• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA ASUH PADA ANAK USIA DINI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLA ASUH PADA ANAK USIA DINI"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

POLA ASUH KELUARGA HINDU DI DESA GUNUNGSARI KECAMATAN SERIRIT BULELENG

Oleh : I Gede Sedana Suci ABSTRAK

Family has the function to provide religious education spiritual values, knowledge and basic skills to their children. Good or bad behavior in the next period is determined by the environment when they are get first in the family. Ideal family in accordance with the teachings of the Hindu religion is the family that knowing Hita Sukaya (Sukinah). That is a pretty family clothing, housing, and education is always harmonious. Education to be one of the family forming Hita Sukaya is very appropriate, as embodied in the concept of moral education value.

To achieve the goal of a prosperous family, we need a proper upbringing, so kids get good guidance and does not cause trauma. The issues discussed are 1) How Hindu family upbringing for Tattwa concept?. 2) How Hindu family upbringing to the concept of Ethics? and 3) How Hindu family upbringing to the concept Ceremony?. And goal is revealed three aspects. For that the research field, purposive sampling. Basic theory used is Bond Stimulus -Respon learning theory and operant conditioning, Data collection techniques used are observation, interviews and literature. Results of data analyzed by the technique descriptive qualitative.

Research results show that Hindus Against Family Parenting Concepts Tattwa, Gunungsari village in instilling values Panca Srada used story a pattern, Pramana Pratyaksa Pattern and Pattern Anumana Pramana. Meanwhile, the family in the village Gunungsari Concept instill ethics in practice, excample Parenting Pattern and Pattern habituation, Authoritarian Parenting and. Families Against ceremony in the village concept Gunungasari use excample Pattern and Pattern habituation.

Keywords: Parenting, Family Hindu, Tatwa, Ethics, Ceremony.

I. PENDAHULUAN

Manusia adalah mahluk sosial yang memerlukan hubungan dengan sesamanya atau pertemanan yang didasari untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan hidup bersama, dalam wujud bersama yang disebut masyarakat. Secara umum masyarakat ini disebut sebagai kumpulan individu-individu atau unit sosial terkecil.

(2)

anak-anak yang secara sah diikat dengan adat atau agama. Pembentukan keluarga diawali dengan perkawinan yang merupakan sebagai kebutuhan dasar manusia

Keluarga mempunyai fungsi-fungsi yang menjaga hubungan antar anggota keluarga sehingga nilai-nilai dapat terjaga dan terpelihara dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Diantara fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi biologis, sosialisasi, dan afeksi. Fungsi tersebut tidak akan berubah atau tergerus oleh jaman (Fadil dann Supriyatno, 2007:119). Diantara fungsi yang paling menonjol adalah fungsi sosialisasi atau pendidikan.

Keluarga dalam bidang pendidikan diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara (dalam Shocib, 1998:10) keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan terpenting. Pidarta (1997:19) menggungkapkan bahwa pendidikan keluarga sebagai pendidikan pertama karena bayi atau anak itu pertama kali berkenalan dengan lingkungan serta mendapat pembinaan pada keluarga. Pendidikan pertama ini dianggap penting sebagai dasar dalam pengembangan-pengembangan berikutnya.

Sesuai dengan fungsinya keluarga mempunyai fungsi untuk memberikan pendidikan nilai-nilai spritual keagamaan, pengetahuan dan keterampilan dasar kepada anak-anak yang akan menjadi landasan bagi pendidikan yang akan diterimanya pada masa-masa selanjutnya. Pendidikan keluarga menjadi lingkungan pertama yang memberikan pengaruh kepada anak. Baik ataupun buruk anak pada masa selanjutnya ditentukan oleh lingkungan yang mereka peroleh pertama kali yaitu keluarga.

Keluarga yang ideal menurut ajaran Hindu atau keluarga yang Hita Sukaya ((Sukinah) adalah keluarga yang cukup sandag, papan, selalu rukun dan berpendidikan. Pendidikan sebagi salah satu pembentuk keluarga Hita Sukaya sangat tepat dimana salah satu tujuan Pendidikan Agama Hindu adalah pembentukan karakater luhur (Swami Satya Narayana) yang tertuang dalam konsep pendidikan budi pakerti. (Titib,2003:75).

Dengan melihat kondisi saat ini tantangan generasi kedepannya keluarga akan menjadi pilar utama dalam pembentukan karakter. Tahapannya dimulai tentunya, dari usia dini sehingga seseorang mempunyai kebiasaaan yang mantap dan bijaksana pada usia dewasa dan tua. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki karakter dimasyarakat adalah orang tersebut telah mendapatkan pendidikan karakter di tengah keluarganya.

