• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN PROGRAM APU PPT BERBASIS RISIKO TERKAIT TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI TINDAK PIDANA ASAL (TPA) TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (TPPU)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN PROGRAM APU PPT BERBASIS RISIKO TERKAIT TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI TINDAK PIDANA ASAL (TPA) TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (TPPU)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Otoritas Jasa Keuangan 2021

PENERAPAN PROGRAM

APU PPT BERBASIS RISIKO

TERKAIT TINDAK PIDANA

KORUPSI SEBAGAI TINDAK

PIDANA ASAL (TPA)

TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG (TPPU)

BERISIKO TINGGI

(2)

A. LATAR BELAKANG

Pada tahun 2015, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bersama Kementerian dan Lembaga terkait telah menyelesaikan Penilaian Risiko Nasional (NRA) TPPU/TPPT dan ditindak-lanjuti dengan penyusunan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU/TPPT 2017-2019 guna memitigasi risiko TPPU/TPPT. Selanjutnya, Pengkinian Penilaian Risiko Indonesia terhadap Pencucian Uang (National Risk Assessment/NRA) Tahun 2015 Updated Tahun 2019 (NRA TPPU Updated Tahun 2019) dan Pengkinian Penilaian Risiko Indonesia Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Tahun 2021 (NRA TPPU 2021) mengidentifikasi TP Korupsi sebagai salah satu TPA domestik berisiko tinggi, yang masih sejalan dengan hasil NRA tahun 2015.

Dalam rangka merespon hal tersebut, PPATK bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian RI dan Kejaksaaan Agung RI menginisiasi penyusunan Dokumen Sectoral Risk Assessment (SRA) TPPU – Korupsi (SRA TP Korupsi) untuk menjadi dasar penyusunan dan pengambilan kebijakan strategis, secara khusus bagi aparat penegak hukum dan referensi bagi Lembaga Pengawas dan Pengatur (LPP) serta Pihak Pelapor dalam Rezim APU PPT. Penilaian SRA atas TPPU pada TP Korupsi dimaksudkan untuk mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi, dan memitigasi risiko TPPU sektor korupsi, yang bertujuan untuk mengetahui:

a. Melakukan identifikasi dan analisis risiko TPPU pada sektor korupsi berdasarkan rumusan tindak pidana korupsi.

b. Melakukan identifikasi dan analisis risiko TPPU pada sektor korupsi berdasarkan profil pelaku tindak pidana korupsi.

c. Melakukan identifikasi dan analisis risiko TPPU pada sektor korupsi berdasarkan wilayah atau propinsi terjadinya tindak pidana korupsi

Selanjutnya, dalam rangka melakukan upaya mitigasi risiko dimaksud melalui peningkatan penerapan program APU PPT berbasis risiko terkait TP Korupsi, pada pedoman ini akan dibahas cakupan sebagai berikut:

a. Lingkup TP Korupsi sesuai Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Pidana Korupsi yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001;

b. Beberapa modus pencucian uang hasil TP Korupsi yang umum dilakukan berdasarkan SRA TP Korupsi;

c. Hasil SRA TP Korupsi berdasarkan jenis/bentuk TP Korupsi, profil pelaku kejahatan, dan wilayah;

d. Indikator atau Red flag Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM) yang berindikasi TP Korupsi berdasarkan Laporan Hasil Riset Tipologi Semester 1 Tahun 2016 yang disusun oleh PPATK;

e. Panduan umum dalam penerapan program APU PPT berbasis risiko sebagai upaya mitigasi risiko atas TP Korupsi sebagai TPA TPPU berisiko tinggi berdasarkan Best Practice Paper-The Use of The FATF Recommendations to Combat Corruption; dan

f. Contoh kasus terkait TP Korupsi.

(3)

B. TINDAK PIDANA KORUPSI

Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus. Kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Korupsi. Korupsi dapat berarti lembaga ekstra-legal yang digunakan individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapatkan pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Karena itu, eksistensi korupsi jelas mengidentifikasi bahwa hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain. Selain itu, korupsi juga berarti penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintah untuk mendapatkan tambahan pendapatan dari publik. Dengan demikian, kedudukan publik telah dijadikan lahan bisnis, yang selalu akan diusahakannya untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya.

Tindak pidana korupsi adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta ketentuan hukum lainnya, yang mana dalam ketentuan hukum tersebut disebutkan bahwa perbuatan tertentu sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum dimaksud merupakan tindak pidana korupsi.

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi dijelaskan dalam 13 pasal dalam UU No.

