• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu - Pengaruh Disparitas Pembangunan Antar Kabupaten Kota Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Kepulauan Nias

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu - Pengaruh Disparitas Pembangunan Antar Kabupaten Kota Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Kepulauan Nias"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian terkait pertumbuhan ekonomi maupun disparitas pembangunan antar wilayah telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain;

Kuncoro (2004) penelitian terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas

(ketimpangan) antarkecamatan di Kabupaten Banyumas, mengatakan bahwa pada periode pengamatan 1993-2000, (1) Terjadi kecenderungan peningkatan disparitas

(ketimpangan) baik dianalisis dengan indeks Williamson maupun dengan indeks entropi Theil. Ketimpangan salah satunya disebabkan oleh konsentrasi aktivitas ekonomi secara spasial, (2) Hipotesis Kuznets mengenai ketimpangan yang

berbentuk U terbalik berlaku di Kabupaten Bayumas. Hal ini terbukti dari hasil analisis trend an korelasi Pearson. Hubungan antara pertumbuhan dengan indeks

ketimpangan Williamson dan entropi Theil .

Penelitian Sirojuzilam (2007) menunjukkan hasil bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain investasi,

pengeluaran pemerintah, pendidikan, transportasi, aglomerasi industri dan budaya (heterogenitas etnik). Perbedaan dari pertumbuhan ekonomi inilah yang kemudian

menciptakan ketimpangan antar daerah atau wilayah. Bahwa adanya perbedaan dan ketimpangan diantara Wilayah Barat dan Wilayah Timur Provinsi Sumatera Utara akibat adanya perbedaan potensi sumber daya wilayah, infrastruktur

(2)

sumber daya alam, maka tipe perencanaan dan kebijakan regional tidaklah harus

sama diantara berbagai wilayah.

Yakin (2009) meneliti tentang Analisis Ketimpangan Pembangunan

Kabupaten Nias dengan Kabupaten Nias Selatan, bahwa ketimpangan pembangunan yang terjadi di kabupaten Nias lebih tinggi dari kabupaten Nias Selatan, tetapi ketimpangan pembangunan di kedua kabupaten ini tergolong

rendah (IW < 0,3). Berdasarkan analisis tipologi klassen, kedua kabupaten ini termasuk daerah relatif tertinggal (Kuadran IV). Hipotesis Kuznets juga berlaku

untuk kedua kabupaten ini.

Herwin (2010) meneliti tentang analisis ketimpangan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Provinsi Gorontalo, mengatakan bahwa secara vertikal

pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan positif dengan ketimpangan pembangunan. Hal ini dapat dilihat dalam pola pergerakan laju pertumbuhan

ekonomi yang tinggi dan dibarengi dengan peningkatan nilai indeks Gini.

Baransano (2011) meneliti tentang Analisis Disparitas Pembangunan Wilayah di Papua Barat, mengatakan bahwa : (1) Hasil analisis dengan Indeks

Williamson dan Indeks Theil menunjukan disparitas pembangunan di Provinsi Papua Barat berangsur menurun (convergence). Setelah didekomposisi dengan

Indeks Theil diketahui bahwa sumber disparitas pembangunan wilayah di Provinsi Papua Barat selama 2005-2008 lebih banyak dipengaruhi oleh disparitas dalam wilayah pengembangan II yaitu Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten

Sorong Selatan dan Kabupaten Raja Ampat. (2) Secara simultan, ketimpangan proporsional pada PDRB perkapita, Jumlah Penduduk, Alokasi Dana

(3)

disparitas pembangunan wilayah sedangkan secara parsial variabel Alokasi Dana

Perimbangan tidak signifikan sebagai sumber disparitas pembangunan.

Yasokhi (2012) meneliti tentang ”Desentralisasi Fiskal Kaitannya Dengan

Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Wilayah Kota Gunungsitoli”. , bahwa Indeks disparitas wilayah (indeks williamson) tahun 2010 (0,14) mengalami penurunan atau semakin mendekati angka 0 (nol) dibandingkan dengan tahun

2009 (0,19), hal ini menggambarkan bahwa berdasarkan hasil penelitian deskriptif, pada tahun 2010 terjadi kecenderungan menurunnya disparitas

wilayah/distribusi pendapatan antar sub-wilayah/kecamatan.

