Penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014
tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Tindak Pidana
Narkotika
Nazif Firdaus1, Elwi Danil2, Fadillah Sabri3, Irsal Habibi4 1234 Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Indonesia *Corresponding Author: [email protected]
Info Artikel:
DOI: 10.25072/jwy.v3i2.290
Diterima: 23 Juli 2019 |Disetujui: 25 September 2019 |Dipublikasikan: 30 September 2019 Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengkaji penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi yang dihubungkan dengan kasus tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Pati. Dari kasus tindak pidana narkotika tersebut diketahui bahwa dalam salah satu kasus mengupayakan diversi terhadap anak sedangkan terhadap kasus yang lain tidak diupayakan diversi. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Tipe penelitiannya adalah deskriptif dengan menggunakan data sekunder dengan didukung data primer yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa penerbitan Peraturan Mahkamah Agung Diversi Anak yang hanya mengharuskan hakim untuk melakukan upaya diversi dengan tidak melakukan konsolidasi dengan penegak hukum yang lain membuat ketidakpastian hukum dan merusak hakekat dari sistem peradilan pidana anak.
Abstract
This paper asks to review the application of Supreme Court (MA) Regulation Number 4 of
2014 concerning Diversity Implementation Guidelines that discuss narcotics crimes committed
by children in the Legal Area of the Tanjung Pati District Court. From the narcotics crime
case, one of the cases sought diversion to children while the other cases were not attempted the
diversion. The research method used in this study is a normative juridical method. The type of research is descriptive by using secondary data and be supported by primary data then analyzed qualitatively. The results of the study on the Issuance of Childhood Diversity Supreme Court Regulation are only asking for an assessment to diversify by not consolidating with the existing law enforcers to make permits and to damage the essence of the juvenile justice system.
Vol. 3 | No. 2 | September 2019 | Halaman : 155-176
http://ejournal.sthb.ac.id/index.php/jwy
Keywords:
Children; Diversion; Legal Certainty; Narcotics
Offense.
Kata Kunci:
Anak; Diversi; Kepastian Hukum; Tindak Pidana Narkotika.
A. PENDAHULUAN
Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut UU SPPA) menjelaskan bahwa dalam
penyelenggaraan sistem peradilan
pidana anak dikenal tiga bentuk kategori anak yang digolongkan sebagai anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU SPPA.
Anak yang berkonflik dengan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU SPPA, adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang diduga melakukan tindak pidana.1
Sedangkan anak yang menjadi korban menurut Pasal 1 angka 4 UU SPPA merupakan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Selanjutnya anak
yang menjadi saksi tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 merupakan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya
sendiri.2
Setiap tahun, anak yang menjadi pelaku suatu tindak pidana selalu
meningkat jumlahnya. Saat ini,
jumlah anak yang berkonflik dengan
hukum (ABH) menurut Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang disampaikan oleh Komisioner
Bidang Trafficking menyebutkan bahwa
pada enam tahun terakhir (2011-2017), jumlah anak yang berkonflik dengan hukum sangat mengkhawatirkan yaitu
mencapai 9.266 kasus.3 Sedangkan pada
semester pertama 2018, KPAI mencatat telah menangani 1.855 kasus anak yang berkonflik dengan hukum di antaranya
kasus narkoba4, pencurian, dan asusila
1 Fransiska Novita Eleanora, “Penerapan Diversi Terhadap Anak Dalam Sistem Hukum Pidana
Indonesia,” Jurnal Hukum to-ra 2, No. 2 (Agustus 2016): hlm. 382., https://doi.org/10.31227/osf.io/ gkb4w.
2 Rodliyah dan Joko Jumadi, “Implementasi Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum (Studi Kasus Di Pulau Lombok),” Jurnal Masalah-Masalah Hukum 42, No. 2 (2013): hlm. 274., https://doi.org/10.14710/mmh.42.2.2013.274-281.
3 Davit Setyawan, “KPAI: Enam Tahun Terakhir, Anak Berhadapan Hukum Mencapai Angka 9.266 Kasus,” 10 November 2017, https://www.kpai.go.id/berita/kpai-enam-tahun-terakhir-anak-berhadapan-hukum-mencapai-angka-9-266-kasus., diakses tanggal 2 Februari 2019.
4 Sujasmin, “Pemberian Remisi Bagi Narapidana dan Anak Pidana Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Menurut UU No. 12 Tahun 1995, dan Peraturan Pelaksanaannya,” Jurnal Wawasan Yuridika 2, No. 2 (28 September 2018): hlm. 155., https://doi.org/10.25072/jwy.v2i2.179.
menjadi kasus yang paling banyak
terjadi.5
Selain itu, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika oleh anak
sangat memprihatinkan.6 Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat dari 87 juta populasi anak di Indonesia, sebanyak 5,9 juta di antaranya menjadi pecandu narkotika dan sebanyak
1,6 juta anak sebagai pengedar.7 Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga menyebutkan bahwa pada semester pertama tahun 2018, KPAI tengah menangani 2.218 kasus yang berkaitan dengan kesehatan dan napza yang menimpa anak-anak. Sabanyak 15,69% di antaranya merupakan kasus anak pecandu narkotika dan 8,1% merupakan
kasus anak sebagai pengedar narkotika.8
Hal ini sejalan dengan prediksi yang disampaikan KPAI sebelumnya yang menyatakan bahwa selama kurun waktu 2014-2015 telah terjadi peningkatan
terhadap kasus penyalahgunaan
narkotika oleh anak mencapai hampir
400% dan diprediksi terus meningkat.9
Upaya pencegahan dan
penanggulangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum perlu dilaksanakan dengan seksama oleh setiap pihak. Salah satu upaya
pencegahan dan penanggulangan
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum saat ini dilaksanakan melalui
penyelenggaraan sistem peradilan
pidana anak.10 Penyelenggaraan sistem
peradilan pidana anak ini bertujuan agar dapat terwujudnya peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum sebagai
penerus bangsa.11 Tujuan tersebut
diwujudkan melalui pengaturan secara tegas mengenai keadilan restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan agar anak terhindar dari stigma negatif, sehingga anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosialnya
secara wajar.12
5 Arief Ikhsanudi, “Ada 504 Kasus Anak Jadi Pelaku Pidana, KPAI Soroti Pengawasan Ortu,” detiknews, 23 Juli 2018, https://news.detik.com/berita/d-4128703/ada-504-kasus-anak-jadi-pelaku-pidana-kpai-soroti-pengawasan-ortu., diakses tanggal 2 Februari 2019 pukul 10.41 WIB.
6 Gilang Fajar Shadiq, “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Narkotika New Psychoactive Subtances Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,” Jurnal Wawasan Yuridika 1, No. 1 (31 Maret 2017): hlm. 36., https://doi.org/10.25072/jwy.v1i1.126.
