MAKALAH PENGANTAR FILSAFAT HUKUM
PENGARUH PARADIGMA POSITIVISME TERHADAP PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
Dosen Pengampu : Lalu Saepudin, SH. , MH
NAMA : KHAERUN NISA NIM : D1A021176
MATA KULIAH : PENGANTAR FILSAFAT HUKUM (A2)
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS MATARAM
TAHUN AKDEMIK 2023/2024
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji serta syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan izinnya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan mudah guna memenuhi tugas untuk mata kuliah Pengantar Filsafat Hukum yang berjudul “Pengaruh Paradigma Positivisme Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia”
Shalawat serta salam saya tetap tercurahkan kepada nabi kita Muhammad SAW.Pada kesempatan ini saya juga mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah Pengantar Filsafat Hukum yang telah memberikan tugas U1 dan U2 kepada saya.Saya sangat berharap makalah ini dapat memberikan manfaat serta menambah wawasan pengatahuan bagi para pembaca.Bahkan saya berharap lebih jauh makalah ini dapat di praktekkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya penulis dan umumnya bagi pembaca.
Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan maklah ini,karena keyerbatasan pengetahuan dan pengalamans saya.Maka dari itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalh ini.
Mataram,11 Desember 2023 Penulis,
Khaerun Nisa
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI...ii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang...1
B. Rumusan Masalah...2
C. Tujuan Penulisan... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 3
BAB III PEMBAHASAN...5
A. Pengaruh Paradigma Positivisme Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia...5
B. BAB IV PENUTUP...9
A. Kesimpulan... 9
B. Saran... DAFTAR PUSTAKA...10
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penegakan hukum di Indonesia semakin hari dirasakan semakin menjauh dari rasa keadilan masyarakat, terdapat banyak contoh yang dapat diajukan untuk mempertegas pendapat tersebut, dari kasus Sengkon-Karta yang terjadi sekitar tigapuluh tahunan yang lalu hingga kasus kakao yang dilakukan Mbok Minah yang terjadi beberapa waktu yang lalu, serta masih banyak lagi kasus yang dapat dijadikan sebagai petunjuk semakin mahalnya rasa keadilan di negeri ini bagi masyarakat yang secara sosial ekonomi tidak diuntungkan.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa kejadian tersebut sebagai akibat penerapan kepastian hukum yang tidak nyambung dengan jamannya. Penerapan kepastian hukum yang tidak memperhatikan perkembangan jaman sehingga mengabaikan esensi keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Untuk itu penegak hukum harus melihat ruh dan waktu dibuatnya sebuah undang-undang, jangan sekedar melihat teksnya tetapi konteks undang-undang tersebut dengan masyarakat yang menjadi adresat hukum itu. Karena tujuan utama keberadaan hukum adalah untuk kesejahteraan semua masyarakat, bukan untuk menimbulkan kesengsaraan masyarakat atau membatasi atau mengekang masyarakat, dengan fungsi utama hukum 18 menurut Talqot Parsons adalah untuk mengintegrasikan masyarakat guna mengurangi unsur-unsur konflik yang potensial terjadi dalam masyarakat tanpa pandang bulu.
Hukum sebagai ilmu yang bersifat sui generis tentu memiliki karakter tersendiri yang tidak bisa disamakan dengan ilmu-ilmu yang lain. Sifat sui generis dari ilmu hukum menjadikan ilmu hukum tidak bisa diukur dan dinilai dengan ilmu-ilmu yang lainya.
Karakter tersebut sering dikenal dengan istilah hukum normatif. Sejatinya keberadaan ilmu hukum normatif tidak bisa dipisahkan dengan ilmu-ilmu hukum yang bersifat empiris.
Sebagaimana dikatakan oleh Van Apeldoorn, bahwa kajian ilmu hukum empiris diantaranya, adalah sejarah hukum, sosiologi hukum, perbandingan hukum, dan psikologi hukum.1
1 L. J Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 2011).
Selain itu hukum juga merupakan produk dialektika evolusioner masyarakat yang berkembang sesuai dengan tuntutan kondisi sosial. Sehingga dalam perkembanganya terdapat pemikiran-pemikiran dari para ahli hukum untuk menjawab kebutuhan masyarakat tersebut.
Pemikiran-pemikiran dari para ahli pada dasarnya diawali dengan asumsi-asumsi dasar yang diyakini sehingga menentukan cara pandang gejala yang ditelaah, hal ini sama layaknya sebuah paradigma. Secara umum paradigma dapat digunakan untuk merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, problematika apa yang harus diselesaikan, bagaimana metode penyelesaianya, serta aturan-aturan apa yang digunakan untuk menginterpretasikan informasi dalam rangka upaya menyelesaikan problematika tersebut.
