• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tampilan Hubungan Antara Karakteristik, Tingkat Kecemasan, dan Ketergantungan dengan Penerimaan Diri Pasien Keterbatasan Gerak Akibat Stroke di RSUD Koja Jakarta Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Tampilan Hubungan Antara Karakteristik, Tingkat Kecemasan, dan Ketergantungan dengan Penerimaan Diri Pasien Keterbatasan Gerak Akibat Stroke di RSUD Koja Jakarta Utara"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Journal Scientific Solutem Vol.1 No.1 – Mei – Oktober 2018 p-ISSN : 2620-7702 e-ISSN : 2621-136X journal homepage: http://ejurnal.akperbinainsan.ac.id Hubungan Antara Karakteristik, Tingkat Kecemasan, dan Ketergantungan

dengan Penerimaan Diri Pasien Keterbatasan Gerak Akibat Stroke di RSUD Koja Jakarta Utara

Femi Kesumawati

Akademi Keperawatan Bina Insan, Jakarta e-mail :femi.hidayati@gmail.com

Abstrak

Stroke merupakan kondisi emergency yang terjadi karena iskemi serebral, dengan penurunan aliran darah dan oksigen ke jaringan serebral yang dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen bahkan sampai dengan kematian. . Latar belakang dalam pengambilan kasus Stroke dikarenakan terdapat 15 juta orang yang mengalami stroke setiap tahun dan merupakan penyebab kematian kedua diatas usia 60 tahun dan penyebab kematian kelima pada usia 15-59 tahun. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara karakteristik, tingkat kecemasan dan ketergantungan dengan penerimaan diri pasien keterbatasan gerak akibat stroke. Hasil penelitian didapatkan terdapat hubungan karakteristik usia dan tingkat kecemasan dengan penerimaan diri pasien keterbatasan gerak akibat stroke. Hasil penelitian merekomendasikan Rumah Sakit umum sebagai pemberi layanan kesehatan yang berfokus pada pelayanan kesehatan fisik hendaknya juga meningkatkan layanan kesehatan jiwa dalam memberika asuhan keperawatan yang komperhensif.

Kata kunci : Stroke, tingkat kecemasan, ketergantugan, penerimaan diri Abstract

Stroke is an emergency condition that occured as the cerebral ischemic, with decreased in blood flow and oxygen to the cerebral tissues that can caused permanent brain damaged and even up to death, basic in decision Stroke cased because there are 15 million people who suffered stroke each year and the second leading caused of death above the age of 60 years and the fifth leading caused of death at the age of 15-59 years. The purpose of this study to determine the relationship between the characteristics, the level of anxiety and self-acceptance dependence with reduced mobility as stroke patients. The results showed there are relation characteristics of the age and level of anxiety with self-acceptance limitation of motion in stroke patient. The results of the study recommended to general hospital as the health care provider that focuses on physical health services should be also improving mental health services in providing a comprehensive nursing care.

Keywords: Stroke, the level of anxiety, reliance, self-acceptance Pendahuluan

Stroke merupakan kondisi emergency yang terjadi karena iskemia serebral, dengan penurunan aliran darah dan oksigen ke jaringan serebral atau hemoragik serebral yang dapat

menyebabkan kerusakan otak yang permanen (Pinto & Caple, 2010). Stroke iskemik disebabkan oleh trombus atau embolus sedangkan stroke hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang menyebabkan perdarahan

(2)

intraserebral atau ruang subaraknoid.

Kejadian stroke iskemik mencapai 87%, sedangkan stroke hemoragik mencapai 13% yang terdiri dari 10% perdarahan intraserebral dan 3% perdarahan subaraknoid (AHA,2010; Black & Hawks, 2009).

Menurut WHO (2007), terdapat 15 juta orang yang mengalami stroke setiap tahun dan merupakan penyebab kematian kedua diatas usia 60 tahun dan penyebab kelima pada usia 15-59 tahun.

Setiap tahun, hampir 6 juta orang meniggal karena stroke dan merupakan penyebab utama kecacatan jangka panjang tanpa membedakan usia, jenis kelamin dan budaya (World Stroke Organization, 2010). Di Amerika serikat sekitar 795.000 orang mengalami stroke setiap tahun, 610.000 diantaranya merupakan serangan stroke yang pertama dan 185.000 serangan berulang. Rata-rata seseorang yang mengalami stroke setiap detik dan mengalami kematian setiap 4 menit (AHA, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh D’Aniello et al, (2014) menjelaskan bahwa 81 pasien post stroke yang kronis, kejadian kecemasan terjadi sebesar 55,6%, depresi 19,7%, dan lainnya tidak mengalami gangguan psikis. Pasien post stroke berulang (yang sudah kronik atau mengalami stroke lebih dari 1 tahun) lebih banyak mengalami kecemasan dibandingkan dengan kejadian depresi.

Gejala-gejalan kecemasan yang muncul adanya kekhawatiran, takut, ketegangan otot, perasaan was-was, kenaikan detak jantung, dan nyeri perut.

Spaletta et al (2001, dalam Taylor, 2006) mengatakan bahwa defisit neurologi selai berakibat pad fisiknya juga emosinya. Pasien dengan kerusakan otak sebelah kiri mengalami kecemasan maupun depresi. Sedangkan kerusakan pada otak sebelah kanan akan mengalami alexithymia yang melibatkan gangguan dalam mengidentifikasi dan menggambarkan perasaan. Pasien stroke mayoritas mengalami penurunan fungsi aktivitas sehari-hari. Penelitian terdahulu terkait dengan penerimaan diri (Masyitha, 2012) tentang hubungan dukungan sosial

dan penerimaan diri pada penderita pasca stroke menghasilkan 17,4% mayoritas responden mempunyai dukungan sosial sedikit maka akan berperan sedikit pula dalam penerimaan diri pasca stroke, sedangkan sisanya 82,6% dipengaruhi oleh variabel lainya yang tidak diungkapkan dalam penelitian ini.