2.2. Konsep Pembangunan Wilayah

Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah

perekonomian nasional yang kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat statis dalam kurun waktu yang cukup lama untuk menciptakan dan mempertahankan kenaikan pendapatan nasional bruto atau GNI (gross national income). Indeks

ekonomi lainnya yang juga sering digunakan untuk mengukur tingkat kemajuan pembangunan adalah tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita (income per

capita) atau GNI per kapita (Todaro & Smith, 2006)

Rodinelli dalam Sirojuzilam (2005) mengemukakan bahwa dalam pembangunan kebijakan pemerintah ditunjukkan untuk mengubah cara berpikir,

selalu memikirkan perlunya investasi pembangunan. Dengan adanya pembangunan akan terjadilah peningkatan nilai-nilai budaya bangsa, yaitu

(4)

yang terkait dengan pengembangan wilayah dan pengembangan kawasan.

Pengembagan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu unit wilayah, mencakup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun

pertahanan dan keamanan.

Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumberdaya yang ada dan memberikan

kontribusi pada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya

dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antardaerah, antarsektor serta pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah.

2.3. Disparitas Pembangunan Antarwilayah

Disparitas (ketimpangan) pembangunan ekonomi antarwilayah merupakan fenomena umum yang terjadi dalam proses pembangunan ekonomi suatu daerah.

Ketimpangan ini padaa awalnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu tidaklah mengherankan bilamana setiap daerah

biasanya terdapat wilayah relative maju (developed region) dan wilayah relative terbelakang (underdeveloped region)

Terjadinya disparitas pembangunan antarwilayah ini selanjutnya membawa

implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat pada wilayah bersangkutan. Biasanya implikasi yang ditimbulkan adalah dalam bentuk kecemburuan dan

(5)

ketentraman masyarakat. Karena itu, aspek disparitas pembangunan ekonomi

antarwilayah ini perlu ditanggulangi melalui formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah (Sjafrizal, 2012)

Emilia dan Imelia (2006) mengemukakan bahwa faktor-faktor penyebab disparitas (ketimpangan) pembangunan ekonomi adalah:

1. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar

daerah. Ekonomi dari daerah dengan konsentrasi tinggi cenderung tumbuh pesat dibandingkan daerah yang tingkat konsentrasi ekonomi rendah cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.

2. Alokasi Investasi

Berdasarkan teori Pertumbuhan Ekonomi dari Harrod Domar

menerangkan bahwa adanya korelasi positip antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi. Artinya rendahnya investasi disuatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat perkapita di wilayah

tersebut rendah karena tidak ada kegiatan kegiatan ekonomi yang produktif. 3. Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah Antarwilayah

Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan kapital antarwilayah merupakan penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi regional. Hubungan antara faktor produksi dan disparitas pembangunan atau

(6)

perkapita antarwilayah dengan asumsi bahwa mekanisme pasar output atau input

bebas.

4. Perbedaan Sumber Daya Alam (SDA) Antarwilayah

Menurut kaum klassik pembangunan ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan di daerah yang miskin SDA. Dalam arti SDA dilihat sebagai modal awal untuk pembangunan

yang selanjutnya harus dikembangkan selain itu diperlukan fakor-faktor lain yang sangat penting yaitu teknologi dan SDM.

5. Perbedaan Kondisi Demografi Antarwilayah

Disparitas (ketimpangan) Ekonomi Regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis antarwilayah. Terutama dalam hal jumlah dan

pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja. Dilihat dari sisi permintaan, jumlah penduduk

yang besar merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin yang

tinggi, etos kerja tinggi merupakan aset penting bagi produksi. 6. Kurang Lancarnya Perdagangan antarwilayah

Kurang lancarnya perdagangan antardaerah (intra-trade) merupakan unsur menciptakan ketimpangan ekonomi regional. Tidak lancarnya Intra-trade disebabkan : Keterbatasan transportasi dan komunikasi. Tidak lancarnya arus

barang dan jasa antar daerah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah melalui sisi permintaan dan sisi penawaran. Sisi

(7)

permintaan pasar terhadap kegiatan ekonomi lokal yang sifatnya komplementer

dengan barang jasa tersebut. Sisi penawaran, sulitnya mendapat barang modal, input antara, bahan baku atau material lain yang dapat menyebabkan kegiatan

ekonomi suatu wilayah akan lumpuh dan tidak beroperasi optimal.

