristik maupun kemampuan yang berbeda-beda. Berikut merupakan kelebihan MPC dibandingkan jenis pengendali lain:

- Dapat diandalkan dalam berbagai proses baik linier maupun non-linier.

Mampu menangani proses yang kompleks, memiliki delay besar, non- minimum phase, bahkan untuk sistem yang tidak stabil

- Mengkompensasi waktu tunda (delay)

- Dapat memperhitungkan batasan (constraints)

(29)

- Dapat dimanfaatkan ketika sinyal referensi yang akan datang tidak diketahui

- Mengkompensasi gangguan yang tidak terukur (ketidakpastian sistem) melalui pengendali feed forward

- Cenderung mudah dalam penalaan serta implementasinya 2.4.3 Rumus Prediksi

Persamaan model proses (2.27) menyatakan nilai keluaran sistem dapat dicari dengan mendapatkan nilai keadaan (j) dan nilai masukan sistem (n) terlebih dahulu. Hal ini juga berlaku untuk mencari nilai keluaran prediksi sistem di mana estimasi keluaran prediksi bergantung pada nilai keadaan prediksi dan nilai masukan prediksi. Untuk itu, nilai estimasi keadaan prediksi j () + •|)) selama rentang prediction horizon (sk) perlu dihitung terlebih dahulu sebagai berikut [29].

j() + 1) = @j()) + –m )5— ‡n())1 ˆ

j() + 1|)) = @j()|)) + mn()|)) + )5

j() + 2|)) = @j() + 1|)) + mn() + 1|)) + )5

j() + 2|)) = @Hj()|)) + @mn()|)) + mn() + 1|)) + @)5+)5

j() + sk|)) = @j() + ˜k − 1|)) + mn() + sk − 1|)) + )5

j() + sk|)) = @™2j()|)) + @™2=5mn()|)) + @™2=5)5… + mn() + sk − 1|))+)5 (2.27)

Besaran n()|)) menyatakan nilai estimasi sinyal kendali prediksi saat ) untuk pencuplikan ). Notasi ini dipakai pada persamaan di atas karena saat estimasi keadaan prediksi, nilai n()) yang merupakan sinyal kendali saat ) belum diketahui. Selain nilai keadaan prediksi, nilai masukan prediksi n() + •|)) juga dibutuhkan untuk mencari nilai keluaran prediksi o() + •|)). Hanya saja pada perhitungan dengan metode MPC ini, nilai sinyal kendali yang dihitung selama

(30)

rentang control horizon adalah perubahan sinyal kendalinya (∆n() + •|))). Akan tetapi, nilai sinyal kendali prediksi bisa didapatkan dengan menggunakan persamaan(2.28):

n()) = ∆n()) + n() − 1) (2.28) Sehingga estimasi sinyal kendali prediksi n() + •|)) selama rentang control horizon (sn) dengan • = 0,…,sn − 1 adalah [29]:

n()|)) = ∆n()|)) + n() − 1|))

n() + 1|)) = ∆n() + 1|)) + ∆n()|)) + n() − 1|))

n() + sn − 1|)) = ∆n() + sn − 1|)) + ⋯ + ∆n() + 1|)) +

∆n()|)) + n() − 1|)) (2.29)

Nilai sinyal kendali yang telah didapat pada persamaan (2.29) dimasukkan ke persamaan (2.27) sehingga estimasi keadaan prediksi menjadi seperti pada persamaan (2.30) [2]:

j() + 1|)) = @j()|)) + mn()|)) + )5

= @j()|)) + m∆n()|)) + mn() − 1|)) + )5

j() + 2|)) = @j() + 1|)) + mn() + 1|)) + )5

= @Hj()|)) + @m∆n()|)) + @mn() − 1|)) + @)5+ m∆n() + 1|)) + m∆n()|)) + mn() − 1|)) + )5

= @Hj()|)) + 9@m + m>∆n()|)) + 9@m + m>n() − 1|)) + m∆n() + 1|)) + (@

+ 1))5

j() + 3|)) = @j() + 2|)) + mn() + 2|)) + )5

= @%j()|)) + 9@Hm + @m + m>∆n()|)) + 9@Hm + @m + m>n() − 1|)) + 9@m + m>∆n() + 1|)) + m∆n() + 2|)) + @H)5+ @)5+ )5

(31)

j() + sk|)) = @™2j()|)) + 9@™2=5+ ⋯ + @ + 1>m∆n()|)) + 9@™2=5+ ⋯ +

@ + 1)mn() − 1|)) + @™2)5+ ⋯ + m∆n() + sk − 1|)) + )5 (2.30)

Nilai perkiraan output dari sistem ditunjukkan pada persamaan (2.31) dan diuraikan lebih detail pada persamaan (2.32) dan (2.33).

