UPAYA KLIEN DALAM MEMPENGARUHI HASIL AUDIT BPK. Aplikasi Mixed Methods: Grounded-Theory Approach dan Persamaan Struktural
ANIS RACHMA UTARY YANA ULFAH MUHAMMAD IKBAL
Universitas Mulawarman
Abstract
This study aims to construct a theory that departs from field social phenomena. This phenomenon is an effort on the government officials, both central and local governments to influence the result of audit reports. This theory is built using - Grounded Theory approach, because there is no well-established theory and previous research. This study combined with a qualitative approach with grounded-theory and quantitative approach with PLS SEM approach. Informants to build a theory derived from a variety of local government officials on the island of Sumatra, Kalimantan, Java and Sulawesi. While the population and sample for the quantitative approach is derived from the financial management of local government areas in East Kalimantan and North Kalimatan. The results stated that the higher the auditee or client experience in finance and auditing, the higher knowledge of finance and methods motede - audit process, the more likely the client to manipulate the financial statements and attempting to influence the outcome of the audit. Then the variable seniority had no significant effect. Pressure leaders significantly influence the client's desire to influence the result of the audit, the higher the pressure the greater the efforts of the leadership of the client or auditee to influence the result of the audit from BPK.
I. Pendahuluan
Sektor publik tidak luput dari tudingan sebagai sarang korupsi, kolusi,
nepotisme, inefisiensi dan sumber pemborosan negara. Pemerintah sebagai salah satu
organisasi sektor publik pun tidak luput dari tudingan ini, padahal organisasi sektor
publik pemerintah merupakan lembaga yang menjalankan roda pemerintahan yang
sumber legitimasinya berasal dari masyarakat.
Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara merupakan
salah satu unsur penting dalam terciptanya akuntabilitas publik. Pemeriksa (Auditor)
dalam melaksanakan pemeriksaan laporan keuangan berpedoman pada Standar
Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) dan Panduan Manajemen Pemeriksaan (PMP)
serta peraturan pelaksanaan lainnya yang mengacu pada SPKN seperti: Petunjuk
Pelaksanaan (Juklak), Petunjuk Teknis (Juknis) dan Buku Merah (tercantum dalam
Peraturan BPK RI Nomor 01 tahun 2007 pasal 5 dan 8). Selain itu, dalam pelaksanaan
tugas-tugasnya, setiap pemeriksa dan pelaksana BPK lainnya wajib mematuhi kode etik
sebagaimana tercantum dalam Peraturan BPK Nomor 02 Tahun 2011 tentang Kode Etik
BPK.
Integritas, objektifitas dan independensi merupakan hal yang sangat penting
dalam kehidupan profesional seorang auditor BPK. Integritas adalah unsur karakter
yang menunjukkan kemampuan seseorang untuk mewujudkan apa yang telah
disanggupinya dan diyakini kebenarannya. Objektifitas berarti kejujuran dalam
mempertimbangkan fakta, terlepas dari kepentingan pribadi yang melekat pada fakta
yang dihadapinya. Sedangkan independensi berarti bebas dari pengaruh, tidak
dikendalikan dan tidak tergantung pada orang lain. Auditor dituntut selalu
meningkatkan dan mengendalikan dirinya dalam berhubungan dengan auditee. Selain
itu auditor diharapkan mampu memahami perilaku auditee serta membangun
komunikasi dan kerjasama dengan pihak auditee.
Banyak kasus yang terjadi di Indoesia, berbagai macam upaya auditee
mempengaruhi auditor untuk memperbaiki hasil audit sesuai dengan keinginan auditee
(klien). Berbagai macam cara dapat dilakukan salah satunya adalah suap atau sogok
(bribe). Upaya-upaya yang dilakukan oleh para auditee dalam hal ini aparat pemerintah,
dipengaruhi oleh berbagai motivasi, salah satunya adalah keinginan untuk terhindar dari
tuduhan penyalahgunaan keuangan atau ingin memperoleh prestasi yang baik (opini
Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi harapan klien atas kebijakan audit
antara lain pendidikan dan pengalaman auditor, pengalaman auditee, hubungan baik
dengan auditor, adanya jasa non audit yang diberikan oleh auditor, beberapa variabel ini
bisa berpengaruh positif maupun negatif (Budiyanto, dkk. 2005; Mulyaningsih dan
Budyanto, 2006, serta Iyer dan Rama, 2004). Namun dalam penelitian ini, lebih
mengarah pada proses audit oleh KAP dan menggunakan hanya satu ukuran, yaitu
upaya klien untuk mempengaruhi akun tertentu.
Proses audit melibatkan minimal dua pihak, yaitu auditee dan auditor. Dalam
pelaksanaan audit tentu terjalin sebuah hubungan komunikasi dan kemungkinan muncul
sebuah hasil negosiasi. Dalam hubungan negosiasi ini kadang muncul keinginan auditee
atau klien untuk mempengaruhi kebijakan audit yang dilakukan auditor. Penelitian
mengenai kekuasaan relatif didalam hubungan auditor dengan klien merupakan topik
yang penting, karena kekuasaan relatif dari kedua pihak ini merupakan faktor utama
yang menentukan hasil negosiasi (Iyer dan Rama, 2004). Beberapa penelitian terdahulu
telah meneliti proses negosiasi antara auditor dengan klien dari sudut pandang auditor
(Gibbins et. al., 2001; Salterio dan Koonce, 1997).
Di Indonesia, penelitian tentang proses negosiasi antara auditor BPK dengan
aparatur pemerintah sebagai auditee dalam menentukan audit judgment dari sudut
pandang auditee, belum pernah ada yang meneliti. Oleh karena itu, penelitian tentang
proses negosiasi antara auditor BPK dengan aparatur pemerintah sebagai auditee dalam
menentukan audit judgment dari sudut pandang auditee perlu dilakukan di Indonesia.
Penelitian ini akan menggali variabel dependen dalam hal ini adalah keinginan aparatur
pemerintah sebagai auditee dalam mempengaruhi kebijakan audit oleh auditor BPK
dengan menggunakan Grounded-Theory.
Variabel Independen dalam hal ini keinginan aparatur pemerintah sebagai
auditee dalam mempengaruhi kebijakan audit oleh auditor BPK belum ada penelitian
terdahulu, sehingga dibutuhkan sebuah kerangka teori yang kuat melalui penggalian
informasi dari fenomena yang ada. Secara kuantitatif, penelitian ini akan menguji
hipotesis, pengaruh berbagai variabel yang dapat mempengaruhi keinginan klien dalam
mempengaruhi hasil audit dengan berpijak dari beberpa penelitian sebelumnya yaitu
penelitian Iyer dan Rama (2004), Budiyanto dkk. (2005) dan Mulyaningsih dan
II. Kerangka Teori dan Pengembangan Hipotesis 2.1. Grounded-Theory
Penelitian grounded yang ditokohi Glaser dan Strauss pada tahun 1967 di
Amerika Serikat dan berikutnya diperkenalkan di Indonesia oleh Schiegel, merupakan
jenis penelitian yang tidak bertolak dari teori, tetapi berangkat dari data-data faktual
lapangan. Data-data tersebut diproses menjadi teori berdasarkan metode berpikir
deduktif. Penelitian grounded dari dunia empiris, bukan dari hal yang konseptual dan
abstrak, karena penelitian grounded menekankan pada lahirnya teori berdasarkan data
empiris dan realitas sosial.
Grounded theory merupakan prosedur peneltian kualitatif yang sistematik,
dimana peneliti membangun suatu teori yang menerangkan konsep, proses, tindakan,
atau interaksi mengenai suatu topik pada level konseptual yang luas. Sesuai dengan
nama yang disandangnya, tujuan dari Grounded Theory adalah teoritisasi data dan
fenomena sosial. Teoritisasi adalah sebuah metode penyusunan teori yang berorientasi
tindakan/interaksi, karena itu cocok digunakan untuk penelitian terhadap perilaku.
