• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Santrock (2011) mengungkapkan remaja yang tergolong remaja akhir adalah masa memasuki dunia perkuliahan. Pada rentang usia ini mulai mengalami transisi yang melibatkan teman sebaya yang beragam, sehingga perubahan tersebut akan mempengaruhi perilaku, sikap dan prespektif setiap individu. Mahasiswa menempuh pendidikan yang paling tinggi sehingga adanya kewajiban untuk memiliki moral yang baik sebagai panutan untuk pelajar lainnya. Tingkat intelektual mahasiswa akan disejajarkan dengan tingkat moralitas dalam kehidupannya. Martin, Papworth, Ginns, dan Liem (2014) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara siswa yang bersekolah di asrama dan non-asrama.

Kehidupan di asrama melibatkan sistem regulasi yang kompleks serta adanya jadwal kegiatan dan rutinitas harian yang ketat. Aktivitas ataupun kegiatan yang dilakukan di asrama sudah terjadwal dan diatur setiap harinya.

Menurut Keliat (1999), Lazarus dan Folkman (1985) berbagai macam tuntutan agar mampu beradaptasi pada perubahan serta adanya perubahan peran dan tanggung jawab dapat menjadi stressor bagi mahasiswa yang bertempat tinggal di asrama, memerlukan penyesuaian pada masing-masing individu. Menurut Folkman, Lazarus, Gruen, dan DeLongis (1986) coping seseorang dalam mengangani permasalahan berpengaruh dengan kesehatan maupun kesejahteraan psikologis setiap individu. Seseorang yang sering dihadapkan oleh situasi yang menekan,

(2)

2

berbagai stressor yang membebanipun memiliki pengaruh dari coping yang akan dilakukan.

Penelitian Rusdi dan Subandi (2020) menunjukkan beberapa permasalahan di asrama beberapa santri ataupun guru keluar dari asrama sebelum waktunya dikarenakan banyaknya aturan, konflik, permasalahan dengan teman sebaya, permasalahan mengahadapi hukuman dan kegiatan yang ketat sehingga memberikan tekanan pada santri, selain itu memberikan dampak bagi para santri tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik, memiliki hambatan dalam menghadapi perubahan lingkungan dan tuntutan di asrama. Beberapa santri tidak mampu mengatasi tantangan maupun permasalahan yang ada di asrama.

Folkman, Lazarus, Gruen dan DeLongis (1986) mengemukakan bahwa coping merupakan upaya kognitif dan perilaku setiap individu untuk mengelola, mengurangi dan mengatasi ancaman internal dan eksternal dari hubungannya dengan lingkungan. Terdapat dua aspek strategi coping menurut Lazarus dan Folkman (1987) Pertama, coping yang berfokus pada masalah (Problem Focused Coping), merupakan interaksi antara seseorang dengan lingkungan yang bermasalah, meliputi konfrontasi, merencanakan pemecahan masalah. Kedua coping yang berfokus pada emosi (Emotion Focused Coping), mengatur tekanan pada emosional dan mengatasi kognitif, meliputi control diri, membuat jarak, penilaian kembali secara positif, menerima bertanggungjawab, penghindaran, mencari dukungan sosial. Keduanya berfungsi sebagai sumber dari pemikiran dan tindakan yang dilakukan seseorang ketika menghadapi permasalahan.

(3)

3

Carver, Schaler dan Weintraub (1989) mengklasifikasikan dua jenis strategi coping untuk menilai efektivitasnya berdasarkan periode waktu, yaitu strategi coping adaptif dan strategi coping maladaptif. Strategi coping adaptif adalah strategi koping yang meningkatkan adaptional outcome pada jangka panjang, sedangkan strategi coping maladaptif adalah strategi coping yang pada jangka pendek. Menurut Rusdi dan Subandi (2020) santri yang menggunakan strategi coping adaptif saat dihadapkan pada situasi menekan dapat mengetahui kapan ia harus meminta bantuan kepada orang lain serta dapat memilih coping yang sesuai dengan permasalahan yang terjadi. Selain itu strategi coping pada remaja bersifat dinamis dan kian berubah dikarenakan berkaitan dengan masa transisi dari kanak menuju dewasa. Santrock (1999) dewasa awal termasuk masa transisi baik secara fisik, intelektual serta peran sosial.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rachmah dan Rahmawato (2019) ditemukan tingkat penggunaan coping adaptif pada remaja lebih unggul sedikit daripada penggunaan coping maladaptif. Tetapi banyak perubahan yang terjadi akibat intensitas penggunaan coping yang dinamis dan selalu berubah pada remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Kamalie dalam Rusdi dan Subandi (2020) menghasilkan sumbangan efektif dari strategi coping dan dukungan sosial memiliki nilai yang rendah sebesar 7,9 % dikarenakan lebih banyaknya pengaruh oleh variabel lainnya yang mempengaruhi seperti motivasi, jenis kelamin, sikap, pencapaian dan juga kepribadian masing-masing individu. Dalam penelitiannya beberapa santri dan alumni memutuskan keluar dari asrama sebelum lulus dikarenakan salah satunya tidak mampu mengatasi tantangan maupun

