• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Risiko kesehatan di Lahar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Manajemen Risiko kesehatan di Lahar"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MENGELOLA RISIKO BENCANA [LAHAR]:

BAGAIMANA SEBAIKNYA?

1

Eko Teguh Paripurno2

MANAJEMEN & MITIGASI BENCANA

Salah satu model penanggulangan bencana adalah model siklikal. Model penanggulangan bencana dikenal sebagai siklus penanggulangan bencana, yang terdiri dari komponen pencegahan, mitigasi / penjinakan, kesiapsiagaan, sistem peringatan dini, tanggap darurat dan pemulihan (baik rehabilitasi maupun rekontruksi) yang perlu dilakukan secara utuh.

Upaya pencegahan terhadap munculnya dampak adalah perlakuan utama. Letusan gunungapi tidak dapat dicegah. Pencegahan dapat dilakukan pada bahaya yang manusia terlibat langsung maupun tidak langsung. Pada banjir misalnya. pencegahan dapat dilakukan komunitas dengan membuat sumur resapan, dan mencegah penebangan hutan. Agar tidak terjadi jebolnya tanggul, maka perlu disusun prosedur untuk aman dan kontrol terhadap kepatuhan perlakuan.

Walaupun pencegahan sudah dilakukan, sementara peluang adanya kejadian masih ada, maka perlu dilakukan upaya-upaya mitigasi / penjinakan, yaitu upaya-upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Ada 2 bentuk mitigasi yang lazim dilakukan yaitu mitigasi struktural / fisik berupa pembuatan infrastruktur pendorong minimalisasi dampak, serta mitigasi non struktural / non fisik berupa penyusuan peraturan-peraturan, pengelolaan tata ruang dan pelatihan. Pembuatan bendung penahan sedimen dan bunker adalah salah satu upaya ini. Tinggal perlu evaluasi diri, bendung dan bunker itu untuk siapa. Komunitaskah? Atau kepentingan proyek semata.

Mitigasi meliputi segala tindakan yang dapat menjinakkan bahaya, mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya, dan mengurangi daya rusak suatu bahaya yang tidak dapat dihindarkan. Mitigasi adalah dasar manajemen situasi darurat. Mitigasi dapat didefinisikan sebagai “aksi yang dapat menjinakkan, mengurangi atau menghilangkan resiko jangka panjang bahaya bencana alam dan akibatnya terhadap manusia dan harta-benda” (adaptasi FEMA, 2000). Mitigasi adalah usaha yang dilakukan oleh segala pihak terkait pada tingkat negara, masyarakat dan individu.

Untuk mitigasi bahaya letusan gunungapi dan lainnya, sangat diperlukan ketepatan dalam menilai kondisi alam yang terancam, merancang dan menerapkan teknik peringatan bahaya, dan mempersiapkan daerah yang terancam untuk mengurangi dampak negatif dari bahaya tersebut. Ketiga langkah penting tersebut: 1) penilaian bahaya (hazard assessment), 2) peringatan (warning), dan 3) persiapan (preparedness) adalah unsur utama model mitigasi. Unsur kunci lainnya yang tidak terlibat langsung dalam mitigasi tetapi sangat mendukung adalah penelitian yang terkait. Dalam kaitannya dengan letusan gunungapi adalah penelitian yang berhubungan dengan kegunungapian (volcano-related research).

Usaha-usaha di atas perlu didukung dengan upaya kesiapsiagaan, yaitu melakukan upaya untuk mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian langkah-langkah yang tepat, efektif dan siap siaga. Misalnya: penyiapan sarana komunikasi, pos komando dan penyiapan lokasi evakuasi. Di dalam usaha kesiapsiagaan ini juga dilakukan penguatan sistem peringatan dini, yaitu upaya untuk memberikan tanda peringatan bahwa bencana

1

Disampaikan pada Diskusi Panel Mitigasi Bencana Letusan Gunungapi dan Banjir Lahar Dingin, Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta 2

Fakultas Teknologi Mineral UPN Veteran Yogyakarta. +6281339228339 / paripurno@upnyk.ac.id.

(2)

kemungkinan akan segera terjadi. Upaya ini misalnya dengan membuat perangkat yang akan menginformasikan ke komunitas apabila terjadi kenaikan kandungan unsur yang tidak diinginkan di sungai atau sumur di sekitar sumber bahaya. Pemberian peringatan dini hendaknya mencukupi prasyarat: (1) menjangkau dan dipahami komunitas, (2) segera, (3) tegas tidak membingungkan, serta (4) bersifat resmi, dan disepakati oleh semua aktor.