Penelitian juga dilakukan oleh (Kariasa, 2009) tentang persepsi pasien pasca serangan stroke terhadap kualitas hidupnya dalam persepektif asuhan keperawatan, dengan hasil pasca serangan stroke menjadikan pasien terbatas dalam melakukan kegiatan sehari-hari, merasakan penderitaan ditengah-tengah keterbatasan dan kehilangan, dan berbagai respon emosional. Dukungan sosial, keterbatasan fisik, berbagai respon emosi yang dirasakan pada pasien keterbatasan gerak akibat stroke merupakan hal yang penting yang harus diperhatikan pada pasien stroke untuk mempengaruhi penerimaan dirinya.

Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Pendekatan cross sectional adalah suatu pengukuran atau pengumpulan data variabel bebas dan variabel terikat dilakukan satu kali pada satu waktu (Sastroasmoro, 2011). Metode kuantitatif dipilih karena untuk menjelaskan dan menguji suatu hubungan untuk mengetahui hubungan antara variabel (independen) yaitu karakteristik, tingkat kecemasan dan ketergantungan dengan variabel (dependen) yaitu penerimaan diri. Pengukuran pada variabel-variabel tersebut hanya dilakukan satu kali waktu penelitian berlangsung saja.

Sampel dalam penelitian kuantitatif disebut juga dengan responden.

Penelitian ini menggunakan tehnik pengambilan sampel non probability sampling dengan teknik purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu, sesuai dengan kriteria inklusi yang ditentukan peneliti (Sugiyono, 2010).

(3)

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian pada populasi target dan populasi terjangkau yang akan diteliti.

Adapun kriteria inklusi responden yang akan dilibatkan dalam penelitian ini adalah: a) berumur lebih dari 25 – 95 tahun, b) bisa membaca dan menulis, c) dapat berkomunikasi dengan baik, d) pasien stroke yang mengalami keterbatasan gerak, e) pasien di rawat di RSUD Koja Jakarta Utara sampai saat penelitian berlangsung, f) bersedia menjadi responden.

Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan di ruang rawat RSUD Koja Jakarta Utara. Proses pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner untuk mengidentifikasi data demografi, tingkat kecemasan, ketergantungan, penerimaan diri. Data demografi reponden (kuesioner A) intrumen untuk mendapatkan data demografi responden yang terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan. Kuesioner B untuk menilai indeks kemandirian Katz, sebanyak 17 buah. Kuesioner C untuk tingkat kecemasan pasien menggunakan kuesioner HRS-A sebanyak 14 buah dengan skala lingkert. Kuesioner D tentang penerimaan diri pada pasien stroke (Masyithah, 2012) sebanyak 40 buah.

Hasil

Hasil analisis data meliputi analisis univariat dan bivariat. analisis univariat mendeskripsikan tiap-tiap variabel, meliputi: variabel karakteristik responden; variabel independen; dan variabel dependen secara tunggal.

Penyajian analisis bivariat memaparkan analisis hubungan antara tiap-tiap variabel karakteristik (usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan), variabel independen (tingkat ketergantungan, dan tingkat kecemasan) dengan variabel dependen (penerimaan).

Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa pasien dengan keterbatasan gerak akibat stroke rerata usianya adalah 48,5 tahun. Pasien termuda berusia 23 tahun dan pasien tertua berusia 91 tahun.

Hasil analisis univariat menujukkan bahwa pasien yang mengalami keterbatasan gerak akibat stroke sebagian besar adalah perempuan yaitu 52,6% (51 orang), sebagian besar berpendidikan SMA yaitu 41,2% (40 orang), sebagian besar bekerja yaitu 51,5% (50 orang), dan sebagian besar menikah yaitu 76,3% (74 orang).

Pasien yang mengalami keterbatasan gerak akibat stroke menunjukkan sebagian besar mengalami

(4)

ketergantungan yaitu 53,6% (52 orang).

Pasien tersebut juga sebagain besar mengalami kecemasan yaitu: sangat berat 11,3%; berat 21,6%; sedang 22,7%;

ringan 13,4%; dan tidak ada kecemasan sebesar 30,9%, sehingga disimpulkan sebagian besar yaitu 69,9% pasien mengalami kecemasan (ringan, sedang, berat, dan sangat berat). Pasien dengan keterbatasan gerak akibat stroke sebagian besar menerima yaitu 53,6%, dan pasien yang tidak menerima juga cukup besar yaitu 46,4%.

Tabel 5.4 di atas menunjukkan bahwa usia pasien yang mengalami keterbatasan gerak akibat stroke yang menerima dengan yang tidak menerima kondisi sakitnya mempunyai selisih 6,1 tahun.

Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,037 menunjukkan terdapat perbedaan signifikan rerata usia pasien dengan keterbatasan gerak akibat stroke yang menerima dan yang tidak menerima. Hal tersebut dapat diartikan juga bahwa terdapat hubungan signifikan usia dengan penerimaan pasien yang mengalami keterbatasan gerak akibat stroke.