(3)

pergeseran nilai budaya masyarakat. Pergeseran nilai dan budaya ini dampak dari kemajuan manusia di bidang teknologi, terutama dibidang komunikasi. Teknologi komunikasi sering dijadikan alasan atau sebab terjadinya masalah-masalah pendidikan terutama berkaitan dengan nilai-moral remaja dalam keluarga melalui tayangan senetron. TV sudah sebagai saran pemenuhan kebutuhan pokok akan hiburan dan informasi menyebakan TV sudah pasti ada disetiap rumah dalam keluarga tersebut dengan berbagai tayangan baik yang bersifat mendidik maupun tidak. Sepanjang dua puluh empat jam tanpa henti, yang menyebabkan merubah pola waktu dan juga mempengaruhi sikap anak-anak dan remaja. Ini diakibatkan oleh dampak iklan yang ditayangkan terus menerus yang telah melahirkan sikap konsumerisme dan hedonisme. Selain pengaruh media TV perilaku menyimpang yang terjadi juga diakibatkan hiburan-hiburan yang menampilkan pornografi dan fornoaksi, akses internet yang bebas melalui warung internet semakin mendesak dan mempersempit peranan pendidikan keluarga.

Salah satu sumber yang dapat memperkuat ketahanan keluarga adalah ajaran agama Hindu. Dalam ajaran agama Hindu keluarga tersebut begitu penting hal ini terungkap dalam Manawadharma Sastra bahwa orang tua harus mendidik anak dengan baik sebab anak yang baik akan menebus dosa-dosa leluhurnya di akhirat. Selanjutnya di dalam Weda Smerti IX. 96 dinyatakan bahwa:

Untuk menjadi ibu, wanita itu diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki tersebut diciptakan upacara keagamaan karena itu ditetapkan dalam Weda untuk dilakukan oleh suami bersama dengan istrinya.

Kutipan di atas menjelaskan kepada kita bahwa perkawinan disamping untuk membentuk keluarga yang bahagia, juga bertujuan untuk menjalankan upacara keagamaan. Sehingga nampak bahwa didalam pelaksanaanya agama bukan bersifat formalitas tetapi sudah menjadi sendi-sendi dasar dalam kehidupan. Untuk itu nilai dan norma yang terkandung dalam sumber ajaran agama Hindu memerlukan penjelasan yang konfrenhensif juga diperlukan penelitian yang faktual dan normatif.

(4)

Acara pengorbanan suci yang tulus iklas kehadapan Ida Sanghyang Widhi. Oleh sebab itu dalam mendidik keluarga Hindu hendaknya orang tua menanamkan konsep tri kerangka dasar agama Hindu tersebut dari usia dini sehingga anak-anak Hindu sudah mempunyai karakter yang kuat sesuai dengan konsep agamanya.

Penelitian ini penting dilakukan karena kondisi keluarga saat ini disinyalir mulai kehilangan fungsi dan peranannya termasuk didalam keluarga Hindu, terutama fungsi sosialisasinya atau kependidikannya (dari mass media, suarat kabar TV ) apabila dibiarkan akan mendororng lahir keluarga yang hanya menjadi tempat pemberhentian sementara dari anggota keluarga. Dampak yang muncul selalu merugikan anak, sehingga kelihatan bahwa orang tua dalam mendidik anak seperti tidak ada pola atau melepaskan begitu saja anaknya tanpa konsep yang jelas keluarga yang kering akan nilai-nilai dan etika agama yang menyebabkan lahirnya generasi baru yang apatis dan tidak mempunyai rasa kemanusiaan beragama hanya berifat formalitas.

Pemaparan diatas memberi gambaran bahwa secara teoritis pendidikan pertama dan utama dimulai dari keluarga akan memberikan dampak yang signifikan terhadap perkembangan anak selanjutnya didalam kehidupan anak tersebut. Untuk itu dipandang perlu orang tua mengerti dan memahami bahwa untuk bisa mempunyai anak yang suputra atau anak yang mempunyai budi pakerti yang luhur tidak bisa secara serta merta akan terwujud apabila tanpa memperhatikan pola asuh yang digunakan untuk menamkan nilai-nilai tersebut.

(5)

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengungkapkan secara deskriftif dan relevan dengan tujuan penelitian. Penelitian ini dilakukan di Desa Gunungsari, Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng, Data atau informasi yang diperlukan dikumpulkan dengan menggunakan teknik dokumentasi dan wawancara. Dokumentasi sumber data dilakukan dengan menbaca buku-buku dan lontar yang ditemukan di toko-toko buku atau di perpustakaan-perputakaan (pusat dokumentasi). Wawancara melibatkan warga masyarakat desa Gunungsari yang memiliki anak-anak kecil. Partisipan tersebut dipilih setelah terlebih dahulu dilakukan penjajagan terhadap kesediaan mereka dan memiliki kualifikasi dalam penelitian ini. Analisis data dilakukan dengan teknik analisis interpretatif yang dibantu dengan teknik triangulasi,yaitu pemeriksaan kesahiahan data dengan membandingkan data yang diperoleh, bentuk yang dipakai adalah triangulasi metode yaitu melengkapi kekurangan informasi yang diperoleh dengan metode tertentu dengan mengunakan metode lain (Danim,2002:196).

