• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika and Tanggung Jawab Profesi Notaris

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Etika and Tanggung Jawab Profesi Notaris"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

ETIKA DALAM PROFESI NOTARIS

Tugas Mata Kuliah Etika dan Tanggung Jawab Profesi

Dosen Pengampu : Dr. Sahnan, S.H, M.Hum.

Disusun oleh :

I Made Ariwangsa W ( D1A 111 109 )

FAKULTAS HUKUM JURUSAN ILMU HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... I

PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 2

PEMBAHASAN ... 3

A. ETIKA DAN PROFESI ... 5

Etika ... 5

Profesi ... 9

Hubungan Antara Etika Dan Profesi ... 13

B. ETIKA DAN PROFESI HUKUM ... 16

Hukum ... 17

Profesi Hukum ... 18

C. NOTARIS SEBAGAI PROFESI ... 22

Pengertian Notaris ... 22

Syarat Menjadi Notaris ... 25

Etika Dalam Menjalankan Profesi Notaris ... 27

KESIMPULAN ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

A. Internet ... 32

B. Buku ... 32

C. Arsip ... 32

D. Peraturan Perundang-undangan ... 32

E. Lain-Lain ... 33

(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai negara yang meletakkan hukum sebagai kekuatan tertinggi berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan jaminan bagi seluruh warga negaranya untuk mendapatkan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan pada kebenaran dan keadilan. Jaminan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum tersebut tentunya membutuhkan upaya konkret agar terselenggara dengan seksama sebagai bentuk pertanggungjawaban negara bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.

Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak

(4)

penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan ditandatanganinya.

Kode Etik bagi profesi Notaris sangat diperlukan untuk menjaga kualitas pelayanan hukum kepada masyarakat oleh karena hal tersebut, Ikatan Notaris Indonesia (INI) sebagai satu-satunya organisasi protesi yang diakui kebenarannya sesuai dengan UU Jabatan Notaris No.30 Tahun 2004, menetapkan Kode Etik bagi para anggotanya.

Jabatan notaris adalah merupakan jabatan kepercayaan.Undang-undang telah memberi kewenangan kepada para Notaris yang begitu besar untuk membuat alat bukti yang otentik, karenanya ketentuan-ketentuan dalam UU Jabatan Notaris begitu ketatnya dan penuh dengan sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana tanpa mengurangi kemungkinan diterapkannya sanksi pemberhentian sementara sampai ke pemecatan.

Kode etik notaris sendiri sebagai suatu ketentuan yang mengatur tingkah laku notaris dalam melaksanakan jabatannya, juga mengatur hubungan sesama rekan notaris. Pada hakekatnya Kode Etik Notaris merupakan penjabaran lebih lanjut dari apa yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris. Dalam kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu profesi dimana seseorang dapat menyelesaikan masalah-masalah hukum yang dihadapinya yaitu salah satunya dengan menghadap kepada seorang Notaris.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, pemakalah merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apa hubungan antara profesi dengan etika?

2. Dapatkan notaris disebut sebagai profesi? 3. Bagaimana etika dalam profesi notaris?

(5)

BAB II PEMBAHASAN

Sekitar abad ke 5, notaris dianggap sebagai pejabat istana. Di Italia utara sebagai daerah perdagangan utama pada abad ke 11 - 12, dikenal Latijnse Notariat, yaitu orang yang diangkat oleh penguasa umum, dengan tujuan melayani kepentingan masyarakat umum, dan boleh mendapatkan honorarium atas jasanya oleh masyarakat umum.

Latijnse notariat ini murni berasal dari Italia Utara, bukan sebagai pengaruh hukum Romawi Kuno. Pada tahun 1888, terbitlah buku Formularium Tabellionum oleh Imerius, pendiri sekolah Bologna, dalam rangka peringatan 8 abad sekolah hukum Bologna. Berturut-turut seratus tahun kemudian ditebitkan Summa Artis Notariae oleh Rantero dari Perugia, kemudian pada abad ke-13 buku dengan judul yang sama diterbitkan oleh Rolandinus Passegeri. Selain itu, Ronaldinus Passegeri kemudian juga menerbitkan Flos Tamentorum. Buku-buku tersebut menjelaskan definisi notaris, fungsi, kewenangan dan kewajiban-kewajibannya.

Empat istilah notaris pada zaman Italia Utara:

1. Notarii, adalah pejabat istana melakukan pekerjaan administratif;

2. Tabeliones, adalah sekelompok orang yang melakukan pekerjaan tulis menulis, mereka diangkat tidak sebagai pemerintah atau kekaisaran dan diatur oleh undang-undang tersebut;

3. Tabularii: pegawai negeri, ditugaskan untuk memelihara pembukuan keuangan kota dan diberi kewenangan untuk membuat akta;Ketiganya belum membentuk sebuah bentuk akta otentik,

4. Notaris: pejabat yang membuat akta otentik.

Karel de Grote mengadakan perubahan-perubahan dalam hukum peradilan notaris, dia membagi notaris menjadi:

1. Notarii untuk konselor raja dan kanselarij paus;

2. Tabelio dan clericus untuk gereja induk dan pejabat-pejabat agama yang kedudukannya lebih rendah dari Paus.

Pada abad ke-14, profesi notaris mengalami kemunduran dikarenakan penjualan jabatan notaris oleh penguasa demi uang dimana ketidaksiapan notaris dadakan tersebut mengakibatkan kerugian kepada masyarakat banyak.

Sementara itu, kebutuhan atas profesi notaris telah sampai di Perancis. Pada abad ke-13 terbitlah buku Les Trois Notaires oleh Papon. Pada 6 oktober 1791, untuk pertama kali diundangkan undang-undang di bidang notariat yang hanya mengenal 1 macam notaris.

(6)

Pada tanggal 16 maret 1803 diganti dengan Ventosewet yang memperkenalkan pelembagaan notaris yang bertujuan memberikan jaminan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat umum. Pada abad itu penjajahan pemerintah kolonial Belanda telah dimulai di Indonesia. Secara bersamaan pula, Belanda mengadaptasi Ventosewet dari Perancis dan menamainya Notariswet. Dan sesuai dengan asas konkordasi, undang-undang itu juga berlaku di Hindia Belanda (Indonesia).

Notaris pertama yang diangkat di Indonesia adalah Melchior Kelchem, sekretaris dari College van Schenpenen di Jakarta pada tanggal 27 Agustus 1620. Selanjutnya secara berturut-turut

diangkat beberapa notaris lainnya yang kebanyakan adalah keturunan Belanda atau Timur Asing lainnya.

Pada tanggal 26 Januari 1860 diterbitkan peraturan Notaris Reglement yang selanjutnya dikenal sebagai Peraturan Jabatan Notaris. Reglement atau ketentuan ini bisa dibilang adalah kopian dari Notariswet yang berlaku di Belanda. Peraturan jabatan notaris terdiri dari 66 pasal. Peraturan jabatan notaris ini masih berlaku sampai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 agustus 1945, terjadi kekosongan pejabat notaris dikarenakan mereka memilih untuk pulang ke negeri Belanda. Untuk mengisi kekosongan ini, pemerintah menyelenggarakan kursus-kursus bagi warga negara Indonesia yang memiliki pengalaman di bidang hukum (biasanya wakil notaris). Jadi, walaupun tidak berpredikat sarjana hukum saat itu, mereka mengisi kekosongan pejabat notaris di Indonesia.

Selanjutnya pada tahun 1954, diadakan kursus-kursus independen di Universitas Indonesia. Dilanjutkan dengan kursus notariat dengan menempel di Fakultas Hukum, sampai tahun 1970 diadakan program studi spesialis notariat, sebuah program yang mengajarkan keterampilan (membuat perjanjian, kontrak, dan lain-lain) yang memberikan gelar sarjana hukum (bukan CN – candidate notaris atau calon notaris) pada lulusannya.

Pada tahun 2000 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 yang membolehkan penyelenggaraan spesialis notariat. Peraturan Pemerintah ini mengubah program studi spesialis notarist menjadi program magister yang bersifat keilmuan, dengan gelar akhir Magister Kenotariatan (M.Kn.).

