• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KONSEP HUKUM PROGRESIF DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMPLEMENTASI KONSEP HUKUM PROGRESIF DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN DI INDONESIA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI KONSEP HUKUM PROGRESIF DALAM

PENEGAKAN HUKUM OLEH KEPOLISIAN DI INDONESIA

Oleh :

Damanhuri Warganegara, S.H., M.H.

M. Farid. S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

IMPLEMENTASI KONSEP HUKUM PROGRESIF DALAM PENEGAKAN HUKUM

OLEH KEPOLISIAN DI INDONESIA

Abstrak

Oleh;

Damanhuri Warganegara, M.Farid

Reformasi serta kritik-kritik negatif terhadap sistem dan penegakan hukum di Indonesia memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk memikirkan alternatif untuk keluar dari situasi buruk dalam berhukum yang dipandang masyarakat, bahwa “hukum tajam ke bawah

tapi tumpul ke atas”. Adapun terobosan untuk mengatasi hal tersebut antara lain dengan

menggunakan konsep hukum progresif. Adapun permasalahan yang diajukan Bagaimanakah konsep hukum progresif ?, Bagaimanakah implementasi konsep hukum progresif dalam penegakan hukum oleh kepolisian Indonesia ?.Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan empiris. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa konsep hukum progresifKonsep hukum progresif merupakan, serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia, melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga hukum itu mampu menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia. Karena hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.Penegakan hukum oleh Polri sebagian masih berorientasi pada legalistic positivisme seperti mengeja undang-undang tanpa menemukan adanya hukum di dalam undang-undang secara formal, tetapi sebagian sudah bergeser ke arah hukum progresif dengan menggunakan model penyelesaian Restorative of Justice.

(3)

The Implementation of The Concept of Progressive Law Enforcement by Indonesian Police

Abstract

By

Damanhuri Warganegara, M. Farid

Reform and negative criticsms againt the system and law enforcement in Indonesia provides an opportunity for Indonesia to consider the alternative way to get out of a

bad situation in upholding the law as the public seen that“ The law is sharply down

but blunt on top”. As for the breaktrough to overcome it, among other, is by using

the progressive law. The problem is how the concept of Progressive Law? How the implementation of the concept of progressive law enforcement by the Indonesian Police? The research methods is by normative and empirical approaches. The result showed that the concept is a series of radical action, by changing the legal system (including the regulation if necessary) in order to make it more useful especially to elevate human dignity, ensure their happiness and welfare, to give freedom both in the ways of thinking or act within the law, so the law will be able to complete its duty, serve mankind. Because the law is not just a structure of regulations but also a structure of ideas, cultures and goals. Law enforcement by Indonesian police is partially still oriented to Legalistic Positivisme like read the legislation without finding any law in it formally. But law enforcement in Indonesia partially have been shifting toward progressive law by using Restorative of Justice solution model.

Keywords: Implementation, Law Enforcement, Progressive, Police

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Konsep hukum progresif Satjipto Rahardjo berawal dari kegelisahannya bahwa setelah 60 tahun usia negara hukum, terbukti tidak kunjung mewujudkan suatu kehidupan hukum yang lebih baik, dengan keprihatinannya dia berkata:1

“Saya merasakan suatu kegelisahan sudaah merenungkan lebih dari enam puluh

tahun usia Negara Hukum Republik Indonesia. Berbagai rencana nasional telah dibuat untuk mengembangkan hukum di negeri ini, tetapi juga tidak memberikan hasilyang memuaskan, bahkan grafik menunjukkan tren yang menurun. Orang tidak berbicara tentang kehidupan hukum yang makin bersinar, melainkan sebaliknya, kehidupan hukum yang makin suram”.

