MODEL KONSELING KETERAMPILAN HIDUP (
LIFESKILLS
COUNSELING)
UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL
SISWA TUNA RUNGU JENJANG SMPLB DI SLB-B KOTA BANDUNG
DISERTASI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Persyaratan untuk
Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam
Bidang Bimbingan dan Konseling
Promovendus
Tati Hernawati
1009558
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
SEKOLAH PASCASARJANA
UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA TUNA RUNGU JENJANG SMPLB DI SLB-B KOTA BANDUNG
Oleh
Tati Hernawati
S.Pd. IKIP Bandung, 1986
M.Pd. UPI Bandung, 2000
Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Program Studi Bimbingan dan Konseling
© Tati Hernawati, 2012
Universitas Pendidikan Indonesia
September 2012
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,
Tati Hernawati.(2012). Model Konseling Keterampilan Hidup (Lifeskillas Counseling) untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial Siswa Tuna Rungu Jenjang SMPLB di SLB-B Kota Bandung. Program Studi Bimbingan dan Konseling, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.
Penelitian ini dilatarbelakangi belum optimalnya pencapaian keterampilan sosial siswa tunarungu, khususnya pada jenjang SMPLB. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu model konseling untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa tuna rungu jenjang SMPLB. Adapun pendekatan konseling yang diasumsikan efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial tersebut adalah konseling keterampilan hidup. Subyek dalam studi pendahuluan adalah siswa tuna rungu jenjang SMPLB yang ada di Kota Bandung sejumlah 32 siswa, sedangkan subyek dalam uji coba model sebanyak 12 siswa dari SLB-B Cicendo Bandung. Model konseling yang dihasilkan dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi guru wali kelas atau guru Bimbingan&Konseling di sekolah dalam upaya meningkatkan keterampilan sosial siswa tuna rungu serta membantu penerapan kebijakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam mengembangkan pendidikan yang berorientasi keterampilan hidup. Untuk mencapai tujuan di atas, peneliti menggunakan model penelitian dan pengembangan (Research and Development atau R&D). Berdasarkan model penelitian tersebut, penelitian dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap studi pendahuluan, pengembangan dan validasi model, serta pengujian model. Temuan penelitian adalah: Pertama,pencapaian keterampilan sosial siswa tuna rungu jenjang SMPLB sebagian besar (78%) berada pada kategori cukup dan sebagian kecil (22%) berada pada kategori kurang. Kedua, Model konseling keterampilan hidup mencakup dasar pemikiran, tujuan, asumsi, peranan konselor & guru wali kelas, tahapan konseling, serta evaluasi dan indikator keberhasilan. Ketiga, hasil uji efektivitas menunjukkan bahwa model konseling keterampilan hidup efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa tuna rungu.
Tati Hernawati (2012). Lifeskills Counseling Model to Increase Social Skill of Students
with Hearing Impairment in Special Junior High School in B-Special School in Bandung.
Guidance and Counseling Study Program, Post Graduate School of Indonesia University of Education (UPI).
The background of this study is the high amount of problems related to the low social skills achievement of students with hearing impairment, particularly in Special Junior High School. Therefore, the aim of this study is to produce a counseling model to increase social skills of students with hearing impairment in Special Senior High School. The counseling approach assumed as effective strategy to increase social skills is lifeskills counseling. The subject in preliminary study are 32 students with hearing impairment in Special Junior High School level in Bandung while the amount of model try out are 12 students from Special School Cicendo Bandung. The counseling model can be used by the homeroom teachers/counselor to increase the social skill of students with hearing impairment and support the implementation of National Education Ministries policy in order to develop lifeskills oriented education. In order to reach the goal, the researcher used research and development model or R&D. Based on the research model, the study was devided into three steps, preliminary study, model development and validation, and model testing. This study has three results, first, the social skills achievement of students with hearing impairment in most of Special Junior High School (78%) are in sufficient category and small amount (22%) are in low category. Second, lifeskills counseling model involves rationale, aim, assumption, role of counselor and homeroom teacher, counseling steps, and the evaluation and indicator of success. Third, effectivity test result shows that lifeskills counseling model is effective to increase social skill of students with hearing impairment.
Keywords: model, lifeskills counseling, social skill, and hearing impairment.
DAFTAR ISI A. Latar Belakang Penelitian ………1
B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ………7
C. Tujuan Penelitian ………..8
D. Manfaat Penelitian ………9
E. Struktur Organisasi Disertasi ………..10 BAB II : KONSELING KETERAMPILAN HIDUP DAN PENGEMBANGAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA TUNA RUNGU A. Konseling Keterampilan Hidup ……….…12
B. Keterampilan Sosial ………...27
C. Pengembangan Keterampilan Sosial Siswa Tuna Rungu …………...49
D. Penelitian yang Relevan ………..57
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Peneltian ………84
B. Pembahasan Hasil Penelitian ………123
BAB V : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ………...131
B. Saran ……….132
DAFTAR PUSTAKA ………...136
LAMPIRAN-LAMPIRAN ………..140
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Kisi- Kisi Instrumen Pengumpulan Data Pencapaian
Sosial siswa ………...70 3.2 Kisi-kisi Instrumen Pengumpulan Data Pelaksanaan
Layanan Bimbingan dan Konseling di SLB –B ………72 3.3 Pertimbangan Penerapan SKLB ... 80 4.1 Hasil Pencapaian Skor Keterampilan Sosial Siswa Tunarungu
DAFTAR BAGAN
Bagan Halaman
3.1 Tahapan Penelitian dan Pengembangan Konseling
DAFTAR GRAFIK
Grafik Halaman
4.1 Gambaran Pencapaian Keterampilan Sosial Siswa Tuna Rungu Jenjang SMPLB
……….…………85 4.2 Gambaran Pencapaian Setiap Aspek Keterampilan
Sosial ………...86 4.3 Perbedaan Skor Pretest dan Posttest Keterampilan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Siswa tuna rungu jenjang SMPLB termasuk dalam masa remaja. Pada
masa ini, individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas, di mana
pengaruh teman-teman dan lingkungan sosialnya sangat berpengaruh. Agar
mereka dapat menghadapi kehidupan dengan segala permasalahannya, diperlukan
berbagai keterampilan hidup. Salah satu keterampilan hidup yang harus dikuasai
individu, termasuk remaja tunarungu, adalah keterampilan sosial. Combs&Slaby
(Cartledge&Milburn, 1995:7) mengemukakan bahwa keterampilan sosial
merupakan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam suatu
konteks sosial dengan cara-cara yang spesifik yang secara sosial dapat diterima,
dan pada saat bersamaan dapat menguntungkan secara pribadi, menguntungkan
bersama, atau menguntungkan orang lain.
Depdiknas (2005:3) mengemukakan bahwa kecakapan (keterampilan)
hidup, ada yang bersifat generik dan spesifik. Keterampilan hidup generik
mencakup keterampilan pribadi dan sosial, sedangkan keterampilan hidup
spesifik mencakup keterampilan akademik dan vokasional. Sedangkan menurut
Nelson& Jones (1997:39), keterampilan hidup yang harus dikuasai individu
mencakup Responsiveness, Realism, Relating skills, Rewarding activity skills,dan
yaitu Relating skills dan Right-and-wrong skills tercakup dalam keterampilan
sosial.
