• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHARUAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBAHARUAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAHARUAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Makalah

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Islam Semester II

(Kelas 2A)

Disusun Oleh : Kelompok III

Heru Faktio Aji (160574201055)

Mardiana (160574201009)

M. Julizar Karyadi (160574201018) Oka Fratiwi (160574201040) Rilo Pambudi. S (160574201023) Sri Wahyuni (160574201024)

Yohannes (160574201000)

Dosen Pengampu: Rizaldy Siregar, S.Ag., M.A

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

(2)

ii KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, pengatur alam semesta yang karena limpahan nikmat dan karuniaNya kami dapat menyelesaikan dan menyusun makalah ini dengan judul: “PEMBAHARUAN HUKUM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM”.

Makalah ini disusun dengan maksud memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Islam. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan bahan bacaan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya sehingga mengetahui dan memahami pembaharuan-pembaharuan hukum islam.

Pada kesempatan ini penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada:

1) Kedua orang tua yang telah memberi dukungan moril dan materil serta doa dalam setiap usaha saya.

2) Bapak Rizaldy Siregar, S.Ag., M.A selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Hukum Islam yang telah memberikan arahan dalam pembuatan dan pengembangan materi makalah ini.

3) Dan teman-teman yang membantu dan membari masukan serta kritikan dalam penyusunan makalah ini.

(3)

iii Akhir kata semoga makalah ini dapat membawa manfaat yang positif bagi pembaca terkait pembaharuan hukum dalam perspektif hukum Islam. Amiin Yaa Rabbal „Alamiin.

Tanjungpinang, April 2017 Penyusun

(4)

iv DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penulisan ... 2

1.4 Manfaat Penulisan ... 3

BAB II PEMBAHASAN ... 4

2.1 Pengertian Pembaharuan Hukum Islam ... 4

2.2 Metode Pembaharuan Hukum Fikih Islam ... 6

2.3 Faktor Penyebab Pembaharuan Hukum Islam ... 8

2.4 Prinsip-Prinsip Pembaharuan Hukum Islam ... 10

2.5 Bentuk-Bentuk Pembaharuan Hukum Islam ... 14

2.6 Sasaran Pembaharuan Hukum Islam ... 17

2.7 Interpretasi Pembaharuan Hukum Islam ... 18

BAB III PENUTUP ... 19

3.1 Kesimpulan ... 19

3.2 Saran ... 19

(5)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum Islam sering dituduh sebagai penyebab dari kemunduran umat Islam. Beban psikologis ini tidak lain dikarenakan hukum Islam yang dalam sejarahnya lebih banyak (untuk tidak mengatakan seluruhnya) mengacu kepada kitab-kitab kuning yang ditulis pada abad-abad 2 dan 3 H, kemudian ditelan “mentah-mentah” sebagai kebenaran final dan par -exellence. Padahal banyak sekali dari produk-produk kitab kuning tersebut merupakan respon yang bersifat lokal dan partikular, sesuai dengan dimensi ruang dan waktunya. Akibatnya banyak sekali dari muatan produk hukum Islam yang diakomodir lewat kitab kuning tersebut mengalami “beban aktualitas”, tidak cukup antisipatif dalam merespon perkembangan zaman. Belum lagi dalam merespon perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan yang berkembang secara cepat dan mengglobal.

Oleh karena itu, agar tidak menjadi “gagap dan kaku”, sudah semestinya hukum Islam dituntut lebih fleksibel daya jangkauannya, baik sebagai social control maupun social engineering. Melihat kenyataan ini maka, perlu adanya pembaruan (tajdīd/renewal), baik secara individu maupun kelompok pada kurun waktu tertentu yang telah dimapankan pemikirannya oleh produk pemikiran lama. Agar umat Islam bisa lepas dari tuntutan sejarahnya dan agar tidak kehilangan rohnya dalam upaya memberi arah dan bimbingan bagi umat Islam dan seluruh manusia pada umumnya.