1Satjipto Raharjo (dalam Romli Atmasasmita, Teori hukum Integratif), Genta Publishing, Yogyakarta, 2012,

(4)

Bertolak dari kenyataan pahit mengenai kehidupan dan peranan hukum yang ia konstatir di atas, maka muncullah keinginan untuk kembali kepada fondamental hukum di negeri ini, bahkan almarhum memikirkan tentang kemungkinan adanya kekeliruan bahkan kekurangtepatan dalam memahami fundamental hukum tersebut, sehingga almarhum menegaskan adanya perkembangan hukum tidak dapat diarahkan kepada yang benar.2

Kemudian padaTahun 2002 mulai dikenal komsep Hukum Progresif di Indonesia. Ide penegakan hukum progresif lahir dari ketidakpuasan pada praktik ajaran ilmu hukum positif di Indonesia. Hukum Progresif digagas sebagai solusi dari kegagalan penerapan hukum positif dan rasa keprihatinan terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia terutama sejak terjadinya reformasi pada pertengahan tahun 1998.

Progresivisme berlawanan dengan pandangan kemanusiaan yang menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama. Namun, dasar Hukum Progresif berpedoman pada hakikat

dasar “hukum adalah untuk manusia”. Hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri

sebagaimana yang digagas oleh ilmu hukum positif, melainkan untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Progresivisme mengajarkan, bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi untuk memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Progresivisme tidak ingin menjadikan hukum sebagai teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral kemanusiaan.3

Gagasan tersebut jelas berbeda dengan aliran hukum positif dimana kebenaran terletak dalam tubuh suatu peraturan dengan mengutamakan prinsif legalitas formal. Kehadiran Hukum progresif erat kaitannya antara hubungan manusia dengan masyarakat. Jika dikaitkan dengan developmental model hukum dari Nonet dan Selznick, Hukum Progresif memiliki tipe responsif, yaitu hukum selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar naskah tekstual hukum. Hukum progresif melihat hukum tidak dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan melihat dari tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. Oleh sebab itu, kehadiran hukum dikaitkan dengan tujuan sosialnya, maka hukum progresif juga dekat dengan Sociological Jurisprudence dari Roscoe Pound, yang menolak studi hukum sebagai studi tentang peraturan-peraturan.4

Reformasi serta kritik-kritik negatif terhadap sistem dan penegakan hukum di Indonesia memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk memikirkan alternatif untuk keluar dari situasi buruk tersebut. Tetapi, bagaimanapun kondisi keterpurukan tersebut tetap memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk memikirkan perubahannya.Pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan

2ibid

3Satjipto Rahardjo, (dalam I Gede A.B.Wiranata, Hukum Bangun Teori dan Telaah dalam Implementasinya).,

2009, hlm. 53

4http://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/teori/hukum-progresif/ hukum progresif sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan

(5)

sosial. Hukum yang masih abstrak tersebut perlu untuk diwujudkan atau dijabarkan, pada tatanan inilah yang disebut dengan penegakan hukum(Law Enforcement)..

Penegakan hukum adalah rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak menjadi tujuan daripada hukum di atas ke dalam masyarakat. Ketika hukum itu dibuat dan wajib dilaksanakan maka penegakan hukum kemudian menjadi bagian yang tak terpisahkan. Hukum berada diantara dunia nilai-nilai atau ide-ide yang bersifat abstrak dengan dunia kenyataan. Akibatnya sering terjadi ketegangan pada saat hukum diterapkan. Saat hukum yang sarat dengan nilai-nilai atau ide-ide hendak diwujudkan, maka hukum sangat terkait erat dengan berbagai macam faktor yang mempengaruhi dari lingkungan seperti politik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di mana hukum itu diberlakukan.