Disparitas (ketimpangan) pembangunan ekonomi wilayah juga dikarenakan masing-masing daerah mempunyai tingkat aktivitas ekonomi yang berbeda-beda,

misalnya dilihat dari tingkat sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi dan jumlah investasi. Tidak semua daerah mempunyai hal tersebut yang dapat

mendorong percepatan kemajuan pembangunan ekonomi.

Kuncoro (2002) mengemukakan disparitas mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat. Sebab disparitas (kesenjangan) antar wilayah yaitu

adanya perbedaan faktor anugrah awal (endowment factor). Perbedaan inilah yang menyebabkan tingkat pembangunan di berbagai wilayah dan daerah

berbeda-beda, sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut (Sukirno,2003).

Syafrizal (2012) mengemukakan bahwa menurut Hipotesa Neo-klasik,

pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antarwilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan

tersebut mencapai titik puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antarwilayah tersebut akan menurun. Dengan kata lain, kurva ketimpangan pembangunan

antarwilayah adalah berbentuk huruf U terbalik (reverse U shape curva).

Di Negara sedang berkembang pada waktu proses pembangunan baru

(8)

oleh daerah-daerah yang kondisi pembangunan sudah lebih baik. Sedangkan

daerah-daerah yang masih sangat terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasaran dan sarana serta rendahnya kualitas

sumber daya manusia. Hambatan ini tidak saja disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga oleh faktor sosial-budaya sehingga akibatnya ketimpangan pembangunan antarwilayah cenderung meningkat karena pertumbuhan ekonomi

cenderung lebih cepat di daerah dengan kondisinya lebih baik, sedang daerah yang terbelakang tidak banyak mengalami kemajuan (Sjafrizal, 2012).

Disparitas pada kenyataannya tidak dapat di hilangkan dalam pembangunan suatu daerah. Adanya disparitas, akan memberikan dorongan kepada daerah yang terbelakang untuk dapat berusaha meningkatkan kualitas

hidupnya agar tidak jauh tertinggal dengan daerah sekitarnya. Selain itu daerah-daerah tersebut akan bersaing guna meningkatkan kualitas hidupnya, sehingga

ketimpangan dalam hal ini memberikan dampak positif. Akan tetapi ada pula dampak negatif yang ditimbulkan dengan semakin tingginya disparitas (ketimpangan) antar wilayah. Dampak negatif tersebut berupa inefisiensi

ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya di pandang tidak adil (Todaro dan Smith, 2006).

2.4 Ukuran Disparitas Pembangunan Antarwilayah

Syafrizal (2012) mengemukakan bahwa penetapan ukuran disparitas sangat penting, karena dalam melihat disparitas pembangunan antarwilayah di suatu negara atau suatu daerah bukanlah hal yang mudah karena dapat

(9)

berpendapat bahwa disparitas suatu daerah cukup tinggi dilihat dari banyaknya

kelompok miskin di daerah yang bersangkutan, namun di pihak lain, ada pendapat bahwa ketimpangan suatu daerah cukup tinggi dilihat dari segelintir kelompok

kaya yang berada ditengahtengah masyarakat yang mayoritas masih miskin. Ada beberapa ukuran disparitas (ketimpangan) pembangunan, yakni :

a. Indeks Williamson

Williamson Indeks lazim digunakan dalam pengukuran ketimpangan pembangunan antarwilayah. Williamson indeks menggunkan Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB) perkapita sebagai ketimpangan regional (regional inequality) sebagai data dasar. Alasannya jelas karena yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antarwilayah dan bukan tingkat distribusi

pendapatan antarkelompok masyarakat (Sjafrizal, 2012):

𝑉

𝑤

=

Indeks Williamson bernilai antara 0 - 1, dimana semakin mendekati nol artinya pembangunan wilayah tersebut semakin tidak timpang. Sedangkan bila

mendekati satu maka semakin timpang wilayah. b. Indeks Theil

(10)

Akita dan Alisyahbana (2002). Sedangkan data yang diperlukan untuk mengukur

indeks ini adalah sama dengan yang diperlukan untuk menghitung Williamson Indeks yaitu PDRB perkapita dan jumlah penduduk untuk setiap wilayah.

Namun demikian, penggunaan Theil Indeks sebagai ukuran ketimpangan ekonomi antarwilayah mempunyai kelebihan tertentu.