20 Tahun 2001 ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk/ jenis TP Korupsi yang menerangkan perbuatan yang dapat dikenakan pidana penjara karena korupsi yaitu:

Tabel 1

30 Jenis Tindak Pidana Korupsi No

Bentuk/Jenis Tindak Pidana

Korupsi Perbuatan Korupsi

1 Pasal 2 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

2 Pasal 3; Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima

(4)

No

Bentuk/Jenis Tindak Pidana

Korupsi Perbuatan Korupsi

puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

3 Pasal 5 ayat (1) huruf a;

Pasal 5 ayat (1) huruf b;

Pasal 5 ayat (2);

1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara

karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

2. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

4 Pasal 6 ayat (1) huruf a;

Pasal 6 ayat (1) huruf b;

Pasal 6 ayat (2)

1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau

b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

2. Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

5 Pasal 7 ayat (1) huruf a;

Pasal 7 ayat (1) huruf b;

Pasal 7 ayat (1) huruf c;

Pasal 7 ayat (1)

1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang

(5)

No

Bentuk/Jenis Tindak Pidana

Korupsi Perbuatan Korupsi

huruf d;

Pasal 7 ayat (2)

dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang

keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

2. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

6 Pasal 8 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

7 Pasal 9 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

8 Pasal 10 huruf a;

Pasal 10 huruf b;

Pasal 10 huruf c;

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat

(6)

No

Bentuk/Jenis Tindak Pidana

Korupsi Perbuatan Korupsi

yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau

b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

9 Pasal 11 Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) danp aling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

10 Pasal 12 huruf a;

Pasal 12 huruf b; Pasal 12 huruf c; Pasal 12 huruf d; Pasal 12 huruf e; Pasal 12 huruf f; Pasal 12 huruf g; Pasal 12 huruf h; Pasal 12 huruf i;

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang- undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa

(7)

No

Bentuk/Jenis Tindak Pidana

Korupsi Perbuatan Korupsi

seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau

i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

11 Pasal 12 B jo.

Pasal 12 C

Pasal 12 B

1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 12 C

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga

(8)

No

Bentuk/Jenis Tindak Pidana

Korupsi Perbuatan Korupsi

puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

5. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

6. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undangundang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

12 Pasal 13 Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi dikategorikan sebagai tindakan setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah tindakan menguntungkan diri sendiri dan orang lain yang bersifat busuk, jahat, dan merusakkan karena merugikan negara dan masyarakat luas. Pelaku korupsi dianggap telah melakukan penyelewengan dalam hal keuangan atau kekuasaan, pengkhianatan amanat terkait pada tanggung jawab dan wewenang yang diberikan kepadanya serta pelanggaran hukum.

Menurut UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Pidana Korupsi yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 menetapkan 7 (tujuh) jenis Tindak Pidana Korupsi yaitu:

a. Korupsi terkait kerugian keuangan negara;

b. Suap-menyuap;

c. Penggelapan dalam jabatan;

d. Pemerasan;

e. Perbuatan curang;

f. Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan g. Gratifikasi.

Hal ini penting diketahui sebagai upaya memahami korupsi sebaga tindak pidana yang mengandung konsekuensi hukum.

(9)

Tabel 2

Bentuk-bentuk Korupsi No Bentuk

Korupsi Pasal Terkait Perbuatan Korupsi 1 Kerugian

Keuanga n Negara

Pasal 2

Pasal 3

Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi;

Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada.

2 Suap Menyuap

Pasal 4 ayat (1) huruf a

Pasal 4 ayat (1) huruf b

Pasal 13

Pasal 5 ayat (2)

Pasal 12 huruf a

Pasal 12 huruf b

Pasal 11

Pasal 6 ayat (1) huruf a

Pasal 6 ayat (1) huruf b

Pasal 6 ayat (2)

Pasal 12 huruf c

Pasal 12 huruf d

Pasal 2

Pasal 3

Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

Bagi Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya;

Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara;

Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara;

Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memepengaruhi putusan perkara.

3 Penggelapan dalam Jabatan

Pasal 8

Pasal 9

Pasal 10 huruf a

Pasal 10 huruf b

Pasal 10 huruf c

Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau uang/ surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut;

Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan

(10)

No Bentuk

Korupsi Pasal Terkait Perbuatan Korupsi adminstrasi;

Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya;

Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut;

Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut;

4 Pemerasan Pasal 12 huruf e

Pasal 12 huruf g

Pasal 12 huruf h

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima atau memotong pembayaran kepada Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

(11)

No Bentuk

Korupsi Pasal Terkait Perbuatan Korupsi 5 Perbuatan

Curang

Pasal 7 ayat (1) huruf a

Pasal 7 ayat (1) huruf b

Pasal 7 ayat (1) huruf c

Pasal 7 ayat (1) huruf d

Pasal 7 ayat (2)

Pasal 12 huruf h

Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau menyerahkan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang;

Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI atau Kepolisian Negara RI melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang;

Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI atau Kepolisian Negara RI melakukan perbuatan curang dengan sengaja membiarkan perbuatan curang.

6 Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan

Pasal 12

huruf i Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

7 Gratifikasi Pasal 12 B jo.

Pasal 12 C Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban tugasnya.

Adapun Tindak Pidana Lain Yang Berkaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi adalah:

a. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi;

b. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar;

c. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka;

d. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu;

e. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu;

f. Saksi yang membuka identitas pelapor.

C. TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI

Pemerintah Republik Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 dan telah dilakukan penyesuaian- penyesuaian kembali terhadap langkah-langkah strategis yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Berdasarkan pasal 2 ayat (1) huruf a UU Nomor 8 Tahun 2010 disebutkan bahwa hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Sehingga pelaku tindak pidana korupsi juga diharapkan dapat dituntut dengan menggunakan UU TPPU dengan harapan dapat menjadi

(12)

cambuk bagi pelaku untuk tidak melakukan tindakan melawan hukum, yakni untuk memberikan efek jera agar mereka tidak mengulangi perbuatannya.

