• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL KONSELING KETERAMPILAN HIDUP (LIFESKILLAS COUNSELING) UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA TUNA RUNGU JENJANG SMPLB DI SLB-B KOTA BANDUNG.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL KONSELING KETERAMPILAN HIDUP (LIFESKILLAS COUNSELING) UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA TUNA RUNGU JENJANG SMPLB DI SLB-B KOTA BANDUNG."

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KONSELING KETERAMPILAN HIDUP (

LIFESKILLS

COUNSELING)

UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL

SISWA TUNA RUNGU JENJANG SMPLB DI SLB-B KOTA BANDUNG

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Persyaratan untuk

Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan dalam

Bidang Bimbingan dan Konseling

Promovendus

Tati Hernawati

1009558

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

SEKOLAH PASCASARJANA

(2)

UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA TUNA RUNGU JENJANG SMPLB DI SLB-B KOTA BANDUNG

Oleh

Tati Hernawati

S.Pd. IKIP Bandung, 1986

M.Pd. UPI Bandung, 2000

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Program Studi Bimbingan dan Konseling

© Tati Hernawati, 2012

Universitas Pendidikan Indonesia

September 2012

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,

(3)
(4)
(5)
(6)

Tati Hernawati.(2012). Model Konseling Keterampilan Hidup (Lifeskillas Counseling) untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial Siswa Tuna Rungu Jenjang SMPLB di SLB-B Kota Bandung. Program Studi Bimbingan dan Konseling, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia.

Penelitian ini dilatarbelakangi belum optimalnya pencapaian keterampilan sosial siswa tunarungu, khususnya pada jenjang SMPLB. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu model konseling untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa tuna rungu jenjang SMPLB. Adapun pendekatan konseling yang diasumsikan efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial tersebut adalah konseling keterampilan hidup. Subyek dalam studi pendahuluan adalah siswa tuna rungu jenjang SMPLB yang ada di Kota Bandung sejumlah 32 siswa, sedangkan subyek dalam uji coba model sebanyak 12 siswa dari SLB-B Cicendo Bandung. Model konseling yang dihasilkan dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi guru wali kelas atau guru Bimbingan&Konseling di sekolah dalam upaya meningkatkan keterampilan sosial siswa tuna rungu serta membantu penerapan kebijakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam mengembangkan pendidikan yang berorientasi keterampilan hidup. Untuk mencapai tujuan di atas, peneliti menggunakan model penelitian dan pengembangan (Research and Development atau R&D). Berdasarkan model penelitian tersebut, penelitian dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap studi pendahuluan, pengembangan dan validasi model, serta pengujian model. Temuan penelitian adalah: Pertama,pencapaian keterampilan sosial siswa tuna rungu jenjang SMPLB sebagian besar (78%) berada pada kategori cukup dan sebagian kecil (22%) berada pada kategori kurang. Kedua, Model konseling keterampilan hidup mencakup dasar pemikiran, tujuan, asumsi, peranan konselor & guru wali kelas, tahapan konseling, serta evaluasi dan indikator keberhasilan. Ketiga, hasil uji efektivitas menunjukkan bahwa model konseling keterampilan hidup efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa tuna rungu.

(7)

Tati Hernawati (2012). Lifeskills Counseling Model to Increase Social Skill of Students

with Hearing Impairment in Special Junior High School in B-Special School in Bandung.

Guidance and Counseling Study Program, Post Graduate School of Indonesia University of Education (UPI).

The background of this study is the high amount of problems related to the low social skills achievement of students with hearing impairment, particularly in Special Junior High School. Therefore, the aim of this study is to produce a counseling model to increase social skills of students with hearing impairment in Special Senior High School. The counseling approach assumed as effective strategy to increase social skills is lifeskills counseling. The subject in preliminary study are 32 students with hearing impairment in Special Junior High School level in Bandung while the amount of model try out are 12 students from Special School Cicendo Bandung. The counseling model can be used by the homeroom teachers/counselor to increase the social skill of students with hearing impairment and support the implementation of National Education Ministries policy in order to develop lifeskills oriented education. In order to reach the goal, the researcher used research and development model or R&D. Based on the research model, the study was devided into three steps, preliminary study, model development and validation, and model testing. This study has three results, first, the social skills achievement of students with hearing impairment in most of Special Junior High School (78%) are in sufficient category and small amount (22%) are in low category. Second, lifeskills counseling model involves rationale, aim, assumption, role of counselor and homeroom teacher, counseling steps, and the evaluation and indicator of success. Third, effectivity test result shows that lifeskills counseling model is effective to increase social skill of students with hearing impairment.

Keywords: model, lifeskills counseling, social skill, and hearing impairment.

(8)

DAFTAR ISI A. Latar Belakang Penelitian ………1

B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ………7

C. Tujuan Penelitian ………..8

D. Manfaat Penelitian ………9

E. Struktur Organisasi Disertasi ………..10 BAB II : KONSELING KETERAMPILAN HIDUP DAN PENGEMBANGAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA TUNA RUNGU A. Konseling Keterampilan Hidup ……….…12

B. Keterampilan Sosial ………...27

C. Pengembangan Keterampilan Sosial Siswa Tuna Rungu …………...49

D. Penelitian yang Relevan ………..57

(9)

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Peneltian ………84

B. Pembahasan Hasil Penelitian ………123

BAB V : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ………...131

B. Saran ……….132

DAFTAR PUSTAKA ………...136

LAMPIRAN-LAMPIRAN ………..140

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Kisi- Kisi Instrumen Pengumpulan Data Pencapaian

Sosial siswa ………...70 3.2 Kisi-kisi Instrumen Pengumpulan Data Pelaksanaan

Layanan Bimbingan dan Konseling di SLB –B ………72 3.3 Pertimbangan Penerapan SKLB ... 80 4.1 Hasil Pencapaian Skor Keterampilan Sosial Siswa Tunarungu

(11)

DAFTAR BAGAN

Bagan Halaman

3.1 Tahapan Penelitian dan Pengembangan Konseling

(12)

DAFTAR GRAFIK

Grafik Halaman

4.1 Gambaran Pencapaian Keterampilan Sosial Siswa Tuna Rungu Jenjang SMPLB

……….…………85 4.2 Gambaran Pencapaian Setiap Aspek Keterampilan

Sosial ………...86 4.3 Perbedaan Skor Pretest dan Posttest Keterampilan

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Siswa tuna rungu jenjang SMPLB termasuk dalam masa remaja. Pada

masa ini, individu sudah memasuki dunia pergaulan yang lebih luas, di mana

pengaruh teman-teman dan lingkungan sosialnya sangat berpengaruh. Agar

mereka dapat menghadapi kehidupan dengan segala permasalahannya, diperlukan

berbagai keterampilan hidup. Salah satu keterampilan hidup yang harus dikuasai

individu, termasuk remaja tunarungu, adalah keterampilan sosial. Combs&Slaby

(Cartledge&Milburn, 1995:7) mengemukakan bahwa keterampilan sosial

merupakan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam suatu

konteks sosial dengan cara-cara yang spesifik yang secara sosial dapat diterima,

dan pada saat bersamaan dapat menguntungkan secara pribadi, menguntungkan

bersama, atau menguntungkan orang lain.