Keterampilan sosial sangat diperlukan untuk menyesuaikan diri dalam
kehidupan sehari-hari. Kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan sosial
menyebabkannya sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.
Kegagalan menyesuaikan diri dapat menyebabkan timbulnya rasa rendah diri,
dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku kurang normatif, dan
sebagainya. Dalam perkembangan yang lebih ekstrim, hal itu bisa menyebabkan
terjadinya kenakalan remaja, tindakan kriminal, bahkan disertai tindakan
kekerasan.
Kegagalan dalam menguasai keterampilan sosial dapat juga terjadi pada
siswa tunarungu. Siswa tunarungu merupakan siswa yang mengalami kekurangan
atau kehilangan kemampuan mendengar secara signifikan. Kondisi ini memiliki
dampak terhadap kehidupannya, baik sebagai individu maupun sebagai insan
sosial, sehingga mempengaruhi kehidupan mereka baik di sekolah, di rumah,
maupun di masyarakat.
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perilaku sosial siswa
tunarungu belum mencapai hasil yang optimal (Hernawati, 2000). Dari hasil
penelitian tersebut diperoleh gambaran bahwa: dalam aspek bersikap respek
terhadap orang lain hanya mencapai 68%; aspek berpartisipasi dalam kegiatan
sekolah (70%); aspek berpartisipasi dalam kegiatan di masyarakat (62,8%); aspek
berperilaku sesuai dengan peraturan sekolah (64,2%); aspek memiliki kepedulian
terhadap kepentingan orang lain ( 64%), dan aspek belajar mengembangkan sikap
peka terhadap masalah sosial (51,5%).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, semua indikator perilaku sosial
menunjukkan hasil yang belum optimal. Indikator yang menunjukkan ke arah
tersebut antara lain adanya siswa-siswa tunarungu yang belum menunjukkan
sikap respek terhadap orang tuanya; melangggar tata tertib sekolah (seperti
merokok di lingkungan sekolah, tidak mengikuti upacara, dan membolos);
partisipasi siswa dalam kegiatan kemasyarakatan masih rendah; serta masih ada
siswa-siwa yang menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma
misalnya suka berbohong.
Dari beberapa guru SLB-B diperoleh informasi bahwa di antara siswa
tunarungu terdapat siswa-siswa yang menunjukkan perilaku sosial negatif, seperti
mencuri, bepergian (bahkan pergi ke luar kota) tanpa pamit pada orang tua
sehingga mencemaskan orang tua mereka, kurang memperhatikan tata tertib
sekolah, bertengkar dengan sesama teman, mudah marah, mudah tersinggung
serta cenderung bersosialisasi dengan sesama tunarungu saja.
Kondisi di atas mengindikasikan bahwa keterampilan sosial sebagian
siswa tunarungu masih kurang optimal. Kurang optimalnya keterampilan
tersebut, dapat dipengaruhi oleh kelainan yang disandangnya serta sikap
disebutkan di atas, bahwa kondisi ketunarunguan memiliki dampak dalam
kehidupannya baik sebagai individu maupun sebagai insan sosial.
Salah satu dampak ketunarunguan adalah terhambatnya komunikasi
verbal/lisan, baik secara ekspresif (berbicara) maupun reseptif (memahami
pembicaraan orang lain). Kondisi tersebut mengakibatkan kesulitan
berkomunikasi dengan orang yang memiliki pendengaran normal yang lazim
menggunakan bahasa lisan sebagai alat komunikasi utama. Sebaliknya orang
dengan pendengaran normal pada umumnya sulit memahami bahasa isyarat yang
menjadi bahasa ibu kaum tunarungu.
Komunikasi merupakan dasar terjalinnya interaksi sosial yang baik.
Masalah dalam berkomunikasi dapat menambah kesulitan dalam berperilaku
sosial (Kirk, 1989:315). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian tentang
penyesuaian sosial remaja tuna rungu yang terdaftar dalam setting segregasi (n =
39), terpadu sebagian (n = 15), dan mainstreaming (n = 17), yang dibandingkan
dengan siswa mendengar (n = 88) sebagai kelompok kontrol. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa siswa tuna rungu dalam seting segregasi mencapai
tingkat penyesuaian yang paling rendah secara keseluruhan, baik dibandingkan
dengan siswa mendengar maupun dengan siswa tuna rungu dalam seting terpadu
sebagian dan mainstreaming, sebagaimana dipersepsi memiliki kompetensi sosial
yang rendah. (Musselman et al.,1996).
Gambaran dari kenyataan tentang perilaku sosial siswa tunarungu
mendapat bantuan untuk meningkatkan keterampilan sosialnya. Dengan
peningkatan keterampilan sosial tersebut, diharapkan siswa tunarungu dapat
menjalani hidupnya secara lebih harmonis di masyarakat. Hal tersebut
sebagaimana yang tersirat dalam tujuan pendidikan luar biasa (tertuang dalam PP
Nomor 72 tahun 1991), yaitu membantu siswa agar mampu mengatasi kelainan
yang disandang serta mampu mengembangkan sikap, pengatahuan, dan
ketrampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan
hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta
dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan
lanjut (Sunardi, 2010: 68).
Pengembangan keterampilan sosial merupakan suatu hal yang sangat
penting, sesuai dengan yang digariskan oleh UNESCO bahwa pendidikan harus
berada dalam empat pilar, yang dikenal dengan The Four Pilar of Education,
yaitu : Learning to Know, Learning to Do, Learning to Be, and Learning to Live
Together (Sanjaya,2005: 97-98). Pengembangan keterampilan sosial erat
kaitannya dengan pilar pendidikan yang keempat, yaitu learning to live together
atau belajar untuk hidup bersama. Siswa dituntut untuk memiliki keterampilan
sosial yang memadai agar dapat bergaul dan bekerja sama, sehingga dapat hidup
secara harmonis dengan lingkungannya baik di sekolah, di rumah, maupun di
masyarakat.
Salah satu upaya peningkatan keterampilan sosial, adalah melalui
mampu memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan
menentukan tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa
bahagia serta memiliki perilaku yang efektif (Nurihsan, 2006:10). Hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan oleh Kartadinata (2011:23-24) bahwa bimbingan
dan konseling merupakan upaya pedagogis untuk memfasilitasi perkembangan
individu dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya sesuai
dengan potensi yang dimilikinya; bimbingan dan konseling adalah sebuah upaya
normatif.
Dalam konseling terdapat berbagai pendekatan yang dapat diterapkan
dalam membantu konseli. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan dalam
meningkatkan keterampilan sosial siswa adalah konseling keterampilan hidup (life
skills counseling). Nelson &Jones (1977:8) mengemukakan bahwa konseling
keterampilan hidup merupakan suatu pendekatan konseling yang berpusat pada
individu untuk membantu konseli mengembangkan keterampilan menolong diri
sendiri (self-helping skills).
