• Tidak ada hasil yang ditemukan

telaah bahasa sebagai bahasa pengantar d

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "telaah bahasa sebagai bahasa pengantar d"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegiatan belajar mengajar di kelas adalah suatu bagian dari proses interaksi natar individu atau kelompok manusia yang mana di dalamnya membutuhkan bahasa sebagai media. Manusia lahir dan tumbuh dalam buaian serta pelukan bahasa. Berbahasa ibarat menghirup udara. Setiap saat dikonsumsi tanpa mempertanyakan darimana asal-usulnya. Manusia baru mulai resah tatkala merasakan udara yang ada polusinya sehingga membuat sesak. Begitu pula bahasa, ketika kita memamasuki komunitas asing yang tidak dapat dipahami. Ketika kata-kata dan informasi tidak lagi dapat dimengerti, saat itulah manusia mulai kritis untuk mempertanyakan bahasa dan fungsinya.1 Muncul pertanyaan tentang bahasa, apakah itu bahasa? Apa hakekat bahasa itu? Darimana bahasa berasal? Dimana eksistensi bahasa? Lalu apa yang menjadi kebernilaian dari bahasa tersebut dalam kegiatan belajar mengajar?

Manusia tidak dapat terlepas dari bahasa, ada ungkapan “tanpa bahasa,

manusia tak berbeda dengan anjing atau monyet.”2

The great thinkers who have defined man as an animal rationale,” writes Ernst Cassirer, “were not empiricists, nor did they ever intend to give an empirical account of human nature. By this definition they were expressing rather a fundamental moral imperative. Reason is a very inadequate term with which to comprehend the forms of man’s cultural life in all their richness and variety. But all these forms are symbolic forms. Hence, instead of defining man as an animal rationale, we should define him as animal symbolicum” (Cassirer 1974, 25-26).

Ernst Cassirer menunjukkan manusia sebagai animal symbolicum yang mana menggunakan simbol. Dari ungkapan tersebut tersirat bahwasannya ketergantungan manusia kepada bahasa meskipun sebatas simbol. Tanpa

1 Muhammad Khoyin, Filsafat Bahasa, Bandung: Pustaka Setia, 2013, hlm. 23. 2 Jujun S. Suria sumantri, Filsa fat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer , Jakarta: Penebar

(2)

mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berfikir secara sistematis dan teratur tidak mungkin dapat dilakukan. Tanpa bahasa manusia tidak akan dapat berfikir secara rumit dan abstrak seperti apa yang kita lakukan dalam berfikir ilmiah. Setiap saat manusia membutuhkan bahasa. Urgensi bahasa juga tidak hanya dirasakan oleh manusia. Tuhan pun menggunakan bahasa yang untuk menerjemahkan wahyu-wahyunya. Tidak dapat dihindari oleh siapa pun adalah suatu kenyataan bahwa perintah-perintah Tuhan (devine instructions) selalu bertumpu pada teks, sedangkan teks itu sendiri sepenuhnya bersandar pada alat

perantara “bahasa.3” Dengan demikian Tuhan dan malaikat

-Nya pun berbahasa dalam proses edukasinya.

Bahasa yang terdapat di suatu pendidikan / kegatan belajar mengajar, memungkinkan manusia mengembangkan budaya, karena dengan bahasa ada kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi yang satu ke generasi yang lain (tidak hanya transfer of knowledge).4 Sehingga dengan bahasa manusia memungkinan untuk melakukan aktivitas transfer of values. Hasilnya adalah manusia memungkinkan meneruskan trend sehingga eksistensinya tetap

terjaga. Lebih dari itu manusia bisa mengembangkan values tersebut sehingga ada perkambangan kedepannya sehingga menjadi ilmu. Values, peradaban yang sudah disebut di atas menunjukkan bahwa dengan bahasa memungkinkan ada proses transfer nilai antar satu dengan yang lain. Kata lainnya jika dilihat secara sempit adalah terjadi suatu interaksi antara seseorang kepada orang lain. Interaksi adalah hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan antar individu, individu (seseorang) dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Tanpa adanya interkasi sosial maka tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.Apabila dilihat dengan perspetif yang lain, disitu juga dimensi yang mana terjadi dengan apa yang dinamakan pendidikan.