Glaser dan Strauss (1967) menyatakan bahwa metode grounded theory dibawah
payung paradigma post-positivistik-naturalistik merupakan metode penelitian kualitatif
yang menggunakan sejumlah prosedur sistimatis guna membangun teori substantif
tentang suatu fenomena yang disusun secara induktif. Temuan penelitiannya merupakan
rumusan teori tentang realitas yang di teliti, bukan sekedar sejumlah tema yang kurang
berkaitan.
Penelitian ini tidak bertolak dari suatu teori atau untuk menguji teori (seperti
paradigma penelitian kuantitatif), melainkan bertolak dari data menuju suatu teori.
Untuk maksud itu, yang diperlukan dalam proses menuju teori itu adalah prosedur yang
terencana dan teratur (sistematis). Pendekatan grounded theory menyusun teori
berdasarkan data (empiris) lapangan, dengan alasan, sebagai berikut:
(a) Tidak ada teori apriori yang mampu mencakup kenyataan yang berbeda-beda dalam
kehidupan manusia;
(b) Peneliti sebagai instrumen penelitian tahu persis apa yang terjadi di lapangan dan ia
mempercayai apa yang dilihatnya, oleh karena itu peneliti seoptimalnya bersikap
netral;
(c) Teori dasar lebih dapat responsif atau lebih sesuai dengan nilai-nilai kontekstual.
Data yang diperoleh secara induktif bukan dimaksud untuk menguji hipotesis,
berhubungan dan dipisah-pisahkan. Jadi jika peneliti menyusun teori dasar (dari bawah
ke atas) maka teori tersebut akan semakin jelas, setelah data dianalisis, karena dalam
proses terjadi penyasuaian sejalam semakin bertambahnya data yang terkumpul
(Creswell, 2002).
2.2. Pengembangan Teori Upaya Klien untuk mempengaruhi Hasil Audit BPK dengan menggunakan pendekatan Grounded-Theory
2.2.1. Metode Grounded-Theory
Dalam grounded theory yang biasa disebut dengan istilah “coding” berarti
membuat deskripsi dan interpretasi. Dalam koding terdapat empat kegiatan, yaitu:
pe-label-an, pemilihan, pencatatan dan secara garis besar proses koding diawali dengan
pe-label-an fenomena diskrit sesuai dengan “isi dan makna”nya atau memberi “notasi”
sesuai dengan “konotasi”nya (Sudaryono, 2009). Tahap awal ini kemudian dilanjutkan
dengan kegiatan pemilahan mengacu pada perbandingan ciri label dengan label yang
lain untuk menentukan pengelompokan berdasar pada ciri kombinasi dan urutannya.
Kegiatan pencatatan merupakan produk penulisan coding yang masih bersifat
terbuka sebagai bahan refleksi dan abstraksi. Kegiatan pematraan mengacu pada
abstraksi ciri hubungan dalam satuan label guna memahami dimensi sistemiknya. Tahap
ini dinamakan open coding (pengkodean berbuka) yang berarti proses menguraikan,
memeriksa, membandingkan, mengkonsepkan, dan mengkategorikan data.
Pada tahap berikutnya dilakukan axial coding (pengkodean berporos) yang
mengacu pada kegiatan mendudukkan dan memetakan data berdasarkan hasil
pengkodean berbuka, dengan membuat kaitan antar kategori. Dalam melakukan
pengkodean berporos dilakukan dengan cara memanfaatkan “paradigma koding”
(coding-paradigm). Berdasar pada hasil pengkodean berporos, tahap selanjutnya adalah
selective coding (pengkodean berpilih), yang berarti melakukan proses pemilihan
kategori inti, mengkaitkannya terhadap kategori lainnya secara sistimik. (Basrowi dan
Suwandi, 2008).
2.2.2. Proses Pengembangan Teori
Pada proses Induksi ada empat tahapan utama dalam membangun pengetahuan
Gambar 1. Mekanisme Pengembangan Teori dengan Grounded-Theory
(Dikembangkan dari Strauss & Corbin,1990 & Sudaryono, 2009)
1) Koding (codding)
Koding adalah proses menemukan, menamai dan menyusun sampel teoritik
berupa situasi sosial di lokus penelitian, berdasar pada sifat dan ukuran dalam rentang
dimensionalnya. Tahapan koding merupakan tahapan yang paling membosankan,
karena menyangkut sedemikian banyak fenomena diskrit yang ditemui di lapangan,
dikaitkan dan dibandingkan satu dengan yang lain secara terus menerus untuk kemudian
diabstraksikan dalam bentuk konsep yang padat makna. Prosedur ini sangat membantu
memberikan ketepatan dan kekhasan sebuah konsep dalam teoritisasi data (Setioko,
2011).
Berbagai situasi sosial yang ditemui dilapangan akan dipaparkan dalam
pembahasan yang berkaitan dengan pengembangan teori upaya dan keingnan klien atau
auditee dalam hal ini adalah aparatur pemerintah untuk mempengaruhi hasil audit BPK.
Sebagai informasi awal dalam rangka mengumpulkan berbagai situasi sosial kami
melakukan wawancara dengan beberapa informan dari Aparat Pemerintah daerah:
“...secara formal kami komunikatif dengan auditor dan kooperatif lah, ya
artinya di depan mendukung proses audit, namun secara teknis, jujur sih
paling banyak kami memberikan sesuatu berupa uang kes, itupun secara
sembunyi-sembunyi, itu paling banyak sebenarnya...namun teman-teman
di beberapa dinas bahkan ada yang ngajak karaoke atau ke zona atau muse
(nama club malam di salah satu kota)....ada juga yang kasih tiket pulang
lebaran, ada juga yang berani cegat di bandara dengan menunjukan parang
lho mas, pilih uang atau parang, ini semacam teror aja sih.... kamaren kan
di sana (menunjukkan salah satu kabupaten) gedung PU dibakar, itukan
gudang arsip, semua arsip proyek, ludes...”
Apa sebenrnya tujuan dari klien atau aparat pemerintah melakukan hal-hal
demikian, peneliti melakukan wawancara untuk menggali informasi apa sebenarnya
tujuan dari aparat melakukan semua itu:
“...intinya sih pengen hasil audit yang bagus, trus kitakan tau kesalahan
kita apa aja, nah sebaiknya kesalahan kita jangan diungkap, trus tujuan
utamakan dapet WTP, karena pak Walikota kan ngejar-ngejar WTP
nih...”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, sudah bisa diidentifikasi secara tersirat
beberapa upaya yang dilakukan aparat untuk mempengaruhi hasil audit. Berikut secara
rinci, akan dibahas berbagai fenomena sosial tersebut dengan menggunakan wawancara
dengan beberapa informan lainnya.
a) Upaya memberikan uang atau barang kepada Auditor
Kosakata yang menunjukkan praktik penyuapan sangat banyak. Dalam bahasa
Inggris dikenal istilah bribe (suap), graft (pelicin), embezzlement (sogok), atau fraud
(penggelapan). Dengan demikian dapat dipastikan bahwa masalah suap bukan hanya di
Indonesia atau di negara-negara berkembang, tetapi juga terdapat di negara-negara
maju. Yang menjadi masalah ialah bahwa suap di Indonesia sudah memiliki akar
budaya yang demikian dalam.
Di dalam bahasa Indonesia, kosakata selain suap sangat banyak. Tetapi yang
dalam bahasa Sansekerta yang kurang-lebih berarti bukti kesetiaan. Menurut sejarah,
upeti adalah suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja
penakluk.
Banyak kasus di dunia bahkan di Indonesia upaya penyuapan untuk berbagai
tujuan, kasus penyuapan SKK Migas misalnya, ada tujuan yang diharapkan penyuap,
agar target produksi kementrian ESDM disetujui oleh DPR. Penyuapan oleh Artalita
Suryani misalnya menyuap Jaksa Urip Gunawan dalam rangka untuk membebaskan
tersangka kasus BLBI. Penyuapan Hambit Bintih terhadap Hakim Mahkamah
Konstitusi Akil Mochtar dalam upaya mempengaruhi hasil putusan pengadilan sengketa
Pilkada Kabupaten Gunung Mas.