Pada akhirnya jika bencana dari sumber bahaya terpaksa harus terjadi, maka tindakan tanggap darurat, yaitu upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan dan mengurangi dampak lebih besar, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda. Secara sinergis juga diperlukan bantuan darurat, yaitu upaya memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar berupa: pangan, sandang, tempat tinggal sementara, kesehatan, sanitasi dan air bersih.

Agar dampak tidak berkepanjangan maka proses pemulihan kondisi lingkungan dan komunitas yang terkena dampak / bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula. Upaya yang dilakukan bukan sekedar memperbaiki prasarana dan pelayanan dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar puskesmas, dll) tetapi termasuk fungsi-fungsi ekologis. Upaya tersebut, dalam jangka pendek umumnya terdiri dari usaha rehabilitasi, yaitu upaya untuk membantu komunitas memperbaiki rumahnya, fasilitas umum dan fasilitas sosial penting, dan menghidupkan kembali roda perekonomian dan fungsi ekologis setelah bencana terjadi. Penyelesaian masalah lingkungan sejauh ini hanya melakukan tindakan fisik ini, yang umumnya belum menyentuh rehabilitasi fungsi ekologis. Selanjutnya rekonstruksi merupakan upaya jangka menengah dan jangka panjang guna perbaikan fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan komunitas pada kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.

PENILAIAN ANCAMAN / BAHAYA.

Penilaian ancaman (Hazard Assessment) merupakan unsur pertama untuk penanggulangan bencana, khususnya mitigasi bencana yang efektif. Untuk setiap komunitas di kawasan rawan letusan gunungapi, penilaian bahaya letusan gunungapi diperlukan untuk mengidentifikasi populasi dan aset yang terancam, dan tingkat ancaman (level of risk). Penilaian ini membutuhkan pengetahuan tentang karakteristik sumber ancaman (misalnya: tipe dan jenis erupsi), probabilitas kejadian, karakteristik ancaman (misalnya: aliran piroklastika, jatuhan piroklastika, aliran lava atau aliran lahar) dan karakteristik morfologi kawasan rawan letusan (kaki, lereng). Untuk beberapa komunitas, data dari peristiwa ancaman yang berhubungan dengan letusan gunungapi dan ancaman lainnya yang pernah terjadi dapat membantu kuantifikasi faktor-faktor tersebut. Tahapan ini umumnya menghasilkan peta potensi bahaya yang berhubungan dengan letusan gununungapi yang sangat penting untuk memotivasi dan merancang kedua unsur mitigasi lainnya, peringatan dan persiapan.

Ancaman sebenarnya sebuah kejadian atau peristiwa biasa. Potensi ancaman akan menjadi menjadi bencana apabila komunitas tidak mampu mengelola. Oleh karena itu bencana dipengaruhi oleh kondisi komunitas. Semakin kuat kondisi komunitas, maka ancaman bisa tidak menjadi sebuah bencana. Sebuah ancaman yang sama, dapat berdampak berbeda karena pengaruh kondisi komunitas yang berbeda. Demikian pula halnya dengan kondisi komunitas yang sama, akan berdampak berbeda apabila menerima ancaman yang berbeda.

Ditilik dari penyebabnya, ragam ancaman yang berpotensi menjadi bencana dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok besar, yaitu alamiah, non alam dan manusia. Kelompok alamiah antara lain ancaman klimatologis dan geologis; kelompok non alam antara lain karena lingkungan, industri dan kegagalan teknologi; dan terakhir faktor manusia.

(3)

sangat erat hubungannya dengan iklim dan cuaca. Contoh : banjir, kekeringan, taifun, petir, abrasi pantai, badai.

Sumber ancaman geologis adalah sumber ancaman yang terjadi oleh adanya dinamika bumi; baik berupa pergeseran lempeng bumi, bentuk dan rupa bumi, jenis dan materi penyusun bumi, adalah beberapa contoh kondisi dan dinamika bumi. Contoh : letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, tanah longsor.

Sumber ancaman industrial dan kegagalan teknologi adalah sumber ancaman akibat adanya kegagalan teknologi maupun kesalahan pengelolaan suatu proses industri, baik proses produksi, pembuangan limbah, polusi yang ditimbulkan, atau dapat pula akibat proses persiapan produksi. Contoh: kebocoran reaktor nuklir, pencemaran limbah, semburan lumpur.

Faktor Manusia juga merupakan salah satu sumber ancaman. Perilaku atau ulah manusia, baik dalam pengelolaan lingkungan, perebutan sumber daya, permasalahn ras dan kepentingan lainnya, serta akibat dari sebuah kebijakan yang berdampak pada sebuah komunitas pada dasarnya merupakan sumber ancaman. Contoh: konflik bersenjata, penggusuran.

