BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Konsep Karakteristik
Karakter (watak) adalah kepribadian yang dipengaruhi motivasi yang
menggerakkan kemauan sehingga orang tersebut bertindak (Sunaryo, 2004).
Sumadi (1985 dalam Sunaryo, 2004) mengatakan, bahwa karakter (watak) adalah
keseluruhan atau totalitas kemungkinan-kemungkinan bereaksi secara emosional
seseorang yang terbentuk selama hidupnya oleh unsur-unsur dari dalam (dasar,
keturunan, dan faktor-faktor endogen) dan unsur-unsur dari luar (pendidikan dan
pengalaman, serta faktor-faktor eksogen).
Karakteristik berarti hal yang berbeda tentang seseorang, tempat, atau hal
yang menggambarkannya. Sesuatu yang membuatnya unik atau berbeda.
Karakteristik dalam individu adalah sarana untuk memberitahu satu terpisah dari
yang lain, dengan cara bahwa orang tersebut akan dijelaskan dan diakui. Sebuah
fitur karakteristik dari orang yang biasanya satu yang berdiri di antara sifat-sifat
yang lain (Sunaryo, 2004).
Setiap individu mempunyai ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity)
dan karakteristik yang diperoleh dari pengaruh lingkungan; karakteristik bawaan
merupakan karakteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang
menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Pada masa lalu,
terdapat keyakinan serta kepribadian terbawa pembawaan (heredity) dan
lingkungan. Hal tersebut merupakan dua faktor yang terbentuk karena faktor yang
bawaan dan lingkungan dengan caranya sendiri-sendiri. Akan tetapi, makin
disadari bahwa apa yang dirasakan oleh banyak anak, remaja, atau dewasa
merupakan hasil dari perpaduan antara apa yang ada di antara faktor-faktor
biologis yang diturunkan dan pengaruh lingkungan. Natur dan nurture merupakan
istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan karakteristik-karakteristik
individu dalam hal fisik, mental, dan emosional pada setiap tingkat
perkembangan. Sejauh mana seseorang dilahirkan menjadi seorang individu atau
sejauh mana seseorang dipengaruhi subjek penelitian dan diskusi. Karakteristik
yang berkaitan dengan perkembangan faktor biologis cenderung lebih bersifat
tetap, sedangkan karakteristik yang berkaitan dengan sosial psikologis lebih
banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Sunaryo, 2004).
Siagian (2008 dalam Lase, 2011) menyatakan bahwa, karakteristik
biografikal (individu) dapat dilihat dari umur, jenis kelamin, status perkawinan,
jumlah tanggungan dan masa kerja. Sedangkan Notoatmodjo (2010) menyebutkan
ciri-ciri individu digolongkan kedalam tiga kelompok yaitu:
1. Ciri-ciri demografi, seperti jenis kelamin dan umur
2. Struktur sosial, seperti tingkat pendidikan, pekerjaan, kesukuan atau ras, dan
sebagainya.
3. Manfaat-manfaat kesehatan, seperti keyakinan bahwa pelayanan kesehatan
Selanjutnya Anderson (1998 dalam Notoatmodjo, 2010) percaya bahwa:
1. Setiap individu atau orang mempunyai perbedaan karakteristik, mempunyai
perbedaan tipe dan frekuensi penyakit, dan mempunyai perbedaan pola
penggunaan pelayanan kesehatan.
2. Setiap individu mempunyai perbedaan struktur sosial, mempunyai gaya hidup,
dan akhirnya mempunyai perbedaan pola pengguanan pelayanan kesehatan.
3. Individu percaya adanya kemanjuran dalam penggunaan pelayanan kesehatan.
Karakteristik seseorang sangat mempengaruhi pola kehidupan seseorang,
karakteristik bisa dilihat dari beberapa sudat pandang diantaranya umur, jenis
kelamin dan tingkat pendidikan seseorang, disamping itu keseriusan seseorang
dalam menjaga kesehatannya sangat mempengaruhi kualitas kehidupannya baik
dalam beraktivitas, istirahat, ataupun secara psikologis. Dan banyak orang yang
beranggapan bahwa orang terkena penyakit gagal ginjal akan mengalami
penurunan dalam kehidupannya. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik
seseorang sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang terutama yang
mengidap penyakit gagal ginjal kronik (Yuliaw, 2010).
2.2.Karakteristik Pasien
Karakteristik pasien meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, agama, suku/budaya, dan ekonomi/penghasilan.
2.2.1. Usia
Usia (umur) adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau
tertentu. Pada umumnya kualitas hidup menurun dengan meningkatnya umur.
Penderita gagal ginjal kronik usia muda akan mempunyai kualitas hidup yang
lebih baik oleh karena biasnya kondisi fisiknya yang lebih baik dibandingkan
yang berusia tua. Penderita yang dalam usia produktif merasa terpacu untuk
sembuh mengingat dia masih muda mempunyai harapan hidup yang lebih tinggi,
sebagai tulang punggung keluarga, sementara yang tua menyerahkan keputusan
pada keluarga atau anak-anaknya. Tidak sedikit dari mereka merasa sudah tua,
capek hanya menunggu waktu, akibatnya mereka kurang motivasi dalam
menjalani terapi hemodialisa. Usia juga erat kaitannya dengan prognose penyakit
dan harapan hidup mereka yang berusia diatas 55 tahun kecenderungan untuk
terjadi berbagai komplikasi yang memperberat fungsi ginjal sangat besar bila
dibandingkan dengan yang berusia dibawah 40 tahun (Indonesiannursing, 2008).
Budiarto dan Anggraeni (2002) menambahkan, bahwa pada hakikatnya
suatu penyakit dapat menyerang setiap orang pada semua golongan umur, tetapi
ada penyakit-penyakit tertentu yang lebih banyak menyerang golongan umur
tertentu. Penyakit-penyakit kronis mempunyai kecenderungan meningkat dengan
bertambahnya umur, sedangkan penyakit-penyakit akut tidak mempunyai suatu
kecenderungan yang jelas. Walaupun secara umum kematian dapat terjadi pada
setiap golongan umur, tetapi dari berbagai catatan diketahui bahwa frekuensi
kematian pada golongan umur berbeda-beda, yaitu kematian tertinggi pada
golongan umur 0-5 tahun dan kematian terendah terletak pada golongan umur
15-25 tahun dan akan meningkat lagi pada umur 40 tahun ke atas. Dari gambaran
meningkatnya umur. Hal ini disebutkan berbagai faktor, yaitu pengalaman
terpapar oleh faktor penyebab penyakit, faktor pekerjaan, kebiasaan hidup atau
terjadinya perubahan dalam kekebalan. Penyakit kronis seperti hipertensi,
penyakit jantung koroner, dan karsinoma lebih banyak menyerang orang dewasa
dan lanjut usia, sedangkan penyakti kelamin, AIDS, kecelakaan lalu lintas,
penyalahgunaan obat terlarang banyak terjadi pada golongan umur produktif yaitu
remaja dan dewasa. Hubungan antara umur dan penyakti tidak hanya pada
frekuensinya saja, tetapi pada tingkat beratnya penyakit, misalnya staphilococcus
dan escheria coli akan menjadi lebih berat bila menyerang bayi daripada golongan
umur lain karena bayi masih sangat rentan terhadap infeksi.