UU TPPU memberikan kewenangan bagi para penegak hukum, untuk melakukan penyidikan TPPU terhadap kasus-kasus korupsi yang didalamnya terdapat unsur-unsur TPPU yang dilakukan oleh para koruptor sehingga upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU dapat dilakukan dengan mengedepankan asset recovery atau pengembalian uang dan asset hasil dari tindak pidana korupsi.

Beberapa modus pencucian uang hasil tindak pidana korupsi yang umum dilakukan oleh para pelaku adalah sebagai berikut:

a. Penggunaan Badan Hukum dan Trust.

Uang hasil tindak pidana korupsi diinvestasikan pada sebuah Badan Hukum, shell company, trust, atau badan non-profit lainnya sebagai upaya penyamaran asal usul hasil tindak pidana. Badan hukum, shell company, trust, atau badan non-profit digunakan untuk menyembunyikan identitas beneficial owner.

b. Penggunaan Gatekeepers.

FATF menyebutkan bahwa “Gatekeepers are, essentially, individuals that ‘protect the gates to the financial system through which potential users of the system, including launderers, must pass in order to be successful”. Gatekeeper dapat didefinisikan sebagai berbagai profesi di bidang Keuangan atau hukum dengan keahlian, pengetahuan, dan akses khusus kepada sistem global, yang memanfaatkan keahlian mereka untuk menyembunyikan hasil korupsi.

c. Penggunaan Lembaga Keuangan Domestik

Lembaga Keuangan Domestik digunakan sebagai sarana pengaburan uang hasil tindak pidana korupsi, melalui penempatan dan pemindahan dana. Langkah-langkah yang perlu dilakukan Lembaga Keuangan adalah pelaksanaan Enhance Due Diligence (EDD) baik kepada PEPs asing maupun domestik.

d. Menggunakan Offshore / Yurisdiksi Asing

Dalam rangka pengaburan asset hasil korupsi, PEPs melakukan pemindahan uang ke luar negeri. Uang ini biasanya dipindahkan dari negara-negara berkembang ke lembaga Keuangan di negara maju atau negara-negara dengan iklim yang stabil untuk investasi e. Penggunaan Nominees

Teknik ini digunakan untuk mengaburkan identitas orang-orang yang mengendalikan dana hasil kejahatan. Pada beberapa studi kasus menyebutkan, PEP menggunakan nama dari close associates, teman atau anggota keluarga untuk menyamarkan dan memindahkan hasil korupsi. Sebagai contoh adalah pelaksanaan transaksi bisnis dan kepemilikan asset yang dilakukan nominee atas nama PEP.

f. Penggunaan Uang Tunai

Penggunaan uang tunai, dan penempatannya ke dalam sistem keuangan, telah lama diidentifikasi sebagai metode untuk Pencucian uang hasil kejahatan. Penggunaan uang tunai memungkinkan dampak yang lebih besar karena sifat anonim dari uang tunai serta tidak adanya jejak perpindahan dana.

(13)

D. HASIL PENILAIAN RISIKO TPPU PADA TINDAK PIDANA KORUPSI

a. Tingkat Risiko TPPU berdasarkan Jenis/Bentuk Tindak Pidana Korupsi

Tingkat risiko TPPU-korupsi dinilai berdasarkan jenis bentuk/ jenis TP Korupsi sehingga dapat diketahui mana yang berisiko tinggi. Sebagaimana UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat beberapa bentuk/jenis TP Korupsi yang terbanyak kasusnya di Indonesia yaitu:

Kerugian Keuangan Negara;

Suap Menyuap;

Penggelapan Dalam Jabatan;

Pemerasan;

Perbuatan Curang;

Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan; dan

Gratifikasi.

Berdasarkan hasil pengukuran, analisis terhadap seluruh faktor risiko dihasilkan peta risiko TPPU berdasarkan bentuk/jenis tindak pidana korupsi sebagai berikut:

Gambar 1

Peta Risiko TPPU menurut Jenis Tindak Pidana Korupsi

Bentuk/jenis tindak pidana korupsi berisiko Tinggi terhadap terjadinya TPPU-korupsi adalah Kerugian Keuangan Negara dan Suap Menyuap. Sementara bentuk/ jenis tindak pidana korupsi yang berisiko Rendah TPPU Korupsi adalah penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang dan benturan kepentingan dalam pengadaan.

Tingkat risiko bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang tinggi pada Kerugian Keuangan Negara, terutama dipengaruhi banyaknya kasus karena umumnya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia berhubungan dengan perbuatan memperkaya diri sendiri serta menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada. Sedangkan risiko yang tinggi pada Suap Menyuap berkaitan dengan profil pelaku tindak pidana korupsi yang umumnya dapat diberikan hadiah atau janji karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan jabatan profil pelaku.

(14)

b. Tingkat Risiko TPPU berdasarkan Profil Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Penilaian tingkat risiko TPPU berdasarkan jenis profil pelaku dilakukan untuk mengetahui profil (jenis profesi/pekerjaan) yang paling berisiko tinggi yaitu terdiri dari 13 (tiga belas) profil, yaitu: pengusaha/wiraswasta, pegawai swasta, pedagang, ibu rumah tangga, PNS (termasuk pensiunan), pelajar/mahasiswa, profesional dan konsultan, pejabat lembaga legislatif, yudikatif dan pemerintah, TNI/Polri (termasuk pensiunan), pengurus dan pegawai yayasan/lembaga berbadan hukum lainnya, pengajar dan dosen, pegawai BI/BUMN/BUMD (termasuk pensiunan) dan lain-lain.