Tabel 5.5 Hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan penerimaan diperoleh bahwa ada sebanyak 24 (52,2%) yang menerima kondisi sakitnya berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan jenis kelamin perempuan, ada 28 (54,9%) yang menerima kondisi sakitnya. Hasil uji statistik diperoleh p=0,948 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan penerimaan.

Hasil analisis hubungan antara pendidikan dengan penerimaan diperoleh bahwa ada sebanyak 26 (53,3%) yang menerima kondisi sakitnya berpendidikan SD, pendidikan SMP ada 7 (43,8%) yang menerima kondisi sakitnya, sedangkan pendidikan SMA sebanyak 24 (60%) yang menerima dan Perguruan Tinggi ada 5(45,5%) yang menerima kondisi sakitnya. Hasil uji statistik diperoleh p=0,665 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan penerimaan.

Hasil analisis hubungan antara pekerjaan dengan penerimaan diperoleh bahwa ada sebanyak 29 (58%) yang menerima kondisi sakitnya bekerja/pernah bekerja. Sedangkan yang tidak bekerja ada 23 (48,9%) yang menerima kondisi sakitnya. Hasil uji statistik diperoleh p=0,490 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan dengan penerimaan.

Hasil analisis hubungan antara perkawinan dengan penerimaan diperoleh bahwa ada sebanyak 39 (52,7%) yang menerima kondisi sakitnya sudah menikah. Sedangkan yang tidak menikah ada 13 (56,5%) yang menerima kondisi sakitnya. Hasil uji statistik diperoleh p=0,935 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara perkawinan dengan penerimaan.

(5)

Tabel 5.6 Hasil analisis hubungan antara tingkat ketergantungan dengan penerimaan diri diperoleh ada sebanyak 28 (53,8%) pasien dengan tingkat ketergantungan total yang menerima kondisi sakitnya. Sedangkan pasien yang memiliki tingkat ketergantungan mandiri sebanyak 24 (53,3%) yang menerima terhadap kondisi sakitnya. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=1,0 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat ketergantungan dengan penerimaan diri.

Hasil analisis hubungan antara tingkat kecemasan dengan penerimaan diri diperoleh bahwa ada sebanyak 3 (27,3%) pasien dengan tingkat kecemasan sangat berat yang menerima kondisi sakitnya, untuk tingkat kecemasan berat sebanyak 6 (28,6%) yang menerima kondisi sakitnya, tingkat kecemasan sedang ada sebanyak 9 (69,2%) yang menerima kondisi sakitnya, tingkat kecemasan ringan ada 9 (69,2%) yang menerima kondisi sakitnya, dan tidak ada kecemasan sebanyak 18 (60%) yang menerima kondisi sakitnya. Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,049 maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi tingkat kecemasan dengan penerimaan (ada hubungan antara tingkat kecemasan dengan penerimaan).

Pembahasan

1. Karakteristik responden dalam penelitian

Karakteristik responden dalam univariat meliputi : usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan perkawinan,

tingkat kecemasan, ketergantungan serta penerimaan diri. Berikut penjelasannya : 1.1 Usia

Usia responden dalam hasil penelitian yang didapatkan berada pada rentang usia 48,5 tahun. Pada penelitian ini pasien termuda berusia 23 tahun dan pasien tertua berusia 91 tahun. Ada dua hal yang dapat disampaikan dari hasil penelitian ini yaitu pasien dengan usia termuda 23 tahun dan pasien lanjut usia berusia 91 tahun. Pertama usia muda pada pasien stroke ini bisa terjadi. Pinto &

Caple (2009) menyatakan bahwa semakin bertambah usia maka semakin beresiko seseorang untuk terkena stroke. Angka kejadian stroke di usia dewasa muda bisa terjadi dikarenakan penyakit yang dideritanya dan gaya hidup yang tidak sehat. Hal ini juga selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Nightingale & Farmer (2004) menunjukan bahwa insiden stroke pada usia muda (5- 49 tahun) dikarenakan faktor – faktor yang berhubungan dengan penyakitnya yang diderita sejak usia muda yaitu penyakit jantung, konsumsi alkohol yang

berlebihan, riwayat

tromboembolismevena, Diabetes Militus, Hipertensi, Migran dan pengguna kontrasepsi oral.

Sedangkan di usia dewasa lanjut kejadian stroke sering terjadi selain dikarenakan faktor penyakit dapat juga disebabkan oleh faktor degeneratif. Hal ini dikemukakan Pinto & Caple (2009) bahwa setiap tahun setelah usia 55 tahun seseorang akan beresiko 2 kali mengalami stroke. Menurut Nilson (2005) peningkatan kejadian stroke pada usia lanjut diakibatkan karena proses degeneratif seperti penurunan elastis pembuluh darah dan disfungsi endotel, menyebabkan peningkatan resistensi perifer sehingga meningkat elevasi tekanan darah sistolik. Yang menimbulkan gangguan aliran darah dan beresiko terhadap kejadian stroke.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa seseorang yang mengalami penyakit stroke tidak mengenal usia baik usia muda maupun usia dewasa lanjut dikarenakan masing-

(6)

masing memiliki resiko besar yang dapat mengakibatkan terjadinya stroke. Gaya hidup pada usia muda menjadi faktor utama terkena stroke bila tidak menjaga kesehatan, disamping itu pula penyakit bawaan menjadi salah satu penyebab yang beresiko terjadinya stroke. Sedangkan usia dewasa lanjut lebih banyak disebabkan karena penurunan fungsi dalam tubuh, sehingga beresiko 2 kali lebih besar dibandingkan usia dewasa muda.