Jika dilihat dari segi pendidikan bahasa memiliki keistimewaan bahwa sukses dalam penguasaan segala bidang studi sangat bergantung pada bahasa lisan

3

Khaled M. Abou el Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004. Pengantar M. Amin Abdullah, hlm. xi

4 Jujun S. Suria sumantri, Filsa fat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer , Jakarta: Penebar

(3)

atau literasi, karena pembelajaran segala bidang studi menggunakan bahasa.5 Tersampainya values dengan melalui perantara bahasa dengan baik, maka ketercapaian pendidikan akan tinggi. Bahasa memikul peran penting pada bagian ini. Sehingga kehadiran bahasa dalam pendidikan sangat dirasakan yang diperlukan.

Ada anggapan bahwasannya bahasa memiliki kaitan erat dengan kognisi. Pandangan behavioristik yang menyatakan bahwa kognisi terlalu mentalistik untuk dikaji dengan metode ilmiah sangat berlawanan dengan pandangan-pandangan seperti yang dianut Piaget (1972), yang menyatakan bahwa perkembangan kognitif berada tepat di pusat organisme manusia dan bahwa bahasa bergantung kepada dan muncul dari perkembangan kognitif.6 Dari berbagai pandangan bahasa ada satu pandangan yang paling masyhur tentang relitivitas linguistik, yakni, bahwa setiap bahasa mendesakkan pada penuturnya

suatu “pandangan dunia” tertentu.7

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan ditinjau secara

ontologi?

2. Bagaimana bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan ditinjau secara epistemologi?

3. Bagaimana bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan ditinjau secara aksiologi dan penerapannya?

5 Chaedar Alwasih, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, Bandung: Rosdakarya, 2008, hlm.

16.

6 H Douglas Brown, Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa, (terj. Noor Cholis),

(4)

BAB II PEMBAHASAN

Pembahasan

1. Bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan secara ontologi

Ontologi adalah bicara tentang hakikat apa yang dikaji, bisa dari sebuah hal yang metafisika, asumsi, dan peluang.8 Salah satu kajian ontologi adalah things which are cintingent and things which are non contingent or

necessary. Dijelaskan lebih lanjut bahwasannya suatu pernyataan ada yang sedang membutuhkan ruang atau tempat, ada yang telah membutuhkan ruang, ada juga yang akan membutuhkan ruang.9 Sederhananya adalah mencari tentang sifat dasar bahasa yang akhirnya menentukan pendapat, bahkan keyakinan mengenai bahasa dan bagaimana ada sebagaimana manifestasi bahasa dicari. Penulis tertarik menggunakan pendekatan logis dalam mengkaji hakekat bahasa.

Bahasa sebagai sarana interaksi sosial. Seperti yang telah dibahas

pada bagian pendahuluan, adanya bahasa sangat dikonfirmasi. Sebagai bukti manusia sangat menggunakan bahasa. Bahasa digunakan sebagai sarana komunikasi dan ineraksi. Dari komunikasi sederhana dengan menggunakan simbol10 hingga komunikasi ilmiah, yang memerlukan struktur dan tata bahasa yang padu. Dipertegas oleh pertanyaan retoris Jujun: bagaimana mungkin seorang bisa melakukan penalaran yang cermat tanpa menguasai struktur bahasa yang tepat.11 Sehingga diasumsikan filosof terdahulu seperti Thales 585 SM, Anaximander, Anaximenes 526 SM, Demokritus 460-370 SM, filosof paling masyhur Sokrates, Plato, Aristoteles, hingga filosof

8 Jujun S. Suria sumantri, Filsa fat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer , Jakarta: Penebar

Swadaya, 2010, ,hlm. 63-81.