Penelitian Depkes (2007 dalam Notoatmodjo, 2010) tentang propil
kesehatan Indonesia mengatakan bahwa, perilaku merokok dengan kelompok
umur dapat disimpulkan tidak ada hubungannya. Meskipun demikian dapat
dikatakan bahwa presentase rendah perilaku tidak merokok adalah pada umur
antara 25-59 tahun. Berdasarkan hasil penelitian Yuliaw (2010), bahwa
responden memiliki karakteristik individu yang baik hal ini bisa dilihat dari usia
responden dimana yang menderita penyakit gagal ginjal paling banyak dari
kalangan orang tua.
2.1.1. Jenis kelamin
Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, manusia dibedakan menurut
jenis kelaminnya yaitu pria dan wanita. Istilah gender berasal dari bahasa inggris
diartikan sebagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan bila dilihat dari segi
nilai dan tingkah laku. Dalam Women’s Studies Encylopedia dijelaskan bahwa
gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, metalitas, dan karakteristik emosional
antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Gender
adalah pembagain peran kedudukan, dan tugas antara laki-laki dan perempuan
yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang
dianggap pantas sesuai norma-norma dan adat istiadat, kepercayaan, atau
kebiasaan masyarakat. Gender adalah semua atribut sosial mengenai laki-laki dan
perempuan, misalnya laki-laki digambarkan mempunyai sifat maskulin seperti
keras, kuat, rasional, dan gagah. Sementara perempuan digambarkan memiliki
sifat feminim seperti halus, lemah, peras, sopan, dan penakut. Perbedaan dengan
pengertian seks yang lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan
komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan ( femaleness).
Istilah seks umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan
aktivitas seksual (love making activities) (Mubarak, 2009).
Jenis kelamin adalah kata yang umumnya digunakan untuk membedakan
seks seseorang (laki-laki atau perempuan). Kata seks mendeskripsikan tubuh
seseorang, yaitu dapat dikatakan seseorang yang secara fisik laki-laki atau
perempuan. Sedangkan jenis kelamin mendeskripsikan sifat atau karakter
seseorang, yaitu seseorang yang merasa atau melakukan sesuatu bersifat seperti
wanita (feminim) atau seperti laki-laki (maskulin). Jenis kelamin adalah perbedaan
perbedaan peran mereka dalam menyelenggarakan upaya meneruskan garis
keturunan. Perbedaan ini terjadi karena meraka memiliki alat-alat untuk
meneruskan keturunan yang berbeda, yaitu disebut alat reproduksi (Mubarak,
2009).
Menurut Hungu (2007 dalam Yuliaw, 2010), jenis kelamin (seks) adalah
perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang
lahir. Seks berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki
memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel telur dan secara
biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan menyusui. Perbedaan biologis dan
fungsi biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara
keduanya, dan fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras
yang ada di muka bumi.
Secara umum, setiap penyakit dapat menyerang manusia baik laki-laki
maupun perempuan, tetapi pada beberapa penyakit terdapat perbedaan frekuensi
antara laki-laki dan perempuan. Hal ini antara lain disebabkan perbedaan
pekerjaan, kebiasaan hidup, genetika atau kondisi fisiologis (Budiarto &
Anggraeni, 2002). Penelitan Yuliaw (2010) menyatakan, bahwa laki-laki
mempunyai kualitas hidup lebih jelek dibandingkan perempuan dan semakin lama
menjalani terapi hemodialisa akan semakin rendah kualitas hidup penderita.
Penelitian Depkes (2007 dalam Notoatmodjo, 2010) tentang propil
kesehatan Indonesia mengatakan bahwa, perilaku tidak merokok pada perempuan
jelas lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Depkes (2007 dalam
cukup berdasarkan latar belakang atau karakteristik individu.Ternyata kelompok
laki-laki lebih banyak beraktivitas fisik secara cukup dibandingkan dengan
kelompok perempuan. Berdasarkan hasil penelitian Yuliaw (2010), bahwa
responden memiliki karakteristik individu yang baik hal ini bisa dilihat dari jenis
kelamin, bahwa perempuan lebih banyak menderita penyakit gagal ginjal kronik,
sedangkan laki-laki lebih rendah.
Budiarto dan Anggraeni (2002) mengatakan, Penyakit yang hanya
menyerang perempuan, yaitu penyakit yang berkaitan dengan organ tubuh
perempuan seperti karsinoma uterus, karsinoma mammae, karsinoma seviks, kista
ovarii, dan adneksitis. Penyakit-penyakit yang lebih banyak menyerang laki-laki
daripada perempuan antara lain; penyakit jantung koroner, infark miokard,
karsinoma paru-paru, dan hernia inguinalis. Selain itu terdapat pula penyakit yang
hanya menyerang laki-laki seperti karsinoma penis, orsitis, hipertrofi prostat, dan
karsinoma prostat.
2.1.2. Status Perkawinan
Lembaga Demografi FE UI (2000 dalam Yuliaw, 2010) menyatakan
bahwa, status perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Soekanto (2000 dalam Yuliaw, 2010)
menyatakan bahwa, perkawinan (marriage) adalah ikatan yang sah antara seorang
pria dan wanita yang menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara
Menurut Undang-Undang UU No. 1/1974 tentang Perkawinan,
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan
merupakan salah suatu aktivitas individu. Aktivitas individu umumnya akan
terkait pada suatu tujuan yang ingin dicapai oleh individu yang bersangkutan,
demikian pula dalam hal perkawinan. Karena perkawinan merupakan suatu
aktivitas dari satu pasangan, maka sudah selayaknya mereka pun juga mempunyai
tujuan tertentu. Tetapi karena perkawinan itu terdiri dari dua individu, maka
adanya kemungkinan bahwa tujuan mereka itu tidak sama. Bila hal tersebut
terjadi, maka tujuan itu harus dibulatkan agar terdapat suatu kesatuan dalam
tujuan tersebut (Walgito, 2004 dalam Tarigan, 2011).
2.1.3. Pendidikan
Pendidikan merupakan bagian integral dalam pembangunan. Proses
pendidikan tak dapat dipisahkan dari proses pembangunan itu sendiri.
Pembangunan diarahkan dan bertujuan untuk mengembangkan sumber daya
manusia yang berkualitas dan pembangunan sektor ekonomi, yang satu dengan
lainnya saling berkaitan dan berlangsung dengan berbarengan (Hamalik, 2008).
Secara umum pendidikan diartikan sebagai segala upaya yang
direncanakan untuk mempengaruhi usia baik individu, kelompok atau masyarakat
sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidik
pendidikan nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
menyiapkan peserta didik melalui kegiatan pembimbing, pengajaran dan atau
latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Pengertian ini menekankan
pada pendidikan formal dan tampak lebih dekat dengan penyelenggaraan
pendidikan secara operasional (Notoatmodjo, 2005). Pendidikan adalah usaha
sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,
dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang (UU RI No. 2 Tahun
1989, Bab 1, Pasal 1 dalam Hamalik, 2008).