1.2 Jenis Kelamin

Dari hasil penelitian didapat pasien yang mengalami stroke mayoritas adalah perempuan yaitu 52,6%

dibandingkan dengan laki-laki yaitu 47,4%. Pada pengambilan data didapatkan mayoritas pasien perempuan berada pada rentang usia dewasa lanjut. Hal ini didukung penelitian oleh Guerra, Cepero, Conception, Guetierrez (2014) menggambarkan bahwa insiden stroke pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki karena perempuan juga mengalami penurunan degeneratif, mengkonsumsi oral kontrasepsi, serta menopouse. Disamping itu perempuan lebih sering mengalami depresi, sress dan emosional yang dapat menyebabkan tekanan darah tinggi.

Dari penjelasan diatas dapat digambarkan bahwa resiko terkena stroke tidak menutup kemungkinan perempuan lebih beresiko untuk terkena stroke dibandingkan dengan laki-laki sehingga tidak menutup kemungkinan seseorang akan beresiko stroke berjenis kelamin perempuan.

1.3 Pendidikan

Pendidikan pada hasil penelitian ini lebih banyak didominasi oleh pasien yang masih memiliki pendidikan SMA yaitu sebanyak 41,2% dan berbanding sedikit dengan pasien yang memiliki pendidikan SD yaitu sebanyak 30.9%.

Dari data yang diperoleh saat penelitian rata-rata pasien yang memiliki pendidikan menengah sampai dengan rendah cukup banyak, ini sangat mempengaruhi pasien dalam tingkat pengetahuan. Hal ini selaras dengan penelitian Moreno, et.al (2014) menggambarkan bahwa individu dengan

pendidikan tingkat rendah hanya 14,5%

yang mempunyai tingkat pengetahuan yang rendah pula terhadap stroke, dibandingkan dengan individu yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi sebanyak 50,5% mempunyai pengetahuan yang lebih baik mengenai penyakit stroke.

Menurut Notoatmojo (2003) pengetahuan merupakan faktor predisposisi pada pembentukan prilaku kesehatan. Hal ini bisa dipengaruhi oleh gaya hidup pasien seperti prilaku merokok, olah raga dn pola diit. Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang menentukan terhadap terjadinya perilaku, dimana seseorang yang berpendidikan tinggi berarti telah mengalami proses belajar yang lebih panjang, dengan kata lain pendidikan mencerminkan intensitas terjadinya proses belajar. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi ditemukan lebih sering memanfaatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan menjadi salah satu tolak ukur kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain secara efektif (Stuart &

Laraia, 2005)

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pasien dengan resiko terkena stroke berdasarkan tingkat pendidikan sangatlah berpengaruh terhadap pengetahuannya semakin tinggi pendidikan semakin baik untuk pengetahuannya terkait dengan penyakit stroke dan berbanding terbalik terhadap pasien dengan tingkat pendidikan rendah akan mempunyai penyetahuan yang rendah pula mengenai stroke sehingga mempengaruhi seseorang beresiko terkena stroke.

1.4 Pekerjaan

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan data bahwa 51,5% pasien masih bekerja /pernah bekerja dan 48,5%

tidak bekerja. Hal ini dibuktikan pada penelitian Nastiti (2012) bahwa didapatkan proporsi pasien stroke lebih banyak pada mereka yang bekerja, hal ini disebabkan oleh stress psikologis akibat pekerjaan yang dapat meningkatkan resiko stroke. Stress merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi

(7)

emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang. Jika seseorang mengalami stress yang terlalu besar maka dapat mengganggu kemampuan seseorang tersebut untuk menghadapi lingkungan dan pekerjaan yang dilakukannya. Stress psikologis tersebut berpotensi untuk memicu psikologis dan fisik yang berlebihan terhadap seseorang.

Hirokawa et.,al (2016) menjelaskan bahwa efek dari dari stres akibat bekerja dapat memicu tejadinya reaktivitas kardiovaskuler. Tingginya kadar stres kronis akan memicu meningkatnya reaksi kardiovaskular stres akut. Implikasi masalah kesehatan terkat reaksi tersebut akan mengakibatkan terjadinya resiko gangguan fisik masa depan. Hal ini dibuktikan melalui penelitian Phillips, Der, Shipton, &

Benzeval (2011) bahwa dari studi yang dilakukan 50 orang beberapa diantaranya mengalami sklerosis yang diakibatkan oleh reaktivitas kardivaskuleta yang lebih tinggi dalam stres akut terutama pekerjaan.

Hal ini disebabkan meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatik yang berhubungan dengan produksi yang lebih besar terkait sitokinin saat seseorang menghadapi stress. Bila reaksi stres tersebut tidak diatasi akan mengakibatkan terjadinya stroke akibat sklerosis dalam pembuluh darah serta gangguan penyakit lainnya yang berakibat cacat fisik.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa stress psikologis pada seseorang yang bekerja tidak menutup kemungkinan bisa terjadi sehingga ini akan berdampak buruk bagi individu tersebut. Orang yang bekerja mempunyai resiko untuk terkena stroke apabila individu tersebut terus menerus mengalami stress psikologis dan fisik.

Pada penelitian ini pasien yang bekerja sangatlah mungkin untuk beresiko terkena stroke.