7 Annisa Ulva Damayanti, “5,9 Juta Anak Indonesia Jadi Pecandu Narkoba,” okenews, 6 Maret 2018, https://nasional.okezone.com/read/2018/03/06/337/1868702/5-9-juta-anak-indonesia-jadi-pecandu-narkoba, diakses tanggal 31 Januari 2019 pukul 16.00 Wib.
8 Ibid. 9 Ibid.
10 Dey Ravena, “Wacana Konsep Hukum Progresif Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia,” Jurnal
Wawasan Yuridika 23, No. 2 (2010): hlm. 160., https://doi.org/10.25072/jwy.v23i2.10. 11 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. 12 Ibid.
Diversi merupakan salah satu bentuk pembaruan hukum dalam sistem peradilan pidana anak. Diversi menurut Pasal 1 angka 7 UU SPPA merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Melalui diversi, aparat penegak hukum diberikan kewenangan untuk mengambil tindakan-tindakan bijaksana dalam menangani atau menyelesaikan masalah pelanggaran anak dengan tidak membawa perkara ke dalam
proses peradilan pidana.13 Upaya diversi
dilaksanakan melalui musyawarah yang melibatkan anak dan orangtua/ walinya, korban dan/atau orangtua/ walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional melalui pendekatan keadilan restoratif untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan kepada pemulihan kembali kepada keadaan
semula, dan bukan pembalasan.14
Dalam rangka mengusahakan pelaksanaan diversi yang lebih baik,
Mahkamah Agung menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung (Perma)
Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disebut Perma Diversi). Mahkamah Agung menerbitkan Perma tersebut karena memandang bahwa UU SPPA belum jelas mengatur tentang tatacara
dan tahapan proses diversi.15 Dalam
Pasal 3 Perma Diversi dijelaskan bahwa hakim anak wajib mengupayakan diversi dalam hal anak yang didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih, dalam bentuk surat dakwaan subsidaritas, alternatif, kumulatif, maupun kombinasi (gabungan).
Melalui ketentuan Perma di atas, Mahkamah Agung mencoba untuk memperluas ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU SPPA mengenai syarat dapat
dilaksanakannya diversi kepada
anak yang berkonflik dengan hukum. Namun, pengaturan demikian membuat ketidakpastian dalam penerapan diversi oleh penegak hukum kepada anak yang
13 Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya, Sistem Peradilan Pidana Anak (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2015), hlm. 68.
14 Azwad Rachmat Hambali, “Penerapan Diversi terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana,” Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum 13, No. 1 (27 Maret 2019): hlm. 16., https://doi.org/10.30641/kebijakan.2019.V13.15-30.\\uc0\\u8220{}Penerapan Diversi terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana,\\uc0\\u8221{} {\\i{} Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum} 13, No. 1 (27 Maret 2019
15 Konsiderans Peraturan Mahkamah Agung Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman
berkonflik dengan hukum, khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana yang mengatur ancaman pidana yang tinggi terhadap pelaku seperti dalam tindak pidana narkotika.
Ketidakpastian penerapan diversi dalam perkara tindak pidana narkotika terjadi karena penegak hukum seperti penyidik dan penuntut umum hanya berpijak kepada ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU SPPA, sebab memang Pasal 3 Perma Diversi mengatur secara jelas bahwa hakim anak yang berkewajiban melakukan upaya diversi. Dalam hal demikian penyidik dan penuntut umum tidak dimungkinkan melakukan diversi terhadap anak walaupun dalam berkas perkara, pasal yang disangkakan terhadap anak memuat ancaman pidana kurang dari 7 (tujuh) tahun di samping adanya ancaman pidana yang lebih dari 7 (tujuh) tahun. Selain itu, ketentuan yang demikian juga menyebabkan inkonsistensi dalam penerapan upaya diversi oleh hakim di pengadilan.
Dalam praktik penegakan hukum di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Pati terhadap penanganan dan penanggulangan anak yang berkonflik dengan hukum dalam perkara tindak pidana narkotika, sedikitnya terdapat 2 (dua) perkara tindak pidana narkotika yang terjadi selama tahun 2018. Dari kedua perkara tersebut, satu perkara diselesaikan melalui upaya diversi sedangkan perkara lainnya tidak dilaksanakan melalui upaya diversi, melainkan langsung melalui proses persidangan.
Hal ini mendasari penulis untuk mengkaji dan menelusuri bagaimanakah kepastian hukum pelaksanaan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam tindak pidana narkotika dengan meninjau pelaksanaan upaya diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam tindak pidana narkotika di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Pati.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan jenis penelitian yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis, yang memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem hukum normatif yang bersifat mandiri, tertutup, dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata. Penelitian ini menggunakan
pendekatan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan historis
(historical approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach). Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu bahan pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, karya ilmiah, artikel, serta dokumen yang berkaitan dengan objek penelitian, kemudian didukung dengan data primer berupa wawancara. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini,
dilakukan dengan studi kepustakaan. Metode pengolahan data melalui proses editing, dan analisis data dilakukan secara kualitatif.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pemberlakuan Perma Diversi
Diversi merupakan kewenangan sekaligus kewajiban bagi aparat penegak hukum (penyidik, penuntut umum, dan hakim) untuk mengupayakan diversi menurut syarat-syarat dan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA. Melalui ketentuan Pasal 3 Perma Diversi, Mahkamah Agung mencoba untuk memperjelas ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU SPPA mengenai syarat dapat dilaksanakannya diversi. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU SPPA, maka syarat pengajuan diversi hanya didasarkan kepada dua hal, yaitu pidana yang diancamkan kepada anak di bawah 7 tahun dan bukan sebuah pengulangan tindak pidana. Jika dilihat penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU SPPA tersebut, dapat diketahui bahwa pidana di bawah 7 tahun tersebut mengacu kepada hukum pidana, sedangkan bukan pengulangan tindak pidana mencakup tindak pidana yang dilakukan oleh anak, baik merupakan tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis termasuk tindak pidana yang diselesaikan melalui diversi.
Berdasarkan penjelasan Perma
Diversi terhadap Pasal 7 ayat (2) UU SPPA tersebut, maka ancaman pidana di bawah 7 (tujuh) tahun yang mengacu
kepada hukum pidana mempunyai arah patokan diversi kepada jenis dan berat ringannya tindak pidana yang dilakukan. Sedangkan prinsip hukum yang dianut oleh ketentuan Pasal 3 Perma, uang pengganti adalah ketentuan pidana yang memenuhi dan tidak memenuhi persyaratan diversi berdasarkan model dakwaan yang didakwakan penuntut umum kepada anak.
Berkaitan dengan tindak pidana narkotika, jika dilihat dari tujuan pelaksanaan diversi yang diatur dalam Pasal 6 UU SPPA, maka upaya diversi yang dilakukan oleh penegak hukum harus bertujuan sebagai berikut:
a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak;
b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
c. Menghindarkan anak dari
perampasaan kemerdekaan;
d. Mendorong masyarakat untuk
berpartisipasi; dan
e. Menanamkan rasa tanggungjawab kepada anak.