Belum lagi kasus suap impor daging sapi. Kasus ini cukup memprihatinkan di
tengah usaha pemerintah menggalakkan swasembada pangan. Kasus dugaan korupsi
dalam pemberian kuota impor daging sapi mencuat setelah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menangkap Ahmad Fathanah dengan barang bukti satu miliar rupiah.
Dari sekian banyak bentuk penyuapan atau penyogokan, salah satunya adalah
menyuap Auditor BPK dalam upaya mempengaruhi hasil audit sesuai dengan keinginan
klien dalam hal ini adalah aparat pemerintah daerah. Berikut wawancara peneliti dengan
pegawai bagian keuangan Kabupaten X dengan menggunakan bahasa Daerah.
“....biasa leh, ada jua tuh sida yang ndak pitis, biasanya kami mberi dalam oto,
andak bawah jok sida, kendia sopir yang mberi tahu bahwa ada titipan dibawah
jog oto....pernah jua tegak tu, ....jarang kami mberi langsung, ndik nyaman kan
dengan sida, atau kami belikan oleh-oleh khas kaltim, tegak amplang atau lempk
durian, nah dalam kotak tuh ada kami andaq pitis disitu, kan ndik
ketahuan....tegak itu maha leh....”
Fenomena seperti hal di atas kerap terjadi, khususnya dibeberapa daerah yang
memiliki banyak kesalahan dalam penggunaan APBD, sehingga aparat melakukan
berbagai upaya dalam mempengaruhi hasil audit agar sesuai dengan harapan auditee.
Informan di atas menjelaskan bahwa hal itu sudah biasa terjadi, bahwa ada juga
para auditor yang mau uang, biasanya aparat memberi dalam mobil, ditempatkan di
bawah tempat duduk, setelah itu sopir yang meberi tahu bahwa ada titipan, jarang
mereka memberi secara langsung. Bahwa ada pula kasusnya mereka memasukan uang
dalam kotak oleh-oleh khas Daerah, sehingga para penerima akan dengan mudah
Namun demikian tidak semua auditor BPK yang bisa diintervensi, sebagian
besar menolak diberikan uang atau di suap.
“...wah sulit mas, gak bisa...kita pernah coba gak mau dia, jangankan
untuk diberikan uang, diajak makan aja gak mau, bahkan berkomunikasi
aja agak sulit dengan mereka...”
Dapat disimpulkan bahwa, ada beberapa klien yang mencoba untuk
mempengaruhi hasil audit dengan cara menyuap auditor. Ada beberapa yang berhasil
namun banyak pula yang tidak berhasil, ini tergantung dari integritas auditornya.
b) Upaya mengintervensi Auditor dengan cara memberikan pendapat terhadap akun tertentu
Biasanya klien sudah mengetahui dengan benar dmana saja letak kesalahan atau
kekeliruan yang dilakukan. Dengan demikian klien mancoba untuk melakukan
intervensi terhadap hasil audit. Berbagai macam akun dalam laporan keuangan
pemerintah daerah yang tentunya banyak penyelewengan atau salah saji oleh para
penatausahaan keuangan pemerintah daerah.
Berikut ringkasan hasil wawancara dengan informan dari salah satu pejabat
bagian keuangan di pemerintah Kabupaten di provinsi Jawa Timur.
“....yang menjadi masalah saat ini adalah pencatatan aset pemerentah
mas,... kita kadang kala mengalami kendala dalam hal mengakui hak atas
tanah milik pemkab, tapi ternyata itu tanah milik provinsi, sementara ada
bangunan pemkab yang beridiri di atasnya, sehingga kita mencoba
memberitahu kepada temen-temen BPK bahwa sulit untuk mencatat
kepemilikian aset, karena blom ada hibah resmi dari Suroboyo (pemrov
Jatim), jadi kita ajarin temen-temen BPK bahwa nyatat-ne gini..gitu...,
supaya mereka bisa bantu lah....”
Dalam hal ini aparat mencoba menjelaskan bagaimana mengecoh catatan atas
aset yang kepemilikannya belum jelas, kadang kala metode pencatatannya tidak
menggunakan prosedur akuntansi yang benar. Pemda kadangkala sudah mengakui tanah
tersebut sebagai aset pemda, namun tidak ada hak kepemilikan atas tanah tersebut.
Demikian pula dengan adanya temuan yang berkaitan dengan besaran honor
belanja langsung maupun tidak langsung. Kadangkala aparat mencoba membujuk
langsung, dengan cara menyatakan bahwa standar honor sudah sesuai dengan SK
Kepala Daerah dan bahkan ada SK kepala SKPD, sementara aturan-aturan lain
pendukungnya disembunyikan.
“....yang sulit iku masalah besaran honor mas, moso kita kasih kepala
Badan honor kecil, sementara standar biayakan gak segitu, makanya kita
akalin dengan membuatkan SK Kepala Daerah atau SK kepala Dinas
supaya ada dasar hukum pemberian honor yang agak tinggi...”
Hal lain yang bisa dilakukan adalah adanya pengeluaran yang tidak ada
akun-nya. Ini juga biasa dilakukan dengan cara membuat akun baru, yang tidak
sesuai dengan standar akuntansi pemerintahanan.
c) Upaya memberikan fasilitas perjalanan untuk keperluan pribadi auditor
Faktor reward atau imbalan berupa hadiah maupun sanksi ataupun punishment
yang diterima auditor dalam melakukan pemeriksaan bisa saja mempengaruhi
independensi auditor dalam memberikan opini atas hasil audit. Reward yang diterima
oleh auditor BPK kadang kala tidak mencukupi untuk kebutuhan hidupnya, sehingga
dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya kadangkala auditor melakukan hal-hal
yang melanggar etika.
Berikut hasil wawancara dengan salah satu informan dari Pemerintah Kota di
Kaltim.
“...secara tersurat sih mereka gak bilang, tapi secara tersirat ngomong
gini - ... saya ini mau pulang kampung, minggu depan kebetulan
mulai puasa, sekeluarga, pusing begini tanggal tua, tiket pesawat mahal
lagi-....nah dengan bgitu kami sebenarnya paham apa maksud mereka,
ya terpaksa kami siapkan tiket pesawat PP 4 orang, yang penting hasil
audit beres...”
Ini adalah salah satu bentuk dari permintaan fasilitas yang terselubung dari
auditor, ini nyata dan benar-benar terjadi. Bentuk pemberian fasilitas perjalanan kepada
auditor merupakan salah satu bentuk upaya klien mempengaruhi hasil audit.
Kadangkala juga permintaan seperti itu datang dari Klien, biasanya klien
meminta semua tiket auditor untuk diganti uang tiketnya, ada beberapa auditor yang
mau memberikan, namun ada pula auditor yang tidak mau memberikan, karena ini
menurut Wirakusumah dan Agoes (2003 : 8) merupakan pandangan yang tidak
berprasangka dan tidak memihak dalam melakukan test-test audit, evaluasi dan
hasil-hasilnya, dan penerbitan laporan, dan merupakan alasan utama kepercayaan masyarakat.
d) Menyediakan staf khusus yang membantu Auditor
Pemberian staf khusus biasanya dilakukan dalam upaya mendampingi auditor
dalam melakukan proses audit. Berbagai macam tujuan yang dicapai dengan
menggunakan modus operandi ini, dalam hal ini adalah mencoba mempengaruhi hasil
audit melalui tangan staf yang diperbantukan, atau malah memberikan gratifikasi
personal melalui staf yang berlainan jenis kelamin. Sebagai contoh auditor laki-laki
diberikan staf wanita cantik dalam upaya menganggu konsentrasi auditor. Berikut hasil
wawancara dengan salah satu informan dari salah satu pengelola keuangan dari
Kabupaten di Sulawesi Utara.
“....jadi begini, auditor itukan manusia juga, kadang kala mereka akan
luluh klo dengan cewek cantik, nah itulah yang kita pergunakan, bahkan
kadang mereka mengajak si cewek untuk makan bersama, paling tidak ini
usaha kita supaya diberikan opini yang baik atas hasil audit....”