𝑇𝑑 = ∑𝑛𝑖=0 ∑𝑛𝑖=0 �𝑦𝑖𝑗� �𝑌 log��𝑦𝑖𝑗⁄ � �𝑛𝑌 � 𝑖𝑗⁄ �𝑁 � (2.2)

Di mana; yij = PDRB per kapita kabupaten I di provinsi j

Y = Jumlah PDRB perkapita seluruh provinsi j

n = Jumlah kapbupaten i di provinsi j N = Jumlah penduduk seluruh daerah.

c. Kesenjangan Berdasarkan Konsep PDRB Perkapita relative

Ketimpangan ini diukur menggunakan proksi yang dipakai dalam penelitian Jaime Bonet (2006) yang mendasarkan ukuran ketimpangan wilayah pada konsep

PDRB per kapita relatif dengan rumus :

IQit = PDRBPC𝑃𝐷𝑅𝐵𝑃𝐶𝑖𝑡

P.Nias,t−1 (2.3)

dimana :

IQi,t = Ketimpangan wilayah kabupaten/kota i, pada tahun t PDRBPC it = PDRB perkapita Kabupaten/Kota i, pada tahun t

PDRBPC P.Nias,t = PDRB perkapita Kab/kota di Kepulauan Nias, pada tahun t Rumus tersebut menyatakan bahwa kesetaraan sempurna terjadi pada saat

(11)

relatife (wilayah terhadap nasional) dan 1 (kondisi kesetaraan sempurna), yang

diabsolutkan.

2.5. Pertumbuhan Ekonomi

2.5.1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan dan hasil pertumbuhan ekonomi akan dapat pula dinikmati masyarakat sampai lapisan

paling bawah, baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah.

Pertumbuhan harus berjalan secara beriringan dan terencana, mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan dan pembagian hasil-hasil

pembangunan dengan lebih merata. Dengan demikian maka daerah yang miskin, tertinggal tidak produktif akan menjadi produktif, yang akhirnya akan

mempercepat pertumbuhan itu sendiri. Strategis ini dikenal dengan istilah “

Redistribution With Growth

Pertumbuhan ekonomi menjadi faktor yang paling penting dalam

keberhasilan perekonomian suatu negara secara jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi sangat dibutuhkan dan dianggap sebagai sumber peningkatan standar

hidup (standar of living) penduduk yang jumlahnya terus meningkat.

Todaro dan Smith (2006) mengemukakan bahwa ada tiga komponen pertumbuhan ekonomi yang mempunyai arti penting bagi setiap masyarakat

yakni:

1. Akumulasi modal (capital accumulation).

(12)

dan keterampilan kerja. Akumulasi modal akan diperoleh bila sebagian dari

pendapatan yang diterima saat ini ditabung dan diinvestasikan lagi dengan tujuan meningkatkan output dan pendapatan di masa depan. Semua barang modal

produktif memungkinkan untuk meningkatkan tingkat output yang ingin dicapai. Investasi produktif secara langsung tersebut ditopang oleh investasi dalam apa yang dikenal sebagai infrastruktur sosial dan ekonomi-jalan-jalan, listrik, air dan

sanitasi, komunikasi, dan sebagainya yang memfasilitasi dan mengintegrasikan aktivitas-aktivitas ekonomi. Investasi dalam sumber daya manusia dapat

memperbaiki kualitas pekerja oleh karenanya, mempunyai pengaruh yang sama atau bahkan lebih kuat terhadap produksi seiring dengan meningkatnya jumlah manusia.

2. Tenaga kerja.

Pertumbuhan jumlah penduduk dan yang pada akhirnya menyebabkan

pertumbuhan angkatan kerja. Secara tradisional dianggap sebagai faktor positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan penduduk yang besar akan meningkatkan ukuran potensial pasar domestik sedangkan jika angkatan

kerja tersedia dalam jumlah yang lebih banyak, berarti tersedia juga lebih banyak pekerja yang produktif.

3. Kemajuan teknologi.

Kemajuan teknologi yang secara luas, diterjemahkan sebagai cara baru untuk menyelesaikna pekerjaan. Kemajuan tehnologi bagi kebanyakan ekonom

merupakan faktor yang paling penting. Secara sederhana kemajuan tehnologi dihasilkan dari pengembangan cara-cara lama atau penemuan metode baru dalam

(13)

teknologi yaitu : kemajuan teknologi yang bersifat netral (neutral technological

progress). kemajuan teknologi hemat tenaga kerja (labor-saving techonological progress), kemajuan tehnologi yang hemat modal (capital-saving techonological

progress).