Yang mengkehendaki keberadaan profesi notaris di Indonesia adalah pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Suatu akta otentik ialah suatu akta di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, yang dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.” Sebagai

(7)

pelaksanaan pasal tersebut, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagai pengganti Staatbald Nomor 30 Tahun 1860.

A. ETIKA DAN PROFESI

Etika

Kata etik atau etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai:

1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak serta kewajiban moral;

2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; 3. Asas perilaku yang menjadi pedoman.

Menurut Martin, etika didefinisikan sebagai “the discipline which can act as the performance index or reference for our control system”. Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control” - pengendalian diri, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.

Etika, atau seringkali disebut juga filsafat moral, adalah cabang ilmu pengetahuan filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan keadaan atau keberadaan manusia, akan tetapi mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma. Norma ini masih dapat dibagi lagi menjadi norma hukum, norma moral, norma agama dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan peraturan perundang-undangan, norma agama berasal dari agama atau keyakinan religius, norma moral berasal dari suara batin atau nurani manusia, sedangkan norma sopan santun berasal dari kebiasaan kehidupan sehari-hari yang dijunjung tinggi masyarakat. Kesatuan dari seluruh norma ini yang kemudian dijelmakan dalam keseharian manusia adalah sesuatu yang diterjemahkan dalam satu kata, yaitu etika.

Selain etika, dikenal pula suatu kata berbeda, yaitu etiket. Etika (ethics) berarti moral sedangkan etiket (etiquette) berarti sopan santun. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, etiket diartikan sebagai aturan sopan santun atau tata cara dalam pergaulan.

(8)

Persamaan antara etika dengan etiket yaitu:

1. Baik etika maupun etiket adalah menyangkut perilaku manusia. Kedua istilah tersebut dipakai mengenai manusia - tidak mengenai binatang - karena binatang tidak mengenal etika maupun etiket.

2. Keduanya mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan, apa yang boleh dilakukan, serta apa yang tidak boleh dilakukan. Karena sifatnya yang normatif ini maka penggunaan kedua istilah tersebut sering bercampur aduk.

Adapun perbedaan antara etika dengan etiket dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Etiket menyangkut cara melakukan perbuatan manusia, yaitu menunjukkan cara yang tepat, artinya cara yang diharapkan serta ditentukan dalam sebuah kalangan tertentu. Sedangkan etika tidak terbatas pada cara melakukan sebuah perbuatan, tetapi etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah sebuah perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan.

2. Etiket hanya berlaku untuk pergaulan, sedangkan etika selalu berlaku walaupun tidak ada orang lain. Barang yang dipinjam harus dikembalikan walaupun pemiliknya sudah lupa. Dengan demikian, maka etiket ini tidak berlaku untuk seseorang yang tinggal sendiri, misalnya berada tengah hutan di atas gunung atau terdampar di pulau terpencil.

3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam sebuah kebudayaan dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Etika jauh lebih absolut. Perintah seperti “jangan berbohong”, “jangan mencuri” merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.

4. Etiket hanya memadang manusia dari segi lahiriah saja, sedangkan etika memandang manusia dari segi dalam. Penipu misalnya tutur katanya lembut, memegang etiket namun menipu. Orang dapat memegang etiket namun munafik sebaliknya seseorang yang berpegang pada etika tidak dapat munafik karena seandainya dia munafik maka dia tidak bersikap etis. Orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-sungguh baik.

Etika ini perlu dibedakan dari moral. Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat pada sekelompok manusia. Ajaran moral mengajarkan bagaimana orang harus hidup atau bagaimana orang harus menjalani hidupnya. Ajaran moral merupakan rumusan sistematik terhadap anggapan tentang apa yang bernilai serta kewajiban manusia. Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai dan norma moral yang terdapat di antara sekelompok manusia. Adapun nilai moral adalah kebaikan manusia

(9)

sebagai manusia. Norma moral adalah tentang bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi baik sebagai manusia. Ada perbedaan antara kebaikan moral dan kebaikan pada umumnya. Kebaikan moral merupakan kebaikan manusia sebagai manusia sedangkan kebaikan pada umumnya merupakan kebaikan manusia dilihat dari satu segi saja.

Moral berkaitan dengan moralitas. Moral diartikan sebagai ajaran tentang baik atau buruk yang diterima oleh umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, susila. Moralitas adalah kesopansantunan, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket atau sopan santun. Moralitas dapat berasal dari sumber tradisi atau adat, agama atau sebuah ideologi atau gabungan dari beberapa sumber.

Etika bukan sumber tambahan moralitas melainkan merupakan filsafat yang mereflesikan ajaran moral. Pemikiran filsafat mempunyai lima ciri khas yaitu rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif. Rasional berarti mendasarkan diri pada rasio atau nalar, pada argumentasi yang bersedia untuk dipersoalkan tanpa perkecualian. Kritis berarti filsafat ingin mengerti sebuah masalah sampai ke akar-akarnya, tidak puas dengan pengertian dangkal. Sistematis artinya membahas langkah demi langkah. Normatif menyelidiki bagaimana pandangan moral yang seharusnya.

Dalam pengertian etika sebagai ilmu filsafat, etika tidak sekadar melaporkan pandangan moral melainkan menyelidiki bagaimana pandangan moral yang sebenarnya. Dengan demikian maka etika adalah sesuatu yang lebih mendasar daripada ajaran moral.

Bila dikontraskan dengan agama, maka etika inipun berbeda dengan agama. Etika tidak dapat menggantikan agama. Agama merupakan hal yang tepat untuk memberikan orientasi moral. Pemeluk agama menemukan orientasi dasar kehidupan dalam agamanya. Akan tetapi agama itu memerlukan ketrampilan etika agar dapat memberikan orientasi, bukan sekadar indoktrinasi.

Etika sebagai cabang ilmu dari filsafat menyadarkan diri pada pemikiran rasional yang dapat membantu manusia dalam menggali agama yang menyandarkan dirinya pada wahyu. Manusia tidak puas hanya mendengar bahwa Tuhan memerintahkan sesuatu, tetapi ia juga ingin memahami mengapa Tuhan memerintahkannya. Dalam agama, pertanyaan adalah bersifat tertutup, atau dengan kata lain, pertanyaan harus dibahas dengan konteks tertentu yang sesuai dengan kaidah agama tertentu pula. Dalam etika, sebagai bagian dari cabang pengetahuan, maka pertanyaannya bersifat terbuka, yaitu bahwa setiap orang boleh bertanya apa saja tentang apa saja tanpa memandang kepercayaan atau keyakinannya. Selain apa yang telah diuraikan di atas, kata etika sering pula digunakan secara rancu dengan istilah etis, etos, dan kode etik.

(10)

Etis artinya sesuai dengan ajaran moral dan tuntunan etiket, misalnya tidak etis menanyakan jumlah gaji pada orang lain, terutama yang baru dikenal. Etos artinya sikap dasar seseorang dalam bidang tertentu. Maka ada ungkapan etos kerja artinya sikap dasar seseorang dalam pekerjaannya, misalnya etos kerja yang tinggi artinya dia menaruh sikap dasar yang tinggi terhadap pekerjaannya. Kode etik artinya kebolehan ataupun kewajiban dalam suatu bidang dalam rangka menjalankan tugas sebuah profesi yang disusun oleh anggota profesi dan mengikat anggota dalam menjalankan tugasnya.

Kata lain yang berhubungan adalah ethical (etis - kata sifat), yang dalam Blak’s law Dictionary berarti sesuatu yang berhubungan dengan kewajiban moral diantara manusia, misalnya dalam bidang hukum adalah hal yang berkaitan dengan etika hukum atau aturan etis mengenai kerahasiaan. Etis ini juga dipahami sebagai suatu hal yang sesuai dengan norma-norma moral atau standar perilaku profesional, misalnya menolak untuk menginformasikan seorang informan dianggap sebagai perilaku etika yang baik. Kemudian ada lagi istilah pertimbangan etis (ethical consideration) yang diartikan sebagai suatu komponen struktural dari kumpulan nilai-nilai etika yang ditujukan sebagai suatu acuan tanggung jawab profesi hukum yang mengandung suatu tujuan atau prinsip etika untuk membimbing tindakan praktisi profesi hukum.