Pada hukum modern, walaupun aparat penegak hukum terlihat begitu sibuk bekerja siang dan malam, namun situasi dunia hukum Indonesia tidak mengalami suatu perubahan dan jauh dari rasa keadilan masyarakat. Hukum tetap gagal memberikan keadilan di tengah-tengah penderitaan dan kemiskinan yang hampir melanda sebagian besar masyarakat Indonesia, supremasi hukum yang didengung-dengungkan hanyalah menjadi tanda atau symbol tanpa makna. Teks-teks hukum hanyalah permainan Bahasa yang cenderung menipu dan mengecewakan, salah satu contohnya Gayus Tambunan yang bisa nonton tenis di Bali dan masih banyak lagi koruptor-koruptor lainnya yang tidur dan makan dengan nyenyak hasil merampok uang negara.Atau sebaliknya terhadap tindak pidana ringan yang pelakunya anak yang dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak terhadap pelaku anak yang perbuatan diancam kurang dari 7 tahun wajib diversi, dalam kenyataannya masih di proses hal demikian seolah-olah ada pembenaran terhadap anggapan yang menyatakan, bahwa “hukum tumpul ke atas dan tajam

kebawah”..

Lebih memalukan lagi korupsisaat ini merajalela pada tingkatan lembaga penegak hukum yang melibatkan aktor penegak hukum itu sendiri, mulai dari polisi, jaksa, hakim, panitera, dan advokat serta masyarakat pencari keadilan termasuk lembaga eksekutip dan legislatif yang baru-baru ini ketua DPD RI tertangkap tangan menerima suap sejumlah Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Serta berbagai perilaku kolutif sudah menjadi ciri khas ketika orang berurusan dengan aparat penegak hukum, mulai tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Kejahatan ini merupakan bagian kecil dari potret gelap dunia penegakan hukum Indonesia, yang mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan tumbangnya keadilan. Dan kondiisi tersebut jelas-jelas menghambat untuk terwujudnya supremasi hukum.

1.2 Permasalahan

1. Bagaimanakah konsep hukum progresif ?

2. Bagaimanakah Implementasi konsep hukum progresif dalam penegakan hukum

(6)

1.3 Tujuan Penulisan

Agartulisan ini dapat berguna bagi semua pihak, terutama bagi penulis untuk

menambah khazanah keilmuan di bidang hukum dalam menganalisis implementasi

konsep hukum progresif dalam penegakan hukum oleh kepolisian di Indonesia.

II. PEMBAHASAN

2.1 Konsep Hukum Progresif

Realitas penerapan hukum yang ada, tatanan penyelesaian hukum tidak dapat lagi menggunakan cara-cara yang biasa dan konvensional, tetapi membutuhkan cara yang luar biasa. Salah satu cara di tawarkan oleh Satjipto Rahardjo dalam menghadapi problematika dalam dunia penegakan hukum Indonesia adalah suatu tipe penegakan hukum progresif. Penegakan hukum progresif mengajak Indonesia untuk melihat hukum secara komprehensif dan tidak memakai kacamata kuda. Penegakan hukum progresif menekankan pada dua hal, yaitu hukum ada untuk manusia dan bukan manusia ada untuk hukum. Hukum tidak bisa bekerja sendiri, hukum membutuhkan institusi atau manusia untuk menggerakannya.

Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam-putih dari peraturan melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam dari undang-undang atau hukum.5 Pembahasan penegakan hukum progresif di atas menjadi titik awal kenapa penegakan hukum progresif dijadikan sebagai tipe penegakan hukum alternatif. pemaknaan yang dapat ambil bahwa “kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai kebenaran undang-undang, tetapi harus dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang“.

Istilah hukum progresif, diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, dilandasi asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia. Hal ini akibat dari rendahnya kontribusi ilmu hukum dalam mencerahkan bangsa Indonesia, dalam mengatasi krisis, termasuk krisis dalam bidang hukum itu sendiri. Adapun pengertian hukum progresif, adalah mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan.6 Pengertian sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo tersebut berarti hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.

Secara lebih sederhana hukum progresif adalah hukum yang melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga mampu membiarkan

(7)

hukum itu mengalir saja untuk menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan. Jadi tidak ada rekayasa atau keberpihakan dalam menegakkan hukum. Sedangkan secara spesifik hukum progresif bisa disebut sebagai hukum yang pro-rakyat dan hukum yang berkeadilan. Oleh karena itu, hukum progresif berbeda dengan hukum positif. Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.