Penyediaan bantuan staf ini sedikit banyak akan berdampak terhadap
independensi auditor, bisa berdampak positif karena akan membantu kerjanya
proses audit, namun disisi lain akan menganggu auditor, namun secara manusiawi
dinikmati oleh auditor.
e) Menyediakan fasilitas Hiburan bagi Auditor
Fasilitas hiburan bahkan hiburan malam adalah salah satu kebutuhan hedonis
masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan. Begitu pula auditor, tidak menutup
kemungkinan bisa menerima, atau bahkan meminta untuk disediakan fasilitas hiburan
malam untuk memenuhi keputusan pribadinya. Berikut hasil wawancara dengan salah
satu staf keuangan di pemerintah Kota di Jawa Barat.
“....wah pernah, kami buka meja, ya ikut lah....ternyata mereka suka juga,
mungkin karena kebetulan ke luar daerah dan mereka auditor dari pusat...
”
Walau sebagain kecil menggunakan pemberian fasilitas ini, namun tidak banyak
auditor yang mengikutinya, karena akan sulit mempengaruhi diri auditor tidak
sebanding dengan penambahan fee audit. Hiburan sebatas hiburan tidak banyak
mempengaruhi hasil audit. Berikut wawancara dengan salah satu informan dari pulau
“....memang walau mereka ikut hiburan, tapi sulit mereka mau ikut aturan
kita, mereka tetap menggunakan instrumen audit sebenarnya dan tidak
terganggu independensinya....”
f) Menyediakan sampel audit yang terbaik dan pilihan
Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan,
pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan
pendapat atas laporan keuangan auditan. Cukup atau tidaknya bukti audit berkaitan
dengan, antara lain desain dan ukuran sampel audit. Ukuran sampel yang diperlukan
untuk menghasilkan bukti audit yang cukup tergantung pada tujuan dan egisiensi
sampel.
Untuk tujuan tertentu, efisiensi sampel berhubungan dengan desainnya. Suatu
sampel akan lebih efisien daripada yang lain jika sampel tersebut dapat mencapai tujuan
yang sama dengan ukuran sampel yang lebih kecil. Secara umum, desain yang hati-hati
akan menghasilkan sampel yang lebih efisien.
Auditor dalam melakukan audit menggunakan sampel yang efisien, namun
kadangkala klien menyediakan sampel yang terbaik, sehingga tidak menggambarkan
bukti sebenarnya. Berikut hasil wawancara dengan salah seorang klien dari staf
pengelola keuangan pemkot di salah satu provinsi di Sumatera.
“...kami biasanya menyediakan bahan-bahan bukti yang diminta yang
terbaik saja, sementara yang buruk kami simpan, namun kadang kala
auditor minta secara acak, nah ini yang bikin kami bingung...”
Salah satu upaya tersebut tidak sepenuhnya berhasil, karena auditor
menggunakan sampel acak. Sampling audit dapat diterapkan baik untuk melakukan
pengujian pengendalian, maupun pengujian substantif. Meskipun demikian, auditor
biasanya tidak menerapkan sampling audit dalam prosedur pengujian yang berupa
pengajuan pertanyaan atau tanya jawab, observasi, dan prosedur analitis. Sampling audit
banyak diterapkan auditor dalam prosedur pengujian yang berupa vouching, tracing,
dan konfirmasi. Sampling audit jika diterapkan dengan semestinya akan dapat
menghasilkan bukti audit yang cukup, sesuai dengan yang diinginkan standar pekerjaan
lapangan yang ketiga.
g) Menghilangkan bukti audit
Sebagian besar pekerjaan auditor independen dalam rangka memberikan
pendapat atas laporan keuangan terdiri dari usaha untuk mendapatkan dan mengevaluasi
pada pertimbangan auditor independen, dalam hal ini bukti audit (audit evidence)
berbeda dengan bukti hukum (legal evidence) yang diatur secara tegas oleh peraturan
yang ketat. Bukti audit sangat bervariasi pengaruhnya terhadap kesimpulan yang ditarik
oleh auditor independen dalam rangka memberikan pendapat atas laporan keuangan
auditan. Relevansi, objektivitas, ketepatan waktu, dan keberadaan bukti audit lain yang
menguatkan kesimpulan, seluruhnya berpengaruh terhadap kompetensi bukti.
Kadang kala untuk mempengaruhi hasil audit, klien mencoba menghilangkan
bukti audit atau mencoba mengalihkan bukti audit. Berikut ini hasil wawancara dengan
informan dari salah satu staf keuangan bagian Keuangan di pemerintah Kabupaten di
Jawa Tengah.
“...memang jarang sih, tapi pernah....entah disengaja atau tidak, dulu kan
gudang arsip PU ludes terbakar, padahal disitu semua bukti audit
tersimpan, ya bebas dari pemeriksaan....tapi ini riskan, jarang dilakukan,
paling-paling kami buat seolah-olah terjadi pencurian, sehingga sebagian
berkas atau laptop hilang...”
Menghilangkan bukti audit juga pernah dilakukan oleh lembaga tinggi negara
Mahkamah Agung, atas laporan kasus biaya perkara di MA. Audit BPK atas biaya
perkara di MA, baru akan digelar awal 2008 lalu. Penundaan ini dinilai bisa menjadi
upaya menghilangkan barang bukti dan manipulasi laporan keuangan. Koordinator
Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch, Fahmi Badoh sempat menyatakan:
sumber (detik.com).
"Terlihat betul ada penghindaran oleh MA. Bisa jadi ada upaya untuk
menghilangkan barang bukti. Memanipulasi laporan keuangan bisa saja
terjadi, perdamaian antara kedua lembaga negara itu belum bisa
menyelesaikan masalah. Apalagi jika MA terus mengulur-ulur pelaksanaan
audit, kan nggak cukup dengan berdamai jika audit tidak juga terlaksana.
Harus dibedakan persoalan publik dengan persoalan elit..."
ICW mengkhawatirkan substansi PP Tata Cara Pengelolaan Biaya Perkara di
Pengadilan yang digagas MA. PP yang disebut MA bakal jadi payung hukum
penanganan biaya perkara itu dinilai hanya akan menguntungkan MA. Fahmi Badoh
juga melanjutkan:
"Saya khawatir, PP itu nanti hanya jadi alat justifikasi praktek-praktek
h) Memberikan efek teror kepada auditor
Tekanan manajemen klien seringkali terjadi pada situasi konflik antara auditor
dengan klien. Situasi konflik terjadi ketika auditor dengan klien berada pada dua pihak
yang saling berlawanan yaitu tidak sependapat hasil pelaksanaan pengujian laporan
keuangan. Maka hal yang dilakukan klien dengan mempengaruhi dan memaksa auditor
untuk melakukan tindakan yang melanggar standar audit sesuai dengan keinginannya,
termasuk dalam pemberian opini yang tidak sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya.
Jika dalam menghadapi hal seperti ini, biasanya terjadi sebuah adu argumen dan tidak
jarang cara intimidasi kekerasan dilakukan.
“....ini cerita teman, pernah mereka lakukan pencegatan di bandara
terhadap auditor tersebut, bahkan diancam parang, pilih uang atau pilih
parang, akhirnya auditor mengalah dan merubah hasil audit...”
Independensi auditor luntur pada situasi konflik. Situasi konflik semakin
meruncing ketika klien mulai melakukan intervensi pada proses audit sehingga akan
mempengaruhi opini auditor atas laporan keuangan historis. Jika dilihat dari aspek
sektor private M. Van Dijk (n.d.) menyatakan auditor KAP besar (big six) cenderung
lebih jarang menyerahkan pada tekanan manajemen apabila terdapat publikasi laporan
keuangan auditee, kondisi keuangan auditee bermasalah, dan risiko take over auditee
yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan apabia auditor bersedia untuk menyerahkan pada
intervensi klien dan mengikuti keinginan klien, maka resiko litigasi atas audit yang yang
tidak benar akan sangat tinggi.
