• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL SUNTING TEMAN SEBAYA (PEER EDITING) MELALUI MICROSOFT WORD DALAM PEMBELAJARAN KEMAMPUAN MENULIS :Studi Eksperimen terhadap Siswa Kelas IX Madrasah Tsanawiyah Darul Arqam Putri Garut Tahun Ajaran 2010/2011.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MODEL SUNTING TEMAN SEBAYA (PEER EDITING) MELALUI MICROSOFT WORD DALAM PEMBELAJARAN KEMAMPUAN MENULIS :Studi Eksperimen terhadap Siswa Kelas IX Madrasah Tsanawiyah Darul Arqam Putri Garut Tahun Ajaran 2010/2011."

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

BAB II. PUISI, GURINDAM DUA BELAS, KAJIAN SEMIOTIK, DAN PENGAJARAN SASTRA A. Pengertian Puisi ... 17

1. Kepengarangan Gurindam Dua Belas ... 31

2. Gurindam Dua Belas ... 36

C. Kajian Semiotik ... 37

1. Pengertian Semiotika ... 38

2. Strukturalisme Semiotika Pada Puisi ... 41

3. Semiotika menurut Pandangan Charles Sanders Peirce ... 45

4. Semiotika Menurut Pandangan Ferdinand de Saussure ... 48

5. Semiotika Menurut Pandangan Rifatterre ... 50

(2)

7. Unsur-Unsur Puisi dalam Kajian Semiotik ... 61

4. Model-model Mengajar dan Komponennya ... 75

5. Pengertian Apresiasi Sastra ... 76

6. Tujuan Apresiasi Sastra di SMA ... 78

7. Tingkatan Apresiasi Sastra ... 79

BAB III. METODE DAN TEKNIK PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 81

BAB IV. ANALISIS GURINDAM DAN PEMBAHASANNYA A. Deskripsi Data ... 88

B. Analisis Gurindam Dua Belas ... 97

1. a. Analisis Makna Gurindam Dua Belas Pasal kesatu ... 97

b. Analisis Citraan Gurindam Dua Belas Pasal kesatu ... 104

2. a. Analisis Makna Gurindam Dua Belas Pasal kedua ... 106

b. Analisis Citraan Gurindam Dua Belas Pasal kedua ... 111

3. a. Analisis Makna Gurindam Dua Belas Pasal ketiga ... 112

b. Analisis Citraan Gurindam Dua Belas Pasal ketiga ... 118

4. a. Analisis Makna Gurindam Dua Belas Pasal keempat ... 120

b. Analisis Citraan Gurindam Dua Belas Pasal keempat ... 127

5. a. Analisis Makna Gurindam Dua Belas Pasal kelima ... 128

b. Analisis Citraan Gurindam Dua Belas Pasal kelima ... 133

(3)

b. Analisis Citraan Gurindam Dua Belas Pasal keenam ... 138

7. a. Analisis Makna Gurindam Dua Belas Pasal ketujuh ... 139

b. Analisis Citraan Gurindam Dua Belas Pasal ketujuh ... 148

8. a. Analisis Makna Gurindam Dua Belas Pasal kedelapan ... 150

b. Analisis Citraan Gurindam Dua Belas Pasal kedelapan ... 154

9. a. Analisis Makna Gurindam Dua Belas Pasal kesembilan ... 155

b. Analisis Citraan Gurindam Dua Belas Pasal kesembilan ... 158

10. a. Analisis Makna Gurindam Dua Belas Pasal kesepuluh ... 159

b. Analisis Citraan Gurindam Dua Belas Pasal kesepuluh ... 163

11. a. Analisis Makna Gurindam Dua Belas Pasal kesebelas ... 164

b. Analisis Citraan Gurindam Dua Belas Pasal kesebelas... 167

12. a. Analisis Makna Gurindam Dua Belas Pasal keduabelas ... 168

b. Analisis Citraan Gurindam Dua Belas Pasal keduabelas ... 173

C. Hasil Analisis Semiotika Gurindam Dua Belas ... 174

BAB V. GURINDAM DUA BELAS SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA A. Orientasi Model ... 195

1. Pendekatan Kontekstual ... 199

2. Pembelajaran Menurut Paradigma Konstruktivistik ... 200

3. Pembelajaran Kostruktivistik Model Jigsaw ... 204

B. Model Mengajar ... 206

C. Implementasi Model Jigsaw dalam Pembelajaran Apresiasi Sastra .... 215

D. Hasil Analisis Model Pembelajaran ... 225

(4)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Penelitian

Karya sastra, sebagai bagian dari proses zaman, dapat mengalami perkembangan. Karena itu, agar keberadaan karya sastra dan pengajarannya tetap tegak, kurikulum harus dapat menampung setiap perkembangannya. Kurikulum sangat memungkinkan untuk pengajaran sastra yang bersifat luwes dan terbuka. Hal ini seperti terlihat dalam salah satu rambu-rambu kurikulum yang menyatakan bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi karya sastra berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup.

(5)

2

Pengalaman seseorang sebagai individu terbatas, oleh karena itu dapat diperluas dengan pengalaman orang lain, antaranya yang terungkap berupa pengalaman tentang sastra.

Untuk tujuan apresiasi sastra ditempuh berbagai kegiatan, seperti membaca hasil sastra, menonton pementasan hasil sastra untuk memahami, menjelaskan dan memberi penilaian. Untuk tujuan ekspresi sastra dilakukan kegiatan-kegiatan seperti membaca nyaring hasil sastra, mengarang sastra dan mementaskan hasil sastra.

Untuk tujuan beroleh pengetahuan sastra, dengan bertolak dari pengalaman sastra itu, dijelaskanlah pengertian istilah perkembangan sastra dan hal-hal di luar sastra yang berkaitan dengan kehidupan sastra yang diapresiasikan itu.

Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan itu, pengajaran sastra harus mempunyai landasan yang kokoh. Landasan-landasan pengajaran sastra meliputi antara lain, hasil sastra, teori sastra dan ilmu pendidikan.

(6)

3

mengemukakan bahwa pengajaran sastra di sekolah-sekolah dianggap sebagai upaya penting dalam mengakrabkan, mengenalkan, serta mengkomunikasikan karya sastra.

Melalui karya sastra guru berusaha membimbing siswa agar memperoleh pengetahauan dan pengalaman tentang sastra. Tentu saja dalam hal ini guru perlu memperhatikan kondisi sekolah dan juga siswa dalam memilih metode pengajarannya sehingga dicapai hasil yang memuaskan. Pengajaran sastra yang dilaksanakan dengan baik dan terarah akan menumbuhkan kepribadian siswa, dapat membuka peluang bagi mereka untuk dapat mengembangkan daya cipta dan kehalusan perasaannya. Oleh karena itu guru sastra diharapkan memiliki pengetahuan dan wawasan kesastraan yang memadai, selalu mengkuti perkembangan sastra dan lebih memperkaya diri dalam memperluas wawasan sastranya, baik itu sastra modern maupun sastra klasik. Dalam memilih bahan ajar, guru tidak harus memberikan materi berkenaan sastra modern saja, tetapi sastra lama atau klasik itu turut pula diperhitungkan.

(7)

4

Karya sastra yang merupakan hasil kegiatan kreatif manusia ini mengandung nilai-nilai universal yaitu nilai etika, estetika dan didaktika. Nilai etika berarti bahwa sastra yang baik, biasanya akan mengandung nilai-nilai moral yang tinggi. Dengan demikian para penikmatnya atau pembacanya akan mengetahui bagaimana moral yang baik dan yang tidak baik bagi dirinya. Bernilai estetika mengandung pengertian bahwa karena sastra itu indah, maka sastra akan memberikan keindahan bagi para penikmatnya atau pembacanya. Nilai didaktika berarti bahwa karya sastra yang baik biasanya akan mampu mengarahkan dan mendidik para penikmatnya atau pembacanya karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai universal ini dimiliki oleh setiap jenis karya sastra baik karya sastra Nusantara maupun sastra Indonesia.