(4)

4

permasalahan yang ada di asrama serta aturan dan kegiatan yang ketat memberikan tekanan pada santri.

Penelitian yang dilakukan oleh Lestari, Suidah, Chasanah dan Nur (2018) kepada mahasiswa didapatkan hasil sebagian dari mahasiswa memiliki 55.2 % strategi mekanisme coping yang maladaptif. Dan 44.8 % memiliki strategi mekanisme coping yang adaptif. Strategi coping yang adaptif cenderung rendah dikarenakan para mahasiswa banyak yang menggunakan strategi mekanisme coping yang maladaptif ketika menyelesaikan permasalahan. Menurut Mu’tadin dalam Indra (2012), adanya strategi mekanisme coping yang maladaptif dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain adalah dukungan sosial, seperti dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri mahasiswa dapat mempengaruhi strategi mekanisme coping, karena dengan terpenuhinya kebutuhan informasi seperti tentang cara penggunaan strategi mekanisme coping yang baik, mahasiswa akan menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan untuk menyelesaikan masalah.

Goodness of Fit Hypothesis (Conway & Terry, 1992) mengatakan bahwa pada situasi yang bisa dihadapi, diubah, atau dikendalikan, Problem Focused Coping (PFC) akan berfungsi secara adaptif, dan Emotion Focused Coping (EFC) akan berfungsi secara maladaptif. Begitu pula sebaliknya dimana pada situasi yang tidak bisa dihadapi, diubah, atau dikendalikan Emotion Focused Coping (EFC) akan berfungsi secara adaptif, dan Problem Focused Coping (PFC) akan berfungsi secara maladaptif. Namun pada penelitian yang dilakukan oleh Vitaliano (dalam Conway & Terry, 1992) mengatakan dirinya tidak menemukan bahwa Problem

(5)

5

Focused Coping (PFC) akan selalu berfungsi secara maladaptif pada situasi yang tidak dapat dikendalikan, begitupula Emotion Focused Coping (EFC) akan berfungsi secara adaptif pada situasi yang tidak dapat dikendalikan.

Pada tanggal 10 Maret 2022, peneliti mewawancarai lima mahasiswa secara online melalui panggilan Whatsapps dan lima mahasiswa lainnya secara langsung wawancara di lokasi. Dalam wawancara tersebut, peneliti mencoba menggali informasi sederhana terkait gambaran strategi coping pada mahasiswa yang tinggal di asrama. Terdapat dua aspek strategi coping yang digunakan sebagai acuan wawancara yaitu coping yang berfokus pada masalah dan coping yang berfokus pada emosi, Lazarus dan Folkman (1987). Coping yang berfokus pada masalah lebih cenderung menyelesaikan dan menghadapi permasalahan terlebih dahulu, berbeda dengan coping yang berfokus pada emosi yang melakukan penghindaran sejenak untuk menenangkan diri terlebih dahulu baru menyelesaikan masalahnya.

Beberapa mahasiswa ketika dihadapkan oleh permasalahan dengan teman sebaya dan juga kakak tingkatnya lebih memilih untuk tidak pulang ke asrama kemudian menyendiri tanpa mempedulikan permasalahannya. Fenomena ini sesuai dengan strategi coping yang berfokus pada emosi yaitu melakukan kontrol diri dan penghindaran namun belum sesuai dikarenakan tindakan yang dilakukan bukan sementara waktu melainkan tidak menggubris sama sekali masalah yang dimiliki.