2) Konsep dan Kategori
Langkah berikutnya adalah merangkai sebuah konsep. Konsep merupakan
komponen utama pembentuk sebuah teori. Konsep adalah abstrak, entitas mental yang
universal yang menunjuk pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian atau
hubungan. Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang
dipahami. Aristoteles dalam "The classical theory of concepts" menyatakan bahwa
konsep merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan
filsafat pemikiran manusia. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran
mental, yang dinyatakan dalam suatu kata atau simbol. Konsep dinyatakan juga sebagai
bagian dari pengetahuan yang dibangun dari berbagai macam kharakteristik (Setioko,
Sebuah konsep muncul karena dibangun bukan muncul dengan sendirinya,
namun muncul dari berbagai rangkaian dari berbagai fenomena yang dibangun dari
tahapan coding. Berdasarkan berbagai coding yang menggambarkan berbagai realitas
dan fenomena sosial di lapangan, maka dapat disusun sebuah konsep yang berkaitan
dengan upaya mempengaruhi hasil audit:
a) Upaya memberikan uang atau barang kepada Auditor. Pemberian uang atau barang
atau berupa material lain, akan mendorong auditor BPK berperilaku melanggar
independensinya. Secara konsepsional, auditor yang memperoleh audit fee yang
kecil atau murah dari BPK, maka untuk memenuhi kebutuhannya, kemungkinan
auditor akan menerima pemberian dari auditee tersebut.
b) Upaya mengintervensi Auditor dengan cara memberikan pendapat terhadap akun
tertentu. Meberikan pendapat terhadap akun tertentu sedikit banyak akan
mempengaruhi pendapat auditor, apalagi beberapa auditor kurang memahami kasus
atau transaksi tertentu yang berkaitan dengan belanja dan pendapatan di pemerintah
daerah.
c) Upaya memberikan fasilitas perjalanan untuk keperluan pribadi auditor. Tidak jauh
berbeda dengan pemberian uang atau barang, pemberian fasilitas perjalanan kepada
auditor bisa mempengaruhi hasil audit, apalagi auditor benar-benar membutuhkan
biaya perjalanan dinas, maka upaya tersebut akan berhasil mempengaruhi hasil
audit.
d) Menyediakan fasilitas Hiburan bagi Auditor. Pemberian fasilitas hiburan salah satu
upaya dalam mempengaruhi hasil audit. Memang berdasarkan hasil wawancara,
metode ini tidak terlalu banyak memberikan efek dalam mempengaruhi hasil audit,
namun demikian hal ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan auditee.
e) Menyediakan sampel audit yang terbaik dan pilihan. Sudah menjadi sifat manusia
bahwa hanya akan memberikan sampel audit yang terbaik, karena akan memberikan
pengaruh terhadap hasil audit. Namun hasil ini masih bisa diatasi oleh auditor
dengan cara audit sampling sehingga dapat secara acak menggunakan bukti audit.
f) Menghilangkan bukti audit. Ini merupakan cara extrem dalam menghadapi auditor,
namun demikian kalau sampai ketahuan akan memasuki ranah pidana. Penghilangan
bukti audit akan berpengaruh terhadap hasil audit, apalagi yang dihilangkan adalah
bukti-bukti transaksi yang bermasalah.
g) Memberikan efek teror kepada auditor. Pemberian efek teror juga merupakan cara
dilakukan, kecuali untuk kasus besar dan auditor juga sedang dalam keadaan
berkonflik dengan auditee.
3) Teori
Agar kredibel, sebuah teori harus memiliki “kekuatan penjelasan (explanatory
power)”, dengan keterkaitan antar konsep dan kategori, serta kekhususan, kategori
berhubungan satu sama lain dan berkaitan erat dengan data. Dalam penelitian Grounded
Theory, yang dimaksud dengan teori adalah penjelasan atau pemahaman yang abstrak
tentang suatu proses mengenai sebuah topik substantif yang didasarkan pada data. Ada
dua jenis teori yang dihasilkan dalam grounded research, yaitu teori substantive dan
teori formal (Daymondan Holloway, 2008:195).
(a) Teori substantive muncul dari kajian terhadap kondidi sosial yang nyata seperti
menejemen hubungan konsumen, praktik professional, hubungan gender,
kepemimpinan, atau komunikasi internet. Karena teori ini menyajikan hubungan
yang mendekati realitas empirisnya, maka teori ini sangat berguna bagi para peneliti
diarena bisnis atau professional.
(b) Teori formal dikembangkan dari teori substantive. Teori ini dihasilakn dari berbagai
situasi dan latar yang berbeda-beda, bersifat konseptual dan memiliki generalitas
yang tinggi.
Berdasarkan koding-koding yang telah dikumpulkan berdasarkan berbagai
fenomena sosial, kemudian disusunkan konsep lalu kemudian disusun sebuah kategori
hingga akhirnya dibuat sebuah rumusan teori, yang berkaitan dengan upaya
mempengaruhi hasil audit BPK, maka dapat disusun sebuah teori sebagai berikut:
“Sistem audit pada pemerintah yang mengharuskan adanya interaksi antara
auditee dalam hal ini adalah aparat pengelola keuangan dengan auditor BPK
memunculkan sebuah komunikasi. Ruang komunikasi ini digunakan oleh auditee untuk
mempengaruhi hasil audit, dengan tujuan menghindari dari tindakan hukum dan
memperoleh prestasi dalam pengelolaan keuangan negara dan daerah”.
Upaya mempengaruhi hasil audit ini memiliki berbagai dimensi pengukur dan
berbagai macam upaya antara lain:
a) Upaya memberikan uang atau barang kepada Auditor
b) Upaya mengintervensi Auditor dengan cara memberikan pendapat terhadap akun
tertentu
d) Menyediakan fasilitas Hiburan bagi Auditor
e) Menyediakan sampel audit yang terbaik dan pilihan
f) Menghilangkan bukti audit
g) Memberikan efek teror kepada auditor
2.3. Pengembangan Hipotesis
a) Pengalaman Audit Klien - keinginan klien untuk mempengaruhi hasil audit Kadangkala para pengelola keuangan di Pemerintah, baik pemerintah pusat
maupun daerah, sebelumnya pernah memiliki pengalaman audit, baik pada audit sektor
private maupun audit sektor publik, baik di Internal Audit atau bahkan pernah sebagai
Auditor BPK. Pengalaman ini sedikit banyak akan memberikan dampak terhadap
pengatahuan akan metode-metode audit yang dilakukan oleh BPK.
Penelitian Gibson et. al., (2001) menyatakan bahawa CFO (Chief Financial
Officer) serta para pejabat lain yang telah bekerja sebagai auditor di KAP, lebih besar
kemungkinannya untuk mengetahui metode-metode audit dan proses negosiasi antara
klien dengan auditor. Keahlian didalam akuntansi dan negosiasi adalah suatu faktor
yang penting bagi proses dan hasil negosiasi. Penelitian Pasewark dan Wilkerson (1989)
menyatakan bahwa pegawai klien yang pernah bekerja di KAP lebih besar
kemungkinannya untuk mengetahui standar auditing dan proses audit.
Pengetahuan klien mengenai pekerjaan dari proses audit yang demikian dapat
membantu klien di dalam negosiasi dengan auditor. Penelitian Iyer dan Rama (2004)
menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
pengalaman audit klien tidak berpengaruh terhadap keinginan klien untuk
mempengaruhi kebijakan audit.
Berdasarkan beberapa temuan dari penelitian tersebut dapat gambarkan dapat
pula berlaku pada audit sektor publik bahwa pegawai negeri atau klien yang pernah
bekerja di berbagai lembaga pemeriksa pemerintah lebih besar kemungkinannya untuk
mengetahui standar auditing dan proses audit. Berdasarkan uraian di atas, dapat
dibuatkan hipotesis sebagai berikut:
H1 : Pengalaman audit klien berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap
b) Tingkat Senioritas Auditor – Keinginan Klien untuk Mempengaruhi Hasil Audit
Usia, tingkat pendidikan dan penglaman Auditor dapat dijadikan sebagai tolok
ukur senioritas auditor, khususnya auditor BPK dapat memberikan efek negatif terhadap
intervensi klien dalam hal ini aparat pemerintah dalam mempengaruhi hasil audit,
semakin senior seorang auditor BPK maka kemungkinan intervensi semakin rendah.