Ancaman dapat dikaji secara lebih rinci berdasarkan komponen yang menyertainya, antara lain: tanda peringatan, kecepatan, frekuensi, durasi, besaran, waktu kejadian, dan posisi.

Pemicu. Pemicu merupakan faktor-faktor yang menjadikan potensi ancaman yang tersembunyi muncul ke bermukaan sebagai ancaman nyata. Hampir setiap ancaman hadir karena adanya pemicu yang bekerja padanya. Pemicu dapat bersifat alamiah atau berhubungan dengan aktivitas manusia, misalnya angin, air, tanah, api, gempa, konflik, industri, ancaman lain yang berhubungan dengan manusia. Sebagai contoh, hujan merupakan pemicu utama terjadinya longsor.

Tanda-tanda peringatan. Selalu ada tanda-tanda pada setiap pemunculan ancaman. Permasalahannya, kita merespon tanda-tanda itu atau tidak? Misalnya: banjir selalu didahului oleh hujan yang ditandai dengan mendung yang gelap, dan letusan gunungapi selalu ditandai oleh meningkatnya intensitas getaran.

Peringatan awal. Setiap ancaman akan menunjukkan peringatan awal atas kehadirannya, baik tanda-tanda itu bersifat ilmiah maupun tradisional. Pada letusan gunungapi misalnya, peringatan awal letusan yang dimunculkan antara lain berubahan asap dari butih ke abu-abu kehitaman.

Kecepatan kejadian serta dampaknya. Ancaman ada yang datang dengan begitu cepat sehingga hampir tidak bisa diberikan peringatan (gempa bumi, misalnya), tetapi juga ada yang bisa diprediksi beberapa hari sebelum (angin topan, misalnya) atau bahkan yang sangat lambat (kekeringan, misalnya).

Frekuensi: adalah jumlah kecenderungan kehadiran dalam waktu tertentu. Apakah ancaman terjadi secara musiman, tahunan, sekali tiap 10 tahun, sekali seumur hidup, dll.

Waktu terjadi / Kapan. apakah ancaman terjadi pada waktu tertentu dalam satu tahun. Misalnya saja pada setiap musim hujan, antara bulan November sampai Desember.

Durasi. adalah lama ancaman dirasanan; misalnya berapa lama gempa bumi dan gempa susulannya; berapa hari/minggu/tahun suatu wilayah terendam banjir; berapa lama periode operasi militer.

(4)

misalnya berada ditepi sungai, di tepi pantai, berada diadaerah rawan letusan gunung api, berada di daerah industri. Sedangkan kemudahan akses ke sarana sosial, termasuk didalamya kondisi infrastruktur dan kesiapan aparat pemerintah secara tidak langsung mempengaruhi semua jenis bencana, terutama fase setelah bencana.

PERINGATAN & KOMUNIKASI.

Peringatan (warning) merupakan unsur kunci kedua untuk mitigasi peristiwa letusan gunungapi dan peristiwa pelaharan. Peringatan yang efektif adalah suatu sistem peringatan untuk memberi peringatan kepada komunitas tentang bahaya letusan gunungapi dan bahaya lahar yang tengah mengancam. Sistem peringatan bahaya letusan didasarkan data seismisitas gunungapi, kandungan gas, baik melalui pengamatan maupun pemantauan. Sistem peringatan bahaya lahar dilakukan berdasarkan volume endapan piroklastika, luasan daerah tangkapan sungai tempat piroklastika diendapkan, curah hujan, luas daerah berisiko. Pusat peringatan (warning center) haruslah: 1) cepat – memberikan peringatan secepat mungkin setelah tanda letusan gunungapi atau pelaharan terjadi, 2) tepat – menyampaikan pesan tentang letusan dan pelaharan yang berbahaya seraya mengurangi peringatan yang keliru, dan 3) dipercaya – bahwa sistem bekerja terus-menerus, dan pesan mereka disampaikan dan diterima secara langsung dan mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Komunikasi merupakan kebutuhan pokok bagi pengembangan sistem peringatan letusan gunungapi dan pelaharan. Banyak teknik komunikasi yang bisa dipergunakan, seperti radio VHF, gelombang mikro, transmisi satelit. Penyampaian pesan kepada para pengguna juga sama pentingnya sebagaimana mendapatkan data secara real time. Penyampaian pesan dapat secara cepat dilakukan melalui Global Telecommunications System (GTS) atau Aeronautical Fixed Telecommunications Network (AFTN). Pesan dapat pula disampaikan secara konvensional melalui radio komunikasi (HT), radio komunitas (AM/FM), e-mail, telpon atau fax.