III TEMUAN HASIL PENELITIAN

(6)

cenderung bersikap positif terhadap keinginan, sikap dan perilaku anak, sedikit menggunakan hukuman, tidak banyak menuntut anak terlibat dalam pekerjaan rumah dan tanggung jawab, membiarkan anak mengatur perilakunya sendiri, menghindari pengontrolan dan menggunakan rasional dalam mencapai suatu tujuan.

Keluarga Hindu di Desa Gunungsari mempergunakan berbagai pola untuk mensosialiasikan ataupun mnerapkan nilai-nilai pendidikan agama yang ada seperti hasil berikut ini:

3.1 Pola Asuh Keluarga Hindu Terhadap Konsep Tattwa di Desa Gunungsari

Konsep Tatwa yang dilaksanakan adalah: 1)Percaya dengan adanya Tuhan, 2) Percaya dengan adanya Atman, 3) Percaya dengan adanya Karmaphala, 4) Percaya dengan adanya Punarbawa, 5) Percaya dengan adanya Moksa.

Dalam penelitian ini dapat didokometasikan bahwa konsep-konsep tatwa yang ditekankan adalah: a). Percaya dengan adanya Tuhan, adapun caranya adalah keluarga melaksanakan persembahyangan atau memuja Tuhan karena percaya terhadap adanya Ida Sanghyang Widhi kepercayaan ini adalah kepercayan yang diterima secara turun temurun, bahwa mereka percaya terhadap keberadaan Tuhan itu sendiri memang ada, dan penyebab dari semua yang ada ini. Dengan demikian apa yang diyakini oleh responden tersebut merupakan sesuatu hal yang wajar sebagaimana tersirat didalam kitab-kitab suci Hindu yaitu bakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah satu hal yang paling utama dalam kehidupan ini sebagaimana ditegaskan dalam Bagawadgita Bab XVIII Sloka 65 yaitu:

Manmana bhava madbhakto Madhyaji mam mamaskuru Mam evaisyasi satyamkuru Pratijane priyo’si me Artinya:

(7)

Sloka tersebut menggambarkan bahwa sembahyang adalah sesuatu yang wajib semestinya dilaksanakan dilaksanakan oleh anak atau anggota keluarga sebab ini adalah sabda Tuhan agar kitab selalu untuk mengingant-Nya, berdoa kepada-Nya dan datang keapda-Nya. Keyakinan mereka akan keberadaan Tuhan itu adalah hal mutlak agar anggota keluarga mereka juga ikut dan mempunyai peraaan yang sama sebab beragama adalah harus sesuai dengan rasa kitab. Diungkapkan bahwa bersama keluarga melaksanakan persembahyangan. dengan membiasakan anaknya untuk sembahyang pada saat odalan di merajan ataupun dirumah dilaksanakan dengan mempergunakan canang tangkih secara bergilir, walaupun dilakukan dengan cara yang sederhana keluarga ini sudah mencoba untuk memahami bahwa sembahyang tidak harus dilaksanakan dengan sarana yang megah atau komplit baru melaksanakan sembahyang melainkan dengan membiasakan anaknya dengan memberi contoh dahulu kemudian baru menyuruh anaknya untuk melaksanakan hal yang sama seperti orang tuanya.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa mereka mempergunakan Pola Keteladan tanpa disertai dengan hukuman atau perintah harus tetapi dengan memberikan contoh terlebih dahulu dan kemudian dilakukan dengan pembiasaan. Menurut teori konvergensi hasil pendidikan anak dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu pembawaan dan lingkungan. Diakui bahwa anak lahir telah memiliki potensi yang berupa pembawaan, dari penjelasan diatas nampak bahwa orang tua membentuk perilaku anggota keluarganya dengan membentuk lingkungan yang baik sehingga ditiru oleh anggota keluarganya, hal ini sesuai dengan Teori Belajar R-S Bond Dimana ketika orang tua beriteraksi dengan anaknya menginginkan adanya perubahan perilaku atau terbentuk perilaku, yaitu dengan mempersiapkan anak dengan hukum kesiapan belajar Hukum latihan, belajar akan berhasil apabila banyak latihan, dan ulangan artinya anaknya diuruh untuk mengikuti kegiatan orang tuanya sehingga lama-lama anggota keluarga tersebut terbiasa dan menjadi pola perilaku yang tetap.