Sedangkan beberapa mahasiswa lainnya yang bertempat tinggal di asrama daerah lebih memilih untuk berdebat yang berujung pertikaian dan perbedaan pendapat, hingga berakhir pertengkaran. Hal ini sesuai dengan coping yang berfokus pada

(6)

6

masalah, melakukan pemecahan masalah dan mencari jalan keluarnya dengan diskusi bersama-sama, tetapi belum dilakukan dengan tepat hingga berujung perselisihan antar mahasiswa.

Hasil wawancara pada sepuluh mahasiswa rata-rata memiliki jawaban yang sama, beberapa mengungkapkan banyaknya aturan yang berlaku di asrama seringkali membuat jenuh dan stress. Sehingga jika stress itu muncul tidak dapat teratasi dengan baik, seringkali menghindar dan menyendiri. Selain itu beberapa diantara lainnya juga mengungkapkan kesadaran terhadap lingkungan sangatlah minim, seperti banyak sudut kamar yang dibiarkan berantakan dikarenakan masing- masing merasa bahwa bukan miliknya. Konflik antar teman cukup menganggu kuliah dan aktivitas keseharian di asrama, sering kali menyimpan dendam dikarenakan masalah yang belum terselesaikan dengan baik. Pembagian waktu, tugas dan aktivitas antara kegiatan di asrama dan di perkuliahan tidak teratasi dengan baik, hingga berakibat banyaknya tugas dan tanggungjawab yang terbengkalai. Padahal kewajiban sebagai mahasiswa adalah mengerjakan tugas dan menyelesaikannya sampai akhir masa perkuliahan.

Siwi, Luthfi, dan Pradana (2011) mengatakan mahasiswa yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah tidak memiliki kemampuan yang fokus pada sisi emosinya. Fenomena yang terjadi mahasiswa yang tidak mempunyai kemampuan mengelola emosi diri yaitu kemampuan dalam menangani perasaan agar perasaan terungkap dengan baik. Kurang memiliki kemampuan menangani perasaan meliputi kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, ketersinggungan, dan akibat- akibat yang timbul karena gagalnya

(7)

7

ketrampilan emosi. Sedangkan seharusnya mahasiswa yang mempunyai kecerdasaan emosional yang tinggi mempunyai kemampuan untuk mengenal emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenal emosi orang lain, membina hubungan dengan orang lain, dengan kemampuan yang dimiliki tersebut, maka mahasiswa yang mempunyai kecerdasan emosional dapat berprilaku secara positif didalam lingkungan masyarakat.

Mahasiswa yang tinggal di asrama seringkali merasakan tekanan seperti dendam, sering menangis, lelah, dan berbagai permasalahan psikologis lainnya, dikarenakan salah satunya kurang mampu mengatasi tantangan maupun permasalahan yang ada di asrama dan juga aturan dan kegiatan yang ketat sehingga memberikan tekanan pada mahasiswa. Selain itu banyaknya tugas dan tanggungjawab di perkuliahan seringkali mengakibatkan mahasiswa tidak dapat membagi waktu dengan baik, dan tidak menyelesaikan tugas dikarenkan harus membagi kesibukan antara di perkuliahan dan di asrama. Emosi yang ingin disalurkan oleh mahasiswa menjadi terhambat dikarekan ketakutan akan mengakibatkan keributan dan permusuhan sesama teman sebaya ataupun dengan atasannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan mahasiswa memiliki kecenderungan strategi coping yang rendah. Strategi coping yang rendah akan berdampak pada kemampuan mahasiswa dalam menghadapi berbagai tekanan dan mengatasi permasalahan.

Strategi coping yang positif seharusnya dapat memberikan manfaat bagi seseorang agar mampu melanjutkan kehidupan walaupun memiliki masalah, yaitu untuk mempertahankan keseimbangan emosi, mempertahankan citra diri yang

(8)

8

positif, mengurangi tekanan lingkungan atau menyesuaikan diri terhadap hal negatif. Secara psikologis coping memberikan efek pada kekuatan, reaksi emosi, tingkat depresi atau kecemasan (Hasan & Rufaidah, 2013). Menurut Lazarus dan Folkman, (1984) strategi coping juga akan berhasil dengan pembiasaan, pembelajaran dan adaptasi. Pembiasaan yang sudah biasa dilakukan akan menjadi rutinitas secara otomatis yang akan dilakukan.