Etika hukum (legal ethics) menurut Black’s Law Dictionary diartikan sebagai ‘standards of professional conduct applicable to members of the legal profession’ – standar tindakan

profesional yang dipraktekkan oleh praktisi profesi hukum. Menurut Deborah L. Rhode & David Luban (Legal Ethics 3, 1992) "In one sense, the term 'legal ethics' refers narrowly to the system of professional regulations governing the conduct of lawyers. In a broader sense,

however, legal ethics is simply a special case of ethics in general, as ethics is understood in

the central traditions of philosophy and religion. From this broader perspective, legal ethics

cuts more deeply than legal regulation: it concerns the fundamentals of our moral lives as

lawyers.".

Sebagai antonim dari ethical, dalam Black’s Law Dictionary terdapat kata unethical (kata sifat) yang dipahami sebagai ketidaksesuaian dengan norma-norma moral dari standar perilaku profesional.

Etika terbagi atas dua bidang besar, yaitu:

1. Etika umum, yang dapat dibagi lagi menjadi prinsip dan moral.

2. Etika khusus yang dibagi menjadi etika individu dan etika sosial. Etika sosial yang hanya berlaku bagi kelompok profesi tertentu disebut sebagai kode etika atau kode etik.

(11)

Profesi

Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya; serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut.

Profesi dalam Kamus Bahasa Indonesia adalah bidang pekerjaan yang dilandasi dengan pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan dan sebagainya) tertentu. Jenis profesi yang banyak dikenal antara lain profesi hukum, profesi bisnis, profesi kedokteran, profesi pendidikan (guru).

Dalam Black’s Law Dictionary, profesi (profession) dimaknai sebagai a vocation requiring advanced education and training - suatu pekerjaan yang membutuhkan pendidikan yang

maju (keahlian) dan pelatihan (kemahiran), misalnya secara umum ada tiga profesi, yaitu hukum, medis, dan pemerintahan. Menurut Brown, ‘Learned professions are characterized by the need of unusual learning, the existence of confidential relations, the adherence to a

standard of ethics higher than that of the market place, and in a profession like that of

medicine by intimate and delicate personal ministration. Traditionally, the learned

professions were theology, law and medicine; but some other occupations have climbed, and

still others may climb, to the professional plane’. Profesi ini ditandai dengan kebutuhan akan

pembelajaran yang tidak biasa, keberadaan hubungan yang bersifat rahasia, ketaatan pada suatu standar etika yang lebih tinggi dari kebutuhan pasar, serta dalam profesi itu bagaikan pengobatan secara intim dan kelembutan pertolongan personal.

Pengertian profesi menurut Osnstien dan Live dijabarkan sebagai “Melayani masyarakat, merupakan karir yang dilakukan sepanjang hayat. Melakukan bidang dan ilmu dan kerampilan tertentu. Memerlukan latihan khusus dalam jangka waktu yang lama. Melakukan status sosial dan ekonomi yang tinggi”. Menurut Sanusi, profesi adalah suatu jabatan yang memiliki fungsi dan signifikan yang menentukan (krusial), sedangkan De George memandang profesi sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.

Ada tiga ciri utama profesi, yaitu:

1. Sebuah profesi mensyaratkan pelatihan ekstensif sebelum memasuki sebuah profesi;

(12)

2. Pelatihan tersebut meliputi komponen intelektual yang signifikan yang mencakup hardskill maupun softskill;

3. Tenaga yang terdidik dan terlatih yang lebih mampu dalam melayani kebutuhan jasa yang penting kepada masyarakat.

Menurut Liliana Tedjosaputro, suatu lapangan kerja dapat dikategorikan sebagai profesi harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:

1. Pengetahuan (knowledge);

2. Penerapan keahlian (competence of application); 3. Tanggung jawab sosial (social responsibility); 4. Pengendalian diri (self control);

5. Pengakuan oleh masyarakat (social sanction).

Ciri-ciri khas profesi dalam International Encyclopedia of Education adalah sebagai berikut : 1. Suatu bidang yang terorganisasi dari teori intelektual yang terus menerus berkembang

dan diperluas;

2. Suatu teknik intelektual;

3. Penerapan praktis dan teknik intelektual pada urusan praktis; 4. Suatu periode panjang untuk pelatihan dan sertifikatisasi;

5. Beberapa standar dan pernyataan tentang etika profesi yang dapat diselenggarakan; 6. Kemampuan memberi kepemimpinan pada profesi sendiri;

7. Asosiasi dari anggota-anggota profesi menjadi suatu kelompok yang akrab dengan kualitas komunikasi yang tinggi antar anggota;

8. Pengakuan sebagai profesi;

9. Perhatian yang profesional terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan profesi;

10. Hubungan yang erat dengan profesi lain.

Sedangkan menurut Budi Santoso, ciri-ciri profesi adalah :

1. Suatu bidang yang terorganisir dari jenis intelektual yang terus menerus dan berkembang dan diperluas;

2. Suatu teknis intelektual;

3. Penerapan praktis dari teknis intelektual pada urusan praktis ; 4. Suatu periode panjang untuk suatu pelatihan dan sertifikasi;

5. Beberapa standar dan pernyatan tentang etika yang dapat diselenggarakan; 6. Kemampuan memberi kepemimpinan pada profesi sendiri;

7. Asosiasi dari anggota-anggota profesi yang menjadi suatu kelompok yang akrab dengan kualitas komunikasi yang tinggi antar anggota;

(13)

8. Pengakuan sebagai profesi;

9. Perhatian yang profesional terhadap penggunaan yang bertanggung jawab dari pekerjaan profesi;

10. Hubungan erat dengan profesi lain.

Pameo "ubi societas ibi ius" (dimana ada masyarakat, disana ada hukum) sebenarnya mengungkapkan bahwa hukum adalah suatu gejala sosial yang bersifat universal. Dalam setiap masyarakat, mulai dari yang paling modern sampai pada masyarakat yang primitif, terdapat gejala sosial yang disebut hukum, apapun namanya. Bentuk dan wujudnya berbeda-beda, tergantung pada tingkat kemajemukan dan peradapan masyarakat yang bersangkutan. Istilah-istilah yang bermunculan di masyarakat pun tidak berbeda dengan apa dengan apa yang dialami dengan istilah hukum, yakni seiring dengan perkembangan (dinamika) yang terjadi dalam realitas kehidupan masyarakat. Di tengah masyarakat terdapat pelaku-pelaku sosial, politik, budaya, agama, ekonomi, dan lainnya, yang bisa saja melahirkan istilah-istilah atau makna varian sejalan dengan tarik menarik kepentingan. Perkembangan istilah-istilah yang diadaptasikan dengan dinamika sosial budaya masyarakat kerapkali menyulitkan kalangan ahli bahasa, terutama bila dikaitkan dengan penggunaan bahasa yang dilakukan di lingkungan jurnalistik media cetak. Perkembangan pers yang mengikuti target-target globalisasi informasi, industrialisasi atau bisnis media, dan transformasi kultural, politik dan ekonomi yang berlangsung cepat telah memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pertumbuhan dan pergeseran serta pengembangan makna, istilah, atau kosakata. Misalnya kata profesi cukup gampang diangkat dan dipakai oleh bermacam-macam pekerjaan, perbuatan, perilaku dan pengambilan keputusan. Kata profesi mudah digunakan sebagai pembenaran terhadap aktifitas tertentu yang dilakukan seseorang atau sekumpulan orang.

Sementara itu, pemahaman mengenai profesi ini tidaklah sama dengan pengertian dalam kata ”pekerjaan”, meskipun oleh masyarakat awam dua kata ini dianggap sama. Perkerjaan, dalam Bahasa Indonesia berasal dari kata “kerja” dan awalan “pe-” ditambah dengan akhiran “-an”. Kerja dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti sesuatu yg dilakukan untuk mencari nafkah; mata pencaharian. Sedangkan “pekerjaan” diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan; tugas kewajiban; perusahaan; pencaharian; barang apa yg dijadikan pokok penghidupan. Kemudian, “pekerja” dimaknai sebagai orang yang melakukan pekerjaan; orang yang bekerja; orang yang makan upah; buruh.