(8)

5

dikenal serta dipahami oleh masyarakat Indonesia. Hal inilah yang harus kita hindari, dan akan merupakan hal yang sangat baik bila masyarakat Indonesia saling mengenal, saling mengetahui serta memahami sastra daerah lain sehingga kesusastraan daerah akan menjadi suatu kebudayaan yang padu. Rosidi (1964:10) dalam hal ini mengemukakan bahwa pengalaman sastra dan kebudayaan daerah atau suku oleh daerah atau suku yang lain akan merupakan suatu jembatan buat saling mengerti dan secara sadar hidup sebagai suatu bangsa yang padu”. Dengan demikian sastra bahasa daerah akan tetap berkembang dan terpelihara. Meskipun demikian, untuk dapat memahami sastra bahasa daerah lain terkadang banyak kesulitan terutama dari segi bahasa. Karya sastra bahasa daerah hanya dapat dipahami dan dimengerti oleh masyarakat setempat, tempat karya sastra itu ditemukan dan berada. Hooykaas (1951:16) mengemukakan bahwa “Kebanyakan daripada kesusastraan lama itu telah lenyap bagi kita; bukan saja bahasanya yang menimbulkan kesukaran, tetapi juga cara-cara merasakan dan memikirkan barang sesuatu hal”.

Untuk itu para ahli diharapkan dapat memperkenalkan sastra lama yang pada dasarnya adalah sastra daerah kepada masyarakat Indonesia dengan jalan meneliti dan mempelajari karya sastra bahasa daerah dan membukukannya dalam bahasa Indonesia sehingga dapat dimengerti oleh seluruh masyarakat Indonesia. Dengan demikian kita telah melakukan pengembangan sastra dan mempertahankan terpeliharanya naskah-naskah lama.

(9)

6

baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan sebagainya) bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara.

Berdasarkan penjelasan undang-undang di atas, kita tentu saja wajib memelihara bahasa daerah kita. Dengan menggali, mencari, melestarikan, dan menginventariskan karya-karya sastra bahasa daerah, maka hal ini sudah merupakan sumbangan awal terhadap kesusastraan Nusantara yang nantinya akan menjadi sumbangan pula bagi kesusastraan Indonesia. Kita jangan membiarkan peninggalan nenek moyang berupa karya sastra klasik yang memiliki nilai-nilai abadi dan universal ini hilang ditelan zaman. Kita seharusnya menimba manfaat dari nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra tersebut.

(10)

7

Begitu halnya dengan sastra, tak mungkin lepas dari aspek itu. Keduanya akan saling melengkapi secara seimbang sepanjang karya sastra tersebut mempunyai bobot tinggi” Gurindam Dua Belas karangan Raja Ali Haji merupakan produk sastra melayu

klasik. Sastra melayu klasik adalah karya sastra yang hidup dan berkembang di daerah Melayu. Sastra Melayu mengalami perkembangan dan penciptaan yang saling mempengaruhi antara satu periode dengan periode yang lain. Situasi masyarakat pada zaman sebelum Hindu, jaman Hindu, jaman peralihan dari Hindu ke Islam, dan zaman Islam, berpengaruh kuat pada hasil-hasil karya sastra Melayu.

Secara historis, jumlah karya sastra yang bersifat lisan lebih banyak dibanding dengan sastra tulis. Di antara jenis sastra lisan tersebut adalah pantun, peribahasa. gurindam, dongeng, legenda dan syair pada awalnya juga merupakan bagian dari tradisi lisan. Namun, perkembangannya mengalami perubahan ketika jenis sastra ini menjadi bagian dari kehidupan di istana–istana Melayu yang telah terbiasa dengan tradisi tulis.

(11)

8

alangkah naifnya, karya sastra yang sarat dengan segala keindahan tersebut tidak dapat dinikmati dan diapresiasikan dengan baik karena ketidakpahaman terhadap maksud yang ingin disampaikan pengarang.

Pemaknaan terhadap maksud pengarang sangat penting bagi penikmat sastra terutama puisi lama agar nantinya penikmat sastra dapat mengapresiasikan karya tersebut. Kemampuan mengapresiasi sastra melayu klasik tersebut harus dimiliki oleh siswa sebagai generasi penerus agar sastra tidak hilang ditelan zaman. Siswa dalam mengapresiasi sastra selain dapat menghadirkan kesenangan, keindahan juga dapat menunjang pemahaman tentang sejarah dan perkembangan sastra di Indonesia.

Namun, pada kenyataan yang terdapat di lapangan dapat disimpulkan bahwa kemampuan mengapresiasi sastra terutama sastra melayu klasik masih sangat kurang. Selain karena minimnya pengetahuan tentang sastra, kurangnya pengalaman bersastra menambah lagi deretan keprihatinan dalam bersastra.

(12)

9

Hal di atas bisa saja terjadi karena siswa kurang memahami bahasa yang pada dasarnya menggunakan gaya juga bahasa melayu klasik serta kurang menariknya guru dalam mengapresiasi sastra.

Dengan diangkatnya masalah ”Kajian Semiotik Gurindam Dua Belas Karangan Raja Ali Haji dan Aplikasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA”

merupakan suatu upaya yang ingin dilakukan penulis agar menemukan sebuah suplemen supaya siswa termotivasi untuk menikmati sastra sehingga pembelajaran sastra khususnya tentang Gurindam Dua Belas bukanlah lagi sesuatu yang menjemukan dan menjenuhkan.

Beberapa penyebab yang mungkin bisa dipetik mengapa sastra kurang diminati karena pertama, bahasa yang digunakan kurang menarik untuk diucapkan atau dipakai, pelajaran sastra khususnya sastra klasik dirasakan kurang menarik bila dibandingkan dengan mata pelajaran lain, misalnya bahasa Inggris. Kedua, kajian sastra lama terlalu monoton dan membosankan.

Berpijak dari masalah di atas, maka perlu kiranya diadakan pengkajian terhadap karya sastra lama. Untuk mengkaji karya sastra, dalam hal ini Gurindam Dua Belas adalah dengan menggunakan pendekatan semiotika. Penelitian sastra dengan

(13)

10

struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, tanda, dan maknanya, dan konvensi tanda, struktur karya sastra atau karya sastra tidak dapat dimengerti secara optimal.

Pendapat di atas diperkuat dengan pendapat Culler dalam Teeuw, (1988:142-143). Culler mengatakan bahwa ilmu sastra yang sejati harus bersifat semiotik, yaitu harus menganggap sastra sebagai sistem tanda. Tugas semiotik bukanlah deskripsi tanda-tanda tertentu, melainkan untuk memerikan konvensi-konvensi yang melandasi ragam perilaku dan pembayangan.

Culler (Teeuw, 1988:143) juga mengatakan bahwa seluruh pengalaman dan kebudayaan manusia berdasarkan tanda, mempunyai dimensi yang dominan. Di antara segala sistem tanda, sastralah yang paling menarik dan kompleks, antara lain karena sastra itu sendiri merupakan eksplorasi dan perenungan yang terus menerus mengenai pemberian makna dalam segala bentuknya, penafsiran pengalaman, komentar mengenai keberlakuan berbagai cara menafsirkan pengalaman, peninjauan tentang kekuasaan bahasa sastra yang kreatif, kritik terhadap kode-kode dan proses-proses interpretasi yang terwujud dalam bahasa-bahasa kita kini dan dalam sastra yang mendahului.

(14)

11

sistem tanda itu dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan tanda-tanda atau struktur tanda-tanda-tanda-tanda dalam ragam sastra itu mempunyai makna.

Pendekatan semiotik yang banyak memberi perhatian pada aspek konvensi sebagaimana dipaparkan di atas ini sejalan dengan tujuan pembelajaran sastra di sekolah dengan tujuan agar siswa semakin familiar terhadap karya sastra. Jika siswa sudah merasa dekat dengan sendirinya akan tumbuh sikap simpati, empati dan kepekaan terhadap karya sastra yang berujung pada penghayatan dalam menikmati karya sastra.

Dengan adanya hasil pengkajian ini diharapkan nantinya kita akan mudah dalam memaknai Gurindam Dua Belas, dan akhirnya kita mampu memahami sehingga dengan sendirinya kita akan mudah untuk mengapresiasi.

(15)

12

Dengan mengangkat judul ini peneliti berharap agar dalam pengalokasian waktu untuk jam pada sastra melayu klasik dapat diatur dengan fleksibel oleh Satuan Pendidikan masing-masing, untuk selanjutnya masalah ini menjadi perhatian dan prioritas dari penentu kebijakan dalam menyusun kurikulum pada masa mendatang. Penelitian ini juga dimaksudkan agar penentu kebijakan dapat membuat program agar sastra melayu klasik lebih membumi di tanah kelahirannya agar siswa dan masyarakat akan tumbuh rasa memiliki dan kecintaannya pada hasil budaya daerahnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimana kajian makna dan Citraan Gurindam Dua Belas karangan Raja Ali Haji?

