Pancasila:
Kemanusiaan dan Etika Global Harun Arrasyid
Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Harun.arrasyid14@mhs.uinjkt.ac.id
Pendahuluan
Pancasila merupakan suatu ideologi yang dikembangakn oleh para founding fathers di Hindia Belanda untuk menyatukan seluruh elemen ras, suku, bahasa, kulit, agama, dan
lain-lain untuk membentuk suatu ideologi pemikiran yang akan membuat negara yang baru yaitu
Indonesia. Keragaman dalam persatuan yang tergambar dalam selogan Bhinneka Tunggal Ika
dalam Pancasila merupakan ruang kreatif bagi bangsa Indonesia untuk melihat ideologi itu
sebagai hal-hal yang baik pada masa lalu dengan nilai prinsip demokrasi yang saat ini dinilai
sebagai sistem politik paling baik di antara sistem-sitem yang pernah ada di dunia. Prinsip
kemajemukan dalam pancasila dapat bersinegis secara dinamis dengan prinsip-prinsip
demokrasi yang lahir dan berkembang dari situasi sosial yang majemuk, sekalipun ia muncul
dari tradisi barat. Prinsip kemajemukan dalam persatuan Indonesia memberi ruang sah bagi
munculnya pemikiran dan pandangan yang beragam bahkan kemungkinan lahirnya tafsir dan
pandangan baru atas Pancasila sekalipun. Dalam hal ini Pancasila juga harus dilihat kedalam
suatu yang lebih spesifik misalnya saja dalam hal kemanusiaan dan etika global yang tidak
dapat dihindari pada perkembangan teknologi sekarang.
Pemaknaan humanisme Pancasila ini dapat dipandang sebagai usaha untuk membawa
kembali Pancasila sebagai wacana publik (public discourse). Pengembalian Pancasila sebagai
wacana publik merupakan tahap awal krusial untuk pengembangan kembali Pancasila sebagai
ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus-menerus sehingga tetap relevan dalam
kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pada gilirannya, pembudayaan humanisme
Pancasila akan berkontribusi bagi penguatan karakter bangsa dalam rangka tata hubungan
peradaban global.1 Dalam konteks Pancasila, nilai keutamaan kemanusiaan yang adil dan beradab dapat dipandang sebagai keutamaan yang mendasar karena manusia harus
“memanusiakan kepada sesamanya”. Makalah ini fokusnya untuk menjelaskan tentang
kemanusiaan dan etika global yang juga terkait dengan nilai-nilai ideologi Oleh karena itu
1
sangat penting untuk mengkaji tema ini sehingga para pembaca bisa mengetahui konsep, teori
dan realitas yang ada dilapangan.
Kemanusiaan dan Pancasila
Sebagai suatu dasar filsafat negara maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem
nilai-nilai pedoman bangsa oleh karena itu sila-sila Pancasila itu pada hakikatnya merupakan
suatu kesatuan meskipun dalam sila-sila terkandung nilai-nilai yang memiliki perbedaan
antara satu dengan lainnya namun kesemuanya itu tidak lain merupakan suatu kesatuan yang
sistematis dan kemanusiaan merupakan salah satu dari tujuan dari nilai-nilai pancasila itu.
Istilah Kemanusiaan berasal dari kata Melayu yang berarti "Humaniora". Hal ini merupakan
dari bahasa kuno dalam bentuk manu, istilah dari bahasa Sansekerta yang berarti "manusia".2
Menurut Yudi Latif, dalam kesadaran kemanusiaan universal indonesia hanyalah nota
kecil di muka bumi tetapi merupakan bagian penting dari planet ini karena indonesia sejak
lama dipengaruhi oleh realitas global dan oleh karena itu tidak bisa melepaskan diri dari
komitmen kemanusiaan.3 Salah satu bulir pancasila berbunyi “ kemanusiaan yang adil dan beradab” merupakan komitmen tinggi untuk menjunjung kemanusiaan. Dengan adanya sikap adil dan saling menghargai sesama manusia, maka timbullah persamaan derajat, hak dan
kewajiban asasi manusia tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan jenis kelamin.