Konseling keterampilan hidup dipilih karena konseling ini memiliki
beberapa keunggulan, antara lain pertama, Konseling keterampilan hidup
memiliki tujuan utama yaitu menolong diri (self-helping), dimana konseli
memelihara dan mengembangkan kekuatan keterampilan berpikir dan
keterampilan bertindak, yang tidak hanya untuk mengatasi masalah yang ada,
namun juga mencegah dan menangani masalah-masalah yang mungkin akan
Berdasarkan uraian di atas, peningkatan keterampilan sosial siswa
tunarungu diindikasikan dapat diupayakan melalui konseling dengan
menggunakan pendekatan konseling keterampilan hidup. Namun konseling
keterampilan hidup dengan model yang bagaimana yang efektif untuk
meningkatkan keterampilan sosial siswa? Model tersebut harus sesuai dengan
kebutuhan siswa tuna rungu serta kondisi sekolah dalam kaitannya dengan
layanan bimbingan dan konseling. Hal inilah yang perlu dikaji melalui penelitian
ini.
B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Keterampilan sosial sangat penting dimiliki oleh manusia termasuk siswa
tunarungu, agar dapat bersosialisasi secara positif, sehinga tercipta keharmonisan
dalam hidup bermasyarakat. Keterampilan sosial dipengaruhi oleh berbagai
faktor, di antaranya adalah faktor kondisi anak sendiri, serta pengalaman
interaksinya dengan lingkungannya seperti lingkungan keluarga, sekolah, dan
teman sebaya. Kondisi anak dalam keadaaan tunarungu dapat mempengaruhi
keterampilan sosialnya. Hal tersebut dapat dipahami, mengingat kehilangan
kemampuan mendengar menyebabkan terhambatnya kemampuan berkomunikasi
yang sangat dibutuhkan dalam mengadakan interaksi dengan lingkungan sosialnya
secara luas. Demikian juga lingkungan yang kurang kondusif, dapat
memperlemah keterampilan sosialnya. Oleh karena itu pada mereka perlu
Dalam pemberian layanan konseling tersebut perlu adanya suatu model
konseling yang betul-betul sesuai dengan kondisi di lapangan, sehingga dapat
dilaksanakan secara efektif. Keterampilan sosial merupakan salah satu
keterampilan hidup yang harus dikuasai individu, oleh karena itu model konseling
yang digunakan adalah model konseling keterampilan hidup.
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah: Apakah model konseling keterampilan hidup efektif untuk meningkatkan
keterampilan sosial siswa tunarungu jenjang SMPLB?
Rumusan masalah di atas, selanjutnya dijabarkan dalam pertanyaan
penelitian sebagai berikut.
1. Seperti apa tingkat keterampilan sosial yang dimiliki siswa tunarungu jenjang
SMPLB sebelum mendapat perlakuan?
2. Seperti apa pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di SLB-B Kota
Bandung?
3. Seperti apa rumusan model hipotetik konseling keterampilan hidup untuk
meningkatkan keterampilan sosial siswa tunarungu?
4. Bagaimana efektivitas model konseling keterampilan hidup untuk
meningkatkan keterampilan sosial siswa tunarungu?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan akhir penelitian ini adalah terbentuknya model konseling
siswa tunarungu jenjang SMPLB. Tujuan akhir tersebut, selanjutnya dijabarkan
menjadi tujuan operasional berikut.
1. Memperoleh gambaran mengenai keterampilan sosial siswa tunarungu
jenjang SMPLB sebelum mendapat perlakuan.
2. Memperoleh gambaran mengenai pelaksanaan layanan bimbingan dan
konseling di SLB/B Kota Bandung.
3. Merumuskan model hipotetik konseling keterampilan hidup untuk
meningkatkan keterampilan sosial siswa tunarungu.
4. Memperoleh gambaran mengenai efektivitas model konseling keterampilan
hidup untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa tunarungu.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan menghasilkan suatu model konseling
keterampilan hidup untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa tunarungu.
Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis maupun
praktis sebagaimana dipaparkan berikut ini.
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
khazanah ilmu pengetahuan, khususnya mengenai konsep dasar pengembangan
keterampilan sosial siswa tunarungu. Di samping itu, hasil penelitian ini
khususnya tentang pendekatan yang dapat digunakan dalam layanan bimbingan
dan konseling terhadap siswa, yaitu pendekatan keterampilan hidup.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut.
a. Model konseling keterampilan hidup yang dihasilkan dapat dipergunakan
oleh konselor sekolah dalam upaya mengembangkan keterampilan sosial
siswa tunarungu.
b. Terbentuknya model konseling keterampilan hidup dapat membantu
penerapan kebijakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam
mengembangkan pendidikan yang berorientasi keterampilan hidup.
c. Dengan terbentuknya model konseling keterampilam hidup, diharapkan dapat
meningkatkan motivasi konselor untuk menerapkan dan mengembangkan
layanan bimbingan dan konseling sebagai komponen yang terpadu dalam
program pendidikan di Sekolah Luar Biasa.
E. Struktur Organisasi Disertasi
Hasil penelitian dikemas menjadi karya tulis ilmiah yang berisi lima bab
Bab I : Pendahuluan, yang berisi latar belakang penelitian , rumusan
masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan, manfaat, serta struktur
organisasi disertasi.
Bab II : Landasan teoretik tentang konseling keterampilan hidup dan
pengembangan keterampilan sosial siswa tunarungu, penelitian
terdahulu yang relevan serta kerangka berpikir.
Bab III : Metode Penelitian, yang membahas metode penelitian, defnisi
perasional variabel, subyek penelitian, serta tahap-tahap penelitian.
Bab IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan model Penelitian dan
Pengembangan (Research and Development atau R&D). Model penelitian
tersebut dipilih karena melalui penelitian ini, peneliti ingin menghasilkan suatu
produk, yaitu model konseling keterampilan hidup yang efektif untuk
meningkatkan keterampilan sosial siswa tunarungu.
Gall et al (2003:569) mengemukakan bahwa penelitian dan
pengembangan pendidikan merupakan model pengembangan berbasis industri,
di mana temuan penelitian digunakan untuk merancang produk dan prosedur baru,
yang kemudian secara sistematis diuji lapangan, dievaluasi, dan disempurnakan
hingga memenuhi kriteria yang ditentukan dalam efektivitas, kualitas, atau
standar. Produk dalam pendidikan tidak hanya dalam bentuk buku teks, film
instruksional, atau program komputer, melainkan juga metode atau model
pengembangan program yang terkait dengan kegiatan pendidikan (Sukmadinata,
2006 : 165).
Disamping itu, R&D ini dipilih karena model tersebut memiliki
keunggulan dilihat dari prosedur kerjanya yang sistematis, dimana produk
penelitian dilakukan melalu serangkaian kegiatan yang sistematis dimulai dari
dilakukan pengembangan produk dengan melakukan validasi, serta
mengujicobakan model sehingga diperoleh model konseling yang teruji
sebagai produk penelitian ini.