Dalam hal ini ada sebuah persaan segan atau takut dari klien dalam mengintervensi atau
memperngaruhi hasil temuan audit.
Penelitian Iyer dan Rama (2004) menyatakan bahwa tingkat senioritas auditor
yang lebih tinggi daripada klien, mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap
keinginan klien untuk mempengaruhi kebijakan audit. Ini berarti bahwa klien yang
diaudit oleh auditor yang lebih senior dari pada mereka (klien), tidak merasa yakin
bahwa mereka (klien) dapat mempengaruhi kebijakan audit. Penelitian Iyer dan Rama
(2004) menyatakan bahwa jenjang pendidikan auditor yang lebih tinggi daripada klien,
mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap keinginan klien untuk
mempengaruhi kebijakan audit. Ini berarti bahwa klien yang diaudit oleh auditor yang
pendidikannya lebih tinggi dari pada mereka (klien), tidak merasa yakin bahwa mereka
(klien) dapat mempengaruhi kebijakan audit
Penelitian Iyer dan Rama (2004) menyatakan bahwa pengalaman audit yang
dimiliki auditor yang lebih lama daripada klien, mempunyai pengaruh negatif dan
signifikan terhadap keinginan klien untuk mempengaruhi kebijakan audit. Ini berarti
bahwa klien yang diaudit oleh auditor yang pengalamannya lebih lama daripada mereka
(klien), tidak merasa yakin bahwa mereka (klien) dapat mempengaruhi kebijakan audit.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu tersebut dapat dibuat hipotesis sebagai berikut:
H2 : Tingkat Senioriotas Auditor berpengaruh secara negatif terhadap keinginan
klien untuk mempengaruhi hasil audit BPK.
c) Tekanan Pimpinan – Keinginan Klien untuk Mempengaruhi Hasil Audit
Tekanan pimpinan klien seringkali terjadi pada situasi konflik antara auditor
dengan klien. Situasi konflik terjadi ketika auditor dengan klien berada pada dua pihak
yang saling berlawanan yaitu tidak sependapat hasil pelaksanaan pengujian laporan
keuangan. Maka hal yang dilakukan klien dengan mempengaruhi dan memaksa auditor
untuk melakukan tindakan yang melanggar standar audit sesuai dengan keinginannya,
termasuk dalam pemberian opini yang tidak sesuai dengan keadaan yang
Menurut Tsui dan Gul (1996) dalam Deni Samsudin (2009), independensi
auditor luntur pada situasi konflik. Situasi konflik semakin meruncing ketika klien
mulai melakukan intervensi pada proses audit sehingga akan mempengaruhi opini
auditor atas laporan keuangan historis. M. Van Dijk (n.d), auditor KAP besar (big six)
cinderung lebih jarang menyerahkan pada tekanan manajemen apabila terdapat
publikasi laporan keuangan auditee, kondisi keuangan auditee bermasalah, dan risiko
take over auditee yang tinggi. Hal tersebut dikarenakan apabia auditor bersedia untuk
menyerahkan pada intervensi klien dan mengikuti keinginan klien, maka resiko litigasi
atas audit yang yang tidak benar akan sangat tinggi.
Dalam sektor publik tekanan dari pimpinan seringkali terjadi. Tekanan ini
berkaitan dengan besaran material yang diberikan pimpinan jika auditee mampu
mempengaruhi auditor, kamudia bisa pula dalam bentuk tekanan waktu audit, pimpinan
menghendakin proses audit berjalan secara cepat, karena mengejar agenda lain. Bahkan
ada pula tekanan berupa hasil atau prestasi yang baik, seorang kepala daerah atau kepala
institusi menghendakin hasil audit dengan prestasi tinggi (WTP) dengan harapan untuk
kepentingan politik. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu tersebut dapat dibuat
hipotesis sebagai berikut:
H3 : Tekanan Pimpinan berpengaruh terhadap keinginan klien untuk mempengaruhi
Hasil audit BPK.
Berdasarkan pembahasan dari hasil-hasil penelitian terdahulu dapat dibuatkan
kerangka pemikiran teoritis sebagai berikut:
Gambar 2. Model Penelitian
Pengalaman Audit Klien
Senioritas Auditor
Tekanan Pimpinan
Upaya Klien Mempengaruhi
III. Metode Penelitian Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan kombinasi antara penelitian kualitatif dan kuantitatif.
Penelitian kualitatif menggunakan instrumen Grounded Theory. Penggunaan Grounded
Theory untuk membangun teori dari variabel dependen, yaitu upaya klien untuk
mempengaruhi hasil audit. Variabel ini belum pernah ada penelitian sebelumnya,
sehingga perlu dibangun sebuah teori, melalui instrumen Grounded Theory. Variabel
yang paling mendekati adalah independensi auditor, namun belum memberikan
gambaran keseluruhan tentang upaya klien dalam mempengaruhi hasil audit, khususnya
pada tataran audit sektor publik.
Kemudian, setelah terbangun teori, maka langkah berikutnya adalah mencoba
menganalisis beberapa faktor yang dapat mempengaruhi upaya klien tersebut, baik
secara positif maupun negatif, dengan menggunakan berbagai penelitian terdahulu
khususnya penelitian yang menganalisis independsi auditor maupun disfungsional audit.
Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Variabe Dependen (Y). Upaya Klien dalam mempengaruhi hasil Audit BPK. Variabel ini dibangun dengan menggunakan Grounded-Theory, yaitu upaya-upaya yang
dilakukan oleh klien atau auditee dalam hal ini adalah aparat pemerintah untuk
mempengaruhi hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan. Variabel ini menggunakan
beberapa indikator, antara lain:
a) Upaya memberikan uang atau barang kepada Auditor (Penyuapan)
b) Upaya mengintervensi Auditor dengan cara memberikan pendapat terhadap akun
tertentu (Intervensi Akun)
c) Upaya memberikan fasilitas perjalanan untuk keperluan pribadi auditor (Fasilitas
Perjalanan)
d) Menyediakan fasilitas Hiburan bagi Auditor (Fasilitas Hiburan)
e) Menyediakan sampel audit yang terbaik dan pilihan (Sampel Audit Pilihan)
f) Menghilangkan bukti audit (Penghilangan Barang Bukti)
g) Memberikan efek teror kepada auditor (Teror)
Variabel Independen
Pengalaman Audit Klien. Pengalaman audit klien yaitu pengalaman klien atau
auditee di bidang keuangan dan audit pada KAP ataupun pada lembaga audit
pemerintah lainnya baik BPKP, BPK maupun Inspektorat Daerah. Untuk mengukur
Rama (2004) dan Mulyaningsih dan Budyanto (2006). Dalam penelitian penelitian ini
indikator yang digunakan adalah:
- Pengalaman kerja bidang keuangan
- Pengamalan audit
- Banyaknya penugasan bidang keuangan
- Banyaknya penugasan Audit
Tingkat Senioritas Auditor. Tingkat Senioritas Auditor perbandingan tingkat kedewasaan seorang auditor BPK dibandingkan aparatur atau beberapa aparat dalam hal
ini klien atau auditee, yang diukur dari usia, pendidikan maupun pengalaman auditor
yang dikembangkan oleh (Mulyaningsih dan Budyanto, 2006). Dalam penelitian ini
indikator yang digunakan adalah:
- Usia
- Pengalaman Audit oleh Auditor
- Tingkat Pendidikan Auditor
Tekanan Pimpinan. Tekanan pimpinan adalah tekanan yang dilakukan oleh pimpinan institusi yang diaudit terhadap auditee dalam hal ini pengelola keuangan
untuk mendapatkan hasil audit yang baik, variabel ini dikembangkan oleh (Rimawanti
dan Dewayanto, n.d.). Dalam penelitian penelitian ini indikator yang digunakan
adalah:
- Tekanan Materi
- Tekanan Waktu
- Tekanan Prestasi
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pengelola keuangan pada PPKD
(Pejabat Pengelola Keuangan Daerah) di lingkungan Pemerintah Daerah Kalimantan
Timur dan Kalimantan Utara. Metode sampling yang digunakan adalah qouta sampling,
Tiap Pemerintah Daerah diambil 5 Sampel, yaitu, Kepala PPKD (kepala Bagian/Biro
Keuangan), Bendahara Umum, kepala Sub Bagian Anggaran, Kepala Sub Bagian
Akuntansi dan satu orang Staf bagian akuntansi. Terdapat 16 PPKD, yaitu 14
Kabupaten/Kota dan Pemerintah 2 provinsi, sehingga jumlah sampel yang terkirakan
adalah 80 orang. Sebanyak 80 kuesioner disebar melalui Pos dan bahkan sebagian
dilakukan wawancara secara langsung, hanya terdapat 74 kuesioner yang bisa
Alat Analisis dan Pengujian Hipotesis
Alat analisis yang digunakan adalah Persaman Struktural (SEM) dengan
menggunakan alat Statistik Partial Least Square. Persamaan yang dapat disusun adalah
sebagai berikut:
U = λ1PAK + λ2SA+ λ3TP + z1
U = Upaya untuk mempengaruhi hasil audit
PAK = Pengalaman Audit Klien
SA = Senioritas Auditor
TP = Tekanan Pimpinan
PLS adalah model persamaan struktural (SEM) yang berbasis komponen atau
varian (variance). Menurut Ghozali (2006) PLS merupakan pendekatan alternatif yang
bergeser dari pendekatan SEM berbasis covariance menjadi berbasis varian. SEM yang
berbasis kovarian umumnya menguji kausalitas/teori sedangkan PLS lebih bersifat
predictive model. PLS merupakan metode analisis yang powerfull (Wold,1985 dalam
Ghozali, 2006) karena tidak didasarkan pada banyak asumsi. Misalnya, data harus
terdistribusi normal, sampel tidak harus besar.