Hormat menghormati, saling berkerjasama, tenggang-rasa merupakan sebagaian perwujuduan
dari menjunjung tinggi nilai nilai kemanusiaan.4 Hal itulah yang menjadi isi dari pembukaan uud 1945 yang mengatakan bahwa “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Dalam rancangan pembukaan uud 1945 yang disusun oleh panitia sembilan, peletakan prinsip internasionalisme (perikemanusiaan)
sebagai dasar negara itu merupakan arti eratnya hubungan antara nasionalisme dan
internasionalisme. Oleh karena itu sila kedua dari pancasila mempunyai arti ganda “keluar”
(ikut memperjuangkan perdamaian dan keadilan dunia) dan “kedalam” (memuliakan hak-hak
asasi manusia, sebagai individu atau kelompok).
2
Lihat dalam website jurnal kemanusiaan yang berasal dari Malaysia. http://web.usm.my/kajh/ 3
Yudi Latif, Negara paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, hal.126
4
Menurut Kuntowijoyo keberadaan Pancasila hanya bisa diukur melalui tiga kriteria,
yakni konsistensi, koherensi, dan korespondensi. Konsistensi dalam Pancasila berarti
“sesuai,” “harmoni,” atau “hubungan logis”. Sila-sila dalam Pancasila harus mempunyai
hubungan terpadu dengan semua dokumen konstitusi seperti UUD 1945, Tap MPR,
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah (baik pusat maupun daerah), dan titah para pejabat. Kohersi berarti “lekat satu dengan yang lainnya harus terkait, tidak boleh terlepas.” Misalnya sila Ketuhanan, harus lekat dengan sila kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan.
Korespondensi berarti antara yang diucapkan dengan yang diterapkan.5 Dalam sila kedua terkandung nilai-nilai kemanusiaan antara lain:
a. Pengakuan terhadap martabat manusia
b. Perlakuan yang adil terhadap manusia
c. Pengertian manusia yang beradab, memiliki daya cipta, rasa, manusia dan hewan
d. Nilai sila kedua ini dijiwai sila pertama dan menjiwai sila ke tiga, keempat serta
kelima
Pada pembukaan UUD 1945, nilai dari pancasila ini terkandung dalam semua alinea
terutama pada alinea pertama dan aline keempat meskipun yang secara tersurat disebut
(merdeka) dan bahkan secara tersirat di akui pula bahwa dalam suasana kebangsaan yang
bebas dan hak-hak warganya juga dimuliakan. Soekarno pernah berkata: “kita bukan saja
mendirikan negara Indonesia merdeka tetapi harus menunju pula kepada kekeluargaan
bangsa-bangsa...inilah filosofis prinsip nomor dua yang boleh saya namakan
Internationalisme”. Dibawah nilai-nilai ketuhanan yang maha esa dan cita-cita negara indonesia, semua manusia harus dipandang setara dan bersaudara yang mengandung
keharusan untuk menghormati kemanusiaan. Pancasila sebagai nilai dari kemanusiaan
memandang bahwa pada saat itu dunia sedang dalam keadaan perang sehingga para founding fathers kita menyerukan agar untuk membebaskan semua negara yang di jajah. Bahkan terdapat kekhawatiran di sebagaian kalangan bahwa arus globalisasi demokrasi dan gerakan
hak asasi manusia akan mengancam jati diri bangsa Indonesia.
Akan tetapi realitas dalam masyarakat indonesia saat ini adalah maraknya kerusuhan
sosial di sejumlah daerah dan tingginya tingkat korupsi dan maraknya kekerasan yang
menunjukan bahwa nilai-nilai pancasila itu belum diterapkan dalam kehidupan sehari hari
5
dan bahwa tatanan sosial masyarakat Indonesia sudah berubah. Bangsa Indonesia yang
selama ini dikenal sebagai manusia yang berwatak sosial dan agamis serta ramah tamah tidak
lagi sesuai apa yang pernah di catat sejarahnya.6 Tindakan-tindakan anarkis atau perusakan fasilitas umum pada sebagian aksi unjuk rasa menunjukan semakin menipisnya kesadaran
bahwa fasilitas umum (free public) merupakan dibangun juga dari uang rakyat.
