• Tidak ada hasil yang ditemukan

Memahami Pemaknaan Diri dan Integritas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Memahami Pemaknaan Diri dan Integritas "

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Memahami Pemaknaan Diri dan Integritas Diri Orang

Indonesia

Oleh Bagus Takwin

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Abstrak

Tulisan ini membahas mengenai pemaknaan diri dan integritas orang Indonesia dengan menggunakan kerangka pikir teori psikologi budaya. Teori yang digunakan adalah teori self-construal yang pertama kali dikemukakan oleh Markus dan Kitayama (1991). Data yang digunakan adalah informasi dari literatur dan hasil survey mengenai self-construal orang Indonesia di Jawa dan Sumatera, ditambah dengan data kualitatif yang diperoleh dari wawancara mendalam terhadap 15 orang Indonesia. Berangkat dari dugaan mengenai tidak jelasnya pesan budaya yang disampaikan masyarakat Indonesia kepada individunya sehingga menghasilkan kebingungan untuk memaknai dan mendefinisikan diri pada mereka, penulis mencoba mengenali self-schemata dan sistem-diri serta kaitanya dengan integritas diri orang Indonesia. Hipotesis yang diajukan adalah kebingunan dalam pemaknaan dan pendefinisian diri menghasilkan kebingungan dalam merumuskan konsep integritas karena dalam praktek sosial sehari-hari gejala perilaku atau praktek yang disebut integritas tidak jelas wujudnya. Implikasinya, representasi gejala integritas diri tidak utuh dalam self-schemata orang Indonesia. Di bagian akhir, diajukan rekomendasi mengenai apa yang perlu dilakukan masyarakat Indonesia untuk memperjelas konsep integritas dan penerapannya dalam praktek sosial sehari-hari orang Indonesia.

Bagaimana orang Indonesia memahami integritas? Bagaimana kita memahami integritas orang Indonesia? Apa pengertian integritas dalam budaya Indonesia?

Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab oleh masyarakat Indonesia dalam rangka menghasilkan orang-orang yang berintegritas. Tanpa jawaban yang jelas kita tidak bisa merumuskan pengertian integritas dan orang Indonesia yang berintegritas. Mengapa demikian? Karena secara umum kata integritas yang diterakan pada seseorang merujuk pada istilah integritas diri dan dengan demikian tak dapat dilepaskan dari pemaknaan dan pemahaman orang itu terhadap dirinya. Integritas diri baru dapat diupayakan dan dicapai setelah orang mendefinisikan dirinya lewat pemaknaan dan pemahaman terhadap dirinya dalam konteks budaya tempat mereka berada.

(2)

implikasinya terhadap konsep integritas diri. Kemudian saya mengemukakan analisis saya mengenai self-construal orang Indonesia dan implikasinya terhadap konsep integritas diri orang Indonesia berdasarkan data yang diperoleh melalui survei di Jawa dan Sumatera.

Tulisan ini didasari dugaan mengenai tidak jelasnya pesan budaya yang disampaikan masyarakat Indonesia kepada individunya sehingga menghasilkan kebingungan untuk memaknai dan mendefinisikan diri pada mereka. Kebingunan dalam pemaknaan dan pendefinisian diri menghasilkan kebingungan dalam merumuskan konsep integritas karena dalam praktek sosial sehari-hari gejala perilaku atau praktek yang disebut integritas tidak jelas wujudnya. Implikasinya, representasi gejala integritas diri tidak utuh dalam self-schemata orang Indonesia. Di bagian akhir, saya mengajukan rekomendasi mengenai apa yang perlu dilakukan masyarakat Indonesia untuk memperjelas konsep integritas dan penerapannya dalam praktek sosial sehari-hari orang Indonesia.

Tulisan ini bukan hasil kajian empirik yang sistematis dan ketat, melainkan lebih semacam gugahan untuk komunitas psikologi Indonesia memikirkan kembali mengenai identitas orang Indonesia dan implikasinya terhadap konsep integritas diri. Ini dapat dimaknai sebagai sebuah ekplorasi awal untuk studi lebih lanjut. Di sini, saya hanya menawarkan sebuah jalan berpikir yang mungkin dapat ditempuh untuk memperjelas pemahaman kita mengenai identitas dan integritas orang Indonesia.

Integritas Diri dan Self-Construal

Kata integritas berasal dari bahasa Latin, integritas, yang artinya (1) setia pada prinsip moral; dan (2) keadaan utuh, menyeluruh, atau tak tergoyahkan. Ini berarti integritas tak dapat dipisahkan dari prinsip moral dan etis yang pada intinya merupakan perwujudan dari nilai moral. Nilai moral merupakan nilai yang dianut oleh kelompok orang atau masyarakat tertentu. Nilai moral menjadi standar, panduan dan pendorong bagi orang dalam bertingkahlaku. Nilai menjadi dasar dan kriteria evaluasi terhadap diri individu dalam masyarakat. Orang yang bertindak sesuai dengan nilai moral dianggap sebagai orang yang berintegritas, sebaliknya orang yang bertindak tidak sesuai dengan nilai moral dianggap tidak berintegritas. Lalu, untuk dapat dikatakan berintegritas, seseorang harus menempilkan kesesuaian antara tindakannya dengan nilai moral itu secara terus-menerus. Orang yang sepeti ini dikatakan memiliki keutuhan diri, tidak tergoyahkan.