Selain mencapai tujuan diversi yang dijelaskan oleh Pasal 6 UU SPPA, berdasarkan Pasal 8 ayat (3) UU SPPA, upaya diversi juga wajib memperhatikan beberapa hal, yaitu:
a. Kepentingan korban;
b. Kesejahteraan dan tanggungjawab anak;
c. Penghindaran stigma negatif; d. Penghindaran pembalasan; e. Keharmonisan masyarakat; dan f. Kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban
Berdasarkan ketentuan tujuan diversi dan hal-hal yang harus diperhatikan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 8 ayat (3) UU SPPA tersebut, dapat diketahui bahwa dalam tindak pidana narkotika, negara atau setidak-tidaknya masyarakat luaslah yang menjadi korban tindak pidana tersebut. Dapat dikatakan bahwa dalam tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak, negara adalah yang menjadi korban dari tindak pidana.
Dalam hal demikian, negara selain menjadi korban di satu sisi, juga berkewajiban melindungi anak sebagai bagian dari pemenuhan hak-hak terhadap anak sebagaimana diatur dalam Konvensi Hak Anak, seperti anak berhak memperoleh kesempatan yang dijamin oleh hukum dan sarana lain, agar menjadikannya mampu untuk mengembangkan diri secara fisik, kejiwaan, moral, spiritual, dan kemasyarakatan dalam situasi yang sehat, normal sesuai dengan kebebasan dan harkatnya. Salah satu tujuan Konvensi Hak Anak ini dituangkan ke dalam prinsip kepentingan yang terbaik atas diri anak yang merupakan pertimbangan utama. Jika berbicara dari aspek tujuan ini, maka secara prinsip tidak ada hal yang menghalangi agar anak yang melakukan tindak pidana narkotika dilakukan upaya diversi.
Dilihat berdasarkan rumusan
Pasal 10 ayat (1) UU SPPA, dapat diketahui bahwa upaya diversi untuk mencapai kesepakatan diversi dalam menyelesaikan tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimun provinsi setempat, dapat dilakukan oleh penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, pembimbing kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat. Merujuk pada pasal tersebut, secara jelas dan terang, Pasal 10 ayat (1) UU SPPA, menyebutkan bahwa dalam hal tindak pidana yang dilakukan tanpa korban dapat langsung diselesaikan oleh penyidik dengan upaya diversi bersama dengan pembimbing kemasyarakatan dan dapat melibatkan tokoh masyarakat. Namun sayangnya, dalam hal anak yang berkonflik dengan hukum melakukan tindak pidana narkotika, meskipun merupakan tindak pidana tanpa korban (dalam artian korban secara langsung), penyidik tidak dapat melakukan upaya diversi karena pemahaman penyidik berpegang pada Pasal 7 ayat (2) UU
SPPA.16
Berkaitan dengan diversi ini, melalui pemberlakukan Pasal 3 Perma Diversi, secara prinsip tidaklah selaras dengan
16 IPTU Despa Ningrat, Pandangan Penegak Hukum Terhadap Perma Diversi, diwawancara oleh Narzif Firdaus dan Irsal Habibi, 10 April 2019.
tujuan pengupayaan diversi yang diatur dalam Pasal 6 UU SPPA. Pada butir b tujuan diversi, sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa tujuan diversi adalah untuk menghindarkan anak dari proses peradilan dengan menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan. Kehadiran ketentuan Pasal 3 Perma Diversi menunjukkan bahwa proses peradilan pidana telah berjalan dan dilaksanakan oleh penyidik dan penuntut umum, sebagai akibat tindakan yang dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan hukum yang diancam dengan pidana di atas 7 tahun. Jika peraturan pelaksana dari UU SPPA hanya mengacu kepada Perma Diversi, maka penerapan diversi terhadap tindak pidana yang ancaman pidananya di atas 7 tahun seperti tindak pidana narkotika, bukan hanya menimbulkan ketidakpastian hukum, tetapi juga telah bertentangan dengan tujuan diversi yang diamanatkan oleh UU SPPA.
Terhadap tindakan yang sama, dalam hal penerapan diversi dengan mengacu kepada Perma Diversi khususnya Pasal 3 Perma Diversi dan UU SPPA, maka sesuai dengan amanat pasal tersebut yang menyatakan bahwa “Hakim Anak wajib mengupayakan diversi dalam hal anak didakwa melakukan tindak pidana...”. Kata wajib mengupayakan dalam hal hakim dihadapkan terhadap perkara anak yang berkonflik dengan hukum, diancam dengan dakwaan subsider, alternatif, atau kumulasi, sedangkan dalam salah satu dakwaannya anak diancam dengan
pidana penjara di bawah 7 tahun, maka hakim tanpa memandang hal-hal subjektif terhadap anak wajib terlebih dahulu untuk mengupayakan diversi. Bukan malah sebaliknya, terhadap satu kasus diupayakan pelaksanaan diversi, sedangkan terhadap kasus yang lainnya anak yang berkonflik dengan hukum tadi tidak diberikan peluang untuk diupayakannya diversi.
Hal ini sebagaimana terjadi dalam kedua kasus tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan hukum di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Pati, terhadap perkara Nando, hakim terlebih dahulu mengupayakan diversi. Sedangkan terhadap perkara Apin, hakim sama sekali tidak memberikan peluang kepada terdakwa untuk diupayakan diversi, sehingga akhinya Apin divonis bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
2. Penerapan Diversi dalam Perkara Narkotika
Penanganan perkara melalui diversi dapat dilihat melalui Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Pati Diversi 7/Pid.Sus-anak/2018/PN Tjp terhadap perkara anak atas nama Wido Fernando panggilan Wido Fernando. Saat tindak pidana dilakukan, Wido Fernando berumur 17 tahun. Terdakwa ditangkap pada hari Minggu tanggal 6 Mei 2018 sekitar Pukul 23.00 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Mei 2018 bertempat di depan WC Pos
Kenagarian Hulu Air, Kec. Harau, Kab. 50 Kota atau setidak-tidaknya pada tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Pati yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Terdakwa pada hari tersebut bersama saksi Toni Fransisco panggilan Toni mengajak Wido Fernando panggilan Wido Fernando agar menemaninya pergi ke kelok 9 sekitar pukul 23.00 WIB untuk mengambil paketan ganja. Saat itu Wido Fernando menunggu Toni di parkiran sepeda motor, sedangkan Toni
pergi menuju WC depan Pos Lantas Fly
Over kelok 9 untuk mengambil ganja
miliknya. Keduanya ditangkap sesaat setelah Toni dan Wido Fernando akan meninggalkan lokasi dan mengambil ganjanya. Pada diri Wido Fernando tidak ditemukan barang bukti, sedangkan pada saksi Toni ditemukan 1 (satu) paket ganja yang dibungkus dengan lakban warna kuning.