Depdiknas (2005:3) mengemukakan bahwa kecakapan (keterampilan)

hidup, ada yang bersifat generik dan spesifik. Keterampilan hidup generik

mencakup keterampilan pribadi dan sosial, sedangkan keterampilan hidup

spesifik mencakup keterampilan akademik dan vokasional. Sedangkan menurut

Nelson& Jones (1997:39), keterampilan hidup yang harus dikuasai individu

mencakup Responsiveness, Realism, Relating skills, Rewarding activity skills,dan

(14)

yaitu Relating skills dan Right-and-wrong skills tercakup dalam keterampilan

sosial.

Keterampilan sosial sangat diperlukan untuk menyesuaikan diri dalam

kehidupan sehari-hari. Kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan sosial

menyebabkannya sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.

Kegagalan menyesuaikan diri dapat menyebabkan timbulnya rasa rendah diri,

dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku kurang normatif, dan

sebagainya. Dalam perkembangan yang lebih ekstrim, hal itu bisa menyebabkan

terjadinya kenakalan remaja, tindakan kriminal, bahkan disertai tindakan

kekerasan.

Kegagalan dalam menguasai keterampilan sosial dapat juga terjadi pada

siswa tunarungu. Siswa tunarungu merupakan siswa yang mengalami kekurangan

atau kehilangan kemampuan mendengar secara signifikan. Kondisi ini memiliki

dampak terhadap kehidupannya, baik sebagai individu maupun sebagai insan

sosial, sehingga mempengaruhi kehidupan mereka baik di sekolah, di rumah,

maupun di masyarakat.

Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perilaku sosial siswa

tunarungu belum mencapai hasil yang optimal (Hernawati, 2000). Dari hasil

penelitian tersebut diperoleh gambaran bahwa: dalam aspek bersikap respek

terhadap orang lain hanya mencapai 68%; aspek berpartisipasi dalam kegiatan

sekolah (70%); aspek berpartisipasi dalam kegiatan di masyarakat (62,8%); aspek

(15)

berperilaku sesuai dengan peraturan sekolah (64,2%); aspek memiliki kepedulian

terhadap kepentingan orang lain ( 64%), dan aspek belajar mengembangkan sikap

peka terhadap masalah sosial (51,5%).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, semua indikator perilaku sosial

menunjukkan hasil yang belum optimal. Indikator yang menunjukkan ke arah

tersebut antara lain adanya siswa-siswa tunarungu yang belum menunjukkan

sikap respek terhadap orang tuanya; melangggar tata tertib sekolah (seperti

merokok di lingkungan sekolah, tidak mengikuti upacara, dan membolos);

partisipasi siswa dalam kegiatan kemasyarakatan masih rendah; serta masih ada

siswa-siwa yang menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma

misalnya suka berbohong.

Dari beberapa guru SLB-B diperoleh informasi bahwa di antara siswa

tunarungu terdapat siswa-siswa yang menunjukkan perilaku sosial negatif, seperti

mencuri, bepergian (bahkan pergi ke luar kota) tanpa pamit pada orang tua

sehingga mencemaskan orang tua mereka, kurang memperhatikan tata tertib

sekolah, bertengkar dengan sesama teman, mudah marah, mudah tersinggung

serta cenderung bersosialisasi dengan sesama tunarungu saja.

Kondisi di atas mengindikasikan bahwa keterampilan sosial sebagian

siswa tunarungu masih kurang optimal. Kurang optimalnya keterampilan

tersebut, dapat dipengaruhi oleh kelainan yang disandangnya serta sikap

(16)

disebutkan di atas, bahwa kondisi ketunarunguan memiliki dampak dalam

kehidupannya baik sebagai individu maupun sebagai insan sosial.

Salah satu dampak ketunarunguan adalah terhambatnya komunikasi

verbal/lisan, baik secara ekspresif (berbicara) maupun reseptif (memahami

pembicaraan orang lain). Kondisi tersebut mengakibatkan kesulitan

berkomunikasi dengan orang yang memiliki pendengaran normal yang lazim

menggunakan bahasa lisan sebagai alat komunikasi utama. Sebaliknya orang

dengan pendengaran normal pada umumnya sulit memahami bahasa isyarat yang

menjadi bahasa ibu kaum tunarungu.

Komunikasi merupakan dasar terjalinnya interaksi sosial yang baik.

Masalah dalam berkomunikasi dapat menambah kesulitan dalam berperilaku

sosial (Kirk, 1989:315). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian tentang

penyesuaian sosial remaja tuna rungu yang terdaftar dalam setting segregasi (n =

39), terpadu sebagian (n = 15), dan mainstreaming (n = 17), yang dibandingkan

dengan siswa mendengar (n = 88) sebagai kelompok kontrol. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa siswa tuna rungu dalam seting segregasi mencapai

tingkat penyesuaian yang paling rendah secara keseluruhan, baik dibandingkan

dengan siswa mendengar maupun dengan siswa tuna rungu dalam seting terpadu

sebagian dan mainstreaming, sebagaimana dipersepsi memiliki kompetensi sosial

yang rendah. (Musselman et al.,1996).

Gambaran dari kenyataan tentang perilaku sosial siswa tunarungu

(17)

mendapat bantuan untuk meningkatkan keterampilan sosialnya. Dengan

peningkatan keterampilan sosial tersebut, diharapkan siswa tunarungu dapat

menjalani hidupnya secara lebih harmonis di masyarakat. Hal tersebut

sebagaimana yang tersirat dalam tujuan pendidikan luar biasa (tertuang dalam PP

Nomor 72 tahun 1991), yaitu membantu siswa agar mampu mengatasi kelainan

yang disandang serta mampu mengembangkan sikap, pengatahuan, dan

ketrampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan

hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar serta

dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan

lanjut (Sunardi, 2010: 68).

Pengembangan keterampilan sosial merupakan suatu hal yang sangat

penting, sesuai dengan yang digariskan oleh UNESCO bahwa pendidikan harus

berada dalam empat pilar, yang dikenal dengan The Four Pilar of Education,

yaitu : Learning to Know, Learning to Do, Learning to Be, and Learning to Live

Together (Sanjaya,2005: 97-98). Pengembangan keterampilan sosial erat

kaitannya dengan pilar pendidikan yang keempat, yaitu learning to live together

atau belajar untuk hidup bersama. Siswa dituntut untuk memiliki keterampilan

sosial yang memadai agar dapat bergaul dan bekerja sama, sehingga dapat hidup

secara harmonis dengan lingkungannya baik di sekolah, di rumah, maupun di

masyarakat.

Salah satu upaya peningkatan keterampilan sosial, adalah melalui

(18)

mampu memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan

menentukan tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa

bahagia serta memiliki perilaku yang efektif (Nurihsan, 2006:10). Hal ini sejalan

dengan apa yang dikemukakan oleh Kartadinata (2011:23-24) bahwa bimbingan

dan konseling merupakan upaya pedagogis untuk memfasilitasi perkembangan

individu dari kondisi apa adanya kepada kondisi bagaimana seharusnya sesuai

dengan potensi yang dimilikinya; bimbingan dan konseling adalah sebuah upaya

normatif.

Dalam konseling terdapat berbagai pendekatan yang dapat diterapkan

dalam membantu konseli. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan dalam

meningkatkan keterampilan sosial siswa adalah konseling keterampilan hidup (life

skills counseling). Nelson &Jones (1977:8) mengemukakan bahwa konseling

keterampilan hidup merupakan suatu pendekatan konseling yang berpusat pada

individu untuk membantu konseli mengembangkan keterampilan menolong diri

sendiri (self-helping skills).