Etika Global dan Globalisasi
Globalisasi atau global merupakan sebuah gambaran tentang semakin tergantungnya
di antara sesama masyarakat dunia baik budaya maupun ekonomi. Istilah globalisasi juga
sering dihubungkan dengan sirkulasi gagasan, bahasa, dan budaya populer yang melintasi
batas negara.7 Fenomena global ini acap kali disederhanakan oleh kalangan ahli sebagai
gejala kecenderungan dunia menuju sebuah perkampungan global (global village) di mana
interaksi manusia berlangsung tanpa halangan batas geografis. Oleh karena itu pada saat yang
bersamaan pula isu-isu tentang kemanusiaan seperti hak asasi manusia, demokrasi dan ruang
publik sangat cepat dapat mempengaruhi situasi yang terjadi si suatu negara. Globalisasi bisa
berpengaruh terhadap hidup yang kita alami mengandaikan ruang (space) dan waktu (time).
Misalnya masuknya pengaruh westernisasi kedalam suatu negara dengan cepat karena
kemajuan teknologi informasi sebuah berita atau kejadian di kawasan dunia lain yang dapat
dilihat dengan mudah oleh penduduk di belahan lain.
Globalisasi adalah fenomena dunia berwajah banyak yang sering diidentikkan
dengan: (1) Internasionalisasi, yaitu hubungan antarnegara, meluasnya arus perdagangan dan
penanaman modal, (2) Liberalisasi, yaitu pencabutan pembatasan-pembatasan pemerintah
untuk membuka ekonomi tanpa pagar (borderless world) dalam hambatan perdagangan, pembatasan keluar masuk mata uang, kendali devisa, dan visa, (3) Universalisasi, yaitu ragam
selera atau gaya hidup seperti pakaian, makanan, kendaraan di seluruh pelosok penjuru dunia,
(4) Westernisasi, yaitu ragam hidup model budaya Barat, (5) de-Teritorialisasi, yaitu
perubahan-perubahan geografis sehingga ruang social dalam perbatasan, tempat, dan jarak
menjadi berubah.8
6
Hal ini sangat bertolak belakang dari identitas nenek moyang bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah. Lihat A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, Ham, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayullah Jakarta, 2014, hal.51
7
Ibid, hal.52 8
Nilai etika bersifat relatif karena senantiasa mengacu pada perilaku baik-buruk,
benar-salah dan lainya. Hakikatnya sebuah nilai etika menurut Djahri dalam Margono dirumuskan
sebagai yang tersirat dalam fakta, konsep dan teori sehingga bermakna secara fungsional.
Nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung
integritas dan martabat pribadi manusia. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian
seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Jadi norma sebagai penuntun sikap
dan tingkah laku manusia. Antara norma dan etika memiliki hubungan yang sangat erat yaitu
etika sebagai ilmu pengetahuan yang membahas tentang prinsip-prinsip moralitas.
Etika dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti /eti·ka/ /étika/ n ilmu tentang apa
yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).9 Etika berasal dari kata “ethos” yang berarti yang berarti watak, adat ataupun kesusilaan dan menggambarkan sebuah komunitas, negara atau ideologi.10
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan Kebudayaan, 1988), dijelaskan bahwa etika mempunyai tiga makna11:
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak).
Etika bisa menjadi ilmu, bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan
nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu
masyarakat, sering kali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian
sistematis dam metodis.etika disini sama dengan filsafat moral.
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan tentang akhlak.
Etika yang dimaksud disini adalah kode etik, yang berarti aturan atau tata cara sebagai
pedoman berperilaku.