9 Kevin Mulligan (ed.) Language, Truth and Ontology, Belanda: kluwer Academic

Publisher, 1992, hlm. 4

10 Lihat bagian sebelumnya tentang animal symbolicum

11 Jujun S. Suria sumantri, Filsa fat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer , Jakarta: Penebar

(5)

kontemporer Locke, Hume, Berkeley, Kant, Freud12 telah menguasai bahasa dan mengafirmasi keberadaan bahasa, terlihat dari produk yang dia ciptakan. Kembali pada persoalan interaksi, interaksi disini tidak hanya diwujudkan dengan komunikasi berbentuk verbal dengan kata lain dialog saja, tetapi juga bisa monolog. Ketika seseorang berbicara sendirian, bisa saja pembicaraan itu ditujukan, secara mental, pada orang lain sebagai “pendengar”, yaitu “diri

sendiri” atau bisa jadi kepada figur yang tidak hadir secara kasat mata, seperti

Tuhan, atau seorang yang hadir secara imajinasi.13 Bahkan seperti yang diungkapkan Prof. Amin Abdullah, bahwasannya Tuhan juga menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi.14 Keberadaan bahasa sudah jelas adanya.

Bahasa juga disebut sebagai ujaran, dimana bahasa adalah apa yang keluar dari tumbuh kita yang mana ditujukan untuk menyampaikan apa yang kita fikirkan. Ujaran yang dipergunakan untuk menggambarkan atau memerikan peristiwa, proses, keadaan, dsb dan sifatnya betul atau tidak betul, dengan kata lain dalam mendeskripsikan suatu hal, membuat pernyataan akan selalu bertumpu pada bahasa. Ini menarik karena bahasa tidak saja

dimanifestasikan sebagai ucapan akan tetapi juga meliputi intuisi hati, gerak badan simbolik, sebagaimana yang dilakukan oleh teman-teman tuna rungu wicara.

Bahasa selain dilihat dari sisi sarana interaksi dan ujaran bahasa bisa pula dilihat dari dua bidang, yaitu:

a. bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat ucap yaitu getaran yang bersifat fisik yang merangsang alat pendengaran kita;

b. arti atau makna adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan adanya reaksi itu.

Dapat ditarik kesimpulan bahwasannya setiap struktur bunyi ujaran tertentu akan mempunyai arti tertentu pula.

Berbagai penjelasan tentunya sudah menjawab tentang hakekat bahasa. Bahasa itu ada, dan tidak membutuhkan ruang. Karena bahasa terkadang terdapat dalam batin/ hatin, atau bahkan bahasa yang ada dalam

(6)

Kalam Ilahi yang berada di lauhul mahfudz sebagaimana Kalam Ilahi paling otentik, sebagaimana umatnya yang menyakini.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagaimana juga diungkapkan oleh Jujun, bahawasannya bahasa sebagai serangkaian bunyi dan lambang yang membentuk makna.15 Slecara lebih lengkapnya bahasa adalah sistem sarana sistematis untuk mengkomunikasikan ide-ide perasaan dengan menggunakan tanda-tanda.

Dari definisi tersebut, bahasa memiliki tujuh ciri, sebagai berikut16: a. Sistematik: yaitu bahasa memiliki pola dan kaidah yang harus

ditaati agar dapat dipahami oleh pemakainya

b. Abritase atau mana suka: karena unsur-unsur bahasa dipilih secara acak tanpa dasar, tidak ada hubungan logis antara bunyi dan makna yang disimbolkannya. Pilihan suatu kata disebut kursi, meja, guru, murid dan lain-lain ditentukan bukan atas dasar kriteria atau standar tertentu, melainkan secara mana suka

c. Ujar atau ucapan atau vocal: bentuk dasar bahasa adalah ujaran,

karena media bahasa terpenting adalah bunyi

d. Manusiawi: karena bahasa menjadi berfungsi selama manusia yang memanfaatkannya, bukan makhluk lainnya

e. Komunikatif: karena fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat penghubung antara anggota-anggota masyarakat