2. Bagaimana kajian semiotik Gurindam Dua Belas karangan Raja Ali Haji? 3. Bagaimana implementasi Gurindam Dua Belas karangan Raja Ali Haji dalam

pembelajaran sastra di SMA?

(16)

13 C. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah memperoleh gambaran yang jelas tentang tanda dalam Gurindam Dua Belas, dan secara khusus penelitian ini bertujuan:

1. mendeskripsikan kajian makna dan citraan Gurindam Dua Belas karangan Raja Ali Haji.

2. mendeskripsikan Gurindam Dua Belas karangan Raja Ali Haji berdasarkan kajian semiotik.

3. mendeskripsikan implementasi Gurindam Dua Belas karangan Raja Ali Haji dalam pembelajaran sastra.

4. Memaparkan aplikasi kajian semiotik Gurindam Dua Belas pada pembelajaran sastra di SMA

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan baik bagi pihak peneliti maupun bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan (secara akademik). Secara rinci kegunaan penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Secara Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi, sumbangan dan wawasan keilmuan pada para peneliti tentang teori dan aplikasi semiotik pada Gurindam Dua Belas karangan Raja Ali Haji serta bermanfaat bagi peserta didik,

(17)

14

Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan terutama yang berhubungan dengan Gurindam Dua Belas.

2. Secara Praktis

a. Menjadikan bahan masukan untuk kepentingan pengembangan ilmu bagi pihak-pihak yang berkepentingan guna menjadikan penelitian lebih lanjut terhadap objek sejenis atau aspek lainya yang belum tercakup dalam penelitian ini, dan hasil penelitian ini diharapkan juga sebagai bahan pertimbangan dan masukan untuk pemantapan, penyebarluasan dan pelaksanaan program pelestarian budaya lokal agar tidak hilang ditelan zaman.

b. Bagi Guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai dasar untuk memilih dan mengembangkan bahan ajar, terutama dalam mengapresiasi sastra.

c. Selain itu, diharapkan penelitian ini memberikan manfaat berupa cara menguraikan puisi dalam hal ini Gurindam Dua Belas dengan pendekatan semiotik seperti yang dilakukan dalam penelitian ini.

E. Landasan Teori

(18)

15

1. Kajian semiotik merupakan suatu kegiatan meneliti, menelaah, dan menganalisis karya sastra berdasarkan sistem tanda, aturan-aturan dan konvensi yang memungkinkan tanda tersebut mempunyai makna dalam komunikasi.

2. Pengertian Gurindam Dua Belas

Gurindam Duabelas adalah sebuah bentuk karya puisi lama yang ditulis oleh Raja Ali Haji. Dikatakan Gurindam Dua Belaas karena berisi Dua Belas pasal. Gurindam ini relatif sulit difahami oleh siswa karena menggunakan bahasa melayu lama.

3. Pembelajaran Apresiasi Sastra

(19)

16

kemampuan siswa mengapresiasi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sastra.

F. Penelitian Terdahulu

Berikut akan dipaparkan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Guridam Dua Belas Karangan Raja Ali Haji.:

(20)

81

BAB III

METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-analitis. Metode deskriptif-analitis menggambarkan keadaan obyek yang diteliti dan menguraikan hal-hal yang menjadi bagian penting dalam penelitian (obyek). Dengan demikian metode deskriptif-analitis akan menghasilkan bentuk kajian yang mendalam tentang obyek yang diteliti.

Dalam metode deskriptif-analitis, data terurai dalam bentuk kata-kata, bukan dalam bentuk angka-angka. Penelitian yang bersifat deskriptif membuat peneliti berupaya mengemukakan pandangan, membuat kesimpulan, serta memberikan rumusan-rumusan yang diarahkan kepada pemerkayaan hasil kajian melalui kata-kata. Dengan demikian akan terlihat suatu penghayatan yang mendalam terhadap interaksi antarkonsep yang dikaji secara empiris.

(21)

82

Dalam penelitian deskriptif tidak selalu menuntut adanya hipotesis. Perlakuan atau manipulasi variabel tidak diperlukan, sebab gejala dan peristiwa telah ada dan peneliti tinggal mendeskripsikannya (Sudjana, Nana dan Ibrahim, 1989:64-65).

Metode analitis digunakan untuk mengungkapkan karakteristik obyek dengan cara menguraikan dan menafsirkan fakta-fakta tentang konvensi bahasa dan persoalan yang terdapat dalam teks yang sedang diteliti. Dengan model ini, teks yang sedang diteliti diuraikan dan ditafsirkan dengan berpedoman pada konsep semiotika.

B. Data dan Sumber Data

Menurut Sugiono, (2009:80) memberi pengertian tentang populasi ialah wilayah generalisasi yang terdiri atas: objek/subjek yang mempunyai keterkaitan dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya, dalam hal ini Gurindam Dua Belas. Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga benda-benda atau yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada objek/subjek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh subjek atau objek itu.

(22)

83

tersebut. Sampel darah tersebut dapat menentukan golongan darah seseorang tanpa harus dikeluarkan seluruh darahnya. Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Populasi tidak bergantung pada banyaknya sampel.

Berdasarkan pendapat pakar tersebut, maka peneliti menggunakan data Gurindam Dua Belas dan sumber data utama yang digunakan penelitian ini ialah

naskah dalam simpanan Perpustakaan Nasional di Jakarta (W 233) dan naskah yang disimpan Perpustakaan Universitas Leiden (Cod. Or. 5825) yang kemudian naskah tersebut ditransliterasi ke dalam tulisan Arab-Melayu.

C. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data 1. Instrumen Penelitian

Dalam penenilitian kualitatif yang menjadi instrumen adalah peneliti sendiri karena peneliti memegang peranan penting sebagai pengamat penuh. Moleong (2009:222), kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif cukup rumit. Peneliti sekaligus sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data, analisis, penafsir data, dan akhirnya sebagai pelapor hasil penelitian. Di samping penulis melakukan hal tersebut, penulis juga menggunakan :

a. Tape Recorder

Tape recorder selain digunakan untuk merekam nyanyian gurindam juga

(23)

84

b. Kamera atau handycam

Kamera atau handycam diperlukan untuk merekam dan mendapatkan foto atau gambar pada saat wawancara dan observasi dilaksanakan.

c. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara digunakan untuk mendapatkan data Gurindam Dua Belas.

2. Tahap-Tahap Penelitian

Langkah kerja peneliti dalam penelitian ini pertama-tama memilih permasalahan dan menentukan obyek penelitian. Obyek penelitian peneliti peroleh berdasarkan kajian pustaka yang banyak mengupas seputar obyek penelitan. peneliti berpendapat bahwa obyek penelitian ini perlu dikemukakan karena berkaitan dengan program pembelajaran sastra. Permasalahan yang terpilih untuk dikemukakan adalah kajian terhadap gurindam sesuai dengan syarat-syarat pemilihan bahan ajar dan apresiasi sastra.

P eneliti sangat tertarik untuk mengadakan penelitian tentang gurindam yang akan dijadikan bahan ajar karena saat ini pembelajaran puisi dianggap kurang berhasil. Mungkin saja pembelajaran puisi kurang diminati siswa karena bahasa yang yang tidak sesuai dengan kriteria bahan ajar yang harus disampaikan kepada siswa. Karena itulah, peneliti mencoba untuk mendesain bahan ajar puisi berdasarkan kriteria yang peneliti temukan dalam kajian pustaka.

(24)

85

teori tersebut berupa perumusan dasar terori yang akan dijadikan landasan dalam melakukan kegiatan penenelitian. Teori-teori yang dikembangkan tersebut adalah teori yang berkenaan dengan puisi, kajian semiotik, dan bahan ajar sastra (puisi lama).

Adapun secara rinci peneliti melakukan tahapan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. mengidentifikasi masalah;

2. memilih literatur sebagai bahan pustaka; 3. mengkaji bahan pustaka;

4. mengutip teori dari literatur sebagai bahan pustaka; 5. menentukan langkah kerja untuk menganalisis data; 6. menentukan data

7. menganalisis data;

8. menginterpretasikan hasil analisis; dan 9. menyusun kesimpulan.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan di dalam “natural setting” (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan data

lebih banyak kepada observasi, wawancara tidak terstruktur, dan dokumentasi.

