• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut di Instalasi Rawat Inap RSUD Badung Provinsi Bali tahun 2011.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut di Instalasi Rawat Inap RSUD Badung Provinsi Bali tahun 2011."

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Tingginya jumlah operasi apendisitis akut serta besarnya risiko Surgical Site Infections (SSI) maka pemberian antibiotika profilaksis menjadi penting. Ketepatan pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis harus diperhatikan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran pemilihan, penggunaan, serta mengevaluasi antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut.

Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Subyek penelitian adalah pasien apendisitis akut, dengan kriteria inklusi yang menjalani operasi apendisitis akut di RSUD Badung tahun 2011 dan menggunakan antibiotika profilaksis. Kriteria eksklusinya adalah operasi apendisitis akut yang dilakukan bersama dengan operasi lainnya. Kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis yaitu jenis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotika dibandingkan dengan pedoman ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013), WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), dan Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008). Faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis diperoleh dengan melakukan wawancara pada dokter bedah, kepala kamar bedah dan kepala instalasi farmasi.

Berdasarkan hasil penelitian, karakteristik demografi pasien adalah 31% (n= 90) pasien berusia antara 16-25 tahun, 52% perempuan dan 48% laki-laki. Semua pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bawah, 50% dengan lama keluhan 2 hari, dan rata-rata lama perawatan 2-3 hari. Jenis antibiotika profilaksis yang digunakan adalah sefotaksim 92% (n= 90). Pemberian lebih dari 1 jam sebelum operasi 5%, seluruhnya diberikan secara intravena, 53% pada dosis 2 gram, dan seluruhnya diberikan hanya satu kali sebelum operasi. Faktor pemilihan jenis antibiotika profilaksis adalah jarang menimbulkan reaksi alergi dan harga yang terjangkau serta ketersediaan antibiotika.

Kesimpulan adalah pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis di RSUD Badung belum sesuai dengan pedoman.

(2)

ABSTRACT

The high number of acute apendicitis surgery as well as the magnitude of the risk of acute appendicitis surgery then admistering antibiotic phrophylaxis becomes important. The precision of the selection and use of antibiotic prophylaxis to prevent infection after operation must be observed. The purpose of this research is to gain an overview of the selection, use, and evaluate of antibiotic prophylaxis in patients following acute appendicitis surgery.

This study is non-experimental study with retrospective descriptive evaluative design. The subjects of this study are patients of acute appendicitis, with the inclusion criteria is underwent acute appendicitis in RSUD Badung on 2011 and used antibiotic prophylaxis. The exclusion criteria is acute appendicitis surgery conducted jointly with other surgery or who did not receive antibiotic prophylaxis. The suitability of the selection and use of antibiotic prophylaxis that is type, time, way, dosage, and granting a long antibiotic compared to guidelines ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013), WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), and Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008). The factors that underlie the selection of antibiotic prophylaxis is obtained by conducting interviews on the surgeon, the head of the surgical room and head of pharmaceutical installations.

Based on the results of the study, demographic characteristics of patients was 31% (n= 90) patients between the ages of 16-25 years old, 52% female and 48% male. All of the patients complained of right lower abdominal, 50% with a long complaints of 2 days, and the average of the length treatments is 2-3 days. The type of antibiotic prophylaxis used were cefotaxim 92% (n = 90). Giving more than 1 hour before surgery 5%, all patients were given intravenous route of administration, 53% at doses of 2 grams, and all patients were given only one time before surgery. Factor of choice type of antibiotic prophylaxis is rarely cause allergic reactions, an affordable price and antibiotic availability.

The conculusion is the selection and the use of antibiotic prophylaxis in the RSUD Badung has not been accordance with the guidelines.

(3)

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PROFILAKSIS PADA PASIEN OPERASI APENDISITIS AKUT DI INSTALASI RAWAT INAP

RSUD BADUNG PROVINSI BALI TAHUN 2011

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh:

I Made Suryana Firdaus NIM : 098114055

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

i

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PROFILAKSIS PADA PASIEN OPERASI APENDISITIS AKUT DI INSTALASI RAWAT INAP

RSUD BADUNG PROVINSI BALI TAHUN 2011

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)

Program Studi Farmasi

Oleh:

I Made Suryana Firdaus NIM : 098114055

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)

iv

Segala perkara dapat

kutanggung di dalam Dia yang

memberi kekuatan kepadaku.

Filipi 4 : 13

Sebuah tulisan yang dipersembahkan untuk : Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamatku.

Pekak, Dadong,

Oma, Almarhum Opa, Bapak, Ibu, Adik

(8)
(9)
(10)

vii PRAKATA

Syukur pada Tuhan Yesus Kristus atas segala anugerahnya yang telah Ia berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Pasien Operasi Apendisitis Akut di Instalasi Rawat Inap RSUD Badung Provinsi Bali tahun 2011” ini dengan baik

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) dalam Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain berupa materi, waktu, tenaga, moral, maupun spiritual.

1. Dra. Th. B. Titien Siwi Hartayu, Apt., M. Kes. selaku dosen pembimbing dan dosen penguji atas segala kesabaran, bimbingan, waktu, tenaga, dan masukan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.

2. Aris Widayati, M. Si., Ph, D. dan Dita Maria Virginia, M. Sc., Apt. selaku dosen penguji atas bimbingan dan waktu yang diberikan kepada penulis hingga menyelesaikan skripsi ini.

3. Kepala Badan Kesbanglinmas Provinsi Yogyakarta, Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Bali, Kepala Badan Kesbangpolinmas Kabupaten Badung atas izin penelitian yang telah diberikan.

(11)

viii

5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang juga turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna, namun semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi semua pihak yang membutuhkan.

(12)

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

INTISARI... xvii

ABSTRACT ... xviii

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Permasalahan ... 2

2. Keaslian Penelitian ... 3

3. Manfaat Penelitian ... 5

B. Tujuan Penelitian ... 5

(13)

x

2. Tujuan Khusus ... 5

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 7

A. Antibiotika ... 7

1. Pengertian... 7

2. Penggolongan Antibiotika... 7

3. Prinsip Penggunaan Antibiotika... 9

4. Mekanisme Kerja Antibiotika ... 10

B. Apendiks 1. Anatomi Usus Besar... 11

2. Anatomi Apendiks ... 13

3. Fisiologi Apendiks ... 14

C. Apendisitis Akut ... 15

1. Pengertian... 15

2. Manifestasi Klinik ... 15

3. Penatalaksanaan terapi ... 16

D. Operasi Apendisitis Akut ... 16

E. Antibiotika Profilaksis ... 18

1. Pengertian... 18

2. Prinsip Pemberian Antibiotika Profilaksis pada Pasien Operasi Apendisitis Akut... 18

3. Antibiotika Profilaksis Pilihan ... 19

F. Keterangan Empiris ... 20

(14)

xi

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 21

B. Definisi Operasional ... 21

C. Subyek Penelitian ... 22

D. Bahan Penelitian ... 23

E. Instrumen Penelitian ... 23

F. Lokasi Penelitian ... 23

G. Tata Cara Penelitian ... 23

1. Tahap persiapan ... 23

2. Tahap pengambilan data ... 24

3. Tahap penyelesaian data ... 24

H. Tata Cara Analisis Hasil ... 24

1. Jumlah pasien operasi apendisitis akut ... 25

2. Karakteristik demografi pasien ... 25

3. Jenis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis ... 26

4. Kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis ... 27

5. Faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis ... 28

I. Keterbatasan Penelitian ... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

A. Karakteristik Demografi Pasien ... 31

(15)

xii

2. Jenis kelamin pasien... 31

3. Keluhan pasien ... 32

4. Lama keluhan pasien ... 33

5. Lama perawatan pasien ... 33

B. Jenis, Waktu, Cara dan Lama Pemberian Antibiotika Profilaksis 34 1. Jenis antibiotika... 34

2. Waktu pemberian ... 35

3. Cara pemberian ... 35

4. Dosis pemberian ... 36

5. Lama pemberian ... 37

C. Kesesuaian Pemilihan dan Penggunaan Antibiotika Profilaksis. 37 1. Jenis antibiotika... 38

2. Waktu pemberian ... 39

3. Cara pemberian ... 40

4. Dosis pemberian ... 40

5. Lama pemberian ... 42

D. Faktor-faktor yang Mendasari Pemilihan Antibiotika Profilaksis 42 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 47