Strategi coping memiliki dampak pada kesejahteraan psikologis remaja dan anak-anak dan sebuah jaminan dalam gaya hidup yang sehat dan kualitas hidup yang baik setiap individu, Rodriguez (dalam Rusdi & Subandi, 2020). Menurut Lazarus dan Folkman, (1984) banyak ahli sebelumnya mengaggap bahwa defisit motivasi, depresi dan defisit emosional dikarenakan kurangnya kontrol terhadap lingkungan. Rusdi dan Subandi (2020) mengemukakan proses coping seseorang yang berfokus pada emosi merupakan akomodasi dan peran utama untuk mengatasi hal tersebut. Strategi coping yang digunakan saat usia anak-anak dan remaja memiliki dampak pada perkembangan kesejahteraan psikologis pada usianya.

Ferrari dan Morales (2007) mengungkapkan bahwa banyak mahasiswa yang cenderung menunda tugas akademiknya dengan akibat banyak waktu terbuang tanpa menghasilkan suatu hal berguna. Penundaan dalam mengerjakan tugas tersebut merupakan bentuk strategi menghadapi masalah berdasarkan emosi (Pour, Mohaddes, Pour, & Talebi, 2016). Individu yang melakukan penundaan untuk mengerjakan tugas akademik dapat menurunkan tingkat stres dengan cepat, akan tetapi hal tersebut tidak bertahan lama dan kembali kepada masalah yang sebenarnya (Palmer & Puri, 2006). Seorang mahasiswa harus mampu menghadapi

(9)

9

beban studinya dengan baik. Kemampuan ini akan membantu mahasiswa untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah secara aktif, bukan hanya berorientasi pada emosi ketika menghadapi berbagai kendala dalam tuntutan studi dan lingkungannya

Menurut Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan bahwa keadaan stress yang dialami seseorang dapat menimbulkan efek yang tidak menguntungkan baik secara fisiologis maupun psikologis. Menurut Lazarus dan Folkman (1988) apabila strategi coping yang digunakan tidak efektif maka akan mengakibatkan seseorang dipaksa untuk beralih menggunakan strategi coping yang berbeda, seperti coping yang kontradiktif. Beberapa alternatif lainnya dalam menggunakan strategi coping dapat melalui metode penghindaran, mencari dukungan sosial atau menggunakan konfrontasi dengan mencegah atau memperbaiki permasalahan.

Terkadang individu menggunakan dua strategi coping (problem focused coping dan emotion focused coping) secara bersamaan, namun tidak semua strategi coping pasti digunakan oleh individu (Taylor, 1991). Penelitian yang dilakukan Usraleli, Melly dan Roza (2020) mengemukakan strategi coping merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat stress seseorang termasuk pada mahasiswa, bagaimana mahasiswa mampu menangani dan beradaptasi terhadap stress yang dirasakan.

Goodness of Fit Hypothesis (Conway & Terry, 1992) mengatakan bahwa pada situasi yang bisa dihadapi, diubah, atau dikendalikan, Problem Focused Coping (PFC) akan berfungsi secara adaptif, dan Emotion Focused Coping (EFC) akan berfungsi secara maladaptif. Begitu pula sebaliknya dimana pada situasi yang

(10)

10

tidak bisa dihadapi, diubah, atau dikendalikan Emotion Focused Coping (EFC) akan berfungsi secara adaptif, dan Problem Focused Coping (PFC) akan berfungsi secara maladaptif. Namun pada penelitian yang dilakukan oleh Vitaliano (dalam Conway & Terry, 1992) mengatakan dirinya tidak menemukan bahwa Problem Focused Coping (PFC) akan selalu berfungsi secara maladaptif pada situasi yang tidak dapat dikendalikan, begitupula Emotion Focused Coping (EFC) akan berfungsi secara adaptif pada situasi yang tidak dapat dikendalikan.

Masing-masing individu berusaha menyelesaikan permasalahan yang dialaminya, untuk itu dalam mengatasinya setiap individu melakukan strategi coping, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti latar belakang budaya, pengalaman dalam menghadapi masalah, faktor lingkungan, kepribadian, konsep diri, faktor sosial dan lainlain yang berpengaruh pada kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah. Dalam kehidupan asrama dan dalam dunia perkuliahan dengan berbagai macam latar belakang kondisi dan karakter setiap individu pasti sangat berperan dalam memunculkan berbagai emosi. Emosi dalah salah satu aspek psikis yang sangat penting yang mempengaruhi aspek lainnya. Bila emosi dapat terkontrol dengan baik apalagi dalam penyelesaian masalah, maka akan memberikan pengaruh baik pula bagi hasil yang dicapai.