(25)

86

itu, peneliti menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur untuk mendapatkan data, informasi, dan pendapat.

D. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak memasuki lapangan, selama di lapangan dan setelah di lapangan dalam hal ini Sugiyono (2009:219) menyatakan bahwa “ analisis data telah dimulai sejak dirumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan dan terus berlanjut sampai hasil penelitian “.

Sesuai dengan tujuan penelitian, sampel yang telah ditetapkan diidentifikasi berdasarkan berbagai gejala yang terkait dengan unsur-unsur puisi dalam lingkup pengkajian semiotik. Data tersebut dianalisis dengan langkah-langkah sebagai berikut. a. Pendeskripsian unsur-unsur yang telah diidentifikasi berdasarkan, makna kata,

citraan, dan analisis semiotika dalam Gurindam Dua Belas. b. Membuat interpretasi terhadap unsur-unsur puisi tersebut.

c. Memaknai puisi dengan cara pencarian makna melalui makna denotasi dan konotasi serta pengimajian.

d. Membuat hasil analisis atau hasil pengkajian Gurindam Dua Belas.

e. Membuat model pembelajaran apresiasi sastra dalam bentuk Gurindam Dua Belas f. Menarik kesimpulan dari data yang telah dianalisis.

g. Menyusun laporan dan evaluasi akhir.

(26)

87

Dalam penelitian ini, Gurindam Dua Belas sebagai data yang dianalisis dengan tahapan-tahapan sesuai dengan kajian yang digunakan. Adapun tahapan analisis tersebut sebagai berikut.

1. Analisis tahap pertama yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan semiotik berupa pengungkapan unsur-unsur puisi berupa makna kata dan citraan.

2. Analisis tahap kedua berupa pemaknaan puisi berdasarkan semiotika pada Gurindam Dua Belas.

3. Analisis tahap ketiga merupakan model pembelajaran yang digunakan dalam pelajaran apresiasi sastra.

4. Tahapan keempat adalah implementasi dari model sebagai bahan pembelajaran sastra..

(27)

195

BAB V

GURINDAM DUA BELAS SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN

APRESIASI SASTRA DI SMA

Bahan pembelajaran yang tepat dan sesuai merupakan hal utama yang harus diperhatikan dalam pembelajaran apresiasi sastra di sekolah. Untuk itu ada beberapa kriteria atau beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan ketika memilih bahan pembelajaran apresiasi sastra. Aspek-aspek atau kriteria-kriteria tersebut meliputi aspek kesusastraan, pendidikan, bahasa, psikologi, dan latar belakang budaya. Hasil kajian semiotik Gurindam Dua Belas dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif-analitis ini kiranya perlu ditindaklanjuti dengan menawarkan tentang kandungan makna yang terdapat dalam Gurindam Dua Belas ini untuk diaplikasikan dalam pembelajaran sastra di SMA.

Setelah menganalisis secara semiotik Gurindam Dua Belas Karangan Raja Ali Haji, peneliti menyimpulkan bahwa Gurindam Dua Belas dapat diaplikasikan sebagai bahan pembelajaran sastra terutama di Sekolah Menengah Atas (SMA).

(28)

196

Dari segi psikologis, gurindam juga banyak memberi manfaat pada siswa. Lewat kajian makna dan citraan yang peneliti lakukan diharapkan akan mempermudah dalam memahami Gurindam Dua Belas.

Apabila dilihat dari segi latar belakang budaya, Gurindam Dua Belas karangan Raja Ali Haji ini begitu kental dengan nilai-nilai budaya masyarakat Melayu di Provinsi Kepri pada umumnya dan di Kabupaten Bintan pada khususnya. Pemilihan gurindam ini juga didasari agar siswa semakin mengatahui dan mengenal keragaman khazanah budaya bangsa kita. Dengan kedekatan latar belakang budaya diharapkan siswa tidak akan terlalu kesulitan untuk mengaplikasikan gurindam ini.

Melalui kriteria-kriteria tersebut, maka peneliti berkesimpulan bahwa kajian Semiotik Gurindam Dua Belas karangan Raja Ali Haji dianggap memenuhi persyaratan untuk diaplikasikan dalam pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA)

A. Orientasi Model

(29)

197

lebih baik. Dengan paradigma baru, praktik pembelajaran akan digeser akan menjadi pembelajaran yang lebih bertumpu pada teori kognitif dan konstruktivistik. Pembelajaran akan berfokus pada perkembangan kemampuan intelektual yang berlangsung secara sosial dan kultural, mendorong siswa membangun pemahaman dan pengetahuannya sendiri dalam konteks sosial dan belajar dimulai dari pengetahuan awal dan persfektif budaya sebagaimana (Kamdi dalam Aunurrahman, 2009:2)

Kelemahan terbesar dari lembaga-lembaga pendidikan dan pembelajaran kita menurut Purwasasmita dalam Aunurrahman (2009:3) karena pendidikan tidak memiliki basis pengembangan budaya yang jelas. Lembaga pendidikan kita hanya dikembangkan berdasarkan model ekonomik untuk menghasilkan /membudaya manusia pekerja (abdi dalem) yang sudah disetel menurut tata nilai ekonomi yang berlatar (kapitalistik), sehingga tidak mengherankan apabila keluaran pendidikan kita menjadi yang sudah disetel menurut tata nilai ekonomi yang berlatar (kapitalistik), sehingga tidak mengherankan apabila keluaran pendidikan kita menjadi manusia pencari kerja dan tidak berdaya, bukan manusia kreatif pencipta keterkaitan kesejahtraan dalam siklus rangkaian manfaat yang seharusnya menjadi hal yang paling esensial dalam pendidikan dan pembelajaran.

(30)

198

pendidik juga adalah pemimpin yang harus mengakomodasi berbagai pertanyaan dan kebutuhan peserta didik secara transparan, toleran, dan tidak arogan, dengan membuka seluas-luasnya kesempatan-kesempatan dialog kepada peserta didik.

Secara pedagogis arah pendidikan terkait dengan pengembangan pendekatan metodologis proses pendidikan dan pembelajaran yang memanfaatkan berbagai sumber belajar (multy learning resources). Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan telah mengubah paradigma pendidikan yang menerapkan guru sebagai fasilatator dan agen pembelajaran di mana peserta didik dapat memiliki akses yang seluas-luasnya kepada beragam media untuk kepentingan pendidikannya.

Pendidikan bertumpu pada empat pilar, yaitu:

a. Learning to know adalah upaya memahami instrumen–instrumen pengetahuan baik

sebagai alat maupun sebagai tujuan. Sebagai alat, pengetahuan tersebut diharapkan dapat memberikan kemampuan setiap orang untuk memahami berbagai aspek lingkungan agar mereka dapat hidup dengan harkat dan martabatnya dalam rangka mengembangkan keterampilan kerja dan berkomunikasi dengan berbagai pihak. Sebagai tujuan, maka pengetahuan tersebut akan bermanfaat dalam rangka peningkatan pemahaman, pengetahuan serta penemuan di dalam kehidupannya. b. Learning to do lebih ditekankan pada bagaimana mengajarkan anak-anak utuk

(31)

199

c. Learning to live together, learning to live with others, pada dasarnya adalah

mengajarkan, melatih, dan membimbing peserta didik agar mereka dapat menciptakan hubungan melalui komunikasi yang baik, menjauhi prasangka-prasangka buruk terhadap orang lain serta menjauhi dan menghindari terjadinya perselisihan dan konflik.

d. Learning to be yaitu pendidikan hendaklah mampu memberikan kontribusi untuk

perkembangan seutuhnya setiap orang, jiwa dan raga , intelegensia, kepekaan, rasa etika, tanggung jawab pribadi dan nilai-nilai spiritual.

Keempat pilar pendidikan sebagaimana dipaparkan di atas sekaligus merupakan misi dan tangungjawab yang harus diemban oleh pendidikan. Melalui kegiatan belajar mengetahui, belajar berbuat, belajar hidup bersama dan belajar menjadi seseorang atau belajar menjadi diri sendiri yang didasari keinginan secara sungguh-sungguh maka akan semakin luas wawasan seseorang tentang pengetahuan, tentang nilai-nilai positif, tentang orang lain serta tentang berbagai dinamika perubahan yang terjadi. Kesemuanya ini diharapkan menjadi modal fundamental bagi seseorang untuk mampu mengarahkan dirinya dalam berperilaku positif berpijak pada nilai-nilai yang dia yakini kebenarannya dan pada gilirannya akan semakin terbuka pikiran untuk melihat fakta-fakta yang benar dan yang salah, sesuatu tindakan yang sesungguhnya merugikan atau membawa kemajuan bagi diri dan orang lain.