Berdasarkan hasil pengukuran, analisis terhadap seluruh faktor risiko dihasilkan peta risiko TPPU berdasarkan profil pelaku tindak pidana korupsi sebagai berikut:

Gambar 2

Peta Risiko TPPU menurut Profil Pelaku Tindak Pidana Korupsi

Profil pelaku yang berisiko tinggi terhadap terjadinya TPPU-korupsi adalah:

Pejabat lembaga legislatif, yudikatif dan pemerintah,

PNS (termasuk pensiunan),

Profesional dan konsultan,

TNI/Polri (termasuk pensiunan) serta

Pegawai BI/BUMN/ BUMD (termasuk pensiunan).

Tingkat risiko yang tinggi pada profil pelaku tersebut, terutama disebabkan banyaknya jumlah kasus korupsi yang cukup tinggi serta rata-rata nominal kasus korupsi berdasarkan dokumen putusan untuk profil tersebut.

c. Tingkat Risiko TPPU berdasarkan Wilayah

Penilaian tingkat risiko TPPU berdasarkan wilayah dilakukan untuk mengetahui wilayah paling berisiko tinggi terjadinya kasus TPPU Korupsi. Seluruh propinsi di Indonesia menjadi obyek penilaian berdasarkan tingkat ancaman (threat), kerentanan (vulnerability) dan dampak (consequence) masing-masing provinsi.

(15)

Berdasarkan hasil pengukuran, analisis terhadap seluruh faktor risiko dihasilkan peta risiko TPPU berdasarkan wilayah terjadinya tindak pidana koupsi sebagai berikut:

Gambar 3

Peta Risiko TPPU menurut Wilayah

Wilayah yang berisiko tinggi terhadap terjadinya TPPU Korupsi adalah:

DKI Jakarta;

Jawa Timur dan

Jawa Barat.

Hal tersebut disebabkan jumlah kasus korupsi yang cukup signifikan pada propinsi tersebut serta aspek dampak yang diukur berdasarkan jumlah rata-rata nominal kasus korupsi berdasarkan dokumen putusan yang cukup tinggi pada propinsi tersebut.

Mitigasi risiko yang dilakukan terhadap area yang berisiko tinggi yaitu:

- Jangka pendek: pelaksanaan dilakukan proses hukum dan/ atau memberikan dukungan dalam proses penegakan hukum kepada aparat penegak hukum lain pada area berisiko tinggi berdasarkan hasil penilaian risiko

- Jangka menengah: melakukan penambahan penyidik

- Jangka Panjang: merealisasikan proses penegakan hukum terpadu atas tindak pidana korupsi

E. REKOMENDASI

Rekomendasi yang diberikan dalam SRA TP Korupsi adalah sebagai berikut:

1 Melaksanakan mitigasi teknis yang terkait langsung dengan tindak pidana korupsi yang paling berisiko TPPU yaitu Kerugian Keuangan Negara dan Suap Menyuap.

2 Mengefektifitaskan proses penegakan hukum pada tindak pidana korupsi dan pencucian uang melalui penguatan unit-unit terkait penegakan hukum dalam rangka reformasi birokrasi dan transformasi kelembagaan.

3 Penguatan kerjasama dan koordinasi antara para aparat penegak hukum dan juga lembaga-lembaga terkait guna mengatasi keterbatasan informasi maupun untuk

(16)

mendukung percepatan penanganan Tindak Pidana Korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang

4 Pembangunan Sumber Daya Manusia penyidikan TPPU yang cakap dengan jumlah yang proposional berbasis penilaian risiko melalui training, diklat, short course, dll.

5 Guna menghindari dan menurunkan angka kejahatan korupsi, khususnya suap meyuap dan gratifikasi, diperlukan adanya regulasi tentang pembatasan transaksi uang tunai atau regulasi yang mewajibkan transaksi nontunai. Selain itu, diperlukan pula peraturan yang mengatur peredaran mata uang asing di Indonesia, khususnya mata uang yang nilainya kuat seperti dolar AS dan dolar Singapura dengan menerapkan EDD secara lebih ketat, mengingat dimungkinkan juga penggunaan uang tunai mata uang asing.

6 Diperlukannya peraturan yang komprehensif dan rinci mengatur tentang perampasan asset, baik dalam yuridiksi nasional maupun yang telah terintegrasi di luar kompetensi penegakan hukum Indonesia yang terkait dengan tindak pidana korupsi. Hal ini diperlukan agar seluruh aparat penegak hukum memiliki pemahaman yang baik terkait dengan proses pelaksanaan perampasan aset.