Kuncoro (2004) mengemukakan bahwa untuk menghitung pertumbuhan ekonomi menggunakan harga konstan (PDRB riil) karena akan memberikan

gambaran pertumbuhan output secara nyata karena tidak memasukkan inflasi. Perhitungan pertumbuhan ekonomi dalam konteks regional/wilayah, dapat

dihitung dengan rumus :

Pertumbuhan Ekonomi =(PDRBt−PDRBt−1)

PDRBt−1 × 100% (2.4)

dimana,

PDRBt = Produk Domestik Regional Bruto pada tahun t

PDRBt-1 = Produk Domestik Regional Bruto satu tahun sebelum tahun t

sedangkan untuk menghitung pendapatan perkapita (Permendagri No. 54 Tahun 2010), digunakan rumus :

PDRB Perkapita = PendudukPertengahanPDRB Tahun (2.5)

Pendapatan perkapita selain bisa memberikan gambaran tentang laju

pertumbuhan kesejahteraan masyarakat di berbagai negara, juga dapat menggambarkan perubahan corak perbedaan tingkat kesejahteraan masyarakat yang sudah terjadi diantara berbagai negara. Sukirno (2006) mendefenisikan

(14)

diartikan sebagai jumlah dari nilai barang dan jasa rata-rata yang tersedia bagi

setiap penduduk suatu negara pada suatu periode tertentu.

2.5.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Teori yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi suatu negara, secara garis besar dapat dikelompokkan berdasarkan pandangan ekonom klasik/neo

klasik dan modren. Menurut pandangan para ekonom klasik (Adam Smith, David Ricardo, Malthus dan John Stuart Mill) maupun ekonom neo-klasik (Robert

Solow dan Trevor Swan), pada dasarnya ada 4 (empat) faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu : (1) jumlah penduduk, (2) jumlah stok barang modal, (3) luas tanah dan kekayaan alam dan (4) tingkat tehnologi. (Sukirno,1985).

Selanjutnya, beberapa pandangan ekonom modren tentang pertumbuhan ekonomi, sebagai berikut :

a. Teori Pertumbuhan Kuznets

Kuznets dalam Jhingan (2010) mengemukakan bahwa defenisi pertumbuhan ekonomi sebagai “kenaikan jangka panjang dalam kemampuan

suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya, kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan

teknologi dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya. Konsep teori Kuznets mengemukakan suatu hipotesis yang dikenal dengan “Hipotesis U-terbalik” yang diperoleh melalui kajian empiris terhadap

pola pertumbuhan sejumlah negara di dunia, pada tahap awal pertumbuhan ekonomi terdapat trade-off antara pertumbuhan dan pemerataan. Kuznets

(15)

cenderung menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan dan ketidakmerataan

distribusi pendapatan. Namun bila negara-negara miskin tersebut sudah semakin maju, maka persoalan kemiskinan dan ketimpangan distribusi

pendapatan akan menurun (an inverse U shaped patern). b. Teori Pertumbuhan Rostow

Rostow dalam Rustiadi (2011) mencetuskan suatu model tahapan

pertumbuhan ekonomi (the stages of economic growth). Menurut Rostow proses pertumbuhan dapat dibedakan kedalam lima tahapan dari setiap negara atau

wilayah, yakni :

1. Masyarakat tradisional (the traditional society), yaitu kondisi pada tahap awal pertumbuhan dimana struktur perekonomian berkembang dalam fungsi

produksi terbatas yang didasarkan pada teknologi, ilmu pengetahuan dan sikap yang masih primitif.

2. Pra-syarat lepas landas (the pre-condition for take-off), adalah suatu masa transisi dimana masyarakat mempersiapkan dirinya atau dipersiapkan dari luar untuk mencapai pertumbuhan yang mempunyai kekuatan untuk terus

berkembang (self-sustained growth).

3. Lepas landas (the take-off), adalah masa dimana sudah terdapat perbedaan

yang sangat signifikan dalam masyarakat, seperti : revolusi politik, terciptanya inovasi-inovasi baru, peningkatan penanaman modal dan pertumbuhan pendapatan wilayah melebihi pertumbuhan penduduk.

