• Tidak ada hasil yang ditemukan

HEGEMONI INDUSTRI ROKOK dan IMING IMING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HEGEMONI INDUSTRI ROKOK dan IMING IMING"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

HEGEMONI INDUSTRI ROKOK dan IMING-IMING BEASISWA

Industri Rokok di Indonesia

Industri rokok dapat mengalahkan industri batu bara, minyak dan gas (migas), industri perbankan, industri otomotif, dan sederet industri raksasa lainnya. PT HM Sampoerna Tbk (HMSP), ialah emiten produsen rokok pemegang pangsa pasar terbesar di Indonesia, menjadi pembayar pajak terbesar di Indonesia pada 2015 dengan total pembayaran kepada pemerintah sekitar Rp 67 triliun. Namun, menurut Kementrian Perindustrian RI, pengelolaan industri tembakau tidak semata-mata mempertimbangkan aspek ekonomi saja. Sesuai dengan Perpres No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, Industri Hasil Tembakau (IHT) dan Permenperin No.117/M-IND/PER/10/2009 tentang Roadmap Pengembangan Klaster Industri Hasil Tembakau termasuk salah satu industri prioritas untuk dikembangkan. Untuk itu telah disusun Roadmap IHT 2007-2020 dengan pentahapan prioritas sebagai berikut :

 2007–2010 : Prioritas pada aspek keseimbangan Tenaga Kerja, Penerimaan dan Kesehatan

 2010–2014 : Prioritas pada aspek Penerimaan, Kesehatan dan Tenaga Kerja

 2015–2020 : Prioritas pada aspek Kesehatan melebihi aspek Tenaga Kerja dan Penerimaan1

Perkembangan industri rokok yang bak roket meluncur ini tidak lepas dari pengaruh asing. Adanya investor asing yang mulai masuk dan menguasai industri rokok di Indonesia mengakibatkan semakin tingginya produksi dan meluasnya hegemoni industri rokok itu sendiri. Selain itu, hadirnya banyak permodelan rokok seperti iklan yang merajalela, sponsor di berbagai bidang seperti keolahragaan, pendidikan, menjadikan industri rokok terbebas dari dosa atas turunnya tingkat kesehatan masyarakat.

(2)

Dalih industri rokok tetap berkuasa dengan menyejahterakan petani tembakau, tidak sepenuhnya benar. Bahwa hampir 50% tembakau yang digunakan pada industri rokok kini diimpor dari Cina. Lebih lagi dampak pertanian tembakau yang bisa mengakibatkan penggundulan lahan dan deforestasi. Selain itu pegupahan yang layak kepada buruh linting seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan rokok. Namun, data di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak buruh yang medapat upah di bawah standar UMR yang ditetapkan.

Cukai Rokok

Industri rokok mampu berkembang pesat juga dikarenakan konsumsi rokok dan cukai rokok yang masih belum bisa menaikkan harga rokok di atas kemampuan beli masyarakat. Pasal 2 UU No. 39 tahun 2007 tentang Cukai menyatakan barang yang dikenai cukai adalah barang tertentu yang memiliki sifat atau karakteristik :

1. Konsumsinya perlu dikendalikan. 2. Peredarannya perlu diawasi.

3. Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup.

4. Pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Meskipun pajak yang diterima negara dari hasil penjualan rokok terbilang besar, hal ini bukanlah angin segar. Dampak kesehatan yang diterima masyarakat menuntut lebih banyak anggaran negara demi menutup lobang yang bersumber sama. Bahkan pengeluaran negara untuk mengatasi penyakit akibat rokok lebih besar dibanding penghasilan dari cukai rokok itu sendiri. Cukai rokok juga tidak ditanggung oleh perusahaan rokok secara langsung. Melainkan dibayarkan oleh para perokok itu sendiri. Selain itu cukai berbentuk sin tax. 2