A. Kesimpulan ... 47

B. Saran... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

LAMPIRAN ... 54

(16)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut kelompok usia di RSUD Badung tahun 2011………... 31

Tabel II. Distribusi jumlah pasien apendisitis akut menurut jenis kelamin

di RSUD Badung tahun 2011……… 32

Tabel III. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut keluhan di RSUD Badung tahun 2011……….. 33 Tabel IV. Distribusi jumlah pasien di RSUD Badung tahun 2011 menurut

lamanya keluhan sakit ………....………... 33 Tabel V.

Tabel VI.

Lama perawatan pasien operasi apendisitis akut RSUD Badung tahun 2011………...………...

Distribusi jenis antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis tunggal pada pasien operasi apendisitis akut di RSUD Badung tahun 2011 ………...

34

35 Tabel VII. Distribusi waktu pemberian antibiotika sebelum operasi dan

setelah operasi di RSUD Badung tahun 2011 …………...…... 35

Tabel VIII. Distribusi cara pemberian antibiotika di RSUD Badung tahun 2011 …………...……… 36

Tabel IX. Distribusi dosis pemberian antibiotika profilaksis di RSUD Badung tahun 2011 …….………...……... 37

(17)

xiv

Tabel XI. Distribusi jumlah kasus menurut jenis antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum (WHO 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 1999) di RSUD Badung tahun 2011... 39 Tabel XII. Distribusi jumlah kasus menurut waktu pemberian antibiotika

profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai Standar Pelayanan Medik RSUD Badung dan pedoman umum (WHO 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 1999) di RSUD Badung tahun 2011..….. 40 Tabel XIII. Kesesuaian dosis pasien pediatri operasi apendisitis akut RSUD

(18)

xv

DAFTAR GAMBAR

(19)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar kerja untuk pengumpulan data ……… 54 Lampiran 2. Data pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RSUD

Badung tahun 2011………..…………...……….. 55

Lampiran 3. Perhitungan Dosis Pediatri Menurut Umur. 63 Lampiran 4. Hasil wawancara dengan Dokter Bedah I …………... 64

Lampiran 5. Hasil wawancara dengan Dokter Bedah II ...………….. 66 Lampiran 6. Hasil wawancara mendalam dengan Kepala Instalasi Farmasi .... 68 Lampiran 7. Hasil wawancara mendalam dengan Wakil Kepala Kamar

Bedah ……… 70

Lampiran 8. Pedoman wawancara dengan Dokter Bedah, Kepala Instalasi Farmasi, dan Kepala Kamar Bedah... 71 Lampiran 9. Surat Izin Penelitian dari Badan Kesatuan Bangsa dan

Perlindungan Masyarakat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta... 73 Lampiran 10. Surat Izin Penelitian dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik

Provinsi Bali... Lampiran 11. Surat Izin Penelitian dari Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Badung ... Lampiran 12.

Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15.

(20)

xvii INTISARI

Tingginya jumlah operasi apendisitis akut serta besarnya risiko Surgical Site Infections (SSI) maka pemberian antibiotika profilaksis menjadi penting. Ketepatan pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis harus diperhatikan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran pemilihan, penggunaan, serta mengevaluasi antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut.

Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Subyek penelitian adalah pasien apendisitis akut, dengan kriteria inklusi yang menjalani operasi apendisitis akut di RSUD Badung tahun 2011 dan menggunakan antibiotika profilaksis. Kriteria eksklusinya adalah operasi apendisitis akut yang dilakukan bersama dengan operasi lainnya. Kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis yaitu jenis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotika dibandingkan dengan pedoman ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013), WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), dan Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008). Faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis diperoleh dengan melakukan wawancara pada dokter bedah, kepala kamar bedah dan kepala instalasi farmasi.

Berdasarkan hasil penelitian, karakteristik demografi pasien adalah 31% (n= 90) pasien berusia antara 16-25 tahun, 52% perempuan dan 48% laki-laki. Semua pasien mengeluhkan nyeri perut kanan bawah, 50% dengan lama keluhan 2 hari, dan rata-rata lama perawatan 2-3 hari. Jenis antibiotika profilaksis yang digunakan adalah sefotaksim 92% (n= 90). Pemberian lebih dari 1 jam sebelum operasi 5%, seluruhnya diberikan secara intravena, 53% pada dosis 2 gram, dan seluruhnya diberikan hanya satu kali sebelum operasi. Faktor pemilihan jenis antibiotika profilaksis adalah jarang menimbulkan reaksi alergi dan harga yang terjangkau serta ketersediaan antibiotika.

Kesimpulan adalah pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis di RSUD Badung belum sesuai dengan pedoman.

(21)

xviii

ABSTRACT

The high number of acute apendicitis surgery as well as the magnitude of the risk of acute appendicitis surgery then admistering antibiotic phrophylaxis becomes important. The precision of the selection and use of antibiotic prophylaxis to prevent infection after operation must be observed. The purpose of this research is to gain an overview of the selection, use, and evaluate of antibiotic prophylaxis in patients following acute appendicitis surgery.

This study is non-experimental study with retrospective descriptive evaluative design. The subjects of this study are patients of acute appendicitis, with the inclusion criteria is underwent acute appendicitis in RSUD Badung on 2011 and used antibiotic prophylaxis. The exclusion criteria is acute appendicitis surgery conducted jointly with other surgery or who did not receive antibiotic prophylaxis. The suitability of the selection and use of antibiotic prophylaxis that is type, time, way, dosage, and granting a long antibiotic compared to guidelines ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013), WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), and Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008). The factors that underlie the selection of antibiotic prophylaxis is obtained by conducting interviews on the surgeon, the head of the surgical room and head of pharmaceutical installations.

Based on the results of the study, demographic characteristics of patients was 31% (n= 90) patients between the ages of 16-25 years old, 52% female and 48% male. All of the patients complained of right lower abdominal, 50% with a long complaints of 2 days, and the average of the length treatments is 2-3 days. The type of antibiotic prophylaxis used were cefotaxim 92% (n = 90). Giving more than 1 hour before surgery 5%, all patients were given intravenous route of administration, 53% at doses of 2 grams, and all patients were given only one time before surgery. Factor of choice type of antibiotic prophylaxis is rarely cause allergic reactions, an affordable price and antibiotic availability.

The conculusion is the selection and the use of antibiotic prophylaxis in the RSUD Badung has not been accordance with the guidelines.

(22)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2009). Apendisitis akut memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi. (Sjamsuhidajat, 2010).

Apendisitis akut banyak terjadi di berbagai negara. Pada penelitian yang dilakukan oleh Laal dan Mardanloo (2009) di RS Sina Tehran, Iran diperoleh bahwa apendisitis akut sebagai penyebab terbanyak kasus nyeri akut abdomen, yaitu sebesar 56,8% (n= 139) (Laal, et al., 2009). Penelitian lain yang dilakukan oleh Mangema Junias R. S (2009) memperoleh hasil bahwa terdapat 51 pasien apendisitis yang telah melakukan operasi apendisitis akut di RS Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Frekuensi kejadian dari 51 subyek yang diteliti adalah pada laki-laki sebesar 23 orang (45,1%) dan pada perempuan sebesar 28 orang (54,9%) (Junias, 2009). Menurut Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) diperkirakan ada 500.000 kasus Surgical Site Infections (SSI) tiap tahunnya di United States yang menjadi penyebab meningkatnya biaya perawatan yang diikuti dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas (Prokuski, 2005).