Konseling keterampilan hidup dipilih karena konseling ini memiliki

beberapa keunggulan, antara lain pertama, Konseling keterampilan hidup

memiliki tujuan utama yaitu menolong diri (self-helping), dimana konseli

memelihara dan mengembangkan kekuatan keterampilan berpikir dan

keterampilan bertindak, yang tidak hanya untuk mengatasi masalah yang ada,

namun juga mencegah dan menangani masalah-masalah yang mungkin akan

(19)

Berdasarkan uraian di atas, peningkatan keterampilan sosial siswa

tunarungu diindikasikan dapat diupayakan melalui konseling dengan

menggunakan pendekatan konseling keterampilan hidup. Namun konseling

keterampilan hidup dengan model yang bagaimana yang efektif untuk

meningkatkan keterampilan sosial siswa? Model tersebut harus sesuai dengan

kebutuhan siswa tuna rungu serta kondisi sekolah dalam kaitannya dengan

layanan bimbingan dan konseling. Hal inilah yang perlu dikaji melalui penelitian

ini.

B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Keterampilan sosial sangat penting dimiliki oleh manusia termasuk siswa

tunarungu, agar dapat bersosialisasi secara positif, sehinga tercipta keharmonisan

dalam hidup bermasyarakat. Keterampilan sosial dipengaruhi oleh berbagai

faktor, di antaranya adalah faktor kondisi anak sendiri, serta pengalaman

interaksinya dengan lingkungannya seperti lingkungan keluarga, sekolah, dan

teman sebaya. Kondisi anak dalam keadaaan tunarungu dapat mempengaruhi

keterampilan sosialnya. Hal tersebut dapat dipahami, mengingat kehilangan

kemampuan mendengar menyebabkan terhambatnya kemampuan berkomunikasi

yang sangat dibutuhkan dalam mengadakan interaksi dengan lingkungan sosialnya

secara luas. Demikian juga lingkungan yang kurang kondusif, dapat

memperlemah keterampilan sosialnya. Oleh karena itu pada mereka perlu

(20)

Dalam pemberian layanan konseling tersebut perlu adanya suatu model

konseling yang betul-betul sesuai dengan kondisi di lapangan, sehingga dapat

dilaksanakan secara efektif. Keterampilan sosial merupakan salah satu

keterampilan hidup yang harus dikuasai individu, oleh karena itu model konseling

yang digunakan adalah model konseling keterampilan hidup.

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah: Apakah model konseling keterampilan hidup efektif untuk meningkatkan

keterampilan sosial siswa tunarungu jenjang SMPLB?

Rumusan masalah di atas, selanjutnya dijabarkan dalam pertanyaan

penelitian sebagai berikut.

1. Seperti apa tingkat keterampilan sosial yang dimiliki siswa tunarungu jenjang

SMPLB sebelum mendapat perlakuan?

2. Seperti apa pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di SLB-B Kota

Bandung?

3. Seperti apa rumusan model hipotetik konseling keterampilan hidup untuk

meningkatkan keterampilan sosial siswa tunarungu?

4. Bagaimana efektivitas model konseling keterampilan hidup untuk

meningkatkan keterampilan sosial siswa tunarungu?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan akhir penelitian ini adalah terbentuknya model konseling

(21)

siswa tunarungu jenjang SMPLB. Tujuan akhir tersebut, selanjutnya dijabarkan

menjadi tujuan operasional berikut.

1. Memperoleh gambaran mengenai keterampilan sosial siswa tunarungu

jenjang SMPLB sebelum mendapat perlakuan.

2. Memperoleh gambaran mengenai pelaksanaan layanan bimbingan dan

konseling di SLB/B Kota Bandung.

3. Merumuskan model hipotetik konseling keterampilan hidup untuk

meningkatkan keterampilan sosial siswa tunarungu.

4. Memperoleh gambaran mengenai efektivitas model konseling keterampilan

hidup untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa tunarungu.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan menghasilkan suatu model konseling

keterampilan hidup untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa tunarungu.

Hasil penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat teoretis maupun

praktis sebagaimana dipaparkan berikut ini.

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi

khazanah ilmu pengetahuan, khususnya mengenai konsep dasar pengembangan

keterampilan sosial siswa tunarungu. Di samping itu, hasil penelitian ini

(22)

khususnya tentang pendekatan yang dapat digunakan dalam layanan bimbingan

dan konseling terhadap siswa, yaitu pendekatan keterampilan hidup.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

sebagai berikut.

a. Model konseling keterampilan hidup yang dihasilkan dapat dipergunakan

oleh konselor sekolah dalam upaya mengembangkan keterampilan sosial

siswa tunarungu.

b. Terbentuknya model konseling keterampilan hidup dapat membantu

penerapan kebijakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam

mengembangkan pendidikan yang berorientasi keterampilan hidup.

c. Dengan terbentuknya model konseling keterampilam hidup, diharapkan dapat

meningkatkan motivasi konselor untuk menerapkan dan mengembangkan

layanan bimbingan dan konseling sebagai komponen yang terpadu dalam

program pendidikan di Sekolah Luar Biasa.

E. Struktur Organisasi Disertasi

Hasil penelitian dikemas menjadi karya tulis ilmiah yang berisi lima bab

(23)

Bab I : Pendahuluan, yang berisi latar belakang penelitian , rumusan

masalah dan pertanyaan penelitian, tujuan, manfaat, serta struktur

organisasi disertasi.

Bab II : Landasan teoretik tentang konseling keterampilan hidup dan

pengembangan keterampilan sosial siswa tunarungu, penelitian

terdahulu yang relevan serta kerangka berpikir.

Bab III : Metode Penelitian, yang membahas metode penelitian, defnisi

perasional variabel, subyek penelitian, serta tahap-tahap penelitian.

Bab IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan

(24)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan model Penelitian dan

Pengembangan (Research and Development atau R&D). Model penelitian

tersebut dipilih karena melalui penelitian ini, peneliti ingin menghasilkan suatu

produk, yaitu model konseling keterampilan hidup yang efektif untuk

meningkatkan keterampilan sosial siswa tunarungu.

Gall et al (2003:569) mengemukakan bahwa penelitian dan

pengembangan pendidikan merupakan model pengembangan berbasis industri,

di mana temuan penelitian digunakan untuk merancang produk dan prosedur baru,

yang kemudian secara sistematis diuji lapangan, dievaluasi, dan disempurnakan

hingga memenuhi kriteria yang ditentukan dalam efektivitas, kualitas, atau

standar. Produk dalam pendidikan tidak hanya dalam bentuk buku teks, film

instruksional, atau program komputer, melainkan juga metode atau model

pengembangan program yang terkait dengan kegiatan pendidikan (Sukmadinata,

2006 : 165).

Disamping itu, R&D ini dipilih karena model tersebut memiliki

keunggulan dilihat dari prosedur kerjanya yang sistematis, dimana produk

penelitian dilakukan melalu serangkaian kegiatan yang sistematis dimulai dari

(25)

dilakukan pengembangan produk dengan melakukan validasi, serta

mengujicobakan model sehingga diperoleh model konseling yang teruji

sebagai produk penelitian ini.

Sebagaimana disebutkan di atas, penelitian dan pengembangan ini

dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahap studi pendahuluan, pengembangan

dan validasi model, serta pengujian model. Tahapan tersebut mengacu pada

modifikasi tahapan penelitian dengan model R&D yang dikemukakan oleh

Syaodih dkk. (Sukmadinata, 2006:189). Sesuai dengan tahapan tersebut, peneliti

menggunakan beberapa metode penelitian. Pada tahap pendahuluan, peneliti

menggunakan metode penelitian deskriptif, pada tahap pengembangan model

menggunakan metode kualitatif, sedangkan tahap pengujian model menggunakan

metode eksperimen.