(3)

individu akan menentukan bagaimana individu memaknai, memahami, dan kemudian mendefinisikan dirinya. Berdasarkan definisi diri itu individu kemudian dievaluasi integritasnya.

Penjelasan mengenai self-construal yang dikemukakan Markus dan Kitayama (1991) memberi pemahaman mengenai peran pesan budaya terhadap diri individu. Lebih jauh lagi, konsep ini menjelaskan pengaruh budaya terhadap konsep tentang diri. Self-construal dapat diartikan sebagai pengenalan atau pemaknaan terhadap diri. Konsep ini menambahkan penjelasan mengenai pengaruh budaya terhadap self-concept (konsep diri) yang lazim digunakan dalam psikologi. Konsep-diri didefinisikan sebagai cara kita mengerti atau memaknai rasa kedirian kita. Dengan konsep self-construal dapat dijelaskan lebih jauh bahwa konsep-diri seseorang dipengaruhi oleh budaya tempat ia berada. Self-construals merujuk pada persepsi yang dimiliki individu tentang pikiran, perasaan dan tindakan mereka dalam hubungannya dengan orang lain. Self-construal dapat didefinisikan juga sebagai konstelasi pikiran, perasaan, dan tindakan yang menyangkut hubungan diri dengan orang lain dan diri sebagai yang berbeda dengan orang lain.

Dengan konsep self-construal, Markus dan Kitayama (1991) menjelaskan pengaruh budaya terhadap emosi, kognisi, dan motivasi. Ambil contoh satu sifat diri, misalnya baik hati. Jika seseorang mendefinisikan dirinya sebagai orang yang baik hati, berarti konsep baik hati itu “mengakar”, “didukung” dan “diperkuat” dalam skema kognisi tentang dirinya dan mempengaruhi pikiran, perasaan, dan tindakannya. Definisi diri seseorang bukan hanya mempengaruhi bagaimana ia memandang dirinya, tapi juga bagaimana ia memandang dunia (hubungan dengan orang lain, tempat, peristiwa yang terjadi). Definisi seseorang tentang dirinya adalah inti dari keberadaannya, secara sadar maupun tidak dan secara otomatis mempengaruhi tingkah lakunya.

Budaya berperan besar dalam membentuk definisi seseorang tentang diri dan identitasnya. Setiap orang tumbuh dalam lingkungan budaya yang unik. Lingkungan itu membentuk, mengikat, dan mencetak definisi seseorang mengenai dirinya. Setiap budaya memiliki tugas budaya dan individu disosialisasikan agar memenuhi tugas itu. Budaya yang berbeda akan menghasilkan konsep-diri yang berbeda. Dengan kata lain, definisi orang tentang dirinya pada satu budaya bisa berbeda dengan budaya lain.

(4)

self-construal independen. Orang barat memiliki definisi diri yang bercorak independen (independent construal of self). Sedangkan budaya Timur secara konvensional memaknai diri sebagai bagian dari konteks sosial yang lebih luas. Konsep diri dalam budaya Timur mencakup karakteristik dan kualitas dari lingkungan sosial, yang kemudian membentuk representasi self-construal interdependen. Orang Non-Barat atau Timur memiliki definisi diri yang bercorak interdependen (interdependent construal of self). Konsep dan temuan Markus dan Kitayama kemudian diperkuat oleh temuan dari Trafimow, Triandis dan Goto (1991), lalu Singelis (1994) yang berhasil mengukur kecenderungan self-construal secara kuantitatif, dan juga van Baaren et al. (2003, 2004, 2004a).

Berdasarkan uraian pada bagian ini dapat dipahami bahwa integritas diri yang mensyaratkan adanya definisi diri tidak dapat dilepaskan dari budaya. Isi pikiran dari konsep integritas diri mencakup isi pikiran dari konsep-diri dan nilai-nilai budaya. Hal ini pun berlaku untuk pendefinisian integritas diri orang Indonesia. Kita perlu memahami bagaimana pemaknaan dan pendefinisian diri orang Indonesia, apa isi dari definisi itu, serta bagaimana budaya mempengaruhi pemaknaan dan pendefinisian diri orang Indonesia. Dari situ, baru kita dapat memahami bagaimana orang Indonesia memaknai dan memahami integritas diri dan bagaimana integritas diri orang Indonesia dapat ditingkatkan.

Tipologi Self-Construal

Seperti yang sudah disebutkan terdahulu, pada pokoknya ada dua tipe construal: self-construal independen dan self-self-construal interdependen (Markus & Kitayama, 1991). Pada awalnya ada dua jenis self-construal, yaitu self-construal independen dan self-construal interdependen. Self-construal independen merujuk pada persepsi yang dimiliki seseorang tentang dirinya yang memiliki batas yang jelas dan memisahkan dirinya dari orang lain, serta memberikan prioritas yang lebih tinggi untuk tujuan pribadi daripada tujuan kelompok. Self-construal interdependen merujuk pada pendefinisian diri seseorang berdasarkan hubungannya dengan orang lain dan memberikan prioritas yang lebih tinggi untuk tujuan kelompok daripada tujuan pribadi. Kemudian, self-construal interdependen dibagi menjadi dua: relational-interdependent self-construal (disingkat menjadi relational self-construal) dan collective-interdependent self-construal (Cross, Bacon, & Morris, 2000). Kita bahas rinciannya masing-masing.