(23)

berisiko terjadinya infeksi (DiPiro et al, 2005). Antibiotika profilaksis digunakan dalam operasi bedah untuk mencegah terjadinya infeksi pada daerah pembedahan serta menurunkan tingkat mortalitas dan morbiditas.

Pemberian antibiotika profilaksis dinilai ketepatannya dengan mengetahui jenis antibiotika profilaksis (indikasi dan pilihan terapi), dosis, rute pemberian, waktu pemberian, durasi, dan frekuensi pemberian. Penggunaan antibiotika profilaksis yang kurang tepat yaitu pemberian yang tidak tepat (terlalu awal atau terlalu lama) dan jumlah dosis tidak mencukupi pada saat operasi menjadi salah satu faktor risiko munculnya Surgical Site Infections (SSI) (Doherty et al, 2006).

Tempat Penelitian yang dipilih adalah RSUD Badung karena merupakan Rumah Sakit Pemerintah dan Rumah Sakit rujukan bagi wilayah Kabupaten Badung sehingga banyak pasien yang berobat di rumah sakit ini. Dengan jumlah pasien yang banyak dapat memberikan gambaran yang cukup lengkap dan jelas mengenai penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut. Selain daripada itu, dikarenakan juga penulis bertempat tinggal dekat dengan rumah sakit tersebut sehingga memudahkan dalam penelitian.

1. Permasalahan

Masalah yang dapat dirumuskan adalah :

(24)

b. Bagaimana pola penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut terkait dengan jenis antibiotika, waktu, cara, dosis dan lama pemberiannya?

c. Apakah penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut di RSUD Badung tahun 2011 sudah sesuai dengan WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009) dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013) dilihat dari jenis antibiotika profilaksis, waktu, cara, dosis dan lama pemberian antibiotika profilaksis?

d. Apa saja faktor yang mempengaruhi pemilihan antibiotika profilaksis bagi pasien operasi apendisitis akut RSUD Badung tahun 2011?

2. Keaslian Penelitian

Menurut penelusuran pustaka, penelitian berjudul “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis Pada Pasien Operasi Apendisitis Akut di Instalasi Rawat Inap RSUD Badung Provinsi Bali tahun 2011” belum pernah dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan dan perbedaan-perbedaannya dengan penelitian ini antara lain:

(25)

penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian ini menggunakan subyek pasien apendisitis akut di RSUD Badung pada tahun 2011.

b. Studi Penggunaan Antibiotika pada Kasus Bedah Apendiks: Instalasi Rawat Inap Bedah RSU Dr. Soetomo Surabaya (Imelda, 2008). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah pada tempat, periode dan subyek penelitian. Subyek penelitian Imelda (2008) adalah pasien operasi apendisitis baik yang akut maupun kronis yang menerima antibiotika profilaksis dan antibiotika terapi di RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2006. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian ini menggunakan subyek pasien apendisitis akut di RSUD Badung pada tahun 2011.

c. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Pasien yang Menjalani Operasi Apendisitis Akut di RS Panti Rapih tahun 2009 (Dewi, 2011). Penelitian Dewi (2011) menggunakan subyek pasien apendisitis akut yang di RS Panti Rapih Yogyakarta sepanjang tahun 2009. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian ini menggunakan subyek pasien apendisitis akut di RSUD Badung pada tahun 2011.

(26)

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini dapat menambah referensi pengetahuan mahasiswa kesehatan mengenai gambaran penggunaan antibiotika pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut serta dapat digunakan sebagai data-data untuk bahan pembelajaran atau sebagai data-data acuan untuk penelitian tentang antibiotika berikutnya.

b. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai evaluasi dan pembanding untuk meningkatkan kualitas dan rasionalitas pemberian antibiotika profilaksis pada operasi apendisitis akut di RSUD Badung.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mendapat gambaran serta mengevaluasi pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut pada tahun 2011 di RSUD Badung.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik demografi pasien operasi apendisitis akut di RSUD Badung berdasarkan usia, jenis kelamin, keluhan, lama keluhan, dan lama perawatan.

b. Mengidentifikasi pola pemakaian antibiotika profilaksis yang digunakan, berikut jenis, waktu, cara, dosis dan lama pemberiannya.

(27)

Badung tahun 2011 dengan WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013).

(28)

7 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Antibiotika 1. Pengertian

Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotika dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. Antibiotika diartikan sebagai obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, khususnya yang merugikan manusia. Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia, ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Dimana artinya obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik bagi mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk manusia (Setiabudi, 2007).

2. Penggolongan Antibiotika

a. Berdasarkan aktivitasnya antibiotika dibagi dalam dua kelompok besar yaitu:

1) Antibiotika berspektrum luas (Broad Spectrum), yaitu antibiotika yang dapat menghambat atau membunuh bakteri dari golongan gram negatif maupun gram positif.

(29)

saja, contohnya hanya mampu menghambat atau membunuh bakteri gram negatif saja atau gram positif saja (Pratiwi, 2008).

b. Berdasarkan fungsinya, antibiotika dibagi dalam dua kelompok yaitu : 1) Antibiotika profilaksis, yaitu antibiotika yang diberikan ketika terjadi

potensi terinfeksi. Potensi terinfeksi ditandai dengan penurunan jumlah leukosit dari batas normal yakni ≤2000 sel/ml. Oleh karena itu, untuk

pengobatannya digunakan antibiotika dengan spektrum luas yakni antibiotika yang sensitif terhadap bakteri gram negatif maupun positif (Guiliano, 2012).

2) Antibiotika kuratif merupakan antibiotika yang diberikan ketika terjadi infeksi. Positif terinfeksi dengan peningkatan jumlah leukosit dari batas normal yakni >12000 sel/ml. Antibiotika empirik dan absolut merupakan bagian dari antibiotika kuratif, yang membedakan kedua antibiotika ini adalah dilakukan atau tidaknya tes kultur kuman. antibiotika absolut merupakan antibiotika yang pemilihan dan penggunaannya didasarkan pada jenis kuman hasil kultur, sehingga memiliki tingkat selektifitas yang sangat tinggi (Katzung, 2007). c. Berdasarkan struktur kimianya, antibiotika dikelompokkan beberapa

(30)

d. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotika yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, aktivitas bakteriostatik, dan ada yang bersifat membunuh mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakterisid. Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba disebut Kadar Hambat Minimal (KHM). Kadar minimal yang diperlukan untuk membunuh mikroba disebut Kadar Bunuh Minimal (KBM) (Setiabudi, 2007).

3. Prinsip Penggunaan Antibiotika

Prinsip penggunaan antibiotika didasarkan pada dua pertimbangan utama, yaitu:

a. penyebab infeksi. Pemberian antibiotika yang paling ideal adalah berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis dan uji kepekaan kuman. Hanya saja dalam praktek sehari-hari, tidak mungkin melakukan pemeriksaan mikrobiologis untuk setiap pasien yang dicurigai menderita suatu infeksi. Di samping itu, untuk infeksi berat yang memerlukan penanganan segera, pemberian antibiotika dapat segera dimulai setelah pengambilan sampel bahan biologik untuk biakan dan pemeriksaan kepekaan kuman. Pemberian antibiotika tanpa pemeriksaan mikrobiologis dapat didasarkan pada educated guess.