A. Definisi Operasional Variabel

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan dalam bab satu, terdapat

dua konsep utama dalam penelitian ini, yaitu model konseling keterampilan hidup

dan keterampilan sosial siswa tuna rungu. Definisi operasional tentang kedua

konsep tersebut, diuraikan sebagai berikut.

1. Model Konseling Keterampilan Hidup

Model merupakan perangkat asumsi, proposisi/prinsip yang terverifikasi

secara empirik, diorganisasikan ke dalam sebuah struktur kerja untuk

(26)

(Kartadinata, 2008). Dalam definisi lain, model merupakan representasi sebuah

sistem, dimana model dipandang sebagai sesuatu yang memiliki sistem yang

sesungguhnya (Law&Kelton, 1991:5). Mills et al.(dalam Kenedi, 2005:14)

mengemukakan bahwa model merupakan bentuk representasi akurat sebagai

proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba

bertindak berdasarkan pijakan yang terpresentasi dalam model tersebut.

Selanjutnya Shertzerb&Stone (1982 : 62) mengemukakan bahwa model merujuk

pada representasi dari sebuah sebuah hasil akhir yang diabstraksikan karena

nilai-nilai tersebut sudah melekat atau telah menjadi sifatnya.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka yang dimaksud model dalam

penelitian ini adalah suatu representasi atau gambaran akurat sebuah sistem yang

diorganisasikan ke dalam sebuah struktur kerja sebagai pijakan seseorang atau

sekelompok orang untuk bertindak.

Model konseling keterampilan hidup merupakan suatu pola pemberian

bantuan yang berpusat pada individu untuk membantu konseli mengembangkan

keterampilan menolong diri sendiri atau self-helping skill. Konseling keterampilan

hidup ini bertujuan agar konseli memelihara dan mengembangkan kekuatan

keterampilan berpikir dan bertindak, tidak hanya untuk mengatasi masalah yang

ada, namun juga mencegah dan menangani masalah yang mungkin timbul di

masa mendatang (Nelson&Jones, 1997:8). Model konseling ini merujuk pada

(27)

Nelson&Jones,1997:40-48) yang terdiri dari lima tahap yang dikenal dengan

DASIE ( Develop.Assess, State, Intervene, and Emphase take-away).

2. Keterampilan Sosial

Sesuai dengan landasan teoretik yang telah dikemukakan pada bab dua,

keterampilan sosial dalam penelitiaan ini didefinisikan sebagai kemampuan

seseorang untuk membuat dan mengimplementasikan serangkaian pilihan dalam

mengadakan interaksi dengan lingkungan sosial, sehingga memperoleh adaptasi

yang harmonis dalam kehidupan di masyarakat.

Aspek-aspek keterampilan sosial yang harus dimiliki individu sangat

beragam, dan yang menjadi rujukan dalam penelitian ini didasarkan pada daftar

keterampilan sosial, yang dikemukan oleh Cartledge & Milburn (1992:15), yang

mencakup: (1) Perilaku terhadap lingkungan (environmental behaviors) dengan

indikator; (2) Perilaku interpersonal (interpersonal behavior); (3) Perilaku yang

berhubungan dengan diri sendiri (self-related behaviors); dan (4) Perilaku yang

berhubungan dengan tugas (task-related behaviors).

Aspek perilaku terhadap lingkungan (environmental behaviors)

merupakan perilaku bagaimana individu memperlakukan lingkungan dengan

beberapa bentuk respon, diantaranya, adalah peduli terhadap lingkungan dan

peduli terhadap keadaan emergensi atau situasi darurat yang muncul secara

tiba-tiba. Aspek perilaku interpersonal (interpersonal behavior) merupakan perilaku

(28)

adanya kemampuan berkomunikasi dengan baik,mau menerima otoritas orang

lain,memberi perhatian, mau membantu orang lain, mampu mengatasi konflik

dengan orang lain, dan bersikap positif terhadap orang lain.

Perilaku yang berhubungan dengan diri sendiri (self-related behaviors)

antara lain ditunjukkan dengan perilaku mau menerima konsekuensi,

menunjukkan perilaku yang beretika, menunjukkan perilaku yang bertanggung

jawab, serta bersikap positif terhadap diri sendiri.

Perilaku yang berhubungan dengan tugas (task-related behaviors),

merupakan perilaku yang berhubungan dengan tugas-tugas yang berkaitan dengan

kegiatan belajar di sekolah. Perilaku tersebut atara lain: Mengajukan dan

menjawab pertanyaan, mampu menyelesaikan tugas, dan menunjukkan aktivitas

berkelompok.

B. Subyek Penelitian

Subyek penelitian untuk tahap pendahuluan, adalah 36 siswa tuna rungu

jenjang SMPLB (keseluruhan siswa yang aktif) dari enam SLB-B, dengan

perincian: 20 siswa SLB Cicendo; dua siswa SLB- BC Budaya Bangsa; empat

siswa SLB-B Silih Asih; enam siswa SLB-B Sukapura; dua siswa SLB-B Tut

Wuri Handayani, dan dua siswa SLB-BC YPLAB. Responden dalam penelitian

ini adalah kepala sekolah serta guru wali kelas/guru kelas dari sekolah tersebut.

Subyek penelitian pada tahap pengujian model adalah 12 siswa SMPLB

(29)

teknik sampling berstrata, yang menghasilkan 2 siswa (semua) yang memiliki

pencapaian keterampilan sosial pada kategori kurang dan 10 siswa (diambil

secara acak) yang memiliki pencapaian keterampilan sosial pada kategori cukup.

D. Tahap-Tahap Penelitian

Penelitian dan pengembangan dalam pelaksanaannya dilakukan melalui

serangkaian tahapan kegiatan yang saling berkaitan. Borg & Gall (1989:624)

mengemukakan bahwa penelitian dan pengembangan dilakukan melalui sepuluh

tahapan, yaitu: (1) penelitian dan pengumpulan informasi; (2) perencanaan; (3)

pengembangan produk pendahuluan; (4) uji coba pendahuluan; (5) revisi terhadap

produk utama; (6) uji coba utama yang didasarkan pada hasil uji coba

pendahuluan; (7) revisi produk operasional; (8) uji coba operasional; (9) revisi

produk akhir; dan (10) diseminasi & implementasi.

Kesepuluh langkah penelitian tersebut, disederhanakan oleh Sukmadinata

dan kawan-kawan melalui serangkaian penelitian dengan menggunakan strategi

penelitian dan pengembangan, Ketiga tahap penelitian dan pengembangan

tersebut adalah; (1) studi pendahuluan; (2) pengembangan model; dan (3) uji

model (Sukmadinata, 2006:189).

1. Tahap Studi Pendahuluan

Pada tahap ini ada beberapa hal yang perlu dikemukakan, yaitu: Tujuan

studi pendahuluan, subyek penelitian pendahuluan, tahap penelitian pendahuluan,

(30)

a. Tujuan Studi Pendahuluan

Penelitian pada tahap studi pendahuluan merupakan penelitian deskriptif

dengan tujuan memperoleh sejumlah informasi yang diperlukan dalam perumusan

model konseling keterampilan hidup untuk meningkatkan keterampilan sosial

siswa tunarungu. Studi pendahuluan meliputi studi pustaka dan survei lapangan.