Berdasar asumsi-asumsi di atas maka kriteria hukum progresif adalah:7 a. Mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. b. Memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat kuat.

c. Hukum progresif adalah hukum yang membebaskan dimensi yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik melainkan juga teori.

d. Bersifat kritis dan fungsional.

Konsep hukum progresif yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo bilamana diartikan secara sederhana berarti “bagaimana” membiarkan hukum tersebut mengalir untuk menuntaskan tugasnya mengabdi pada manusia dan kemanusiaan. Adapun pokok-pokok pemikiran model hukum progresif ini dapat diuraikan sebagai berikut :8

1. Hukum menolak tradisi analytical jurisprudence atau rechtsdogmatick dan berbagi paham dengan aliran seperti legal realism, freirechtslehre, sociological jurisprudence, interressenjurisprudenz di jerman, teori hukum alam dan critical legal studies.

2. Hukum menolak pendapat, bahwa ketertiban (order), hanyaa bekerja melalui institusip-institusi kenegaraan.

3. Hukum progresif ditujukan untuk melindungi rakyat menuju kepada ideal hukum 4. Hukum menolak status-quo serta tidak ingin menjadikan hukum sebagai

teknologi yang tidak bernurani, melainkan suatu institusi yang bermoral.

5. Hukum adalah suatu institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan membuat manusia bahagia.

6. Hukum progresif adalah “hukum yang pro rakyat” dan “ hukum yang pro diperbaiki, bukan manusia yang dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam sistem hukum.

7Ibid

(8)

8. Hukum bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu.

9. Hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making).

Sebagaimana disebutkan diatas, untuk menguji kualitas dari hukum, tolak ukur yang dapat dijadikan pedoman antara lain keadilan, kesejahteraan dan keberpihakan kepada rakyat semakin jauh dari kenyataan, mengingat banyaknya persoalan hukum yang tidak terselesaikan dengan baik. Banyaknya kasus korupsi yang terkuak namun tidak mendapatkan penyelesaian yang memuaskan menjadi pemicu utama lahirnya pemikiran hukum yang progresif. Kepercayaan masyarakat terhadap hukum semakin pudar sehingga hukum tidak lagi dianggap sebagai panglima dalam menyelesaikan persoalan. Sungguh sangat ironis bagi Negara yang mendasarkan dirinya pada hukum tetapi tidak dapat menegakkan hukum karena kepercayaan dari masyarakat tidak ada.9

Seiring dengan perkembangan zaman dan kondisi masyarakat yang terus berubah, hukum saat ini tidak mampumemberikan solusi pada zaman modern ini. Implikasinya ketika manusia dalam setiap proses perkembangannya selalu berubah sesuai dengan kebutuhan kehidupannya maka hukum pun harus mengikuti perubahan tersebut. Hal inilah yang menjadi perbedaan mendasar antara hukum progresif dengan hukum positif yang selama ini diterapkan di Indonesia. Jika selama ini hukum selalu tertinggal jauh terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat, maka hukum progresif lebih membuka diri dan merespon perubahan, serta tidak terikat pada hukum tertulis. Dalam hal ini hukum harus diletakkan dalam keseluruhan persoalan kemanusiaan.10Dengan demikian peran hukum lebih menjamin pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap keadilan dan kesejahteraan. Artinya keberadaan hukum sudah seharusnya mencerminkan standar baku dari apa yang baik dan tidak baik, adil dan yang tidak adil. Perihal tersebut dalam konteks ke Indonesiaan tidak boleh terlepas dari jati diri bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Nilai-nilai Pancasila merupakan nilai bangsa yang diterima semua lapisan masyarakat, semua generasi bahkan semua budaya sehingga sangat layak dijadikan standar utama dalam kehidupan hukum berbangsa dan bernegara.