Sampai saat ini dalam ilmu hukum paradigma yang masih mengental adalah paradigma positivisme. Yang mana paradigma ini memandang hukum sebagai entetitas yang mampu mencukupi dirinya sendiri secara koheren dan bebas nilai.2 Salah satu turunan dari paradigma ini dapat kita lihat dengan adanya teori hukum murni (reine rechtslehre) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Hans Kelsen mengatakan bahwa, hukum pada dasarnya berisi konsep- konsep yang ditarik dari isi norma hukum positif. Sehingga apa yang tidak bisa ditemukan dalam norma hukum positif tidak bisa memasuki konsep-konsep hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengaruh Paradigma Positivisme terhadap penegakan hukum di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Pengaruh Padigma Positivisme terhadap penegakan hukum di Indonesia.
BAB II
2 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, Dan Ilmu Hukum (Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan Dan Bermartabat) (Jakarta: Rajawali Pers, 2013).
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian aliran Positivisme
Menurut J. Austin positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja.
ilmu hukum tidak membahas Apakah hukum positif itu baik atau buruk dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam masyarakat. termasuk dalam aliran ini diajarkan Analytical Jurisprudence yang dikemukakan oleh John Austin adalah Law is a command Atau hukum merupakan perintah dari penguasa.
Sedangkan menurut Han Kelsen ada tiga kemungkinan interpretasi terhadap istilah positivisme yaitu:
a. legal positivisme sebagai metode adalah cara mempelajari hukum sebagai fakta yang kompleks, fenomena atau data sosial dan bukan sebagai sistem nilai, sebagai metode yang mensetting pusat inquiry problem-problem formal dari keabsahan hukum, bukan aksiologi suatu keadilan dari suatu konten norma atau aturan.
b. legal positivisme yang dipahami secara teori adalah teori yang berkembang pada era kodifikasi sampai pada abad ke-19. dalam konsep ini Dikembangkan dari ecole de l’
exegee sampai ke jerman Recht Wissenschaft hukum dikemas sempurna dengan positif order yang berasal dari kegiatan legislatif suatu negara. paham ini disebut kelompok imperativisit, covisit, legalist conception yang ditegakkan melalui hukum yang literal ( tertulis),Interpretasi norma Tertulis secara mekanis oleh penerjemah khususnya Hakim.
c. legal positivisme sebagai Ideologi merupakan ide bahwa hukum negara ditaati secara Absolut yang disimpulkan ke dalam The Law is the law
Pengertian Paradigma Positivisme
Menurut Prof Teguh Prasetyo dalam bukunya filsafat, teori, dan ilmu hukum berpendapat bahwa paradigma positivisme ini berpangkal tolak dari paradigma galilean yang premis dasarnya menyatakan bahwa alam semesta itu pada hakekatnya merupakan himpunan fragmen ( yang kelak diistilahi variabel) yang jumlahnya tak terhingga, yang secara interaktif berhubungan dalam suatu proses yang berlangsung secara berterusan tanpa mengenal henti. tak pelak lagi, semesta adalah jaringan kausalitas eksis di tengah alam
indrawi yang objektif, yang karena itu tunduk kepada infrativa alami yang berlaku universal, berada di luar rencana dan kehendak siapapun. kecuali objektif yang Langsung di ranah yang indrawi, dan yang karena itu pula selalu dapat disimak sebagai sesuatu yang faktual dan faktual.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengaruh Paradigma Positivisme Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia Paradigma merupakan terminologi penting dalam ilmu pengetahuan dalam sebuah paradigma tertentu terdapat sebuah kesamaan pandangan tentang apa yang menjadi pokok persoalan dari cabang ilmu itu serta kesamaan metode serta instrumen yang dipergunakan sebagai peralatan analisa, dipelajari, Persoalan-persoalan Apa yang mesti dijawab, Bagaimana seharusnya menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut. Robert Friedrichs Merumuskan paradigma sebagai suatu yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang mestinya dipelajari (a fundamental Image a discipline has of its subject matter).
Dengan demikian, Paradigma adalah ibarat sebuah jendela tempat orang mengamati dunia luar, tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya ( worldview).Namun secara umum paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. 3
Sepanjang sejarah filsafat selalu ada perbedaan paradigma, kaum idealis berbeda dengan kaum materialis, kaum metafisik berbeda dengan kaum positifis, ontologis versus empiris. perbedaan pandangan itu menurut George ritzer disebabkan karena tiga faktor, yakni:
1. Pada awalnya pandangan filsafat yang mendasari pemikiran ilmuwan tentang Apa yang semestinya menjadi substansi dari cabang ilmu yang dipelajarinya berbeda. dengan demikian, asumsi atau aksimonya menjadi berbeda antara kelompok ilmuwan yang satu dengan kelompok ilmuwan yang lain, diantara komunitas-komunitas ilmuwan itu terdapat perbedaan Pandangan yang mendasar tentang pokok persoalan Apa yang semestinya dipelajari oleh cabang ilmu yang bersangkutan.