Studi pustaka merupakan pengkajian terhadap konsep-konsep yang mendasari

model konseling keterampilan hidup, keterampilan sosial, serta mengkaji

hasil-hasil penelitiaan yang relevan dengan penelitian yang penulis lakukan.

Sedangkan survei lapangan dilakukan untuk memperoleh informasi yang

berkaitan dengan kondisi obyektif lapangan. Survei lapangan tersebut

menitikberatkan pada upaya untuk mendeskripsikan dan menganalisis tentang

pencapaian keterampilan sosial yang dimiliki siswa tuna rungu serta pelaksanaan

layanan bimbingan dan konseling di SLB-B.

b. Tahapan Kegiatan Penelitian Pendahuluan

Tahap penelitian pendahuluan, dilakukan dalam beberapa kegiatan, yaitu:

Pertama, mengungkap kondisi obyektif lapangan melalui melalui survai

lapangan yang berkaitan dengan keterampilan sosial yang dimiliki siswa

tunarungu, serta pelaksanaan layanan B & K di SLB. Kedua, menganalisis

temuan pada tahap kegiatan pertama serta keterampilan sosial yang seharusnya

(31)

c. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan data yang

ingin diperlukan pada setiap tahapan penelitian. Pada tahap penelitian

pendahuluan, data yang diperlukan adalah pencapaian keterampilan sosial siswa

tunarungu jenjang SMPLB serta data tentang pelaksanaan layanan bimbingan dan

konseling (B&K) di SLB-B. Teknik yang digunakan untuk memperoleh data

tentang keterampilan sosial siswa tersebut adalah teknik angket berskala. Bentuk

skala yang digunakan adalah Tidak Pernah (TP), Kadang-kadang (K), Sering (S),

dan Sangat Sering (SS). Untuk memperoleh data tentang pelaksanaan layanan

bimbingan dan konseling dipergunakan teknik wawancara dan studi dokumentasi.

d. Pengembangan Instrumen Pengumpulan Data

1) Kisi-Kisi Instrumen Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan untuk penyusunan model konseling keterampilan

hidup meliputi data tentang tingkat keterampilan sosial siswa tuna Kota Bandung.

Untuk memenuhi data tersebut, diperlukan suatu kisi-kisi instrumen

pengumpulan data yang sejalan dengan teknik pengumpulan data yang digunakan

serta definisi operasional yang telah dikemukakan di atas. Berikut ini adalah kisi –kisi instrumen pengumpulan data pencapaian keterampilan sosial siswa serta

(32)
(33)

ASPEK INDIKATOR DESKRIPTOR

sendiri beretika b. Bersikap respek

terhadap orang tua dan

Adapun kisi-kisi instrumen pengumpul data berkenaan dengan

pelaksanaan Layanan Bimbingan dan Konseling dapat dilihat pada table 3.2

(34)

Tabel 3.2

KISI-KISI INSTRUMEN PENGUMPULAN DATA PELAKSANAAN LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SLB-B

(35)

Aspek Indikator

2) Penyusunan Butir-Butir Pernyataan

Berdasarkan kisi-kisi instrumen di atas, maka disusunlah butir-butir

pernyataan instrumen dalam bentuk angket berskala, untuk mengumpulkan data

tentang keterampilan sosial siswa tunarungu, dan pedoman wawancara untuk

mengumpulkan data tentang pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di

SLB-B Bandung. Instrumen penelitian ini dapat dilihat pada lampiran.

3) Validitas dan Reliabilitas Instrumen Pengumpulan Data

Uji validitas instrumen dilakukan melalui analisis korelasi product

(36)

uji validitas, dilakukan uji reliabilitas instrumen dengan menggunakan rumus

Cronbah’s Alpha.

Reliabilitas menunjuk pada tingkat keterandalan sesuatu, dan suatu

instrumen dikatakan reliabel, berarti instrumen tersebut dapat dipercaya atau dapat

diandalkan (Arikunto, S., 2010:221). Dari hasil pengujian, diperoleh nilai

reliabilitas instrumen pengumpulan data keterampilan sosial sebesar 0,82

(perhitungannya dapat di lihat pada lampiran). Merujuk pada pedoman

Interpretasi nilai reliabilitas instrumen dari Suharsimi Arikunto (2002 : 254),

nilai reliabilitas tersebut berada pada kategori sangat tinggi. Dengan kata lain,

instrumen tersebut tingkat keandalannya sangat tinggi.

e. Teknik Analisa Data

Pada tahap pendahuluan ini, data yang diperoleh adalah tentang tingkat

keterampilan sosial siswa dan gambaran tentang pelaksanaan layanan B&K di

SLB-B. Data mengenai tingkat keterampilan sosial siswa dianalisa secara

kuantitatif, sedangkan data yang berkaitan dengan pelaksanaan layanan bimbingan

dan konseling dianalisis secara kualitatif (deskriptif naratif).

Analisis pencapaian keterampilan sosial siswa tuna rungu dilakukan

melalui tahapan sebagai berikut.

1) Menentukan skor maksimal ideal yang diperoleh sampel melalui rumus :

Skor maksimak ideal = jumlah soal x skor tertinggi

(37)

Skor minimal ideal = jumlah soal x skor terendah

3) Mencari rentang skor ideal yang diperoleh sampel melalui rumus:

Rentang skor = skor maksimal ideal – skor minimal ideal

4) Mencari interval skor melalui rumus:

Inteval skor = rentang skor : 3

5) Membandingkan skor keterampilan sosial siswa dengan kriteria berikut.

Kriteria Rentang

Baik X> Minimal Ideal + 2. Interval

Cukup Minimal Ideal + Interval < X < Minimal Ideal + 2. Interval

Kurang X < Minimal Ideal + Interval

(Sudjana,1996:47)

Teknik analisis kualitatif terhadap data layanan bimbingan dan konseling

di SLB-B, dilakukan melalui tahapan: reduksi data, penyajian data, serta

penarikan kesimpulan.

2. Tahap Pengembangan dan Validasi Model

Tahap kedua, diawali dengan penyusunan draf produk, yaitu model hipotetik

konseling keterampilan hidup untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa

tunarungu yang didasarkan pada hasil temuan pada tahap pertama. Adapun

(38)

a. Menganalisis hasil need assessment berupa pencapaian keterampilan

sosial pada setiap indikator. Analisis dilakukan untuk mengetahui

kelemahan keterampilan, sehingga diketahui kebutuhan siswa tuna rungu

berkaitan dengan peningkatan keterampilan sosisalnya.

b. Mengkaji teori konseling keterampilan hidup (lifes counseling) terutama

tahapan-tahapan konseling keterampilan hidup serta metode/teknik yang

digunakan.

c. Menganalisis pelaksanaan layanan bimbingan dan koseling di SLB-B,

terutama aspek pelaksana dan layanan B&K yang diberikan kepada

siswa.

d. Membuat rancagan model konseling keterampilan hidup untuk

meningkatkan keterampilan sosial siswa, terutama untuk

indikator-indikator yang masih lemah, termasuk membuat Satuan Kegiatan Layanan

Konseling (SKLB) sebagai panduam bagi guru untuk melaksanakan

konseling.

e. Model hipotetik yang dirumuskan, mencakup dasar pemikiran, tujuan,

asumsi, peranan konselor & guru wali kelas, tahapan konseling, evaluasi

serta satuan kegiatan layanan konseling sebagai panduan bagi guru untuk

melaksanakan kegiatan konseling.