Menurut UU nomor 20 (tahun 2003 dalam Notoatmodjo, 2005), jalur
pendidikan sekolah terdiri dari :
1. Pendidikan Dasar
Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan awal selama 9 (sembilan) tahun
pertama masa sekolah anak-anak yang melandasi jenjang pendidikan menengah.
Di akhir masa pendidikan dasar selama 6 (enam) tahun pertama (SD/MI), para
siswa harus mengikuti dan lulus dari Ujian Nasional (UN) untuk dapat
melanjutkan pendidikannya ke tingkat selanjutnya (SMP/MTs) dengan lama
pendidikan 3 (tiga) tahun.
2. Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah (sebelumnya dikenal dengan sebutan Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas (SLTA) adalah jenjang pendidikan dasar.
a. Pendidikan menengah umum
Pendidikan menengah umum diselenggarakan oleh sekolah menengah atas
Madrasah Aliyah (MA). Pendidikan menengah umum dikelompokkan dalam
program studi sesuai dengan kebutuhan untuk belajar lebih lanjut di perguruan
tinggi dan hidup di dalam masyarakat. Pendidikan menengah umum terdiri atas 3
(tiga) tingkat.
b. Pendidikan menengah kejuruan
Pendidikan menengah kejuruan diselenggarakan oleh Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) atau Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK). Pendidikan menengah
kejuruan dikelompokkan dalam bidang kejuruan didasarkan pada perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni, dunia industri/dunia usaha,
ketenagakerjaan baik secara nasional, regional maupun global, kecuali untuk
program kejuruan yang terkait dengan upaya-upaya pelestarian warisan budaya.
Pendidikan menengah kejuruan terdiri atas 3 (tiga) tingkat, dapat juga terdiri atas
4 (empat) tingkat sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Satuan pendidikan
penyelenggara Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah aliyah (MA), Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK) dan program
paket C.
c. Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah.
Penyelenggara pendidikan tertinggi adalah akademi, institut, sekolah tinggi,
universitas.
GBHN (1993 dalam Hamalik, 2008), menetapkan tujuan pendidikan
nasional sebagai berikut: “Pendidikan Nasional bertujuan untuk meningkatkan
Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju,
tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional,
bertanggung jawab, produktif serta sehat jasmani dan rohani, menumbuhkan jiwa
patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat
kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap
menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi masa depan.
Secara luas pendidikan mencakup seluruh proses kehidupan individu sejak
dalam ayunan hingga liang lahat, berupa interaksi individu dengan lingkungannya,
baik cara formal maupun informal. Proses dan kegiatan pendidikan pada dasarnya
melibatkan masalah perilaku individu maupun kelompok (Sunaryo, 2004).
Yuliaw (2010) dalam penelitiannya mengatakan bahwa, pada penderita
yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih
luas juga memungkinkan pasien itu dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi
masalah yang di hadapi, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi,
berpengalaman, dan mempunyai perkiraan yang tepat bagaimana mengatasi
kejadian, mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan,
serta dapat mengurangi kecemasan sehingga dapat membantu individu tersebut
dalam membuat keputusan. Hasil penelitian ini didukung dengan teori dimana
pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting untuk terbentuknya
tindakan, perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng dari pada yang
2.1.4. Pekerjaan
Pekerjaan adalah merupakan sesuatu kegiatan atau aktifitas seseorang yang
bekerja pada orang lain atau instasi, kantor, perusahaan untuk memperoleh
penghasilan yaitu upah atau gaji baik berupa uang maupun barang demi
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari (Rohmat, 2010 dalam Lase, 2011).
Penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan pemanfaatan
pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang kurang memanfaatkan
pelayanan kesehatan yang ada mungkin karena tidak mempunyai cukup uang
untuk membeli obat atau membayar tranportasi (Notoatmodjo, 2010).
Budiarto dan Anggraeni (2002) mengatakan berbagai jenis pekerjaan akan
berpengaruh pada frekuensi dan distribusi penyakit. Hal ini disebabkan sebagaian
hidupnya dihabiskan di tempat pekerjaan dengan berbagai suasana lingkungan
yang berbeda.
2.1.5. Agama
Secara etimologi kata agama berasal dari bahasa sansekerta yang artinya
“tidak kacau balau”. Dari makna kata ini dapat diduga bahwa diharapkan agama
dapat menciptakan keadaan, kehidupan yang tidak kacau balau, walaupun dalam
realitanya justru agama secara langsung atau tidak langsung sering kali
menciptakan keadaan dan kehidupan yang kacau balau. Dalam bahasa inggris
agama disebut religion yang berasal dari bahasa latin religare yang artinya
dengan sungguh-sungguh tentulah terikat kepada agama yang dianutnya
(Sinulingga, 2008).
Mubarak (2009) mengatakan bahwa, Agama (bahasa inggris religion, yang
berasal dari bahasa latin religare, yang berarti menambatkan), adalah sebuah
unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. (kamus filosofi dan
agama) mendefenisikan agama sebagai berikut, ”sebuah institusi dengan
keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, serta
menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap
yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati”. Agama
biasanya memiliki suatu prinsip, seperti “10 firman” dalam agama Kristen atau “5
rukun Islam” dalam agama Islam.
Agama merupakan kepercayaan individu kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Agama merupakan tempat mencari makan hidup yang terakhir atau penghabisan.
Agama sebagai suatu keyakinan hidup yang masuk ke dalam konstruksi suatu
kepribadian seseorang sangat berpengaruh dalam cara berpikir, bersikap, bereaksi,
berperilaku individu, dan prilaku hidup sehat (Sunaryo, 2004).
Agama adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yang amat
realistis bagi para pemeluknya. Agama memberikan motivasi yang sangat kuat
untuk menempatkan kebenaran di atas segalanya. Agama dan kepercayaan
spiritual sangat mempengaruhi pandangan klien tentang kesehatan dan
penyakitnya, rasa nyeri dan penderitaan, serta kehidupan dan kematian. Sehat
spiritual terjadi saat individu menentukan keseimbangan antara nilai-nilai dalam
menunjukkan hubungan antara jiwa, daya pikir, dan tubuh. Kepercayan dan
harapan individu mempunyai pengaruh terhadap kesehatan seseorang (Potter &
Perry, 2009).