(6)

2 masyarakat mengalami perubahan sosial akibat faktor perkembangan zaman. Karenanya perubahan ini perlu direspon oleh hukum Islam, yang pada gilirannya hukum Islam diharapkan memiliki kemampuan fungsi social control dan social engineering. Hukum Islam sebagai suatu produk kerja intelektual

oleh para ahli hukum Islam, maka harus dipahami tidak hanya terbatas pada fikih saja. Persepsi yang tidak proporsional dalam memandang eksistensi hukum Islam sering melahirkan kekeliruan persepsi baru dalam memandang perkembangan atau perubahan yang terjadi dalam hukum Islam itu sendiri.

Ketika hukum Islam dipahami hanya fikih saja, maka kesan yang diperoleh adalah hukum Islam mengalami stagnasi dan tidak sanggup menjawab tantangan perubahan sosial di masyarakat. Hukum Islam tidak dilahirkan dari tempat yang hampa dan dalam ruang hampa, melainkan lahir di tengah dinamika pergulatan sebagai jawaban solutif atas problematika aktual yang sedang terjadi. Hukum Islam akan selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perkembangan ruang dan waktu yang melingkupinya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang di atas, permasalahan yang kami bahas adalah:

1) Bagaimana pembaharuan hukum dalam perspektif hukum Islam?

2) Apa yang menjadi prinsip dasar dalam pembaharuan hukum Islam?

3) Bagaimana bentuk-bentuk pembaharuan hukum Islam itu sendiri?

1.3 Tujuan Penulisan

(7)

3 1) Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Islam berkaitan

dengan pembaharuan hukum Islam.

2) Untuk menambah wawasan penyusun dan pembaca dalam hal pembaharuan hukum dalam perspektif hukum Islam. 3) Untuk mengetahui pengertian dan prinsip dasar pembaharuan

hukum Islam.

4) Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk pembaharuan hukum Islam.

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah:

1) Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan dalam bidang kajian Hukum Islam terkait dinamika pembaharuan hukum Islam.

2) Memberikan pemahaman mengenai pandangan hukum Islam dalam pembaharuan hukumnya.

(8)

4 BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pembaharuan Hukum Islam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata “pembaruan” sebagai proses, cara, perbuatan membarui. Membarui itu sendiri menurut KBBI bermakna (1) memperbaiki supaya menjadi baru, (2) mengulangi sekali lagi, memulai lagi dan (3) mengganti dengan yang baru, memodernkan (Depdiknas, 2005 : 109). Bila dikaitkan dengan kata “hukum” maka akan muncul frasa yang berbunyi : proses pelaksanaan pembaruan hukum melalui cara memperbaiki, memodernkan, atau mengganti dengan yang baru.

Dalam bahasa Arab pembaruan adalah terjemahan dari kata tajdid. Abdul Manan, Guru Besar dan Hakim Agung dalam bukunya Aspek Pengubah Hukum menjelaskan secara mendalam tentang pengertian tajdid ini berdasarkan sumber-sumber yang akurat. Arti terminologi tajdid berdasarkan pandangan Muhammadiyah diuraikan pula secara mendetail oleh Rifyal Ka`bah, Guru Besar dan Hakim Agung dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia. Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh

Muhammadiyah, Rifyal Ka`bah menyimpulkan bahwa pembaruan hukum menurut Muhammadiyah adalah gabungan dari tajdid dan ijtihad (Rifyal Ka`bah, 1999 : 115).

(9)

5 Gautama untuk menggunakan istilah pembaruan hukum, karena istilah ini lebih dekat untuk menggambarkan bagaimana menyusun suatu tata hukum yang dapat menyesuaikan diri pada perubahan yang terjadi pada masyarakat (Satjipto Rahardjo, 2009 : 15).