Faktor yang mempengaruhi strategi coping menurut Lazarus dan Folkman (1984) kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial. Taylor (2006) terdapat dua faktor dalam strategi coping, internal dan eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu, seperti kepribadian,

(11)

11

perkembangan, karakteristik psikologis yang dimiliki seseorang termasuk didalamnya kecerdasan emosional. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri individu, seperti waktu, uang, lingkungan, pendidikan, kualitas hidup, dukungan dan sosial.

Lazarus dan Folkman (1988) terdapat hubungan antara strategi coping dan juga emosi setiap individu, yang mana akan selalu berubah intensitasnya dikarenakan usia, kepribadian, perkembangan masing-masing yang berbeda. Pada perkembangan berkaitan dengan kecerdasan ataupun kemampuan setiap individu dalam mengelola emosi tersebut. Taylor (2006) mengemukakan dua faktor strategi coping, internal dan eksternal. Dalam faktor internal meliputi kepribadian, perkembangan, karakteristik psikologis termasuk didalamnya kecerdasan emosional. Selain itu coping seseorang sebagai mediator respon emosional yang muncul pada setiap individu yang berada pada kondisi tertekan, ancaman, ataupun permasalahan. Diketahui jika seseorang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, intensitas penggunaan problem-focused coping dalam penyelesaian masalahnya juga semakin tinggi.

Pada hasil penelitian Situmorang dan Desiningrum (2018) kecerdasan emosional para mahasiswa terhadap coping yang digunakan hanya mendapatkan hasil 45% sedangkan 55% lainnya merupakan faktor penunjang lainnya. Menurut Goleman (2015) Kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi, menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial. Menurut Goleman (2015) aspek kecerdasan

(12)

12

emosional ada lima, yaitu : Pertama, mengenali emosi sendiri, kemampuan seseorang mengenali perasaan ketika perasaan itu terjadi. Kedua, mengelola emosi, kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat.

Ketiga, memotivasi diri sendiri, kendali diri emosional menahan diri terhadap kepuasan dan pengendalian diri. Keempat, mengenali emosi orang lain, empati.

Kelima, membina hubungan.

Daniel Goleman (2002) mengatakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Individu yang cerdas secara emosi bukan hanya memiliki emosi atau perasaanperasaan saja, namun juga memahami apa artinya. Mampu melihat diri sendiri, seperti oranglain melihat diri kita.

Memahami orang lain seolah-olah apa yang dirasakan orang itu juga kita rasakan.

Dengan demikian orang yang cerdas secara emosional adalah orang yang memahami kondisi dirinya dengan baik dan dapat mengambil tindakan yangtepat.

Individu tersebut mampu mengenali dan dapat bersikap sesuai dengan kebutuhan.

Emosional memiliki kata dasar yakni emosi, emosi merupakan suatu ungkapan dari perasaan yang sesungguhnya ia rasakan yang ditunjukkan kepada seseorang maupun sesuatu hal yang membuat dia emosi. Sedangkan emosional lebih mengarah pada karakteristik serta ekpresi dari sebuah emosi.

Seseorang yang mampu mengenali emosinya sehingga tidak mudah larut dalam emosi yang dirasakannya sehingga dapat memikirkan berbagai cara strategi koping untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang berlangsung (Saptoto, 2010). Hasil penelitian Apriliana (dalam Fardhani dan Kristiana, 2017)

(13)

13

menunjukkan bahwa kecerdasan emosional yang baik memiliki pengaruh positif bagi individu untuk menemukan coping strategi yang tepat. Kecerdasan emosional yang baik membuat individu mampu memberi tanggapan yang sesuai terhadap stressor yang dihadapi dan bukan bertindak untuk menghindari stressor.

Kecerdasan emosional seseorang memiliki pengaruh dalam penyelesaian masalah dan penyesuaian diri setiap individu dalam menghadapi stress dengan cara yang adaptif (Kulkarni dan Begum, 2016). Kecerdasan emosional terdiri dari kompetensi emosional, keterampilan dalam memahami diri, mengekspresikan diri, memahami orang lain dalam mengatasi tuntutan dan tekanan sehari-hari, Bar-On (dalam Furnham, 2012). Menurut Goleman (2011) 20% kesuksesan ditentukan oleh IQ, tetapi 80% kesuksesan ditentukan oleh faktor EQ. Goleman menyampaikan bahwa dua jenis pikiran manusia, yakni yang rasional dan emosional, bekerja sama membentuk masa depan dan kesuksesan kita. Selain itu pendapat Bar-On (2006) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan, kompetensi emosional dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memahami diri sendiri dan orang lain serta berhasil dalam mengatasi tuntutan, tantangan dan tekanan sehari-hari.