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Etika yang dimaksud di sini adalah nila-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Etika global sudah mulai diperkenalkan pada pertengahan tahun 1980-an. Dari segi
metodologis etika global adalah sebuah paradigma baru berteologi, khususnya bagi
Indonesia. Proyek dialog antarumat beragama bukan suatu hal baru bagi Indonesia. Namun
9
KBBI Daring. Lihat http://kbbi.web.id/etika 10
Weiss, Piero & Taruskin, Richard, Music in the Western World: A History in Document (1984) 11
proyek tersebut masih mengandalkan kemurahan hati para elite agama bersama para birokrat
di pemerintahan untuk mewujudkannya. Maka etika global merupakan paradigma baru dalam
memperjumpakan umat beragama, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia.
Etika global merupakan cara untuk sebuah masyarakat menyaksikan masyarakat lain
dalam macam-macam gaya hidup, orientasi keagamaan yang berlainan, ragam etnis-suku
bangsa, perbedaan bahasa dan sebagainya. Pancasila sebagai etika global adalah nilai-nilai
pancasila bukan saja sebagai falsafah negara tetapi juga sebagai etika atau acuan tindak baik
dan dijadikan sebagai norma-norma yang berkembang di masyarakat. Menurut Jazim Hamidi,
pembahasan mengenai etika tentu tidak dapat dilepaskan dari nilai. Nilai adalah apa yang
dianggap bernilai atau berharga yang menjadi landasan, pedoman, pengangan, dan semangat
seseorang dalam melaksanakan sesuatu. Pancasila sebagai sistem etika menurutnya adalah
nilai-nilai yang terkandung dalam sila Pancasila merupakan nilai yang digunakan bangsa
Indonesia sebagai landasan atau acuan dalam hidup dan saling berinteraksi dengan manusia
dalam kehidupan berbangsa dan negara.12 Etika dapat dipandang sebagai apa yang sudah lazim atau yang dijadiakan standar dalam berkelakuan. Misalnya etika (hak-kewajiban,
bermoral-tidak bermoral, adil atau tidak adil, jujur atau tidak jujur dan sebagainya).
Pemikiran dari Dr. Phil. Eka Darmaputera tentang rumusan etika global hanya
menjadi semboyan atau cita-cita normative yang mandul, jika tanpa diletakkan dalam konteks
Civil Society13 yang merupakan satu-satunya wahana yang memungkinkan terealisasinya etika global. Di balik etika global terdapat dua kerangka bangunan dasar, yaitu; pertama
kerangka filosafis dan kedua kerangka teologis.14 Pertama, secara filosofis persoalan mendasar seputar tema universalitas dan fondasionalisme, secara khusus mengarah pada
dialektika global-lokal yang terus-menerus dibicarakan di kalangan pemikir filsafat. Hal ini
penting karena sepintas etik global menyiratkan sebuah prapaham epistemologis modern,
pada dasarnya senantiasa bermaksud mengupayakan pendekatan global-universal. Kedua,
persoalan teologis seputar perjumpaan antar-iman dalam konteks global, namun mempunyai
imbas jelas pada level lainnya (regional dan lokal). Kesadaran atas kenyataan plural dalam
kehidupan beragama memunculkan pelbagai sikap teologis atas kenyataan tersebut.
12
Jazim Hamidi, Civic Education antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal 66
13Civil Society
dapat disebut demikian apabila ia juga merupakan masyarakat yang santun,beradab, tertib, tentram dan juga sejahtera. Untuk itu, etik global pasti mempunyai peran dan fungsi yang cukup menentukan. Lihat Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama: Etik Global Dalam Kajian Postmodernisme dan Pluralisme Agama, Jakarta: Gunung Mulia, hal. XIV
14
Kuliah umum tentang Pluralism as A Global Ethic pernah disampaikan Hans Kung di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (27 April 2010). Ia berhasil mengajak audiens
untuk lebih memahami apa itu etika global dan pluralisme. Karyanya yang berjudul Islam: Past Present and Future cukup membuat orang lupa bahwa ia seorang Kristen. Sebagaimana pengakuannya, buku ini dibuat dalam rangka menanggapi kasus kartun pelecehan terhadap
Nabi Muhammad SAW, melalui diskusi seimbang dan gagasan konstruktif. Kung secara tegas menolak ide ”benturan peradaban” Huntington karena menurutnya yang mesti dikedepankan adalah dialog demi tercapainya keharmonisan antar peradaban.