(8)

dilakukan atau yang akan dilakukan. Karma phala pada dasarnya akan memberi optimisme kepada setiap manusia, bahkan semua makhluk hidup sebab apapun yang kitab perbuat pasti mendaptkan hasil. Berdasarkan ungkapan-ungkapan informan menyatakan bahwa apa yang dialami adalah merupakan karma atau perbuatan yang terdahulu sekarang dipetik buahnya atau akan cepat sekali menerima perbuatan baik dan buruk tersebut. Untuk memberikan pemahaman terhadap keluarganya biasanya mengambil kesimpulan, dari apa yang diterimanya atau memberikan contoh orang lain, ini artinya keluarga ini menerapkan pola Praktyaksa Pramana yaitu pengalaman langsung apa yang diterimanya, dan mempergunakan pola Anumana Pramana dimana melalui analisis logis dan contoh yang nyata di sekitar lingkungannya. d) Percaya dengan adanya Punarbawa Kelahiran berulang-ulang atau Punarbawa, renkarnasi dari bahasa Latin untuk "lahir kembali" atau "kelahiran semula" atau t(um)itis, merujuk kepada kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati dan dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan lain. Yang dilahirkan itu bukanlah wujud fisik sebagaimana keberadaan kita saat ini. Yang lahir kembali itu adalah jiwa orang tersebut yang kemudian mengambil wujud tertentu sesuai dengan hasil pebuatannya terdahulu.

Dari hasil wawancara bahwa keluarga di desa Gunungsari didalam memahami punarbawa ini adalah bahwa ada yang disebut renkarnasi dengan menyatakan bahwa anak merreka mirib kakeknya atau leluhurnya siapa terdahulu dengan mempergunakan cerita-cerita. e) percaya dengan adanya Moksa, keluarga di desa ini menyatakan bahwa mereka mengetahui akan adanya konsep moksa tetapi mustahil kita bisa menyatu dengan Tuhan tersebut sebab dengan adanya proses karmaphala yang memberikan kita hasil terhadap perbuatan yang dilaksanakan, manusia jaman sekarang pasti sudah kena karma dan harus kembali lagi ke dunia untuk memperbaiki kesalahan-kesalahanya sehingga akan lahir berulang-ulang.

Penjelasan tersebut diatas mengidentifikasikan bahwa keluarga di Desa Gunugsari dalam menerapkan Pola Asuh adalah dengan mempergunakan beberapa pola didalam menanamkan nilai-nilai atau aspek-aspek lima kepercayaan dalam agama Hindu yaitu panca srada seperti mempergunakan 1) Pola Keteladan , 2) PolaCerita 4) Pola Anumana Pramana dan 5) Pratyaksa Pramana .

(9)

Etika adalah pedoman manusia didalam berperilaku untuk menciptakan keharmonisan dalam hidupnya dengan sesama, dalam Hindu sumber etika Hindu adalah Dharmasastra yang merupakan sebagai salah satu pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, didalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah tata susila.

Aspek Tri Kaya Parisudha ini adalah begitu penting untuk ditanamkan kepada anak-anak sehingga dengan mempergunakan pola yang tepat maka perilaku anak-anak diharapkan mampu menrapkan konsep ini dan dibawa sampai dewasa nantinya, yang mulai dari proses berpikir, berkata dan tentunya dapat dilihat dari perilaku kesahari-hariannya baik itu dilingkungan keluarga, sekolah maupun di lingkungan masyarakat yang menilai secara umum anak tersebut mempunyai etika atau tidak yang tentunya nantinya membawa juga nama baik bagi keluarga itu sendiri. Oleh sebab itu keluarga yang baik atau baik tidaknya suatu keluarga juga ditentukan oleh anak-anaknya, oleh sebab itu etika anak dibina dengan baik dengan mempergunakan pola asuh yang benar dan tepat sehingga anak menjadi taat dan patuh serta melaksanakan apa yang ditanamkan. dalam penelitian pola asuh keluarga Hindu terhadap konsep Etika di Desa Gunungsari yang diamati dan di bahas adalah aspek: a) Wacika (Berkata yang baik dan benar), didalam menamkan nilai-nilai etika didalam keluarganya seperti apa yang diungkapkan bahwa keluarga tersebut didalam menanamkan nilai etika berbicara adalah dengan cara memberikan contoh yang nyata.

Seperti apa yang terkandung didalam Saracamuscaya ada sloka yang isinya menunjukan bahwa ada beberapa hal yang tidak patut muncul dari kata-kata yaitu empat banyaknya yaitu perkataan jahat, perkataan kasar, menghardik, perkataan memfitnah, perkataan bohong, itulah keempatnya harus disingkirkan dari perkataan jangan diucapkan, jangan dipikirkan akan diucapkan (Kadjeng:630). Penjelasan sastra-sastra agama tersebut dihayati dan dilaksanakan, dalam hal ini telah disadari betul oleh para orang tua didalam mengasuh anaknya yaitu dengan menekankan untuk tidak berkata bohong dengan mempergunakan Pola Keteladanan.

(10)

mempunyai sopan santun bila anak-anak berbicara kasar ataupun melawan apa yang disampaikan oleh orang tua kepada anak-anaknya.

Untuk membiasakan hal tersebut orang tua memberikan contoh untuk tidak berkata keras-keras dengan memberi nasehat kepada anaknya.