Menurut Ensiklopedi Islam (2005 : 32) sejak permulaan sejarahnya Islam telah mempunyai tradisi pembaruan (tajdid). Hal ini disebabkan tajdid mendapat pembenaran dan pengesahan dari Al-Qur`an (QS.7 : 170 dan QS.11 : 117) dan hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud : “Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini (umat Islam) pada permulaan setiap abad orang yang akan membarui

(memperbaiki) urusan agamanya” Frasa membarui urusan agama

(10)

6 2.2 Metode Pembaharuan Hukum Fikih Islam

Wahbah Zuhaili (2002 : 129) menyebut adanya lima metode pembaruan fiqih yang selama ini berjalan di kalangan umat Islam. Metode-metode tersebut adalah :

1) Metode Salafi. Metode ini mengajak umat kembali kepada fiqih kaum salaf, yakni para sahabat dan tabi`in, dan melepaskan diri dari keempat mazhab. Pelopor gerakan ini antara lain Muhammad Yusuf Musa, Syakih Muhammad Muntashir al-Kattani,dan Ruwwas Qala‟ji. Kelompok penganut metode ini mengajak untuk mempelajari kembali ijtihad para sahabat, terutama Umar bin Khattab.

2) Metode intiqa‟i atau ghawgha‟i. Wahbah Zuhaili mengartikan metode ini sebagai metode yang memilih apa yang terasa enak menurut keinginan pribadi dan hawa nafsu. Tinjauan metode ini sepintas dan tidak mendalam, padahal penganut metode ini tidak memiliki persyaratan sebagai seorang mujtahid. Sayang Wahbah Zuhaili tidak menunjukkan contoh ijtihad para penganut metode ini.

3) Metode `udwani. Metode ini memusuhi ketegasan fiqih Islam secara keseluruhan dan mengabaikan warisan peninggalan fiqih yang amat kaya dan telah diakui oleh tokoh-tokoh ahli hukum dan para praktisi hukum di dunia kontemporer. Meninggalkan fiqih Islam merupakan metode destruktif, karena menempatkan nash syar‟i pada posisi terakhir, dan mengambil apa yang dianggap memiliki maslahat berdasarkan hawa nafsu.

(11)

7 realitas, sebab hukum positif menetapkan relalitas hubungan sosial untuk mencapai stabilitas tanpa memandang moral dan agama.

5) Metode mu‟tadil mutawazin atau wasathi. Metode ini disebut juga metode moderat, seimbang, atau pertengahan. Metode ini dapat diterima secara syara‟ maupun akal, karena pertama, metode ini menjaga segala yang sudah tetap dalam syari‟ah; kedua, metode ini memperhatikan tuntutan-tuntutan perkembangan atas dasar mashlahah mursalah, termasuk urf (kebiasaan) umum, sebagai bentuk pengamalan semangat syari‟at tanpa “menabrak nash”. Metode inilah yang dipakai oleh para shabat, tabi‟in, dan para imam mazhab disetiap waktu dan masa. Metode ini berusaha mewujudkan otentisitas dan modernitas sekaligus. Metode ini juga mempertemukan dua hal : pertama, tetap berpegang teguh pada nash, dan kedua, tetap menjaga dan mempertemukan aspek kemaslahatan dan kebutuhan setelah melakukan pemahaman mendalam terhadap nash dan menjelaskan `illat-nya. Wahbah Zuhaili menunjuk contoh dalam dunia perbankan dengan munculnya bank-bank Islam, yang akhirnya berkembang ke seluruh dunia.

(12)

8 hukum yang non-netral seperti hukum keluarga. Beberapa pengamat telah menyimpulkan bahwa aspek-aspek yang membutuhkan pembaruan dalam Hukum Islam menyangkut isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi, dan kesetaraan gender. Ketiga isu ini terutama HAM dan kesetaraan gender ironisnya terdapat banyak dalam bidang hukum keluarga. Dengan menggunakan kriteria metode pembaruan dan justifikasi yang diutarakan Wahbah Zuhaili, persoalan pembaruan hukum dalam bidang hukum keluarga hampir-hampir tidak dapat dilakukan sama sekali. Pembaruan hukum keluarga di Indonesia terasa sulit ketika orang menjadi tabu untuk mempersoalkan paradigma-paradigma yang digariskan oleh Ushul Fiqih, padahal paradigma tersebut juga produk penafsiran yang tidak steril dari pengaruh kondisi dan situasi. Istilah-istilah negatif yang digunakan Wahbah Zuhaili terhadap metode-metode pembaruan seperti “memilih yang enak”, “keinginan pribadi”, atau “hawa nafsu” seharusnya disikapi dengan hati-hati, walaupun justifikasi Wahbah Zuhaili ini mewakili sebagian besar pandangan masyarakat Islam. Perlu studi dengan standar ilmiah yang diakui oleh dunia internasional apakah metode-metode tersebut memang benar-benar buruk, atau istilah negatif tersebut hanya menunjukkan sikap apologis semata-mata.