2.2 Implementasi Konsep Hukum Progresif dalam Penegakan Hukum oleh Kepolisian di Indonesia

Hukum progresif adalah sebuah pemikiran hukum yang berusaha memperjuangkan keadilan dan kemanfaatan, ketimbang kepastian hukum. Beberapa istansi yang mempraktikkan hukum progresif, seperti Mahkamah Konstitusi dibawah kepemimpinan Mahfud MD, Kementrian Hukum dan HAM oleh Denny Indrayana, bahkan sampaai

9Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir : Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia & Hukum, PT Kompas, Jakarta,

2008, hlm.

10

(9)

gerakan masyarakat sipil dengan gelombang anti-korupsi seperti Indonesian Corruption Watch (ICW), hingga bantuan hukum struktural, seperti yayasan Lembaga Bantuan Hukum ibagaimana keberpihakan sebuah regulasi pada rakyat miskin, meningkatnya partisipasi politik warga dalam menyusun sebuah naskah RUU, hingga menerapkan gaya demokrasi deliberatif (musyawarah) dalam pembahasan rancangan produk perundang-undangan, singkatnya: naskah RUU hendaknya responsif, bukan represif.11

Pada level penegakan hukum, gagasan gerakan progresif terlihat pada bagaimana seorang agen penegak hukum progresif sensitif dalam menggunakaan diskresi dan/atau terobosan hukum (role breaking), baik hakim,jaksa, polisi dan pemerintah(an) (daerah), patut menggunakan kewenangannya untuk melindungi kepentingan masyarakat miskin dan marjinal.12

Demikian juga pada proses penegakan hukum pidana yang dimulai dengan upaya penyidikanyang dilakukan oleh Polri tidak hanya berdasarkan pada selesainya berkas perkara saja, namun didasarkan pada nilai-nilai keilmiahan. Yang selanjutnya diterapkan dalam proses penyidikan melalui serangkaian proses yang dinamakan dengan

scientific investigation. Proses yang dimaksud bukan hanya terbatas kepada pemanfaatan berbagai macam teknologi pendukung yang ada namun juga kepada penerapan berbagai macam perkembangan teori-teori hukum dalam mencari dan menemukan alat bukti dan fakta hukum.13 Menurut Hartono, bahwa dengan dilatarbelakangi oleh pemikiran yang maju dan tidak terbatas kepada apa yang tertulis dalam aturan perundang-undangan saja maka penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik dapat dikatakan sebagai model

“penyidikan yang progresif”. Perpaduan model“scientific investigation”dan “penyidikan

progresif” tersebut diharapkan dapat mewujudkan penegakan hukum yang proporsional, professional dan intelektual.14

Polri sebagai penegak hukum mengandung pengertian sebagai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan. Setiap aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali bagi terpidana. Proses bekerjanya aparatur penegak hukum (anggota Polri) itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu:15

a. Institusi penegak hukum (Polri) beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;

11Suteki, Masa Depan Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, 2015, hlm vii 12ibid

13Hartono, Penyidikan dan Penegakan hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010,

hal. 10.

14Ibid 15

(10)

b. Budaya kerja yang terkait dengan anggota Polri, termasuk mengenai kesejahteraan anggota Polri, dan

c. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaan Polri maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja Polri, baik hukum materiilnya maupun hukum acaranya.

Upaya penegakan hukum oleh Polri secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek tersebut di atas, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata. Namun, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum oleh Polri di negara Indonesia selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan Indonesia sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang Indonesia hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada tiga fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yaitu:16

a. Pembuatan hukum;

b. Sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum; dan c. Penegakan hukum.

Ketiganya membutuhkan dukungan administrasi hukum yang efektif dan efisien agar dapat dijalankan oleh pemerintahan yang bertanggung jawab. Penyidikan oleh Penyidik

Polri telah diatur dalam KUHAP,

UU Polri dan berbagai Peraturan Kepolisian sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan penyidikannya. Penyidik Polri juga menggunakan Hukum Progresif, seperti penerapan alternatif penyelesaian perkara pidana atau konsep keadilan restoratif.