(32)

200

peserta didik secara holistik melalui proses pembelajaran yang dilakukan oleh setiap guru.

1. Pendekatan Kontekstual

Pendekatan kontekstual ( Contextual teaching and learning (CTL) ) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi dan Gerrad 2003: 4). Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.

Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi pembelajaran daripada memberi informasi. Tugas guru cenderung mengelola kelas menjadi sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa) (Depdiknas 2002:5). Sesuatu yang baru baik pengetahuan maupun keterampilan datang dari ‘menemukan sendiri’ bukan dari apa kata guru.

(33)

201

Pendekatan kontekstual menjadi pilihan karena sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal.

Pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen utama yang mendasari pembelajaran di kelas. Ketujuh komponen itu adalah konstruktivisme (constructivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (aunthentic assesment) (Depdiknas 2002: 10).

2. Pembelajaran menurut Paradigma Konstruktivistik

(34)

202

sebagai proses regulasi diri dalam menyelesikan konflik kognitif yang sering muncul melalui pengalaman konkret, wacana kolaboratif, dan interpretasi.

Belajar adalah kegiatan aktif siswa untuk membangun pengetahuannya. Siswa sendiri yang bertanggung jawab atas peristiwa belajar dan hasil belajarnya. Siswa sendiri yang melakukan penalaran melalui seleksi dan organisasi pengalaman serta mengintegrasikannya dengan apa yang telah diketahui. Belajar merupakan proses negosiasi makna berdasarkan pengertian yang dibangun secara personal. Belajar bermakna terjadi melalui refleksi, resolusi konflik kognitif, dialog, penelitian, pengujian hipotesis, pengambilan keputusan, yang semuanya ditujukan untuk memperbaharui tingkat pemikiran individu sehingga menjadi semakin sempurna.

(35)

203

Hal yang lebih penting, bagaimana guru mendorong dan menerima otonomi siswa, investigasi bertolak dari data mentah dan sumber-sumber primer (bukan hanya buku teks), menghargai pikiran siswa, dialog, pencarian, dan teka-teki sebagai pengarah pembelajaran.

Secara tradisional, pembelajaran telah dianggap sebagai bagian “menirukan” suatu proses yang melibatkan pengulangan siswa, atau meniru-niru informasi yang baru disajikan dalam laporan atau kuis dan tes. Menurut paradigma konstruktivistik, pembelajaran lebih diutamakan untuk membantu siswa dalam menginternalisasi, membentuk kembali, atau mentransformasi informasi baru.

Untuk menginternalisasi serta dapat menerapkan pembelajaran menurut paradigma konstruktivistik, terlebih dulu guru diharapkan dapat merubah pikiran sesuai ciri sebagai berikut.

1. Menghargai otonomi dan inisiatif siswa.

2. Menggunakan data primer dan bahan manipulatif dengan penekanan pada keterampilan berpikir kritis.

3. Mengutamakan kinerja siswa berupa mengklasifikasi mengananalisis, memprediksi, dan mengkreasi dalam mengerjakan tugas.

4. Menyertakan respon siswa dalam pembelajaran dan mengubah model atau strategi pembelajaran sesuai dengan karakteristik materi pelajaran.

(36)

204

6. Menyediakan peluang kepada siswa untuk berdiskusi baik dengan dirinya maupun dengan siswa yang lain.

7. Mendorong sikap inquiry siswa dengan pertanyaan terbuka yang menuntut mereka untuk berpikir kritis dan berdiskusi antar temannya.

8. Mengelaborasi respon awal siswa.

9. Menyertakan siswa dalam pengalaman-pengalaman yang dapat menimbulkan kontradiksi terhadap hipotesis awal mereka dan kemudian mendorong diskusi. 10. Menyediakan kesempatan yang cukup kepada siswa dalam memikirkan dan

mengerjakan tugas-tugas.

11. Menumbuhkan sikap ingin tahu siswa melalui penggunaan model pembelajaran yang beragam.

3. Pembelajaran Konstruktivistik Model Jigsaw

Model pengajaran menurut Joyce dan Weil (Mulyanto, 2008) ialah a pattern or a plan, which can be used to shape a curriculum or course, to select

instructional material, and to guide a teacher action. Dengan demikian model

pengajaran adalah sejenis pola atau rencana yang dapat digunakan untuk menentukan kurikulum atau pengajaran, memilih materi pelajaran, dan membimbing kegiatan guru.

(37)

205

Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.

Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu model pembelajaran berdasarkan paradigm konstruktivistik yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends, 1997).

Model jigsaw merupakan model pembelajaran dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 – 6 orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends, 1997).

(38)

206

Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli) saling membantu satu sama lain tentang topik pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka. Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim / kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.

Pada model Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.

(39)

207

menyatakan bahwa dalam proses pemaknaan karya sastra, terjadi interaksi resiprokal antara skema pembaca, teks karya sastra yang dibacanya dengan latar belakang penulisnya. Teori ini menuntut penghargaan yang memadai kepada siswa sebagai seseorang yang berhak mengapresiasi dan merespon suatu karya sesuai dengan skema dan kemampuannya. Dengan modal penghargaan tersebut kreativitas dan kepribadian siswa akan terbentuk melalui suatu proses dinamis yang alamiah.

B. Model Mengajar 1. Sintaksis

Prinsip-prinsip dalam model Jigsaw yaitu:

a. Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal.

1) Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.

(40)

208

3) Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Misal suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa.

4) Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.

b. Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.

c. Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.

(41)

209

e. Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran.

Kelompok lsal

f.

Kelompok Ahli

Gambar. Ilustrasi Kelompok Jigsaw

Langkah-langkah strategis model ini terdiri atas lima fase, yaitu: a. Siswa dihadapkan pada masalah, misalnya sejumlah puisi;

b. Siswa mengumpulkan data dari puisi yang dibacanya, misalnya siapa pengarangnya, kapan puisi ini ditulis, tema, serta latar belakang pembuatan puisi tersebut;

c. Siswa menghimpun data;

(42)

210

e. Siswa menilai kembali manfaat, kelebihan, kekurangan, dan tindak lanjut dari apa yang telah mereka lakukan.

Urutan kegiatan mengkaji gurindam di atas dilandasi oleh urutan strategi kritik sejarah yaitu engaging (mengajak), describing (mendeskripsikan), conceiving (mengkonsep) , explaining (menjelaskan), connecting (menghubungkan), interpreting (menafsirkan), dan judging (berpendapat/memutuskan).

2. Sistem Sosial

Sistem sosial yang mendukung model ini bertumpu pada keterbukaan, kesejajaran, kolaborasi dan kooperasi, serta saling menghargai perbedaan pendapat sebagai potensi memperluas wawasan. Sistem sosial yang diupatakan tercipta adalah sistem sosial yang mampu melatih kecakapan pribadi (kesadaran diri, pengaturan diri, dan motivasi) dan kecakapan sosial (empati dan kemampuan menggugah tanggapan yang dikehendaki orang lain).

(43)

211

lain demi tujuan bersama, dan menciptakan suasana tim yang sinergis dalam mencapai tujuan bersama (Goleman dalam Mulyanto, 2008).

Pada dasarnya kegiatan pada model ini bergantung pada keaktifan siswa yang didasarkan pada ketertarikan, minat, atau motivasi siswa merupakan kunci keberhasilan.