Dalam pustaka suci jelas diunggkapkan bahwa berkata kasar atau tidak mempunyai sopan santun akan berakibat kepada keluarga. Seperti yang tersirat didalam pustaka suci Saracamuscaya ( Kajeng,2003:98) sloka 117:

Dve karmani narah kurvaniha Loke mhayate,

Abruvan parusam kincidasato narthayamathe

Artinya:

Ada dua hal yang menyebabkan orang dipuji Orang yang tidak suka berkata kasar,

Orang yang tidak suka berbuat yang tidak patut Demikian itulah orang yang dipuji di dunia.

Sloka tersebut dengan jelas menyatakan bahwa berkata kasar, berbuat yang tidak baik adalah hal yang patut untuk dihindari sebab, hal-hal ini membuat kitab mudah untuk tersinggung berbicara galak, dan berigas sehingga hal-hal seperti ini patut untuk di kurangi, dan yang paling penting adalah kemampuan untuk mengendalikan kemarahaan sehingga kedamaian di dunia ini akan terwujud.

(11)

c) Satya (Kejujuran), Dalam agama Hindu jujur adalah satu hal yang sangat penting seperti apa yang tercantum dalam kitab suci agama Hindu Satya yang artinya kebenaran dan kejujuran adalah sangat membatu dalam kehidupan manusia itu sendiri bagaimana dengan penanaman nilai kejujuran ini didalam keluarga Hindu di desa Gunungsari, didalam menanamkan kejujuran melalui pola keteladan orang tua yaitu dengan memberi contoh otomatis akan diikuti oleh anggota keluarga yang lain. Artinya sekecil apaun perbuatan yang dilakukan berkaitan dengan hal-hal yang membuat orang tidak percaya harus dihindari walaupun didalam kitab suci disebutkan bahwa dalam beberapa hal boleh kita untuk berbohong tentunya demi kebaikan.

d)Akroda, Akroda adalah sifat manusia yang memang ada didalam setiap manusia oleh sebab itu kemarahaan akan membawa dampak yang kurang bagus pada setiap individu manusia itu sendiri. Keluarga didesa Gunungsari dari hasil observasi dan wawancara nampak bahwa belum semua keluarga mampu untuk mengendalikan atau untuk menjadi orang yang pemarah apalagi sifat orang tersebut yang tempramental. Untuk bisa menanamkan nilai agar keluarga bisa mengendalikan amarahnya didalam keluarga memang sulit tetapi, mereka berusaha untuk menahan marah yaitu tujuannya anak-anak mereka agar tidak ikut-ikutan gampang marah. Kalau kita simak didalam kitab Slokantara kemarahan tersebut sebenarnya adalah suatu keharusan tetapi harus dikendalikan seperti apa yang diungkapakan didalam sloka 40 dalam pembahasan Lima Keharusan menyatakan ”Ahimsa brahamacarya ca Cuddharaharalagagawan Astainyamiti Yama rudrene bhasitah” kalau diterjemahakan arti bebasnya tidak menyakiti, menguasai hawa nafsu kesucian, makanan sederhana, tidak mencuri-lima macam keharusan ini diajukan oleh bhatara rudra. Jelas sekali bahwa tindakan marah pada orang lain sudah tidak sesuai dengan etika sebab keharmonisan hubungan dengan anggota masyarakat yang lain akan terganggu

(12)

e) Apramada, setiap manusia harus melaksanakan kewajiban atau dharma diri sendiri dari pada mengerjakan tugas orang lain walaupun tidak sempurna daripada mengerjakan kewajiban orang lain dengan baik.

Dengan demikian kewajiban harus diketahui oleh setiap orang sehingga bisa mengerjakan dengan baik, begitu pentingnya hal ini maka semenjak dini, harus ditanamkan kesadaran akan kewajiban, bagaimana dengan keluarga di desa Gunungsari,

Keluarga disini menekankan bahwa didalam menamkan nilai ingat akan kewajiban ini dilaksanakan dengan pola keteladan ini dapat dilihat dengan apa yang dia lakukukan terhadap diri sendirinya yaitu apa yang menjadi profesi atau pekerjaannya harus dilaksanakan jangan lain-lain. Begitu juga cara untuk mengingatkan anggota keluarga yang lain yaitu dengan pola otoriter, yaitu perintah yang tegas karena membuat pekerjaan rumah adalah kewajiban yang harus dilaksankan oleh seorang murid kalau tidak dilaksanakan akan kena hukuman atau sangsi.

f) Sura, Keluarga didesa Gunungsari kuatir dengan adanya anggota keluarga yang suka mabuk-mabukan, sebab anak-anak muda sekarang lebih banyak menghabiskan waktu dengan mabuk-mabukan atau selalu mengkonsumsi minuman keras. terus bagaimana cara mereka agar anak atau anggota keluarga mereka tidak terjerumus kedalam pergaulan yang salah. Adapun cara yang dipakai untuk menghindari anak-anaknya tidak suka mengkonsumsi minuman keras adalah dengan cara memberikan hukuman,

(13)

3.3 Pola Asuh Keluarga Hindu Terhadap Konsep Acara/Upacara di Desa Gunungsari.

Pada dasarnya atau intinya manusia semenjak lahir telah membawa hutang yang disebut dengan Tri Rna. Hutang inilah yang mendasarinya timbulnya yadnya atau pengorbanan suci yang tulus iklas tersebut sebagai ungkapan terima kasih.