1.5 Perkawinan

Status perkawinan pada hasil penelitian ini lebih banyak pasien yang menikah sebanyak 76,3%. Dari hasil peneliti bahwa usia pasien yang dijadikan responden rata-rata sudah memasuki pada

usia dewasa tengah dan akhir. Menurut data Statistik di Indonesia (2011) rerata usia perkawinan di Indonesia pada tahun 2005 adalah 23,2 tahun pada perempuan dan 26,9 tahun adalah laki-laki. Hal ini menunjukan bahwa rentang usia pasien berada pada rentang usia perkawinan.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Lee, Tang, Tsoi, Fong, & yu terhadap 214 pasien stroke di Cina, 136 orang (63,6%) menikah. Penelitian yang dilakukan oleh Sit, Wong, Clinton, Li dan Fong (2004) terhadap 102 pasien stroke, dilaporkan 83 orang (81,4%) menikah, 16 orang (15,7%) duda/janda dan 3 orang (2,9%) tidak menikah. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Ellis dan Horn (2000) terhadap 26 pasien stroke di Royal Hampshire Country Hospital di Winchester Inggris, dilaporkan sebagian besar responden menikah yaitu sebanyak 19 orang (73,1%). Meskipun status perkawinan bukan merupakan faktor resiko stroke, tetapi status perkawinan merupakan salah satu bentuk dukungan sosial terhadap pasangan.

Bentuk dukungan sosial (orang terdekat seperti pasangan) yang dinyatakan Vedanthan et al (2016) bahwa 1) saling ketergantungan dari sistem keluarga, 2) lingkungan, 3) gaya pengasuhan, 4) persepsi yang merawat terkait penyakit yang dialami orang yang dirawat, serta 5) genomik. Sebuah keluarga bila merespon suatu peristiwa stres dengan mengambangkan kebiasaan yang tidak sehat serta cenderung stres emosional seperti kecemasan dan depresi dalam merawat tidak mungkin akan dapat mendukung keluarga yang mengalami stroke dalam hal menyemangati hidup.

Yuan-li (2015) menjelaskan jika pasangan atau keluarga yang merawat klien yang menderita penyakit kronis seperti stroke mengalami depresi akan menganggu dalam komunikasi dan fungsi keluarga.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kebutuhan dalam bentuk dukungan sosial terhadap pasangan sudah menjadi kebutuhan dalam kehidupan usia tersebut. Rentang usia pada responden ini dalam rentang dewasa

(8)

tengah dan akhir membutuhkan dukungan sosial atau keluarga yang sangat berarti pada pasien yang sudah terkena stroke untuk membantu proses penyembuhn.

1.6 Tingkat Ketergantungan

Berdasarkan hasil penelitian tingkat ketergantungan total pada pasien dengan keterbatasan gerak akibat stroke yang dialami pasien sebesar 53,6% dan tingkat ketergantungan mandiri sebesar 46,4%. Ketergantungan total dalam penelitian ini antara lain kebutuhan mandi, berpakaian, makan, minum, buang air kecil, buang air besar, dll. Muliatsih (2001) menjelaskan bahwa ketergantungan total pada pasien dengan keterbatasan gerak akibat stroke dalam melakukan aktivitas sehari-hari menunjukan ketergantungan yang tinggi pula.

Penelitian dari Lerdal & Gay (2016) menjelaskan ketergantungan total merupakan salah satu keterbatasan aktivitas, dalam hal ini responden yang didapatkan bahwa pasien yang lebih tua dan tidak bekerja bila mengalami stroke pertama kalinya akan cepat memiliki keterbatasan aktivitas 18 bulan kemudian.

Keterbatasan aktivitas dipengaruhi oleh kelelahan akan stroke yang dialami sehingga mempengaruhi fungsi aktivitas sehari-hari.

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa ketergantungan ada kaitannya dengan pasien yang mengalami stroke.

Walaupun peneliti tidak menjelaskan lebih detil baik itu pasien yang baru pertama kali mengalami stroke ataupun yang sudah berulang kali mengalami stroke. Selain pasien stroke mengalami ketergantungan total terkait keterbatasan aktivitas sehari-hari juga disebabkan akibat kelelahan yang diakibatkan kompensasi tubuh.

1.7 Tingkat Kecemasan

Hasil penelitian ini didapatkan bahwa pasien yang tidak mengalami kecemasan jauh lebih tinggi dibandingkan pasien yang mengalami kecemasan yaitu sebanyak 30,9 %. Hal ini dipicu karena responden yang digunakan dalam penelitian ini rata-rata sudah mengalami stroke berulang. Kecemasan dapat

memperburuk kondisi pasien yang mengalami stroke. Hal ini di dukung pernyataan dari D’Aniello et al (2014) bahwa kecemasan dapat meningkatkan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi jangka panjang pemulihan stroke.

Sehingga stres emosional negatif yang merupakan dari efek lanjut kecemasan akan mempengaruhi pemulihan fungsional jangka panjang. Kecemasan dapat menimbulkan efek perasaan negatif, ketakutan, gugup, otot tegang, detang jantung cepat dan lain-lain. Bila tidak ditangani, efek kecemasan berat menimbulkan terjadinya gejala depresi.

Kesimpulan dari penjelasan diatas bahwa walaupun peneliti menjumpai responden hampir tidak mengalami kecemasan namun perlu diatisipasi kaitannya dengan kecemasan yang termasuk gangguan stres emosional yang negatif yang dapat mempengaruhi terjadinya efek buruk untuk pemulihan stroke.

1.8 Penerimaan diri

Hasil penelitian ini pasien dengan keterbatasan gerak akibat stroke sebagian besar menerima sakitnya mencapai 46,4%. Menurut peneliti dengan rentang usia pasien yang dikategorikan dewasa, pasien lebih memiliki penilaian yang realistik terhadap keterbatasan gerak akibat stroke yang dialaminya. Hal ini selaras yang dikemukaan oleh Hurlock (2006) bahwa individu yang menerima dirinya memiliki penilaian yang realistik tentang sumber daya yang dimilikinya.