3. Prinsip Reaksi

(44)

212

Lebih khusus lagi reaksi guru dalam kegiatan belajar mengajar diarahkan pada rambu-rambu yang diajukan Probst (1987) sebagai berikut:

a. Pengajaran harus dirancang untuk melibatkan respon siswa; b. Atmosfir (suasana) kelas mesti kooperatif;

c. Konsep tentang pengetahuan sastra harus diperluas, jangan tertelikung oleh definisi yang sempit;

d. Proses pembelajaran membuka kebebasan kepada siswa; dan

e. Dihubungkan dengan literatur lain lain sejarah, biografi, budaya dan lain-lain. Dalam praktik pengajarannya ia mengajukan tujuh prinsip sebagai berikut: a) Undanglah respon siswa;

b) Beri waktu untuk merumuskan ide;

c) Ambil benang merah ketika terjadi diskusi dan perbedaan pendapat;

d) Bukalah diskusi tentang topik atau apapun dengan menyertakan pengalaman; e) Biarkan diskusi itu terbangun dengan perasaan bebas dalam diri siswa;

f) Kaitkan topik diskusi itu dengan literatur lain, diskusi sebelumnya, atau pengalaman-pengalaman yang berkaitan;

g) Tindaklanjuti setiap kegiatan dengan tahap berikutnya, misalnya apa lagi yang akan dibaca atau apa lagi yang akan ditulis.

4. Sistem Penunjang

(45)

213

novel, cerita rakyat, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan kursi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu. Dalam hal ini yang berhubungan dengan pembelajaran apresiasi menggunakan metode diskusi tipe jigsaw pada Gurindam Dua Belas karangan Raja Ali Haji. Dan tujuan akhir dari pembelajaran ini adalah siswa mampu menggali makna gurindam tersebut baik dari segi makna di sebalik diksi yang digunakan, dan menceritakan isi gurindam tersebut dengan penafsiran mereka masing-masing berdasarkan teks Gurindam Dua Belas sebagai media.

Kaitan sistem penunjang yang mendukung pada model ini yaitu pada bahan ajar yang menunjang yang secara optimal dapat berdampak posistif pada pelaksanaan model ini berkenaan dengan bahan yang mempunyai muatan problematik cukup memadai dan sesuai dengan tingkat kematangan siswa.

5. Penerapan

Model ini dirancang untuk meningkatkan kemampuan siswa memahami dan memaknai masalah yang memungkinkan siswa untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran ini dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berinteraksi dengan teman-temannya sehingga dapat tercipta pembelajaran yang bermakna.

(46)

214

membutuhkan proses interaksi ini untuk memperkaya ilmu pengetahuan yang mereka miliki ataupun saling memperbaiki kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi saat proses pembelajaran berlangsung. Model ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar secara mandiri dan meningkatkan efektivitas mereka dalam kelompok.

Model pembelajaran ini juga dapat menjadi salah satu cara untuk membangun karakter anak menjadi lebih percaya diri, misalnya saat mereka tampil menjadi pemimpin dalam kelompok. Selain itu, ini juga dapat meningkatkan motivasi instrinsik siswa sehingga mereka lebih bersemangat dalam melakukan kegiatan pembelajaran yang mereka arahkan sendiri sesuai dengan petunjuk guru.

6. Dampak Instruksional Dan Penyerta

Sebagai dampak pembelajaran dalam model ini adalah pemahaman, keterampilan berpikir kritis dan kreatif, kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi, keterampilan mengunakan pengetahuan secara bermakna.

Dampak instruksional yang dapat dicapai melalui model pembelajaran ini antara lain:

1. pemahaman terhadap suatu nilai, konsep, atau masalah tertentu, 2. kemampuan menerapan konsep / memecahkan masalah, serta

(47)

215

Dari segi dampak pengiring (nurturant effects), melalui model pembelajaran jigsaw diharapkan dapat dibentuk kemampuan berpikir kritis dan kreatif, bertanggung jawab, serta bekerja sama; yang semuanya merupakan tujuan pembelajaran jangka panjang, serta hakikat tentatif keilmuan, keterampilan proses keilmuan, otonomi dan kebebasan siswa, toleransi terhadap ketidakpastian dan masalah-masalah nonrutin serta mempercepat pengembangan self-regulated learning, menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, dan efektif dalam mengatasi keragaman siswa. Tentu saja dampak pengiring hanya mungkin terbentuk, jika kesempatan untuk mencapai/menghayati berbagai kemampuan tersebut memang benar-benar disediakan secara memadai. Hal itu akan tercapai, jika model pembelajaran ini diterapkan secara benar dan memadai.

C. Implementasi Model Jigsaw dalam Pembelajaran Apresiasi Sastra 1. Aplikasi Model Jigsaw

Tahap pelaksanaan model yaitu:

a. Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal.

(48)

216

c. Guru memberikan materi yang akan dijadikan destinasi pembelajaran, dalam hal ini puisi Gurindam Dua Belas karangan Raja Ali Haji yang dibagi atas kelompok tema, kelompok penafsiran puisi, dan kelompok biografi penulis. d. Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang

sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.

e. Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.

f. Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.

g. Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.

2. PENERAPAN

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP 1)

(49)

217

Kelas/Semester/Prog : XII / 2/IPA-IPS Alokasi Waktu : 2 x 45 menit

A. Standar Kompetensi : Berbicara

Mengungkapan tanggapan terhadap pembacaan puisi lama

B. Kompetensi Dasar

• Membahas ciri-ciri dan nilai-nilai yang terkandung dalam gurindam C. Indikator

• Mengidentifikasi ciri-ciri gurindam • Membacakan gurindam

• Mendiskusikan ciri-ciri dan nilai-nilai yang terkandung dalam gurindam • Membicarakan pesan-pesan yang terdapat dalam gurindam

D. Tujuan Pembelajaran

• Siswa dapat mengidentifikasi ciri-ciri gurindam. • Siswa dapat membacakan gurindam.

• Siswa dapat mendiskusikan ciri-ciri dan nilai-nilai yang terkandung dalam

gurindam.

(50)

218

E. Materi Pembelajaran

Pada dasarnya, melisankan gurindam ini sama dengan membaca puisi. Tetapi ada beberapa kekhasan yang dimiliki gurindam dibandingkan puisi. Gurindam termasuk puisi lama yang terdiri atas dua baris dalam satu bait. Kalimat baris pertama menyatakan perbuatan dan kalimat baris kedua menyatakan akibat yang timbul dari perbuatan itu.

Dilihat dari bentuknya, gurindam hampir sama dengan pantun kilat (karmina). Bedanya, karmina terdiri atas sampiran dan isi, sedangkan gurindam tidak memiliki sampiran dan merupakan sebuah kalimat yang memiliki hubungan sebab akibat.

Perhatikan teks berikut. Kurang pikir kurang siasat, tentu dirimu kelak tersesat.

(51)

219

1. Gurindam terdiri atas dua baris/larik dalam satu bait. 2. Rima akhirnya berpola a-a.

3. Sempurna dengan dua baris saja.

4. Baris pertama merupakan sebab (syarat/perbuatan) dan baris kedua merupakan akibat.

4. Gurindam selalu mengandung nasihat.

Sebagai contoh, lisankanlah gurindam berikut dengan memperhatikan penanda lafal dan intonasinya.

1. Kurang pikir / kurang siasat/ tentu dirimu / kelak tersesat//

2. Cahari olehmu / akan sahabat/ yang boleh / dijadikan obat//

Gurindam (1) berisi pesan bahwa jika kita melakukan suatu perbuatan tanpa didasari oleh ilmu, tentu kita akan terjerumus pada kesesatan. Adapun, gurindam (2) berisi pesan bahwa kita harus pandai-pandai mencari teman untuk dijadikan sahabat. Sahabat yang baik adalah yang mampu memberikan ketenangan dan menjadi "obat" manakala kita dalam kesusahan.

F. Model Belajar

Kognitivisme dan Konstruktivisme

G. Metode Pembelajaran

(52)

220

• modeling • penugasan

H. Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran

1. Kegiatan Awal

Mengadakan apersepsi

Menyampaikan kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran. Menyampaikan manfaat menyimpulkan isi teks gurindam.

2. Kegiatan Inti

Kegiatan Inti Pembelajaran meliputi:

a. Siswa membaca sebuah gurindam

b. Siswa masuk ke dalam kelompok atas kelompok ahli dan kelompok asal c. Siswa mendiskusikan tentang puisi tersebut berdasarkan bagian yang telah

ditentukan oleh guru .

d. Siswa dari kelompok ahli kembali kepada kelompok asal dengan membawa informasi.

e. Salah satu perwakilan kelompok melaporkan hasil diskusi. f. Siswa lain menanggapai dan memberikan masukan.

g. Menginformasikan topik atau tema yang akan dibahas pada pertemuan yang akan datang

(53)

221

3. Kegiatan Penutup

• Guru dan siswa menyimpulkan hasil pembelajaran. • Guru dan siswa merefleksikan kegiatan.