Ajaran Agama umumnya mengajarkan kepada pemeluknya untuk
melakukan hal-hal yang baik dan melarang berbuat yang tidak baik. Perbuatan
baik atau yang tidak baik yang berkaitan dengan tata kehidupan. Agama memiliki
aturan mengenai makanan, perilaku, dan cara pengobatan yang dibenarkan secara
hukum agama. Dipandang dari sudut pandang agama apapun, pada prinsipnya
mereka mengajarkan kebaikan. Sumber agama merupakan dasar dalam
memberikan pelayanan kepada pasien. Hal ini berarti bahwa berbuat baik
dianggap melakukan perintah Tuhan, dimana perintah tersebut dianggap sebagai
moral yang baik dan benar. Sedangkan larangan Tuhan adalah sebagai hal yang
salah dan buruk. Persepsi yang demikian mencerminkan pola berpikir yang
berpedoman pada teori etika. Pada pemahaman ini, agama dianggap mampu
memberi arahan dan menjadi sumber mortalitas untuk tindakan yang akan
dilaksanakan. Pada dasarnya, aturan-aturan etis yang penting diterima oleh semua
agama, maka pandangan moral yang dianut oleh agama-agama besar pada
dasarnya hampir sama. Agama berisi topik-topik etis dan memberi motivasi pada
penganutnya untuk melaksanakan nilai-nilai dan norma-norma dengan penuh
kepercayaan (Sudarman, 2008).
Sebagian dari kita menciptakan permasalahan atau penyakit sebagai jalan
dalam mengarahkan diri kita ke arah kegembiraan terbesar kita. Mungkin tidak
dengan gejala yang membatasi mobilitas kita dan menghalangi hidup kita, tetapi
tentu banyak orang tumbuh melalui berbagai macam penayakit mereka, menjadi
semakin sadar akan diri mereka, lebih mandiri secara spiritual. Itu membentuk
kita untuk dapat memandang semua hal yang terjadi pada kita, sebagai suatu
kesempatan bukan suatu bencana (Malkani, 2001).
Sudarman (2008) menyebutkan bahwa, pola hubungan agama dan
kesehatan secara teoritis dapat dirincikan tiga (3) kemingkinan pola hubungan
antara agama dan kesehatan.
1. Saling berlawanan
Agama dan kesehatan potensial muncul sebagai dua bidang kehidupan yang
saling berlawanan atau setidaknya tema kesehatan tersebut masih menjadi wacana
prokontra. Dalam batasan tertentu, hal ini menunjukan bahwa apa yang dianjurkan
dalam bidang kesehatan , tidak selaras dengan apa yang dianjurkan dalam agama.
Contohnya, penggunaan pengobatan alternatif, dalam kebatinan Jawa praktik
kesehatan ada yang dilakukan oleh dukun, yaitu dukun mendapat ilmu kesehatan
dari Nyi Roro Kidul. Pengakuan terhadap adanya peran makhluk halus merupakan
praktik kesehatan yang bertentangan dengan ajaran agama yang lebih menekankan
aspek ketulusan beribadah dan rasionalitas dalam berpikir.
2. Saling mendukung
Agama dan ilmu pengetahuan kesehatan memiliki potensi saling mendukung.
Contohnya, tradisi puasa atau diet merupakan salah satu terapi yang diakui oleh
kalangan medis dalam meningkatkan kesehatan. Oleh karena itu, ajaran agama
begitu pula sebaliknya. Untuk menggenapkan masalah ini, secara umum dapat
dikatakan bahwa dari sisi pengobatan modern ada teknologi kesehatan dan dalam
agama ada moral kode etik penerapan teknologi kesehatan. Inilah peran simbiosis
mutualisme antara agama dan kesehatan.
3. Saling melengkapi
Saling melengkapi merupakan adanya peran dari agama untuk mengoreksi
praktik kesehatan atau ilmu kesehatan yang mengoreksi praktik (kesehatan)
keagamaan. Dengan adanya saling mengoreksi ini, menyebabkan praktik
kesehatan dapat dibangun lebih baik lagi. Contohnya, Islam memberikan kritik
pada praktik kesehatan modern yang lebih bersifat dualistis material. Dalam dunia
medis, masalah kesehatan lebih banyak dianggap sebagai masalah jasmaniah
belaka. Padahal, pada kenyataannya masalah sakit dan sehat manusia dipengaruhi
oleh psikis individu. Oleh karena itu, agama memberikan tambahan perspektif
mengenai sakit dan sehat manusia.
Sudarman (2008) menyebutkan bahwa, fungsi agama bagi kesehatan ada
tiga hal yaitu:
1. Sumber moral
Agama memiliki fungsi yang strategis untuk menjadi sumber kekuatan moral
baik bagi pasien dalam proses penyembuhan maupun tenaga kesehatan. Misalnya,
bagi seorang yang beragama, sehat atau sakit adalah bagian dari perilaku Tuhan
bagi umatnya dan sakit adalah karena takdir Tuhan, serta hanya Tuhan jugalah
yang memiliki kemampuan menyembuhkannya. Dengan keyakinan seperti ini,
beragama, mereka memang keyakinan bahwa perlakuan Tuhan sesuai dengan
persangkaan manusia kepada-Nya. Agama menjadi sumber sugesti dan motivasi
yang kuat dalam diri pasien untuk hidup secara positif.
2. Sumber keilmuan
Sejalan dengan agama sebagai sumber moral, agama pun berperan sebagai
sumber keilmuan bagi bidang kesehatan. Konseptualisasi dan pengembangan ilmu
kesehatan atau kedokteran yang bersumber dari agama, dapat kita sebut kesehatan
profetik, dalam konteks Islam disebut dengan ilmu kesehatan Islami atau
kedokteran Islami. Praktik-praktik keagamaan menjadi bagian dari sumber ilmu
dalam mengembangkan terapi kesehatan. Tidak bisa dipungkiri, yoga dan
meditasi adalah beberapa ilmu agama yang dikonversikan menjadi bagian dari
terapi kesehatan. Dalam ajaran Islam, puasa telah diakui berbagai pihak sebagai
praktik agama yang dapat menyehatkan, didalam rukun Islam dan rukun iman
memiliki kandungan hikmah dalam mengembangkan kesehatan mental. Agama
Khususnya Islam, sebagai sumber pengembangan tenoklogi kesehatan
dikemukakan oleh Osman Bakar. Dalam kaitan ini, Osmar Bakar menyebutkan
empat cabang pengobatan yang dikembangkan dalam pengobatan Islam, yaitu
terapi resimental seperti terapi fisik; pijat bayi dan mandi uap, terapi diet seperti
pengaturan pola makan, farmakoterapi seperti obat-obatan, dan pembedahan.
3. Amal agama sebagai amal kesehatan
Seiring dengan pemikiran yang dikemukakan sebelumnya, bahwa pola pikir
yang dianut dalam wacana ini adalah all for health, yaitu sebuah pemikiran bahwa
makan, kerja, sehat sore hari, sampai tidur lagi, bahkan selama tidur sekalipun,
memiliki implikasi dan kontribusi nyata terhadap kesehatan. Seiring dengan
pandangan ini, maka agama atau ritual keagamaan perlu dipahami sebagai bagian
dari aktivitas manusia yang harus mendukung pada kesehatan. Oleh karena itu,
selaras dengan uraian sebelumnya, dapat dikemukakan bahwa praktik agama ini
memiliki kaitan dengan masalah kesehatan pikiran, asupan makanan (aspek
biologis), maupun jiwa (aspek psikologis). Puasa dan sholat dalam ajaran Islam
merupakan salah satu contoh amal agama yang relevan dengan aktivitas kesehatan
jasmaniah. Sedangkan penekanan pada hukum makanan yang harus memuat
syarat halal dan bersih merupakan amal agama yang terkait dengan nutrisi.