F. INDIKATOR (RED FLAG) TRANSAKSI KEUANGAN MENCURIGAKAN

Berikut Indikator (Red Flag) Transaksi Keuangan mencurigakan dengan Indikasi Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Laporan Hasil Riset Tipologi PPATK Semester 1 Tahun 2016:

1. Indikator yang sudah ada dalam SE-03/1.02/PPATK/05/15

a. Pengguna Jasa melakukan transaksi dengan nilai signifikan yang tidak sesuai dengan profilnya;

b. Pertukaran atau pembelian mata uang asing dalam jumlah relatif besar;

c. Transasksi yang dilakukan secara tunai dalam jumlah di luar kebiasaan yang dilakukan Pengguna Jasa;

d. Pembayaran angsuran atau uang muka (downpayment) dilakukan oleh pihak lain yang tidak memiliki hubungan yang jelas dengan Pengguna Jasa:

e. Transaksi yang dilakukan dalam jumlah relatif kecil namun dengan frekuensi yang tinggi (structuring);

f. Pembayaran uang muka dalam jumlah besar secara tunai yang tidak sesuai dengan profil nasabah;

g. Pembukaan rekening deposito dengan menyetorkan dana dengan nilai signifikan di luar profil;

h. PJK mendapat informasi dari sumber yang dapat dipercaya (PPATK, Lembaga Pengawas dan Pengatur, apparat penegak hukum, media massa atau sumber lainnya) bahwa Pengguna Jasa diduga terlibat dalam aktivitas illegal dan/atau memiliki latar belakang tindak kriminal;

i. Tidak terdapat hubungan yang jelas antara Pengguna Jasa dengan pemegang Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor;

j. Penggunaan Jasa Pengurus atau Pemilik Pengguna Jasa diduga menggunakan dana hasil tindak pidana;

k. Pengajuan transaksi kredit investasi yang dilakukan oleh Koperasi dengan jaminan hanya berupa invoice atas jual beli tanpa adanya dokumen dan bukti realisasi jual beli tersebut;

(17)

l. Transaksi tampak tidak sesuai atau tidak konsisten dengan aktivitas atau kegiatan bisnis Pengguna Jasa;

m. Transaksi dilakukan dengan menggunakan beberapa rekening atas nama individu yang berbeda-beda untuk kepentingan (smurfing);

n. Dana dalam jumlah besar yang baru saja disetorkan kemudian diambil secara tiba- tiba, kecuali apabila terdapat alasan yang jelas atas penarikan secara tiba-tiba tersebut;

o. Pembayaran premi asuransi dilakukan melalui rekening pihak lain untuk polis atas nama Pengguna Jasa, dimana pihak lain tersebut menjalankan perintah atas instruksi dari pemilik perusahaan yang memiliki keterkaitan dengan kewenangan pengguna Jasa;

p. Pembayaran premi tambahan (top up) asuransi dari rekening pihak lain yang tidak tercantum dalam polis.

2. Indikator yang belum ada dalam SE-03/1.02/PPATK/05/15

a. Pemindahan dana kepada pihak yang tidak mempunyai hubungan bisnis yang jelas;

b. Pengguna jasa (pengusaha) menyetorkan dana dalam jumlah yang besar dimana rekening tersebut dimanfaatkan oleh pihak lain (pejabat) dengan melakukan penarikan ATM di lokasi yang berbeda dalam frekuensi yang tinggi;

c. Pengguna jasa (pengusaha) menyetorkan dana dalam jumlah yang besar ke rekening pihak lain dimana rekening tersbut dan kartu ATM dimanfaatkan oleh pejabat dengan melakukan penarikan ATM di lokasi yang berbeda-beda dalam frekuensi yang tinggi;

d. Pembayaran untuk pelunasan pembelian asset dilakukan oleh pihak lain yang tidak memiliki hubungan yang jelas dengan Pengguna Jasa;

e. Pencairan kredit modal kerja kepada Pengguna Jasa (rekanan pemerintah) dimana pengajuannnya tanpa adanya jaminan Surat Perintah Kerja (SPK) dan Surat Kontrak Kerja, karena adanya intervensi dari Pejabat Pemerintah Pemberi Kerja;

f. Penutupan polis asuransi oleh Pengguna Jasa (pejabat) dengan nominal besar dimana pembayaran pencairan polis asuransi tersebut ditransfer ke rekening Pengguna Jasa di bank yang berbeda-beda;

g. Pengguna jasa melakukan transaksi setor tunai via mesin setor tunai/Cash Deposit Machine (CDM) dengan frekuensi tinggi dan jumlah yang signifikan yang dilakukan dalam jangka waktu yang berdekatan.

G. PANDUAN UMUM

Mengingat bahwa profil pelaku kejahatan yang berisiko tinggi dimaksud mayoritas termasuk sebagai Politically Exposed Person (PEP), maka sebagaimana diatur pada Peraturan OJK (POJK) Nomor 12/POJK.01/2021/2017 tentang Penerapan Program APU PPT di Sektor Jasa Keuangan sebagaimana diubah dengan POJK Nomor 23/POJK.01/2019 (POJK APU PPT) perlu diperhatikan bahwa:

a. Berdasarkan definisi, PEP terdiri atas PEP Asing, PEP Domestik, dan orang yang diberi kewenangan untuk melakukan fungsi penting (prominent function) oleh organisasi internasional.