• Guru dan siswa merencanakan materi yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya.

4. Refleksi : Siswa dapat menentukan ciri-ciri gurindam

I. Sumber dan Media Pembelajaran

• Sumber : Buku Paket Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA Kelas XII, • Media : Contoh Gurindam

J. Penilaian

• Teknik : Tes dan Nontes • Bentuk Instrumen : Lisan dan tulisan

• Instrumen :

1. Tentukan ciri-ciri gurindam! 2. Bacakan gurindam dengan benar!

3. Tentukan nilai-nilai yang terkandung dalam gurindam! 4. Sebutkan pesan-pesan yang terdapat dalam gurindam!

Mengetahui

Kepala Sekolah, Guru Mata Pelajaran,

___________________. ___________________

(54)

222

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP 2)

Nama Sekolah : SMA NEGERI 3 BINTAN Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia

Kelas/Semester/Prog : XII / 2/IPA-IPS Alokasi Waktu : 2 x 45 menit

A. Standar Kompetensi: Berbicara

Mengungkapan tanggapan terhadap pembacaan puisi lama

B. Kompetensi Dasar

• Menjelaskan keterkaitan gurindam dengan kehidupan sehari-hari

C. Indikator

• Mengaitkan isi gurindam dengan kehidupan masa kini • Menyimpulkan pesan-pesan yang terdapat dalam gurindam

D. Tujuan Pembelajaran

• Siswa dapat mengaitkan isi gurindam dengan kehidupan masa kini. • Siswa dapat menyimpulkan pesan-pesan yang terdapat dalam gurindam

E. Materi Pembelajaran Teks gurindam

Mengaitkan isi gurindam dengan kehidupan sehari-hari F. Model Belajar

(55)

223

• Menyampaikan kompetensi dasar dan tujuan pembelajaran. • Menyampaikan manfaat menyimpulkan isi gurindam. 2. Kegiatan Inti

• Membentuk kelompok.

• Berdiskusi menentukan isi gurindam.

• Mengaitkan isi gurindam dengan kehidupan masa kini • Menyimpulkan pesan-pesan yang terdapat dalam gurindam • Bertanya jawab tentang materi yang dibahas.

3. Kegiatan Penutup

• Guru dan siswa menyimpulkan hasil pembelajaran. • Guru dan siswa merefleksikan kegiatan.

• Guru dan siswa merencanakan materi yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya.

4. Refleksi : Siswa dapat menerapkan isi gurindam dalam kehidupan sehari-hari I. Sumber dan Media Pembelajaran

(56)

224

J. Penilaian

• Teknik : Tes dan Nontes • Bentuk Instrumen : Lisan dan tulisan

• Instrumen :

1. Jelaskan hubungan isi gurindam dengan kehidupan masa kini! 2. Buatlah kesimpulan pesan-pesan yang terdapat dalam gurindam!

Mengetahui

Kepala Sekolah, Guru Mata Pelajaran,

_________________ ___________________

D. Hasil analisis Model

Model pembelajaran kontekstual sangat berperan aktif dalam proses pembelajaran terkait dengan pemaknaan pada gurindam.

Strategi inkuiri melibatkan siswa dalam prsoses penemuan secara mandiri. Model pembelajaran ini sangat meningkatkan kreativitas siswa untuk melakukan pencarian dan penemuan terhadap masalah yang ditugaskan oleh guru, dalam hal ini mencari dan menemukan informasi tentang Gurindam Dua Belas yang berhubungan dengan makna gurindam.

(57)

225

Dalam hal ini, siswa melakukan diskusi dan langsung memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang bermanfaat dari kelompok lain. Dari deskripsi tersebut strategi bertanya dan strategi masyarakat belajar digunakan.

Tahap Konstruktivisme dilakukan saat siswa menyimpulkan apa saja yang ditemukannya dan tahap ini merupakan tahapan akhir model pembelajaran sebelum refleksi.

Di akhir pertemuan, guru dan siswa melakukan refleksi berupa mengingat, merenungkan kembali langkah-langkah pembelajaran yang telah dilakukan siswa. Guru dalam hal ini membantu siswa untuk memahami, mengenali serta mengapresiasikan makna yang terkandung dalam gurindam.

Guru harus mempersiapkan perencanaan yang matang untuk menilai hasil pembelajaran. Ketika siswa mengemukakan pendapat, melakukan observasi dan wawancara di lapangan, ketika itu pula guru harus memberikan penilaian positif bagi siswa. Hal inilah yang disebut dengan penilaian nyata dan benar-benar merupakan penilaian yang integratif.

Ini merupakan hasil analisis penerapan metode diskusi tipe jigsaw pada pembelajaran apresiasi sastra berkaitan dengan analisis Gurindam Dua Belas di sekolah.

(58)

226

Hasil kajian semiotik terhadap Gurindam Dua Belas karangan Raja Ali Haji dapat diaplikasikan dalam berbagai bentuk apresiasi sastra. Pengaplikasian Gurindam Dua Belas disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku serta tingkat pemahaman

siswa terhadap materi. Pemanfaatan hasil kajian semiotik ini dapat diaplikasikan berkenaan dengan apresiasi puisi yang berhubungan dengan pembacaan gurindam adalah pembacaan gurindam (deklamasi), dramatisasi Gurindam Dua Belas, dan musikalisasi Gurindam Dua Belas.

1. Pembelajaran Pembacaan Gurindam Dua Belas (Deklamasi)

Deklamasi merupakan salah satu kegiatan apresiasi sastra yang dapat menumbuhkan kecintaan siswa terhadap karya sastra. Dengan deklamasi siswa diharapkan mampu mengekspresikan perasaan-perasaannya sesuai dengan bait dan pasal gurindam yang dibacakan siswa. Kajian semiotik yang dilakukan dengan berdasar pada kajian makna dan citraan akan membantu siswa untuk memahami kata demi kata membuat siswa akan mampu mengungkapkannya dengan ekspresi yang penuh penjiwaan.

(59)

227

Tahapan aplikasi secara berkelompok dapat dilakukan sebagai berikut.

a. Sebelum pembelajaran, telah terbentuk kelompok belajar dalam mata pelajaran bahasa Indonesia (5-6 kelompok).

b. Guru membagi pasal demi pasal gurindam pada masing-masing kelompok c. Guru memberikan penjelasan berkenaan dengan deklamasi gurindam secara

berkelompok.

d. Siswa berdiskusi untuk menentukan bait-bait yang akan dibaca oleh setiap anggota kelompok

e. Setiap kelompk mendeklamasikan puisi yang mereka pilih. f. Kelompok lain mendengarkan untuk memberikan penilaian.

g. Setelah selesai semua kelompok mendeklamasikan puisi, masing-masing kelompok menyampaikan beberapa hal berkenaan dengan deklamasi yang dilakukan kelompok lain.

h. Guru memberikan ulasan atau tanggapan yang berkenaan dengan deklamasi yang telah dibacakan oleh semua kelompok. Ulasan ini bertujuan untuk memupuk siswa gemar dalam bersastra (deklamasi). Selain itu, ulasan juga merupakan bentuk pengayaan berkenaan dengan deklamasi.

2. Pembelajaran Dramatisasi Gurindam Dua Belas (Bermain Peran)

(60)

228

semiotik pada Gurindam Dua Belas suatu bentuk pembelajaran konstruksivistik dengan model role playing atau bermain peran. Kepentingan kelompok adalah yang utama. Dalam kegiatan ini guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Peserta didik atau siswa yang bergerak dan kreatif.

Adapun tahapan dalam kegiatan ini adalah

a. Sebelum pembelajaran, telah terbentuk kelompok bermain peran. Kelompok dibentuk berdasar pada kepentingan peran sesuai dengan pasal-pasal gurindam (4 kelompok).

b. Guru membagi pasal demi pasal gurindam pada masing-masing kelompok c. Guru memberikan penjelasan berkenaan dengan kegiatan bermain peran d. Siswa berdiskusi dalam pembuatan naskah, waktu pelaksanaan, tokoh atau

pemeran, latar sesuai dengan pasal yang dipilih. e. Waktu yang diberikan 1 minggu untuk bermain peran.

f. Pada saat tampil, masing-masing kelompok memperhatikan temannya bermain peran.

g. Guru memberikan ulasan atau tanggapan yang berkenaan dengan peran yang telah ditampilkan oleh semua kelompok. Ulasan ini bertujuan untuk memupuk siswa gemar dalam bersastra dalam hal ini dramatisasi gurindam. Selain itu, ulasan juga merupakan bentuk pengayaan berkenaan dengan deklamasi.