Untuk memperoleh model konseling yang layak diterapkan pada siswa

tuna rungu, dilakukan validasi logis/ rasional oleh para pakar melalui expert

judgement dan oleh para praktisi SLB- B melalui Focuss Group Discussion

(39)

a. Validasi Logis melalui expert judgement

Validasi Logis melalui expert judgement dilakukan untuk memperoleh

model yang memiliki kelayakan rasional baik dalam isi atau secara konseptual

maupun secara konstruk. Validasi logis ini dilakukan melalui pertimbangan atau

penilaian dari para ahli (expert judgement) dalam bidang yang berkaitan dengan

isi atau konseptual model yang dirumuskan. Validasi dilakukan oleh dua orang

pakar Bimbingan dan Konseling (B&K) dan seorang pakar pendidikan anak

berkebutuhan khusus sekaligus juga pakar B&K.

Teknik validasi logis dilakukan melalui ”Teknik Delphi”, yaitu suatu

teknik pengumpulan pendapat secara independen untuk mencapai konsensus para

ahli terhadap model konseling yang dirumuskan. Para validator memberikan

penilaian dan pendapatnya melalui lembar validasi yang disediakan. Pendapat

dari validator tersebut dijadikan masukan untuk merevisi model konseling.

Berdasarkan judgement para ahli tersebut, diperoleh hasil bahwa semua

aspek model hipotetik konseling dinyatakan layak oleh semua validator. Dengan

demikian, model hipotetik konseling yang mencakup: dasar pemikiran, tujuan,

asumsi, peranan konselor & guru wali kelas, tahapan konseling, evaluasi, serta

satuan kegiatan layanan konseling, sudah sesuai dengan isi dan aspek yang

diungkap atau sudah memenuhi standar kelayakan konseptual dalam membangun

(40)

bahwa model konseling ini layak untuk dilanjutkan pengembangannya dan

diujicobakan di SLB-B.

Saran-saran atau masukan dari para validator untuk pengembangan model

hipotetik konseling antara lain : (1) urutan ide dalam dasar pemikiran disusun

dari umum ke khusus; (2) memperhatikan aspek kebahasaan dan seting penulisan;

(3) menghindari asumsi yang terlalu umum atau di fokuskan pada model yang

dikembangkan; (4) mempertegas pihak yang mengimplementasikan model

konseling; (5) Deskripsi peran tidak merujuk pada pendapat ahli, namun lebih

kongkrit pada mosel yang dikembangkan; (6) Tujuan dalam intervensi harus

lebih kongkrit dan spesifik; (7) tahapan DASIE diterapkan dalam setiap tahapan

konseling, serta membuat jurnal kegiatan.

b. Validasi Logis/ Rasional melalui Focuss Group Discussion (FGD).

Validasi rasional model hipotetik konseling melalui Focuss Group

Discussion (FGD) bertujuan untuk memperoleh masukan dari para praktisi di

lapangan, sebagai bahan perbaikan model hipotetik konseling yang

dikembangkan terutama mengenai kesesuaian penggunaan bahasa dengan

kemampuan siswa tuna rungu serta kemungkinan penerapannya di SLB-B.

Peserta FGD adalah Guru kelas/wali kelas dari empat SLB-B yaitu :

B Negeri Cicendo, B Sukapura, B YPLAB Bandung, serta

SLB-B Silih Asih SLB-Bandung. Kegiatan diskusi diawali dengan penjelasan mengenai

(41)

para peserta diminta tanggapannya/ masukanya terhadap pengembangan model

konseling. Masukan yang diberikan oleh para peserta, antara lain:

(1) penomoran pada action plan harus sesuai urutan sesi konseling;

(2) istilah-istilah yang belum familier dicarikan persamaannya atau

dijelaskan secara khsusus kepada siswa;

(3) layanan konseling ini bisa dilaksanakan dalam program pengembangan

diri.

(4) Dalam penjelasan materi kepada siswa menggunakan bahasa yang

sederhana, kalimat tidak terlalu panjang, serta harus diulang-ulang mengingat

keterbatasan pemahaman bahasanya yang terbatas.

Setelah memberikan masukan-masukan, para peserta diminta untuk

menganalisis kemungkinan penerapan Satuan Kegiatan Layanan Konseling

(SKLB) di sekolah kemudian mengisi daftar cocok (checklist) pertimbangan

penerapannya. Pertimbangan tersebut didasarkan pada empat kriteria, yaitu:

1) Tidak dapat dilaksanakan.diterapkan oleh guru.

2) Dapat dilaksanakan/diterapkan guru apabila mendapatkan pelatihan.

3) Dapat dilaksanakan/diterapkan guru setelah mempelajari secara

mendalam.

(42)

Hasil pertimbangan tersebut dapat dikemukakan pada tabel 3.3. berikut

6 Terampil Membantu Orang Tua dan Orang Lain

0 2 2 3 7

7 Mengatasi Konflik 0 2 5 0 7

8 Bersikap Positif Terhadap Orang Lain 0 0 4 3 7

9 Menerima Konsekuensi dari Perbuatan Kita

14 Meningkatkan Keterampilan Menyelesaikan Tugas

0 3 3 1 7

15 Kerja Kelompok (Membuat Suatu Karya Seni)

0 3 4 0 7

(43)

Berdasarkan tabel 4.1 di atas tentang pendapat para wali kelas untuk

menerapkan satuan kegiatan layanan konseling, sebanyak 29 pendapat (27,6

%) menyatakan bahwa untuk menerapkan layanan tersebut perlu pelatihan

terlebih dahulu. Sebanyak 51 pendapat (48,6 %) menyatakan bahwa penerapan

layanan tersebut dapat dilaksanakan setelah dipelajari secara mendalam, dan

sebanyak 25 pendapat (23,8%) menyatakan bahwa penerapan layanan tersebut

segera dapat dilaksanakan. Berdasarkan pertimbangan para guru tersebut, model

konseling ini pada dasarnya dapat diterapkan/dilaksanakan di SLB-B.

Berdasarkan pertimbangan tersebut pula, sebelum mengujicobakan layanan

konseling ini, peneliti terlebih dahulu mengadakan pembahasan SKLB secara

lebih mendalam dengan salah seorang wali kelas yang berkolaborasi dengan

peneliti.

Berdasarkan hasil validasi rasional melalui expert judgement dan Focuss

Group Discussion (FGD) tersebut, model hipotetik konseling yang

dikembangkan direvisi sehingga menjadi model hipotetik konseling yang siap

diujicobakan.

3. Tahap Pengujian Model

Tahap ketiga merupakan tahap pengujian model yang telah divalidasi

secara logis/rasional. Pengujian model dilakukan melalui metode pra eksperimen

(44)

Untuk lebih jelasnya, rancangan penelitian tersebut dapat digambarkan

melalui skema berikut.

Keterangan :

= Kondisi sebelum perlakuan (pretest)

X = Perlakuan

= Kondisi sesudah perlakuan (posttest) (Arikunto, 2010 : 212)

Subyek penelitian pada tahap pegujian model adalah 12 siswa yang

diambil secara acak dari 20 siswa SMPLB di SLBN-B Cicendo Bandung.

Sedangkan hipotesis penelitiannya adalah: ”Konseling keterampilan hidup dapat meningkatkan keterampilan sosial siswa tuna rungu jenjang SMPLB Bandung.”