Mungkin Indonesia masih ingat dengan terungkapnya oleh media massa proses

penahanan 10 orang anak “penyemir sepatu” usia 11 tahun – 14 tahun oleh Polres Metro

Bandara Tangerang pada 5 tahun yang lalu, karena kasus “bermain” yang disebut polisi

sebagai perjudian (Pasal 303). Penahanan di rutan anak tersebut mencapai 29 hari dan kemudian dilakukan penangguhan, dan selanjutnya kasusnya bergulir di pengadilan kemudian 10 anak-anak penyemir sepatu tersebut divonis bebas bersyarat oleh pengadilan. Kasus tersebut sekilas membedah dianutnya model hukum positifyang telah memakan “korban” yang sesungguhnya tidak perlu dan bisa dihindari.

Praksis polisi tersebut diatas adalah model penegakan hukum secara hukum positif. Cara berfikir yang digunakan adalah mengeja undang-undang dan patuh prosedur dengan mengabaikan nilai keadilan substantif, dan prakteknya tidak menggunakan hati nurani. Praksis hukum menjadi praksis yang lebih sibuk mengoperasikan skema-skema

(11)

hukum (rule and logic) dari pada bertanya apakah fungsi hukum dalam masyarakat sudah berjalan dengan baik. Apabila itu terjadi, sesungguhnya Indonesia sudah terjebak ke dalam paham “manusia untuk hukum”, dan bila aparat penegak hukum berpegang pada keyakinan bahwa manusia untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan atau mungkin juga dipaksakan untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Sehingga muncul anggapan bahwa “Keadilan di atas peraturan”.

Sebaliknya penegakan hukum progresif harus dilakukan, yang mana hukum mengabdi kepada manusia atau kemanusiaan, dan dalam prakteknya bersifat humanis. Paham ini adalah minoritas praksis hukum di Kepolisian. Para positivistik di Kepolisian sering lupa bahwa mereka mempunyai hak diskresi, yang itu bisa menjadi pintu masuk bagi praksis penegakan hukum progresif. Seandainya penyidik mau mencermati lebih dalam, bagaimana melihat hukum tidak semata dengan optik hukum, bukan semata mengeja susunan kata dan mentaati prosedur. Kajian ini menjadi landasan bagi kearifan berfikir, bahwa hukum bukanlah bertujuan menciptakan kepastian hukum semata atau keadilan prosedur atau “legal justice”, tetapi “substantial justice”. Satu hal yang perlu dipegang teguh bahwa hukum tidak boleh melepaskan diri dari fungsi utamanya yaitu melayani manusia.

Penangkapan dan penahanan, terhadap 10 anak penyemir sepatu usia 11 tahun – 14 tahun di Tangerang tidak perlu terjadi seandainya Polisi memahami secara sungguh-sungguh filosofi yang mendasari dari UU Perlindungan Anak, yaitu perlakuan terbaik bagi anak. Secara substansi, anak-anak juga tidaklah sedang berjudi tetapi sedang bermain sebuah permainan tanpa harus kehilangan kesempatan menyemir sepatu bila pelanggan lewat atau datang. Kalaupun hal permaianan anak-anak tersebut dianggap sebagai pidana, ada cara yang lebih humanis sebagai prevensi special, misalnya wajib lapor, dari pada menahannya yang dapat menimbulkan dampak traumatis dan menghancurkan masa depan anak-anak tersebut. Penahanan penjual sayuran keliling juga tidak perlu dilakukan jika polisi menggunakan moral reading tidak saja terhadap undang-undang tetapi terhadap konteksnya, sehingga cukup dengan wajib lapor saja. Penahan terhadap pembeli sepeda motor yang tertipu (sudah jatuh tertimpa tangga), juga tidak perlu dilakukan, karena semua alat bukti sudah disita dan ditangan Polisi.