(31)

beratnya infeksi, usia, untuk wanita apakah sedang hamil atau menyusui, dan lain-lain (Anonim, 2013).

4. Mekanisme Kerja Antibiotika

Berdasarkan mekanisme aksinya, yaitu mekanisme kerja antibiotika secara selektif meracuni sel kuman, antibiotika dikelompokkan sebagai berikut ini.

a. Mengganggu sintesis dinding sel. Jika sintesis dinding sel terganggu maka dinding kuman menjadi kurang sempurna dan tidak tahan terhadap tekanan osmosis dari plasma akibatnya sel pecah. Contohnya: kelompok penisilin dan sefalosporin.

b. Mengganggu fungsi membran sel. Antibiotika mengganggu sintesis molekul lipoprotein dari membran sel plasma (di dalam dinding sel) sehingga membran menjadi lebih permeabel. Contohnya: polipeptida dan polyen (nistatin, amfoterisin) dan imidasol (mikonazol, ketokonazol, dan lain-lain).

c. Mengganggu sintesis protein kuman, seperti kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosida, dan makrolida.

d. Mengganggu sintesis deoxyribonucleic acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA), seperti rifampisin (RNA), asam nalidiksat dan kinolon, dan asiklovir (DNA).

(32)

B. Apendiks 1. Anatomi Usus Besar

Gambar 1. Anatomi Usus Besar (Doherty, 2006).

(33)

kelenjar serupa kelenjar tubuler dalam usus dan dilapisi oleh epitelium silinder yang memuat sela cangkir (Sjamsuhidayat, 2010).

Usus besar terdiri dari : a. Sekum

Sekum adalah kantung tertutup yang menggantung di bawah area katup ileosekal. Apendiks vermiformis merupakan suatu tabung buntu yang sempit, berisi jaringan limfoid, menonjol dari ujung sekum.

b. Kolon

Kolon adalah bagian usus besar, mulia dari sekum sampai rektum. Kolon memiliki tiga bagian, yaitu :

1) Kolon asenden

Merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hati sebelah kanan dan membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.

2) Kolon transversum

Merentang menyilang abdomen di bawah hati dan lambung sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar ke bawah pada flkesura splenik.

3) Kolon desenden

(34)

4) Rektum

Rektum Adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang 12 sampai 13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke eksterior di anus (Sjamsuhidayat, 2010).

2. Anatomi Apendiks

Gambar 2. Anatomi Apendiks (Irga, 2007).

(35)

pusat. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Persarafan parasimpatis pada apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesentrika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus (Sjamsuhidayat, 2010).

3. Fisiologi Apendiks

(36)

C. Apendisitis Akut 1. Pengertian

Apendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2009). Baik pria maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk menderita apendisitis akut, dengan perbandingan jumlah antara pasien pria dan wanita sebanding (Craig, et al., 2010). Apendisitis akut dapat terjadi akibat infeksi bakteria. Berbagai hal dapat berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus di samping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut (Irga, 2007; Sjamsuhidayat, 2010).

2. Manifestasi Klinik

(37)

titik Mc. Burney, serta spasme otot, dan juga konstipasi atau justru diare (Brunner et al, 2007).

3. Penatalaksanaan terapi

Penatalaksaan yang utama dari apendisitis akut setelah diagnosis ditegakkan adalah apendiktomi. Apendiktomi (operasi pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. Operasi ini berupa operasi laparaskopi apendisitis atau apendisitis akut terbuka. Persiapan sebelum operasi pada pasien terdiri dari hidrasi yang memadai dan pemberian antibiotika profilaksis. Pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut diberikan antibiotika profilaksis, seperti sefositin atau sefotetan untuk mencegah terjadinya infeksi setelah operasi. Antibiotika profilaksis dihentikan pemberiannya 24 jam setelah operasi dilakukan. Jika ditemukan perforasi atau gangren pada apendiksnya, pemberian antibiotika dapat dilanjutkan lebih dari 24 jam setelah operasi hingga pasien sudah tidak mengalami demam dan mempunyai jumlah leukosit yang normal (Humes, et al., 2006; Kozar, et al., 2003).

D. Operasi Apendisitis Akut

(38)

risiko untuk berkembang menjadi apendisitis perforasi pada setiap 12 jam berikutnya setelah timbulnya gejala (Busch, et al., 2011; Papaziogas, et al., 2009). Perforasi atau pecahnya apendiks ini dapat memungkinkan terjadinya komplikasi seperti peritonitis umum atau abses.

Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer, 2009).

Operasi apendisitis terbuka dilakukan dengan membuat sebuah sayatan dengan panjang sekitar 2-4 inci pada bagian kanan bawah abdomen dan appendiks dipotong melalui lapisan lemak dan otot apendiks atau usus buntu. Kemudian apendiks diangkat atau dipisahkan dari usus. Laparaskopi merupakan teknik yang paling sederhana untuk penanganan apendisitis. Dokter bedah akan membuat 1 hingga 3 sayatan kecil di perut. Sebuah pipa semprot dimasukkan ke dalam salah satu celah, dan gas CO2 memompa abdomen. Kemudian sebuah laparascope dimasukkan ke celah yang lain. Peralatan bedah ditempatkan di bagian terbuka (celah) yang kecil dan digunakan untuk mengangkat apendiks (Kozar, et al., 2003).

(39)

kisaran 4% sampai 10% dan dapat dioptimalkan dengan pencegahan tertentu (CDC, 2004).

E. Antibiotika Profilaksis 1. Pengertian

Antibiotika profilaksis merupakan antibiotika yang diberikan untuk sebelum terjadi kontaminasi pada jaringan atau cairan pada tubuh. Tujuan pemberian antibiotika profilaksis untuk mencegah berkembangnya infeksi. Antibiotika profilaksis digunakan untuk mencegah infeksi pada pasien yang berisiko tinggi maupun dari prosedur yang berisiko terjadinya infeksi (DiPiro, 2005).

Waktu pemberian antibiotik profilaksis merupakan hal yang paling penting. Antibiotik harus diberikan ½ - 1 jam sebelum operasi untuk memastikan kadar obat yang cukup pada waktu operasi (DiPiro, 2005).

2. Prinsip pemberian antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut

(40)

3. Antibiotika profilaksis pilihan

Antibiotika idealnya mempunyai aktivitas bakterisidal atau membunuh bakteri untuk mencegah terjadinya infeksi setelah operasi. Antibiotika yang mempunyai aktivitas bakterisidal diantaranya adalah penisilin, sefalosporin, monobaktam, kuinolon, dan vankomisin (James, et al., 2008).

Pada operasi apendisitis akut, Bacteroides fragilis (bakteri anaerob) dan Escherichia coli (bakteri gram negatif) merupakan jenis bakteri yang paling banyak ditemukan pada kultur infeksi luka setelah operasi. Sefalosporin generasi kedua banyak direkomendasikan sebagai antibiotika profilaksis pada operasi apendisitis akut karena dapat membunuh Bacteroides fragilis (bakteri anaerob) dan Escherichia coli (bakteri gram negatif) yang banyak ditemukan setelah operasi apendisitis (Elhag, et al., 2013; Kanji, et al., 2008; WHO, 2009).

Selain itu juga kombinasi gentamisin dengan metronidasol dapat digunakan sebagai profilaksis pada operasi apendisitis akut. Gentamisin memiliki aktifitas terhadap bakteri gram negatif, seperti Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus, Acinetobacter, dan Enterobacter. Selain itu gentamisin juga dapat melawan Staphylococcus aureus. Metronidasol aktif melawan bakteri anaerob dan sebagian besar protozoa (Gordon, 2009; Graumlich, 2003).