Muhammad Anis15 menerangkan dalam tulisannya di Kompas16, Hans Kung memang dikenal sebagai teolog yang cinta perdamaian dan persahabatan agama-agama manusia.
Sebagai seorang yang memiliki andil besar dalam ”Forum Parlemen Agama-agama Dunia” di
Chicago pada tahun 1993, yang dihadiri sekitar 6.000 partisipan, Kung berhasil membuat draf
yang diberi judul Declaration Toward A Global Ethic. Kung memberikan orasi ilmiah dalam parlemen tersebut yang inti gagasannya seputar perdamaian diabadikan dalam torehan tinta
sejarah sebagai karya pemikiran manusia brilian: ”Tak ada perdamaian dunia tanpa
perdamaian antaragama, tak ada perdamaian antaragama tanpa dialog antaragama, dan tak ada dialog antaragama tanpa mengkaji fondasi agama-agama.”
Berpatokan pada sebuah prinsip kuno, what you do not wish to yourself, do not do to others or what you wish done to yourself, do to others17, muncul empat komitmen yang cakupannya sangat luas bagi perilaku manusia, yaitu:
1. Komitmen pada budaya non-kekerasan dan hormat pada kehidupan. Dalam hal ini
manusia diajak untuk merenungkan kembali petunjuk yang mengatakan bahwa semua
orang mempunyai hak untuk hidup, selamat dan mengembangkan kepribadiannya
secara bebas sejauh mereka tidak merugikan hak-hak orang lain
2. Komitmen pada budaya solidaritas dan tata ekonomi yang adil. Kita harus
memanfaatkan kekuasaan ekonomi dan politik untuk melayani kemanusiaan dan
bukan untuk menyalahgunakan dalam perang yang tidak benar
15
Doktor Bidang Pemikiran Politik Islam, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 16
Ungkapan yang sama juga dilontarkan oleh Seyla Benhabib tentang the golden rule dan etika timbal-bali. Lihat Joas Adiprasetya, hal. 41
17
Hans Kung dan Karl-Josef Kuscher, A Global Ethic:The Declaration of the Parliament of the World’s
3. Komitmen pada budaya toleransi dan hidup yang tulus. Kita tidak boleh
mencampuradukkan kebebasan dengan kesewenang-wenangan atau pluralisme
dengan ketakpedulian terhadap kebenaran
4. Komitmen pada budaya kesejajaran hak dan kerjasama antara laki-laki dan
perempuan. Hubungan antara laki-laki dan perempuan seharusnya tidak bersifat
patronasi atau ekploitasi, tapi dengan cinta, kerjasama, dan saling mempercayai.18
Sejauh ini, transformasi terdapat dalam wilayah seperti perang dan perdamaian,
ekonomi dan ekologi, yang dalam dekade terakhir terjadi beberapa perubahan fundamental.
Transformasi ini juga harus berlangsung dalam wilayah etik dan nilai-nilai. Setiap individu
mempunyai martabat yang intrinsik dan hak yang tidak boleh diganggu gugat, sekaligus
memiliki kewajiban yang tidak bisa dilepaskan dari yang dilakukan dan tidak dilakukan.
Semua keputusan dan perbuatan, bahkan kelalaian dan kegagalan mempunyai konsekuensi.19 Dalam deklarasi universal etika global terdapat beberapa prinsip pokok yang melandasi
pentingnya perdamaian dunia yang dibangun secara kultural oleh peranan umat beragama.