Jika kasus tersebut “diselesaikan” oleh Polisi dengan diskresi yang dimiliki hasilnya akan lain. Diskresi Kepolisian pada dasarnya merupakan kewenangan Kepolisian yang bersumber pada asas Kewajiban umum Kepolisian yaitu suatu asas yang memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaiannya sendiri, dalam rangka kewajiban umumnya menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.17 Diskresi Kepolisian di Indonesia secara yuridis diatur pada pasal 18 UU No 2 tahun 2002 yaitu “Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak

menurut penilaiannya sendiri”, hal tersebut mengandung maksud bahwa seorang anggota

17

(12)

Polri yang melaksanakan tugasnya di tengah tengah masyarakat seorang diri, harus mampu mengambil keputusaan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum atau bila timbul bahaya bagi ketertiban dan keamanan umum.

Diskresi Polisi dapat pula diartikan sebagai wewenang Pejabat Polisi untuk memilih bertindak atau tidak bertindak secara legal atau ilegal dalam menjalankan tugasnya. Contoh diskresi lainnya adalah membolehkan seorang Polisi untuk memilih diantara berbagai peran (memelihara ketertiban, menegakkan hukum atau melindungi masyarakat) taktik (menegakkan Undang-Undang Lalu Lintas dengan berpatroli atau berjaga pada suatu tempat) ataupun tujuan (menilang pelanggar atau menasehatinya) dalam pelaksanaan tugasnya. Penggunaan wewenang diskresi oleh Polisi baru akhir-akhir ini diakui sebagai suatu yang wajar dari kewenangan Polisi. Sebelumnya pimpinan Polisi dan masyarakat beranggapan bahwa Polisi harus menindak setiap pelanggar ketentuan hukum dan membiarkan atau tidak melaksanakan ketentuan tersebut merupakan pelanggaran hukum oleh Polisi. Sebagian kecil anggota DPR, Jaksa dan Hakim masih memegang anggapan yang demikian. Para pimpinan Polisi masih ragu-ragu untuk mengakui bahwa Pejabat Polisi selalu menggunakan diskresi dalam menegakkan hukum dan bahwa mereka secara diam-diam menetapkan kebijaksanaan untuk tidak melaksanakan penindakan secara penuh terhadap kejahatan-kejahatan kecil ataupun pelanggaran terhadap peraturan daerah.

Mereka khawatir masyarakat akan protes bahwa hukum tidak ditegakkan secara adil atau timbulnya tuntutan ganti rugi dalam hal terjadinya kecelakaan sebagai akibat dibiarkannya pelanggaran lalu lintas. Oleh karena itu dalam Ilmu Hukum Kepolisian dikenal beberapa persyaratan yang harus dipenuhi apabila seorang anngota kepolisian akan melakukan diskresi yaitu:18

a. Tindakan harus benar benar diperlukan (noodzakelijk notwendig) atau asas Keperluan; b. Tindakan yang diambil harus benar benar untuk kepentingan tugas kepolisian (zakelijk,

sachlich).

c. Tindakan yang paling tepat untuk mencapai saaran yaitu hilangnya suatu gangguan atau tidak terjadinya sesuatu yang dikhawaturkan.

d. Dalam hal ini yang dipakai sebagai ukuran yaitu tercapainya tujuan (zweckmassig, doelmatig).

Selanjutnya, Penegakan hukum bukan menuruti pemuasan prosedur dengan mencari siapa yang menang dan siapa yang kalah, sehingga polisi harus selalu memilih tindakan maksimal tanpa melihat konteks, dan melibatkan empati serta dedikasinya sebagai manusia yang bernurani. Penegakan hukum progresif tetaplah dalam bingkai melindungi dan mengangkat masyarakat untuk menikmati keberlakuannya hukum, yaitu kepastian, keadilan dan manfaat dari terciptanya keamanan/ketertiban. Polisi tidak boleh terbelenggu pada model penegakan hukum positifsehingga polisi akan kehilangan kesempatan untuk memberikan sumbangan bagi terciptanya kehidupan dan praksis hukum yang humanis. Untuk saat ini Polda Lampung sudah memulai berbagai program dengan mengedepankan

(13)

pendekatan melalui kearifan lokal, misalnya rembuk pekon yang memiliki kesamaan dengan model restorative justice. Sebelum adanya program rembuk pekon, sebelum keluarnya telegram Kapolri dan SEMA No.2 Tahun 2012 tentang penyelesaian perkara di luar peradilan t\erhadap tindak pidana ringan yang kerugiannya kurang dari Rp.2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) pernah dilakukan juga oleh Polsek Tanjung Bintang yang dilanjutkan pada Polres Lampung selatan penyelesaian perkara di luar peradilan terhadap pelaku (anak usia 11 tahun) pencurian getah karet milik PTPN VII19.