Pesan intinya, hakekat bahasa itu ada sebagai media oleh manusia. Letaknya setelah penalaran, saat output, dan sebelum penalaran saat input. Bahasa hadir sebagai penyambung. Konsekuensi dari bahasa tersebut akan ada intrepetasi masing-masing dari setiap penerima bahasa itu tersendiri, yang mana nafsu, akal masing-masing (penalaran), tendensi akan mempengaruhi. Retorika bahasa yang indah dan menawan pasti akan menginisiasi penerimanya agar bersikap indah layaknya ingin mengimitasi bahasa tersebut,

15 Jujun S. Suriasumantri (ed.), ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1999, hlm. 175. Dalam Muhammad Khoyin, Filsafat Bahasa, Bandung: Pustaka Setia, 2013, hlm. 25.

16 A. Chaedar Alwasilah, Linguistik: Suatu Pengantar, Bandung: Angkasa, 1993, Hlm.

(7)

akan tetapi juga butuh waktu yang lama untuk menguasainya. Selain itu, ada bahasa yang lugas, to do poin, yang sangat mudah dipahami, akan tetapi akan menyebabkan murid (penerima bahasa) gersang akan seni.

2. Bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan secara epistemologi

Epistemologi atau Filsafat pengetahuan merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan. Apabila kita berbicara mengenai filsafat pengetahuan, yang dimaksud dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.17 Sedangkan cara terbaik untuk memperoleh ilmu adalah dengan memunculkan pertanyaan yang tepat. Dalam perkembangannya muncul istilah inkuiri (inquiry) yang berarti mencari kebenaran, pengetahuan dan informasi.18 Pada bagian ini penulis akan mencoba melakukan aktifitas mencari dan mempertanyakan bahasa sebagaimana yang telah terkonsep pada motode epistemologi. Selanjutkan mengkaji bagaimana bahasa tersebut ditemukan dan dibangun secara sistematis.

Peneliti mencoba menggunakan metode Rene Descartes19, yaitu meditasi untuk mencoba menggali bahasa itu tersendiri, dan bagaimana bahas tersebut hadir dan memfasilitasi sebuah proses belajar mengajar. Peneliti tidak akan mencoba mengulas bagaimana asal-usul bahasa dikaji secara rinci. Dari beberapa perenungan atas bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan tersebut terdiri dari dua bangunan teori. Yang pertama dari bahasa itu sendiri, yang kedua adalah bagaimana bahasa sebagai media khusus pendidikan, tidak hanya sebagai sarana interaksi.

Karakteristik bahasa dan syarat bahasa tentunya sudah ada pada bagian sebelumnya, dari sini dapat penulis simpulkan bahwasannya bahasa tersebut masih terlalu umum. Tatkala bersinggungan dengan pemanfaatannya sebagai bahasa pendidikan maka akan muncul syarat-syarat lagi untuk

17Fuad Farid Isma’il, Abdul Hamid Mutawlli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003, hlm. 48-49

18

Stanley Rosen (ed.), The Philosopher’s Handbook: Essential Readings from Plato to Kant, dalam Jaakko Hintikka, Pendahuluan, New York: Random House Reference, 2003, hlm. 402

19

(8)

kesana. Bagaimana bahasa harus sudah by design seperti: sopan, subtantif, memotivasi, dlsb. Bahasa yang ada dalam pendidikan (yaitu sebagai pengantar pendidikan) hendaknya bisa membuat pemahaman yang satu corak oleh siswa, dan idealnya setiap perkataan yang muncul dari guru haruslah menjadi inspirasi bagi setiap muridnya. Sehingga disusunlah bagaimana kaedah paedagogi yang di dalamnya dimasukkan bagaimana guru berbahasa (komunikasi) dengan muridnya.