(41)

proses operasi berlangsung (Kanji, et al., 2008, Kernodle, et al., 2000, dan ASHP, 2013).

F. Keterangan Empiris

(42)

21 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif evaluatif dan bersifat retrospektif. Penelitian ini termasuk non-eksperimental karena tidak adanya perlakuan pada subyek uji. Rancangan penelitian termasuk dalam deskriptif evaluatif karena bertujuan untuk mengumpulkan informasi aktual secara rinci sehingga dapat melukiskan fakta atau karakteristik populasi yang ada, kemudian melakukan evaluasi dari data yang ada. Bersifat retrospektif karena bahan yang digunakan adalah data rekam medik yang lampau pasien pasca operasi apendisitis akut di RSUD Badung pada tahun 2011 (Hasan, 2002; Notoatmodjo, 2010).

B. Definisi Operasional

1. Pasien adalah seseorang yang menjalani operasi apendisitis akut di RSUD Badung tahun 2011, menggunakan antibiotika profilaksis dan memiliki data rekam medis yang lengkap.

2. Operasi adalah operasi apendisitis akut yang berlangsung di RSUD Badung tahun 2011.

(43)

4. Catatan rekam medik adalah catatan pengobatan dan perawatan pasien yang memuat data nomor rekam medik, usia, jenis kelamin, diagnosis sebelum dan sesudah operasi, tanggal operasi, jam operasi, jenis tindakan operasi, data laboratorium, instruksi dokter, catatan perawatan, catatan penggunaan obat, lama perawatan, dan riwayat pengobatan yang diterima.

5. Pedoman wawancara adalah daftar pertanyaan yang digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan wawancara.

6. Jenis antibiotika profilaksis yang dimaksud yaitu macam antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis.

7. Waktu pemberian adalah berapa lama pemberian antibiotika profilaksis sebelum operasi.

8. Cara pemberian adalah antibiotika diberikan secara intravena atau per oral. 9. Lama pemberian yaitu lama waktu pasien mendapatkan antibiotika profilaksis. 10.Lama perawatan pasien yaitu jumlah hari di mana pasien dirawat, dihitung

mulai dari pasien dirawat di rumah sakit sampai pulang dari rumah sakit.

C. Subyek Penelitian

(44)

D.Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan adalah data dalam lembar rekam medis pasien di RSUD Badung tahun 2011, serta data penerimaan obat dari instalasi farmasi.

E.Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan adalah: 1. Lembar kerja pengumpulan data.

2. Pedoman wawancara dengan Dokter Bedah di RSUD Badung.

3. Pedoman wawancara dengan Kepala Instalasi Farmasi di RSUD Badung. 4. Pedoman wawancara dengan Perawat Kamar Bedah di RSUD Badung.

F. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Badung, Jalan Raya Kapal, Mengwi, Badung, Bali.

G. Tata Cara Penelitian

Penelitian ini melalui tahap persiapan, tahap pengambilan data, dan tahap penyelesaian data.

1. Tahap persiapan

(45)

2. Tahap pengambilan data

Pada tahap pengambilan pertama ialah mencari jumlah subyek penelitian dari rekam medis dan akan diketahui jumlah subyek, nomor rekam medis, tanggal operasi, nama dokter, dan jenis kelamin pasien. Setelah diketahui jumlah subyek maka dilakukan pencatatan data rekam medis pada lembar pencatatan yang berisi nomor rekam medis, usia, jenis kelamin, keluhan, riwayat penyakit, data laboratorium, diagnosis sebelum dan setelah operasi, tanggal pasien opname, tanggal pasien menjalani operasi, jam operasi, jenis antibiotika profilaksis yang digunakan, waktu, cara pemberian, dosis pemberian, lama pemberian, tanggal pasien keluar dari rumah sakit,

3. Tahap penyelesaian data

Pada tahap penyelesaian data ini data yang telah diperoleh dibagi dalam beberapa kelompok berdasarkan karakteristik demografi pasien (usia, jenis kelamin, keluhan, lama keluhan, dan lama perawatan pasien), pola penggunaan antibiotika profilaksis (jenis antibiotika, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian), serta kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis dengan standar yang ada.

H. Tata Cara Analisis Hasil

(46)

dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013). Kemudian data disajikan dalam bentuk tabel.

Tata cara analisis sebagai berikut: 1. Jumlah pasien operasi apendisitis akut

Data jumlah pasien operasi apendisitis akut dianalisis dengan cara menghitung jumlah pasien operasi apendisitis akut selama tahun 2011, lalu dihitung dan dipisahkan antara pasien yang menerima dan yang tidak menerima antibiotika profilaksis.

2. Karakteristik demografi pasien

Analisis data karakteristik demografi pasien dilakukan berdasarkan usia, jenis kelamin, keluhan, lama keluhan, dan lama perawatan pasien.

a. Distribusi pasien pada tiap kelompok usia. Kelompok usia pasien dibagi secara rasional menjadi 7 kelompok dengan menggunakan rumus Sturges (Budiarto, 2004), yaitu: kelompok I (8-16 tahun), II (17-25 tahun), III (26-34 tahun), IV (35-43 tahun), V (44-52 tahun), VI (53-61 tahun), dan VII (62-70 tahun). Persentase masing-masing kelompok umur dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok dibagi dengan jumlah total pasien dan dikalikan dengan 100%.

(47)

c. Distribusi pasien pada tiap keluhan apendisitis akut. Keluhan apendisitis akut terdiri dari nyeri perut di bagian kanan bawah, demam (37,40C - 38,50C), mual, muntah, dan diare. Persentase masing-masing keluhan apendisitis akut dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok dibagi dengan jumlah total pasien dan dikalikan dengan 100%.

d. Distribusi pasien pada tiap lama keluhan apendisitis akut. Lama keluhan pasien dihitung dari saat timbulnya gejala yang dirasakan hingga sebelum pasien datang ke rumah sakit. Persentase masing-masing lama keluhan apendisitis akut dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok dibagi dengan jumlah total pasien dan dikalikan dengan 100%.

e. Rata-rata lama perawatan pasien. Lama perawatan pasien dihitung dari tanggal pasien masuk ke rumah sakit sampai dengan tanggal pasien keluar atau pulang dari rumah sakit. Rata-rata lama perawatan dihitung dengan cara menghitung jumlah keseluruhan lama perawatan pasien operasi apendisitis akut kemudian dibagi dengan jumlah total pasien operasi apendisitis akut.

3. Jenis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis Analisis data dilakukan dengan cara mengelompokkan berdasarkan jenis antibiotika, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis.

a. Jenis antibiotika. Persentase masing-masing jenis antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap jenis antibiotika profilaksis dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%.

(48)

masing-masing kelompok waktu pemberian antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap kelompok dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%.

c. Cara pemberian. Cara pemberian antibiotika profilaksis terdiri dari per oral (PO) dan intravena (IV). Persentase masing-masing kelompok cara pemberian antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap kelompok dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%. d. Dosis pemberian. Dosis pemberian antibiotika profilaksis ditulis berdasarkan besarnya dosis tiap jenis antibiotika profilaksis yang tercantum pada lembar rekam medis. Persentase masing-masing dosis pemberian antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap dosis pemberian dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%. Pada pediatri dilakukan perhitungan dosis menurut umur menggunakan rumus Young (<8 tahun) dan rumus Dilling (>8 tahun).

e. Lama pemberian. Lama pemberian antibiotika profilaksis terdiri dari pemberian 1 hari dan > 1 hari. Persentase masing-masing kelompok lama pemberian antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap kelompok dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%. 4. Kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis

(49)

Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013).