Pekerjaan, dalam pandangan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) adalah sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia, sesuai bunyi Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”. Kemudian

(14)

dipertegas lagi dalam Pasal 28H (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” dan pasal 28H ayat (4) yang berbunyi “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”

Pernyataan dalam Undang-Undang Dasar 1945 ini kemudian ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dalam pasal 9 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.”. Disini, pekerjaan, atau dengan kata lain “usaha untuk meningkatkan taraf hidup” dipandang sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia, yaitu hak untuk hidup. Kemudian sebagai bagian dari hak atas kesejahteraan, dalam undang-undang yang sama menegaskan kembali dalam pasal 36 ayat (1) “Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum.” serta pasal 38 ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.”

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 38 memberi makna yang lebih jelas mengenai pekerjaan sebagai hak, seperti digambarkkan sebagai berikut.

1. Setiap orang berhak, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak.

2. Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan.

3. Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.

4. Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.

Dalam pemaknaan berdasarkan bunyi pasal 38 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di atas, tersirat pula mengenai profesi sebagai pekerjaan yang membutuhkan kualifikasi dan syarat-syarat khusus, misalnya syarat untuk menjadi seorang notaris haruslah mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, syarat dalam profesi Polisi diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sementara dalam profesi advokat atau

(15)

penasehat hukum mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan lain-lain.

Thomas Aquinas menyatakan, bahwa setiap wujud kerja mempunyai empat tujuan sebagaimana berikut :

1. Dengan bekerja, orang dapat memenuhi apa yang yang menjadi kebutuhan hidup sehari-harinya.

2. Dengan adanya lapangan pekerjaan, maka pengangguran dapat dihapuskan/dicegah. Hal ini juga berarti, dengan tidak adanya pengangguran, maka kemungkinan timbulnya kejahatan (pelanggaran hukum) dapat dihindari pula.

3. Dengan surplus hasil kerjanya, manusia juga dapat berbuat amal bagi sesamanya. 4. Dengan kerja, orang dapat mengontrol atau mengendalikan gaya hidupnya.

Berdasarkan uraian di atas, profesi ini tidaklah sama dengan pekerjaan. Setiap profesi adalah pekerjaan, sedangkan tidak semua pekerjaan dapat dikatakan sebagai profesi. Perbedaan paling besar dalam kedua hal ini adalah mengenai pensyaratan penguasaan ilmu pengetahuan serta landasan etika. Dalam pekerjaan, kerja dilakukan semata-mata untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia secara layak, sehingga penguasaan ilmu pengetahuan bukanlah syarat mutlak meskipun hal itu akan memberi keuntungan lebih besar bagi subyeknya bila dibandingkan dengan yang tidak menguasai ilmunya. Dalam profesi, penguasaan pengetahuan adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi. Selain itu, profesi ini menuntut pula syarat etika sebagai landasan moral dalam aktifitasnya, sesuatu yang tidak menjadi keharusan dalam pekerjaan. Dengan demikian, profesi membutuhkan instrumen yang berupa kode etik yang telah disepakati dan diberlakukan dalam masing-masing profesi, sedangkan pekerjaan tidak membutuhkan kode etik yang tertuang dalam rumusan lisan sebagaimana adanya dalam profesi.

Hubungan Antara Etika Dan Profesi

Menurut Anang Usman, S.H, M.Si., etika profesi adalah sebagai sikap hidup untuk memenuhi kebutuhan pelayanan profesional dari klien dengan keterlibatan dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka kewajiban masyarakat sebagai keseluruhan terhadap para anggota masyarakat yang membutuhkannya dengan disertai refleksi yang seksama.

Dalam suatu profesi tertentu, diatur mengenai kode etik. Kode etik adalah suatu sistem norma, nilai dan aturan profesional secara tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi seorang profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Tujuan diadakannya kode etik profesi adalah untuk memberikan

(16)

jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya, serta akan melindungi baik klien atau pengguna jasa profesi tersebut maupun penyedia jasa profesi dari perbuatan yang tidak profesional atau bahkan melanggar hukum.

Dalam Black’s Law Dictionary, kata profesi ini berkaitan dengan 3 hal, yaitu professional (profesional), professionalism (profesionalisme), serta professional relationship (hubungan profesional). Profesional (professional) (kata benda) diartikan sebagai ‘a person who belongs to a learned profession or whose occupation requires a high level of training and proficiency’.

Profesionalisme (professionalism) diartikan sebagai ‘The practice of a learned art in a characteristically methodical, courteous, and ethical manner’. Sementara hubungan

profesional (professional relationship) dimaknai sebagai ‘an association that involves one person's reliance on the other person's specialized training. Examples include one's

relationship with a lawyer, doctor, insurer, banker, and the like’.

Sifat dan orientasi kode etik profesi hendaknya: 1. Singkat;

2. Sederhana;

3. Jelas dan Konsisten; 4. Masuk Akal;

5. Dapat Diterima;

6. Praktis dan Dapat Dilaksanakan; 7. Komprehensif dan Lengkap; dan 8. Positif dalam Formulasinya.

Orientasi Kode Etik hendaknya ditujukan kepada: 1. Rekan;

2. Profesi; 3. Badan;

4. Nasabah atau pemakai layanan; 5. Negara; dan

6. Masyarakat umum.

Dalam pemahaman Wignjosoebroto, profesionalisme dimaknai sebagai suatu paham yang mencitakan dilakukannya kegiatan-kegiatan kerja tertentu dalam masyarakat berbekalkan keahlian yang tinggi dan berdasarkan rasa keterpanggilan - serta ikrar untuk menerima panggilan tersebut - dengan semangat pengabdian selalu siap memberikan pertolongan kepada sesama yang tengah dirundung kesulitan di tengah gelapnya kehidupan.

(17)

Tiga watak kerja profesionalisme:

1. Kerja seorang profesional itu beritikad untuk merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digeluti, dan oleh karenanya tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah materiil;

2. Kerja seorang profesional itu harus dilandasi oleh kemahiran teknis yang berkualitas tinggi yang dicapai melalui proses pendidikan dan/atau pelatihan yang panjang, ekslusif dan berat;

3. Kerja seorang profesional - diukur dengan kualitas teknis dan kualitas moral - harus menundukkan diri pada sebuah mekanisme kontrol berupa kode etik yang dikembangkan dan disepakati bersama di dalam sebuah organisasi profesi.

Menurut Harris, ruang gerak seorang profesional ini akan diatur melalui etika profesi yang distandarkan dalam bentuk kode etik profesi. Pelanggaran terhadap kode etik profesi bisa dalam berbagai bentuk, meskipun dalam praktek yang umum dijumpai akan mencakup dua kasus utama, yaitu:

1. Pelanggaran terhadap perbuatan yang tidak mencerminkan respek terhadap nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh profesi itu. Memperdagangkan jasa atau membeda-bedakan pelayanan jasa atas dasar keinginan untuk mendapatkan keuntungan uang yang berkelebihan ataupun kekuasaan merupakan perbuatan yang sering dianggap melanggar kode etik profesi;

2. Pelanggaran terhadap perbuatan pelayanan jasa profesi yang kurang mencerminkan kualitas keahlian yang sulit atau kurang dapat dipertanggungjawabkan menurut standar maupun kriteria profesional.

Seluruh sektor kehidupan, aktivitas, pola hidup, berpolitik baik dalam lingkup mikro maupun makro harus selalu berlandaskan nilai-nilai etika. Urgensi dari adanya etika adalah:

1. Dengan dipakainya etika dalam seluruh sektor kehidupan manusia baik mikro maupun makro diharapakan dapat terwujud pengendalian, pengawasan dan penyesuaian sesuai dengan panduan etika yang wajib dipijaki;

2. Terjadinya tertib kehidupan bermasyarakat;

3. Dapat ditegakan nilai-nilai dan advokasi kemanusiaan, kejujuran, keterbukaan dan keadilan;

4. Dapat ditegakkannya hidup manusia;

5. Dapat dihindarkan terjadinya free fight competition dan abus competition; dan

6. Sebagai penjagaan agar tetap berpegang teguh pada norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat sehingga tatanan kehidupan dapat berlangsung dengan baik.