Dalam dakwaannya, penuntut
umum mendakwa terdakwa telah melanggar Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut UU Narkotika) subsidair Pasal 131 ayat (1) UU Narkotika. Ancaman pidana penjara dalam pasal tersebut masing-masing untuk pelanggaran Pasal 111 ayat (1) UU Narkotika diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, sedangkan pelanggaran Pasal 131 ayat (1) UU Narkotika diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun penjara.
Dalam penetapan diversi tersebut, Wido Fernando diharuskan untuk melakukan pelayanan masyarakat di Kantor Wali Nagari Lubuak Alai selama 1 (satu) bulan yang dilaksanakan selama 4 (empat) jam setiap hari kerja. Selain itu, ia juga diwajibkan mengikuti kegiatan
sosial keagamaan (menjadi gharim) di
Mesjid Muchsinin yang bertempat di Jorong Balai Tangah selama 2 (dua) bulan.
Sedangkan terhadap perkara anak yang tidak dilakukan upaya diversi dapat dilihat dalam Putusan Nomor 9/ Pid.Sus.anak/2018/PN Tjp atas nama Alvin Junnito panggilan Alvin Junnito. Saat tindak pidana tersebut dilakukan, terdakwa berumur 17 tahun. Terdakwa pada hari Jumat tanggal 31 Agustus 2018, sekitar Pukul 22.00 atau setidak-tidaknya pada waktu lain pada bulan Agustus tahun 2018 bertempat di depan Kantor Departemen Agama di Jorong Tanjung Pati Nagari Koto Tuo, Kec. Harau, Kab. 50 Kota tertangkap sedang menggenggam 1 (paket) ganja kering seberat 4,55 gram. Berdasarkan surat keterangan bebas narkoba yang diterbitkan oleh Poliklinik 50 Kota Nomor 01/SKK/VIII/2018 tanggal 31 Agustus 2018 dinyatakan bahwa terdakwa positif menggunakan narkotika.
Dalam dakwaannya, penuntut
umum mendakwa terdakwa telah melanggar Pasal 111 ayat (1) UU Narkotika subsidair Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika. Ancaman pidana penjara dalam pasal tersebut masing-masing untuk pelanggaran Pasal 111 ayat (1)
UU Narkotika diancam dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun, sedangkan pelanggaran Pasal 127 ayat (1) UU Narkotika diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun penjara.
Dalam putusannya, hakim
menyatakan terdakwa Alvin Junnito terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tanpa hak memiliki narkotika golongan I jenis tanaman, dengan itu menjatuhkan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) kepada terdakwa.
Dari kedua putusan tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat inkonsistensi hakim dalam melaksanakan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam tindak pidana narkotika. Salah satu perkara, hakim mengupayakan dan melaksanakan diversi sebagai penerapan dari Pasal 3 Perma Diversi, sedangkan di perkara yang lainnya, hakim tidak memberikan peluang atau tidak mengupayakan diversi, melainkan langsung melalui proses pemeriksaan pengadilan.
Menurut pandangan dari penyidik yang juga selaras dengan pandangan dan penuntut umum diketahui
bahwa penyidik dan penuntut umum tidak mempunyai keberanian dalam mengupayakan proses diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam perkara narkotika. Penyidik dan penuntut umum sebagai akibat tidak mempunyai aturan pelaksana yang menjelaskankan ketentuan Pasal 7 UU SPPA hanya berpijak dan bepatokan pada
ketentuan undang-undang tersebut.17
Akibat pandangan dari penyidik dan penuntut umum tersebut dan Perma Diversi sebagai peraturan pelaksana dari UU SPPA, Pasal 10 ayat (1) UU SPPA tersebut, tidak dapat diterapkan secara maksimal dalam hal penyelesaian tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan hukum.
Dalam mengupayakan diversi
terhadap anak yang berkonflik
dengan hukum, penyidik, penuntut umum, dan hakim menyatakan bahwa pertimbangan utama penegak hukum dalam mengupayakan diversi mengacu kepada Pasal 9 UU SPPA, yaitu: a. kategori tindak pidana; b. umur anak; c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan d. dukungan lingkungan
keluarga dan masyarakat.18 19
Lebih lanjut, dijelaskan oleh penegak hukum tersebut bahwa dalam ketentuan
17 IPTU Despa Ningrat dan Jaksa Mirzanola, Pandangan Penegak Hukum Terhadap Perma Diversi, diwawancara oleh Narzif Firdaus dan Irsal Habibi, 10 April 2019.
18 Ibid.
19 Hakim Anak M. Iqbal Hutabarat, Pandangan Penegak Hukum Terhadap Perma Diversi, diwawancara oleh Narzif Firdaus dan Irsal Habibi, 11 April 2019.
UU SPPA telah secara jelas diuraikan mengenai pertimbangan yuridis dan pertimbangan non yuridis yang harus dipedomani oleh ketiga penegak hukum tersebut dalam hal mengupayakan diversi terhadap anak yang berkonflik
dengan hukum. Hal-hal yang
dipertimbangkan tersebut menyangkut syarat objektif dapat dilakukannya upaya diversi sebagaimana diatur oleh Pasal 7 ayat (2) UU SPPA, selain itu, juga telah diatur secara jelas, hal-hal yang harus diperhatikan selain hal yang harus dipertimbangkan dalam mengupayakan
diversi terhadap anak.2021
Lebih lanjut, penyidik dan penuntut umum mengharapkan, ketiga institusi penegak hukum sebagaimana diatur dalam UU SPPA, sama-sama mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk dapat mengupayakan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dapat bekerjsama dan berkonsolidasi untuk membuat peraturan pelaksana UU SPPA yang lebih baik sehingga sistem peradilan pidana anak tersebut berjalan
sesuai dengan koridornya.22
Penyidik dan penuntut umum menyampaikan bahwa model kerjasama antara ketiga institusi penegak hukum bukanlah hal yang tabu dan baru di Indonesia, telah banyak peraturan
bersama maupun kesepakatan bersama yang dibuat ketiga institusi dalam menjalankan undang-undang. Jika ketika institusi sama-sama mempunyai pandangan untuk menegakkan hukum dan keadilan, hal tersebut adalah hal tidak sulit sama sekali. Terkait dengan penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum ini, penyidik dan penuntut umum menyampaikan dulunya ada kesepakatan bersama terkait dengan penanganan anak yang berkonflik dengan hukum, hal ini dapat dibenarkan dengan mengacu kepada kesepakatan bersama tanggal 23 Desember 2009 yang berkaitan dengan penanganan anak yang berkoflik dengan
hukum.23
Berkaitan dengan perkara tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan hukum di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Pati, hakim menjelaskan bahwa dalam mengupayakan diversi ini, hakim sebagaimana ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU SPPA, melakukan upaya diversi dengan pertimbangan: a. kategori tindak pidana; b. umur anak; c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan d. dukungan lingkungan keluarga dan
masyarakat.24
20 IPTU Despa Ningrat dan Jaksa Mirzanola, loc.cit. 21 Hakim Anak M. Iqbal Hutabarat, loc.cit.
22 IPTU Despa Ningrat dan Jaksa Mirzanola, loc.cit. 23 Ibid.
Dalam dua perkara tindak pidana narkotika yang terjadi pada tahun 2018 tersebut, hakim menjelaskan bahwa hakim juga mempertimbangkan hal-hal sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) tersebut. Berikut dijelaskan pertimbangan hakim tersebut, yaitu: a. Kategori tindak pidana yang
dilakukan.