Dinamika komunikasi di lingkungan gunungapi khususnya G. Merapi terdiri dari komponen-komponen sumber informasi, komunikator dengan pesan yang dibawa, serta komunikan dengan respon yang diharapkan. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencanaa Geologi merupakan pemangku mandat sebagai sumber informasi kegunungapi. berdasarkan informasi kondisi dan status gunungapi, serta rekomendasi yang diterima, pemerintah daerah membuat kebijakan yang disampaikan ke masyarakat. Atas rente komunikasi tersebut pada akhirnya, masyarakat diharapkan membangun respon positif. permasalahannya, apakah respon positif tersebut selalu dilakukan? Apabila tidak, adakah yang “salah”?

Respon yang terjadi di masyarakat adalah hasil pemahaman atas pesan yang didapatkan. Penyimpangan respon di masyarakat sangat berhubungan dengan “penyimpangan (bias) pesan” pada tingkat-tingkat sebelumnya, antara lain: (1) apakah volkanologi memberikan “pesan” yang tepat?, (2) apakah pemda memahami “pesan” volkanologi? apakah pemda memberikan “pesan” yang tepat? (3) apakah masyarakat memahami “pesan” pemda? apakah pesan yang dipahami sesuai dengan “pesan” volkanologi?. Bila pada akhirnya terdapat bias pesan dan menjadikan bias respon, maka perbaikan perlu dilakukan. Untuk ini peran pihak lain sangat dimungkinkan. Bagaimana mengurangi “penyimpangan pesan”? Apakah bias dapat dikurangi dengan memberi ruang peran yang lebih luas pada para pihak?

(5)

yang terdiri dari: radio komunikasi, stasiun penguat sinyal, stasiun pemancar ulang, radio komunitas, sirine dan pengeras suara. Substansi dari sistem ini adalah mendorong proses komunikasi substansi informasi yang berbeda-beda menurut tingkat status gunungapi. (1) aktif normal: penguatan kepemilikan dan kepenguasaan aset penghidupan, (2) waspada: perlindungan aset penghidupan dan peningkatan kewaspadaan, (3) siaga & awas: kesiapan penanganan darurat, (4) lahar: peringatan dini pembentukan & pergerakan ancaman lahar pada alur sungai.

Radio komunikasi yang ada dikelola oleh banyak pelaku, antara lain jajaran perangkat pemerintah daerah, anggota tim siaga Paguyuban Siaga (Pasag) Merapi, kelompok-kelompok bantuan komunikasi (KLM, Cakra, SKSB, Kluster, Praja, Kompak), anggota Tagana, yang berada di sekitar KRB Merapi. Pengelola radio bertindak sebagai sumber informasi, sekaligus komunikator dan komunikan. (lebih dari 1000 anggota, 100 radio komunikasi)

Frekuensi disepakati berdasarkan kewilayahan dan perannya di masyarakat (Cepogo 146.500 mhz, Musuk 149.380 mhz, Woro/Deles 149.740 mhz, Gendol 149.440 mhz, Boyong 149.360 mhz, Krasak / Bedog 149.560 mhz, Kaliurang 147.870 mhz, Kemiren / Bebeng 149.770 mhz, Putih 149.890 mhz, Senowo / Lamat 137.870 mhz, selo 140.040 mhz , Kab. Boyolali 158.150 mhz, Kab Klaten 420.829 mhz, Kab.. Sleman 167.500 mhz, Kab Magelang 440.200 mhz),

Perangkat stasiun pemancar ulang didirikan di Gedung Pusat Kampus UPN Veteran Condong Catur .920 mhz, G. Sumbing 137.870 mhz. kedua stasiun pemancar ulang digunakan untuk memancarulangkan sinyal, sehingga stasiun radio yang saling terhalang dapat berkomunikasi. dalam lingkup kecil dibuat stasiun penguat sinyal. Stasiun Radio Komunitas Lintas Merapi 106,4 Fm mengkomunikasikan perkembangan ancaman primer maupun sekunder yang didapat dari berbagai sumber informasi. Stasiun radio komunitasini efektif memberi informasi ke pada masyarakt penambang pasir di sepanjang Kali Woro.

Sistem ini bermanfaat bagi masyarakat di kawasan rawan bencana, baik di krb 1, krb 2 dan krb 3 merupakan penerima manfaat utama dari sistem informasi. Mmanfaat bukan hanya untuk membangun kewaspadaan dan kesiapsiagaan, tetapi juga untuk meningkatkan kepemilikan dan kepenguasaan aset penghidupan serta perlindungan terhadap aset penghidupan. Saat ini sistem informasi ini dikembangkan untuk dikelola bersama Forum Merapi (forum yang di sepakati oleh bupati kepala daerah Klaten, Magelang, Sleman dan Boyolali serta Kepala PVMBG)

PERSIAPAN & EVAKUASI.