Misalnya, deklarasi itu harus bisa diakses oleh kepentingan semua agama, dan kepentingan
yang ada harus berpedoman pada dasar-dasar humanisasi. Kung amat menekankan
pentingnya penerapan the golden rule atau yang dikenal sebagai etika timbal-balik (ethic of reciprocity), yang berbunyi: ”Berbuatlah kepada orang lain, sebagaimana Anda ingin orang
lain berbuat kepada Anda. Jangan berbuat kepada orang lain, sebagaimana Anda tidak ingin orang lain berbuat kepada Anda.”20 Jalan tengah Saat menjadi juru bicara perdamaian, Kung tidak hanya mewakili umat Kristen. Menurutnya, setiap kekuatan yang mendorong ke arah
perdamaian harus dipandang bermanfaat bagi humanisme global.
Pertemuan Dewan Parlemen agama-agama dunia di Chicago tahun 1993 telah menyetujui
deklarasi penting bagi setiap umat manusia di dunia. Di sinilah setiap manusia dengan
konteks keagamaan yang berbeda menjadi satu untuk mencapai perdamaian dan keadilan.
Perwujudannya nampak jika semua agama secara bersama bisa mencapai minimal konsensus
tentang nilai, norma, dan prinsip dasar dalam tiap agama. Agama-agama dunia harus
mengakui tanggung jawab untuk bekerjasama demi keadilan menyeluruh, perdamaian abadi,
dan hubungan yang lebih langgeng dengan ekosistem, daripada membuat garis pemisah satu
sama lain.21
Pancasila: Kemanusiaan dan Etika Global
Pemaknaan kemanusiaan Pancasila dapat dipandang sebagai usaha untuk membawa
kembali Pancasila sebagai wacana publik (public discourse). Pengembalian Pancasila sebagai
wacana publik merupakan tahap awal krusial untuk pengembangan kembali Pancasila sebagai
ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus-menerus sehingga tetap relevan dalam
kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pada gilirannya, pembudayaan kemanusiaan
Pancasila akan berkontribusi bagi penguatan karakter bangsa dalam rangka tata hubungan
peradaban global.
Dalam pidato Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 1 juni 2006 ia mengatakan
bahwasannya pancasila merupakan ideologi bangsa indonesia untuk mencapai kesejahteraan
bersama dan keadilan sosial meskipun ideologi globalisasi seperti kapitalisme dan liberalisme
menembus, mempenetrasi semua bagian dari dunia ini. Ia mengatakan:
“Bangsa yang cerdas dalam era globalisasi, bukan bangsa yang terus mengeluh , menyerah , dan marah , tetapi bangsa yang secara cerdas mampu mengalirkan sumber-sumber kesejahteraan yang tersedia di arena global itu. Apakah teknologi, apakah modal, apakah informasi, yang akhirnya kita gunakan dengan baik untuk meningkatkan kesejahteraan kita, meningkatkan kepentingan kita. Sering saya katakan, don't be a loser, jangan mau jadi orang yang kalah. Mari kita menjadi
pemenang, to be a winner dalam globalisasi ini.”22
Konsep “kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam Pancasila mengacu pada
hubungan internal antara manusia dan segenap ciptaan di alam semesta. Dalam rasio “kemanusiaan yang adil dan beradab”, manusia dapat dipengaruhi serta merespon sesamanya dan dengan tindakan manusia susila, mereka dapat meluaskan bentang eksistensinya menuju
realitas eksistensi yang lebih luas dari diri sendiri kepada sesama, keluarga, komunitas sosial,
21
Hans Kung, kata pengantar dalam Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama-Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global, Jakarta: Gunung Mulia, 2010, hal. XIV
22
negara, semua yang berada di alam semesta, yang sekarang ini diterjemahkan dengan makna
globalisasi. Menurut Azyumardi Azra (2008) ada yang membuat Pancasila semakin sulit dan
marjinal dalam semua perkembangan yang terjadi. Pancasila terlanjur tercemar karena
kebijakan rezim Soeharto yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk
mempertahankan status quo kekuasaannya. Rezim Soeharto juga mendominasi pemaknaan
Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan secara paksa melalui Penataran P4.23
Sila Kemanusiaan mempunyai pengertian bahwa komunikasi antar manusia di semua
tingkat yang manusiawi serta hubungan antar manusia senantiasa adil. Dalam arti ini,
kebaikan apa pun apabila tidak adil itu tidak baik, dan perbuatan yang tidak adil tidak pernah
benar. Demikian pula makna beradab mengandaikan tuntutan paling dasar Pancasila agar
manusia membawa diri selalu secara beradab. Sebaliknya, kelakuan yang tidak beradab tidak
pernah bisa benar. Pancasila merupakan gambaran sesungguhnya dari masyarakat indonesia
yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan keberadaban. Namun dalam sejarah Indonesia ada
sejarah yang kelam seperti ketika G30S yang berusaha untuk meruntuhkan Pancasila.