Sementara pembiasaan berpikir positif merupakan bagian dari upaya membangun
jiwa yang sehat.
2.1.6. Suku/budaya
Istilah kebudayaan berasal kata budh berasal dari kata sansekerta. Dari
kata budh ini kemudian dibentuk kata buddhayah, bentuk jamak dari kata budhi
yang berarti budi atau akal/bangun atau sadar, sehingga kebudayaan diartikan
sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal manusia. Dalam bahasa inggris
dikenal dengan istilah culture yang berasal dari kata latin colore, yaitu mengolah
atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata
culture juga kadang diterjemahkan sebagai kultur dalam bahasa indonesia.
tindakan dari hasil karya manusia dalam rangka membangun kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar (Sudarman, 2008).
Office of minority health (OMH) menggambarkan budaya sebagai ide-ide,
komunikasi, tindakan, kebiasaan, kepercayaan, nilai-nilai, dan adat istiadat dari
kelompok ras, etnik, agama, atau sosial. Budaya merupakan konteks dimana
sekelompok individu menafsirkan dan mendefinisikan pengalaman mereka yang
berkaitan dengan transisi kehidupan. Hal ini termasuk kejadian-kejadian seperti
kelahiran, penyakit, dan kematian. Ini merupakan suatu sistem nilai dimana
individu dapat mengerti pengalaman mereka. Budaya adalah bagaimana orang
lain mendefinisikan fenomena sosial seperti saat individu sehat atau memerlukan
intervensi (Kulwicky, 2003 dalam potter & ferry, 2009).
Purnell dan Paulanka (2003 dalam Potter dan Perry, 2009) mengatakan,
budaya merupakan penyebaran secara sosial dari pengetahuan, bentuk tingkah
laku, nilai-nilai, kepercayaan, norma, dan gaya hidup dari kelompok tertentu yang
menunjukkan pandangan mereka dan cara pengambikan keputusan. Budaya
memiliki dua komponen yaitu: nyata (mudah dilihat), tersembunyi (kurang
terlihat). Soekanto (2001 dalam Sunaryo, 2004) mengatakan kebudayaan adalah
ekspresi jiwa terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni
kesusastraan, agama, rekreasi, dan hiburan.
Latar belakang budaya dan etnik seseorang mengajarkan cara sehat, cara
mengenali sakit, dan cara jatuh sakit. Efek penyakit dan interprestasinya berbeda
tentang layanan kesehatan serta penggunaan layanan diagnostik dan kesehatan
(Murray & Zentner, 2001 dalam Potter & Perry, 2009).
Mubarak (2009) menyatakan bahwa fungsi kebudayaan bagi masyarakat
adalah sebagai berikut ini:
1. Membantu manusia dalam melangsungkan kehidupannya atau sebagai
pedoman hidup.
2. Mengarahkan manusia untuk mengerti bagaimana harus bersikap,
berperilaku, dan bertindak, baik secara individu maupun berkelompok.
3. Memberi kepuasan dalam bidang kerohanian maupun material, walaupun
tidak semua keinginan manusia dapat terpenuhi oleh kebudayaan.
Mubarak (2009) menyatakan aspek sosial budaya yang mempengaruhi
status kesehatan antara lain:
1. Kebiasaan makan
Banyak sekali penemuan para ahli sosiologi dan ahli gizi menyatakan bahwa
faktor budaya sangat berperan terhadap proses terjadinya kebiasaan makan dan
bentuk makanan itu sendiri, sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai masalah
gizi apabila faktor makanan itu tidak diperhatikan secara baik bagi yang
mengonsumsinya.
2. Peranan makanan dalam konteks budaya
a. Pola budaya terhadap makanan
Makanan atau kebiasaan makan merupakan suatu produk budaya yang
berhubungan dengan sistem tingkah laku dan tindakan yang berpola (sistem
merupakan produk pangan sangat bergantung pada faktor pertanian di daerah
tersebut dan merupakan produk dari budaya juga. Dengan demikian pengaruh
budaya terhadap pangan atau makanan sangat bergantung kepada sistem sosial
kemasyarakatan dan merupakan hak asasi yang paling dasar, maka pangan atau
makanan harus berada di dalam kendali kebudayaan itu sendiri. Beberapa
pengaruh budaya terhadap pangan atau makanan adalah adanya bermacam jenis
menu makanan dari setiap komunitas atau etnis masyarakat dalam mengolah suatu
jenis hidangan makanan karena perbedaan bahan dasar dalam proses
pembuatannya.
b. Adanya perbedaan pola makan/konsumsi/makanan pokok dari setiap suku
atau etnis. Contohnya, pola makan orang Timur lebih kepada jagung, orang
Jawa pala makan lebih kepada beras.
c. Adanya perbedan cita rasa, aroma, warna, dan bentuk fisik makanan dari
setiap suku atau etnis. Contohnya, makan orang Padang cita rasanya pedas,
dan orang Jawa makanannya manis.
3. Masalah tabu dalam makanan
Sistem budaya memberikan peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap
makanan, misalnya bahan-bahan makan tertentu oleh suatu budaya masyarakat
dapat dianggap tabu atau bersifat pantang untuk dikonsumsi karena alasan sakral
tertentu atau sistem budaya yang terkait di dalamnya.
4. Pola hidup dan tradisi pemeliharaan kesehatan yang kurang baik.
Adanya kepercayan atau mitos yang masih merugikan bagi kesehatan. Pada
kesibukan yang tinggi karena alasan pekerjaan, seperti pada ibu di daerah
perkotaan yang kurang dan tidak sering menyusui bayinya dengan air susu ibu
(ASI) setelah melahirkan tetapi hanya diberikan formula susu bayi instan. Padahal
kita tahu bahwa ASI sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik
bayi. Selanjutnya gaya hidup mereka yang berasal dari golongan ekonomi atas
(masyarakat elit kota), dalam hal makanan sering mengonsumsi makanan yang
berasal dari produk luar negeri atau makanan instan lainya karena soal gengsi.
Sedangkan makanan lokal kita hanya dikonsumsi oleh meraka yang berasal dari
golongan ekonomi menengah ke bawah karena ada anggapan bahwa makanan dari
luar negeri kaya akan nilai gizi protein dan makanan instan lebih praktis untuk
dikonsumsi, selai itu makanan lokal kita nilai gizinya lebih kepada karbohidrat.
5. Sikap fatalisme
Ajaran bahwa manusia tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah dukuasahi
nasib. Fatalis erat kaitannya dengan rasa putus asa dan tidak berdaya. Secara
sederhana fatalisme dapat diartikan sebagi keyakinan bahwa manusia tidak
mampu mengubah apayang telah terjadi atau tergariskan.
6. Nilai/norma
Nilai-nilai atau norma yang tidak sesuai atau kurang menunjang dalam bidang
kesehatan. Contohnya, kepercayaan pada saat hamil dimana adanya larangan
seperti jangan makan ikan ini karena dapat memperparah terjadinya perdarahan.