3. Bahasa sebagai pengantar dalam pendidikan secara aksiologi

Secara lebih spesifik bahasa sebagai pengantar pendidikan memiliki beberapa syarat khusus seperti yang telah disinggung pada bagian epistemologi. Pada saat guru mengajar tentunya guru harus memperhatikan beberapa aspek: sopan, subtantif, menginspirasi, estetika bahasa. Dari keempat aspek tersebut apabila dapat diaplikasikan secara baik dan benar tentu saja hasilnya tidak hanya mengarahkan pemahaman siswa yang purna, akan tetapi juga dapat menginspirasi para siswa agar bisa melakukan pendalaman, pengayaan, mengelaborasi materi/ pesan yang diterima.

Keempat aspek tersebut penting karena, dalam pendidikan tersebut tidak hanya melibatkan nalar semata, akan tetapi disitu juga menyinggung perasaan. Guru dituntut bisa menyampaikan nilai-nilai tanpa harus menyinggung siswanya. Pada bagian ini akan sangat terlihat peran bahasa

sebagai pengantar dalam pendidikan tersebut. seperti kalimat “dasar bodoh!

Begini saja tidak bisa.” Kalimat seperti itu harus dihidari, karena kalimat

seperti itu bukan mengarahkan kembali anak ke arah yang benar tapi justru

membunuh potensinya. Seharusnya “ayo nak, kamu pasti bisa! Ayo dicoba

terus hingga kamu bisa.” Bahasa yang subtantif itu juga perlu, agar pembelajaran akan tepat sasaran. Terkadang apabila guru terlalu jauh melebar dalam menjelaskan suatu topik, anomali yang muncul adalah siswa justru mengenang pada pembahasan yang melebar tersebut, namun poin intinya tidak bisa didapat. Selain itu guru juga dituntut harus bisa menginspirasi

muridnya. Sebuah adagium “guru biasa menjelaskan, guru baik

mendemonstrasikan, guru hebat menginspirasi” menekankan bahwa

(9)

pembelajaran itu tidak selesai di kelas, akan tetapi setelah kegiatan belajar mengajar selesai siswa secara mandiri mampu mengelaborasi, mencari tahu lebih, dan mencoba-coba apa yang disampaikan guru. Dari situ prinsip belajar sepanjang hayat akan bisa terpenuhi.

Menurut sudut pandang yang lebih luas, bahasa sebagai pengantar pendidikan memiliki nilai instrumental. Bahasa akan berguna atau bermafaat tatkala digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan. Maka mafhum mukholafah-nya bahasa tidak akan berguna atau bermanfaat tatkala tidak digunakan. Contoh lain untuk memudahkan adalah pisau merupakan pisau yang baik karena dapat saya gunakan untuk mengiris, bukan karena kualitas yang terkadung dalam diri pisau tersebut. Manusia (dalam hal ini yang dimaksud adalah guru atau pendidik) memiliki peranan sebagai ‘segi pragmatis’ sedang bahasa dalam pendidikan tersebut sebagai ‘segi semantis’.

Baik-buruknya bahasa dalam pendidikan tergantung pada unsur penggunanya. Apabila seorang guru dan murid dapat menggunakan bahasa dengan proporsional dan fungsional maka bahasa tersebut akan bernilai baik.

Akan tetapi acapkali bahasa digunakan sebagai sarana mendeskripsikan berkaitan buruk tentang orang lain yang mana di dalamnya terkandung unsur yang jauh dari moral. Jadi bahasa dalam pendidikan penulis simpulkan tidak bebas nilai. Karena harus memperhatikan nilai yang terkadung dalam aplikasinya. Selain itu bisa juga disangkut-pautkan dengan estetika, bilamana seorang murid dan guru bisa merangkai bahasa dan digunakan dengan fungsional dan proporsional maka akan terlihat keindahan dalam interaksi di dalamnya. Berbeda dengan situasi dimana seorang murid tidak bisa mengatur bahasanya sehingga bahasa yang semestinya berada di pasar digunakan di kelas. Contohnya adalah, “Kang itu nomor 4 apa yang pas?” Seharusnya , “Pak/ Bu Guru saya, apakah nomor 4 sudah benar jawabannya?”