(5)

individunya adalah individu perlu dan harus menjadi mandiri, menemukan dan mengekspresikan karakteristiknya yang unik. Untuk itu, individu perlu dan harus membangun dirinya dengan merujuk kepada pemikiran, perasaan dan tindakannya sendiri; bukan merujuk orang lain. Untuk dapat membangun dirinya agar otonom dan mandiri, individu perlu melalui serangkaian proses yang menguatkan dan mengembangkan dirinya sebagai entitas yang terpisah dari yang lain. Proses itu mencakup aktualisasi diri, konfigurasi unik kebutuhan, hak dan kapasitas, membangun potensi diri yang berbeda, dsb.

Pemaknaan diri interdependen (interdependent construal of the self) mengandung kepercayaan dalam budaya non-barat. Pesan budaya yang disampaikan kepada individunya adalah setiap individu mengalami saling ketergantungan. Bukan inner self yang penting, melainkan hubungan antar individu. Asumsi dasar mengenai keberadaan manusia adalah bahwa setiap orang memiliki ketergantungan kepada orang lain. Kebersamaan dengan orang lain yang saling tergantung dianggap merupakan keberadaan dasar manusia. Makna dari saling ketergantungan antara individu adalah setiap orang merupakan bagian dari kebersamaan yang tak dapat dipisahkan dan hanya dapat hidup dalam kebersamaan. Saling tergantung antar individu berimplikasi bahwa setiap orang harus melihat dirinya sebagai bagian dari hubungan sosial yang meluas. Tingkahlaku individu ditentukan, bergantung, dan hingga derajat tertentu diorganisasi oleh apa yang dipercaya individu merupakan pemikiran, perasaan dan tindakan orang lain dalam suatu hubungan. Makna dari keberadaan individu dalam pemaknaan diri interdependen adalah individu menjadi bagian integral dari situasi atau konteks, disesuaikan dan diasimilasi. Singkatnya, individu tidak terpisah dari individu lain, melainkan dihubungkan oleh relasi-relasi sosialnya.

Tabel Perbedaan Self-construal Independepen dan Self-construal Interdependen

__________________________________________________________________

Komponen SC Independen SC Interdependen

__________________________________________________________________

Definisi Terpisah dari konteks sosial Terhubung dengan konteks sosial

Struktur Membatasi, independen, stabil Fleksibel, berubah-ubah

Ciri-ciri penting Internal, pribadi (kemampuan, Eksternal, publik (status, peran, pemikiran, perasaan) hubungan)

Tugas Menjadi unik Terlibat, menjadi sesuai

Mengekspresikan diri Menempati tempat yang tepat

Merealisasikan sifat internal Menggunakan aksi yang tepat Mempertimbangkan tujuan Mempertimbangkan tujuan orang

sendiri lain

Terus terang, “mengatakan apa Tidak terus terang, “membaca yang dipikirkan apa yang dipikirkan orang

(6)

merendahkan penilaian khusus

Penentu harga diri Kemampuan untuk mengekspresikan Kemampuan untuk menyesuaikan diri, membenarkan atibusi diri diri, menahan diri, menjaga harmoni

dengan sosial.

_______________________________________________________________________________ Sumber: Markus dan Kitayama (1991)

Penjelasan mengenai dasar tipologi self-construal diambil oleh Markus dan Kitayama (1991) dari pemikir-pemikir terdahulu mengenai hubungan psikologi dan budaya. Dari Neisser (1976) dipahami bahwa makna diri dikonseptualisasi sebagai bagian dari self-schemata yang dipergunakan untuk mengevaluasi, mengorganisasi dan meregulasi pengalaman dan tindakan. Makna diri sebagai schemata adalah pola-pola tingkahlaku masa kini dan masa depan (Neisser, 1976). Self-schemata menurut Markus (1977) adalah generalisasi kognitif mengenai diri, diturunkan dari pengalaman masa lalu, yang mengorganisasi dan memandu pengolahan informasi terkait-diri yang dikandung dalam pengalaman sosial individu. Dari definisi ini kita bisa memahami bahwa pengalaman sosial menentukan self-schemata yang kemudian memberi dan membentuk kesadaran diri individu. Jika pengalaman sosial dalam budaya memberikan informasi atau pesan kepada individu bahwa ia adalah entitas terpisah dari yang lain, maka ia akan memaknai dirinya dengan pemaknaan diri independen. Di pihak lain, jika pengalaman sosial dalam budaya memberikan informasi atau pesan kepada individu bahwa dirinya adalah bagian dari relasi dengan orang lain, maka ia akan memaknai dirinya dengan pemaknaan diri interdependen. Markus juga mengemukakan istilah aschematic yang artinya tidak memiliki skema atau bukan merupakan skema. Ini untuk menyebut atribut, sifat atau karakteristik yang tidak penting bagi individu sehingga tidak menjadi bagian dari self-schemata. Atribut yang masuk kategori aschematic tidak berpengaruh terhadap tingkah laku individu.

(7)

self-construal yang berbeda. Orang dengan self-self-construal independen (dari Budaya Barat) mengenali pengetahuan tentang diri mereka secara lebih distinktif dan terelaborasi daripada pengetahuan tentang orang lain, sedangkan orang dengan self-construal interdependen (dari Budaya Non-Barat) mengenali pengetahuan tentang orang lain lebih terelaborasi dan distinktif daripada pengetahuan tentang diri sendiri.