Persiapan penting dilakukan sesuai dengan pengkategorian dan penilaian bahaya. Persiapan yang layak terhadap peringatan bahaya letusan gunungapi dan pelaharan membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkina terkena bahaya dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus mengevakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman. Tanpa kedua pengetahuan akan muncul kemungkinan kegagalan mitigasi bahaya letusan gunungapi dan pelaharan. Tingkat kepedulian publik dan pemahamannya terhadap letusan gunungapi dan pelaharan juga sangat penting. Jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas vital masyarakat seperti sekolah, kantor polisi dan pemadam kebakaran, rumah sakit berada diluar zona bahaya. Usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur bangunan ruang lindung darurat yang tahan panas dan beban hasil erupsi gunungpai, bangunan pengendali endapan lahar dan lainnya juga termasuk bagian dari persiapan.

(6)

dasarnya masih menyediakan waktu yang cukup untuk peringatan formal. Letusan gunungapi memang lebih tidak terduga dibanding pelaharan. Namun evakuasi dapat dilakukan seiring dengan perubahan status gunungapi. Sementara pada proses pelaharan masih memberi waktu untuk persiapan sejak hujan turun atau proses penjenuhan endapan volkanik dan pelaharan terjadi. Sehingga persiapan evakuasi dan prosedurnya harus disiapkan untuk kedua skenario tersebut.

Letusan gunungapi tidak akan memberikan jenis dan tingkat ancaman pada seluruh kawasan rawan bencana yang ada. Masyarakat harus mampu memahami bahaya yang mengancam, dan selanjutnya mampu mengorganisasikan diri mengenai bagaimana, kemana, dan kapan harus mengungsi. Untuk bahaya lahar masyarakat di titik rawan limpasan lahar harus pindah segera dan secepatnya kearah dataran tinggi. Zona evakuasi dan rute pengungsian harus ditentukan secara aman. Masyarakat harus memahami potensi bahaya dan prosedur evakuasi, sehingga mereka tidak tetap berada di tempat tinggal ketika bahaya telah datang atau mereka telah kembali ketika ancaman masih belum berakhir. Evakuasi yang tidak perlu harus dikurangi untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem. Hal ini juga membutuhkan perencanaan resmi tentang zona bahaya dan rute evakuasi yang aman. Badan-badan pelayanan masyarakat seperti polisi, pemadam kebakaran dan tentara, difungsikan untuk membantu kelancaran pengungsian.

PENDIDIKAN & PELATIHAN

Mitigasi harus mengandung rencana untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan oleh masyarakat luas, pemerintah lokal, dan para pembuat kebijakan tentang sifat-sifat letusan gunungapi, kerusakan dan bahaya yang disebabkan dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi bahaya. Pendidikan publik yang dilaksanakan akan efektif bila ikut memperhitungkan bahasa dan budaya lokal, adat-istiadat, praktek keagamaan, hubungan masyarakat dengan kekuasaan, dan pengalaman letusan gunungapi masa lalu. Operator sistem peringatan, manager bencana alam, dan pembuat kebijakan harus memenuhi suatu tingkat pendidikan dan pemahaman terhadap bahaya letusan gunungapi dan lahar.

Dalam konteks G. Merapi, pendidikan dan pelatihan di masyarakat dilakukan melalui wajib latih. Terbitnya Undang-Udang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah memunculkan harapan kemajuan penanggulangan bencana. Undang-Undang itu secara eksplisit mengatur hak perlindungan bagi masyarakat, tapi tidak membahas kewajiban masyarakat. Hal in menjadi penting karena penyuluhan-penyuluhan selama ini tidak bisa diukur / diketahui hasilnya. Berkenaan dengn hal tersebut diperlukan suatu kegiatan pelatihan yang hasilnya dapat terukur. Tujuan umum jangka panjang program ini adalah membentuk budaya masyarakat yang berketahanan terhadap bencana letusan gunungapi. Oleh karena itu maka program ini bersifat wajib wajib diikuti oleh masyarakat kawasan rawan bencana, sehingga disebut sebagai Wajib Latih Penanggulangan Bencana Gunungapi.

Penyelenggaraan WLPB Gunungaapi atas dasar kemanusiaan, keselamatan manusia, tanpa pamrih. Namun demikian, penyelenggaraan WLPB haruslah terencana, sistematik dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penyelenggaraannya, WLPB tidak membedakan suku, agama, ras, antar golongan dan jenis kelamin. WLPB Gunungapi 2008 disasarkan kepada 28 desa KRB 3 di 4 kabupaten di sekitar G. Merapi. Pelatihan diberikan kepada setiap individu yang telah dewasa dan tinggal di kawasan rawan bencana, berumur 17 hingga 50 tahun atau sudah menikah, Sehat secara rohani, mendapat ijin dari suami/isteri.