(61)

229

Tentu saja tidak semua puisi dapat dimusikalisasikan. Puisi-puisi yang bertipografi tertentu tidak bisa dibangun melodi. Dalam hal ini Rene Wellek dalam Teori Kesusastraan menyebutkan, melodisasi puisi (penggunaan notasi) sulit

diterapkan pada puisi yang mirip percakapan, pidato. Gurindam Dua Belas memungkinkan untuk dibangun melodi karena terdiri dari bait-bait dengan jumlah baris yang berpola. Pola pembaitan tersebut memudahkan komposer (penyusun musik) untuk membagi-bagi ke dalam pola birama tertentu.

Musikalisasi puisi acap kali diartikan sebagai teknik pembacaan puisi dengan iringan orkestrasi musik baik yang sederhana maupun orkes ansambel atau simponi. Musikalisasi puisi pada praktiknya baru sampai pada tahap mengiringi pembacaan puisi dengan beberapa alat musik seperti gitar, dan akordeon.

Bentuk musikalisasi dari hasil kajian semiotik pada Gurindam Dua Belas suatu bentuk pembelajaran konstruksivistik. Kepentingan kelompok adalah yang utama. Dalam kegiatan ini guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Peserta didik atau siswa yang bergerak dan kreatif. Dalam musikalisasi gurindam ini siswa melakukan sebuah gerakan tanpa dialog, tampil dengan cara diiringi musik dan diawali dengan gurindam pada pasal yang dimaksud.

Adapun tahap-tahap pembelajaran musikalisasi gurindam adalah 1. Tahap Pembacaan Gurindam

(62)

230

pernah diajarkan dengan memperhatikan nada, irama, rima, intonasi, serta artikulasi yang tepat. Kegiatan dipusatkan selain pada teknik pembacaan puisi juga pada sikap, minat, serta motivasi siswa dalam mendengarkan pembacaan gurindam tersebut. Jika terdapat kegaduhan atau ketidakacuhan siswa berarti siswa tidak berminat terhadap teknik seperti ini, walaupun demikian kegiatan ini harus tetap dilangsungkan. Dalam memberikan motivasi terhadap siswa, seyogianya dihindarkan cara-cara pemaksaan dan tugas terlalu berat karena akan semakin menjauhkan siswa dari puisi.

2. Tahap membaca nada dan melodi

Kegiatan inti dari musikalisasi puisi adalah mengekspresikan puisi dengan menyanyikan bait-bait gurindam yang diapresiasi. Alat bantunya adalah dengan mendengarkan dari kaset rekaman, VCD, atau perangkat elektronik lainnya. Pada tahap ini akan dijumpai perubahan sikap siswa, dan pengamat seyogianya mencatat setiap perubahan, perkembangan yang dialami siswa (apresian).

3. Tahap menyanyikan puisi

Jika melodi lagu sudah dikuasai, tahap berikutnya adalah menyanyikan puisi sesuai melodi. Kegiatan ini dilakukan dengan membagi dua kelompok. Kelompok satu menyanyikan melodi, sedangkan kelompok lainnya menyanyikan syairnya secara bergantian.

4. Tahap memaknai isi puisi

(63)
(64)
(65)
(66)

DAFTAR PUSTAKA

Ambary, Abdullah. 1974. Intisari Kesusastraan Indonesia. Bandung:Djatnika

Alisjahbana, Sutan Takdir. 2009. Puisi Lama. Jakarta:Dian Rakyat.

Ambary, Abdullah. 1974. Intisari Sastra Indonesia. Bandung:Djatnika.

Aminuddin. 2003. Semantik Pengantar Studi Tentang Makna. Bandung:Sinar Baru Algesindo.

Arikunto, Suharsimi. 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung:Alfabeta

Braginsky, V.I. 1993. Tasawuf Dan Sastera Melayu Kajian Dan Teks-teks. Jakarta: Seri Publikasi Bersama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Universitas Leiden

Braginsky, V.I. 1998. Yang Indah, Berfaedah Dan Kamal Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-9. Jakarta: INIS-Indonesian-Nederlands cooperation in Islamic

Studies

Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cultural Theory (Terjemahan). Yogyakarta:Niagara.

Chandler, Daniel. 2002. Semiotics The Basics. London:Routledge.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat). Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama

Djamaris, Edwar. 1993. Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta:Balai Pustaka.

(67)

Eco, Umberto. 1976. A Theory of Semiotics. Bloomington:Indiana University Press. Esten, Mursal. 2007. Memahami Puisi. Bandung:Angkasa.

Haji, Raja Ali . 2004. Gurindam Duabelas dan Syair Sinar Gemala Mustika Alam. Yogyakarta:Balai Kajian dan Pengembangan Bahasa Melayu

Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX. Pekanbaru:Unri Press.

Joyce, B., & Weil, M. 1980. Model of teaching. New Jersey: Prentice-Hall Inc.

Keesey, Donald. 1993. Contexts for Critism (Second Edition). California:Mayfield Publishing Company.

Kuhn, T. S. 2002. The structure of scientific revolution. Diterjemahkan oleh: Tjun Surjaman. Bandung: P. T. Remaja Rosdakarya.

Leech, Geoffrey.1978. Semantics.England:Penguin Books.

Martinet, Jeanne. 2010. Semiologi Kajian Teori Tanda Saussuran (Terjemahan). Yogyakarta:Jalasutra.

Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta:BPFE

Parera, J.D. 2004. Teori Semantik. Jakarta:Erlangga.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.

(68)

Pradopo, Rachmat Djoko. 2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.

Putten, Jan van der, dan Al Azhar. 2007. Dalam Berbekalan Persahabatan Surat-Surat Raja Ali Haji Kepada Von de Wall (Terjemahan). Jakarta:Kepustakaan Popoler Gramedia.

Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta:Kanisius.

Rusyana, Yus. 1984. Bahasa dan sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung:Diponegoro.

Rusyana, Yus. 1982. Metode Pengajaran Sastra. Bandung:Gunung Larang.

Sastradipoera, Komaruddin. 2005. Mencari Makna di Balik penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Bandung:Kappa Sigma

Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung:Angkasa.

Semi, Atar. 1989. Anatomi Sastra. Padang:Angkasa Raya. Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung:Angkasa.

Semi, Atar. 1993. Rancangan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung:Angkasa

Simandjuntak, Simorangkir. 1971. Kesusastraan Indonesia. Djakarta:PT Pembangunan.

Siswantoro. 2010. Metode Penelitian Sastra Analisis Struktur Puisi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Gambar

gambar pada saat wawancara dan observasi dilaksanakan.

Referensi

Dokumen terkait

1) Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok, satu kelompok terdiri dari 2-3 siswa. 2) Guru menyuruh siswa membuat bagan Mind Mapping dengan topik persegi panjang. 3)

√ Guru dengan metode ceramah.. 2) Pembelajaran berjalan sesuai RPP yang telah disusun. 3) Guru membagi kelas menjadi kelompok- kelompok kecil yang terdiri dari 3 orang.

a) Guru membagi peserta didik dalam beberapa kelompok dengan kemampuan yang beragam. b) Setiap kelompok mengekspresikan ide dan pendapatnya ke dalam Lembar Kegiatan Siswa

Bedasarkan hasil tes pada tabel 1 maka peneliti bersama guru matematika kelas VII membagi kelompok siswa menjadi 7 kelompok dengan setiap kelompok beranggotakan

Setelah mendengarkan penjelasan guru, siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil, yang mana setiap kelompok terdiri dari 5 orang siswa.Setelah semua siswa masuk ke

Mind Mapping. Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri dari 3 sampai 4 siswa. Guru menjelaskan mengenai materi yang disampaikan dengan menggunakan metode

a) Guru membagi peserta didik dalam beberapa kelompok dengan kemampuan yang beragam. b) Setiap kelompok mengekspresikan ide dan pendapatnya ke dalam Lembar Kegiatan Siswa

Kegiatan Inti  Guru menyampaiakan tujuan pembelajaran  Guru membagi peserta didik menjadi 6 kelompok dengan anggota 5-6 orang dengan materi yang berbeda setiap kelompok  Dalam