Perbedaan pendefinisian diri juga dapat terjadi dalam satu budaya (Cross, Bacon, & Morris, 2000). Bahkan dalam budaya yang lebih menekankan pentingnya otonomi dan independensi bisa terdapat orang-orang yang mementingkan hubungan dekat dengan sesama anggota kelompoknya dan menyertakan hubungan itu dalam pendefinisian-diri. Pendefinisian dengan dasar pemaknaan semacam ini yang disebut self-construal relasional. Berbeda dengan self-construal interdependen-kolektif, self-construal relasional lebih sedikit memasukkan karakteristik kelompok dalam pendefinisian diri, tetapi lebih banyak memasukkan orang lain ke dalam pendefinisian diri daripada self-construal independen. Individu dengan self-construal relasional yang tinggi juga lebih besar kemungkinannya memiliki jejaring kognitif yang teratur dari informasi mengenai hubungan dan kedekatan dengan orang lain Cross, Morris, & Gore, 2002). Mereka juga cenderung memberi perhatian kepada pengungkapan diri pasangan dan mitra hubungan mereka, serta dapat menghasilkan deskripsi yang secara relatif akurat mengenai nilai dan kepercayaan teman serumah mereka (Cross, Gore, & Morris, 2003a).

(8)

Namun konsistensi diri melalui pencapaian tujuan yang koheren dengan konsep-diri tidak terkait dengan dengan well-being pada individu yang self-construal relasionalnya tinggi.

Konsistensi Diri dan Implikasinya Terhadap Integritas Diri

Studi-studi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pendefinisian-diri dipengaruhi oleh budaya dan dengan demikian konsep integritas diri pun dipengaruhi oleh budaya. Oleh karena itu dalam usaha memahami integritas diri orang Indonesia kita perlu memahami pengaruh budaya Indonesia terhadap proses pendefinisian-diri orang Indonesia. Pesan-pesan apa yang disampaikan budaya Indonesia kepada individu Indonesia? Sejauh mana pesan itu ditangkap dan ditanggapi oleh individu Indonesia? Bagaimana pengaruh proses komunikasi individu Indonesia dengan budaya terhadap pendefinisian-diri dan pembentukan integritas diri mereka?

Terkait dengan integritas diri yang didasari oleh konsistensi diri, kita mendapatkan pemahaman dari studi mengenai pengaruh budaya terhadap konsistensi diri. Studi mengenai konsistensi diri di beberapa budaya menunjukkan hasil yang mendukung bahwa pendefinisian-diri memberi pengaruh terhadap konsistensi pendefinisian-diri dan kemudian terhadap konsep integritas pendefinisian-diri. Beberapa studi menunjukkan bahwa pada orang Timur hubungan baik dengan orang lain lebih dinilai penting daripada konsistensi diri (di antaranya Suh, 2002; Spencer-Rodgers et al., 2009; English & Chen, 2007, 2011). Orang Timur lebih mau mengorbankan konsistensi dirinya daripada hubungan baiknya dengan orang lain. Demi hubungan baik dengan orang lain mereka bersedia bertingkahlaku tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dirinya. Yang lebih dijaga konsistensinya pada orang Timur adalah hubungan baik dengan orang lain.

Dengan dasar ini saya mencoba memahami identitas dan konsep integritas orang Indonesia untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan bagaimana orang Indonesia memahami integritas dan apa pengertian integritas dalam budaya Indonesia.

Self-Construal Orang Indonesia

(9)

kecenderung = 4%). Jika kita begitu saja menafsirkan hasil ini, maka masyarakat Indonesia tidak dapat begitu saja dikategorikan sebagai masyarakat yang cenderung memandang individu otonom dan mandiri atau masyarakat yang memandang individu terhubung dengan yang lain karena dua kecenderungan itu ada di Indonesia.

Dari hasil survey ada indikasi bahwa makna hidup orang Indonesia terkait baik dengan keberhasilan diri sendiri maupun keterlibatan dalam hubungan dengan orang lain. Hubungan sosial dibutuhkan oleh orang Indonesia meski tidak selalu memberikan perasaan yang baik dan nyaman. Mereka merasa nyaman disapa dengan nama panggilan tanpa tambahan kata sapaan bapak/ibu/mas/mbak/kakak, dsb. Mereka menganggap usaha dan kesuksesan pribadi penting tetapi tetap mempertimbangkan nama baik keluarga. Mereka berusaha menjaga harmoni kelompok tetapi tetap ingin dirinya sukses dan merasa bertanggung-jawab atas susah dan senangnya diri sendiri. Mereka menghormati keputusan kelompok tetapi juga merasa nyaman menjadi pribadi yang unik. Mereka menganggap penting ekspresi pribadi tetapi juga beradaptasi dengan kelompok dan menjaga agar tingkah laku mereka tidak mengecewakan kelompok.

Jika hasil ini dipahami dengan kerangka tipologi construal, tampaknya tipe self-construal relasional yang dominan di Indonesia. Orang Indonesia, berdasarkan responden survey ini, melibatkan orang-orang dari kelompoknya dan orang signifikan lainnya dalam mendefinisikan diri mereka. Tetapi mereka melakukan itu tidak atas dasar pesan budaya yang mereka terima secara umum, melainkan tergantung pada situasi di mana mereka berada. Ada indikasi mereka menganggap tidak mesti melibatkan karakteristik masyarakat Indonesia dalam pendefinisian mereka. Situasi tempat mereka berada lebih berpengaruh terhadap pendefinisian diri mereka. Perubahan situasi bisa jadi mempengaruhi perubahan definisi diri. Diri orang Indonesia lebih bersifat situasional dan bergantung pada interaksi yang intensif pada tempat dan waktu tertentu.