Demikian pula dengan keadaan masyarakat desa Gunungsari sediri didalam kegiatan aktivitasnya lebih banyak berhubungan dengan kepercayaan yang dianutnya yaitu agama Hindu. Maka aspek panca yadnya tersebut tiap keluarga pasti melaksanakannya.

Dalam penelitian ini rumusan Panca Yadnya yang dirujuk adalah Panca Yadnya yang diuraikan dalam Lontar Agastya Parwa. (dalam Wiana,2000:52) yang rinciannya sebagai berikut:

a. Dewa Yadnya, yaitu mempersembahkan minyak, biji-bijian kepada Dewa Siwa, Agni di tempat pemujaan dewa.

b. Rsi Yadnya, yaitu menghormati pendeta dan membaca-baca kitab suci. c. Pitra Yadnya, yaitu upacara kematian agar roh mencapai alam Siwa.

d. Butha Yadnya, yaitu menyejahterakan tumbuh-tumbuhan dan menyelenggarakan upacara tawur dan Panca Wali Krama.

e. Manusa Yadnya, yaitu memberi makanan kepada masyarakat.

Pelaksanaan Panca Yadnya yang terkecil yang dapat dilakukan setiap hari adalah melakukan Yadnya Sesa setelah selesai masak. Habis masak makanan terlebih dahulu dipersembahkan kepada Tuhan. Sisa persembahan itulah yang kitab makan. Makanan itu adalah makanan yang telah mendapat anugerah Tuhan. Karena itu makanan yang dimakan setelah dipersembahkan disebut prasadam. Prasadam dalam bahasa Sanskerta artinya anugerah. Sesuai dengan observasi nampak bahwa beberapa hal seperti:

(14)

persembahan kepada Tuhan dengan jalan menghaturkan apa yang di buat sebagai ungkapan terima kasih, tetapi masyarakat belum memahami apa yang sebenarnya arti atau makna itu semua yang dilakukan.

Berdasarkan beberapa kitab suci dengan jelas memaparkan bahwa kitab harus melaksanakan yadnya sesa sebagai bentuk terkecil dari yadnya itu sendiri seperti terungakap di dalam (Bagawadgita,III.13) ”Yajna-sistasinah santo mucyante sava-kilbisaih, bhujante te tv agham papa ye pacanty atma-karanat. Yang mempunyai arti yaitu, Ia yang memakan sisa yadnya akan terlepas dari segala dosa, tetapi ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri, sesungguhnya makan dosa.

Maksud dari sloka tersebut adalah bahwa apa yang kitab sajikan kepada para dewa yang memberi kitab semuanya, apabila kitab menyantapnya artinya dianggap telah bebesa dari segala dosa dan kesalahan. Dalam konteks ini orang yang memasak nasi hanya untuk dirinya sendiri tanpa ngejot itulah disebut dosa atau bersalah. Bahwa hakekatnya yadnya adalah korban kepada Tuhan sebagai ungkapan terima kasih atas apa yang telah diberikan kepadanya dan sesuai dengan apa yang tertuang didalam kitab-kitab suci Hindu. Adapun pola yang digunakan untuk kegiatan tersebut adalah dengan menggunakan Pola keteladan yaitu dengan memberikan contoh kepada anak-anaknya atau anggota keluarga yang lain, sehingga pola pembiasaan ini akan dikuti dan menjadi kebiasaan dianggota keluarga tersebut. Artinya sesuai dengan teori R-S Bond dimana orang tua melakukan pembiasaan kemudian diberikan penguatan sehingga stimulus tersebut direspon dengan baik oleh anak-anaknya.

(15)

Dengan demikian tidak ada upacara khusus yang dilaksanakan didesa Gunugsari tetapi melayani pendeta pada saat-saat beliau memimpin upacara tergolong Rsi Yadnya sudah dilaksanakan. Ungkapan ini disampaikan oleh hampir semua responden bila diajukan pertanyaan yang sama artinya disini peran orang tua atau yang dituakan sangat besar karena biasanya anak-anak muda takut tidak bisa matur sama sulinggih.