Dampak Kenaikan Tarif Cukai 10% terhadap Konsumsi dan Pendapatan

2 Industri Rokok Dilarang Ber-CSR, Lalu Apa Yang Bisa Dilakukan?, diakses dari

(3)

study % consumtion decreased

% revenue increased

De Beyer and Yurekli, 2000 2,0 8,0

Djutaharta et al, 2005 0,9 9,0

Adioetomo et al, 2005 3,0 6,7

Sunley, Yurekli, Chaloupka, 2000 2,4 7,4 Sumber: WHO

Sumber: FKM UI; KEMENKEU ‘Paparan Kebijakan Cukai’

Namun, dengan membanggakan besaran cukai adalah sebuah kesalahan. Karena besaran cukai membuktikan bahwa barang tersebut semakin berbahaya dan pelru dikendalikan dengan serius. Terlebih cukai merupakan sin tax yang mana akan memberatkan konsumen miskin. Prevalensi merokok di Indonesia seperti piramida, di mana semakin miskin prevalensinya semakin tinggi.

Secara makro, pengeluaran pemerintah dan masyarakat terkait tembakau di Indonesia (2010) sebesar Rp 231.27 Trilyun, terdiri untuk: Biaya perawatan medis berupa rawat inap dan rawat jalan pada 5 jenis penyakit terkait tembakau di Indonesia sebanyak 629.017 kasus Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah termasuk Stroke, Kanker, dan Gangguan pada janin (Rp 2,11 T), Pembelian rokok (Rp 138 T); dan kerugian akibat kehilangan produktivitas karena kematian prematur dan morbiditas-disabilitas (Rp 91,16 T). Adapun total pendapatan negara dari cukai tembakau pada tahun yang sama hanya sebesar Rp 55 T. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa beban negara akibat rokok lebih besar dari penghasilan negara dari cukai tembakau.3

Namun, cukai bukanlah satu-satunya instrumen pengendali konsumsi rokok. Perlu adanya dukungan berupa kebijakan non fiskal seperti: pembatasan iklan, Pictorial

3 PP Tembakau Menyelamatkan Kesehatan Masyarakat dan Perekonomian Negara, diakses dari http://www.depkes.go.id/article/view/2326/pp-tembakau-menyelamatkan-kesehatan-masyarakat-dan-perekonomian-negara/, pada 31 Mei 2017 pukul 14.56

(4)

Health Warning (PHW), Kawasan Tanpa Rokok (KTR), larangan sponsor olah raga, pendidikan, dsb.

Awal tahun 2017, cukai rokok resmi meningkat. Untuk 2017 pemerintah mengeluarkan kebijakan cukai yang baru melalui Peraturan Menteri Keuangan No 147/PMK.010/2016. Dalam kebijakan baru ini, kenaikan tarif tertinggi sebesar 13,46% untuk jenis hasil tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM) dan terendah sebesar 0% untuk hasil tembakau Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan IIIB, dengan kenaikan rata-rata tertimbang sebesar 10,54%. Selain kenaikan tarif, juga kenaikan harga jual eceran (HJE) dengan rata-rata sebesar 12,26%.

Industri Rokok dan CSR

Tanggung jawab Sosial Perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya) perusahaan adalah memiliki berbagai bentuk tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingannya, yang di antaranya adalah konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas danlingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. CSR berlaku pada organisasi, industri, dan pabrik yang bersinggungan lansung dengan lingkungan hidup. Di mana telah diwajibkan bagi perusahaan yang memafaatkan sumber daya alam sebagai bahan baku produksi, “mengembalikan” kekayaan tersebut dengan membangun atau meningkatkan kesejahteraan sosial di lingkungan perusahaan tersebut.

Menurut Pasal 1 angka 3 UUPT, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Pasal 74 UUPT pada dasarnya mengatur mengenai hal-hal berikut ini:

(5)

b. Yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.

c. Sedangkan yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. d. TJSL ini merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan

diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.

e. Mengenai sanksi, dikatakan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban TJSL akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait.

Sedangkan perusahaan rokok sendiri sama sekali tidak bersinggungan dengan kekayaan alam maupun sumber daya alam. Sehingga, jika masih tertanam di benak masyarakat bahwa sponsor-sponsor dari perusahaan rokok merupakan bentk CSR, hal tersebut ialah pemahaman yang salah. Dalam hal ini, industri atau perusahaan rokok telah menstimulasi pemahaman kita dengan ungkapan yang memberi nilai tambah terhadap brand dari industri rokok tersebut.