Jika hasil survey ini dapat diandalkan, bagaimana kita memahami integritas orang Indonesia? Apakah perubahan definisi diri itu merupakan indikasi tidak adanya konsep integritas diri pada orang Indonesia? Atau integritas diri harus dipahami secara khusus pada orang Indonesia? Ini perlu didiskusikan secara khusus.

(10)

merupakan bagian dari sistem-diri orang Indonesia? Saya berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut satu persatu.

Pesan Budaya Yang Diterima Oleh Orang Indonesia

Berdasarkan data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam terhadap 15 orang Indonesia diperoleh pemahaman mengenai beragamnya pesan budaya yang diterima oleh individu Indonesia. Secara umum dalam ranah hubungan sosial, partisipan mendapatkan pesan untuk menghormati orang yang lebih tua, seperti orang tua, kakak, dan tokoh yang dituakan dalam masyarakat.

Di ranah pendidikan, para partisipan mengakui didorong untuk bersaing dengan orang lain untuk mendapatkan prestasi yang baik. Mereka didorong untuk belajar dan mampu menyelesaikan studi tepat waktu. Tetapi, mereka juga dinasihati untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain, seperti guru, dosen dan teman-teman di sekolah dan di kampus mereka. Dua partisipan mengaku bahwa orang tuanya mengupayakan mereka masing-masing untuk dapat diterima di universitas yang baik dengan menghubungi orang-orang yang mungkin dapat membantu mereka diterima di universitas yang baik. Bahkan orang tua mereka mau membayar lebih agar mereka dapat diterima kuliah di sana. Menurut keduanya, dari kecil orang tuanya berupaya sedemikian rupa agar mereka mendapat sekolah yang baik.

Di ranah pekerjaan, hormat dan patuh kepada atasan dinilai penting, tetapi persaingan dengan sesama rekan kerja juga dinilai penting. Seorang partisipan mengatakan bahwa orang tua dan orang-orang yang signifikan baginya memberi pesan, “Sekarang ini semua orang bersaing. Kalau kamu kalah bersaing, kamu akan ketinggalan, tidak dapat apa-apa. Orang semakin banyak, persaingan makin ketat. Kamu harus punya keahlian khusus supaya selalu dipakai dan dapat pekerjaan (yang penghasilannya) baik.”

(11)

orang lain juga. Saya harus jaga perasaan orang lain. Jadinya saya lihat situasi saja, tergantung situasi saya harus seperti apa.”

Ada indikasi partisipan mengalami kebingungan dalam menafsirkan mereka harus menjadi apa. Apakah mereka harus menjadi orang yang fokus pada keberhasilannya atau mereka peduli kepada orang lain dan mempertimbangkan orang lain dalam membuat keputusan. Seorang partisipan menyatakan, “Sebenarnya saya bingung kita orang Indonesia itu individualistik atau tidak. Kalau kita lihat di jalan di Jakarta, sepertinya individualistik. Orang berebutan dapat jalan. Kalau jam makan di food court atau di mal, orang rebutan tempat duduk. Tapi kita juga tidak enak dan tidak suka melihat orang lain mementingkan dirinya sendiri. Kalau ada yang berani ngomong sembarangan atau frontal, kita menilai mereka kurang tahun sopan santun atau kurang luwes. Terus kita tidak bisa sukses sendiri, mesti bagi-bagi, maksudnya mesti bantu orang lain juga, keluarga, teman. Tapi kalau susah, sepertinya ya mesti dijalani sendirian susahnya.”

Para partisipan juga mengakui adanya ketaksaan dalam praktek sosial di Indonesia. Misalnya, ada tindakan yang dinilai baik tetapi tidak dilakukan. Ada nilai yang diakui dianut oleh orang Indonesia, tetapi tidak diterapkan dalam perilaku sehari-hari. Sebaliknya ada tindakan yang dinilai buruk tetapi dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, bahkan diajarkan. Mereka mengaku kadang terpaksa melakukan juga tindakan yang dinilai tidak baik itu sebab situasi menuntut demikian.

Dari hasil wawancara ini, ada indikasi ketidakjelasan pesan budaya Indonesia untuk individunya. Apa yang diharapkan kepada mereka tidka didasari oleh nilai dan prinsip yang koheren dan konsisten. Apa yang harus mereka lakukan tergantung situasi. Mereka menyimpulkan pesan yang mereka terima secara jelas hanya menyesuaikan diri dengan situasi tempat mereka berada dan pandai-pandailah membaca situasi. Lalu, ada nilai yang diterima dan dianggap baik oleh hampir semua orang tetapi pada prakteknya nilai itu tidak diterapkan. Di sisi lain ada tingkah laku yang dianggap tidak baik namun pada prakteknya itu ditampilkan, disosialisasikan dan diajarkan kepada individu.

(12)

perilaku sehari-hari yang dapat diamati, masyarakat Indonesia menampilkan persaingan yang keras antar individu, kecenderungan lebih mementingkan kepentingan dan pencapaian pribadi daripada kepentingan bersama, mengabaikan aturan tertulis dan lebih mengikuti “aturan” yang berlaku di lapangan, mendorong individu untuk memperoleh keuntungan pribadi sebanyak mungkin, lebih menghargai pencapaian individual terutama dalam hal penghasilan dan kekayaan, serta mencari cara-cara singkat untuk memperoleh keberhasilan.