2. sebagai konsekuensi logis dari pandangan filsafat yang berbeda itu maka teori-teori yang dibangun dan dikembangkan oleh masing-masing komunitas ilmuwan itu berbeda. pada
3 Agus Salim, Teori dan paradigma penelitian sosial (dari Denzin Guba dan penerapannya), (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 2001), hlm. 33.
masing-masing komunitas ilmuwan berusaha bukan hanya untuk mempertahankan kebenaran teorinya saja tetapi juga berusaha melancarkan kecaman terhadap kelemahan teori dari komunitas ilmuwan yang lain.
3. Metode yang digunakan untuk memahami substansi Ilmu juga berbeda diantara komunitas ilmuwan yang lain.
Perbedaan paradigma terdapat dalam semua cabang ilmu. perbedaan pandangan antara paradigma dapat membantu menguji ide-ide baru dan memungkinkan ide-ide dapat bertahan terhadap kritik selama jangka waktu tertentu dapat bermanfaat. kritik yang relevan dapat membantu seorang pengarang untuk lebih menjernihkan idenya atau memperbaiki kesalahan yang dilakukan di permulaan formulasinya.
Demikianlah paradigma muncul karena menyempurnakan paradigma yang sudah ada, mengkritiknya atau muncul karena benar-benar merupakan ide baru. dalam pengungkapan ilmu, ilmuwan telah mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya.
paradigma positivisme ini berpangkal tolak dari paradigma galilean yang premis dasarnya menyatakan bahwa alam semesta itu pada hakekatnya merupakan himpunan fragmen ( yang kelak diistilahi variabel) Yang jumlahnya tak terhingga yang secara interaktif berhubungan dalam suatu proses yang berlangsung secara berurutan tanpa mengenal henti.
Positivisme sendiri dalam dunia kepustakaan, dikenal melalui karya filsuf Perancis yang bernama Auguste Comte.Filsuf yang dilahirkan di montpellier Prancis pada 19 Januari 1798, mempunyai nama lengkap isidore Auguste Francois Xaavier Comte (1798-1857).Karyanya yang sangat terkenal tentang filsafat positivisme yang berjudul Cours De Filosofi Positive Secara garis besar filsafat positivisme Comte berisi pandangan filsafatnya tentang teori mengenal, perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan sejarah masyarakat barat dan dasar-dasar untuk memperbaiki keadaan masyarakat pada zamannya.4
4 Teguh Prasetyo, dkk. Filsafat,Teori,Dan Ilmu Hukum (Pemikiran menuju masyarakat yang berkeadilan dan bermanfaat ), (Depok : PT. Rajagrafindo Persada) hlm. 191-192.
Sebagaimana dikatakan bahwa paham positivisme hukum atau hukum positif sangatlah memisahkan secara tegas antara hukum dan moral, antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya. Bahkan sampai tidak dibolehkan dicampur dengan berbagai pertimbangan yang merujuk sumber normatif lainnya. Semua produk peraturan dari pemerintah yang berkuasa dianggap kebenaran yang mutlak, sehingga harus diterapkan sebagaimana mestinya. Bahkan ada pandangan dari mazhab positivisme yang lain, yakni paham legisme yang mengatakan bahwa hukum adalah undang-undang. 5
Aliran positivisme dalam ilmu hukum maupun prakteknya sebagai teori dan ajaran yang mereduksi manusia dalam kehidupannya yang telah dikuasai oleh pentingnya kepastian hukum, sehingga eksistensinya bertahan bahkan sampai abad XX. Aliran ini menyebut kaidah hidup sebagai legisme yang berpedoman bahwa dalam kehidupan berbangsa bernegara semata-mata hanya bersandar pada undang-undang. Undang-undang itu berasal dari kesepakatan-kesepakatan yang dipastikan dan diwujudkan dalam aturan tertulis.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang telah terpengaruh oleh mazhab positivisme. Meskipun tidak bisa dikatakan secara utuh. Hal ini bisa dilihat dari beberapa putusan pengadilan sebagai salah satu elemen penegakan hukum. Banyak dari putusan pengadilan yang hanya memperhatikan bunyi dari undang- undang. Hakim sebagai penafsir undang-undang pun hanya sebatas tafsir gramatikal.