o()) = 1j()) + –p )H— ‡n())1 ˆ (2.31)

o() + 1|)) = 1j() + 1|)) + pn() + 1|)) + )H o() + 2|)) = 1j() + 2|)) + pn() + 2|)) + )H

o() + 3|)) = 1j() + 3|)) + pn() + 3|)) + )H (2.32)

Peersamaan (2.33) merupakan hasil substitusi persamaan (2.27) ke persamaan (2.32)

to() + 1|)) o() + 2|)) o() + 3|))w =

t1 0 0 0 1 0 0 0 1w t

@

@H

@%w j()) +

t1 0 0 0 1 0

0 0 1w t m 0 0

@m + m m 0

@Hm + @m + m @m + m mw t ∆n()|))

∆n() + 1|))

∆n() + 2|))w +

t1 0 0 0 1 0

0 0 1w t m

@m + m

@Hm + @m + mw n() − 1) + t1 0 0 0 1 0

0 0 1w t )5

@)5+ )5

@H)5+ @)5+ )5

w +

tp p 0 0

p p p 0 p p p pw 

∆n()|))

∆n() + 1|))

∆n() + 2|))

∆n() + 3|))

ž + t)H

)H

)H

w

(2.33)

(32)

2.4.4 Fungsi Kriteria

Pemilihan parameter MPC dangat memperngaruhi performa strategi kontrol prediktif. Pada fungsi kriteria yang didefinisikan persamaan (2.34) horizon minimum diatur sebesar satu j=1. Hal ini karena nilai dead-time k tidak diketahui atau memiliki variasi, apabila k diketahui, horizon minimum harus lebih kecil dari k. Prediction horison (Hp) untuk proses yang memiliki waktu tunda atau delay, setidaknya memenuhi syarat Hp > delay.

'()) = ∑ ∑  o() + •|)) − ¡H¢£5 ™<£5[ ¢() + •|)) ^(<)H + ∑ ∑H¢£5 ™<£M\=5‖Δn() +

•|))‖¦(§)H (2.34)

dimana: ¡¢() + •|)) = reference trajectory

o() + •|)) = sinyal output dari proses untuk i-step ke depan

Δn() + •|)) = perubahan nilai sinyal kendali Hp = prediction horizon

Hu = control horizon

`(•), y(•) = bobot dari control signal

Persamaan (2.17) menunjukkan fungsi criteria dari pengendali prediktif.

Vektor error o() + •|)) − ¡¢() + •|)) diperhitungkan pada setiap pencuplikan sepanjang prediction horizon. Fungsi criteria ini merupakan bentuk MIMO dengan dua input dan dua output, sehingga ditambahkan fungsi sigma sebanyak variabel input dan output. Sedangkan perubahan sinyal kendali atau sinyal masukan menuju plant Δn() + •|)) diharapkan mendekati nol.

2.5 Relative Gain Array

Relative Gain Array (RGA) merupakan metode yang digunakan untuk menguji interaksi antarvariabel masukan dan keluaran. Metode ini diperkenalkan oleh Bristol dan digunakan untuk mencari pasangan masukan dan keluaran yang

(33)

terbaik untuk sistem multivariabel, yaitu masukan yang paling mempengaruhi keluaran pasangannya. Dengan memilih pasangan masukan dan keluaran terbaik, efek coupling antarvariabel bisa direduksi[29]. Perhatikan gambar berikut

Gambar 2.4 Struktur Masukan-Keluaran Bentuk P-Canonical

Gambar 2.4 memperlihatkan interaksi antarlup masukan-keluaran dalam bentuk feedforward coupling. Persamaan keluaran bentuk P-canonical tersebut adalah[29]:

o5= n5©55+ nH©5H

oH= n5©H5+ nH©HH

dengan © adalah fungsi alih proses.

Fungsi alih proses © memiliki gain tunak ˜. Diasumsikan nH konstan, maka perubahan n5 sebesar ∆n5 akan menghasilkan ∆o5 pada o5 sehingga gain antara n5 dan o5 saat nH konstan diberikan oleh [29]:

˜55|3P = ª∆o5

∆n5«

3P

Sekarang oH dibuat konstan menggantikan nH dengan menutup lup antara nH dan oH. Perubahan n5 sebesar ∆n5 akan menghasilkan perubahan o5 yang lain sehingga gain pada kondisi ini menjadi [29]:

˜55|¬P = ª∆o5

∆n5«

¬P

(34)

Walaupun kedua gain di atas didapat dengan variabel ∆n5 dan ∆o5

yang sama, nilai gain yang didapat bisa jadi berbeda karena kondisi sistem yang berbeda. Jika terjadi interaksi, maka kedua gain di atas akan mempunyai nilai yang berbeda dengan perbandingan [29]:

­55=˜55|3P

˜55|¬P

di mana ­55 merupakan gain relatif antara o5 dan n5.