Tidak jelasnya pesan budaya yang disampaikan masyarakat Indonesia kepada individunya mengakibatkan kebingungan dalam memaknai diri pada sebagian individunya. Tetapi ada juga yang berusaha menafsirkan pesan budaya secara lebih positif, partisipan dalam wawancara mengatakan bahwa keharusan kita bergantung pada situasi dan kemampuan membaca situasi penting sebab dalam kenyataannya segala sesuatu berubah terus. Menyesuaikan diri dengan situasi menjadi makin penting saat ini karena negara-negara di dunia ini bisa berhubungan dengan mudah dan saling mempengaruhi. Kita berinteraksi dengan banyak orang yang mungkin berbeda latar belakangnya sehingga untuk bisa membina interaksi yang baik kita perlu memahami mereka dan situasi tempat kita berinteraksi dengan mereka. Jawaban ini sejalan dengan temuan studi yang saya sebutkan terdahulu bahwa ada kecenderungan orang Timur untuk mengorbankan konsistensi diri demi menjaga hubungan baik dengan orang lain. Tetapi, dalam wawancara diperoleh juga tambahan pemahaman bahwa menjaga hubungan baik dengan orang lain itu menjadi semacam instrumen untuk mencapai keberhasilan diri. Seorang partisipan mengatakan, “Hubungan baik perlu dijaga supaya kita bisa dapat bantuan dari orang lain, tidak dijauhi. Di pekerjaan itu penting. Kita tidak boleh cari musuh. Kita harus paham orang lain supaya bisa berhasil.”

Self-schemata dan Sistem-Diri Orang Indonesia

Saya tidak melakukan penelitian khusus mengenai self-schemata dan sistem-diri orang Indonesia. Apa yang saya kemukakan di sini merupakan dugaan atau hipotesis yang saya peroleh dari penalaran menggunakan informasi dari studi yang ada dan pengamatan sehari-hari berinteraksi dengan orang Indonesia.

(13)

rumusan diri yang ajek membuatnya sulit menyesuaikan diri. Fleksibilitas menjadi penting baginya.

Pengalaman-pengalaman masa lalu orang Indonesia menjadi bahan generalisasi diri. Selain itu juga adanya maksim dan pepatah dalam suku-suku di Indonesia memberikan bahan bagi generalisasi diri orang Indonesia, seperti pepatah “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” “ngono ya ngono, ning ojo ngono (begitu yang begitu, tapi jangan begitu),” dan “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul.” Dalam pengalaman sosial individu Indonesia, membaca dan menyesuaikan diri dengan situasi dan mementingkan keberadaan orang lain merupakan muatan yang sering ditemui. Namun, bisa juga kita amati bahwa persaingan, kecenderungan mementingkan diri sendiri, keinginan menjadi lebih baik, lebih kaya, dan lebih sukses dari orang lain kini juga banyak ditayangkan dalam media massa, terutama televisi. Bisa jadi perpaduan itu semua menghasilkan self-schemata yang berisi kesadaran diri untuk menyesuaikan diri dengan situasi untuk mencapai keberhasilan diri sendiri. Tentunya dugaan ini perlu dikaji lebih lanjut dalam studi yang lebih sistematis, ketat dan mendalam.

Berdasarkan hipotesis mengenai self-schemata, saya menduga sistem-diri orang Indonesia didasari oleh keyakinan bahwa atribut dan sifat yang dimiliki seseorang itu selalu berubah. Mereka percaya bahwa orang dapat mengubah atribut dan sifat yang ada pada dirinya. Setiap penampilan diri merupakan ajang untuk belajar, bukan penampilan hasil akhir dari perkembangan diri, sehingga mereka menampilkan diri sesuai dengan apa yang dituntut situasi, bukan apa yang meneka anggap ajek sesuai dengan definisi diri. Mereka didorong oleh tuntutan situasi bukan oleh keinginan menjaga konsistensi diri. Dengan demikian, definisi dirinya pun berubah. Penampilan prima bukan tujuan utama. Tujuan mereka adalah belajar menyesuaikan diri. Ini juga mengingatkan kita pada kecenderungan banyak budaya di Indonesia yang menganggap bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara sehingga tidak perlu “ngotot” untuk mencapai semuanya dalam hidup. Sistem-diri tentu saja tidak bisa lepas dari budaya tempat individu berada. Budaya Indonesia ikut menentukan pendefinisian diri yang didasari oleh self-schemata dan sistem-diri. Kajian serius dan mendalam mengenai gejala-gejala ini di Indonesia dalam hemat saya sangat perlu dilakukan.

Makna Integritas Diri Bagi Orang Indonesia

(14)

Ada kemungkinan bahwa integritas diri dalam pengertian konsistensi antara konsep-diri dan tingkah laku tidak masuk dalam self-schemata kebanyakan orang Indonesia. Dengan sistem-diri yang mendorong orang Indonesia berubah-ubah mengikuti situasi yang ditempatinya, konsistensi diri tidak menjadi penting. Integritas bisa jadi lebih dimaknai dalam pengertian integritas sosial, harmoni yang dibangun dari hubungan yang baik dengan orang lain.