2.3 Faktor Penyebab Pembaharuan Hukum Islam

Stepen A. Siegel menyetakan bahwa permasalahan pemilu merupakan aktivitas tertua dalan sebuag negara bangsa di antara permasalahan permasalahan paling tua lainnya dalam hukum tata negara.

(13)

9 Menurut para pakar hukum Islam di Indonesia, pembaruan hukum Islam yang terjadi saat ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: Pertama, untuk mengisi kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab fikih tidak mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum masalah yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk diterapkan. Kedua, pengaruh globalisasi ekonomi dan IPTEK sehingga perlu ada aturan hukum yang mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya. Ketiga, pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum nasional. Keempat, pengaruh pembaruan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para mujtahid baik tingkat nasional maupun tingkat internasional, terutama hal-hal yang menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Selain itu, terdapat pula beberapa hal yang menjadi faktor pendukung dilakukannya pembaharuan hukum Islam antara lain:

1) Perubahan situasi dan kondisi zaman membawa perubahan cara berfikir ulama, maka berubah pula cara memberi interpretasi atas kehendak Allah, lalu membawa dampak perlunya perubahan dalam merumuskan fikih(hukum Islam); 2) Banyaknya masalah hukum dalam kehidupan sosial masa

kini yang belum terjangkau oleh rumusan fiqh lama;

3) Formulasi fiqh lama yang telah banyak yang sudah kurang memiliki daya laku di tengah masyarakat;

(14)

10 5) Dewasa ini muncul persoalan hukum di tengah masyarakat yang cukup cepat, sementara ketersediaan rumusan fiqh lama terbatas, sehingga perlu merumuskan suatu fikih yang baru.

2.4 Prinsip-Prinsip Pembaharuan Hukum Islam

Adapun prinsip-prinsip pembaharuan dalam hukum Islam dalah sebagai beriku:

1) Prinsip Tauhid

Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La‟ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manipestasikesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya.

Prinsip tauhid inipun menghendaki dan memposisikan untuk menetapkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Qur‟an dan As-Sunah). Barang siapa yang tidak menghukumi dengan hukum Allah, maka orang tersebut dapat dikateegorikan kedalam kelompok orang-orang yang kafir, dzalim dan fasiq (Q.S. ke 5 Al-Maidah : 44, 45 dan 47).

(15)

11 a) Prinsip Pertama : Berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara. Artinya bahwa tak seorang pun manusia dapat menjadikan dirinya sebagai zat yang wajib di sembah. b) Prinsip Kedua : Beban hukum (takli‟f) ditujukan untuk

memelihara akidah dan iman, penyucian jiwa (tajkiyat al-nafs) dan pembentukan pribadi yang luhur. Artinya hamba Allah dibebani ibadah sebagai bentuk/aktualisasi dari rasa syukur atas nikmat Allah.

Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas hukum Ibadah, yaitu Azas kemudahan/meniadakan kesulitan. Dari azas hukum tersebut terumuskan kaidah-kaidah hukum ibadah sebagai berikut :

1) Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba‟, yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya;

2) Al-masaqqah tujlibu at-taysiir, yaitu kesulitan dalam melaksanakan ibadah akan mendatangkan kemudahan.

2) Prinsip Keadilan

Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mi‟za‟n (keseimbangan/ moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur‟an kadang diekuivalensikan dengan al-qist. Al-mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur‟an terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-Hadid: 25.

(16)

12 perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.

Penggunaan term “adil/keadilan” dalam Al-Quran diantaranya sebagai berikut :

a) QS. Al-Maidah 8: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika)

menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu

terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak

adil. Berlakulah adil. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa....”

b) QS. Al-An‟am 152: “Dan jaanganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat,

sampai ia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil....”

Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai kelanjutan dari prinsip keadilan

3) Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar

(17)

13 4) Prinsip Kebebasan/Kemerdekaan

Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dl arti luasyg mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama (QS. Al-Baqarah : 256 dan Al-Kafirun: 5).

5) Prinsip Persamaan (musawwah)

Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.

6) Prinsip At-Ta’awun

Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.

7) Prinsip Toleransi

Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya, toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.

(18)

14 tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah saja tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik muamalah sipil, hukum pidana, ketetapan peradilan dan lain sebagainya.

2.5 Bentuk-Bentuk Pembaharuan Hukum Islam

Pembaharuan hukum Islam berarti gerakan ijtihad untuk menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, baik menetapkan hukum terhadap masalah baru untuk menggantikan ketentuan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang. Yang dimaksud dengan ketentuan hukum di sini adalah ketentuan hukum Islam kategori fikih yang merupakan hasil ijtihad para ulama, bukan ketentuan hukum Islam kategori syariat.

Ijtihad adalah salah-satu wacana dalam pembaharuan. Secara terminologi, ijtihad adalah: ”Mengerahkan seluruh kemampuan dan usaha dalam mencari hukum syariat”. Kata ijtihad hanya digunakan pada usaha yang memerlukan pengerahan tenaga semaksimal mungkin demi sebuah tujuan.

Pembaharuan juga dapat dilakukan dengan usaha-usaha pentahqiqan. Dengan usaha pentahqiqan ini, akan terlihat keaslian dan kemurnian ajaran Islam. Cara ini lebih mudah, dibandingkan dengan ijtihad. Meskipun cara ini, barangkali termasuk dalam wilayah ijtihad. Dikatakan lebih mudah, karena hanya mengoreksi sebuah pendapat. Akan lebih mudah lagi bila kita memiliki fasilitas di atas.

(19)

15 permasalahan dan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Menetapkan ketentuan hukum yang mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru itu mengandung dua unsur. Pertama, menetapkan hukum terhadap masalah-masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah bayi tabung. Kedua, menetapkan atau mencari ketentuan hukum baru bagi sesuatu masalah yang sudah ada ketentuan hukumnya tetapi tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang. Yang dimaksud dengan “tidak sesuai dengan keadaan dan kemaslahatan manusia masa sekarang” adalah ketentuan hukum lama itu yang merupakan hasil ijtihad para ulama terdahulu sudah tidak mampu lagi merealisasi kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat masa kini. Untuk itu perlu ditetapkan ketentuan hukum baru yang lebih mampu merealisasi kemaslahatan umat yang merupakan tujuan shariat dengan mempertimbangkan pengetahuan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan teknologi modern. Contonya ketentuan hukum Islam mengenai pemimpin wanita. Ijtihad ulama sekarang ini telah membolehkan wanita menjadi pemimpin atau kepala negara, padahal ijtihad lama menetapkan bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin atau kepala negara.

Pembaharuan dalam hukum Islam itu dapat terjadi dalam tiga bentuk atau kondisi, yakni:

(20)

16 dan barang peninggalan orang dahulu yang ditemukan waktu digali. Ketujuh macam kekayaan yang ditetapkan wajib zakat itu berkisar dalam ruang lingkup kebolehjadian arti.

2. Bila hasil ijtihad lama didasarkan atas „urf setempat, dan bila „urf itu sudah berubah, maka hasil ijtihad lama itupun dapat diubah dengan menetapkan hasil ijtihad baru yang berdasarkan kepada „urf setempat yang telah berubah itu. Contohnya hasil ijtihad mengenai kepala negara wanita. Hasil ijtihad ulama terdahulu menetapkam wanita tidak boleh menjadi kepala negara, sesuai dengan „urf masyarakat Islam masa itu yang tidak bisa menerima wanita sabagai kepala negara. Dengan berkembangnya paham emansipasi wanita, „urf masyarakat Islam sekarang sudah berubah, mereka sudah dapat menerima wanita sebagai kepala negara. Hasil ijtihad ulamapun sudah dapat berubah dan sudah menetapkan bahwa wanita boleh menjadi kepala negara.