Sebagaimana disebutkan di atas, penelitian dan pengembangan ini
dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahap studi pendahuluan, pengembangan
dan validasi model, serta pengujian model. Tahapan tersebut mengacu pada
modifikasi tahapan penelitian dengan model R&D yang dikemukakan oleh
Syaodih dkk. (Sukmadinata, 2006:189). Sesuai dengan tahapan tersebut, peneliti
menggunakan beberapa metode penelitian. Pada tahap pendahuluan, peneliti
menggunakan metode penelitian deskriptif, pada tahap pengembangan model
menggunakan metode kualitatif, sedangkan tahap pengujian model menggunakan
metode eksperimen.
A. Definisi Operasional Variabel
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan dalam bab satu, terdapat
dua konsep utama dalam penelitian ini, yaitu model konseling keterampilan hidup
dan keterampilan sosial siswa tuna rungu. Definisi operasional tentang kedua
konsep tersebut, diuraikan sebagai berikut.
1. Model Konseling Keterampilan Hidup
Model merupakan perangkat asumsi, proposisi/prinsip yang terverifikasi
secara empirik, diorganisasikan ke dalam sebuah struktur kerja untuk
(Kartadinata, 2008). Dalam definisi lain, model merupakan representasi sebuah
sistem, dimana model dipandang sebagai sesuatu yang memiliki sistem yang
sesungguhnya (Law&Kelton, 1991:5). Mills et al.(dalam Kenedi, 2005:14)
mengemukakan bahwa model merupakan bentuk representasi akurat sebagai
proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba
bertindak berdasarkan pijakan yang terpresentasi dalam model tersebut.
Selanjutnya Shertzerb&Stone (1982 : 62) mengemukakan bahwa model merujuk
pada representasi dari sebuah sebuah hasil akhir yang diabstraksikan karena
nilai-nilai tersebut sudah melekat atau telah menjadi sifatnya.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka yang dimaksud model dalam
penelitian ini adalah suatu representasi atau gambaran akurat sebuah sistem yang
diorganisasikan ke dalam sebuah struktur kerja sebagai pijakan seseorang atau
sekelompok orang untuk bertindak.
Model konseling keterampilan hidup merupakan suatu pola pemberian
bantuan yang berpusat pada individu untuk membantu konseli mengembangkan
keterampilan menolong diri sendiri atau self-helping skill. Konseling keterampilan
hidup ini bertujuan agar konseli memelihara dan mengembangkan kekuatan
keterampilan berpikir dan bertindak, tidak hanya untuk mengatasi masalah yang
ada, namun juga mencegah dan menangani masalah yang mungkin timbul di
masa mendatang (Nelson&Jones, 1997:8). Model konseling ini merujuk pada
Nelson&Jones,1997:40-48) yang terdiri dari lima tahap yang dikenal dengan
DASIE ( Develop.Assess, State, Intervene, and Emphase take-away).
2. Keterampilan Sosial
Sesuai dengan landasan teoretik yang telah dikemukakan pada bab dua,
keterampilan sosial dalam penelitiaan ini didefinisikan sebagai kemampuan
seseorang untuk membuat dan mengimplementasikan serangkaian pilihan dalam
mengadakan interaksi dengan lingkungan sosial, sehingga memperoleh adaptasi
yang harmonis dalam kehidupan di masyarakat.
Aspek-aspek keterampilan sosial yang harus dimiliki individu sangat
beragam, dan yang menjadi rujukan dalam penelitian ini didasarkan pada daftar
keterampilan sosial, yang dikemukan oleh Cartledge & Milburn (1992:15), yang
mencakup: (1) Perilaku terhadap lingkungan (environmental behaviors) dengan
indikator; (2) Perilaku interpersonal (interpersonal behavior); (3) Perilaku yang
berhubungan dengan diri sendiri (self-related behaviors); dan (4) Perilaku yang
berhubungan dengan tugas (task-related behaviors).
Aspek perilaku terhadap lingkungan (environmental behaviors)
merupakan perilaku bagaimana individu memperlakukan lingkungan dengan
beberapa bentuk respon, diantaranya, adalah peduli terhadap lingkungan dan
peduli terhadap keadaan emergensi atau situasi darurat yang muncul secara
tiba-tiba. Aspek perilaku interpersonal (interpersonal behavior) merupakan perilaku
adanya kemampuan berkomunikasi dengan baik,mau menerima otoritas orang
lain,memberi perhatian, mau membantu orang lain, mampu mengatasi konflik
dengan orang lain, dan bersikap positif terhadap orang lain.
Perilaku yang berhubungan dengan diri sendiri (self-related behaviors)
antara lain ditunjukkan dengan perilaku mau menerima konsekuensi,
menunjukkan perilaku yang beretika, menunjukkan perilaku yang bertanggung
jawab, serta bersikap positif terhadap diri sendiri.
Perilaku yang berhubungan dengan tugas (task-related behaviors),
merupakan perilaku yang berhubungan dengan tugas-tugas yang berkaitan dengan
kegiatan belajar di sekolah. Perilaku tersebut atara lain: Mengajukan dan
menjawab pertanyaan, mampu menyelesaikan tugas, dan menunjukkan aktivitas
berkelompok.
B. Subyek Penelitian
Subyek penelitian untuk tahap pendahuluan, adalah 36 siswa tuna rungu
jenjang SMPLB (keseluruhan siswa yang aktif) dari enam SLB-B, dengan
perincian: 20 siswa SLB Cicendo; dua siswa SLB- BC Budaya Bangsa; empat
siswa SLB-B Silih Asih; enam siswa SLB-B Sukapura; dua siswa SLB-B Tut
Wuri Handayani, dan dua siswa SLB-BC YPLAB. Responden dalam penelitian
ini adalah kepala sekolah serta guru wali kelas/guru kelas dari sekolah tersebut.
Subyek penelitian pada tahap pengujian model adalah 12 siswa SMPLB
teknik sampling berstrata, yang menghasilkan 2 siswa (semua) yang memiliki
pencapaian keterampilan sosial pada kategori kurang dan 10 siswa (diambil
secara acak) yang memiliki pencapaian keterampilan sosial pada kategori cukup.
D. Tahap-Tahap Penelitian
Penelitian dan pengembangan dalam pelaksanaannya dilakukan melalui
serangkaian tahapan kegiatan yang saling berkaitan. Borg & Gall (1989:624)
mengemukakan bahwa penelitian dan pengembangan dilakukan melalui sepuluh
tahapan, yaitu: (1) penelitian dan pengumpulan informasi; (2) perencanaan; (3)
pengembangan produk pendahuluan; (4) uji coba pendahuluan; (5) revisi terhadap
produk utama; (6) uji coba utama yang didasarkan pada hasil uji coba
pendahuluan; (7) revisi produk operasional; (8) uji coba operasional; (9) revisi
produk akhir; dan (10) diseminasi & implementasi.
Kesepuluh langkah penelitian tersebut, disederhanakan oleh Sukmadinata
dan kawan-kawan melalui serangkaian penelitian dengan menggunakan strategi
penelitian dan pengembangan, Ketiga tahap penelitian dan pengembangan
tersebut adalah; (1) studi pendahuluan; (2) pengembangan model; dan (3) uji
model (Sukmadinata, 2006:189).