Dalam memperoleh fakta empirik tentang efektivitas model konseling

keterampilan hidup untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa tuna rungu,

dilakukan analisis pencapaian keterampilan sosial sebelum dan sesudah mengikuti

layanan konseling yang diberikan dalam pengujian model. Uji efektivitas model

tersebut dilakukan dengan menggunakan Uji Wilcoxon, dengan alasan: (a) data

(45)

Berdasarkan hasil pra eksperimen tersebut, model konseling

disempurnakan kembali sehingga menjadi model yang sudah diuji coba/teruji.

Untuk lebih jelasnya, ketiga tahap penelitian tersebut dapat dilihat pada bagan 3.1

berikut.

Bagan 3.1

(46)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Kesimpulan hasil penelitian dan pengembangan model konseling

keterampilan hidup untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa tuna rungu,

dipaparkan sebagai berikut.

Pertama, hasil penelitian ini adalah suatu model konseling keterampilan

hidup untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa tuna rungu jenjang

SMPLB. Model ini didasarkan pada temuan obyektif di lapangan serta kajian

konseptual, yang selanjutnya diujicobakan secara kolaboratif dengan wali kelas

guna mengetahui efektivitasnya. Model tersebut dihasilkan dengan menempuh

prosedur penelitian dan pengembangan yang terdiri dari tiga tahapan utama,

yaitu; studi pendahuluan, pengembangan dan validasi model, serta uji model.

Kedua, hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa pencapaian

keterampilan sosial siswa tuna rungu jenjang SMPLB di Kota Bandung

menunjukkan belum terampil, sehingga memerlukan suatu upaya untuk

meningkatkannya.

Ketiga, Pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di SLB-B Kota

Bandung belum profesional, mengingat di SLB tersebut belum ada tenaga ahli

(47)

Keempat, model konseling yang dihasilkan ini terdiri dari beberapa

komponen, yaitu: dasar pemikiran, tujuan, asumsi, peranan konselor&guru

wali kelas, tahapan konseling, serta evaluasi dan indikator keberhasilan, yang

dilengkapi dengan 14 satuan kegiatan layanan konseling sebagai panduan bagi

para guru wali kelas /guru kelas untuk melaksanakan konseling. Hasil validasi

rasional oleh para pakar bimbingan dan konseling, pakar pendidikan luar biasa,

maupun para praktisi di lapangan, menunjukkan bahwa model tersebut layak

untuk diujicobakan.

Kelima, setelah diujicobakan, model konseling keterampilan hidup

tersebut efektif untuk meningkatkan semua aspek keterampilan sosial siswa tuna

rungu jenjang SMPLB di SLB-B Kota Bandung.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti memberikan saran kepada

pihak-pihak terkait sebagai berikut.

1. Saran untuk Kepala SLB-B

a. Seyogyanya kepala sekolah menetapkan dan mensosialisasikan kebijakan serta

pengaturan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling secara eksplisit

(48)

b. Menyediakan buku-buku panduan penyelenggaraan layanan bimbingan dan

konseling yang akan sangat bermanfaat bagi para guru dalam memberikan

bimbingan bagi para siswanya.

2. Saran untuk Guru Wali Kelas/ Guru Kelas

a. Mengkaji lebih jauh konsep-konsep dasar bimbingan dan konseling, baik yang

menyangkut kedudukan dan fungsi bimbingan dalam keseluruhan program

pendidikan, jenis-jenis layanan bimbingan dan konseling, maupun

pengembangan keterampilan sosial siswa tuna rungu dengan melaksanakan

brain storming yang dipandu oleh nara sumber yang berkompeten

b. Membuat program layanan bimbingan dan konseling khususnya dalam bidang

sosial, baik yang menyangkut layanan pengumpulan data siswa, penyajian

informasi dan penempatan, layanan konseling, serta penilaian dan penelitian.

c. Meningkatkan kompetensinya di bidang layanan bimbingan dan konseling

dengan membaca literatur, berhubung pelatihan B&K yang dikhususkan

untuk guru SLB sangat terbatas.

3. Saran untuk Pengambil Kebijakan Terkait

a. Perlunya dilakukan penempatan tenaga ahli/ konselor di SLB, khususnya di

SLB-B. Hal ini sesuai harapan kepala sekolah maupun guru wali kelas, yang

mengalami kendala dalam melaksanakan layanan bimbingan terhadap

(49)

layanan bimbingan dan konseling (B&K). Disamping menyelenggarakan

layanan B&K terhadap siswa tuna rungu, konselor dapat menjadi konsultan

bagi guru-guru di SLB untuk menberikan layanan pendidikan yang lebih

efektif bagi siswanya. Pentingnya ada tenaga konselor di SLB adalah untuk

kefektifan layanan yang diberikan dengan berbagai teori konseling yang dapat

diterapkan pada siswa tuna rungu.

b. Pentingnya diselenggarakan pelatihan tentang layanan bimbingan dan konseling

terhadap para guru secara lebih intensif, mengingat terbatasnya pemahaman

para guru SLB khususnya SLB-B Kota Bandung terhadap layanan bimbingan

dan konseling. Selama ini pelatihan yang sering mereka terima berkaitan

dengan bidang akademik dan bidang kekhususan, seperti Bina Komunikasi

persepsi bunyi dan Irama.

4. Saran untuk Peneliti Selanjutnya

a. Model konseling keterampilan hidup yang dihasilkan dalam penelitian ini,

ditujukan untuk meningkatkan keterampilan sosial yang merupakan aspek

dari keterampilan hidup. Peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian

untuk menghasilkan model konseling tersebut guna meningkatkan aspek

keterampilan hidup lainnya, seperti responsiveness, realism, serta rewarding

activity skills.

b. Penelitian dan pengembangan model konseling keterampilan hidup ini hanya

dilaksanakan terhadap salah satu jenis siswa berkebutuhan khusus, yaitu siswa

(50)

pengembangan keterampilan hidup untuk meningkatkan keterampilan sosial

siswa – siswa berkebutuhan lainnya, seperti siswa tuna netra, siswa tuna

grahita, siswa tuna daksa, dan siswa dengan gangguan perilaku dan emosi.

c. Penelitian ini lebih mengarah pada siswa yang memiliki keterampilan sosial

dalam kategori yang belum baik atau belum terampil. Oleh karena itu peneliti

menyarankan para peneliti selanjutnya untuk meneliti orang-orang

penyandang tuna rungu yang memiliki keterampilan sosial yang

diindikasikan terampil, terutama untuk mengungkap layanan intervensi yang

diperolehnya sehingga menjadi orang yang terampil dalam keterampilan

sosialnya. Hal ini sangat penting dilakukan, karena akan menjadi masukan

yang berharga bagi para orang tua yang memiliki anak tunarungu maupun

bagi guru yang mengajar siswa tuna rungu dalam mengembangkan potensi

yang dimilikinya, sehingga menjadi siswa yang mandiri dan berdaya guna

dalam kehidupannya di masyarakat.

d. Kepada peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian dengan

mengungkap pencapaian keterampilan sosial siswa tuna rungu melalui

evaluasi eksternal, misalnya oleh guru atau orang tua disamping evaluasi

internal oleh siswa yang bersangkutan.

e. Dalam penelitian ini, uji efektivitas model dilakukan melalui disain

praeksperimen. Oleh karena itu, kepada peneliti selanjutnya disarankan untuk

melakukan penelitian serupa dengan disain eksperimen yang lebih powerfull

(51)
(52)

DAFTAR PUSTAKA

Admin (2008). Antara Hard Skill dan Soft Skill. [Oneline]. Tersedia: http://www.infocomcareer.com. [ Mei 2012]

Afgani,M.W. (2012). Tiga Teori yang Melandasi Pendidikan [Oneline]. Tersedia: http//Muhammad-win-afgani.blogspot.com/2012/01/tiga-teori-yang

melandasi-pendidikan.html [8 Februari 2012]

Ahmadi A. (1991). Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta

Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan dan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.