Banyak yang percaya bahwa pada awal kehamilan, makanan yang asam atau
nanas) harus dihindari karena makan tersebut berhubungan dengan komplikasi
pada kehamilan seperti aborsi dan perdarahan.
Budiarto dan Anggraeni (2002) mengatakan, klasifikasi penyakit
berdasarkan suku sulit dilakukan baik secara praktis maupun secara konseptual,
tetapi karena terdapat perbedaan yang besar dalam frekuensi dan beratnya
penyakit di antara suku maka dibuat kalsifikasi walaupun terjadi kontroversial.
Pada umumnya penyakit yang berhubungan dengan suku berkaitan dengan faktor
genetik atau faktor lingkungan.
2.1.7. Ekonomi (penghasilan)
Ekonomi adalah suatu ilmu mengenai keterbatasan atau kelangkaan
sumber daya dan penentuan pilihannya. Samuelson memberi batasan ilmu
ekonomi sebagai berikut : “Ilmu mengenai bagaimana individu atau masyarakat,
dengan atau tanpa uang, menggunakan sumber daya yang terbatas, dengan
berbagai pilihan pengguaannya untuk menghasilkan berbagai macam barang dan
mendistribusikannya untuk keperluan konsumsi saat ini atau masa yang akan
datang, bagi individu atau sekelompok di masyarakat. Ilmu ini juga mengkaji
semua biaya dan manfaat dari perbaikan pola alokasi sumber daya yang ada”
Lubis (2010) menyebutkan bahwa, ekonomi dibagi menjadi dua bagian
yaitu:
1. Ekonomi mikro
Merupakan sesuatu yang spesifik dan merupakan sesuatu yang didefenisikan
sebagai bagian dari ilmu ekonomi menganalisis bagian-bagian yang kecil dari
seluruh kegiatan perekonomian. Hal ini yang dianalisis adalah bagian dari sistem
ekonomi seperti : perilaku konsumen, supply, demand, elastisitas, supply and
demand, pasar dan sebagainya.
2. Ekonomi makro
Merupakan sesuatu yang bersifat agregat dan merupakan analisis atau seluruh
perekonomian. Analisis bersifat global dan tidak memperhatikan kegiatan
ekonomi yang dilaksanakan oleh unit-unit kecil dalam perekonomian.
Menganalisis kajian sektor-sektor kesehatan dan hubungannya dengan
pembangunan ekonomi yang di dalamnya anatara lain: fiskal dan moneter
terhadap pembiayaan kesehatan, kebijakan kesehatan.
Status sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam
masyarakat, status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang
atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial ekonomi, gambaran itu seperti
tingkat pendidikan, pendapatan dan sebagainya. Status ekonomi kemungkinan
besar merupakan pembentuk gaya hidup keluarga. Pendapatan keluarga memadai
akan menunjang tumbuh kembang anak. Karena orang tua dapat menyediakan
semua kebutuhan anak baik primer maupun skunder (Soetjiningsih, 2004 dalam
masyarakat berdasarkan pendapatan per bulan. Status ekonomi dapat dilihat dari
pendapatan yang disesuaikan dengan harga barang pokok (Kartono, 2006 dalam
Suparyanto, 2010).
Tingkat ekonomi menurut Friedman (2004 dalam Suparyanto, 2010)
membagi keluarga terdiri dari 4 tingkat ekonomi:
1. Adekuat
Adekuat menyatakan uang yang dibelanjakan atas dasar suatu permohonan
bahwa pembiayaan adalah tanggung jawab kedua orang tua. Keluarga
menganggarkan dan mengatur biaya secara relisitis.
2. Marginal
Pada tingkat marginal sering terjadi ketidaksepakatan dan perselisihan siapa
yang seharusnya mengontrol pendapatan dan pengeluaran.
3. Miskin
Keluarga tidak bisa hidup dengan caranya sendiri. Pengaturan keuangan yang
buruk akan menyebabkan didahulukannya kemewahan. Diatas kebutuhan pokok,
manajemen keuangan yang sangat buruk dapat atau tidak membahayakan
kesejahteraan anak, tetapi pengeluaran dan kebutuhan keuangan melebihi
penghasilan.
4. Sangat Miskin
Menejemen keuangan yang sangat jelek, termasuk pengeluaran saja dan
Aristoteles (1999 dalam Suparyanto, 2010) membagi masyarakat secara
ekonomi menjadi 3 kelas atau golongan terdiri atas:
1. Golongan sangat kaya: merupakan kelompok kecil dalam masyarakat, terdiri
dari pengusaha, tuan tanah, dan bangsawan.
2. Golongan kaya: merupakan golongan yang cukup banyak terdapat dalam
masyarakat, terdiri dari para pedagang dan sebagainya.
3. Golongan miskin: merupakan golongan terbanyak dalam masyarakat,
kebanyakan dari rakyat biasa
Pembagian kelas sosial ekonomi berdasarkan status ekonomi terdiri dari:
a. Friedman (2004 dalam Suparyanto, 2010) status ekonomi seseorang dibagi
menjadi 3 kelompok yaitu:
1. Penghasilan tipe kelas atas > Rp 1.000.000,
2. Penghasilan tipe kelas menengah = Rp 500.000 – Rp 1.000.000
3. Penghasilan tipe kelas bawah < Rp 500.000
b. Status ekonomi menurut Saraswati (2009 dalam Suparyanto, 2010)
1. Tipe Kelas Atas (> Rp 2.000.000).
2. Tipe Kelas Menengah (Rp 1.000.000 -2.000.000).
3. Tipe Kelas Bawah (< Rp 1.000.000)
Menurut Friedman (2004 dalam Suparyanto, 2010) faktor yang
mempengaruhi status ekonomi seseorang yaitu:
1. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap
tingkat pendidikan seseorang maka makin mudah dalam memperoleh pekerjaan,
sehingga semakin banyak pula penghasilan yang diperoleh. Sebaliknya
pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang
terhadap nilai-nilai yang baru dikenal.
2. Pekerjaan
Pekerjaan adalah simbol status seseorang dimasyarakat. Pekerjaan jembatan
untuk memperoleh uang dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan untuk
mendapatkan tempat pelayanan kesehatan yang diinginkan.
3. Keadaan Ekonomi
Kondisi ekonomi keluarga yang rendah mendorong seseorang untuk tidak
teratur melakukan pemeriksaan.
4. Latar Belakang Budaya
Cultur universal adalah unsur kebudayaan yang bersifat universal, ada di
dalam semua kebudayaan di dunia, seperti pengetahuan bahasa dan khasanah
dasar, cara pergaulan sosial, adat-istiadat, penilaian umum. Tanpa disadari,
kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap terhadap berbagai masalah.
Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakatnya karena kebudayaan
yang memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota
kelompok masyarakat. Hanya kepercayaan individu yang telah mapan dan kuatlah
yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam pembentukan sikap
5. Pendapatan
Pendapatan adalah hasil yang diperoleh dari kerja atau usaha yang telah
dilakukan. Pendapatan akan mempengaruhi gaya hidup seseorang. Orang atau
keluarga yang mempunyai status ekonomi atau pendapatan tinggi akan
mempraktikkan gaya hidup yang mewah misalnya lebih konsumtif karena mereka
mampu untuk membeli semua yang dibutuhkan bila dibandingkan dengan
keluarga yang kelas ekonominya kebawah.
Ekonomi mempengaruhi cara reaksi klien terhadap sakit, oleh karena
halangan ekonomi, seseorang dapat menunda terapi dan meneruskan aktivitas
hariannya (Potter & Perry, 2009). Lingkungan sosial dapat menyangkut sosial
budaya dan sosial ekonomi. Khusus menyangkut sosial ekonomi, sebagai contoh
individu yang status sosial ekonominya berkecukupan akan mampu menyediakan
segala fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebaliknya, individu yang status sosial ekonominya rendah akan mengalami
kesulitan di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Sunaryo, 2004).
Penelitian Depkes (2007 dalam Notoatmodjo, 2010) tentang propil
kesehatan Indonesia mengatakan bahwa, dari segi status sosial ekonomi tidak
nampak adanya perbedaan perilaku merokok yang bermakna antara orang yang
mempunyai status sosial ekonomi tinggi dengan yang status ekonominya rendah.
Depkes (2007 dalam Notoatmodjo, 2010) melakukan survei tentang melakukan
aktivitas fisik secara cukup berdasarkan latar belakang atau karakteristik individu.
presentasinya lebih tinggi melakukan akitvitas fisik, dibandingkan dengan strata
menengah.
2.3.Kualitas Hidup
2.3.1. Pengertian Kualitas Hidup
Kualitas hidup adalah kondisi dimana pasien kendati penyakit yang
dideritanya dapat tetap merasa nyaman secara fisik, psikologis, sosia maupun
spiritual serta secara optimal memanfaatkan hidupnya untuk kebahagian dirinya
maupun orang lain. Kualitas hidup tidak terkait dengan lamanya seseorang akan
hidup karena bukan domain manusia untuk menentukannya. Untuk dapat
mencapai kualitas hidup perlu perubahan secara fundamental atas cara pandang
pasien terhadap penyakit gagal ginjal kronik terminal itu sendiri (Suhud, 2009
dalam Lase, 2011).
University of Toronto (2004) menyebutkan bahwa kualitas hidup adalah
sejauh mana seseorang menikmati kemungkianan penting dalam hidupnya.
Kemungkinan hasil dari peluang dan keterbatasan setiap orang yang dimiliki
dalam hidupnya dan mencerminkan interaksi dari faktor pribadi dan lingkungan.
Kenikmatan memiliki dua komponen yaitu pengalaman kepuasan dan
kepemilikan.
Menurut WHO (1994) kualitas hidup adalah sebagai persepsi individu
sebagai laki-laki ataupun perempuan dalam hidup ditinjau dari konteks budaya
dan sistem nilai dimana mereka tinggal, hubungan dengan standar hidup, harapan,
kesehatan fisik, status psikologis, tingkat kebebasan, hubungan sosial, dan
hubungan kepada karakteristik lingkungan mereka (WHOQOL, 2004).
2.3.2. Aspek Kualitas Hidup
Ventegodt (2003) mengatakan bahwa kualitas hidup berarti hidup yang
baik. Hidup yang baik sama seperti hidup dengan kehidupan yang berkualitas
tinggi. Dalam hal ini dapat dikelompokkan dalam 3 bagian yang berpusat pada
aspek hidup yang baik yaitu:
1. Kualitas hidup subjektif yaitu hidup yang baik yang dirasakan oleh
masing-masing individu secara personal mengevaluasi bagaimana meraka
menggambarkan sesuatu dan perasaan meraka.
2. Kualitas hidup eksistensial yaitu seberapa baik hidup seseorang merupakan
level yang berhak untuk dihormati dan dimana individu dapat hidup dalam
keharmonisan.
3. Kualitas objektif yaitu bagaimana hidup seseorang dirasakan oleh dunia luar.
Kualitas objektif dinyatakan dalam kemampuan seseorang untuk beradaptasi
pada nilai-nilai budaya dan menyatakan tentang kehidupannya.
Ketiga aspek kualitas hidup ini keseluruhan dikelompokkan dengan
pernyataan yang relevan pada kualitas hidup yang dapat ditempatkan dalam suatu
spektrum dari subjektif ke objektif, elemen eksistensial berada diantaranya yang
kebahagiaan, makna dalam hidup, gambaran biologis kualitas hidup, mencapai
potensi hidup, pemenuhan kebutuhan dan faktor-faktor objektif.
1. Kesejahteraan
Kesejahteraan berhubungan dekat dengan bagaimana sesuatu berfungsi dalam
suatu dunia objektif dan dengan faktor eksternal hidup. Ketika kita membicarakan
tentang perasaan baik maka kesejahteraan merupakan pemenuhan kebutuhan dan
realisasi diri.
2. Kepuasan hidup
Menjadi puas berarti merasakan bahwa hidup yang seharusnya, ketika
pengharapan-pengharapan, kebutuhan dan gairah hidup diperoleh disekitarnya
maka seseorang puas, kepuasaan adalah pernyataaan mental yaitu keadaan
kognitif.
3. Kebahagiaan
Menjadi bahagia bukan hanya menjadi menyenangkan dan hati puas. Menjadi
bahagia merupakan perasaan yang spesial yang berharga dan sangat diinginkan
tetapi sulit di peroleh. Tidak banyak orang percaya bahwa kebahagiaan diperoleh
dari adaptasi terhadap budaya seseorang. Kebahagiaan diasosiasikan dengan
dimensi-dimensi non rasional seperti cinta, ikatan erat dengan sifat dasar tetapi
bukan dengan uang, status kesehatan atau faktor-faktor objektif lain.
4. Makna dalam hidup
Makna dalam hidup merupakan suatu konsep yang sangat penting dan jarang
berartian dan kesangat berartian dari hidup dan suatu kewajiban untuk
mengarahkan diri seseorang membuat perbaikan apa yang tidak berarti.
5. Gambaran biologis kualitas hidup
Gambaran biologis kualitas hidup yaitu sistem informasi biologis dan tingkat
keseimbangan eksistensial dilihat dari segi ini kesehatan fisik mencerminkan
tingkat sistem informasi biologi seperti sel-sel dalam tubuh membutuhkan
informasi yang tepat untuk berfungsi secara benar dan untuk menjaga kesehatan
dan kebaikan tubuh. Kesadaran kita dan pengalaman hidup juga terkondisi secara
biologis. Pengalaman dimana hidup bermakna atau tidak dapat dilihat sebagai
kondisi dari suatu sistem informasi biologis. Hubungan antara kualitas hidup dan
penyakit diilustrasikan dengan baik dan menggunakan suatu teori individual
sebagai suatu sistem informasi biologis.