Perokok dan bayang-bayang industri rokok di Indonesia

(6)

Prevalensi merokok di Indonesia dapat diambarkan seperti piramida. Semakin miskin, maka prevalensinya semakin tinggi. Pada kelompok ini, kebutuhan merokok menggeser kebutuhan pendidikan bahkan kesehatan. Sehingga anak-anak dari seorang perokok ini harus dipertanyakan kondisi pendidikannya. Jika industri rokok memang ingin meningkatkan taraf pendidikan pemuda di Indonesia dengan memberikan beasiswa dengan nominal besar dan diterima oleh segelintir orang, mengapa tidak mereka alokasikan pada anak-anak perokok ini. Lebih lagi perokok miskin itu jatuh sakit akibat kebiasaan merokoknya, lagi-lagi bukan industri rokok yang bertanggung jawab atas jaminan kesehatannya.

Kawasan tanpa rokok

Kawasan tanpa rokok merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap penekanan konsumsi rokok di kalangan masyarakat. Tujuan dari KTR ini sendiri ialah menciptakan kawasan bebas polusi asap rokok dan membudayakan tidak merokok. KTR kini mulai diterapkan di banyak tempat. Beberapa tempat yang memberlakukan KTR biasanya merupakan fasilitas umum, seperti: stasiun, terminal, sekolah, SPBU, kantor. Munculnya KTR di igkungan sekolah maupun universitas membawa dampak serius. Selain menekan konsumsi rokok baik di kalangan mahasiswa dan staff, KTR juga mampu menciptakan ingkungan bersih bebas puntung rokok.

Iming-iming beasiswa rokok

(7)

Beasiswa rokok atau beasiswa yang bersumber dari industri rokok merupakan polemik yang pelik di kalanan mahasiswa. Iming-iming nominal besar, gengsi, dan nama besar menjadi perhitungan di balik itu semua. Namun, yang sesunguhnya terjadi apakah beasiswa tersebut benar diperuntukkan sebagaimana pendidikan, atau justru dalam rangka komersialisasi?

Taktik industri rokok dalam membidik konsumen terbagi berbagai macam. Selain iklan yang jor-joran, pemberian sponsor di berbagai bidang juga merupakan taktik jitu “kamuflase” dari dosa-dosanya. Menghadirkan masa depan cemerlang dengan beasiswa, membuat sebagian besar orang silau dan luluh. Mengesampingkan inti permasalahan industri rokok dan rokok di Indonesia, kemudian menguntungkan diri sendiri. Tapi benarkah, beasiswa ini mampu mendongkrak taraf pendidikan di Indonesia? Jika ini merupakan sebuah taktik dan strategi komersil semata, maka industri rokok harus bertangung jawab atas banyak anak miskin yang berasal dari keluarga perokok tak mampu mengenyam pendidikan dengan baik. Karena pendidikan adalah hak semua anak.

Referensi

Dokumen terkait

Pada bab ini penulis akan menjelaskan proses pengumpulan data yang telah dilakukan di PT. Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh atau TRANS7. Proses pengumpulan datatersebut terdiri

22 paragraf 08 tahun 1999 : ”Penggabungan usaha (business combination) adalah pernyataan dua atau lebih perusahaan yang terpisah menjadi satu entitas ekonomi

Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan bertentangan dengan s{vw ä Ž‡Š sebab itu, pasal tersebut harus dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat

[r]

Hasil analisis tersebut kemudian diinterpretasikan guna memberikan gambaran yang jelas terhadap permasalahan yang diajukan mengenai Efektivitas Penagihan Tunggakan

(1) pelaku utama yang melaksanakan agribisnis sesuai dengan produk/komoditi yang diperlukan pasar dan telah ditetapkan melalui pertemuan rembugtani Desa; (2) bersedia

Selain kegunaan di atas regresi dapat digunakan juga untuk mengetahui hubungan antara peubah tidak bebas (Y/parameter yang diukur) dengan peubah bebas

Sehingga strategi yang dapat digunakan adalah Percepatan pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada serta pelaksanaan