3. Apabila hasil ijtihad lama ditetapkan dengan qiyas, maka pembaharuan dapat dilakukan dengan meninjau kembali hasil-hasil ijtihad atau ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan dengan qiyas dengan menggunakan istihsan. Sebagaimana diketahui, penetapan hukum dengan istihsan merupakan suatu jalan keluar dari kekakuan hukum yang dihasilkan oleh qiyas dan metode-metode istinbat hukum yang lain. Contohnya hasil ijtihad tentang larangan masuk masjid bagi orang haid yang diqiyaskan kepada orang junub karena sama-sama hadath besar. Ada ulama yang merasa qiyas di atas kurang tepat karena ada unsur lain yang membedakan haid dengan junub, walaupun keduanya sama-sama hadath besar.

(21)

17 permasalahan dan perkembangan baru maka pembaharuan itu dilakukan dengan cara kembali kepada ajaran asli Al-Qur‟an dan hadits dan tidak mesti terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam hasil ijtihad lama yang merupakan hukum Islam kategori fikih. Hukum Islam kategori fikih adalah hasil pemahaman dan rumusan para ulama yang bisa jadi ada yang dipengaruhi oleh keadaan pada masa itu, seperti yang dilandaskan atas „urf setempat dan karenanya ketentuan itu belum tentu mampu menjawab permasalahan dan perkembangan baru, artinya belum tentu mampu merealisasikan kemaslahatan umat masa kini yang keadaannya berbeda dengan keadaan pada masa itu. Sedangkan ajaran asli Al-Qur‟an dan hadith selalu mampu manjawab permasalahan-permasalahan masyarakat sepanjang zaman dan semua tempat. Oleh karena itu dalam menetapkan hukum terhadap suatu masalah, para mujtahid harus langsung kembali kepada ajaran asli Al-Qur‟an dan hadith dengan cara berijtihad memahami dan menafsirkan ajaran-ajaran asli tersebut serta memperhatikan dasar-dasar atau prinsip-prinsipnya yang umum. Dengan demikian ketentuan hukum Islam yang dihasilkan oleh ijtihad itu betul-betul mampu menjawab permasalahan-permasalahan masyarakat, dalam arti mampu merealisasikan kemaslahatan umat manusia yang merupakan tujuan syari‟at Islam.

2.6 Sasaran Pembaharuan Hukum Islam

(22)

18 Sasaran hukum Islam dapat digolongkan ke dalam dua kategori lebar yaitu spesifik dan umum. Sasaran umum hukum Islam mengarahkan kepada kesejahteraan manusia pada umumnya, baik dalam dunia dan di alam baka. Tujuannya adalah mereka yang memiliki tujuan mewujudkan kesejahteraan umum manusia, baik di dunia ini dan di akhirat. Sedangkan sasaran spesifik hukum Islam yaitu untuk merealisir aktivitas manusia lebih dangkal, seperti ekonomi, kehidupan berkeluarga, dan politik. Tujuan spesifik hukum Islam adalah hukum Islam yang berusaha untuk mewujudkan dalam ranah sempit aktivitas manusia, seperti ekonomi, kehidupan keluarga, atau tatanan politik.

2.7 Interpretasi Pembaharuan Hukum Islam

Reinterpretasi terhadap Al-Quran dan Al-Sunnah dalam rangka pembaharuan hukum islam perlu didukung dengan:

1) Ijtihad hukum islam (terutama dilakukan secara jama‟/kolektif, melibatkan lintas disiplin ilmu);

2) Mengurangi sifat mentaqdisan terhadap fiqh dengan tetap menghargainya;

3) Membudayakan kajian secara muqarran/membandingkan terhadap fiqh dan ilmu terkait lainnya;

4) Fasilitasi dari pemerintah,terutama kebijakan/regulasi dan finansial;

5) Networking antara ulama, ilmuan, pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, Ormas Islam, Parpol dan masyarakat;

(23)

19 BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pembaharuan hukum Islam adalah sangat penting demi tercapainya visi Islam yaitu sebagai rahmat bagi semesta alam. Untuk melakukan pembaruan itu maka diperlukan suatu pemikiran baru yang dapat mendongkrak pemikiran umat Islam, khususnya umat islam Indonesia.