6. Mencapai potensi hidup
Teori pencapaian potensi hidup merupakan suatu teori dari hubungan antara
sifat dasarnya. Titik permulaan biologis ini tidak mengurangi kekhususan dari
makhluk hidup tetapi hanya tingkat dimana ini merupakan teori umum dari
pertukaran informasi yang bermakna dalam sistem hidup dari sel ke organisme
sosial.
7. Pemenuhan kebutuhan
Kebutuhan dihubungkan dengan kualitas hidup dimana ketika kebutuhan
seseorang terpenuhi kualitas hidup tinggi. Kebutuhan merupakan suatu ekspresi
sifat dasar kita yang pada umumnya di miliki oleh makhluk hidup. Pemenuhan
rasakan baik ketika kebutuhan kita sudah terpenuhi. Informasi ini berada dalam
suatu bentuk komplek yang dapat dikurangi menjadi sederhana yakni kebutuhan
aktual.
8. Faktor-faktor objektif
Aspek objektif dari kualitas hidup dihubungkan dengan faktor-faktor
eksternal hidup dan secara baik mudah di wujudkan. Hal tersebut mencakup
pendapatan, status perkawinan, status kesehatan dan jumlah hubungan dengan
orang lain. Kualitas hidup objektif sangat mencerminkan kemampuan untuk
beradaptasi pada budaya dimana kita tinggal.
Secara umum pengkajian kulitas hidup berhubungan dengan kesehatan
yang menggambarkan suatu usaha untuk menentukan bagian variabel-variabel
dalam dimensi kesehatan, berhubungan dengan dimensi khusus dari hidup yang
telah ditentukan untuk menjadi penting secara umum atau untuk orang yang
memiliki penyakit spesifik. Konseptualisasi kualitas hidup berhubungan dengan
kesehatan menegaskan efek penyakit pada fisik, peran sosial, psikologi/emosional
dan fungsi kognitif. Gejala-gejala persepsi kesehatan dan keseluruhan kualitas
hidup sering tercakup dalam konsep kualitas hidup berhubungan dengan
kesehatan (American Thoracic Society, 2004).
2.3.3. Komponen Kualitas Hidup
University of Toronto (2004) menyebutkan kualitas hidup dapat dibagi
dalam 3 bagian yaitu kesehatan, kepemilikan (hubungan individu dengan
1. Kesehatan
Kesehatan dalam kualitas hidup dapat dibagi menjadi 3 bagain yaitu secara
fisik, psikologis dan spiritual. Secara fisik yang terdiri dari kesehatan fisik,
personal higiene, nutrisi, olah raga, pakaian, dan penampilan fisik secara umum.
Secara psikologis yang terdiri dari kesehatan dan penyesuaian psikologis,
kesadaran, perasaan, harga diri, konsep diri dan kontrol diri. Secara spiritual
terdiri dari nilai-nilai pribadi, standar-standar pribadi dan kepercayaan spritual.
2. Kepemilikan
Kepemilikan (hubungan individu dengan lingkungan) dalam kualitas hidup di
bagi menjadi 2 bagian yaitu secara fisik dan sosial. Secara fisik terdiri dari rumah,
tempat kerja/sekolah, tetangga/lingkungan dan masyarakat. Secara sosial dekat
dengan orang lain, keluarga, teman/rekan kerja, lingkungan dan masyarakat.
3. Harapan
Merupakan keingian dan harapan yang akan dicapai sebagai perwujudan dari
individu seperti terpenuhinya nilai (prestasi dan aspirasi individu) sehingga
individu tersebut merasa berharga atau dihargai di dalam lingkungan keluarga
maupun masyarakat sekitarnya melalui suatu tindakan nyata yang bermanfaat dari
hasil karyanya.
2.3.4. Dimensi Kualitas Hidup
Farquhar (1995 dalam Yuliaw, 2010) menuliskan tiga jenisutama dimensi
dari Quality of Life, yang pertama dimensi global, yang keduadimensi komponen,
dalam kepuasan atau ketidakpuasan, kebahagiaan dan kesedihan, kesejahteraan,
evaluasi diri, dari pengalaman hidup dan pencapaian kepuasan secara fisik dan
sosial. Dimensi komponen adalah sesuatu hal mematahkan(menurunkan) kualitas
hidup dalam suatu komponen atau dimensi, ataumengetahui karakteristik Quality
of Life tertentu yang perlu dievaluasi. Dimensi terfokus adalah hanya satu atau
sebagian kecil komponen dari kemampuan kesehatan atau fungsional.
Perbedaan yang terjadi pada dimensi kualitas hidup, kebanyakan ahli
setuju ada empat sampai lima dimensi Quality of Life yang diterima (King, 1998
dalam Yuliaw, 2010). Kelima dimensi tersebut yaitu :
1. Dimensi fisik adalah kemampuan fungsional seperti tingkat aktivitas,
kekuatan energi, perawatan diri, dan kesuburan.
2. Dimensi psikologis termasuk kepuasan hidup dan pencapaian tujuan hidup,
stres, harga diri, mekanisme pertahanan diri, keinginan, depresi, dan
ketakutan.
3. Dimensi sosial menunjukkan bagaimana seseorang menjalin hubungan
dengan keluarga, teman, kolega pada pekerjaan, dan masyarakat umum
termasuk kepuasan seksual.
4. Dimensi somatik berhubungan dengan gejala penyakit dan efek samping
perawatan.
5. Spiritual adalah menunjukkan pada tujuan dan arti hidup seseorang.
Menurut WHOQoL group (The World Health Organization Quality of
Life) pada tahun 2004 menyebutkan bahwa kualitas hidup terdiri dari 4 dimensi.
1. Kesehatan fisik
Berhubungan dengan kesakitan dan kegelisahan, ketergantungan pada
perawatan medis, energi dan kelelahan, mobilitas, tidur dan istirahat, aktifitas
kehidupan sehari-hari, dan kapasitas kerja.
2. Kesehatan psikologis
Berhubungan dengan pengaruh positif dan negatif spiritual, pemikiran
pembelajaran, daya ingat dan konsentrasi, gambaran tubuh dan penampilan, serta
penghargaan terhadap diri sendiri.
3. Hubungan sosial
Terdiri dari hubungan personal, aktivitas seksual, dan hubungan sosial
4. Lingkungan
Terdiri dari keamanan dan kenyamanan fisik, lingkungan fisik, sumber
penghasilan, kesempatan memperoleh informasi, keterampilan baru, partisipasi
dan kesempatan untuk rekreasi atau aktifitas pada waktu luang.
2.2.5. Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
Avis (2005 dalam Desita, 2010) menyakatan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah
sosio demografi yaitu jenis kelamin, umur, suku/etnik, pendidikan, pekerjaan, dan
status perkawinan. Kedua adalah medik yaitu lama manjalani hemodialisa,
stadium penyakit, dan penatalaksanaan medis yang dijalani. Penelitian Yuliaw
(2009) menemukan bahwa karakteristik individu yang terdiri dari pendidikan,
kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik. Yuwono (2000) dalam penelitiannya
mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal
ginjal adalah umur, jenis kelamin, etiologi gagal ginjal, cara terapi pengganti,