Berdasarkan ketegori ini, menurut hakim bahwa memang kedua anak yang berkonflik dengan hukum tersebut merupakan anak yang berkonflik dengan hukum dalam tindak pidana narkotika. Namun, berdasarkan berkas perkara yang dilimpahkan oleh penuntut umum kepada pengadilan, dapat diketahui bahwa dalam kedua perkara tersebut, kedua anak yang berkonflik dengan hukum tersebut jelas mempunyai peranan yang berbeda dalam melakukan tindak pidana narkotika, meskipun dakwaan primernya adalah sama yaitu Pasal 111 UU Narkotika.
Namun, dalam kronologis kejadian dan fakta yang terungkap saat proses penyidikan dan penuntutan berlangsung yang dituangkan dalam berkas perkara, diketahui bahwa Wido Fernando dan Alvin Junnito mempunyai porsi kesalahan yang berbeda. Terhadap Wido Fernando, saat dilakukan penangkapan, tidak ditemukan pada dirinya barang bukti, barang bukti ditemukan pada terdakwa lain yang saat ini berstatus DPO. Namun, berdasarkan uji klinik terkait dengan penggunaan narkotika, Wido Fernando terbukti menggunakan narkotika jenis ganja sejak bulan April
2018. Dalam hal kejadian perkara, saat Wido Fernando ditangkap oleh polisi, berdasarkan fakta yang tertungkap di berkas perkara dan laporan hasil
penelitian kemasyarakatan, Wido
Fernando hanya menemani Toni (DPO) untuk mengambil paket ganja milik Toni (DPO).
Sedangkan terhadap perkara
Alvin Junnito, pada saat dilakukan penangkapan, di tangan Alvin Junnito ditemukan 1 (satu) paket ganja kering seberat 4,55 gram. Selain itu, berdasarkan uji klinik berkaitan dengan penggunaan narkotika, Alvin Junnito terbukti positif menggunakan narkotika. Diketahui laporan hasil penelitian kemasyarakatan bahwa paket ganja yang ada di tangan Alvin Junnito, dibeli untuk digunakan bersama temannya.
Berdasarkan uraian di atas,
menurut hakim jika dibandingkan porsi kesalahan yang ada pada kedua anak yang berkonflik dengan hukum tersebut, jelas berbeda. Pertimbangan hakim tentu akan berbeda sesuai dengan bobot kesalahan yang dilakukannya, sehingga meskipun kedua anak yang berkonflik dengan hukum tersebut
sama-sama positif menggunakan
narkotika, namun menurut hakim keduanya tidaklah sama. Saat hakim menilai dan mempetimbangkan kasus Wido Fernando, hakim berkeyakinan bahwa Wido Fernando adalah korban
penyalahgunaan narkotika akibat
pergaulan. Sedangkan saat menilai dan mempertimbangkan kasus Alvin Junnito, Hakim menilai tindakan Alvin Junnito
seperti dijelaskan di atas, membuat dia mempunyai potensi yang sangat besar untuk melakukan dan melakukan lagi tindak pidana dan bahwa menjadi pengedar gelap narkotika. Oleh sebab itu, pertimbangan kategori tindak pidana yang dilakukan dalam hal ini juga harus mempertimbangkan bobot kesalahan dari tindakan yang dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan hukum tersebut. Menurut hakim pertimbangan demikian tidaklah dibuat dengan mudah dan
patut dihormati.25
b. Umur anak
Berkaitan dengan usia atau umur dari anak yang berkonflik dengan hukum dalam tindak pidana narkotika tersebut, dapat diketahu bahwa kedua anak yang berkonflik dengan hukum tersebut berusia 17 tahun. Namun, dalam pandangan hakim, bahwa meskipun dalam ketentuan UU SPPA dijelaskan pertimbangan umur, namun pemaknaannya tidak sekadar melihat umur dalam artian usia angka saja. Tetapi kita juga melihat usia sekolah dari anak yang berkonflik dengan hukum tersebut. Hubungan pendidikan sangat berperan dalam penentuan umur anak tersebut. Sebab jika bicara dengan umur, jelas bahwa pelakunya adalah seorang anak yang batas usianya telah ditentukan secara limitatif oleh undang-undang.
Sedangkan setiap orang yang tergolong sebagai anak yang berkonflik dengan hukum yang memenuhi kriteria umur dan memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPPA, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPPA, wajib dilakukan upaya diversi.
Pemaknaan umur anak dalam
mempertimbangkan diversi tidak
sekadar melihat umur anak dalam artian usia secara limitatif, tetapi juga menyangkut dengan perkembangan pendidikan anak. Oleh sebab itu, berkaitan dengan kedua kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan hukum di atas, hakim memiliki pertimbangan yang berbeda, terhadap Wido Fernando, hakim mempertimbangkan bahwa ia berusia 17 tahun dan saat itu tengah duduk di bangku kelas IX SMP, sedangkan terhadap Alvin Junnito, meskipun usianya sama dengan Wido Fernando, yaitu 17 tahun, namun sayangnya sudah putus sekolah sejak kelas VI SD. Hal ini kemudian didukung oleh hasil penelitian kemasyarakatan yang berkaitan dengan hubungan sosial anak yang berkonflik
dengan hukum tersebut.26
25 Ibid. 26 Ibid.
c. Hasil penelitian kemasyarakatan Penelitian kemasyarakatan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, dimaksudkan untuk mengungkapkan dan menemukan data dan informasi secara objektif tentang perkembangan dan latar belakang kehidupan klien anak dari berbagai aspek kehidupan, seperti sosiologis, psikologis, ekonomis, dan
lain sebagainya.27 Terungkapnya latar
belakang dan perkembangan klien anak akan lebih memberikan kemudahan bagi penegak hukum dalam mengemukakan rekomendasi yang akurat untuk menentukan dan menyelesaikan perkara anak yang berkonflik dengan hukum.
Dihubungkan dengan perkara
anak yang berkonflik dengan hukum dalam tindak pidana narkotika di atas, dapat diketahui bahwa hasil penelitian kemasyarakatan kedua anak yang berkonflik dengan hukum tersebut, yaitu:
1) Terhadap perkara Wido Fernando,
Wido Fernando merupakan anak dari keluarga menegah ke atas, Bapak Wido Fernando adalah seorang petani, sedangkan ibunya adalah seorang PNS. Wido Fernando dengan keluarganya termasuk saudara-saudaranya, mempunyai hubungan yang harmonis, setiap masalah dalam keluarga diselesaikan dengan cara
musyawarah. Wido Fernando dalam hubungan beribadah tergolong sebagai anak yang malas, namun sebagai umat Islam, ia berjanji untuk beribadah dengan lebih baik.