Persentase penggunaan antibiotika profilaksis yang sesuai maupun tidak sesuai dengan standar tersebut dihitung berdasarkan pada jenis antibiotika profilaksis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis. Cara perhitungannya adalah dengan menghitung jumlah kasus pada tiap penggunaan antibiotika profilaksis yang sesuai maupun tidak sesuai berdasarkan pada jenis antibiotika profilaksis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberiannya, dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan dengan 100%.

5. Faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis

Analisis faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam terhadap Dokter Bedah yang menggunakan antibiotika profilaksis, Kepala Instalasi Farmasi, dan Wakil Kepala Kamar Bedah. Alasan pemilihan antibiotika profilaksis disajikan dalam bentuk narasi dengan menyertakan testimoni yang mendukung.

I. Keterbatasan Penelitian

(50)

Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013), dan Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008).

Dalam ketepatan dosis, peneliti tidak dapat mengevaluasi kesesuaian dosis antibiotika profilaksis dengan berat badan untuk anak-anak dikarenakan tidak tercantumnya berat badan pada lembar rekam medis maka tidak dapat dilakukan evaluasi yang lebih detail dalam ketepatan dosis.

(51)

30 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di instalasi rawat inap periode tahun 2011 dari segi kesesuaian pemilihan antibiotika dan dosis pemberian menurut WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013).

(52)

A.Karakteristik Demografi Pasien 1. Usia pasien

Penelitian menunjukkan 90 pasien yang mendapat tindakan operasi apendisitis akut berusia antara 6 hingga 75 tahun. 90 pasien tersebut dikategorikan menjadi 7 kelompok usia dengan sesuai rumus Sturges (Budiarto, 2004) yaitu: kelompok I (6-15 tahun), II (16-25 tahun), III (26-35 tahun), IV (36-45 tahun), V (46-55 tahun), VI (56-65 tahun), dan VII (66-75 tahun).

Dari kelompok-kelompok usia tersebut yang terbanyak adalah kelompok II (16-25 tahun) dengan jumlah 28 orang dan di bawahnya kelompok III dengan jumlah 19 pasien. Hasil ini sesuai dengan National Digestive Diseases Information Clearinghouse (2008) yang menjelaskan bahwa apendisitis akut lebih sering diderita oleh orang yang berusia di antara 10 hingga 30 tahun. Apendisitis akut banyak terjadi pada masa anak-anak hingga dewasa muda dan menurun secara setelah usia 30 tahun (Banieghbal, et al., 2011).

Tabel I. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut Menurut kelompok usia di RSUD Badung tahun 2011

(53)

laki-laki maupun perempuan mempunyai faktor risiko dan kemungkinan yang sama untuk mengalami apendisitis akut (Craig, et al., 2006; Syamsuhidayat, et al., 2004). Tabel II. Distribusi jumlah pasien apendisitis akut menurut jenis kelamin

di RSUD Badung tahun 2011

Jenis Kelamin Jumlah Pasien % (n= 90)

Perempuan 47 52%

Laki-laki 43 48%

3. Keluhan pasien

Keluhan ketika seseorang menderita apendisitis akut adalah nyeri di bagian perut bagian kanan bawah, demam ringan (37,50C - 38,50C), mual, muntah, diare, dan terkadang disertai dengan hilangnya nafsu makan (Ishikawa, 2003 dan Kozar, et al., 2003). Keluhan yang banyak dirasakan pada pasien adalah nyeri perut di bagian kanan bawah, demam (37,60C - 38,30C), mual, muntah, dan diare.

(54)

Tabel III. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut keluhan di RSUD Badung tahun 2011

No Jenis Keluhan Jumlah Pasien %(n=90)

1 Nyeri perut bagian kanan bawah

Apendisitis akut dapat menjadi apendisitis perforasi dan setiap 12 jam resiko terjadi perforasi meningkat setelah timbulnya gejala pada pasien yang tidak mendapat penanganan berupa operasi. Maka dari itu, operasi harus sesegera mungkin dilakukan pada pasien apendisitis akut untuk mencegah berkembangnya penyakit ke arah lebih serius misalnya perforasi (Papaziogas, et al., 2009). Hasil penelitian menunjukan lama keluhan pasien terbanyak adalah 2 hari sebesar 50% (n=90).

Tabel IV. Distribusi jumlah pasien di RSUD Badung tahun 2011 menurut lamanya keluhan sakit

(55)

agar tidak memperbanyak biaya rumah sakit selain itu mencegah terjadinya infeksi nosokomial.

Tabel V. Lama perawatan pasien operasi apendisitis akut RSUD Badung tahun 2011

B.Jenis, Waktu, Cara, Dosis, dan Lama Pemberian Antibiotika Profilaksis 1. Jenis antibiotika

Antibiotika profilaksis yang paling banyak digunakan adalah sefotaksim, yaitu sebesar 83% (n= 90), kemudian diikuti dengan seftriakson sebanyak 7%.

Sefotaksim dan seftriakson merupakan salah satu golongan cefalosporin generasi III yang merupakan antibiotika golongan β-laktam. Mekanismenya sama

(56)

Tabel VI. Distribusi jenis antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis tunggal pada pasien operasi apendisitis akut di RSUD Badung tahun 2011

N o .

Jenis Antibiotika Jumlah Kasus % (n= 90)

1. Seftriakson 7 8%

2. Sefotaksim 83 92%

2. Waktu pemberian

Antibiotika profilaksis pada pasien apendisitis akut di RSUD Badung hanya diberikan saat sebelum operasi. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa 95% (n=90) diberikan kurang dari 1 jam sebelum operasi. Namun, ada 5% yang diberikan lebih dari 1 jam sebelum operasi. Antibiotika profilaksis akan kurma efektif jika diberikan terlalu awal. Sebaiknya antibiotika profilaksis diberikan 1 jam sebelum operasi karena jika diberikan terlalu awal akan menyebabkan konsentrasi antibiotika profilaksis dalam darah kurang mencukupi untuk melindungi pasien dari risiko infeksi bakteri (ASHP, 2013; Kanji,et al., 2008; Steinberg, et al., 2009).

Tabel VII. Distribusi waktu pemberian antibiotika sebelum operasi dan setelah operasi di RSUD Badung tahun 2011

3. Cara pemberian

Semua pasien dalam penitian ini, pengaplikasian antibiotika profilaksisnya diberikan secara intravena (IV) agar konsentrasi antibiotika yang diberikan sesuai

No Antibiotika Profilaksis Jumlah Kasus

(57)

yang diinginkan pada lokasi operasi dan dalam waktu cepat. Bila lewat intravena (IV), antibiotika langsung masuk ke sirkulasi sistemik setelah diadministrasikan tanpa melalui proses absorpsi di gastrointestinal sehingga konsentrasi antibiotika dalam darah dan jaringan pun sesuai yang diinginkan dan dalam waktu cepat (Bryant, et al., 2010 dan Hessen, et al., 2004).

Tabel VIII. Distribusi cara pemberian antibiotika di RSUD Badung tahun 2011

No. Antibiotika Profilaksis Cara

Pemberian

Jumlah Kasus % (n= 90)

1. Sefotaksim intravena (IV) 83 92%

2. Seftriakson Intravena (IV) 7 8%

4. Dosis pemberian

(58)

Tabel IX. Distribusi dosis pemberian antibiotika profilaksis di RSUD Badung tahun 2011

5. Lama pemberian

Semua antibiotika profilaksis hanya diberikan dalam satu kali (dibawah 24 jam). Antibiotika profilaksis yang diberikan kurang dari 24 jam sudah cukup untuk mencegah infeksi dan pemberian lebih dari 24 jam tidak akan memberikan manfaat yang lebih baik dari pemberian kurang dari 24 jam serta hanya akan membebani pasien karena menambah biaya yang harus dikeluarkan pasien (Gordon, 2009; Ward, et al., 2009; James, et al., 2008).