(18)

Urgensi atau pentingnya beretika sejak jaman Aristoteles menjadi pembahasan utama dengan tulisannya yang berjudul “Ethika Nicomachela”. Aristoteles berpendapat bahwa tata pegaulan dan penghargaan seorang manusia, yang tidak didasarkan oleh egoisme atau kepentingan individu, akan tetapi didasarkan pada hal-hal yang altruistik, yaitu memperhatikan orang lain. Pandangan Aristoteles ini jelas, bahwa urgensi etika berkaitan dengan kepedulian dan tuntutan memperhatikan orang lain. Dengan berpegang pada etika, kehidupan manusia menjadi jauh lebih bermakna, jauh dari keinginan untuk melakukan pengrusakan dan kekacauan-kekacauan.

Dalam hubungannya dengan profesi, etika ini kemudian disusun dalam suatu bangunan yang disebut sebagai kode etik profesi. Antara satu profesi dengan profesi yang lain terjadi perbedaan dalam perumusan kode etik yang diberlakukan walaupun esensi dari masing-masingnya adalah sama, yaitu menjadi pembatas yang menjurus pada nilai profesionalisme. Kode etik profesi merupakan suatu tatanan etika yang telah disepakati oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Kode etik umumnya termasuk dalam norma sosial, namun bila ada kode etik yang memiliki sanksi yang agak berat, maka masuk dalam kategori norma hukum. Kode Etik juga dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku. Tujuan kode etik agar profesional memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai atau nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional.

B. ETIKA DAN PROFESI HUKUM

Di Indonesia, terdapat beberapa pekerjaan di bidang hukum yang diakui sebagai profesi, antara lain Advokat, Kurator, Arbiter, Mediator, Hakim, Notaris, Jaksa, Panitera, Jurusita, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Konsultan Hak Kekayaan Intelektual, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, Konsultan Hukum Pasar Modal, Polisi, Konsultan Pajak, Polisi Kehutanan dan Jagawana, serta Tentara (anggota TNI). Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur dengan ketat mengenai syarat-syarat minimum yang harus dipenuhi dalam menjalankan profesi-profesi tersebut, termasuk juga syarat-syarat etika. Menurut beberapa literatur, pekerjaan spesifik tersebut dinyatakan perannya sebagai jabatan, dan bukan sebagai orangnya. Menurut E. Utrecht, seperti dikutip di dalam Pengantar Hukum Administrasi Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit Ikhtiar, Jakarta, tahun 1963, halaman 159, "jabatan" (ambt) adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara

(kepentingan umum). Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "lingkungan

(19)

pekerjaan tetap" ialah suatu lingkungan pekerjaaan yang sebanyak-aanyaknya dapat dinyatakan dengan tepat-teliti atau seakurat mungkin (zoveel mogelijk nauwkeurig omschreven) dan yang bersifat duurzam (tidak dapat diubah begitu saja). Oleh karena itu,

maka jabatan merupakan subjek hukum (person), sehingga kekuasaan tidak diberikan kepada orang penjabat, tetapi diberikan kepada jabatan (lingkungan pekerjaan). Sebagai pendukung hak dan kewajiban, maka jabatan itu dapat menjamin kesinambungan hak dan kewajiban, walaupun pejabatnya berganti-ganti.

Dalam hal notaris, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, posisi Notaris di mata hukum dimaknai perannya sebagai jabatan.

Hukum

Untuk dapat membahas mengenai hukum, maka perlu dibahas sebelumnya mengenai teori-teori hukum. Diantara seluruh teori-teori hukum, yang paling penting untuk dipahami adalah mengenai tujuan hukum. Menurut Gustav Radbruch, hukum diadakan bertujuan untuk mencapai:

1. Keadilan (justitia; rechtsvaardigheid)

Menurut Aristoteles keadilan mengandung dua macam pengertian, yaitu: keadilan distributif, adalah keadilan yang dibedakan berdasarkan proporsinya masing-masing sesuai dengan kontribusinya, serta keadilan kumutatif, yaitu keadilan yang menghendaki proporsi yang sama untuk setiap orang.

2. Kemanfaatan (doelmatigheid), adalah bahwa hukum haruslah memberikan manfaat bagi manusia, misalnya untuk melindungi kepentingan manusia. Dalam kaitannya dengan kemanfaatan ini, hukum dapat bersifat preventif, yaitu sebagai alat untuk mencegah orang lain yang berusaha merusak ketertiban hukum, maupun bersifat represif, yaitu sebagai alat untuk menindak orang yang melanggar kepentingan orang lain, atau dengan kata lain sebagai sarana penegakan hukum (law enforcement).

3. Kepastian (legal-security; rechtszekerheid), adalah suatu keadaan hukum yang bersifat pasti dan universal. Dalam tujuan ini, yang harus ditegakkan adalah supremasi hukum, yaitu hukum sebagai panglima, hukum sebagai kekuasaan yang tertinggi. Dalam memahami supremasi hukum maka harus membicarakan tentang: pembentukan hukum, yaitu terutama mengenai Sumber Daya Manusia yang memenuhi syarat yang diperlukan untuk itu; pelaksanaan hukum, yaitu bagaimana peran subyek hukum serta petugas penegak hukum agar orang-orang bisa melaksanakan peraturan hukum tersebut; serta penegakan hukum yang sifatnya dependent (tergantung atau terikat) hanya diterapkan bila ada pelanggaran atau penyimpangan terhadap norma hukum.

(20)

Profesi Hukum

Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral dari pengembannya. Nilai moral itu merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur. Setiap profesional hukum dituntut agar memiliki nilai moral yang kuat. Menurut C.S.T. Kansil, yang dimaksud dengan profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan oleh aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu negara. Sedangkan menurut Wignjosoebroto, kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal “built-ini jelas akan diperlukan untuk menjaga

martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalahgunaan keahlian.

Sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya.

Franz Magnis Suseno mengemukakan lima kriteria nilai moral yang kuat yang mendasari kepribadian profesional hukum, yaitu:

1. Kejujuran

Kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesional hukum mengingkari misi profesinya, sehingga akan menjadi munafik, licik dan penuh tipu daya. Sikap yang terdapat dalam kejujuran yaitu :

a. Sikap terbuka, berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan atau keikhlasan melayani ataupun secara cuma-cuma;

b. Sikap wajar. Hal ini berkenaan dengan perbuatan yang tidak berlebihan, tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar, tidak menindas, tidak memeras.

2. Otentik

Otentik artinya menghayati dan menunjukan diri sesuai dengan keasliannya, kepribadian yang sebenarnya. Otentiknya pribadi profesional hukum antara lain :

a. Tidak menyalahgunakan wewenang;

b. Tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat (malkukan perbuatan tercela;

c. Mendahulukan kepentingan klien;

d. Berani berinsiatif dan berbuat sendiri dengan bijaksana, tidak semata-mata menunggu atasan;

e. Tidak mengisolasi diri dari pergaulan sosial.

(21)

3. Bertanggung jawab

Dalam menjalankan tugasnya, profesioal hukum wajib bertanggung jawab, artinya : a. kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin tugas apa saja yang termasuk

lingkup profesinya;

b. bertindak secara proporsional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara cuma-cuma (prodeo);

c. kesediaan memberikan laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan kewajibannya.

4. Kemandirian moral

Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah mengikuti pandangan moral yang terjadi di sekitarnya, melainkan membentuk penilaian dan mempunyai pendirian sendiri. Mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli, tidak goyah dalam kebenaran walaupun oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruhi oleh pertimbangan untung rugi (pamrih), menyesuaikan diri dengan norma dan nilai kesusilaan dan agama.