Wido Fernando tidak memiliki
riwayat pelanggaran hukum
sebelumnya dan tindakan klien melanggar UU Narkotika, adalah hal yang pertama dia lakukan. Wido Fernando merupakan anak yang merokok sejak umur 14 tahun dan akhirnya mencoba mengkonsumsi narkotika, sejak bulan April 2018 sejak berteman dengan Toni (DPO). Hubungan Wido Fernando dengan masyarakat cukup berjalan baik, masyarakat cukup prihatin dengan masalah yang menimpa Wido Fernando. Hubungan keluarga Wido Fernando dan masyarakat berjalan dengan baik di lingkungan tempat tinggalnya.
Latar belakang terjadinya kenalakan Wido Fernando diduga sejak berteman dengan saudara Toni (DPO), yang dia kenal sejak April 2018 lalu. Tanggapan dari keluarga dan masyarakat sekitar berkaitan dengan masalah yang terjadi pada Wido Fernando, mengharapkan hukuman yang seringan mungkin. Dalam hasil penelitian kemasyarakatan
27 Pembimbing Kemasyarakatan Jonaidi, Pandangan Penegak Hukum Terhadap Perma Diversi, diwawancara oleh Narzif Firdaus dan Irsal Habibi, 15 April 2019.
juga dijelaskan bahwa hal yang meringankan dari Wido Fernando adalah dia masih berstatus sebagai pelajar dan keluarga Wido Fernando menjamin untuk mendidik anaknya dengan baik. Perilaku Wido Fernando diakibatkan oleh pergaulan bebas dan pertemanan yang salah di luar rumah. Rekomendasi petugas pemasyarakatan adalah agar Wido Fernando dapat dihukum dengan seringan mungkin. Rekomendasi ini didasarkan karena Wido Fernando masih sekolah dan mengikuti pendidikan di kelas IX SMP, sehingga diharapkan Wido Fernando tidak putus sekolah dan dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi dan adanya kesanggupan dari orangtua Wido Fernando untuk mendidik Wido Fernando kembali.
2) Terhadap perkara Alvin Junnito,
merupakan anak dari keluarga menegah ke bawah, ayah Alvin Junnito telah meningga dunia, sedangkan ibunya adalah seorang buruh yang menerima upah dari memasak di kantin dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga di rumah temannya. Alvin Junnito dikenal sebagai anak yang sopan dalam keluarganya patuh terhadap orangtua. Perubahan sikap Alvin Junnito terjadi setelah ayahnya meninggal dunia dan keluarga Alvin Junnito harus pindah ke kampungnya. Alvin Junnito mempunyai potensi di bidang olahraga, selama ini Alvin Junnito senantiasa membantu keluarga
di rumah, hubungannya dengan saudaranya berjalan harmonis, namun Alvin Junnito semenjak pindah ke kampung pada malam hari sering sekali tidak berada di rumah.
Dari segi ibadah, Alvin Junnito termasuk rajin beribadah, dia juga bergabung dengan ikatan remaja masjid setempat. Alvin Junnito berhenti sekolah di kelas VI SD, dan sejak itu tidak melanjutkan lagi pendidikannya. Berkaitan dengan pelanggaran hukum, Alvin Junnito
pernah melakukan pencurian,
namun telah diselesaikan secara kemasyarakatan tanpa melibatkan pihak kepolisian. Alvin Junnito diketahui mulai merokok pada tahun 2014, diawali dengan merokok secara sembunyi-sembunyi dari orangtuanya, sedangkan saat ini, klien sudah berani terang-terangan merokok di depan orangtuanya.
Berdasarkan hasil penelitian
kemasyarakatan, Alvin Junnito terjerat UU Narkotika, karena sudah kecanduan, dan berniat membeli narkotika untuk dipakai bersama-sama teman-temannya.
Menurut masyarakat sekitar,
masyarakat di daerah tempat tinggal Alvin Junnito, telah merasa resah dengan perilaku anak-anak di sektar daerah tersebut, karena sudah banyak anak-anak daerah tersebut yang terlibat tindak pidana narkotika. Selain itu, pemerintah
tanggapan masyarakat dan sudah mencoba membatasi pergaulan tersebut agar anak tidak terlibat lagi dengan narkotika. Pemerintah setempat berharap Alvin Junnito dapat direhabilitasi. Rekomendasi dari lembaga pemasyarakatan agar hakim dapat mempertimbangkan klien anak dengan sebaik-baiknya, dalam rekomendasi tersebut tidak dijelaskan hal yang meringankan
terhadap anak.28
Dari kedua hasil penelitian
kemasyarakatan di atas dan
dihubungkan dengan pendapat hakim, bahwa dalam hal perkara diversi, hakim sangat mempertimbangkan laporan dari hasil penelitian kemasyarakatan. Hal ini dapat dilihat bahwa upaya diversi dilakukan oleh hakim, karena hakim memandang bahwa masyarakat dapat menerima Wido Fernando kembali, serta adanya jaminan dari keluarga untuk dapat kembali mendidik Wido Fernando dengan baik. Mengingat kehidupan ekonomi keluarga Wido Fernando tergolong mampu, terlebih lagi saat ini Wido Fernando tengah duduk di kelas 3 SMP. Sedangkan terhadap perkara Alvin Junnito, hakim menjelaskan bahwa melihat laporan masyarakat, dapat diketahui bahwa masyarakat maupun pemerintah setempat sudah kewalahan
dalam mengahadapi kasus narkotika di daerah tempat tinggal setempat. Melihat kondisi keluarga Alvin Junnito, juga tidak adanya jaminan dari keluarga akan dapat mendidik Alvin Junnito kembali, sehingga sangat berpeluang melakukan tindak pidana yang lebih berat. Terlebih lagi saat ini Alvin Junnito, tidak lagi
mengikuti pendidikan.29 Berdasarkan hal
tersebut, dapat diketahui bahwa tindakan hakim didasarkan pada Pasal 8 ayat (3) Perma Diversi yang menjelaskan bahwa dalam mengupayakan diversi, penegak hukum harus mempertimbangkan keharmonisan masyarakat.
d. Dukungan lingkungan keluarga dan
masyarakat
Dukungan dari keluarga dan masyarakat sangat berpengaruh dalam penentuan pelaksanaan diversi bagi anak yang berkonflik dengan hukum dalam melakukan tindak pidana. Dukungan keluarga dan masyarakat tersebut dapat mempengaruhi hakim dalam megupayakan atau tidak mengupayakan diversi terhadap anak seperti yang terjadi dalam dua kasus anak yang berkonflik dengan hukum di atas.