1. Tahap Studi Pendahuluan
Pada tahap ini ada beberapa hal yang perlu dikemukakan, yaitu: Tujuan
studi pendahuluan, subyek penelitian pendahuluan, tahap penelitian pendahuluan,
a. Tujuan Studi Pendahuluan
Penelitian pada tahap studi pendahuluan merupakan penelitian deskriptif
dengan tujuan memperoleh sejumlah informasi yang diperlukan dalam perumusan
model konseling keterampilan hidup untuk meningkatkan keterampilan sosial
siswa tunarungu. Studi pendahuluan meliputi studi pustaka dan survei lapangan.
Studi pustaka merupakan pengkajian terhadap konsep-konsep yang mendasari
model konseling keterampilan hidup, keterampilan sosial, serta mengkaji
hasil-hasil penelitiaan yang relevan dengan penelitian yang penulis lakukan.
Sedangkan survei lapangan dilakukan untuk memperoleh informasi yang
berkaitan dengan kondisi obyektif lapangan. Survei lapangan tersebut
menitikberatkan pada upaya untuk mendeskripsikan dan menganalisis tentang
pencapaian keterampilan sosial yang dimiliki siswa tuna rungu serta pelaksanaan
layanan bimbingan dan konseling di SLB-B.
b. Tahapan Kegiatan Penelitian Pendahuluan
Tahap penelitian pendahuluan, dilakukan dalam beberapa kegiatan, yaitu:
Pertama, mengungkap kondisi obyektif lapangan melalui melalui survai
lapangan yang berkaitan dengan keterampilan sosial yang dimiliki siswa
tunarungu, serta pelaksanaan layanan B & K di SLB. Kedua, menganalisis
temuan pada tahap kegiatan pertama serta keterampilan sosial yang seharusnya
c. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan data yang
ingin diperlukan pada setiap tahapan penelitian. Pada tahap penelitian
pendahuluan, data yang diperlukan adalah pencapaian keterampilan sosial siswa
tunarungu jenjang SMPLB serta data tentang pelaksanaan layanan bimbingan dan
konseling (B&K) di SLB-B. Teknik yang digunakan untuk memperoleh data
tentang keterampilan sosial siswa tersebut adalah teknik angket berskala. Bentuk
skala yang digunakan adalah Tidak Pernah (TP), Kadang-kadang (K), Sering (S),
dan Sangat Sering (SS). Untuk memperoleh data tentang pelaksanaan layanan
bimbingan dan konseling dipergunakan teknik wawancara dan studi dokumentasi.
d. Pengembangan Instrumen Pengumpulan Data
1) Kisi-Kisi Instrumen Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan untuk penyusunan model konseling keterampilan
hidup meliputi data tentang tingkat keterampilan sosial siswa tuna Kota Bandung.
Untuk memenuhi data tersebut, diperlukan suatu kisi-kisi instrumen
pengumpulan data yang sejalan dengan teknik pengumpulan data yang digunakan
serta definisi operasional yang telah dikemukakan di atas. Berikut ini adalah kisi –kisi instrumen pengumpulan data pencapaian keterampilan sosial siswa serta
ASPEK INDIKATOR DESKRIPTOR
sendiri beretika b. Bersikap respek
terhadap orang tua dan
Adapun kisi-kisi instrumen pengumpul data berkenaan dengan
pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling dapat dilihat pada table 3.2
Tabel 3.2
KISI-KISI INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA PELAKSANAAN LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SLB-B
Aspek Indikator
2) Penyusunan Butir-Butir Pernyataan
Berdasarkan kisi-kisi instrumen di atas, maka disusunlah butir-butir
pernyataan instrumen dalam bentuk angket berskala, untuk mengumpulkan data
tentang keterampilan sosial siswa tunarungu, dan pedoman wawancara untuk
mengumpulkan data tentang pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di
SLB-B Bandung. Instrumen penelitian ini dapat dilihat pada lampiran.
3) Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pengumpulan Data
Uji validitas instrumen dilakukan melalui analisis korelasi product
uji validitas, dilakukan uji reliabilitas instrumen dengan menggunakan rumus
Cronbah’s Alpha.
Reliabilitas menunjuk pada tingkat keterandalan sesuatu, dan suatu
instrumen dikatakan reliabel, berarti instrumen tersebut dapat dipercaya atau dapat
diandalkan (Arikunto, S., 2010:221). Dari hasil pengujian, diperoleh nilai
reliabilitas instrumen pengumpulan data keterampilan sosial sebesar 0,82
(perhitungannya dapat di lihat pada lampiran). Merujuk pada pedoman
Interpretasi nilai reliabilitas instrumen dari Suharsimi Arikunto (2002 : 254),
nilai reliabilitas tersebut berada pada kategori sangat tinggi. Dengan kata lain,
instrumen tersebut tingkat keandalannya sangat tinggi.
e. Teknik Analisa Data
Pada tahap pendahuluan ini, data yang diperoleh adalah tentang tingkat
keterampilan sosial siswa dan gambaran tentang pelaksanaan layanan B&K di
SLB-B. Data mengenai tingkat keterampilan sosial siswa dianalisa secara
kuantitatif, sedangkan data yang berkaitan dengan pelaksanaan layanan bimbingan
dan konseling dianalisis secara kualitatif (deskriptif naratif).
Analisis pencapaian keterampilan sosial siswa tuna rungu dilakukan
melalui tahapan sebagai berikut.
1) Menentukan skor maksimal ideal yang diperoleh sampel melalui rumus :
Skor maksimak ideal = jumlah soal x skor tertinggi
Skor minimal ideal = jumlah soal x skor terendah
3) Mencari rentang skor ideal yang diperoleh sampel melalui rumus:
Rentang skor = skor maksimal ideal – skor minimal ideal
4) Mencari interval skor melalui rumus:
Inteval skor = rentang skor : 3
5) Membandingkan skor keterampilan sosial siswa dengan kriteria berikut.
Kriteria Rentang
Baik X> Minimal Ideal + 2. Interval
Cukup Minimal Ideal + Interval < X < Minimal Ideal + 2. Interval
Kurang X < Minimal Ideal + Interval
(Sudjana,1996:47)
Teknik analisis kualitatif terhadap data layanan bimbingan dan konseling
di SLB-B, dilakukan melalui tahapan: reduksi data, penyajian data, serta
penarikan kesimpulan.
2. Tahap Pengembangan dan Validasi Model
Tahap kedua, diawali dengan penyusunan draf produk, yaitu model hipotetik
konseling keterampilan hidup untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa
tunarungu yang didasarkan pada hasil temuan pada tahap pertama. Adapun
a. Menganalisis hasil need assessment berupa pencapaian keterampilan
sosial pada setiap indikator. Analisis dilakukan untuk mengetahui
kelemahan keterampilan, sehingga diketahui kebutuhan siswa tuna rungu
berkaitan dengan peningkatan keterampilan sosisalnya.
b. Mengkaji teori konseling keterampilan hidup (lifes counseling) terutama
tahapan-tahapan konseling keterampilan hidup serta metode/teknik yang
digunakan.
c. Menganalisis pelaksanaan layanan bimbingan dan koseling di SLB-B,
terutama aspek pelaksana dan layanan B&K yang diberikan kepada
siswa.
d. Membuat rancagan model konseling keterampilan hidup untuk
meningkatkan keterampilan sosial siswa, terutama untuk
indikator-indikator yang masih lemah, termasuk membuat Satuan Kegiatan Layanan
Konseling (SKLB) sebagai panduam bagi guru untuk melaksanakan
konseling.
e. Model hipotetik yang dirumuskan, mencakup dasar pemikiran, tujuan,
asumsi, peranan konselor & guru wali kelas, tahapan konseling, evaluasi
serta satuan kegiatan layanan konseling sebagai panduan bagi guru untuk
melaksanakan kegiatan konseling.