5. Keberanian moral

Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Keberanian tersebut antara lain dapat disebutkan:

a. Menolak segala bentuk korupsi, kolusi suap, pungli;

b. Menolak segala bentuk cara penyelesaian melalui jalan belakang yang tidak sah. Dari uraian di atas dapat kita rumuskan tentang pengertian etika profesi hukum sebagai ilmu tentang kesusilaan, tentang apa yang baik dan apa yang buruk, yang patut dikerjakan oleh seseorang dalam jabatannya sebagai pelaksana hukum atau sebagai bagian dari instrumen hukum dari suatu hukum yang berlaku dalam suatu negara. Sesuai dengan kebutuhan hukum bagi masyarakat Indonesia, dewasa ini dikenal beberapa subyek hukum berpredikat profesi hukum yaitu : Polisi, Jaksa, Penasihat hukum (advokad, pengacara), Notaris, Jaksa, Polisi.

Berlandaskan pada pengertian dan urgensi etika, maka dapat diperoleh suatu deskripsi umum, bahwa ada titik temu antara etika dan dengan hukum. Keduanya memiliki kesamaan substansial dan orientasi terhadap kepentingan dan tata kehidupan manusia. Dalam hal ini etika menekankan pembicaraannya pada konstitusi soal baik buruknya perilaku manusia. Perbuatan manusia dapat disebut baik, arif dan bijak bilamana ada ketentuan secara normatif yang merumuskan bahwa hal itu bertentangan dengan pesan-pesan etika. Begitupun seorang dapat disebut melanggar etika bilamana sebelumnya dalam

(22)

kaidah etika memeng menyebutkan demikian. Sementara keterkaitannya dengan hukum, Paul Scholten menyebutkan, baik hukum maupun etika kedua-duanya mengatur perbuatan-perbuatan manusia sebagai manusia sebagai manusia, yaitu ada aturan yang mengharuskan untuk diikuti, sedangkan di sisi lain ada aturan yang melarang seseorang menjalankan sesuatu kegiatan, misalnya yang merugikan dan melanggar hak-hak orang lain. Pendapat Scholten menunjukan bahwa titik temu antara etika dengan hukum terletak pada muatan substansinya yang mengatur tentang perilaku-perilaku manusia. apa yang dilakukan oleh manusia selalu mendapatkan koreksi dari ketentuan-ketentuan hukum dan etika yang menentukannya. ada keharusan, perintah dan larangan, serta sanksi-sanksi.

Salah satu teori hukum yang memiliki keterkaitan signifikan dengan etika adalah "teori hukum sibernetika". Teori ini menurut Winner, hukum itu merupakan pusat pengendalian komunikasi antar individu yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan. Hukum itu diciptakan oleh pemegang kekuasaan, yang menurut premis yang mendahuluinya disebut sebagai central organ. Perwujudan tujuan atau pengendalian itu dilakukan dengan cara mengendalikan perilaku setiap individu, penghindaran sengketa atau dengan menerapkan sanksi-sanksi hukum terhadap suatu sengketa. Dengan cara demikian, setiap individu diharapakan berperilaku sesuai dengan perintah, dan keadilan dapat terwujud. Teori ini menunjukan tentang peran strategis pemegang kekuasaan yang memiliki kewenangan untuk membuat (melahirkan) hukum dari hukum yang berhasil disusun, diubah, diperbaharui, atau diamandemen ini, kemudian dikosentrasikan orientasinya untuk mengendalikan komunikasi antar individu dengan tujuan menegakkan keadilan. Melalui implementasi hukum dengan diikuti ketegasan sanksi-sanksinya, diharapakan perilaku individu dapat dihindarkan dari sengketa, atau bagi anggota masyarakat yang terlibat dalam sengketa, konflik atau pertikaian, lantas dicarikan landasan pemecahannya dengan mengandalkan kekuatan hukum yang berlaku.

Profesi hukum memiliki tempat yang istimewa ditengah masyarakat, apalagi jika dikaitkan dengan eksistensi konstitusional kenegaraan yang telah mendeklarasikan diri sebagai negara hukum (rechstaat). Profesi hukum pun berangkat dari suatu proses, yang kemudian melahirkan pelaku hukum yang andal. Penguasaan terhadap perundang-undangan, hukum yang berlaku dan diikuti dengan aspek aplikatifnya menjadi substansi profesi hukum.

Tanggung jawab seorang yang profesional, menurut Wawan Setiawan, paling tidak harus bertanggung jawab kepada :

1. Klien dan masyarakat yang dilayaninya; 2. Sesama profesi dan kelompok profesinya; 3. Pemerintah dan negaranya.

(23)

Fungsi Kode Etik Profesi Hukum

Terjadinya pelanggaran nilai moral dan nilai kebenaran karena kebutuhan ekonomi yang terlalu berlebihan dibandingkan dengan kebutuhan psikis yang seharusnya berbanding sama. Usaha penyelesaiannya adalah tidak lain harus kembali kepada hakikat manusia dan untuk apa manusia itu hidup. hakikat manusia adalah mahkluk yang menyadari bahwa yang benar, yang indah dan yang baik adalah keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kebutuhan psikis dan inilah yang menjadi tujuan hidup manusia. Etika sangat diperlukan karena beberapa pertimbangan (alasan) berikut :

1. Kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam bidang moral, sehingga kita bingung harus mengikuti moralitas yang mana.

2. Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur kebutuhan dan nilai masyarakat yang akibatnya menantang pandangan-pandangan moral tradisional.

3. Adanya pelbagai ideologi yang menawarkan diri sebagai penuntun hidup yang masing-masing dengan alasannya sendiri mengajarkan bagaimana manusia harus hidup.

4. Etika juga diperlukan oleh kaum beragama yang di satu pihak diperlukan untuk menemukan dasar kemantapan dalam iman kepercayaan mereka, dilain pihak mau berpastisipasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah itu.

Ada dimensi fungsional mengapa etika itu perlu dituangkan dalam kode etik profesi :

1. Menjelaskan atau menetapkan tanggung jawab kepada klien, institusi dan masyarakat. ada sasaran konvergensi tanggung jawab yang dituju, yakni bagaimana hak-hak istimewa klien, kelembagaan dan masyarakat dapat ditentukan dan diperjuangkan. pengemban profesi mendapatkan kejelasan informasi dan "buku pedoman" mengenai kewajiban yang harus dilaksanakan, sementara klien, lembaga dan masyarakat pun secara terbuka mengetahui hak-haknya.

2. Membantu tenaga ahli dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat jika menghadapi problem dalam pekerjaannya. Problem yang dihadapi seperti munculnya kasus-kasus hukum baru yang penanganannya membutuhkan kehadiran ahli atau diluar kemampuan spesifikasi adalah membutuhkan pedoman yang jelas untuk menghindari terjadinya kesalahan dan kekeliruan, sehingga kalau sampai terjadi seorang ahli itu misalnya tidak mampu menyelesaikan problem yang dihadapinya tidaklah lantas dipersalahkan begitu saja.

3. Diorientasikan untuk mendukung profesi secara bermoral dan melawan perilaku melanggar hukum dan indispliner dari anggota-anggota tertentu. Pengemban profesi (hukum) mendapatkan pijakan yang dapat dijadikan acuan untuk mengamati perilaku

(24)

sesama pengemban profesi yang dinilai melanggar hukum. Dengan keberadaan kode etik, akan lebih muda ditentukan bentuk, arah dan kemanfaatan penyelenggaraan profesi hukum.

4. Sebagai rujukan untuk menjaga prestasi dan reputasi, baik secara individu maupun kelembagaan.

Ada beberapa fungsi kode etik :

1. Kode etik sebagai sarana kontrol sosial. Kode etik memberikan semacam kriteria dasar bagi para calon anggota kelompok profesi dan membantu mempertahankan pandangan para anggota lama terhadap prinsip profesionalisme yang telah digariskan. Selain sebagai kontrol sosial secara internal keorganisasian, kode etik ini juga sekaligus sebagai sarana kontrol secara eksternal bagi masyarakat terhadap profesi yang bersangkutan;

2. Kode etik profesi mencegah campur tangan oleh pihak-pihak di luar organisasi profesi mengenai hubungan etika dalam keanggotaan profesi;

3. Kode etik adalah untuk pengembangan patokan kehendak yang lebih tinggi. Kode etik ini dasarnya adalah suatu perilaku yang sudah dianggap benar serta disusun berdasarkan metode dan prosedur yang benar pula.