Berkaitan dengan ketentuan Pasal 3 Perma Diversi dan Pasal 7 ayat (1) UU SPPA, hubungan kedua kasus di atas, bukankah berdasarkan ketentuan tersebut. Pengupayaan diversi menjadi
28 Ibid.
sebuah kewajiban bagi hakim, jika anak yang berkonflik dengan hukum telah memenuhi persyaratan objektif seperti yang telah dijelaskan sebelumnya untuk dilakukan upaya diversi.
Terkait hal ini, hakim membenarkan bahwa mengupayakan diversi menjadi kewajiban bagi penegak hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, jika anak tersebut memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan untuk diupayakan diversi. Namun, dalam hal tindak pidana narkotika, ancaman dalam tindak pidana narkotika ini cukup tinggi, yakni di atas 7 tahun. Selain itu, tindak pidana narkotika juga dapat dikatakan sebagai tindak pidana tanpa korban. Hal ini menyebabkan hakim dalam menjalankan kewenangan dan kewajibannya yang diatur dalam Pasal 3 Perma Diversi harus penuh dengan kebijaksanaan. Hakim menilai bahwa tindakannya yang demikian merupakan bagian dari kebijaksanaan hakim yang patut dihormati oleh setiap pihak. Sebab jika hanya mengacu kepada Pasal 7 ayat (1) Perma Diversi, maka terhadap anak yang berkonflik dengan hukum yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana di atas 7 tahun, seperti dalam tindak pidana narkotika, memang tidak patut diupayakan diversi. Jika dalam hal ini hakim tetap mengupayakan
diversi terhadap anak tersebut, bukan tidak mungkin diversi akan tetap terjadi, namun sangat besar kemungkinan pengupayaan diversi tersebut membuat anak yang berkonflik dengan hukum tersebut melakukan tindak pidana yang lebih berat. Melalui pembinaan di Lapas anak, anak yang berkonflik dengan hukum tersebut dapat lebih baik lagi
dan bisa direhabilitasi. 30
Berkaitan dengan pengawasan
diversi sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 14 UU SPPA, hakim menjelaskan bahwa pengawasan diversi ini berada pada pejabat yang membuat kesepakatan diversi. Jika diversi dilaksanakan di tingkat penyidikan, maka atasan penyidik yang harus mengawasi, sedangkan jika diversi dilaksanakan di tingkat penuntutan, maka atasan penuntut umum yang berkewajiban mengawasi, begitu juga dengan kesepakatan diversi yang disepakati di tingkat pemeriksaan pengadilan, maka kewenangan pengawasan berada pada Ketua Pengadilan, dibantu oleh petugas pemasyarakatan untuk meninjau di lapangan terkait dengan pelaksanaan
diversi terhadap anak tersebut.31
Terhadap perkara Wido Fernando, dilakukan upaya diversi berdasarkan Penetapan Nomor 7/Pid.Sus-anak/2018/ PN Tjp, berdasarkan data di lapangan
30 Ibid. 31 Ibid.
yang disampaikan oleh petugas kemasyarakatan berdasarkan tugas dan tanggungjawabnya untuk melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap kesepakatan diversi, menujukkan bahwa Wido Fernando melaksanakan dengan baik kesepakatan diversi yang telah dibuat, hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya laporan dari petugas pemasyarakatan terkait dengan tidak
terlaksananya kesepakatan diversi
terhadap perkara Wido Fernando.32 33
Bertitik tolak dari penjelasan di atas, maka dalam hal penanganan tindak pidana narkotika di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Pati pada tahun 2018 seperti yang telah dijelaskan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan diversi yang telah diuraikan dalam Pasal 6 UU SPPA tidak tercapai, karena dapat dilihat dalam perkara Alvin dan Nando bahwa proses peradilan pidana telah berjalan terlebih dahulu sampai ke tahap penuntutan tanpa adanya upaya diversi yang dapat dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum.
Hal ini disebabkan memang Pasal 3 Perma Diversi mengatur secara jelas bahwa hakim anak yang berkewajiban melakukan upaya diversi. Dalam hal demikian, penyidik dan penuntut umum tidak dimungkinkan melakukan upaya
diversi terhadap anak walaupun dalam berkas perkara pasal yang disangkakan terhadap anak memuat ancaman pidana kurang dari 7 (tahun) di samping ancaman pidana yang lebih dari 7 (tujuh)
tahun.34
Dalam dua perkara tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan hukum selama tahun 2018 sebagaimana telah dijelaskan di atas, adalah sebagai akibat hukum dari pemahaman yang digunakan oleh penyidik dan penuntut umum terhadap kedua anak yang berkonflik dengan hukum tersebut dilakukan penyidikan dan penuntutan atau proses peradilan pidana.
Dilihat dari dua perkara tersebut, dapat diketahui dalam proses penyelesaian dan penanganan perkara anak dalam tindak pidana narkotika, terhadap perkara Nando dan Apin dari dimulainya penyidikan sampai ke tingkat penuntutan, masing-masing 40 hari untuk perkara Nando, dan 58 hari untuk perkara Apin. Dalam proses yang demikian, Nando dan Apin pastilah diperlakukan sesuai kedudukannya sebagai tersangka dan terdakwa, karena pada saat itu penyidik dan penuntut umum mempunyai pandangan bahwa keduanya akan diproses melalui proses peradilan pidana. Melalui pandangan itu
32 Ibid.
33 Pembimbing Kemasyarakatan Jonaidi, loc.cit. 34 IPTU Despa Ningrat dan Jaksa Mirzanola, loc.cit.
juga, maka penyidik dan penuntut umum akan berusaha untuk membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh Nando dan Apin, agar saat proses pemeriksaan perkara di pengadilan, diharapkan hakim dapat menjatuhkan putusan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan telah melakukan suatu tindak pidana.
Dilihat dari kemanfaatan Perma Diversi, khususnya setelah keduanya diproses melalui penyidikan dan penuntutan, sedangkan dalam konsep pikiran penyidik dan penuntut umum, Nando dan Apin akan diadili melalui mekanisme peradilan, maka dalam hal ini telah terjadi ketidakmanfaatan dalam proses penanganan dan penyelesaian terhadap perkara anak yang berkonflik dengan hukum dalam melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana di atas 7 tahun seperti tindak pidana narkotika. Dapat dilihat bahwa ketentuan Pasal 3 Perma Diversi, khususnya yang dihubungkan dengan UU SPPA, tidak memberikan manfaat terhadap dua aspek, yaitu:
a. Terhadap anak yang berkonflik dengan hukum sebagai seorang anak yang harus dilindungi yang sesuai dengan prinsip kepentingan terbaik anak sebagai prinsip dan hak yang harus dia miliki, maka hal demikian akan sangat merugikan bagi anak dalam tumbuh kembangnya. Sebut saja misalkan dalam perkara Nando, yang ternyata dilakukan upaya diversi oleh hakim, tentu akan berpengaruh dengan pendidikan
maupun fisik dan psikis Nando secara langsung karena harus menunggu
proses sampai diupayakannya
diversi terhadapnya di tingkat pemeriksaan pengadilan. Selain itu, proses penyidikan dan penuntutan terhadap dirinya juga pasti akan memberatkan dan membebankan Nando sebagai seorang anak, sehingga kepentingan terbaik anak sebagai hak tidak akan terpenuhi. b. Terhadap proses peradilan pidana
anak yang telah terjadi sebelum dilakukan upaya diveri oleh hakim di tingkat penyidikan. Pemberlakuan diversi yang demikian juga tidak akan mendatangkan efisiensi dalam sistem peradilan pidana anak. Hal ini akan berbeda jika dari awal ketentuan UU SPPA memang tidak mengatur kewenangan dan kewajiban dari penyidik dan penuntut umum untuk mengupayakan diversi, sehingga proses diversi memang harus dilakukan di peradilan. Namun, sayangnya diaturnya upaya diversi sebagai sebuah kewajiban dan kewenangan Penyidik dan penuntut umum seyogyanya merupakan
upaya untuk mengefisienkan
sistem peradilan pidana anak demi menjamin prinsip-prinsip dan hak-hak anak.