Pembaruan hukum Islam merupakan suatu keharusan untuk tetap mempertahankan eksistensi hukum Islam. namun, dalam melakukan pembaruan hukum Islam, tetap harus memperhatikan sebagai ajaran yang kekal dari Allah swt. sehingga tidak boleh melakukan pembaruan dengan semena-mena, karena justru akan menjauhkan dari tujuan syariah tersebut (maqāṣid as-syarīah). Bahkan pembaruan tanpa metode yang benar dan tindakan yang semena-mena justru dapat menghancurkan sendi-sendi ajaran agama.

Selain itu, harus diperhatikan pula faktor-faktor pendorong, prinsip-prinsi, serta yang menjadi sasaran dalam melakukan pembaharuan hukum islam agar dalam melakukan perubahan itu dapat berjalan dengan lancar dan tentunya sesuai dengan yang diharapkan oleh umat islam yang pada akhirnya kesemuanya itu ditujukan demi merebut kembali kejayaan umat islam dimasa lampau serta menegakkan kalimatullah.

3.2 Saran

(24)
(25)

21 ke-18. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1994. Pengantar Hukum Islam. Cetakan Kelima. Jakarta: Bulan Bintang.

Departemen Pendidikan Nasional. 2015. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.

Manan, Abdul. 2006. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ramulyo, Mohd. Idris. 1995. Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

Rofiq, Ahmad. 2001. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Jurnal

Gunawan, Edi. 2015. Pembaharuan Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam. Jurnal Studia Islamika. Vol. 12, No. 1: 281-305.

Sucipto. 2011. Pembaharuan Hukum Islam. Jurnal ASAS. Vol. 3, No. 1: 50-64

Zarkasyi, Amal Fathullah. 2013. Tajdid Dan Modernisasi Pemikiran Islam. Jurnal TSAQAFAH. Vol. 9, No. 2: 395-418.

Internet

Anonim. Mei 2016. Pembaruan Hukum Islam. Melalui

http://suduthukum.com/2016/05/pembaruan-hukum-islam.html [20 April 2017 pk. 16.34].

(26)

22 http://saiyanadia.wordpress.com/2010/11/20/pemb

aharuan-hukum-islam/ [20 April 2017 pk. 16.27].

Referensi

Dokumen terkait

Quality of work life didefinisikan sebagai suatu proses dimana organisasi memberikan respon kepada kebutuhan karyawan dengan mengembangkan mekanisme yang mengijinkan

Diinformasikan kepada segenap warga jemaat khususnya orangtua yang mempunyai Putra/Putri Sekolah Minggu Anak di lingkungan GKJ Purworejo bahwa BOTOL PERSEMBAHAN AKSI PUASA

Penelitian sebelumnya telah dilakukan untuk meningkatkan pembungaan dan pembijian bawang merah, yang mana pemberian suhu rendah secara buatan (vernalisasi) dengan suhu 10 °C

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyebab lebih rendahnya riap pohon di hutan rawa dibandingkan di darat adalah bukan karena masalah air, tetapi adalah

2). Informasi Keuangan di atas telah disusun untuk memenuhi Peraturan Bank Indonesia No. 7/10/DPNP tanggal 31 Maret 2005 tentang perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia

Artinya, satuan PAUD dapat menentukan tema yang akan digunakan dalam pembelajaran sesuai dengan minat anak, situasi dan kondisi lingkungan, serta kesiapan

kepada Tuhan sebagai penciptanya, karena jika Tuhan yang menciptakan dan memberinya kehidupan pada dirinya, maka kedua orang tua adalah yang diberi mandat oleh

Dari rangkaian ayat 238-242 surat al-Baqarah di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai pemahaman, manusia harus melalui proses, dengan mendayagunakan akalnya,