Sehingga tidak salah jikalau hakim dikatakan sebagai corong undang-undang (la boscue de la loi). Jika hal ini terjadi seolah-olah mengesampingkan makna keadilan yang terkandung dalam asas kepastian hukum. Makna kepastian hukum harusnya mencakup adanya rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Jikalau hakim hanya terfokus pada undang-undang saja, tanpa memahami makna ayat, pasal dalam undang-undang maupun dari sisi lain, misalnya dari segi filosofis maupun sosiologisnya suatu ayat atau pasal tersebut dibuat.
Setiap hukum yang berlaku pada setiap negara tertentu pastilah menganut sebuah ideologi. Hal ini sama dengan negara Indonesia, yang memiliki ideologi pancasila. Maka 5 Muhammad Erwin, Filsafat hukum ( refleksi kritis terhadap hukum) ( Jakarta: Rajawali pers 2013)
dari itu pancasila sebagai pedoman dalam membuat, menetapkan, dan melaksanakan sebuah hukum. Akan tetap. sebagaimana persoalan antara das sollen dan das sein tetaplah menjadi pokok bahasan yang sangat menarik, sehingga sulit untuk menemukan benang merah diantara keduanya. Justru hukum yang terbentuk terkadang tidak sesuai dengan apa yang ada pada ideologi dan membuka kemungkinan-kemungkinan melakukan tindakan hukum.
Penafsiran-penafsiran yang ada pada saat ini juga menimbulkan dampak yang sangat signifikan atas tegaknya hukum yang berkeadilan. Karena hakikatnya penafsiran yang tidak dibarengi dengan kebijaksanaan membuat hukum semakin membuat hukum keluar jauh dari tujuan yang sesungguhnya. Oleh karena itulah fungsi filsafat hukum sebagai ilmu yang mempelajari hakikat dari pada penegakan hukum itu sendiri. Dengan harapan hukum mampu ditegakkan secara proporsional serta mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
BAB IV PENUTUP A.KESIMPULAN
negara Indonesia adalah negara hukum yang telah terpengaruh oleh mazhab positivisme. Meskipun tidak bisa dikatakan secara utuh. Hal ini bisa dilihat dari beberapa putusan pengadilan sebagai salah satu elemen penegakan hukum. Banyak dari putusan pengadilan yang hanya memperhatikan bunyi dari undang-undang. Hakim sebagai penafsir undang-undang pun hanya sebatas tafsir gramatikal. Sehingga tidak salah jikalau hakim dikatakan sebagai corong undang-undang (la boscue de la loi). Jika hal ini terjadi seolah-olah mengesampingkan makna keadilan yang terkandung dalam asas kepastian hukum. Makna kepastian hukum harusnya mencakup adanya rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Jikalau hakim hanya terfokus pada undang-undang saja, tanpa memahami makna ayat, pasal dalam undang-undang maupun dari sisi lain, misalnya dari segi filosofis maupun sosiologisnya suatu ayat atau pasal tersebut dibuat.
Sehingga untuk keluar dari situasi keterpurukan hukum saat ini, perlu adanya reformasi politik hukum di pemerintahan dan dunia pendidikan hukum. Perlu adanya pembebasan diri dari belenggu positivisme hukum. Karena hakikatnya positivisme yang legalistik berbasis pada peraturan yang tertulis (rule bound) tidak akan pernah mengilhami hakikat kebenaran. Karena dipandang baik dari sisi historis maupun filosofis kelahiran hukum positif atau positivisme hukum tidak mengakui akan hal tersebut.
B. SARAN
Di harapkan adanya reformasi politik hukum di pemerintahan dan dunia pendidikan hukum. Perlu adanya pembebasan diri dari belenggu positivisme hukum.
Karena hakikatnya positivisme yang legalistik berbasis pada peraturan yang tertulis (rule bound) tidak akan pernah mengilhami hakikat kebenaran. Karena dipandang baik dari sisi historis maupun filosofis kelahiran hukum positif atau positivisme hukum tidak mengakui akan hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Salim agus. Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogja, 2001.
Prasetyo Teguh, dkk. Filsafat,Teori,Dan Ilmu Hukum (Pemikiran menuju masyarakat yang berkeadilan dan bermanfaat ), (Depok : PT. Rajagrafindo Persada)
Erwin Muhammad, Filsafat hukum ( refleksi kritis terhadap hukum) ( Jakarta: Rajawali pers 2013)
Meuwissen. Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum (Diterjemahkan Oleh Arief Sidharta). Bandung: Refika Aditama, 2009.
L. J Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 2011