Seseorang dengan kecerdasan emosional tinggi lebih baik dalam mengkomunikasikan ide, niat dan tujuannya. Selain itu mahir dalam berbicara, tegas dan sensitif. Kecerdasan emosional bukan didasarkan pada kepintaran seseorang melainkan pada suatu yang dahulu disebut “karakter” atau “karakteristik pribadi”. Safari (2019) emosi adalah salah satu aspek psikis yang sangat penting yang mempengaruhi aspek lainnya. Bila emosi dapat terkontrol dengan baik apalagi

(14)

14

dalam penyelesaian masalah, maka akan memberikan pengaruh baik pula bagi hasil yang dicapai. Untuk itu emosi, stress, dan coping penangannya saling berkaitan satu sama lain. Berdasarkan uraian di latar belakang masalah di atas, peneliti mengajukan rumusan permasalahan : Apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosional seseorang dengan strategi coping pada mahasiswa yang tinggal di asrama ?

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan mendeskripsikan hubungan antara kecerdasan emosional dengan strategi coping pada mahasiswa yang tinggal di asrama. Serta mengetahui dampak permasalahan apabila strategi coping yang dilakukan tidak sesuai, dan taraf kecerdasan emosional seseorang apakah berpengaruh dengan strategi coping yang dilakukan. Rumusan tujuan menggambarkan hasil akhir secara spesifik yang ingin dicapai dari penelitian yang dilakukan. Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak, baik secara teoritis maupun praktis.

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis

Manfaat secara teoritis adalah penelitian ini diharapkan mampu memberikan konstribusi bagi penelitian yang berkaitan dengan kecerdasan emosional seseorang dan bagaimana strategi coping yang dilakukan. Serta

(15)

15

dapat memberikan informasi dan masukan kedepannya yang dapat memperjelas konsep maupun teori di bidang psikologi.

b. Manfaat praktis

Manfaat secara praktis adalah memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai istilah kecerdasan, coping permasalahan dan penanggulangannya. Memberikan pengetahuan serta pandangan baru bagi mahasiswa yang tinggal di asrama mengenai bagaimana cara mengatasi emosi dengan baik dalam menghadapi permasalahan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada mahasiswa mengenai gambaran strategi coping dan taraf kecerdasan emosional seseorang yang berbeda-beda. Bagi penelitian selanjutnya dapat bermanfaat sebagai referensi untuk mengadakan penelitian yang sejenis atau mengembangkan lagi penelitian ini, kemudian dapat menambah wacana yang sudah ada sebelumnya. Bagi peneliti sendiri bermanfaat sebagai penerapan strategi coping yang baik dalam menanggulangi dan menyelesaikan permasalahan dikesehariannya. Serta kemampuan yang dimiliki dalam taraf kecerdasan emosional dapat berpengaruh dengan coping yang akan dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, mata kuliah ini akan mengisi kekurangan tersebut dengan membahas: karya para teoritik klasik: Emile Durkheim, Max Weber, Karl Marx, Fredrich Engels, Sigmund

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data hasil pengujian produk akhir selama bulan Maret sampai April 2004 meliputi pengujian panjang, tebal dan

Nur (2012) mengatakan bahwa pola asuh orang tua memiliki pengaruh dalam pembentukan kepribadian anak, kebutuhan yang diberikan melalui pola asuh akan memberikan

Image (Klasik) yang berkembang bahwa teks al Qur`an berbahasa Arab sehingga wajar jika masyarakat non Arab khususnya Indonesia sulit mempelajari al Qur`an. Ironisnya

Dengan demikian, alternatif pemecahan masalah yang digunakan yaitu memberikan penyuluhan atau sosialisasi tentang urgensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) kepada

Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah keluarga harus ada yang menjadi pimpinan, sejak awal kepemimpinan keluarga itu telah di amanahkan kepada

memberikan pemahaman kepadakan siswa untuk lebih bertanggung jawab dengan apa yang di berikan oleh guru, sebelum mereka saling memberi siswa harus menghafal terlebih dahulu

Puji syukur pada Allah SWT, atas limpahan rahmat dan nikmat yang penulis dapatkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Suplementasi