Tabel X. Distribusi jumlah antibiotika profilaksis pada lama pemberian 24 jam dan lebih dari 24 jam di RSUD Badung tahun 2011

No Antibiotika Profilaksis Jumlah Kasus

<24 Jam

C. Kesesuaian Pemilihan dan Penggunaan Antibiotika Profilaksis Setelah dilakukan pengambilan data, Standar Pelayanan Medik RSUD Badung tidak mengatur tentang antibiotika profilaksis pada pasien apendisitis akut yang menjalani operasi. Standar pelayanan medik hanya berisikan tentang persiapan ruangan kamar operasi. Berdasarkan informasi kepala kamar bedah RSUD Badung, pemberian antibiotika profilaksis dipilih sesuai pilihan dokter

(59)

sebelum operasi dilakukan. Disebebkan tidak adanya pedoman rumah sakit maka untuk mengevaluasi hanya berdasarkan pedoman WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013).

1. Jenis antibiotika

Penelitian menunjukkan seluruh jenis antibiotika profilaksis yang dipilih sudah sesuai dengan pedoman umum (WHO, 2009, Kanji, et al., 2008, dan ASHP, 2013). Sefotaksim adalah jenis antibiotika profilaksis yang paling banyak digunakan, yaitu 83 kasus atau 92% dan seftriakson 7 kasus atau 8%. Penggunaan antibiotika profilaksis jenis sefotaksim dan seftriakson yang termasuk dalam antibiotika sefalosporin generasi ketiga ini sudah sesuai dengan pedoman umum, yaitu WHO Guidelinesfor Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013). Kedua antibiotika profilaksis tersebut mempunyai aktivitas anaerob yang efektif. Sedangkan mikroorganisme yang paling banyak menyebabkan infeksi paska operasi adalah bakteri anaerob dan aerob gram negatif terutama Bacteroides fragillis dan Escherichia coli. Jadi, pemilihan dan penggunaan antibiotika sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim dan seftriakson) sebagai antibiotika profilaksis dapat melindungi pasien dalam mencegah terjadinya infeksi setelah operasi apendisitis akut (ASHP, 2013).

(60)

penggunaan sefalosporin generasi ketiga juga dinilai efektif sebagai antibiotika profilaksis pada operasi apendisitis akut. Apabila tidak memungkinkan diberikannya sefalosporin, dapat diberikan metronidasol yang dikombinasikan dengan sefazolin, ampisilin atau metronidasol (ASHP, 2013).

Tabel XI. Distribusi jumlah kasus menurut jenis antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum (WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013)

di RSUD Badung tahun 2011

No Jenis

(61)

Tabel XII. Distribusi jumlah kasus menurut waktu pemberian antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum (WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan

ASHP, 2013) di RSUD Badung tahun 2011

No Waktu

Pemberian antibiotika profilaksis dilakukan secara intravena (IV) dan ini sesuai dengan pedoman umum WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013).

Antibiotika profilaksis diberikan kepada pasien apendisitis akut secara intravena (IV) agar antibiotika berada di lokasi dilakukannya pembedahan dalam waktu singkat. Intravena (IV) langsung masuk sistem sistemik sehingga tidak mengalami proses absorpsi dan konsentrasi antibiotika di lokasi pembedahan dapat diperoleh dengan cepat dan tepat (Bryant, et al., 2010; Hessen, et al., 2004). 4. Dosis pemberian

Pasien dewasa dan anak – anak dengan usia lebih dari 12 tahun mendapat antibiotika seftriakson dan sefotaksim 1 gram hingga 2 gram, sedangkan untuk anak – anak dibawah usia 12 tahun mendapat dosis 1 gram. Dosis yang diberikan belum

(62)

sefalosporin sebagai profilaksis operasi pada pasien dewasa dan anak-anak yang berusia lebih dari 12 tahun atau anak-anak dengan berat badan lebih dari 50 kg adalah 1-2 gram. Sedangkan pada anak-anak yang berusia kurang dari 12 tahun seftriakson diberikan dalam dosis 50-75 mg/kg BB. Dikarenakan tidak tercantumnya berat badan pada rekam medis maka digunakanlah perhitungan dosis menggunakan rumus Young (untuk anak < 8 tahun) dan rumus Dilling (untuk anak ≤ 8 tahun). Dari data yang didapat terdapat 6 pasien anak di bawah 12 tahun dan 5

dari pasien anak tersebut mendapat dosis yang tidak sesuai. Dosis yang diberikan melebihi yang dibutuhkan dapat mengakibatkan pasien mengalami overdosis yang dapat membahayakan pasien namun bila dosis yang diberikan kurang dari yang dibutuhkan akan menyebabkan kurang efektifnya antibiotika karena konsentrasi antibiotika pada darah dan lokasi operasi tidak cukup melindungi pasien dari bakteri patogen (Hessen, et al., 2004; Nanizar, 2004).

(63)

5. Lama pemberian

Antibiotika profilaksis diberikan hanya sekali sebelum operasi. Hasil tersebut sesuai dengan WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013)yaitu antibiotika profilaksis diberikan kurang dari 24 jam atau 1 hari setelah prosedur operasi karena pemberian lebih dari 24 jam tidak akan memberikan manfaat yang lebih baik dari pemberian kurang dari 24 jam serta hanya akan membebani pasien karena menambah biaya yang harus dikeluarkan pasien serta akan akan berisiko menyebabkan resistensi bakteri (Gordon, 2009; Ward, et al., 2009; James, et al., 2008).

D. Faktor-faktor yang Mendasari Pemilihan Antibiotika Profilaksis

Pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RSUD Badung seluruhnya menerima antibiotika profilaksis ini karena pada saluran pencernaan sendiri sudah terdapat sejumlah besar bakteri yang berpotensi menyebabkan infeksi setelah operasi (Kanji, et al., 2008). Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan dokter bedah, yang mempunyai pendapat sama terkait dengan pemberian antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut.

“Kan ada macam-macam operasi. Nah, operasi apendisitis itu termasuk operasi bersih terkontaminasi yang perlu antibiotika profilaksis biar tidak ada infeksi”.

Dokter bedah I

(64)

kondisi terkontrol dan dalam kontaminasi yang biasa dan antibiotika profilaksis berguna untuk mengontrol kondisi luka tersebut atau mencegah terjadinya infeksi (WHO, 2009).

Dari penelitian terlihat jika dokter sering memberi sefotaksim yaitu 83 kasus atau 92% dari keseluruhan kasus. Pertimbangan dokter bedah memilih sefotaksim sebagai antibiotika profilaksis adalah berdasarkan keamanan dari antibiotika tersebut. Alasan pemilihan antibiotika profilaksis ini terungkap dalam hasil wawancara sebagai berikut:

“Biasanya saya memberi sefotaksim karena disamping reaksi alerginya kecil, dan harganya juga tidak terlampau mahal kadang juga seftriakson karena waktu paruhnya panjang tapi seftriakson sangat jarang saya pakai”

Dokter bedah I

Mikroorganisme patogen yang menyebabkan infeksi setelah dilakukan pembedahan menjadi pertimbangan dalam memilih antibiotika profilaksis yang digunakan. Penggunaan antibiotika profilaksis sefotaksim dan seftriakson

“Saya sering memberikan pasien sefotaksim karena lebih murah dan jarang ada pasien yang alergi”

Dokter Bedah II

“Dokter memilih menggunakan sefotaksim karena dinilai lebih aman dari reaksi alergi pasien dan dari segi harga lebih murah apalagi pasien banyak yang ditanggung oleh pemerintah”

(65)

(sefalosporin generasi ketiga) sudah sesuai dengan pedoman umum ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013) yang merekomendasikan kegunaan sefalosporin. Antibiotika sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim dan seftriakson) memiliki aktivitas terhadap bakteri anaerob sehingga dapat melindungi pasien dari infeksi luka paska operasi apendisitis (Lattere, 2006; ASHP 2013). WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009) dan Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008) lebih merekomendasikan penggunaan sefalosporin generasi kedua (sefositin atau sefotetan) karena memiliki aktivitas terhadap bakteri anaerob yang lebih baik.