Untuk memperoleh model konseling yang layak diterapkan pada siswa
tuna rungu, dilakukan validasi logis/ rasional oleh para pakar melalui expert
judgement dan oleh para praktisi SLB- B melalui Focuss Group Discussion
a. Validasi Logis melalui expert judgement
Validasi Logis melalui expert judgement dilakukan untuk memperoleh
model yang memiliki kelayakan rasional baik dalam isi atau secara konseptual
maupun secara konstruk. Validasi logis ini dilakukan melalui pertimbangan atau
penilaian dari para ahli (expert judgement) dalam bidang yang berkaitan dengan
isi atau konseptual model yang dirumuskan. Validasi dilakukan oleh dua orang
pakar Bimbingan dan Konseling (B&K) dan seorang pakar pendidikan anak
berkebutuhan khusus sekaligus juga pakar B&K.
Teknik validasi logis dilakukan melalui ”Teknik Delphi”, yaitu suatu
teknik pengumpulan pendapat secara independen untuk mencapai konsensus para
ahli terhadap model konseling yang dirumuskan. Para validator memberikan
penilaian dan pendapatnya melalui lembar validasi yang disediakan. Pendapat
dari validator tersebut dijadikan masukan untuk merevisi model konseling.
Berdasarkan judgement para ahli tersebut, diperoleh hasil bahwa semua
aspek model hipotetik konseling dinyatakan layak oleh semua validator. Dengan
demikian, model hipotetik konseling yang mencakup: dasar pemikiran, tujuan,
asumsi, peranan konselor & guru wali kelas, tahapan konseling, evaluasi, serta
satuan kegiatan layanan konseling, sudah sesuai dengan isi dan aspek yang
diungkap atau sudah memenuhi standar kelayakan konseptual dalam membangun
bahwa model konseling ini layak untuk dilanjutkan pengembangannya dan
diujicobakan di SLB-B.
Saran-saran atau masukan dari para validator untuk pengembangan model
hipotetik konseling antara lain : (1) urutan ide dalam dasar pemikiran disusun
dari umum ke khusus; (2) memperhatikan aspek kebahasaan dan seting penulisan;
(3) menghindari asumsi yang terlalu umum atau di fokuskan pada model yang
dikembangkan; (4) mempertegas pihak yang mengimplementasikan model
konseling; (5) Deskripsi peran tidak merujuk pada pendapat ahli, namun lebih
kongkrit pada mosel yang dikembangkan; (6) Tujuan dalam intervensi harus
lebih kongkrit dan spesifik; (7) tahapan DASIE diterapkan dalam setiap tahapan
konseling, serta membuat jurnal kegiatan.
b. Validasi Logis/ Rasional melalui Focuss Group Discussion (FGD).
Validasi rasional model hipotetik konseling melalui Focuss Group
Discussion (FGD) bertujuan untuk memperoleh masukan dari para praktisi di
lapangan, sebagai bahan perbaikan model hipotetik konseling yang
dikembangkan terutama mengenai kesesuaian penggunaan bahasa dengan
kemampuan siswa tuna rungu serta kemungkinan penerapannya di SLB-B.
Peserta FGD adalah Guru kelas/wali kelas dari empat SLB-B yaitu :
B Negeri Cicendo, B Sukapura, B YPLAB Bandung, serta
SLB-B Silih Asih SLB-Bandung. Kegiatan diskusi diawali dengan penjelasan mengenai
para peserta diminta tanggapannya/ masukanya terhadap pengembangan model
konseling. Masukan yang diberikan oleh para peserta, antara lain:
(1) penomoran pada action plan harus sesuai urutan sesi konseling;
(2) istilah-istilah yang belum familier dicarikan persamaannya atau
dijelaskan secara khsusus kepada siswa;
(3) layanan konseling ini bisa dilaksanakan dalam program pengembangan
diri.
(4) Dalam penjelasan materi kepada siswa menggunakan bahasa yang
sederhana, kalimat tidak terlalu panjang, serta harus diulang-ulang mengingat
keterbatasan pemahaman bahasanya yang terbatas.
Setelah memberikan masukan-masukan, para peserta diminta untuk
menganalisis kemungkinan penerapan Satuan Kegiatan Layanan Konseling
(SKLB) di sekolah kemudian mengisi daftar cocok (checklist) pertimbangan
penerapannya. Pertimbangan tersebut didasarkan pada empat kriteria, yaitu:
1) Tidak dapat dilaksanakan.diterapkan oleh guru.
2) Dapat dilaksanakan/diterapkan guru apabila mendapatkan pelatihan.
3) Dapat dilaksanakan/diterapkan guru setelah mempelajari secara
mendalam.
Hasil pertimbangan tersebut dapat dikemukakan pada tabel 3.3. berikut
6 Terampil Membantu Orang Tua dan Orang Lain
0 2 2 3 7
7 Mengatasi Konflik 0 2 5 0 7
8 Bersikap Positif Terhadap Orang Lain 0 0 4 3 7
9 Menerima Konsekuensi dari Perbuatan Kita
14 Meningkatkan Keterampilan Menyelesaikan Tugas
0 3 3 1 7
15 Kerja Kelompok (Membuat Suatu Karya Seni)
0 3 4 0 7
Berdasarkan tabel 4.1 di atas tentang pendapat para wali kelas untuk
menerapkan satuan kegiatan layanan konseling, sebanyak 29 pendapat (27,6
%) menyatakan bahwa untuk menerapkan layanan tersebut perlu pelatihan
terlebih dahulu. Sebanyak 51 pendapat (48,6 %) menyatakan bahwa penerapan
layanan tersebut dapat dilaksanakan setelah dipelajari secara mendalam, dan
sebanyak 25 pendapat (23,8%) menyatakan bahwa penerapan layanan tersebut
segera dapat dilaksanakan. Berdasarkan pertimbangan para guru tersebut, model
konseling ini pada dasarnya dapat diterapkan/dilaksanakan di SLB-B.
Berdasarkan pertimbangan tersebut pula, sebelum mengujicobakan layanan
konseling ini, peneliti terlebih dahulu mengadakan pembahasan SKLB secara
lebih mendalam dengan salah seorang wali kelas yang berkolaborasi dengan
peneliti.
Berdasarkan hasil validasi rasional melalui expert judgement dan Focuss
Group Discussion (FGD) tersebut, model hipotetik konseling yang
dikembangkan direvisi sehingga menjadi model hipotetik konseling yang siap
diujicobakan.