Kode etik profesi dapat dijadikan pedoman untuk memberdayakan, kemahiran, spesifikasi atau keahlian yang sudah dikuasai oleh pengemban profesi. Dengan kode etik, pengemban profesi dituntut meningkatkan karier atau prestasi-prestasinya. Kalau itu merupakan kode etik profesi hukum, maka pengemban profesi hukum dituntut menyelaraskan tugas-tugasnya secara benar dan bermoral. Kode etik menjadi terasa lebih penting lagi kehadirannya ketika tantangan yang menghadang profesi hukum makin berat dan kompleks, khususnya ketika berhadapan dengan tantangan yang bersumber dari komunitas elit kekuasaan. sikap elit kekuasaan terkadang bukan hanya tidak menghiraukan norma moral dan yuridis, tetapi juga mempermainkannya.

C. NOTARIS SEBAGAI PROFESI

Pengertian Notaris

Dalam pemahaman masyarakat awam, profesi notaris ini seringkali dicampuradukkan dengan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Antara kedua jabatan ini tidaklah sama walaupun orangnya sama. Tidak seperti notaris, seorang pejabat PPAT diangkat oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, serta tugas pokok untuk melaksanakan sebagian

(25)

kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Dalam tulisan ini, yang menjadi obyek pembahasan adalah hanya mengenai notaris saja.

Menurut Black’s Law Dictionary, notarius berarti seorang petugas yang menyiapkan akte dan bermacam-macam perjanjian. Kemudian ada istilah lain, yaitu notary public yang sering disingkat notary, a person authorized by a state to administer oaths, certify documents, attest to the authenticity of signatures, and perform official acts in commercial matters, such

as protesting negotiable instruments – seorang yang diberikan kewenangan oleh negara

untuk mengambil sumpah, mensertifikasi dokumen, membuktikan keotentikan tanda tangan, serta melakukan tidakan resmi dalam jabatan untuk hal-hal komersial, misalnya menyatakan surat berharga. Menurut John Proffatt dalam buku A Treatise on the Law Relating to the Office and Duties of Notaries Public (John F. Tyler & John J. Stephens edisi 2

tahun 1892), mengartikan notaris sebagai ‘A notary public is an officer long known to the civil law, and designated as registrarius, actuarius, or scrivarius.’ Kemudian disebutkan istilah

notarial (kata sifat) yang berarti sesuatu yang terkait dengan tindakan-tindakan notaris.

sedangkan notarial act (tindakan notaris) diartikan sebagai fungsi resmi dari notaris.

Menurut Benjamin F. Rex (The Notaries' Manual, U.H. McMillan edisi 6 tahun 1913) "The notary public, or notary, is an official known in nearly all civilized countries. The office is of

ancient origin. In Rome, during the republic, it existed, the title being tabelliones forenses, or

personae publicae; and there are records of the appointment of notaries by the Frankish

kings and the Popes as early as the ninth century. They were chiefly employed in drawing up

legal documents; as scribes or scriveners they took minutes and made short drafts of

writings, either of a public or a private nature. In modern times their more characteristic duty

is to attest the genuineness of any deeds or writings, in order to render the same available as

evidence of the facts therein contained.".

Sedangkan menurut Saul Litvinoff (5 Louisiana Civil Law Treatise: The Law of Obligations 296-97, edisi 2 tahun 2001). "In jurisdictions where the civilian law prevails, such as in the

countries of continental Europe, a notary public is a public official who serves as a public

witness of facts transacted by private parties ... and also serves as impartial legal advisor for

the parties involved .... In colonial Louisiana, the notary public had the same rank and dignity

as his continental civilian ancestor .... Although notaries still constitute a protected profession

in present-day Louisiana, holding office for life provided they renew their bonds periodically

in compliance with the governing statute, the importance of their function has diminished

(26)

over the years to the point that it has been said that a Louisiana notary is no longer a truly

civilian notary. Indeed, the trained lawyer is nowadays the Louisiana, and American,

counterpart of the continental civilian notary."

Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pengertian notaris adalah “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”. Kemudian dalam pasal 2 ditentukan bahwa seorang Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan, yaitu Menteri Hukum dan HAM.

Bila mengacu pada peraturan perundang-undangan lama, bunyi pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (Staatsblad 1860 Nomor 3), bahwa yang dimaksud dengan Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.

Berdasarkan bunyi pasal-pasal tersebut, dapat diambil suatu pengertian bahwa notaris adalah pejabat yang diangkat oleh negara, khusus untuk menangani perkara-perkara tertentu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan khusus dari notaris adalah sebagai pembuat akta otentik.

Mengenai akta otentik ini dapat ditemukan dalam bunyi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada Buku IV mengenai Pembuktian dan Daluwarsa. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1867 menyatakan “Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan di bawah tangan.”, dimana pengertian akta otentik tercantum dalam pasal 1868 “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.”

Sebagai pelengkap, ditambahkan pemahaman akta yang tidak dapat dikategorikan sebagai akta otentik, yaitu sesuai bunyi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1869 “Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditandatangani oleh para pihak.”

(27)

Kemudian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1870 berbunyi “Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya.”

Jadi, yang dimaksud dengan akta otentik dalam tulisan ini adalah suatu akte mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan, yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum (dalam hal ini notaris), dalam bentuk tertentu yang ditentukan undang-undang.

Mengenai kewenangan notaris, dipaparkan dalam Undang-Undang 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yakni dalam Pasal 15 ayat (1) diatur mengenai wewenang pokok notaris, yaitu: “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.” Sedangkan menurut Undang-Undang 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 15 ayat (2) notaris memiliki kewenangan lain pula, yaitu:

1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; 3. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat

uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; 4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; 6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

7. Membuat akta risalah lelang.

Selain kewenangan di atas, kewenangan lain dari notaris diatur dalam peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur hal itu.

Syarat Menjadi Notaris

Dalam pasal 3 Undang-Undang 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris adalah:

(28)

1. Warga negara Indonesia

Karena notaris adalah pejabat umum yang menjalankan sebagian dari fungsi publik dari negara, khususnya pada bagian hukum perdata. Kewenangan ini tidak dapat diberikan kepada warga negara asing karena dalam menjalankan profesinya menyangkut penyimpanan dokumen-dokumen yang bersifat rahasia. Selain itu, berdasarkan pasal 4 Undang-Undang 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, seorang notaris diwajibkan untuk bersumpah patuh dan setia pada Negara Republik Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sesuatu yang tidak mungkin bisa ditaati sepenuhnya oleh warga negara asing.

2. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

Dengan persyaratan ini diharapkan notaris tidak akan melakukan perbuatan asusila, amoral, dan lain sebagainya yang dapat mencoreng profesi notaris.

3. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330, kedewasaan seseorang diukur berdasarkan umur, yaitu bila telah mencapai umur genap dua puluh satu (21) tahun dan telah kawin. Dalam pemahaman Undang-Undang 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, usia 21 tahun belumlah cukup bagi seseorang untuk menjadi stabil secara mental dan emosional, sehingga ditentukan umur 27 tahun sebagai batas usia minimal.

4. Sehat jasmani dan rohani;

Dengan persyaratan ini, seorang notaris diharapkan dapat menjalankan tugasnya sehari-hari dengan baik, dalam kondisi fisik dan mental yang prima.

5. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;

Persyaratan ini mengindikasikan bahwa seorang notaris harus telah menguasai dan memahami dasar-dasar hukum yang berlaku di Indonesia, serta ditambah lagi dengan penguasaan keilmuan hukum khusus kenotariatan. Dengan demikian, dapat dihindari adanya kemungkinan seorang notaris yang dalam menjalankan kewajibannya bertindak diluar atau secara melawan hukum.

6. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan. Hal ini dibutuhkan agar seorang calon notaris telah mengetahui praktek notaris, memahami praktek hukum dalam bidang kenotariatan, terutama dalam hal pembuatan akta, baik otentik ataupun di bawah tangan, serta mengetahui seluk beluk administrasi notaris.

(29)

7. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.

Dalam persyaratan ini, seorang notaris tidak boleh merangkap jabatan karena notaris dilarang memihak (sebagai pihak yang sepenuhnya netral) sehingga dapat dihindarkan terjadinya benturan kepentingan antara pihak lain dengan notaris tersebut.

Berdasarkan bunyi pasal 3 Undang-Undang 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tersebut di atas, dapat diketahui bahwa syarat seseorang yang ingin diangkat menjadi notaris haruslah telah menempuh pendidikan formal minimal strata satu (S1) Ilmu Hukum serta jenjang strata dua (S2) Kenotariatan. Kemudian, bagi yang telah memenuhi syarat tersebut haruslah mempunyai pengalaman nyata dalam bidang kenotariatan, yaitu dengan cara bekerja sebagai karyawan notaris selama minimal 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada sebuah Kantor Notaris. Dengan dua persyaratan ini, seorang notaris diharapkan mampu menjalankan tugas dan wewenangnya dengan baik dengan tercukupinya pengetahuan dan keahliannya, serta pemahaman yang mendalam dan luas mengenai teori maupun praktek hukum di Indonesia.

Kemudian dalam Pasal 17 Undang-Undang 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, larangan jabatan notaris adalah:

1. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;

2. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dan 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;

3. Merangkap sebagai pegawai negeri;

4. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara; 5. Merangkap jabatan sebagai advokat;

6. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;

7. Merangkap jabatan sebagai pejabat pembuat akta tanah di luar wilayah jabatan notaris;

8. Menjadi notaris pengganti; atau

9. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

Etika Dalam Menjalankan Profesi Notaris

Hal-hal yang mengenai etika dalam bidang kenotariatan diatur oleh Kode Etik Notaris yang disusun oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI) yang dibentuk berdasarkan pasal 1 angka 5

(30)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang berbunyi “Organisasi Notaris adalah organisasi profesi jabatan notaris yang berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum.”. Kemudian dalam pasal 82 ayat (1) dinyatakan bahwa “Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.”.

Dalam Kode Etik Notaris pasal 1 angka 1 berbunyi “Ikatan Notaris Indonesia disingkat I.N.I. adalah Perkumpulan/organisasi bagi pars Notaris, berdiri semenjak tanggal 1 Juli 1908, diakui sebagai Badan Hukum (rechtspersoon) berdasarkan Gouvernements Besluit (Penetapan Pemerintah) tanggal 5 September 1908 Nomor 9, merupakan satu-satunya wadah pemersatu bagi semua dan setiap -orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum di Indonesia, sebagaimana hal itu telah diakui dan mendapat pengesahan dari pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada tanggal 23 Januari 1995 Nomor C2- 1022.HT.01.06 Tahun 1995, dan telah diumumkan di dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 7 April 1995 No. 28 Tambahan Nomor 1/P-1995, oleh karena itu sebagai dan merupakan organisasi Notaris sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 117.”

Dengan demikian, legalitas organisasi Ikatan Notaris Indonesia ini telah jelas sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta semakin jelas pula kenyataan bahwa jabatan notaris ini adalah sebagai jabatan umum.

Berdasarkan bunyi pasal 82 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang berbunyi “Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan susunan organisasi ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.”, maka dapat diketahui bahwa Kode Etik Notaris yang berlaku dalam Ikatan Notaris Indonesia disusun oleh organisasi itu sendiri. Kemudian Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menegaskan kembali bunyi pasal tersebut dengan bunyi “Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris.”

Kode Etik Notaris Pasal 1 angka 2 berbunyi “Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan lkatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut "Perkumpulan" berdasarkan keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus.”

(31)

Bila dihubungkan dengan Pasal 83 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang berbunyi “Organisasi Notaris memiliki buku daftar anggota dan salinannya disampaikan kepada Menteri dan Majelis Pengawas.”, maka Kode Etik Notaris tersebut adalah kumpulan dari kaidah moral (etika) yang bersifat mengikat terhadap seluruh notaris yang terhimpun sebagai anggota dalam Ikatan Notaris Indonesia (INI).

Dengan demikian, bagi seluruh notaris yang merupakan anggota Ikatan Notaris Indonesia haruslah tunduk dan taat pada ketentuan yang diatur oleh Ikatan Notaris Indonesia, khususnya yang terangkum dalam Kode Etik Notaris. Hal ini tentu saja membutuhkan rasa tanggung jawab dan disiplin yang tinggi bagi setiap anggotanya, sebagaimana yang disebutkan dalam Kode Etik Notaris Pasal 1 angka 3 yang berbunyi “Disiplin Organisasi adalah kepatuhan anggota Perkumpulan dalam rangka memenuhi kewajiban-kewajiban terutama kewajiban administrasi dan kewajiban finansial yang telah diatur oleh Perkumpulan.”. Ruang ligkup keberlakuan kode etik ini dinyatakan dalam pasal 2 Kode Etik Notaris bahwa Kode Etik Notaris ini berlaku bagi seluruh anggota Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris balk dalam pelaksanaan jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Terhadap pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris ini diatur pula mengenai sanksi yang dapat dikenakan oleh Ikatan Notaris Indonesia terhadap anggota yang melanggar Kode Etik, dimana berat atau ringannya sanksi haruslah disesuaikan dengan kwantitas dan kwalitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut. Sanksi yang diatur dalam Kode Etik Notaris tercantum dalam pasal 6 Kode Etik Notaris, adalah dalam bentuk sebagai berikut:

1. Teguran; 2. Peringatan;

3. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan;

4. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan;

5. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan.

Dalam penegakan Kode Etik Notaris, pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik itu dilakukan dengan cara yang berjenjang, sesuai dengan bunyi Pasal 7 Kode Etiik Notaris, adalah sebagai berikut:

1. Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Daerah;

2. Pada tingkat banding oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan Wilayah;

3. Pada tingkat akhir oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris. Indonesia dan Dewan Kehormatan Pusat.

(32)

Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat dipahami bahwa bagi seseorang yang memiliki jabatan atau profesi sebagai notaris, maka ia telah terikat dan harus tunduk pada nilai-nilai etika dan moral yang sangat ketat yang merupakan standar minimal bagi etika seorang notaris, baik dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya dalam jabatan notaris maupun dalam sikap dan tingkah lakunya sehari-hari di tengah-tengah masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui laju penyerapan fosfat pada sistem akuaponik dengan menggunakan tanaman kangkung dan mengetahui kepadatan

: Rating yang memberikan kewenangan kepada pemegangnya untuk melaksanakan pemanduan lalu lintas udara terhadap penerbangan dalam tahap keberangkatan dan kedatangan pesawat

Perancangan Jaringan Sensor Nirkabel (JSN) untuk Memantau Suhu dan Kelembaban Menggunakan nRF24L01+.. SAKLAR OTOMATIS BERBASIS LIGHT DEPENDENT RESISTOR (LDR) PADA

Struktur harga dengan sendirinya akan megatur dan menyaring produsen berdasarkan tingkat kemampuan produsen dalam menanggung biaya produksi yang meliputi biaya

Mahasiswa juga akan menjadi lulusan yang berkualitas apabila terlibat dalam perusahaan yang bergerak dalam bidang web (web developer), karena mereka akan dapat

Metode ini dilakukan dengan memasukkan ikan secara langsung kedalam media air yang bersuhu ±8°C dan telah ditambahkan minyak cengkeh sesuai perlakuan kemudian dilakukan

Penggunaan sistem ini dapat mengatur pembukaan awalan katup masuk sesuai dengan kondisi beban engine sehingga dapat memperbesar rendemen volumetris disaat yang

Praktikan bertugas melakukan penagihan pembayaran kepada para pelanggan melalui email, tanggal penagihan dilakukan sesuai dengan tanggal saat pemasangan layanan internet,