Artinya, individu tersebut memiliki kepastian akan standar dan teguh dalam pendirian , serta mempunyai penilaian yang realistik terhadap keterbatasannya tanpa mencela diri. Jadi, orang yang memiliki diri yang baik tahu kemampuan yang dimilikinya dan bisa mengatasi cara mengelolanya.

Katc & Kahn (2000) berpendapat, dukungan sosial adalah perasaan positif, menyukai, kepercayaan, dan perhatian dari orang lain yaitu orang yang berarti dalam kehidupan individu yang bersangkutan, pengakuan, kepercayaan seseorang dan bantuan langsung dalam bentuk tertentu. Dukungan sosial pada

(9)

umumnya menggambarkan mengenai peranan atau pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh orang lain yang berarti seperti anggota keluarga, teman, saudara,dan rekan kerja. Penderita pasca stroke dapat memunculkan penerimaan diri yang baik diperlukan tindakan untuk menghadapi kondisi-kondisi stress atau depresi tersebut. Bukan hanya dukungan- dukungan positif yang diberikan pada penderita pasca stroke, namun penderita pasca stroke perlu melakukan coping terhadap stressor tersebut.

Pada penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa semakin bertambahnya usia pasien stroke terhadap kondisinya lebih realistik dalam berfikir terhadap dirinya, artinya individu itu memiliki kepastian akan kemampuan yang dimilikinya dan teguh pendirian dalam pengambilan keputusan terhadap dirinya, sehingga lebih realistik dalam menerima kondisi yang dialaminya terkait dengan sakitnya.

2 Hubungan antara karakteristik, tingkat ketergantungan dan tingkat kecemasan dengan penerimaan diri pada pasien dengan keterbatasan gerak akibat stroke.

2.1 Hubungan antara perbedaan usia dengan penerimaan diri

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ada perbedaan yang signifikan rerata usia pasien dengan keterbatasan gerak akibat stroke yang menerima dan tidak menerima dengan hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,037 maka disimpulkan ada hubungan antara usia terhadap penerimaan diri pada pasien dengan keterbatasan gerak akibat stroke.

Penerimaan diri berhubungan erat dengan kesehatan fisiologis individu (Munandara, 2001). Penerimaan diri menunjukkan selera makan yang baik, tidur yang baik dan lain sebagainya yang merupakan bagian dari perkembangan yang dapat ditemia dengan perasaan bahagia.

Sari & Nuryoto (2002) menyatakan bahwa individu lanjut usia memiliki kematangan emosi yang mampu menerima dirinya seperti apa adanya sehingga mampu beradaptasi dengan lingkungannya. Mereka menggunakan

mekanisme pertahanan diri untuk menghadapi perubahan – perubahan dirinya berkaitan dengan pertambahan usia, sehingga dapat disimpulkan bahwa usia berpengaruh terhadap kematangan seseorang dalam penerimaan diri.

2.2 Hubungan tingkat kecemasan dengan penerimaan diri

Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hubungan tingkat kecemasan terhadap penerimaan diri pada pasien dengan keterbatasan gerak akibat stroke sangatlah berhubungan namun banyak faktor yang mempengaruhi individu terkait dengan tingkat kecemasanya dan penerimaan diri pada pasien tersebut. Sehingga tidak menutup kemungkinan untuk menggali lebih dalam lagi faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut.

Mc Cracken & Keogh (2009) menjelaskan bahwa kecemasan merupakan prediktor terkuat kaitannya dengan penyakit kronik khususnya stroke.

Untuk mengurangi kecemasan seseorang perlu adanya kemampuan secara sadar untuk menerima suatu proses perubahan.

Hoffmann, Halsboe, Eilenberg, Jensen, &

Frostholm (2014) menyatakan untuk mencapai psikologis seseorang yang fleksibel perlu adanya penerimaan yaitu kemampuan seseorang secara sadar untuk membawa perhatian sebagai tumpang tindih dari situasi sekarang. Penerimaan dibuktikan dengan 3 substansi yaitu tindakan sadar, tidak menghakimi diri sendiri, tidak melakukan reaksi negatif yang dijadikan perubahan psikologis yang baik bagi pasien.

Roemer, Fuchs, & Orsillo (2014) menyatakan bahwa suatu penerimaan melibatkan proses keingintahuan serta berdamai dengan pengalaman internal seseorang. Sehingga pasien menerima akan apa yang dihadapi sekarang sehingga menjadikan kehidupan lebih bermakna dalam hidup. Dari suatu penerimaan mampu mengubah pikiran negatif pasien akan sakitnya, menyayangi tubuhnya serta berusaha untuk sembuh.

Dari penjelasan diatas bahwa adanya hubungan yang signifikan dengan tidak adanya kecemasan serta penerimaan.

(10)

Bila seseorang dalam keadaan secara sadar dan tidak cemas mampu menjadikan klien siap menerima akan apa yang dialami sekarang. Dengan penerimaan tersebut akan memunculkan perubahan psikologis yang baik, sehingga dengan suatu penerimaan tersebut memunculkan pikiran positif untuk sembuh dari penyakitnya.

2.3 Hubungan tingkat ketergantungan dengan penerimaan dan komitmen

Hasil penelitian antara tingkat ketergantungan total dengan penerimaan diri diperoleh 53,8% sedangkan tingkat ketergantungan mandiri dengan penerimaan diri diperoleh 53,3 %.