(18)

b. PJK wajib memiliki sistem manajemen risiko yang memadai untuk menentukan apakah Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner/BO), atau Walk in Customer (WIC) dalam kategori PEP termasuk dalam kriteria berisiko tinggi. Selain itu, PJK wajib melakukan penilaian untuk menentukan Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC adalah PEP.

c. Terhadap PEP Asing, PJK wajib menunjuk pejabat senior yang bertanggung jawab atas hubungan usaha dengan Nasabah, BO, atau WIC tersebut.

d. Dalam hal Calon Nasabah, Nasabah, BO, atau WIC tergolong berisiko tinggi, termasuk PEP, PJK wajib melakukan Enhanced Due Diligence (EDD). Ketentuan yang berlaku bagi PEP, berlaku pula bagi anggota keluarga atau pihak yang terkait (close associates) dari PEP.

e. PJK wajib membuat daftar tersendiri (database) Calon Nasabah, Nasabah, Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), atau WIC yang memenuhi kriteria berisiko tinggi, termasuk nasabah yang tergolong PEP.

Dalam pelaksanaan EDD, PJK harus melakukan pengkinian yang lebih sering dan pemantauan lebih ketat dimana apabila terjadi penyimpangan transaksi dan pola transaksi yang menyimpang dari kebiasaan, maka PJK harus melakukan analisis yang lebih mendalam dan dilaporkan sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM). Perlu diperhatikan pula dalam melakukan TPPU dengan TPA Korupsi, pihak yang terlibat tidak hanya PEP, tetapi mencakup pula Profesional/konsultan sebagaimana profil risiko berisiko tinggi berdasarkan SRA TP Korupsi atau Pengusaha/Wiraswasta yang memiliki proyek yang terkait. Oleh karena itu, PJK perlu memastikan bahwa pelaksanaan kategori nasabah, Customer Due Diligence (CDD), dan pemantauan transaksi terhadap jenis profil tersebut telah memadai.

Lebih lanjut, berikut adalah Panduan Umum dalam penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT) berbasis risiko sebagai upaya mitigasi risiko atas Tindak Pidana Korupsi sebagai TPA TPPU berisiko tinggi, yang mengacu pada dokumen POJK APU PPT dan Best Practice Paper The Use of The FATF Recommendations to Combat Corruption (October 2013):

Kecukupan Kebijakan dan Prosedur serta Penerapan Manajemen Risiko

a. PJK wajib mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko TPPU, dan mengambil tindakan yang memadai untuk memitigasi risiko tersebut. Penilaian risiko yang komprehensif ini harus mempertimbangkan risiko terkait pencucian yang berasal dari TP Korupsi. Penilaian risiko ini memberikan informasi kepada PJK untuk memahami bagaimana pelaku korupsi mencuci hasil kejahatannya.

Adapun faktor risiko relevan TP Korupsi yang perlu dipertimbangkan oleh PJK untuk menetapkan kriteria yang berisiko tinggi adalah:

1) Polliticaly Exposed Person (PEP) dan penyamaran kepemilikan dari sumber dana hasil korupsi

Kewenangan dan posisi seseorang sebagai PEP atau orang yang atau telah diberikan kepercayaan untuk mengemban fungsi publik, memiliki potensi yang besar untuk disalahgunakan untuk melakukan pencucian uang yang terkait dengan hasil TP Korupsi.

Penyamaran kepemilikan dan sumber dana yang berasal dari TP Korupsi yang dilakukan oleh pelaku korupsi

2) Legal persons dan Legal arrangements

(19)

Kemudahan membuat dan membubarkan badan hukum, legal arrangement, trust, atau non-profit organizations dapat dimanfaatkan untuk melakukan pencucian uang.

Risiko ini akan semakin meningkat ketika badan hukum, legal arrangement, trust, atau non-profit organizations multi struktur dengan multi yurisdiksi, dimana tidak ada dasar hukum atau alasan ekonomi yang mendasarinya. Dalam beberapa kasus, pelaku korupsi menjadi pihak yang mengenalikan dari sebuah badan hukum dan berupaya mengaburkan sumber atau tujuan dana atau transaksi yang digunakan untuk penyuapan.

3) Penggunaan Uang Tunai

Pelaku korupsi dapat memanfaatkan anggota keluarga atau close associate yang bertindak untuk membawa uang untuk dimasukan kedalam sistem keuangan, baik domestik maupun dipindahkan ke negera lain.

4) Penggunaan Lembaga Keuangan dan Entitas Publik

Pelaku korupsi dimungkinkan untuk memiliki pengendalian atas lembaga keuangan dan entitas publik, mempertimbangkan hubungan (koneksi) dan status mereka ke berbagai pihak baik di negaranya maupun di negara lain. Hal ini akan memudahkan pelaku korupsi untuk mencuci uang hasil kejahatannya melalui sistem keuangan.

5) Sektor Ekonomi

Korupsi dapat terjadi dimanapun termasuk pada sektor ekonomi, baik barang maupun jasa. Salah satunya adalah penyuapan atau korupsi pada proses pengadaan barang.

6) Kurangnya pertukaran informasi antar negara

Kurangnya pertukaran informasi antar negara yang dapat menghambat proses penegakan hukum termasuk yang berkaitan dengan korupsi. Hal ini mengingat bahwa pelaku korupsi selalu berupaya memindahkan dana hasil kejahatannya untuk dilakukan pencucian yang ke luar negeri atau yurisdiksi lain.