Selain dapat digunakan untuk mengkonfirmasi teori, PLS juga dapat digunakan
untuk menjelaskan ada tidaknya hubungan antar variabel laten. PLS dapat sekaligus
menganalisis konstruk yang dibentuk dengan indikator refleksif dan formatif. Hal ini
tidak dapat dilakukan oleh SEM yang berbasis kovarian karena akan menjadi
unidentified model.
IV. Hasil dan Pembahasan 4.1. Validitas dan Reliabelitas
Setiap variable latent (contruct) diuji untuk konsistensi validitas internal
menggunakan alfa Cronbach dan membangun reliabilitas. Sejalan dengan apa yang
tercantum dalam tabel 1, koefisien alfa Cronbach adalah PAK (0,886), SA (0,945), TP
(0,892) dan U (0,872), berturut-turut lebih besar dari batasan 0,70 diusulkan oleh
Nunnally (1978). Semua reliabilitas konstruk adalah lebih besar dari 0,8, berada di atas
batasan 0,60 yang diusulkan oleh Fornell dan Larcker (1981). Keseluruhan, hasilnya
menyarankan validitas internal yang tinggi indikator pengukuran; karenanya, reliabilitas
Tabel 1.
Validitas dan Reliabelitas
Konstruk Cronbach’ Alpha
PAK 0,886
SA 0,945
TP 0,892
U 0,972
4.2.Analisis Persamaan Struktural
Dalam analisis dengan PLS ada 2 hal yang dilakukan, Pertama, menilai outer
model atau measurement model adalah penilaian terhadap reliabilitas dan validitas
variabel penelitian. Ada beberapa kriteria untuk menilai outer model yaitu: convergent
validity, discriminant validity dan composite reliability, Kedua, menilai inner model
atau structural model, Pengujian inner model atau model struktural dilakukan untuk
melihat hubungan antara konstruk, nilai signifikansi dan R-square dari model
penelitian.
Hasil pengujian pertama analisis persamaan struktural dengan PLS ini
menghasilkan outer loading sebagai berikut:
Gambar 3. Model outer loading
Hasil outer loading pertama biasanya beberapa indikator akan dikeluarkan dari
model karena memiliki loading kurang dari 0,50 (OL<0,5) dan tidak signifikan,
berdasarkan hasil analisis di atas, ada 4 indikator indikator yang dihapus karena
(0,139) dan U7 (0,147), sehingga harus dimodifikasi dengan cara menghilangkan
indikator tersebut dari model. Berikut ini hasil modifikasi model:
Gambar 4. Model outer loading setelah modifikasi
1. Pengujian Outer Model (Measurement Model)
Outer Model atau Measurement Model adalah penilaian terhadap reliabilitas dan
validitas variabel penelitian, Ada tiga kriteria untuk menilai outer model yaitu:
convergent validity, discriminant validity dan composite reliability. Tabel berikut
menunjukkan hasil pengujian reliabilitas dan validitas untuk masing-masing variabel,
Discriminant validity dari pengukuran model dengan indikator refleksif dapat dilihat
dari korelasi antar skor indikator dengan skor konstruknya.
Tabel 2.
Hasil Pengujian Reliabilitas dan Validitas
Variabel AVE Composite
Reliability
R Square
U 0,923 0,980 0,803
PAK 0,883 0,968 –
SA 0,935 0,977 –
TP 0,918 0,957 –
Sumber: Hasil Output Analisis SmartPLS
Variabel akan dianggap relaible apabila nilai korelasinya di atas 0,50 (Ghozali,
2006). Hasil pengujian outer loadings pada tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa
reliabel dan memenuhi kaidah validitas karena seluruh outer loadings AVE berada di
atas 0,50 (Ghozali, 2006).
2. Pengujian Inner Model (Model Struktural)
Pengujian inner model atau model struktural dilakukan untuk melihat hubungan
antara konstruk, nilai signifikansi dan R-square dari model penelitian, Berikut ini
digambarkan nilai regresion weight hubungan antara konstruk, nilai signifikansi dan
R-square dari model penelitian.
Table 3.
Nilai regresion weight hubungan antara konstruk, nilai signifikansi statistik
(t_statsitic) dan R-square
Pengaruh
Variabel
R Square
(R2)
Original Sample
Estimate
T_Statistic
PAK U 0,803 0,533 3,132*)
SA U 0,803 0,018 0,114
TP U 0,803 0,371 2,683*)
Keterangan:
*) Sig pada nilai t-tabel 1,960
U = Upaya Klien untuk mempengaruhi hasil Audit BPK
PAK = Pengalaman Audit Klien
SA = Senioritas Auditor
TP = Tekanan Pimpinan
Sumber: Output SmartPLS
Berdasarkan hasil analisis di atas diperoleh nilai R-square (R2) sebesar 0,803
untuk variabel upaya klien mempengaruhi hasil audit BPK yang dalam penelitian ini
menjadi variabel dependen. Berdasarkan nilai R square sebesar 0,803 dapat
diinterpretasikan bahwa PAK, SA dan TP dapat menjelaskan varian dari perubahan U
sebesar 80,3 persen.
4.3.Pengujian Hipotesis dan Pembahasan
Hipotesis pertama yang menyatakan bahwa Pengalaman audit klien berpengaruh
Hasil uji statistik menunjukkan koefisien sebesar 0,533 dengan t-statistik 3,132, dalam
PLS batasan nilai t-statistik adalah 1,960 (Ghozali, 2006), sehingga dapat dikatakan
hipotesis dapat didukung atau diterima. Hal ini menujukkan bahwa semakin tinggi
pengalaman auditee atau klien dalam bidang keuangan dan audit, semakin tinggi
pengetahuan tentang motede-metode keuangan dan proses audit maka semakin
berpeluang klien untuk merekayasa laporan keuangan dan berpupaya untuk
mempengaruhi hasil audit. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Gibbins
et. al. (2001) yang menyatakan CFO serta para pejabat lain yang telah bekerja sebagai
auditor di KAP, lebih besar kemungkinannya untuk mengetahui metode-metode audit
dan proses negosiasi antara klien dengan auditor. Juga tidak konsisten dengan penelitian
Pasewark dan Wilkerson (1989) yang menyatakan pegawai klien yang telah bekerja di
KAP lebih besar kemungkinannya untuk mengetahui standar auditing dan proses audit.
Penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian Mulyaningsih dan Budiyanto
(2006) yang menyatakan klien yang pernah bekerja pada KAP mempunyai komitmen
yang kuat untuk menjunjung tinggi profesi akuntansi, yaitu dengan cara tidak
mempengaruhi kebijakan audit yang akan diputuskan oleh auditor yang memeriksa
Laporan Keuangan perusahaannya. Hasil tersebut tidak berbeda dengan hasil penelitian
Iyer dan Rama (2004).
Hipotesis kedua yang menyatakan bahwa tingkat Senioriotas Auditor berpengaruh
secara negatif terhadap upaya klien untuk mempengaruhi hasil audit BPK. Hasil uji
statistik menunjukkan koefisien sebesar 0,018 dengan t-statistik 0,114, dalam PLS
batasan nilai t-statistik adalah 1,960 (Ghozali, 2006), sehingga dapat dikatakan hipotesis
tidak dapat didukung atau tidak dapat diterima. Hasil ini menujukkan bahwa sebarapun
tingkat senioritas, tidak mempengaruhi adanya upaya klien untuk mempengaruhi hasil
audit. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Mulyaningsih dan Budiyanto
(2006) bahwa tidak terdapat pengaruh tingkat senioritas auditor terhadap keinginan
klien untuk mempengaruhi kebijakan audit.
Hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa tekanan pimpinan berpengaruh terhadap
upaya klien untuk mempengaruhi Hasil audit. Hasil uji statistik menunjukkan koefisien
sebesar 0,371 dengan t-statistik 2,683, dalam PLS batasan nilai t-statistik adalah 1,960
(Ghozali, 2006), sehingga dapat dikatakan hipotesis dapat didukung atau diterima.
Penelitian ini mengandung pengertian bahwa semakin tinggi tekanan dari pimpinan
semakin besar upaya klien atau auditee untuk mempengaruhi hasil audit. Hasil
oleh Deni Samsudin (2009) tetapi tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Nichols dan Price (1976) serta Barkess dan Simnet (1994) dalam Harhinto (2004), yang
menyatakan bahwa tekanan dan intervensi manajemen klien merupakan suatu ancaman
yang dapat menyebabkan kerusakan independensi auditor. Hal mendasar yang
melatarbelakangi independensi auditor adalah faktor sikap dan perilaku. Sikap dan
perilaku auditor yang terpengaruh dengan adanya intervensi manajemen klien (faktor
eksternal dan stimulus pembentuk perilaku) terjadi karena auditor kurang memiliki
nilai-nilai pertimbangan etis yang terbentuk atas faktor dalam diri individu (Rimawati
dan Dewayanto, n.d.).
V. Kesimpulan dan Keterbatasan
Semakin tinggi pengalaman auditee atau klien dalam bidang keuangan dan audit,
semakin tinggi pengetahuan tentang motede-metode keuangan dan proses audit maka
semakin berpeluang klien untuk merekayasa laporan keuangan dan berpupaya untuk
mempengaruhi hasil audit. Kemudian variabel tingkat senioritas tidak bepengaruh
signifikan, artinya sebarapun tingkat senioritas, tidak mempengaruhi adanya upaya klien
untuk mempengaruhi hasil audit. Tekanan pimpinan berpengaruh signifikan terhadap
keinginan klien untuk mempengaruhi hasil audit, semakin tinggi tekanan dari pimpinan
semakin besar upaya klien atau auditee untuk mempengaruhi hasil audit.
Keterbatasan penelitian ini antara lain adalah, objek penelitian hanya terbatas
pada wilayah Kalimantan Timur, sehingga memiliki tingkat generalisasi yang rendah.
Instrument yang digunakan hanya untuk klien aparat pemerintah yang menggunakan
anggaran negara, tidak dapat digeneralizir pada sampel yang lain yang menggunakan
angaran perusahaan. Tidak adanya variabel kontrol dalam penelitian ini, menyebabkan
kurang akuratnya prediksi terhadap variabel bebas. Ukuran pemerintah daerah yang
diukur dari total asset, jumlah APBD dan jumlah pegawai dapat dijadikan sebagai
REFERENSI
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Rineka Cipta. Jakarta.
Budiyanto, Enjang Tachyan., Mohamad Nasir dan Indira Januarti. 2005. Pengujian variabel-variabel yang berpengaruh terhadap Ekspektasi Klien Dalam Audit Judgment. Proceeding SNA VIII Solo, 15 – 16 September 2005.
Creswell, John W. 2008. Educational Research: Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qulitative Research. 2008. New Jersey: Prentice Hall. Hal, 442.
Daymon, Christine., dan Immy Holloway. 2008. Metode-metode Riset Kualitatif: dalam Public Relations dan Marketing Communications. Yogyakarta: Penerbit Bentang.
Daymon, Cristin, dan Holloway, Immy. 2008. Metode-metode Riset Kualitatif dalam Public Relations dan Marketing Communication.. Yogyakarta: Bentang,hal 195.
Djik, M.Van. (n.d).Litigation and Audit Quality; Two Experimental Studies.
Fornell C, Larcker DF. 1981. Evaluating structural equation models with unobservable variables and measurement error. J. Mark. Res., 18 (6): 39-50.
Ghozali, I. 2006. Structural Equation Modeling, Metode Alternatif dengan Partial Least Square PLS. Badan Penerbitan Universitas Diponegoro
Gibbins, M., S. Salterio, and A. Webb. 2001. Evidence about Auditor-Client Management Negotiation Concerning Client’s Financial Reporting. Journal of Accounting Research 39 (3): 535-563.
Glaser, B.G. & Strauss, A.L. 1967. The Discovery of Grounded Theory, Aldine Publishing Co., New York NY.
Harhinto, Teguh. 2004. Pengaruh Keahlian dan Independensi terhadap Kualitas Audit (Studi Empiris pada Auditor di Kantor Akuntan Publik di Jawa Timur). Tesis Program Sarjana Magister akuntansi Universitass Diponegoro.
Iyer, Venkataraman M. and Dasaratha V. Rama. 2004. Clients’ Expectations on Audit Jugments: A Note. Behavioral Research In Accounting 16 : 63-74.
Mulyaningsih, Nining dan Enjang Tachyan Budiyanto, 2006. Pengujian variabel-variabel yang berpengaruh terhadap Keinginan Klien untuk Mempengaruhi Kebijakan Audit, Proceeding simposium nasional akuntansi 9 padang, 23-26 agustus 2006.
Pasewark, W.R., and J.E. Wilkerson, Jr. 1989. Introducing … the Power Quintuplets: Client Power and Auditor Independence. The Woman CPA 51 (3): 13 – 17. Nunnally J C. 1978. Psychometric theory. New York: McGraw Hill, 1978. 701p.
Salterio, S. and L. Koonce. 1997. The Persuasiveness of Audit Evidence: The Case of Accounting Policy Decisions. Accounting, Organizations, and Society 22 (6) : 573-587.
Samsudin, Deni. 2009. Pengaruh Tekanan Manajemen Klien dan Audit Time Budget Pressure. Penelitian Program Sarjana Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, Semarang.
Setioko, Bambang. 2011. Penggunaan Metoda Grounded Theory Dibawah Payung Paradigma Postpositivistik Pada Penelitian Tentang Fenomena Sosial Perkotaan. MODUL Vol.11 No.1 Januari 2011
Strauss, Anselm and Corbin, Juliet. 2007. Dasar - dasar Penelitian Kualitatif. Tata langkah dan teknik teknik teorisasi data. Pustaka Pelajar.Yogyakarta.