(10)

Sedangkan bahasa bisa menjadi sarana memajukan hakekat manusia. Karena dengan bahasa manusia dapat menjadi lebih bermoral, berwawasan, dlsb.

BAB III KESIMPULAN

Beberapa penjelasan yang telah coba penulis uraikan dapat ditarik benang merah bahwasannya bahasa sebagai pengantar pendidikan adalah bagian dari alat komunikasi, yang mana lebih spesifik dibatasi dengan nilai-nilai paedagogis. Hakekatnya bahasa adalah sebagai media antara peserta didik dan pendidik. Corak bahasa akan mempengaruhi bagaimana penerimaan dari setiap peserta didik, maka penting seorang pendidik harus mampu menyampaikan bahasa pendidikan dengan sopan, subtantif, inspiratif, dan memperhatikan estetika. Dari keempat aspek tersebut apabila dapat diaplikasikan secara baik dan benar tentu saja hasilnya tidak hanya mengarahkan pemahaman siswa yang purna, akan tetapi juga dapat

menginspirasi para siswa agar bisa melakukan pendalaman, pengayaan, mengelaborasi materi/ pesan yang diterima, dari situ prinsip belajar sepanjang

(11)

Daftar Pustaka

Abou el Fadl, Khaled M. 2004. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Alwasih, Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan, Bandung: Rosdakarya.

Alwasilah, Chaedar. 1993. Linguistik: Suatu Pengantar, Bandung: Angkasa.

Brown, H Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa, (terj. Noor Cholis), Peason Education.

Mulligan, Kevin (ed.). 1992. Language, Truth and Ontology, Belanda: kluwer Academic Publisher.

Garden, Jostein. 2006. Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat (terj), Bandung: Mizan.

Isma’il, Fuad Farid., Mutawlli, Abdul Hamid. 2003. Cepat Menguasai Ilmu

Filsafat, Yogyakarta: IRCiSoD.

Khoyin, Muhammad. 2013. Filsafat Bahasa, Bandung: Pustaka Setia.

Kattsoff, Loius O. 2004. Pengantar Filsafat (terj. Soejono Soemargono), Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Rosen, Stanley (ed.). 2003. The Philosopher’s Handbook: Essential Readings from Plato to Kant. New York: Random House Reference.

Suriasumantri, Jujun S. 2010. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Penebar Swadaya.

Referensi

Dokumen terkait

Penyebab dari overconfidence yaitu kepercayaan diri yang berlebihan bahwa informasi yang diperoleh mampu dimanfaatkan dengan baik karena memiliki kemampuan analisis

(4) Panitia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mengadakan musyawarah untuk menentukan calon anggota BPD paling sedikit 2 (dua) kali dan paling banyak 3 (tiga) kali dari kuota

Kemajuan ini akan ditandai dengan tatanan kehidupan yang dinamis, kompetitif, inovatif, memiliki batiniyyah ( inner dynamics ) yang kuat untuk meraih kemajuan-kemajuan

Sebaliknya, orang yang mempunyai penyakit jantung ataupun penyakit pernapasan dapat mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.. Faktor-faktor perkembangan dan

1) Mengadakan evaluasi terhadap program pelayana okupasi terapi yang diprogramkan oleh dokter spesialis rehabilitasi medik atau dokter spesialis lainnya yang bekerja di

JAKIM memainkan beberapa fungsi: (1) bertanggungjawab sebagai perancang yang menentukan pembangunan dan kemajuan Islam di Malaysia; (2) merumuskan kebijakan untuk pembangunan

Menurut Sumardyono (2004:28) secara umum matematika didefinisikan sebagai berikut:1). matematika sebagai struktur yang terorganisir, 2). matematika sebagai alat, 3).

Peningkatan kandungan protein ransum dapat meningkatkan metabolisme protein sehingga sumber N bagi sintesis protein mikroba terpenuhi dan tingginya protein yang lolos