III.PENUTUP

3.1 Simpulan

a. Konsep hukum progresif merupakan, serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia, melakukan pembebasan, baik dalam cara berpikir maupun bertindak dalam hukum, sehingga hukum itu mampu menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia. Karena hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.

b. Penegakan hukum oleh Polri sebagian masih berorientasi pada legalistic positivisme seperti mengeja undang-undang tanpa menemukan adanya hukum di dalam undang-undang secara formal.Namun terhadap tindak pidana ringan, pelaku tindak pidana yang usianya di bawah umur (anak yang berusia di bawah 18 tahun) telah di tempuh model penyelesian di luar peradilan seperti model restorative justice.

3.2 Saran

a. Para aparat penegak hukum dapat menerapkan konsep hukum progresif dengan tetap mendasarkan diri pada nilai-nilai Pancasila sebagai nilai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

b. Penegakan hukum oleh Polri diharapkan dapat menggunakan penafsiran hukumSociological Jurisprudence atau Hukum Progresif, seperti penerapan alternatif penyelesaian perkara pidana atau konsep keadilan restoratif dengan menggunakan diskresi kepolisian yang bertanggung jawab.

(14)

Daftar Pustaka

Atmasasmita. Romli, Teori Hukum Integratif, Genta Publishing, Yogyakarta, 2012

Hartono, Penyidikan dan Penegakan hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010

Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif, PT. Kompas, Jakarta, 2006

---, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergolakan Manusia & Hukum,PT. Kompas, Jakarta. 2008

---, (dalam I Gede A.B. Wiranata, Hukum Bangun Teori dan Telaah dalam Implementasinya). 2009

Suteki, Masa Depan Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta, 2015

Sumber Lainnya:

A.M. Mujahidin, “Hukum Progresif : Jalan Keluar dari Keterpurukan Hukum di

Indonesia”, Varia Peradilan, Tahun ke XXII No. 257, April, 2007

Erna Dewi, Upaya Polri , Jurnal Hukum dan Masyarakat, Tahun

http://bunga-legal.blogspot.com/2010/02/teori-tujuan-hukum.html

Krisna, http://krisnaptik.wordpress.com/polri-4/teori/diskresi kepolisian

Referensi

Dokumen terkait

Dari Tabel6 dapat diketahui hasil uji chi-squre diperoleh p > 0,005 berarti tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik antara kebiasaan menggunting kuku dengan

Dari hasil Penelitian yang telah diakukan dapat diketahui tingkat kesesuaian lahan di daerah penelitian termasuk dalam kategori S3 dan N1 dan juga mengetahui daerah

Gambar 42 Pewarnaan titik pada

Manajemen personalia adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian atas pengadaan tenaga kerja, pengembangan, kompensasi, integrasi, pemeliharaan,

Ia menganjurkan sistem Islam yang berciri: kekuasaan oleh mayoritas, pemilu bebas, pers bebas, perlindungan terhadap minoritas, keseteraan semua partai politik sekular dan

Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode diskriptif kualitatif artinya penulis akan menjelaskan dan memaparkan hakekat dasar dari

Pekerjaan galian tanah pondasi pada proyek ini dilakukan dengan menggunakan alat berat excavator da n dibantu dengan dump truck yang berfungsi untuk membuang

78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dalam mencapai kebutuhan hidup layak (KHL) di Kota Semarang, ternyata terdapat beberapa faktor pendukung dan penghambat, hal tersebut yang