Untuk sistem dengan jumlah masukan $ dan jumlah keluaran k (dengan ketentuan $ = k), terdapat ($ × k) elemen gain relatif antara keluaran o< dan masukan n5 yang diberikan oleh [29]:

­55=®®||\P

¯P=

ª °¯C°\±

\

ª °\±°¯C

¯

Dengan demikian, relative gain array (RGA) menjadi [29]:

Λ = x­55 … ­5"

­25 ⋯ ­2"

z

Untuk sistem dengan dua masukan dan dua keluaran, RGA-nya adalah Λ = ‡­55 ­5H

­H5 ­HHˆ dengan ketentuan ­5H = 1 − ­55, ­H5 = ­5H dan ­HH = ­55. Oleh karena itu, untuk sistem ini, gain relatif lainnya dapat diketahui dengan hanya menghitung satu elemen gain relatif. Prosedur untuk mencari RGA di atas merupakan prosedur eksperimen. Prosedur analitis dapat dilakukan jika model memiliki nilai tunak sehingga [29]:

o5 = ˜55n5+ ˜5HnH (2.35) oH= ˜H5n5+ ˜HHnH (2.36)

maka ˜55|3P= ª´¬´3µ

3P dan dengan mensubstitusi nH dari persamaan (2.36) ke (2.35) menghasilkan:

o5= ˜55n5+ ˜5H(¬P®PPP3) (2.37)

(35)

Kemudian, dengan menurunkan persamaan (2.37) terhadap n5 dan menjaga oH konstan didapat ˜55|3P= ª´¬´3

µ

¬P= ˜55− (®P®®P

PP ) sehingga gain relatif

­55 menjadi seperti pada persamaan (2.38) [29]:

­55=®®|\P

|¯P=5=(® 5

P®P)/(®®PP) (2.38) Berdasarkan gain tunak yang telah dihitung seperti di atas, RGA bisa didapatkan dengan persamaan (2.39):

Λ = K .∗ (KT)=5 (2.39)

Notasi ‘.*’ menunjukkan perkalian antarelemen dan K = x˜55 … ˜5"

˜25 ⋯ ˜2"

z

Hasil dari RGA yang didapat bisa dianalisis untuk mendapatkan pasangan masukan-keluaran terbaik dengan keterangan sebagai berikut [29]:

• ­ = 1. Tidak ada interaksi antarlup masukan-keluaran.

• ­ = 0. Masukan n< tidak mempengaruhi keluaran o¢.

• ­ = 0,5. Lup yang lain memiliki pengaruh yang sama kuat terhadap keluaran o¢. Ini merupakan kondisi terburuk karena walaupun pasangan masukan- keluarannya ditukar, tidak akan mengurangi efek coupling.

• 0,5 < ­ < 1. Terdapat interaksi antarlup tetapi ini merupakan pasangan terbaik untuk mengurangi efek coupling.

• 0 < ­ < 0,5. Terdapat interaksi antarlup dan n< tidak terlalu mempengaruhi o¢

sehingga pasangan masukan-keluaran harus ditukar.

• ­ > 1. Interaksi mempengaruhi efek gain dari lup kendali sehingga dibutuhkan gain pengendali yang lebih besar.

• ­ < 0. Nilai negatif mengindikasikan menutup lup kendali akan mengubah tanda dari gain sehingga terjadi ketidakstabilan untuk semua pengendali umpan balik.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun saran yang dapat diberikan secara akademik adalah perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai jumlah bakteri gingivitis pada prapubertas dan pubertas,

Berangkat dari kasus NII yang meresahkan warga Indonesia dengan ideologi barunya, maka muncullah keingintahuan yang besar dari penulis untuk memahami konstruksi

Riau memiliki Biodiversity yang tinggi, terutama dari Sumber Daya Alam hewani yang mempunyai manfaat sebagai salah satu unsur pembentuk lingkungan hidup yang

Melalui kegiatan penugasan, peserta didik mampu mengurutkan bilangan asli sampai 10 dari yang terkecil sampai yang terbesar dengan benar.. Melalui kegiatan penugasan, peserta

Sinonim jati berlaku apabila dua perkataan yang betul-betul sama pada makna sehingga anak jati bahasa tersebut tidak dapat membezakan antara keduanya dan bertukar ganti secara bebas

Pada penelitian ini, tingkat pendidikan dari para pekerja ojek online di Kota Kupang, baik laki- laki maupun perempuan juga relatif sama yaitu SMA/sederajat.. Faktor lain yang

seorang Ahmadi dari Kirgistan mengatakan dia Bai'at pada tahun 2007 tetapi karena mereka tidak memiliki masjid di negara asalnya, ia mendapat taufik untuk mengerjakan Shalat di

Skripsi difokuskan pada beberapa hal antara lain; miniaturisasi antena mikrostrip untuk bekerja pada frekuensi 2,6 – 2,7 GHz, membandingkan ukuran antena