3. Tahap Pengujian Model
Tahap ketiga merupakan tahap pengujian model yang telah divalidasi
secara logis/rasional. Pengujian model dilakukan melalui metode pra eksperimen
Untuk lebih jelasnya, rancangan penelitian tersebut dapat digambarkan
melalui skema berikut.
Keterangan :
= Kondisi sebelum perlakuan (pretest)
X = Perlakuan
= Kondisi sesudah perlakuan (posttest) (Arikunto, 2010 : 212)
Subyek penelitian pada tahap pegujian model adalah 12 siswa yang
diambil secara acak dari 20 siswa SMPLB di SLBN-B Cicendo Bandung.
Sedangkan hipotesis penelitiannya adalah: ”Konseling keterampilan hidup dapat meningkatkan keterampilan sosial siswa tuna rungu jenjang SMPLB Bandung.”
Dalam memperoleh fakta empirik tentang efektivitas model konseling
keterampilan hidup untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa tuna rungu,
dilakukan analisis pencapaian keterampilan sosial sebelum dan sesudah mengikuti
layanan konseling yang diberikan dalam pengujian model. Uji efektivitas model
tersebut dilakukan dengan menggunakan Uji Wilcoxon, dengan alasan: (a) data
Berdasarkan hasil pra eksperimen tersebut, model konseling
disempurnakan kembali sehingga menjadi model yang sudah diuji coba/teruji.
Untuk lebih jelasnya, ketiga tahap penelitian tersebut dapat dilihat pada bagan 3.1
berikut.
Bagan 3.1
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Kesimpulan hasil penelitian dan pengembangan model konseling
keterampilan hidup untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa tuna rungu,
dipaparkan sebagai berikut.
Pertama, hasil penelitian ini adalah suatu model konseling keterampilan
hidup untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa tuna rungu jenjang
SMPLB. Model ini didasarkan pada temuan obyektif di lapangan serta kajian
konseptual, yang selanjutnya diujicobakan secara kolaboratif dengan wali kelas
guna mengetahui efektivitasnya. Model tersebut dihasilkan dengan menempuh
prosedur penelitian dan pengembangan yang terdiri dari tiga tahapan utama,
yaitu; studi pendahuluan, pengembangan dan validasi model, serta uji model.
Kedua, hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa pencapaian
keterampilan sosial siswa tuna rungu jenjang SMPLB di Kota Bandung
menunjukkan belum terampil, sehingga memerlukan suatu upaya untuk
meningkatkannya.
Ketiga, Pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di SLB-B Kota
Bandung belum profesional, mengingat di SLB tersebut belum ada tenaga ahli
Keempat, model konseling yang dihasilkan ini terdiri dari beberapa
komponen, yaitu: dasar pemikiran, tujuan, asumsi, peranan konselor&guru
wali kelas, tahapan konseling, serta evaluasi dan indikator keberhasilan, yang
dilengkapi dengan 14 satuan kegiatan layanan konseling sebagai panduan bagi
para guru wali kelas /guru kelas untuk melaksanakan konseling. Hasil validasi
rasional oleh para pakar bimbingan dan konseling, pakar pendidikan luar biasa,
maupun para praktisi di lapangan, menunjukkan bahwa model tersebut layak
untuk diujicobakan.
Kelima, setelah diujicobakan, model konseling keterampilan hidup
tersebut efektif untuk meningkatkan semua aspek keterampilan sosial siswa tuna
rungu jenjang SMPLB di SLB-B Kota Bandung.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti memberikan saran kepada
pihak-pihak terkait sebagai berikut.
1. Saran untuk Kepala SLB-B
a. Seyogyanya kepala sekolah menetapkan dan mensosialisasikan kebijakan serta
pengaturan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling secara eksplisit
b. Menyediakan buku-buku panduan penyelenggaraan layanan bimbingan dan
konseling yang akan sangat bermanfaat bagi para guru dalam memberikan
bimbingan bagi para siswanya.
2. Saran untuk Guru Wali Kelas/ Guru Kelas
a. Mengkaji lebih jauh konsep-konsep dasar bimbingan dan konseling, baik yang
menyangkut kedudukan dan fungsi bimbingan dalam keseluruhan program
pendidikan, jenis-jenis layanan bimbingan dan konseling, maupun
pengembangan keterampilan sosial siswa tuna rungu dengan melaksanakan
brain storming yang dipandu oleh nara sumber yang berkompeten
b. Membuat program layanan bimbingan dan konseling khususnya dalam bidang
sosial, baik yang menyangkut layanan pengumpulan data siswa, penyajian
informasi dan penempatan, layanan konseling, serta penilaian dan penelitian.
c. Meningkatkan kompetensinya di bidang layanan bimbingan dan konseling
dengan membaca literatur, berhubung pelatihan B&K yang dikhususkan
untuk guru SLB sangat terbatas.
3. Saran untuk Pengambil Kebijakan Terkait
a. Perlunya dilakukan penempatan tenaga ahli/ konselor di SLB, khususnya di
SLB-B. Hal ini sesuai harapan kepala sekolah maupun guru wali kelas, yang
mengalami kendala dalam melaksanakan layanan bimbingan terhadap
layanan bimbingan dan konseling (B&K). Disamping menyelenggarakan
layanan B&K terhadap siswa tuna rungu, konselor dapat menjadi konsultan
bagi guru-guru di SLB untuk menberikan layanan pendidikan yang lebih
efektif bagi siswanya. Pentingnya ada tenaga konselor di SLB adalah untuk
kefektifan layanan yang diberikan dengan berbagai teori konseling yang dapat
diterapkan pada siswa tuna rungu.
b. Pentingnya diselenggarakan pelatihan tentang layanan bimbingan dan konseling
terhadap para guru secara lebih intensif, mengingat terbatasnya pemahaman
para guru SLB khususnya SLB-B Kota Bandung terhadap layanan bimbingan
dan konseling. Selama ini pelatihan yang sering mereka terima berkaitan
dengan bidang akademik dan bidang kekhususan, seperti Bina Komunikasi
persepsi bunyi dan Irama.
4. Saran untuk Peneliti Selanjutnya
a. Model konseling keterampilan hidup yang dihasilkan dalam penelitian ini,
ditujukan untuk meningkatkan keterampilan sosial yang merupakan aspek
dari keterampilan hidup. Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian
untuk menghasilkan model konseling tersebut guna meningkatkan aspek
keterampilan hidup lainnya, seperti responsiveness, realism, serta rewarding
activity skills.
b. Penelitian dan pengembangan model konseling keterampilan hidup ini hanya
dilaksanakan terhadap salah satu jenis siswa berkebutuhan khusus, yaitu siswa
pengembangan keterampilan hidup untuk meningkatkan keterampilan sosial
siswa – siswa berkebutuhan lainnya, seperti siswa tuna netra, siswa tuna
grahita, siswa tuna daksa, dan siswa dengan gangguan perilaku dan emosi.