Kegagalan G30S disebabkan karena perebutan kekuasaan negara yang tidak sesuai Pancasila.
Penculikan dan kemudian pembunuhan pimpinan TNI/Angkatan Darat adalah cermin
perilaku yang tidak Pancasilais, tidak sesuai dengan sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan
beradab. Oleh karena itu, hari kegagalan G30S, yaitu tanggal 1 oktober juga diperingati
sebagai hari “Kesaktian Pancasila”24
.
23
Slamet Subekti, Pemaknaan Humanisme Pancasila Dalam Rangka Penguatan Karakter Bangsa Menghadapi Globalisasi
24
Dalam agama islam, kemanusiaan dan etika global dijunjung tinggi. Bahkan ada
beberapa ayat yang secara terang menerang menegaskan pentingnya berbuat baik kepada
sesama manusia bukan sebaliknya seperti membunuh dan lain-lain. Ayat-tersebut yaitu
Dalil Al-Quran:
Tentang Kemanusiaan
“Barangsiapa yang membunuh (seorang) manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka
seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan
(seorang) manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”
(QS. Al Maidah: 32).
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu
karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Q.S Al-Imran:103)
Tentang Globalisasi
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila
mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka
dengan sekonyong-konyong, Maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. Al-An’am:
Kesimpulan
Realitas dalam masyarakat Indonesia saat ini adalah maraknya kerusuhan sosial di
sejumlah daerah dan tingginya tingkat korupsi dan maraknya kekerasan yang menunjukan
bahwa nilai-nilai pancasila itu belum diterapkan dalam kehidupan sehari hari dan bahwa
tatanan sosial masyarakat Indonesia sudah berubah. Sedangkan rumusan etika global akan
terealisasi jika diletakkan dalam konteks Civil Society. Perwujudannya nampak jika semua agama secara bersama bisa mencapai minimal konsensus tentang nilai, norma, dan prinsip
Daftar Pustaka:
Adiprasetya, Joas, Mencari Dasar Bersama: Etik Global Dalam Kajian Postmodernisme dan Pluralisme Agama, Jakarta: Gunung Mulia
A. Ubaedillah & Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, Ham, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayullah Jakarta, 2014
F. Knitter, Paul, Satu Bumi Banyak Agama-Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global, Jakarta: Gunung Mulia, 2010
Geovanie, Jeffrie, Civil Religion Dimensi Sosial Politik Islam, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013
Hamidi, Jazim, Civic Education antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010
K. Bertens, Etika, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007
Kung, Hans dan Josef Kuscher, Karl, A Global Ethic: The Declaration of the Parliament of
the World’s Religious, New York: Continuan,1993
Latif, Yudi, Negara paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011
Subekti, Slamet, Pemaknaan Humanisme Pancasila Dalam Rangka Penguatan Karakter Bangsa Menghadapi Globalisasi
Sulastomo, Cita-Cita Negara Pancasila, Jakarta: Kompas, 2014
Weiss, Piero & Taruskin, Richard, Music in the Western World: A History in Document
(1984)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menata Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila, Sekretariat Negara Republik Indonesia, 2006
Jurnal Malaysia. http://web.usm.my/kajh/
www. Kompasiana.com, Muhammad Anis, Etika Global dan Pluralisme Kung. diunggah 18
Juni 2010, pukul 13:41 WIB