Apabila dihubungkan dengan ajaran Jeremy Bentham yang menyatakan bahwa kebahagiaan itu seharusnya dapat dirasakan oleh setiap individu. Namun, jika kebahagiaan itu tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin
dicapai), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa)
tersebut (the greatest happiness for the
greatest number of the people).35 Maka
seyogyanya setiap orang dalam kondisi yang sama mendapatkan perlakuan dan penanganan kasus yang sama demi menjunjung haknya terlebih dalam prinsip perlindungan anak.
D. PENUTUP
Penerapan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam tindak pidana narkotika dengan mengacu kepada Perma Diversi menyebabkan ketidakpastian hukum dan ketidakmanfaatan, karena penerapan Perma Diversi justru menyebabkan
keragu-raguan kepada penegak
hukum (khususnya penyidik dan penuntut umum) mengenai kewajiban mengupayakan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum sehingga justru prinsip kepentingan terbaik untuk anak tidak tercapai. Pertimbangan penyidik dan penuntut umum dalam upaya pelaksanaan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam tindak pidana narkotika hanya mengacu dan berpedoman kepada Pasal 7 ayat (2) UU SPPA, yaitu pidana
diancamkan di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan pengulangan tindak pidana. Ketentuan yuridis tidak terpenuhi, penyidik dan penuntut umum tidak
dapat mempertimbangkan secara
non yuridis. Sedangkan hakim dalam mempertimbangkan upaya pelaksanaan diversi, secara yuridis mengacu kepada ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU SPPA, Pasal 3 Perma Diversi. Namun, dalam pengupayaan diversi tersebut, hakim tidak senantiasa menjalankan kewajibannya untuk mengupayakan diversi didasarkan pada pertimbangan non yuridis hakim mengenai peranan anak dalam tindak pidana narkotika, serta hasil penelitian kemasyarakatan dan dukungan dari keluarga dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Damayanti, Annisa Ulva. “5,9 Juta Anak Indonesia Jadi Pecandu
Narkoba.” okenews, 6 Maret 2018.
https://nasional.okezone.com/ read/2018/03/06/337/1868702/5-9- juta-anak-indonesia-jadi-pecandu-narkoba.
Darmodiharjo, Darji, dan Shidarta.
Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan
35 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. 6 ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Eleanora, Fransiska Novita. “Penerapan Diversi Terhadap Anak Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia.”
Jurnal Hukum to-ra 2, No. 2 (Agustus
2016). https://doi.org/10.31227/osf.io/ gkb4w.
Hambali, Azwad Rachmat. “Penerapan Diversi terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam
Sistem Peradilan Pidana.” Jurnal
Ilmiah Kebijakan Hukum 13, No. 1
(27 Maret 2019): 15. https://doi. org/10.30641/kebijakan.2019.V13.15-30.
Hutabarat, Hakim Anak M. Iqbal. Pandangan Penegak Hukum
Terhadap Perma Diversi.
Diwawancara oleh Narzif Firdaus dan Irsal Habibi, 11 April 2019.
Ikhsanudi, Arief. “Ada 504 Kasus Anak Jadi Pelaku Pidana, KPAI Soroti
Pengawasan Ortu.” detiknews, 23
Juli 2018. https://news.detik.com/ berita/d-4128703/ada-504-kasus- anak-jadi-pelaku-pidana-kpai-soroti-pengawasan-ortu.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Anak, Pub. L. No. 11.
_____, Peraturan Mahkamah Agung.
Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pelaksanaan Diversi.
Jonaidi, Pembimbing Kemasyarakatan. Pandangan Penegak Hukum
Terhadap Perma Diversi.
Diwawancara oleh Narzif Firdaus dan Irsal Habibi, 15 April 2019.
Ningrat, IPTU Despa. Pandangan Penegak Hukum Terhadap Perma Diversi. Diwawancara oleh Narzif Firdaus dan Irsal Habibi, 10 April 2019.
Ningrat, IPTU Despa, dan Jaksa Mirzanola. Pandangan Penegak Hukum Terhadap Perma Diversi. Diwawancara oleh Narzif Firdaus dan Irsal Habibi, 10 April 2019.
Pramukti, Angger Sigit, dan Fuady
Primaharsya. Sistem Peradilan Pidana
Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia,
2015.
Ravena, Dey. “Wacana Konsep Hukum Progresif Dalam Penegakan Hukum
Di Indonesia.” Jurnal Wawasan
Yuridika 23, No. 2 (2010): 12. https:// doi.org/10.25072/jwy.v23i2.10.
Rodliyah, dan Joko Jumadi.
“Implementasi Diversi Terhadap Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum (Studi Kasus Di Pulau
Lombok).” Jurnal Masalah-Masalah
Hukum 42, No. 2 (2013): 8. https://doi. org/10.14710/mmh.42.2.2013.274-281.
Setyawan, Davit. “KPAI: Enam Tahun Terakhir, Anak Berhadapan Hukum
Mencapai Angka 9.266 Kasus.” kpai.
go.id, 10 Oktober 2017. https://www.
kpai.go.id/berita/kpai-enam-tahun- terakhir-anak-berhadapan-hukum-mencapai-angka-9-266-kasus.
Shadiq, Gilang Fajar. “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Narkotika New Psychoactive
Subtances Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika.” Jurnal Wawasan
Yuridika 1, No. 1 (31 Maret 2017):
35. https://doi.org/10.25072/jwy.
v1i1.126.
Sujasmin. “Pemberian Remisi Bagi Narapidana dan Anak Pidana Narkoba di Lembaga Pemasyarakatan Menurut UU No. 12 Tahun 1995, dan Peraturan Pelaksanaannya.”
Jurnal Wawasan Yuridika 2, No. 2
(28 September 2018). https://doi. org/10.25072/jwy.v2i2.179.