______. (2010). Manajemen Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.

Borgh. & Gall,M.D. (1979). Educational Research. New York : Longman Inc.

Boothroyd, Arthur. (1982). Hearing Impairments in Young Children. Prentice Hall,Inc.Englewood Cliffs,N.J.07632.

Bunawan, Lani. (1983). Psikologi Anak Tunarungu. Jakarta : Yayasan Santi Rama.

Cartledge, G.& Milburn, J.F. (1992). Teaching Social Skills to children : Innovative Approach. New York : Perganon Press.

Darling, Nancy. (1999). Parenting Style and Its Correlates. ERIC Digest : ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education Champaign IL. (Online). Tersedia: http://www.ericdigests.org/1999-4/parenting. htmentals [14 Januari 2010]

Depdiknas (2005). Indikator Keberhasilan Program Pengembangan Pendidikan Kecakapan Hidup di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta : Depdiknas.

_______ . (2007). Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam jalur Pendidikan Formal. Jakarta : Depdiknas.

Gall, M. et al (2003). Educational Research, an Introduction. New York : Pearson Education, Inc.

(53)

Hartup, Willard W. (1992). Having Friends,Making Friends, and Keeping Friends: Relationships as Educational Contexts: The ERIC Clearinghouse on Elementary and Early Childhood Education [Oneline]. Tersedia : http://ceep.crc.uiuc.edu/pubs/ivpaguide/appendix/hartup-friends.pdf. [14 Januari 2010]

Hardman, M.L. et al. (1990). Human Exceptionality (3rd edition). Massachusetts: A Division of Simon& Schuster Inc.

Hernawati, T. (2000). Layanan Dasar Bimbingan dalam Mengembangkan Perilaku Sosial Siswa Tunarungu. Tesis pada PPS IKIP Bandung: tidak diterbitkan.

Hurlock, E.B. (1997). Perkembangan Anak. Jilid 1 jakarta : Erlangga.

Jimenez, C. et al. (t.t.). Social Skills for Middle School Students. [Online]. Tersedia: http://www.cccoe.net/social/skillslist.htm [28 Maret 2008]

Kartadinata,S. (2011). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling sebagai Upaya Pedagogis, Kiat mendidik sebagai Landasan Profesional Tindakan Konselor. Bandung : UPI Press.

Kirk,S. & Gallagher, J. (1989). Educting Exceptional Children ( Six ted.). Boston: Houghton Mifflin Company.

Ladd & Asher. (1985). Social Skill L’ATraining anf Children’s Peer Relations dalam L’Abate, L. & Milan,M.A. (Eds). (1985). Handbook of Social Skills Training and Research. New York : John Wiley and Sons Inc.

Martono, N. (2010). Statistik Sosial, Teori dan Aplikasi program SPSS. Jogjakarta: Gaya Media.

Monks F.J. et al. (1996) Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Moores, D.F.(1981). Educating The Deaf Psychology, Principle, and Practices (2nd Edition). Boston: Houghton Mifflin Company.

Musselman, C., et al. (1996) “The Social Adjustment of Deaf Adolescents in Segregated, Partially Integrated, and Mainstreamed Settings”, Journal of Deaf Studies and Deaf Education, 1,(1),52-63.

(54)

_______. (1995). Practical Counselling and Helping Skills, How to Use the Lifekills Helping Model (3rd Edition). London: British Library Cataloguing in Publication Data.

_______. (1997). Practical Counselling and Helping Skills, Texts and Exercises for the Lifeskills Counselling Model (4th Edition). London : British Library Cataloguing in Publication Data.

Nurihsan, A. Juntika. (2006). Bimbingan dan Konseling dalam Berbagai Latar Kehidupan. Bandung: Refika Aditama.

Phillips, E. Lakin. Social Skills: History and Prospect. dalam L’Abate, L. & Milan,M.A. (Eds). (1985). Handbook of Social Skills Training and Research. New York : John Wiley and Sons Inc.

Qassem, Ali. (t.t.). Pembinaan Keterampilan Diri, [Online], Tersedia : www.aliqassem.com [23 Mei 2009]

Rusmana, N. (2009. Permainan (Game & Play). Permainan untuk para Pendidik,Pembimbing, Pelatih dan Widyaiswara. Bandung : Rizki.

_______ (2009). Bimbingan dan Konseling Kelompok di sekolah (Metode, Teknik, dan Aplikasi). Bandung : Rizki.

Sasongko, Rambat, N.(2001). Model Pembelajaran Aksi Sosial untuk Pengembangan Nilai-Nilai dan Keterampilan Sosial. Disertasi Doktor pada Pendidikan Umum UPI.

Sanjaya, W. (2005). Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta : Prenada media.

Suarez, M. (2000). Promoting Social Competence in Deaf Students: The Effect of an Intervention Program. Dalam Journal. of Deaf Studies and Deaf Education [Online],Vol 5 (4), 11 halaman. Tersedia : http://jdsde.oxfordjournals.org/content/5/4/323 [Mei 2012]

Sudjana. (2005). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito Bandung

Sukartini. (2003). Pendekatan Konseling Keterampilan Hidup: Inovasi dalam Bidang Bimbingan dan Penyuluhan. Jurnal Mimbar Pendidikan. No.4/XXII/2003.

(55)

Sunardi. (2010). Kurikulum Pendidikan Luar Biasa di Indonesia dari Masa ke Masa. [Oneline], Tersedia: www.puskurbuk.net/.../Sejarah_Kurikulum_PLB.[8 Pebruari 2012]

Syaodih,N.S. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Refika Aditama.

Uden,V. (1977).A.World of Language for Deaf Children;Basic Principles A Maternal Reflective Method, Swetz & Zeitlinger, Amsterdam& Lisse.

Yusuf, Syamsu & Nurihsan, A. Juntika. (2006). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Yusuf, Syamsu. (2005). Psikologi Perkembangan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.

(56)

Gambar

Tabel                                                                                                                Halaman
Gambaran Pencapaian  Keterampilan Sosial Siswa
Gambaran dari kenyataan tentang perilaku sosial siswa tunarungu
Tabel 3.1
+3

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu upaya yang ditempuh oleh guru bimbingan dan konseling MAN 1 Bawu Jepara sebagai seorang pembimbing di sekolah untuk meningkatkan kedisiplinan peserta

Kondisi diatas melatari penelitian yang berfokus pada “Bagaimana strategi koping guru kelas rendah Sekolah Dena Upakara dalam menghadapi stress yang muncul dalam interaksi guru

PENGGUNAAN TEKNIK MODELING DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN INTERAKSI SOSIAL ANAK TUNARUNGU.. DI SLB B SUMBERSARI

Untuk mendiskripsikan upaya kepala Sekolah berserta guru bidang studi dan guru bimbingan konseling untuk berkolaboratif meningkatkan quality management peningkatan

Salah satu upaya yang ditempuh oleh guru bimbingan dan konseling MAN 1 Bawu Jepara sebagai seorang pembimbing di sekolah untuk meningkatkan kedisiplinan peserta