(7)

(desa-kecamatan-kabupaten dst) dan atau lembaga non-pemerintah atas sepengetahuan dan koordinasi dengan pemerintah daerah setempat. Dana penyelenggaraan WLPB berasal dari APBN/APBD atau sumber lain yang tidak mengikat. Fasilitator WLPB bisa berasal dari lembaga pemerintah maupun non-pemerintah yang berkompeten di bidangnya atau setidaknya telah memperoleh pelatihan kemampuan fasilitasi secara terukur

Kegiatan WLPB Gunungapi tahun 2008-2009 telah dilaksanakan terhadap 29 kali pelatihan untuk dusun, di 9 kecamatan dalam 4 kabupaten. Peserta latih berjumlah 941 orang, terdiri dari 147 perempuan dan 794 laki-laki. Kegiatan ini difasilitasi oleh 52 fasilitator multipihak, dari PPTK, pemerintah kabupaten dan terutama PASAG Merapi serta PSMB UPN. Rangkaian kegiatan tersebut terdiri dari (1) Lokakarya Penyusunan Modul WLPB Gunungapi, (2) Ujicoba Modul WLPB Gunungapi, (3) Pelatihan Fasilitator WLPB Gunungapi serta (4) Pelaksanaan WLPB Gunungapi untuk kabupaten Klaten – Boyolali – Magelang - Sleman. WLPB Gunungapi dilaksanakan selama 3 hari. Pada hari pertama peserta belajar bersama tentang mengenal gunungapi dan ancamannya, menanggulangi bencana, mengurangi risiko bencana letusan gunungapi. Hari kedua berupa menyusun protap desa, serta melakukan gladi posko. Hari ketiga melakukan simulasi (gladi lapang). Kegiatan ini berdampak positif dan teruji dalam erupsi G Merapi 2010, dengan tidak adanya korban dari keluarga peserta WLPB Gunungapi.

PENGELOAAN RUANG.

Sebagai konsekuensi pertumbuhan penduduk global, pada daerah rawan letusan gunungapi dan pelaharan juga terjadi perkembangan penduduk dengan cepat. Kawasan tinggian di kawasan rawan letusan gunungapi cenderung menjadi daerah wisata yang padat penduduk. Daerah rendahan rawan lahar yang semula lahan pertanian telah berubah menjadi pemukiman. Karena tidak mungkin untuk menghentikan pembangunan, sebaiknya dilakukan pencegahan pembangunan fasilitas umum pada zona rawan bencana letusan gunungapi dan lahar. Fasilitas umum seperti sekolah, pos polisi, rumah sakit dan lainnya dibangun di kawasan aman yang memiliki arti penting bagi masyarakat apabila suatu saat diperlukan. Sebagai tambahan, hotel dan penginapan juga perlu ditempatkan pada lokasi yang sesuai dengan prosedur evakuasi untuk memberikan keamanan kepada para tamunya.

Dalam konteks G. Merapi, erupsi 2010 nampaknya memaksa kita untuk melihat kembali tata ruang yang sudah ada. Usulan ini menekankan format pengelolaan kawasan G. Merapi dalam perspektif manajemen bencana dalam konteks otonomi daerah yang berpihak pada komunitas tempatan. Pengelolaan yang diusulkan berdasarkan pertimbangan fungsi utama sebagai kawasan rawan bencana, sesuai dengan tingkat kerawanan letusan gunungapi. Pengelolaan dilakukan dengan zona-zona rawan bencana, penyangga non budidaya, penyangga budidaya, dan penyangga budaya.

Zona Rawan Bencana mempunyai limitasi yang tinggi bagi masyarakat. Cagar

alam, dan perlindungan setempat dapat dikembangkan di zona ini. Zona Penyangga

Non Budidaya memberikan kendala tinggi bagi masyarakat. Hutan lindung,

perlindungan setempat, hutan negara, cagar alam, dan pendukung peternakan dapat dikembangkan di zona ini. Masyarakat secara terbatas dapat melakukan aktifitas di zona ini. Misalnya mencari rumput.

Zona Penyangga Budidaya memiliki kendala sedang bagi masyarakat. Hutan

lindung, cagar alam, perlindungan setempat, hutan negara, hutan wisata, pendukung peternakan, dan pariwisata dapat dikembangkan disini. Masyarakat secara terbatas dapat melakukan aktifitas di zona ini; antara lain tumpangsari hutan heterogen dengan perkebunan tanpa olah lahan. Kawasan awan panas hasil erupsi 2010 diusulkan masuk ke dalam zona ini.