c. Penelitian ini lebih mengarah pada siswa yang memiliki keterampilan sosial
dalam kategori yang belum baik atau belum terampil. Oleh karena itu peneliti
menyarankan para peneliti selanjutnya untuk meneliti orang-orang
penyandang tuna rungu yang memiliki keterampilan sosial yang
diindikasikan terampil, terutama untuk mengungkap layanan intervensi yang
diperolehnya sehingga menjadi orang yang terampil dalam keterampilan
sosialnya. Hal ini sangat penting dilakukan, karena akan menjadi masukan
yang berharga bagi para orang tua yang memiliki anak tunarungu maupun
bagi guru yang mengajar siswa tuna rungu dalam mengembangkan potensi
yang dimilikinya, sehingga menjadi siswa yang mandiri dan berdaya guna
dalam kehidupannya di masyarakat.
d. Kepada peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian dengan
mengungkap pencapaian keterampilan sosial siswa tuna rungu melalui
evaluasi eksternal, misalnya oleh guru atau orang tua disamping evaluasi
internal oleh siswa yang bersangkutan.
e. Dalam penelitian ini, uji efektivitas model dilakukan melalui disain
praeksperimen. Oleh karena itu, kepada peneliti selanjutnya disarankan untuk
melakukan penelitian serupa dengan disain eksperimen yang lebih powerfull
DAFTAR PUSTAKA
Admin (2008). Antara Hard Skill dan Soft Skill. [Oneline]. Tersedia: http://www.infocomcareer.com. [ Mei 2012]
Afgani,M.W. (2012). Tiga Teori yang Melandasi Pendidikan [Oneline]. Tersedia: http//Muhammad-win-afgani.blogspot.com/2012/01/tiga-teori-yang
melandasi-pendidikan.html [8 Februari 2012]
Ahmadi A. (1991). Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta
Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan dan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
______. (2010). Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.
Borgh. & Gall,M.D. (1979). Educational Research. New York : Longman Inc.
Boothroyd, Arthur. (1982). Hearing Impairments in Young Children. Prentice Hall,Inc.Englewood Cliffs,N.J.07632.
Bunawan, Lani. (1983). Psikologi Anak Tunarungu. Jakarta : Yayasan Santi Rama.
Cartledge, G.& Milburn, J.F. (1992). Teaching Social Skills to children : Innovative Approach. New York : Perganon Press.
Darling, Nancy. (1999). Parenting Style and Its Correlates. ERIC Digest : ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education Champaign IL. (Online). Tersedia: http://www.ericdigests.org/1999-4/parenting. htmentals [14 Januari 2010]
Depdiknas (2005). Indikator Keberhasilan Program Pengembangan Pendidikan Kecakapan Hidup di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta : Depdiknas.
_______ . (2007). Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam jalur Pendidikan Formal. Jakarta : Depdiknas.
Gall, M. et al (2003). Educational Research, an Introduction. New York : Pearson Education, Inc.
Hartup, Willard W. (1992). Having Friends,Making Friends, and Keeping Friends: Relationships as Educational Contexts: The ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education [Oneline]. Tersedia : http://ceep.crc.uiuc.edu/pubs/ivpaguide/appendix/hartup-friends.pdf. [14 Januari 2010]
Hardman, M.L. et al. (1990). Human Exceptionality (3rd edition). Massachusetts: A Division of Simon& Schuster Inc.
Hernawati, T. (2000). Layanan Dasar Bimbingan dalam Mengembangkan Perilaku Sosial Siswa Tunarungu. Tesis pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
Hurlock, E.B. (1997). Perkembangan Anak. Jilid 1 jakarta : Erlangga.
Jimenez, C. et al. (t.t.). Social Skills for Middle School Students. [Online]. Tersedia: http://www.cccoe.net/social/skillslist.htm [28 Maret 2008]
Kartadinata,S. (2011). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling sebagai Upaya Pedagogis, Kiat mendidik sebagai Landasan Profesional Tindakan Konselor. Bandung : UPI Press.
Kirk,S. & Gallagher, J. (1989). Educting Exceptional Children ( Six ted.). Boston: Houghton Mifflin Company.
Ladd & Asher. (1985). Social Skill L’ATraining anf Children’s Peer Relations dalam L’Abate, L. & Milan,M.A. (Eds). (1985). Handbook of Social Skills Training and Research. New York : John Wiley and Sons Inc.
Martono, N. (2010). Statistik Sosial, Teori dan Aplikasi program SPSS. Jogjakarta: Gaya Media.
Monks F.J. et al. (1996) Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Moores, D.F.(1981). Educating The Deaf Psychology, Principle, and Practices (2nd Edition). Boston: Houghton Mifflin Company.
Musselman, C., et al. (1996) “The Social Adjustment of Deaf Adolescents in Segregated, Partially Integrated, and Mainstreamed Settings”, Journal of Deaf Studies and Deaf Education, 1,(1),52-63.
_______. (1995). Practical Counselling and Helping Skills, How to Use the Lifekills Helping Model (3rd Edition). London: British Library Cataloguing in Publication Data.
_______. (1997). Practical Counselling and Helping Skills, Texts and Exercises for the Lifeskills Counselling Model (4th Edition). London : British Library Cataloguing in Publication Data.
Nurihsan, A. Juntika. (2006). Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung: Refika Aditama.
Phillips, E. Lakin. Social Skills: History and Prospect. dalam L’Abate, L. & Milan,M.A. (Eds). (1985). Handbook of Social Skills Training and Research. New York : John Wiley and Sons Inc.
Qassem, Ali. (t.t.). Pembinaan Keterampilan Diri, [Online], Tersedia : www.aliqassem.com [23 Mei 2009]
Rusmana, N. (2009. Permainan (Game & Play). Permainan untuk para Pendidik,Pembimbing, Pelatih dan Widyaiswara. Bandung : Rizki.
_______ (2009). Bimbingan dan Konseling Kelompok di sekolah (Metode, Teknik, dan Aplikasi). Bandung : Rizki.
Sasongko, Rambat, N.(2001). Model Pembelajaran Aksi Sosial untuk Pengembangan Nilai-Nilai dan Keterampilan Sosial. Disertasi Doktor pada Pendidikan Umum UPI.
Sanjaya, W. (2005). Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Prenada media.
Suarez, M. (2000). Promoting Social Competence in Deaf Students: The Effect of an Intervention Program. Dalam Journal. of Deaf Studies and Deaf Education [Online],Vol 5 (4), 11 halaman. Tersedia : http://jdsde.oxfordjournals.org/content/5/4/323 [Mei 2012]
Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito Bandung
Sukartini. (2003). Pendekatan Konseling Keterampilan Hidup: Inovasi dalam Bidang Bimbingan dan Penyuluhan. Jurnal Mimbar Pendidikan. No.4/XXII/2003.
Sunardi. (2010). Kurikulum Pendidikan Luar Biasa di Indonesia dari Masa ke Masa. [Oneline], Tersedia: www.puskurbuk.net/.../Sejarah_Kurikulum_PLB.[8 Pebruari 2012]
Syaodih,N.S. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Refika Aditama.
Uden,V. (1977).A.World of Language for Deaf Children;Basic Principles A Maternal Reflective Method, Swetz & Zeitlinger, Amsterdam& Lisse.
Yusuf, Syamsu & Nurihsan, A. Juntika. (2006). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Yusuf, Syamsu. (2005). Psikologi Perkembangan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.