7) Risiko Yurisdiksi

PJK harus mempertimbangkan tingkat korupsi dari yurisdiksi yang terlibat dalam transaksi nasabah. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat risiko suatu yurisdiksi adalah tingkat penerapan program APU PPT yang diakui secara internasional, termasuk Rekomendasi FATF serta instrument lain seperti Corruption Perception Index (CPI), UNCAC, OECD Convention on Combating Bribery dan the Council of Europe’s Group of States against Corruption (GRECO).

b. Penyedia Jasa Keuangan (PJK) wajib memiliki kebijakan, praktik dan prosedur yang memadai, termasuk aturan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) yang ketat, yang mengedepankan standar etika dan profesional yang tinggi di sektor keuangan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mencegah PJK digunakan, baik sengaja maupun tidak, oleh unsur-unsur kriminal.

Pengawasan Aktif Direksi

c. Dewan Direksi PJK harus menetapkan kriteria untuk menentukan negara, bisnis/usaha, dan nasabah yang berisiko tinggi mengacu pada dokumen National Risk Assessment (NRA) dan Sectoral Risk Assessment (SRA). TKM biasanya berasal dari transaksi yang berhubungan dengan entitas berisiko tinggi tersebut.

Identifikasi dan Verifikasi Nasabah

(20)

d. PJK wajib melakukan Customer Due Diligence (CDD) secara memadai terhadap calon nasabah, nasabah, dan pemilik manfaat baik pada saat membuka hubungan usaha maupun pada saat transaks dilakukan, sesuai dengan tingkat risikonya. Enhanced Due Diligence (EDD) dilakukan apabila nasabah teridentifikasi memiliki tingkat risiko pencucian yang tinggi khususnya terkait TP Korupsi. Informasi yang harus diperoleh PJK dalam melakukan CDD mencakup identitas, pekerjaan atau bisnis, pendapatan normal, rekening lain yang dimiliki, transaksi keuangan normal, tujuan pembukaan rekening, termasuk informasi pihak terkait nasabah. Pelaksanaan CDD yang memadai ini memungkinkan PJK untuk memitigasi risiko penyamaran kepemilikan atau sumber dana hasil korupsi. Selain itu, CDD yang memadai akan memberikan Informasi yang baik bagi penegak hukum dalam proses penyidikan dan penuntuan atas kasus korupsi.

Transparasi BO pada Legal Person dan Legal Arrangement

e. Badan hukum memberikan peluang yang menarik bagi pelaku korupsi untuk mencuci hasil kejahatan mereka. Berbagai kasus menunjukan bahwa pelaku korupsi mencuci uang dengan mendirikan perusahaan atau badan hukum lainnya untuk menghindari deteksi dan melakukan penyamaran asal usul dana. Dalam hal ini, PJK harus mengambil langkah-langkah untuk mencegah penyalahgunaan badan hukum untuk kegiatan pencucian uang dengan memastikan bahwa PJK memiliki akses informasi yang memadai dan akurat untuk mengidentifikasi individu yang memiliki atau mengendalikan Badan Hukum. Salah satu nya melalui upaya transparasi Beneficial Owner (BO) dari badan hukum yang memadai.

f. PJK harus melakukan pemantauan yang lebih ketat terhadap nasabah dan calon nasabah dalam berbentuk badan hukum, termasuk badan hukum yang bergerak pada bidang penyedia barang dan jasa pada lembaga pemerintahan.

Penatausahaan Dokumen

g. PJK harus melaksanakan prosedur Record Keeping secara memadai. PJK harus menatausahakan dokumen hasil identifikasi dan verifikasi nasabah, transaksi, serta korespondensi bisnis, agar tersedia dan dapat disampaikan secara tepat waktu apabila dibutuhkan oleh pihak yang berwenang. Dokumen yang disimpan tersebut harus memadai untuk digunakan dalam penelusuran dana melalui rekonstruksi transaksi.

Transfer Dana

h. Pelaku korupsi biasanya berusaha untuk memindahkan hasil kejahatan mereka ke negara atau yurisdiksi lain secara cepat untuk menghindari deteksi di negara mereka.

Dalam hal ini, wire transfer dapat digunakan untuk mempercepat perpindahan dana hasil korupsi dimaksud. Untuk memitigasi hal tersebut, wire transfer harus disertai dengan informasi yang diperlukan secara lengkap yang dapat mengidentifikasi pihak pengirim dan penerima.

i. PJK juga harus memastikan informasi yang diperoleh tersebut telah diverifikasi untuk memastikan kebenarannya. PJK harus memantau wire transfer tersebut, dan mengambil tindakan yang memadai dalam hal terdapat wire transfer yang tidak disertai dengan informasi yang diperlukan.

Sumber Daya Manusia dan Pelatihan

(21)

j. PJK harus melakukan fit and proper test dan screening secara berkala terhadap pegawai atau calon pegawai pada perusahannya, untuk memastikan perusahaan tidak disusupi oleh pelaku korupsi atau pengurus dari pelaku korupsi untuk menyalahgunakan kewenangan di internal perusahaan.

k. PJK harus melakukan pelatihan kepada SDM secara berkala dengan memasukkan materi terkait dengan TPA Berisiko tinggi termasuk TP korupsi.