Zona Penyangga Budaya memiliki kendala rendah bagi masyarakat. Hutan rakyat,

(8)

peternakan, pariwisata dan pertambangan dapat dikembangkan di zona ini. Masyarakat dapat melakukan aktifitas sosial, ekonomi maupun budaya di zona ini dengan lebih leluasa.

Pengelolaan kawasan berdasarkan pertimbangan fungsi ketahanan air dan tanah, serta fungsi budidaya dipilahkan dalam kawasan-kawasan hutan lindung, cagar alam, hutan wisata alam, perlindungan setempat, hutan rakyat, hutan negara, pertanian, pariwisata, pertambangan, dan permukiman

Kawasan Hutan Lindung merupakan hutan tutupan vegetasi tetap untuk

mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologi tanah di kawasan hutan lindung sehingga ketersediaan unsur hara tanah, air tanah, dan air permukaan selalu dapat terjamin. Kawasan Cagar Alam

(Plawangan) telah ditetapkan karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan

tumbuhan, satwa atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Kawasan Taman Wisata Alam

(Turgo-Plawangan) telah ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam yang

terutama dimanfaatkan untuk pariwisata alam.

Kawasan Perlindungan Setempat berupa kawasan sempadan sungai dan

kawasan di sekitar mata air. Sempadan sungai dan air adalah kawasan di sekitar sungai dan mata air yang mempunyai manfaat untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai dan mata air. Pengelolaan bersama dilakukan agar tidak terjadi alih kelola sumberdaya air dari masyarakat dengan alasan apapun.

Kawasan Hutan Negara adalah hutan alam maupun produksi yang dikelola BUMN

bersama masyarakat, dengan memperhatikan asas konservasi tanah dan air, yang diupayakan mampu mencegah terjadinya erosi, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologi tanah. Bila sepenuhnya dikelola oleh rakyat, maka merupakan Kawasan

Hutan Rakyat. Kawasan yang merupakan hasil endapan awan panas hasil erupsi

2010 di sepanjang Kali Gendol disarankan dikembangkan menjadi kawasan hutan rakyat.

Kawasan Pertanian adalah areal lahan milik masyarakat atau negara yang

keadaan dan sifat fisiknya sesuai bagi tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Kawasan ini berupa areal pertanian dengan sistem pengelolaan lahan secara ekologis dengan kegiatan utama pertanian tanaman pangan, tanaman obat dan dapat dikombinasikan dengan perkebunan tanaman hortikultura dan atau usaha tani peternakan.

Kawasan Pariwisata adalah kawasan wisata alam pegunungan dan budaya lokal

yang tetap menjamin kenyamanan dan keamanan masyarakat serta serasi dengan lingkungan alamnya. Wisata yang dikembangkan yang berbasis pada kapasitas lokal antara lain wisata alam, wisata budaya, wisata bencana, dan wisata pertemuan, wisata ilmiah. Kawasan jejak erupsi merupakan obyek wisata yang menarik dan perlu dikonservasi.

Kawasan Pertambangan adalah kawasan aktivitas penambangan pasir dan batu

yang tetap menjamin kenyamanan dan keamanan masyarakat serta serasi dengan lingkungan alamnya. Disarankan kawasan ini dikelola oleh masyarakat yang terkena dampak erupsi 2010 secara langsung maupun tidak langsung, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk walaupun tanpa jaminan hidup yang diberikan pemerintah.

Kawasan Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan

(9)

PENUTUP

Letusan gunungapi dan lahar akan merupakan ancaman yang berpotensi menjadi bencana apabila kita tidak mampu menelolanya. Kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman dan keseriusan pihak berwenang dalam mendorong proses mitigasi adalah kalimat kuncinya.

BACAAN

Federal Emergencymanajement Agency (FEMA)., 2000, What Is Mitigation?, Mitigation: Reducing Risk through Mitigation. Washington.

Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian Region, U.S. Geological Survey Prof. Paper 1078.

Simkin and Siebert, 1994, Volcanoes of the World, Smithsonian Institution, Global Volcanism Program, Geoscience Press, Inc., Arizona, 349p.

KOMPONEN MANAJEMEN RISIKO

1. Adakah komitmen politis pejabat dalam mengurangi risiko bencana pada setiap tingkatan sangat tinggi?

2. Apakah pejabat yang ditunjuk sangat efektif memberikan pelayanan strategis?

3.

Apakah petugas trampil, kompeten, dan mampu melaksanakan peran dan tanggungjawab utamanya?