Jika dugaan ini dapat diandalkan, maka kita bisa menyimpulkan lebih jauh bahwa untuk menghasilkan integritas diri pada orang Indonesia, kita perlu mengupayakan terlebih dahulu integritas sosial. Sistem dan struktur sosial perlu ditata dan dijaga agar memiliki integritas. Jika sistem dan struktur sosial Indonesia tidak memiliki integritas, maka individunya pun tidak dapat mencapai integritas diri. Kekacauan struktur dan sistem sosial membuat individu sulit menentukan perannya. Individu jadi cenderung kembali mengikuti dorongan instinktif mempertahankan diri dengan mengikuti emosi dan intuisi menghindari kesakitan dan mendekati kenikmatan. Persaingan yang dilakukan dengan dasar “siapa kuat, dia menang” akan mengemukakan jika strutur dan sistem sosial tidak memiliki integritas dan tak mampu memberikan pesan yang jelas kepada para individunya.

Tetapi ini baru dugaan saya. Kita perlu kajian lebih serius dan mendalam untuk mendapatkan pemahaman yang lebih tepat. Ada dua jalan yang perlu dilakukan oleh masyarakat Indonesia (dan ini menurut saya menjadi tugas penting komunitas psikologi Indonesia). Yang pertama memikirkan ulang pengertian integritas diri, khususnya dalam konteks Masyarakat Indonesia. Yang kedua, memikirkan dan mencari cara mengubah pendefinisian diri orang Indonesia yang sangat terkait dengan budaya Indonesia.

Apa yg perlu dilakukan oleh masyarakat Indonesia?

(15)

Sosialisasi nilai dan penerapannya perlu dilakukan secara mendasar dan menyeluruh. Mendasar dalam arti itu dilakukan terhadap individu sejak usia dini. Pembiasaan, pembelajaran, dan peneladanan yang merupakan komponen inti pendidikan menjadi kunci penting. Individu perlu difasilitasi untuk memaknai pentingnya nilai-nilai itu dan penerapannya. Bukan berarti itu menjadi satu mata pelajaran tertentu, tetapi jauh lebih penting memfasilitasi individu untuk menerapkan nilai-nilai itu dalam praktek sosial dan memaknai bahwa penerapan itu merupakan hal yang penting untuk dilakukan demi mencapai kehidupan yang baik. Orang yang dapat diteladani perlu terdistribusi di semua ranah kehidupan tempat individu menjalani aktivitas sosial. Orang yang teladan itu semestinya adalah orang yang kongkret, hadir di hadapan individu, memiliki kesamaan dalam beberapa hal dan keteladannya realistik untuk ditiru dan diikuti.

Upaya lain yang penting untuk dilakukan terkait dengan membangun struktur dan sistem sosial yang jelas dan berintegritas adalah pemberian tanda yang jelas untuk apa yang baik/boleh dilakukan dan buruk/tak boleh dilakukan. Hukum perlu bekerja secara memadai. Ini sudah banyak dikemukakan oleh berbagai pihak. Dalam prosesnya saat ini, kita bisa berharap bahwa penerapan hukum di Indonesia semakin hari semakin baik.

Masyarakat Indonesia perlu memfasilitasi pemaknaan diri yang konstruktif dan sejalan dengan cita-cita/arah perkembangan Indonesia yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia. Pemaknaan ini dapat dilakukan melalui rekonstruksi ingatan kolektif. Halbswachs (1952|1992) mendefininisikan ingatan kolektif sebagai kumpulan ingatan yang ada pada sebuah masyarakat dan dapat direkonstruksi dalam kerangka rujukan masa kini. Ingatan kolektif dapat dipahami penampungan bersama informasi yang terdapat pada ingatan dua atau lebih anggota kelompok. Ingatan episodik individu perlu dilibatkan dalam membangun ingatan kolektif Indonesia. Setidaknya lewat keterlibatan dalam proses pemaknaan masa lalu Indonesia, individu dapat ikut mengalami secara mental apa yang terjadi di masa lalu. Mereka perlu difasilitasi untuk dapat melakukan perjalanan mental lebih jauh lagi ke masa lalu Indonesia. Dengan cara itu mereka dapat difasilitasi untuk memiliki identitas bangsa sebagai identitas sosial mereka.

(16)

Adanya verifikasi ingatan ini akan membangun makna baru tentang masa lalu. Di sini fungsi produktif dari menata ingatan bekerja. Konsep menata ingatan sesungguhnya mempersoalkan bahwa ingatan seseorang atau suatu kelompok masyarakat tak pernah sempurna. Tak ada yang bisa mengklaim, ingatannya yang paling lengkap, paling benar.

Pewarisan ingatan kolektif kepada individu baru tidak dapat dilakukan dengan menyuruh mereka menghafal dan menerima sejarah Indonesia apa adanya. Manusia bukan seperti gelas yang pasif diisi air, melainkan makhluk pengolah dan pencipta informasi yang aktif. Pikiran, perasaan dan tindakan manusia dipengaruhi oleh pengolahan dan penciptaan informasi dalam kognisinya. Begitu juga dengan tindakan sebagai warga negara atau sebagai anggota sebuah bangsa. Individu mengolah dan menciptakan informasi yang bermakna baginya dan memudahkannya bertindak. Informasi yang diperlukan untuk membentuk identitas bangsa pun perlu diolah oleh setiap individu. Dari pengolahan itu, mereka memperoleh makna dan dengan makna itu mereka menentukan tindakan. Ingatan kolektif pun perlu dipahami sebagai informasi yang perlu diolah dan diciptakan kembali dengan makna baru yang lebih kaya. Dengan begitu ingatan kolektif menjadi selalu relevan, begitu juga identitas bangsa.