Sehingga uji statistik diperoleh nilai p=1,0 maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan tingkat ketergantungan antara penerimaan dan komitmen. Hal ini menunjukan, jika pasien terserang stroke, secara langsung dan dalam waktu serangan stroke terjadi, ia akan mengalami ketidakberfungsian bagian belahan otak tertentu sehingga akan mempengaruhi aktivitas gerak tubuh dan kehidupan sehari-hari (Taylor 1999, dalam Tirtawati & Zulkaida, 2009, hal 2).

Program rehabilitasi telah dijalani oleh penderita stroke meliputi latihan ROM dan terapi okupasi, selama tiga bulan paska serangan stroke skor barthel index meningkat dan sekitar 57%

penderita stroke telah berada pada kategori tidak ketergantungan atau mandiri dalam pemenuhan aktifitas kehidupan sehari-hari (Mandic &Rancic, 2011). Penelitian lain menyebutkan kemampuan aktifitas kehidupan sehari- hari ketika pasien ditemui saat kontrol di poliklinik atau dilakukan kunjungan rumah, setelah 6 bulan paska serangan stroke pada pasien dengan lesi di hemisfer kiri berdasarkan barthel index sekitar 53,9% telah mampu mandiri dalam pemenuhan aktifitas kehidupan sehari- hari.

Simpulan

Diketahui karakteristik responden stroke dengan keterbatasan gerak akibat stroke terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan status perkawinan. Karakteristik usia responden termuda adalah 23 tahun dan usia tertua 91 tahun.

Dari hasil analisa menunjukan bahwa usia pasien yang mengalami keterbatasan gerak akibat stroke yang menerima dengan tidak menerima kondisi sakitnya mempunyai selisih 6,1 tahun, sehigga dari hasil analisis Independen T- Test menunjukan terdapat perbedaan yang signifikan rerata usia pasien dengan keterbatasan gerak akibat stroke.

Karakteristik jenis kelamin pada penelitian ini lebih didominasi oleh perempuan, dengan pendidikan terbanyak adalah pendidikan menengah (SMA).

Karakteristik pekerjaan mayoritas responden masih bekerja/pernah bekerja dan untuk perkawinan pada penelitian ini mayoritas menikah.

Pasien yang mengalami keterbatasan gerak akibat stroke menunjukan sebagian besar mengalami ketergantungan. Hasil uji statistik dari penelitian didapat bahwa tidak ada hubungan antara penerimaan diri terhadap keterbatasan gerak akibat stroke.

Pasien yang mengalami tingkat kecemasan dengan penerimaan diri dengan nilai terbesar dalam rentang tingkat kecemasan ringan yang menerima terhadap keterbatasan gerak akibat stroke.

Pasien dengan tingkat kecemasan sangat berat memperoleh nilai terendah yang menerima keterbatasan gerak akibat stroke. Hasil uji stratistik didapatkan bahwa ada hubungan antara tingkat kecemasan terhadap penerimaan diri pasien keterbatasan gerak akibat stroke.

Daftar Pustaka

[1] American Health Association.

(2010). Health disease & stroke statistic – 2010 update Dallas, Texas : American Heart Association.

[2] Black, J.M., & Hawks, J.H. (2009).

Medical nursing clinical management for positive outcomes

(11)

8th edition. St. Lovis, Missouri : Sunders Elsevier.

[3] Cass, H. (2008). Tryptopure enhaces mood, retaxation and sleep. Total Health, 30 (1), 38 – 40.

[4] Caple, C., & Cabrera, G. (2010).

Stroke; Prevention with antihypertensive medications.

Glendale, California: Cinahl Information Systems.

[5] Dillon, P.M. (2007). Nursing health assessment: A critical thinking, case studies approach. Philadelphia: F. A.

Davis Company

[6] Ellis, C.S., & Horn, S. (2000).

Change in identity and self-concept : A new teoretical approach to recovery following stroke. Clinical Rehabilitation, 14, 279-287

[7] Falvo, D. (2005). Medical and psychosocial aspects of chronic illness and disabily. Third edition.

Massachusetts; Jonesand Bartlett Publishers, Inc

[8] Gemari. (2007). Tahun 2020, penderita stroke meningkat 2 kali,

Desember 6,

2016,http://www.gemari.or.id/../gem ari7940.pdf

[9] Gill, T. M., Guo, Z., & Allore, H. G.

(2006). The epidemiology of bathing disability in older person. Journal American Geriatrics Society, 54.

1524-1530

[10] Ginsberg, L (2007). Leacture notes:

Neurologi. Edisi 8 (Terj. Dari Lecture Notes: Neurology, eighth edition, Wardhani, I. R.). Jakarta : Penerbit Erlangga

[11] Green, T.L., & King, K.M (2007).

The trajectory of minor stroke recovery for men and their female of advanced nursing, 58(6), 517 – 531 [12] Ginsgerg, L., (2007). Lecture notes

:Neurologi. Edisi 8 (terj. Dari Lecture Notes : Neurology, eight edition, Wardhani, I. R.). Jakarta : Penerbit Erlangga

[13] Hann, K. E. J., & McCracken, L. M.