4. Apakah peredaman bencana terintegrasi dalam kebijakan pembangunan sektoral dan umum?

5. Adakah kerangka kerja kebijakan dan perundangan yang diketahui umum dan dimengerti dan memberikan arah jelas yang berhubungan dengan tata guna lahan, bangunan, lembaga dan system perencanaan serta gabungan operasinya (sinergi)? 6. Adakah kerangka kerja kebijakan yang memberi petunjuk perencanaan mitigasi dan

tanggap darurat pada setiap tingkatan?

7. Adakah kerangka kerja kelembagaan yang kuat yang secara vertikal dan horizontal dipadukan dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan dan operasi?

8. Adakah program pendidikan dan kesadaran masyarakat yang berpusat pada informasi bahaya umum dan skenario risiko masyarakat secara khusus?

9. Apakah manajemen risiko bencana masuk dalam kurikulum pelajaran sekolah dan lembaga pendidikan lainnya?

10. Adakah standar yang sama pelatihan berbasis kemampuan yang terakreditasi?

11. Adakah jaringan (para pihak) yang kuat yang memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi isu baru yang muncul (relokasi, pertanian, air, kesehatan) dan mempertahankan cara terbaik ?

12.

Adakah proses pengelolaan risiko resmi yang memberikan hasil kajian bahaya dan analisis risiko yang komprehensif dan konsisten. ?

13.

Adakah penilaian risiko teknis yang diterjemahkan agar mudah digunakan petugas dan masyarakat. ?

(10)

15. Apakah jaringan masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana untuk penanggulangan bencana bekerja dengan baik?

16. Apakah partisipasi masyarakat dalam mengidentifikasi, merencanakan dan menangani risiko-risiko sangat tinggi. ?

17. Adakah jaringan komite pakar (universitas, gereja, adat dll) setempat lintas sektor (fisik, sosial, budaya dll) yang mempunyai hubungan baik dengan pemerintah dan LSM? 18. Adakah media cetak dan elektronis sepenuhnya terlibat dalam mempromosikan isu

penanggulangan bencana dan mitigasi?

19. Adakah asuransi, lembaga pinjaman/kredit pemerintah dan skema kredit kecil mendukung pemilik rumah dan pengusaha kecil untuk melakukan upaya mitigasi? 20. Adakah rencana tanggap darurat yang memuat / mengenai: (1) koordinasi dan

pengelolaan informasi yang efektif, (2) sistem deteksi dan peringatan yang efektif, (3) sistem kewaspadaan dan pengerahan masyarakat yang efektif, (4) pengaktifan dan pengerahan orang kunci dan sumber-sumber yang tepat, (5) inventaris sumber-sumber termasuk perincian cadangan, transportasi, pendanaan, dan bantuan darurat, (6) patalaksana untuk penyelenggaraan briefing, debriefing dan pelaporan, (7) perincian mengenai ulasan dan validasi tatalaksana operasional?

21. Adakah Pusat Operasi Kedaruratan yang jangkauan sistem dan jaringan komunikasinya bagus?

22. Apakah rencana tanggap darurat dan kesinambungan usaha yang memerinci pengaturan mengenai pemberian pelayanan seusai dengan tugas dan tanggungjawab yang ditentukan; dan perlindungan staf dan harta benda yang menjamin kelangsungan usaha ?

Referensi

Dokumen terkait

model pembelajaran aktif tipe Quiz Team merupakan cara yang digunakan. guru dalam mengolah proses pembelajaran supaya siswa lebih

Melalui kegiatan PPL II diharapkan mahasiswa mampu berinterksi dan berperan serta dalam dunia pendidikan sehingga mahasiswa dapat memahami dan mengenal

Kesimpulannya, berdasarkan kajian ini didapati bahawa terdapat banyak istilah kosa kata baku daripada bahasa Melayu baku diserapmasuk ke dalam dialek ini namun mengalami

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kurikuler yang dilakukan oleh mahasiswa praktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh dalam

Tidak ada tanggung jawab yang dapat ditujukan kepada penerbit dan penerbit pendamping, atau editor untuk cedera dan/atau kerusakan pada orang atau properti sebagai

Penelitian tentang “Peran PCNU Dalam Peningkatan Perolehan Suara PKB Pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2014 Di Kabupaten Jombang” diangkat oleh peneliti karena ingin

Untuk itu, keyakinan terhadap arah kiblat masjid yang didirikan oleh wali dan meyakini sampai sekarang tentang kebenaran arah tersebut tanpa melihat disiplin

Penelitian mengenai persamaan KdV sudah sering dilakukan, salah satunya penurunan persamaan KdV oleh Debnath (1994).Persamaan KdV diturunkan dari syarat kondisi