4. Gerakan ke arah kedewasaan (the drive to maturity), adalah masa dimana masyarakat sudah menggunakan tehnologi modern pada sebagian

(16)

yang nyata (peranan relatif sektor insdutri jauh lebih tinggi dari sektor

pertanian)

5. Masa konsumsi tinggi (the age of high mass consumption), adalah masa

dimana masyarakat sudah tidak ditekankan pada produksi tetapi pada konsumsi dan kesejahteraan masyarakat serta saling berkompetisi mendapatkan sumberdaya dan dukungan politik.

c. Teori Pertumbuhan Harrod-Domar

Harrod-Domar menekankan tentang perlunya penanaman modal dalam

menciptakan pertumbuhan ekonomi dimana terdapat korelasi positif antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi, dapat dikatakan bahwa kurangnya investasi di suatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat

pendapatan masyarakat perkapita di wilayah tersebut rendah karena tidak ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri manufaktur.

2.5.3. Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Teori pertumbuhan wilayah dimulai dari model dinamika wilayah yang sederhana sampai dengan model yang komprehensif, mulai dari teori resource

endowment,teori export base, teori pertumbuhan wilayah neoklasik, model ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah dan sebuah teori baru mengenai

pertumbuhan wilayah. Teori resource endowment mengatakan bahwa pengembangan ekonomi bergantung sumberdaya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya itu (Perloff and

Wingo, 1961).

Teori pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan bagian penting dalam

(17)

dapat tumbuh cepat dan ada pula yang tumbuh lambat. Disamping itu juga dapat

menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan antardaerah dan mengapa hal itu terjadi (Sjafrizal, 2012).

Pengertian pertumbuhan ekonomi wilayah (daerah) sebagai pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan

pendapatan ini diukur dalam nilai riil (dinyatakan dalam harga konstan) Taringan (2004).

Salah satu indikator keberhasilan tujuan pembangunan ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi dan berkurangnya ketimpangan baik didalam distribusi pendapatan penduduk maupun antar wilayah. Pola pertumbuhan ekonomi regional

/wilayah berbeda dengan apa yang lazim ditemukan pada pertumbuhan ekonomi nasional. Faktor-faktor yang mendapat perhatian utama adalah keuntungan lokasi,

aglomerasi, migrasi dan arus lalu lintas modal antar wilayah. Adapun beberapa teori pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal (Sirojuzilam,2011), antara lain :

1. Export Base-Models, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditentukan oleh eksploitasi pemanfaatan alamiah dan pertumbuhan basis

ekspor daerah yang bersangkutan.

2. Neo-Classic, menyatakan bahwa unsur-unsur yang menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah modal, tenaga kerja, dan teknologi.

(18)

(market mechanism), tetapi perlu adanya campur tangan untuk daerah–daerah yang relatif masih terbelakang.

4. Core Periphery Models, menekankan analisa pada hubungan yang erat dan

saling mempengaruhi antara pembangunan kota (core) dan desa (periphery). 5. Growth Pole, menyatakan bahwa pembangunan atau pertumbuhan tidak

terjadi di segala tata-ruang, akan tetapi hanya terbatas pada beberapa tempat

tertentu dengan variabel–variabel yang berbeda intensitasnya. Salah satu cara untuk menggalakkan kegiatan pembangunan dari suatu daerah tertentu melalui

pemanfaatan “aglomeration economics“ sebagai faktor pendorong utama. Hoover & Fisher dalam Sirojuzilam dan Mahalli (2011) menjelaskan rangkaian tahapan perkembangan dan pertumbuhan suatu wilayah (regional stage

of development), sebagai berikut :

1. Tahap pertama, perekonomian wilayah/penduduk sangat tergantung kepada

hasil alam dan sektor pertanian,

2. Tahap kedua, wilayah mulai mengembangkan spesialisasi lokal dan perdagangan seiring dengan perbaikan transportasi, antara lain dicirikan

dengan mulai munculnya industri sederhana di pedesaan,

3. Tahapan ketiga, sudah mulai terjadi perdagangan antar wilayah, antara lain

dicirikan dengan perubahan sektor pertanian ke perkebunan,

4. Tahapan keempat, seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan berkurang nya pendapatan di sektor pertanian/perkebaunan maka wilayah

didorong untuk bergerak ke arah industrialisasi sekunder, antara lain: pertambangan, industri pengo lahan makanan, industri pengolahan kayu,

(19)

5. Tahapan kelima/terakhir, wilayah mengkhususkan diri pada industri

berorientasi ekspor (ekspor modal, tenaga ahli, jasa pelayanan kepada daerah belakangnya).