Kalau kitab simpulkan dari pernyataan diatas nampak bahwa orang tua sudah memberikan pola asuh dengan pembiasaan dengan mengikutkan segala kegiatan rsi yadnya yaitu dengan melakukan pendampingan dengan harapan nanti anak-anaknya bisa mengikuti kebiasaan tersebut artinya pola keteladannya sudah dilaksanakan. Dengan hukum belajar pembiasaan yang berulang-ulang sehingga tiba pada waktunya nanti bisa mengantikan peran orang tuanya.

c) Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Pitra Yadnya, Pitra yadnya secara umum dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali adalah Ngaben, Upacara ini bertujuan untuk menghormati dan memuja leluhur. Pada dasarnya ngaben adalah bentuk penghormatan orang yang masih hidup terhadap orang tua kita yang sudah meninggal, ini dapat dilihat dari kata, Katapitra bersinonim dengan pita yang artinya ayah atau dalam pengertian yang lebih luas yaitu orang tua.

Keluarga di desa Gunungsari dalam menjalankan fungsi ini dilakukan dengan cara mengajak anak-anaknya terlibat didalam kegiatan ngaben tersebut (hasil observasi) dan mereka melaksanakan upacara pitra yadnya atau ngaben adalah salah satu bentuk penghormatan mereka terhadap orang tua mereka yang sudah meninggal dengan menekankan untuk mendapatkan tempat yang lebih baik bagi kehidupan mereka.

(16)

d). Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Butha Yadnya, Upacara ini lebih diarahkan pada tujuan untuk nyomia Butha Kala atau berbagai kekuatan negatif yang dipandang dapat mengganggu kehidupan manusia. Butha Yadnya pada hakikatnya bertujuan untuk mewujudkan Butha Kala menjadi Butha Hita seperti disebutkan dalam Sarasamuccaya 135. Butha Hita artinya mensejahterakan dan melestarikan alam Ymgkungan (Sarwapram). Upacara Butha Yadnya yang lebih cenderung untuk nyomia atau mendamaikan atau menetralisir kekuatan-kekuatan negatif agar tidak mengganggu kehidupan umat manusia dan bahkan diha-rapkan membantu umat manusia. Bentuk upacara Bhuta Yadnya itu antara lain segehan, caru sampai dengan tawur. Segehan terdiri dari lima belas jenis.

Dilihat dari penjelasan konsep butha yadnya tersebut nampak bahwa semua yang

ada dialam ini patut kita hormati, dengan demikian setiap keluarga semsetinya memahami

apa yang harus dilakukan dalam kehidupan ini. Bagaimana dengan keluarga di desa

Gunungsari, terhadap aspek ini menyatakan bahwa mecaru itu adalah cenderung sebagai

upacara nyomia atau mendamaikan atau mengubah fungsi dari negatif menjadi positif.

Sedang arti sebenarnya Bhuta Yadnya adalah memelihara kesejahteraan alam, untuk

mengenalkan cara-cara melaksanakan kegiatan caru itu juga dilakukan dengan memberi

contoh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang tua di desa Gunungsari dalam

mengenalkan aspek pitra yadnya sudah dipahami dengan baik dan menanamkan nilai-nilai

tersebut dengan cara Pola Pembiasaan dan Keteladan.

e). Pelaksanaan Pola Asuh Terhadap Aspek Manusa Yadnya, Dalam rumusan kitab suci Weda dan kitab-kitab sastra Hindu, Manusa Yadnya atau Nara Yadnya itu

adalah memberi makan pada masyarakat (maweh apangan ring kramari) dan melayani

tamu dalam upacara (athiti puja). Upacara manusa yadnya adalah jenis upacara yang paling

sering dilaksanakan mulai dari dalam kandungan sampai mereka melaksanakan upacara

(17)

nilai-nilai ini terhadap keluarganya bahwa aktivitas dari panca yadnya tersebut lebih dominan

dalam bidang manusia yadnya, aspek upacara manusa yadnya dilaksanakan atau pola asuh

yang dilaksanakan terhadap keluarga mereka adalah dengan Pola Pembiasaan dan

Keteladan ini dapat kita ketahui yaitu dengan apa yang diketahui oleh anak-anak mereka

adalah hasil mereka melihat apa yang dilaksanakan oleh orang tua mereka sebelumnya.

IV. Penutup

Dari hasil pembahasan terhadap permasalahan yang ada maka dengan dapat disimpulkan bahwa keluarga di desa Gunungsari didalam menerapkan pola asuh terhadap anggota keluarganya terhadap aspek-aspek tatwa, etika dan upacara adalah mempergunakan berbagai pola seperti 1) terhadap konsep tattwa ditanamkan dengan mempergunakan Pola Cerita, Pola Keteladan dan Pola Pratyaksa Pramana, dan Pola Anumana Pramana. 2) terhadap konsep etika ditanamkan dengan mempergunakan Pola Asuh Keteladan, Pola Pembiasaan dan Pola Otoriter, 3) terhadap konsep Upacara mempergunakan Pola Keteladan, dan Pola Pembiasaan.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Adeney, Bernad. 2000. Etika Sosial Lintas Budaya. Yogyakarta: Kanisius.