Tidak dipilihnya sefalosporin generasi kedua (sefositin, sefotetan) dikarenakan tidak tersedianya antibiotika tersebut di Indonesia dan harus diimport dari luar negeri ini mengakibatkan juga harganya menjadi mahal dan tidak terjangkau oleh pasien yang kebanyakan menengah ke bawah. Harga eceran tertinggi menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 436/Menkes/SK/XI/2013 saat penelitian ini ditulis seftriakson 1g/vial Rp 11.602,00 dan sefotaksim 1g/vial Rp 9.356,00. Ini jauh lebih murah dibanding harga sefositin dan sefotetan menurut drugbank.com yaitu sefositin 1g/vial Rp 187.616,00 ($13,12) dan sefotetan 1g/vial Rp 195.338,00 ($13,66) dengan kurs Rp 14.300,00 belum termasuk biaya kirim dan pajak karena harus diimpor.

(66)

generasi kedua maupun sefalosporin generasi ketiga sama-sama aman diberikan terhadap pasien yang mempunyai riwayat alergi penisilin, dengan asumsi reaksi alergi yang timbul tidak parah (anafilaksis) (Pichichero, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian, antibiotika profilaksis yang diberikan hampir seluruhnya diberikan kurang atau sama dengan satu jam sebelum operasi dilakukan. Pemberian antibiotika profilaksis ini sesuai dengan WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009) dan Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008) yang merekomendasikan waktu pemberian antibiotika profilaksis 1 jam sebelum operasi.

Namun ada pasien yang diberikan lebih dari 1 jam sebelum operasi sebanyak 4 orang atau 5% (n=90) ini tidak sesuai dengan WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008) dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013) yang menganjurkan pemberian antibiotika profilaksis kurang atau sama dengan 1 jam sebelum operasi.

(67)

Biasanya penyuntikan antibiotikanya dilakukan maksimal 1 jam sebelum operasi tapi kadang karena banyaknya pasien yang operasi jadi seringkali

molor karena harus menunggu pasien sebelumnya selesai dan ada waktu untuk membersihkan dan mempersiapkan kamar operasi”.

Kepala Kamar Bedah “Pasien kita berikan antibiotika profilaksis satu jam sebelum operasi

namun terkadang karena jadwal operasi padat dan barangkali ada

hambatan pada pasien sebelumnya sehingga pasien operasi apendisitis harus menunggu”.

(68)

47 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan :

1. Karakteristik demografi pasien adalah 31% (n= 90) pasien berusia antara 16-25 tahun, 52% pasien berjenis kelamin perempuan, dan 48% pasien berjenis kelamin laki-laki. Semua pasien (100%) mengeluhkan nyeri perut bagian kanan bawah. 50% pasien dengan lama keluhan selama 2 hari, dan rata-rata lama perawatan pasien selama di rumah sakit adalah 2-3 hari.

2. Jenis antibiotika profilaksis yang paling banyak digunakan adalah sefotaksim sebesar 92% (n= 90), 5% diberikan lebih dari 1 jam sebelum operasi, seluruhnya (100%) pemberian secara intravena (IV), pada dosis 2 gram sebesar 53%, dan lama pemberian hanya diberikan satu kali (dibawah 24 jam).

3. Pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis di RSUD Badung belum sesuai guideline atau pedoman, yaitu waktu pemberian antibiotika profilaksis yang terlambat atau terlalu awal sebanyak 5%, serta dosis pemberian pada pasien anak yang kurang sesuai dengan perhitungan dosis menurut umur sebanyak 5 pasien.

(69)

B. Saran

Berdasarkan dari hasil penelitian ini, saran yang dapat penulis berikan antara lain:

1. Rumah Sakit Umum Daerah Badung disarankan untuk menyusun dan membuat Standar Pelayanan Medis dengan mengikuti pedoman ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 2013), WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009) dan Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji, et al., 2008) mengenai operasi apendisitis terutama apendisitis akut sehingga dapat lebih melindungi pasien dan meningkatkan pelayanan rumah sakit.

(70)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2013, Informatorium Obat Nasional Indonesia, 199-227, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta

American Society of Health-System Pharmacists, 2005, Ceftriaxone (Systemic), http://www.ashp.org/s_ashp/docs/files/practice_and_policy/ceftriaxone.p df, diakses tanggal 6 Maret 2014.

American Society of Healt-System Pharmacists, 2013, ASHP Therapeutic Guidelines on Antimicrobial Prophylaxis in Surgery, 56, 1839-1888, Am. J. Healt-Syst. Pharm,, USA

Banieghbal, B., and Lakhoo, K., et. al., 2011, Paediatric Surgery: A Comprehensive Text for Africa, 453-454, Global HELP Organization, Seattle

Brunner and Suddarth, 2007, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3 Volume 8, EGC, Jakarta

Bryant, B. J., Knights, K. M., Salerno, E., 2010, Pharmacology for Health Professionals, 129-134, Elsevier, Sydney

Bryson, E. O., Frost, E. A., and Rosenblatt, M. E., 2007, Management of the Patient Reporting an Allergy to Penicillin, M. E. J. Anesth, USA

Budiarto, Eko, 2004, Metodelogi Penelitian Kedokteran, EGC, Jakarta

Busch, M., Gutzwiller, F. S., et. al.,, 2011, In-hospital Delay Increases the Risk of Perforation in Adults with Appendicitis, World J. Surg, USA

Center for Disease Control and Prevention, 2004, National Nosocomial Infections Surveillance, US Departement of Health and Human Services, Atlanta, Georgia

Chambers, Henry F., 2006, Beta Laktam Antibiotics & Others Inhibitors of Cell Wall Synthesis, dalam Katzung, Bertram G., et al. Basic and Clinical Pharmacology, Edisi 10, McGraw-Hills, New York

Gambar

Tabel XII.  Distribusi jumlah kasus menurut waktu pemberian antibiotika
Gambar 2.  Anatomi Apendiks..........................................................................
Gambar 1. Anatomi Usus Besar (Doherty, 2006).
Gambar 2. Anatomi Apendiks (Irga, 2007).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ssrem hidrolik pada alat berat diglnakan untu[ npla d. 4rr terusrkai /rae1 arrrl ieBchul danal

Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah menentukan mekanisme dan dimensi penghasil getaran pada plat struktur, menentukan putaran motor listrik

APBN yang diserahkan diserahkan kepada daerah dalam rangka kepada daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. pelaksanaan otonomi daerah

Dengan model pembelajaran yang berbeda dapat meningkatkan semangat belajar siswa serta sebagai sarana untuk meningkatkan hasil proses belajar mengajar pada mata

resort dan sarana olah raga seperti lapangan pacu kuda, arena motor cross, sircuit road rice, pembuatan danau wisata dan sarana prasarana lainnya. Permasalahannya sekarang adalah

In this analysis the writer discusses the cause and effect relationship Houseman as an abuser and Robbie Young as his sexual abuse victim share in their life, how Houseman

Berdasarkan hasil analisis peta empati pelanggan diatas, maka pada penelitian ini digambarkan, dijelaskan dan dianalisis secara rinci mengenai model bisnis Resto

[r]