(2014). A systematic review of randomized controlled trials of Acceptance and Commitment Therapy for adults with chronic pain:

Outcome domains, design quality, and efficacy. Journal of Contextual Behavioral Science, 3(4), 217–

227.http://doi.org/10.1016/j.jcbs.201 4.10.001

[14] Hastono, S.P (2007). Analisis kesehatan. Depok : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan [15] Hickey, J.V. (2003). The clinical

practice of neurological and neurosurgical nursing. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins [16] Hilton, P. A. (2004). Fundamental

nursing Skills. London and Philadelphia: Whurr Publishers [17] Ignatavicius, D. D., & Workman,

M.L. (2006). Medical-Surgical Nursing critical thinking for collaborative care. Philadelphia:

Saunders Elseviers

[18] Kellicker. P.G., & Buckley, L. L.

(2010). Stroke Complications: Deep venous thombosis. Glendale, California: Cinahl Information System

[19] Masyithah (2012) Hubungan antara Dukungan Sosial dari Keluarga dan Motivasi Bertahan Hidup pada Penyandang Cacat. Skripsi (tidak diterbitkan) Surabaya :Fakultas Psikologi Airlangga

[20] Pinto, S., & Caple, C. (2010). Stroke : Risk and protective factor glendale, california:cinahl information system.

[21] Pinzon, R., Asanti, L., Sugianto., &

Widyo, K. (2010) Awas stokr, pengertian, gejala, tindakan perawatan, dan pencegahan.

Yogyakarta : Andi.

[22] Polit, D.F & Beck, C.T (2012).

Nursing Research Generating and Assesing Evidance for Nursing Practia Woters Kluwer Health.

Lippinott william & Wilkins.

[23] Prince, S. A., & Wilson. L. M.

(2005). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6.

(Terj. Dari Pathophysiology Clinical Consepts of Disease Processes, Brahm U. Pendit...et.al). Jakarta:

EGC

(12)

[24] Rekam Medis RSUD Koja. (2016).

Data rekam medis RSUD Koja Jakarta Utara tahun 2015 – 2016.

[25] Richman, S., & Grose, S. (2010).

Stroke and choleterol. Glendale, California: Cinahl Information Systems.

[26] Roding, J., Glader, E. L., Malm, J., Eriksson, M., & Lindstrom, B.

(2009). Preceived impaired physical and cognitive fuction afterstroke in man and women between 18 and 55 years of age – a national survey.

Disability and Rehabilitation, 31 (13), 1092-1099.

[27] Sastroasmoro, S. Ismael,S. (2011).

Dasar-dasar metodelogi penelitian klinis, Jakarta : Sagung seto

[28] Saxena, S. K., Ng, T. P., Yong, D., Fong, N. P., & Koh, G. (2006).

Functional outcomes in inpatien rehabilitative care of stroke patients:

Predictive factors and the effect of therapy intensity. Quality in Primary Care, 14, 145-153.

[29] Schub, E, & Caple, C. (2010). Stroke complications postroke depression.

Glendale, California : Cinahl Information Systems.

[30] Seimun, Y. (2006). Kesehatan mental I : Pandangan umum mengenai penyesuaian diri dan kesehatan mental serta teori yang terkait, Kanisius : Yogyakarta

[31] Silbernagl, S., & Lang, F. (2000).

Color atlas of pathophysiologhy.

Stuttgart, New York: Georg Theime Verlag

[32] Stuart, G. W., & Laraia, M. T .(2005). Principles and practice of psychiatric nursing (8th ed) St. Lovis : Mosby

[33] Stuuart, G. W., & Sundeen, S.J.

(2005). Buku saku keperawatan jiwa (4th ed). Jakarta

[34] Supratiningsih, Lamsudin, R, Was’a, M, & Sutanto. (2002). Reliabilitas modifikasi indeks barthel pada penderita stroke, (3) 2, 1 – 10.

[35] Smeltzer, S.C., & Bare, B. G. (2005).

Brunner & Suddarth’s textbook of Medical Surgigal Nursing.

Philadelphia: Lippincont

[36] Varcarolis, E. M.,& Halter, M.J (2010). Foundation of mental health nursing : A clinical approach (6th ed) missouri : Sounders Elseveir [37] Westergen, A., Ohlsson, O., &

Hallberg, I, R. (2001). Eating difficulties, complication and nursing interventions during aperiod of three months after a stroke. Journal of Advanced Nursing, 35(3), 416-426

Referensi

Dokumen terkait

Si: Pola Asuh Orang Tua Dalam Menanamkan Religiusitas Pada Anak (Studi Kasus di RT 03 RW 05 Desa Juwet Kecamatan Ngronggot Nganjuk), Pendidikan Agama Islam, Tarbiyah,

tingkat kelelahan mata pada pekerja bulu mata palsu di Desa Pengadegan. Kecamatan Pengadegan

Hal ini menjadi pemicu bagi penulis, Faris Ash Shiddieqy, mahasiswa Universitas Bina Nusantara untuk menciptakan suatu usaha yang bergerak di bidang produksi, penjualan,

Teman-teman yang terkasih mulai kemarin kita telah berproses bersama, mulai dengan menyaksikan siapa itu Toni Malendes, yang menjadi insfirasi bagi kita untuk mempu

Hasil tersebut didapat bahwa nilai signifikan lebih kecil dari 0.05 dengan arah koefisien positif, dengan demikian diperoleh bahwa hipotesis yang menyatakan bahwa

Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Lambert dan

Dari hasil pengujian pada beberapa sampel karbohidrat didapati bahwa Uji Barfoed pada amilum dan laktosa memberikan hasil (-) yang berarti tidak mengandung gula monosakarida

Selanjutnya peneliti merancang RPP yang mengacu pada format dari Permendikbud 103 dimana di dalam RPP tersebut digunakan model Discovery Learning yang terdiri dari (