Atmaja.2003. Perempatan Agung (Catuspata) menguak Konsepsi Palemahan, Ruang dan Waktu Masyarakat Bali. Denpasar: Bali Media Adhikarsa.

Bertens, K. 2004. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bhartihari. 2005. Niti Sataka (100 Sloka Tentang Etika dan Moralitas). Denpasar: Empat Warna Komunikasi.

Budha,Gauatama Wayan. 2003. Tutur Lebur Gangsa (Terjemahan Lontar). Surabaya: Paramita.

C. Fracassi, dan P. Urbani. 2000. Wejanggan Bhagawan Sri Satya Sai Baba (Mendidik Anak Suputra Dalam Keluarga). Surabaya: Paramitha.

Dantes, Nyoman.1999. Teori-Teori Belajar, Teori-teori Intruksional dan Model Pembelajaran, Makalah Seminar disajikan dihadapan Dosen JIP STKIP Singaraja pada tanggal 6 Pebruari 1999.

Darmayasa, I Made.1995. Canakya Niti Sastra. Denpasar: Yayasan Dharma Narada.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga (Sebuah Persepektif Pendidikan Islam). Jakarta: Rineka Cipta.

Donder, I Ketut. 2004. Sisya Sista (Pedoman Menjadi Siswa Mulia Dalam Perspektif Relegiososiolenguistik Edukatif). Denpasar: Pustaka Bali Post.

Dekdibud,.1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia: Jakarta Balai Pustaka

Jendra, I Wayan. 2006. Berbicara Dalam Sastra Hindu (Tinjauan Relegiososiolenguistik Filosofis). Denpasar: Empat Warna Komunikasi.

Kadjeng, I Nyoman dkk. 1997. Saracamucaya.Surabaya: Paramita

(19)

Mimbeng, I Gede. 1997.Kakawin Nitisastra dan Putra Sasana, Kecamatan Cakranegara, Kodya Mataram: Pesantian Sanatagita.

Moleong. 2002. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Pudja, IG, dan Tjok. Rai Sudharta. 1976. Manawa Dharmacastra (Manu Dharmacastra). Jakarta: Departemen Agama R.I

Pudja. IG. 2003. Bhagawandgita (Pancama Weda). Jakarta: Pustaka Mitra Jaya.

Shocib,Moh. 1998. Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta: Rineka Cipta.

Soekanto, Soerjono.2004. Sosiologi Keluarga (Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak. Jakarta: Rineka Jakarta

Su’adah.2005. Sosiologi Keluarga. Malang:UMM .

Subagiasta, I Ketut.2007.Susastra Hindu. Surabaya: Paramita.

Sudarsana.I.B. Putu 1998. Ajaran Agama Hindu (Budi Pakerti) Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.

Suhardana,K.M.2006. Pengantar Etika dan Moralitas Hindu (Bahan Kajian Untuk Memperbaiki Tingkah Laku),Surabaya: Paramita.

Tantra, Dewa Komang.2003.Penelitian Kualitatif, Disampaikan dalam Penataran Metodelogi Penelitian Bagi Dosen di Lingkungan Universitas Flores, Yofertif pada tanggal 5 s.d 9 Agustus di Flores, Nusa Tenggara Timur.

Titib, I Made.2003. Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pakerti Pada Anak (Persefektif Agama Hindu). Bandung: Ganeca Exact Bandung.

---,1997. Perkawinan dan Kehidupan Keluarga (Menurut Kitab Suci Veda). Surabaya: Paramita.

Wiana, I Ketut.1993. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan, Pengantar Made Titib. Denpasar: Manikgeni.

(20)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Bab enam adalah berkenaan dengan penemuan dan perbincangan, iaitu penilaian aset warisan budaya Minangkabau di Kabupaten Tanah Datar dari segi keunikan dan

Berbeda dengan impor non-Migas yang mengalami kenaikan sebesar 1,44% yaitu dari sebelumnya USD11,79 miliar pada Januari 2021 menjadi USD11,95 miliar pada Febuari 2021.. Ekspor

Dengan observasi langsung, peneliti melakukan pengamatan untuk mencari data yang nantinya menjadi salah satu sumber data yang kemudian dapat diolah menjadi bahan

Karena kondisi Rumah Sakit Umum Sawerigading Palopo sebagai rumah sakit peralihan dari tipe kelas C menjadi B, maka diperlukan penerapan asuhan keperawatan yang sesuai

Kita tahu bahwa gereja-gereja di Asia melakukan hal ini, karena kita membaca dalam Kolose 4:16 kata-kata ini, "Dan bilamana surat ini telah dibacakan di antara

Data bahan makanan yang digunakan sebanyak 100 data dan dari hasil pengolahan data menggunakan algoritma genetika di dapatkan nilai dari rata- rata fitness adalah

Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah tenaga marketing tidak perlu lagi melakukan presensi melalui perangkat mesin sidik jari, melainkan cukup