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi regional antara lain ditentukan oleh faktor-faktor antara lain : investasi/akumulasi modal, jumlah penduduk,

tenaga kerja, industri dan teknologi (Neo-Klasik, Bort Stein, Hoover & Fisher dan Todaro).

Beberapa Alternatif model pertumbuhan ekonomi wilayah yang dapat digunakan dalam melakukan perumusan kebijakan pembangunan daerah yang pada dasarnya memberikan beberapa faktor penting yang menentukan

pertumbuhan ekonomi suatu daerah berikut struktur dan kaitannya dengan ketimpangan pembangunan ekonomi wilayah (Sjafrizal, 2012) yaitu :

1. Model Basis Ekspor (Export-Base Model, pertumbuhan ekonomi suatu wilayah pada dasarnya ditentukan oleh besarnya Keuntungan Kompetitif (Competitive Advantage) yang dimiliki oleh wilayah tersebut.

2. Model Interregional Income, ekspor diasumsikan sebagai faktor yang berada dalam sistim perekonomian daerah bersangkutan (endogeneous variabel) yang fluktuasinya ditentukan oleh perkembangan kegaiatan perdagangan antarwilayah.

3. Shift-Share analysis, dapat mengidentifikasi peranan ekonomi nasional dan kekhususan daerah bersangkutan terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah bersangkutan.

(20)

5. Model Penyebab Berkumulatif (Cumulative Causation Model), tidak percaya pemerataan pembangunan antardaerah akan dapat dicapai dengan sendirinya berdasarkan mekanisme pasar, namun ketimpangan pembangunan regional hanya akan dapat melalui program pemerintah.

6. Model Kota dan Desa (Center-pheriphery Model), bahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sangat ditentukan oleh adanya sinergi yang kuat antara kegiatan ekonomi daerah pedesaan (rual) dengan kegiatan daerah perkotaan.

2.6. Kerangka Berpikir

2.6.1. Hubungan Antara Disparitas Pembangunan Antarwilayah dengan Pertumbuhan Ekonomi Wilayah

Kuznets (1995) dalam Kuncoro (2006) membuat hipotesis adanya kurva U terbalik (inverted U curve) bahwa mula-mula ketika pembangunan dimulai,

distribusi pendapatan akan makin tidak merata, namun setelah mencapai suatu tingkat pembangunan tertentu, distribusi pendapatan makin merata. Menurut Kuznets, pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang

dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau

dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan), dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Todaro, 2004).

Hipotesis Kuznets dapat dibuktikan dengan membuat grafik antara pertumbuhan produk domestic regional bruto dan indeks ketimpangan. Grafik

(21)

memperlihatkan hubungan antara indeks ketimpangan dan pertumbuhan PDRB.

Kurva tersebut menunjukkan bentuk U-terbalik (Kuncoro, 2004).

Gambar 2.1. Kurva disparitas pembangunan antarwilayah

(Kurva Kuznet “U” terbalik)

Sumber : Kuncoro, 2004

Profesor Kuznets dalam Jhingan (2010) mengemukakan enam

karakteristik atau ciri pertumbuhan ekonomi modern yang bisa ditemui di hampir semua negara yang sekarang maju sebagai berikut :

1. Laju pertumbuhan penduduk dan produk per kapita, ditandai dengan laju

kenaikan produk per kapita yang tinggi dibarengi dengan laju pertumbuhan penduduk yang cepat.

2. Peningkatan Produktivitas, semakin meningkatnya laju produk per kapita terutama sebagai akibat adanya perbaikan kualitas input yang meningkatkan efisiensi atau produktivitas per unit input.

3. Laju perubahan struktural yang tinggi, peralihan kegiatan pertanian ke

nonpertanian, dari industri ke jasa, perubahan dalam sekala unit-unit produktif

(22)

dan peralihan dari perusahaan perseorangan menjadi perusahaan berbadan

hukum serta perubahan status kerja buruh.

4. Urbanisasi, ditandai dengan semakin banyak penduduk di Negara maju yang

berpindah dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan .

5. Ekspansi Negara Maju, Adanya kecenderungan negara-negara yang mulai atau sudah maju perekonomiannya untuk berusaha merambah bagian-bagian dunia

lainnya sebagai daerah pemasaran dan sumber bahan baku yang baru. 6. Arus barang modal dan orang antarbangsa.

Mengikuti Hipotesa Neo-Klasik, variabel yang dapat digunakan sebagai independent variabel adalah pendapatan per kapita yang menunjukan tingkat pembangunan suatu Negara. Ada beberapa faktor lain yang juga menentukan

perubahan ketimpangan pembangunan antarwilayah berdasarkan analisis Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah. Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah,

variabel-variabel tersebut antara lain adalah : konsentrasi kegiatan ekonomi antardaerah, mobilisasi barang (perdagangan) dan faktor produksi antardaerah serta alokasi investasi (pemerintah dan swasta) antarwilayah dan lain-lainya. Bahkan kebijakan

pembangunan wilayah yang dilakukan oleh suatu daerah dapat pula memengaruhi ketimpangan pembangunan wilayah bersangkutan (Sjafrizal, 2012).

Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dapat mencerminkan keberhasilan pembangunan pada wilayah tersebut. Apabila suatu wilayah dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya maka wilayah tersebut dapat dikatakan sudah

mampu melaksanakan pembangunan ekonomi dengan baik. Akan tetapi yang masih menjadi masalah dalam pembangunan ekonomi ini adalah apakah

(23)

lapisan masyarakat. Harapan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan dapat

meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat. Ketika pendapatan per kapita meningkat dan merata maka kesejahteraan masyarakat akan tercipta dan disparitas

akan berkurang.

Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi

kepada penduduknya, kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya ( Kuznet dalam

Jhingan, 2010).

Tarigan (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi wilayah (daerah) sebagai pertambahan pendapatan masyarakat, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah

(value added) yang terjadi di wilayah (daerah) tersebut.

Untuk mempermudah pemahaman kita tentang konsep penelitian ini, maka

dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :

Gambar. 2.2. Kerangka Pemikiran Disparitas Pembangunan

Fisik (X1)

Disparitas Pembangunan Ekonomi (X2)

Disparitas Pembangunan Sosial (X3)

Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Kepulauan

(24)

2.7. Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara atas suatu rumusan masalah yang masih harus dibuktikan kebenarannya secara teoritis, empiris dan analitis.

Sugiyono (2008) mengemukakan bahwa penelitian yang bersifat eksploratif dan deskriptif sering tidak perlu merumuskan hipotesis sedangkan penelitian yang merumuskan hipotesis adalah penelitian yang menggunakan pendekatan

kuantitatif. Lebih jauh Arikunto (2002) menjelaskan bahwa problematika yang sifatnya deskriptif tidak diikuti dengan hipotesis tetapi problematika yang sifatnya

asosiatif perlu dihipotesiskan.

Rumusan hipotesis pada penelitian ini adalah :

1. Terjadi Disparitas pembangunan antarkabupaten kota di Kepulauan Nias.

Gambar

Gambar 2.1. Kurva disparitas pembangunan antarwilayah
Gambar. 2.2. Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Perlu dilakukan pengujian usulan model pemilihan mahasiswa lulusan terbaik pada contoh kasus yang berbeda sehingga dapat dilakukan perbaikan untuk menyempurnakan

yang direkomendasikan Jika produk ini mengandung komponen dengan batas pemaparan, atmosfir tempat kerja pribadi atau pemantauan biologis mungkin akan diperlukan untuk

Hal ini dapat dijelaskan bahwa keputusan perpindahan merek yang dilakukan konsumen tergantung pada pencarian variasi produk seperti mencoba merek baru, adanya rasa bosan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kualitas infrastruktur jalan terhadap sistem pemasaran hasil-hasil pertanian di kecamatan dolok silau

Menganalisis dan membuat kategori dari unsur-unsur yang terdapat pada berbagai ekspresiyangdapat diubah menjadi persamaan kuadrat, strategi untuk

Sekretaris Kementrian Negara Koperasi dan UMKM (2006), menjelaskan bahwa upaya pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari tahun ke tahun selalu dimonitor dan

Kendala yang dihadapi adalah pengelolaan maupun pengarsipan data penjualan dan pemesanan barang yang masih menggunakan cara manual dan menggunakan aplikasi