Cross Border Correpondent Banking

l. Bagi PJK Sektor Perbankan, perlu untuk melakukan mitigasi risiko yang memadai terkait dengan correspondent banking. Hal ini dilakukan dengan melaksanakan due diligence dan penilaian risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme terhadap Bank yang akan menjalin hubungan correspondent banking dengannya. PJK Sektor Perbankan dilarang menjalin hubungan correspondent banking dengan shell banks.

(22)

H. CONTOH KASUS

Berikut ini merupakan contoh kasus terkait TP Korupsi:

1. Kasus Korupsi LA

LA adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Beliau mengadakan pertemuan dengan Direktur OAR, Ltd (perusahaan Yurisdiksi X yang bergerak di bidang pertambangan dan memiliki dua proyek pengembangan tambang di Indonesia) untuk membahas penyelesaian masalah joint venture (kerjasama) OAR, Ltd dengan KUD (Koperasi Unit Desa) DTM selaku pemilik Izin Usaha Pertambangan untuk pengembangan proyek pertambangan emas.

Berdasarkan surat pemutusan kerjasama, kedua belah pihak sepakat untuk mengeluarkan dana. LA berkomunikasi dengan Direktur dan CEO OAR, Ltd, menyatakan bahwa Direksi OAR setuju untuk memberikan dana sebesar USD1,78 juta yang akan diberikan, untuk mengatasi pemutusan kontrak joint venture, di mana sebagian dana akan digunakan untuk menyuap beberapa pejabat daerah dan anggota Dewan. Itu akan digunakan agar LA bisa terpilih sebagai ketua KUD DTM.

Proses TPPU yang dilakukan LA dari suap dari OAR, Ltd adalah dengan menempatkan dananya dengan meminjam sejumlah uang dari rekening perusahaan sebagai sarana untuk menahan dana korupsi dari rekening perusahaan OAR, Ltd di Yurisdiksi X ke rekening atas nama dari Perusahaan MAP. Transaksi dilakukan 5 kali dari Yurisdiksi X ke Indonesia melalui transfer antar bank dengan total nilai USD1,78 juta.

Selanjutnya, LA memerintahkan BPA sebagai perwakilan dari OAR, Ltd untuk memecah dana yang diterima ke rekening pribadi atas nama LA melalui transfer antar bank dan cek dengan nilai total Rp15,5 miliar (USD1,07 juta) dan secara tunai dengan total sebesar Rp20,4 miliar (USD1,4 juta). Sisanya sebesar Rp4,63 miliar (USD321.650) dikelola BPA atas perintah, permintaan dan persetujuan LA untuk keperluan operasional dan suap kepada pihak lain seperti notaris, pengurus KUD dan LSM.

2. Kasus Korupsi NZD

NZD merupakan anggota DPR RI periode 2004-2009 dan merupakan pemilik dari kelompok bisnis Permai Group yang terdiri atas beberapa perusahaan.

NZD terbukti menerima suap berupa 19 lembar cek senilai Rp 23 M dari beberapa perusahaan dan perorangan atas usahanya dalam membantu pihak tersebut untuk memenangkan beberapa proyek pemerintah (pembangunan gedung atlet, universitas, dan rumah sakit). NZD dihukum pidana penjara dan denda senilai Rp 1 M.

Uang suap NZD diterima melalui rekening perusahaan-perusahaan miliknya di Permai Group. Meskipun NZD sama sekali tidak tercantum namanya dalam dokumen perusahaan, tetapi NZD merupakan pemilik atau pengontrol sebenarnya (Beneficial Owner) dari kelompok usaha tersebut.

Uang suap yang diterima digunakan untuk membeli saham, properti, polis asuransi dan kendaraan mewah yang di atas namakan nama perusahaan dan kerabat NZD. Sebagian dari hasil penjualan saham ditransfer ke Singapura.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sensitivitas, spesifisitas, nilai preditif positif (NPP), nilai prediktif negatif (NPN), dan beda proporsi gejala

Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Tambak Tinggi Kecamatan Depati VII dengan rumusan masalah bagaimanakah dampak percepatan pembangunan infrastruktur pasca

OPTIMASI SPEKTROMETER GAMMA DENGAN SISTEM COMPTON SUPRES'I UNTUK IDENTIFIKASI RADIONUKLIDA DALAM SAMPEL L/NGKUNGAN. Optimasi peralatan ini dilakukan dengan tujuan menentukan

Tentang pemenuhan hak politik, Indonesia yang sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tentunya wajib menjalankan dan melindungi hak-hak politik

• Pemeriksaan laboratorium, yaitu Anti-HSV II IgG dan IgM sangat penting untuk mendeteksi secara dini terhadap kemungkinan terjadinya infeksi oleh HSV II dan mencegah

Pertanian di Desa Pangenteran Kecamatan Pulosari Kabupaten Pemalang. Tujuan penelitian ini antara lain adalah mengetahui jaringtan sosiaol petani dalam pelaksanaan sistem

Pengaruh Kompos Pupuk Organik yang Diperkaya dengan Bahan Mineral dan Pupuk Hayati terhadap Sifat-sifat Tanah, Serapan Hara dan Produksi Sayuran Organik.. Laporan Proyek

harganya diperkirakan mencapai 20 Miliyar. Dengan besarnya biaya investasi yang dibutuhkan, cukup sulit untuk perusahaan pelayaran dalam negeri untuk melakukan