Di hadapan begitu banyak tawaran ingatan yang ada di lingkungan, kebermaknaan ingatan kolektif tentang Indonesia menjadi kekuatan dan daya tarik yang membuat individu Indonesia lebih memilih untuk ikut memilikinya dan membaginya dengan orang lain. Individu perlu dilibatkan sebagai peserta dialog antar ingatan. Ingatan dan pemaknaan mereka perlu terjalin dengan ingatan kolektif Indonesia. Dengan cara demikian, kita bisa berharap menemukan identitas yang lebih jelas sehingga kemudian integritas sosial dan integritas diri individu dapat dibangun secara lebih jelas dan terjaga terus.

***

Daftar Pustaka

Cross, S. E., Bacon, P. L., & Morris, M. L. (2000). The relational-interdependent self-construal and relationships. Journal of Personality and Social Psychology, 78, 791-808. Cross, S. E., Gore, J. S., & Morris, M. L. (2003). The relational-interdependent self-construal,

self-concept consistency, and well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 85, 933–944.

Cross, S. E., & Morris, M. L. (2003a). Getting to know you: Relational self-construal, relational cognition, and well-being. Personality and Social Psychology Bulletin, 29, 512-523.

(17)

English, T., & Chen, S. (2007). Culture and self-concept stability: consistency across and within contexts among Asian Americans and European Americans. Journal of Personality and Social Psychology, 93, 478–490.

English, T., & Chen, S. (2011). Self-concept consistency and culture: The differential impact of two forms of consistency. Personality and Social Psychology Bulletin, 37, 838-849. doi:10.1177/0146167211400621

Gore dan Cross (2010). Relational self-construal moderates the link between goal coherence and well-being. Self and Identity, 9: 41–61, 2010.

Halbwachs, M. (1952|1992). On collective memory, Chicago (IL), The University of Chicago Press.

Kitayama, Markus, Tummala, Kurokawa, and Kato (1990). Culture and self-cognition. Unpublish manuscript.

Markus, H. (1977). Self-schemata and processing information about the self. Journal of Personality and Social Psychology, 35(2), 63-78. doi: 10.1037/0022-3514.35.2.63 Markus, H. R., & Kitayama, S. (1991). Culture and the self: Implications for cognition, emotion,

and motivation. Psychological Review, 98, 224-253.

Markus, H. & Wurf, E. (1987). The Dynamic Self-Concept: A Social Psychological Perspective. Annual. Review of Psychology, 38:299-337.

Neisser, U. (1976). Cognition and Reality. San Francisco: W.H. Freeman.

Singelis, T. M. (1994). The measurement of independent and interdependent self-construals. Personality and Social Psychology Bulletin, 20, 580-591.

Spencer-Rodgers, J., Boucher, H.C., Sumi C. Mori, S.C., Wang, L., & Peng, K. (2009). The dialectical self-concept: contradiction, change, and holism in east asian cultures. Personality And Social Psychology Bulletin, 35(1): 29–44. Doi: 10.1177/0146167208325772

Suh, E., M. (2002). Culture, Identity Consistency, and Subjective Well-Being.Journal of Personality and Social Psychology, 2002, Vol. 83, No. 6, 1378–1391. DOI: 10.1037//0022-3514.83.6.1378

Trafimow, D., Triandis, H. C., & Goto, S. G. (1991). Some tests of the distinction between the private self and the collective self. Journal of Personality and Social Psychology, 60, 649-655.

Van Baaren, R. B., Holland, R. W., Kawakami, K., & van Knippenberg, A. (2004). Mimicry and prosocial behavior. Psychological Science, 15, 71-74.

Van Baaren, R. B., Horgan, T. G., Chartrand, T. L., & Dijkmans, M. (2004a). The forest, the trees, and the Chameleon: Context dependency and mimicry. Journal of Personality and Social Psychology, 86, 453-459.

Gambar

Tabel Perbedaan Self-construal Independepen dan Self-construal Interdependen__________________________________________________________________

Referensi

Dokumen terkait

Kinerja manpower berdasarkan personal skill  Inisiatif  Tanggung jawab  Kemampuan berkomunikasi  Kemampuan bekerjasama Kinerja manpower berdasarkan pengetahuan

“Analisis Produksi Pada Mesin Speed Dengan Pendekatan Taguchi untuk Mengurangi Cacat Produk di PT Industri Sandang Nusantara”. Yogyakarta: Universitas

Beberapa hambatan yang dihadapi guru pada saat penerapan metode pemberian tugas disebabkan karena kemampuan daya tangkap siswa yang berbeda-beda, sehingga siswa

Kesimpulan penelitian adalah terdapat sekurangnya terdapat 4 nilai matematika yang terkandung pada batik besurek Bengkulu yaitu: Kesepakatan, Konsisten dalam sistem,

Kelompok sasaran dalam hal ini adalah karang taruna desa Balesari, Keca- matan Windusari, Kabupaten Magelang yang mempunyai keinginan memulai usaha elektroplating.

K omisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) bekerja sama dengan Fokus Muda dan jaringan Populasi Kunci (OPSI, GWL dan PKNI) telah melaksanakan serangkaian pelatihan

Perlakuan tersebut dilakukan untuk mengetahui pada susunan dan variasi persentase berapa persen akan terbentuk bata ringan dengan sifat mekanik yang memiliki kuat tekan

Berkaitan dengan perkara tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan hukum di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Pati,