BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biskuit Crackers
2.1.1 Definisi Biskuit Crackers
Dalam Standar Nasional Indonesia (1992) biskuit adalah produk makanan
kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar
terigu, lemak dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan
makanan lain yang diizinkan (SNI, 1992).
Biskuit dapat diklasifikasikan menjadi biskuit keras, crackers, cookies dan
wafer. Biskuit keras adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, berbentuk
pipih, bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dapat berkadar
lemak tinggi atau rendah. Crackers dibuat dari adonan keras, melalui proses
fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya lebih mengarah ke rasa
asin dan renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis.
Cookies dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, renyah dan bila
dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang padat. Wafer dibuat dari
adonan cair, berpori-pori kasar, renyah dan bila dipatahkan penampang
potongannya berongga-rongga (SNI, 1992).
2.1.2 Bahan-bahan dalam Pembuatan Biskuit Crackers dan Fungsinya
Untuk menghasilkan biskuit crackers yang bermutu tinggi, yang sangat
ideal atau cocok digunakan adalah tepung terigu keras atau hard wheat. Tepung
terigu keras mempunyai kadar protein 10%-11%, dihasilkan dari penggilingan
mengandung protein tinggi, mudah dicampur dan diragikan, dapat menyesuaikan
dengan suhu yang diperlukan, berkemampuan menahan udara atau gas dan
mempunyai daya serap tinggi (Munandar, 1995).
Tepung terigu dalam pembuatan biskuit crackers berfungsi sebagai
pembentuk adonan yang mengembang karena adanya pembentukan gluten pada
saat proses fermentasi, memberi kualitas dan rasa yang enak dari hasil produknya
serta warna dan tekstur yang bagus (Sondakh, dkk., 1999).
Fungsi ragi dalam pembuatan biskuit crackers yaitu sebagai pembentuk
gas dalam adonan sehingga adonan mengembang, memperkuat gluten, menambah
rasa dan aroma. Pada saat adonan diistirahatkan, ragi tumbuh baik pada kondisi
lembab dan sedikit udara sehingga pada waktu diistirahatkan adonan harus ditutup
rapat (Munandar, 1995).
Gula dapat mempercepat proses peragian adonan yaitu sebagai sumber
energi bagi kegiatan ragi sehingga adonan akan cepat mengambang (U.S. Wheat
Association, 1983).
Lemak merupakan komponen penting dalam pembuatan biskuit crackers,
karena berfungsi sebagai bahan untuk menimbulkan rasa gurih, menambah aroma
dan menghasilkan tekstur produk yang renyah. Ada dua jenis lemak yang biasa
digunakan dalam pembuatan biskuit crackers yaitu dapat berasal dari lemak susu
(butter) atau dari lemak nabati (margarin) atau campuran dari keduanya (U.S.
Wheat Association, 1983).
Biskuit keras memerlukan air sekitar 20% dari berat tepung. Air dalam
memperkuat gluten, mengatur kekenyalan adonan dan mengatur suhu adonan
(Munandar, 1995).
Bahan pengembang merupakan bahan pengembang hasil reaksi asam
dengan natrium bikarbonat. Ketika pemanggangan berlangsung baking powder
menghasilkan gas CO2 dan residu yang tidak bersifat merugikan pada biskuit
crackers. Fungsi bahan pengembang dalam pembuatan biskuit crackers adalah
mengembangkan adonan dengan sempurna (Munandar, 1995).
Pada pembuatan biskuit crackers penambahan garam berfungsi memberi
rasa dan aroma, mengatur kadar peragian, memperkuat gluten dan memberi warna
lebih putih pada remahan (Munandar, 1995).
Susu yang digunakan dalam pembuatan biskuit crackers adalah susu skim
yang merupakan hasil pengeringan (dengan spray dryer) dari susu segar. Susu ini
memiliki reaksi mengikat terhadap protein tepung. Pada pembuatan biskuit
crackers susu berfungsi untuk meningkatkan cita rasa dan aroma biskuit serta
menambah nilai gizi produk (U.S. Wheat Association, 1983).
2.2 Syarat Mutu Biskuit Crackers
Syarat mutu untuk biskuit crackers yang ditetapkan oleh Standar Nasional
Indonesia pada tahun 1992 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat Mutu Biskuit Crackers
4. Abu %, b/b Maks. 2 Keterangan: APM adalah angka paling mungkin
2.3 Penetapan Kadar Air
Penentuan kadar air dalam bahan makanan dapat ditentukan dengan
berbagai cara antara lain, metode pengeringan, metode destilasi dan metode
kimiawi (Sudarmadji, dkk., 1989).
2.3.1 Metode Pengeringan
Prinsip penentuan kadar air dengan metode pengeringan adalah
menguapkan air yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan. Kemudian
menimbang bahan sampai berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan
(Sudarmadji, dkk., 1989).
Pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan
bahan dalam oven pada suhu 105-110°C selama 3 jam atau sampai didapat berat
yang konstan (bobot tetap). Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah
Pengeringan sampai bobot tetap berarti pengeringan harus dilanjutkan
hingga pada perbedaan dua kali penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,50
mg untuk tiap gram zat yang digunakan, penimbangan kedua dilakukan setelah
dipanaskan lagi selama satu jam (Ditjen POM, 1995).
Cara ini relatif mudah dan murah. Kelemahan cara ini adalah bahan lain
disamping air juga ikut menguap dan ikut hilang bersama dengan uap air misalnya
alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lain-lain. Selain itu, dapat terjadi reaksi
selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap lain serta
bahan yang mengandung bahan yang dapat mengikat air secara kuat sulit
melepaskan airnya meskipun sudah dipanaskan (Sudarmadji, dkk., 1989).
2.3.2 Metode Pengeringan Vakum
Untuk mempercepat penguapan air serta menghindari terjadinya reaksi
yang menyebabkan terbentuknya air ataupun reaksi yang lain karena pemanasan
maka dapat dilakukan pemanasan dengan suhu rendah dan tekanan vakum
(Sudarmadji, dkk., 1989).
Pengeringan pada kondisi vakum dilakukan pada suhu yang lebih rendah
dibandingkan pengeringan atmosferik. Saat kondisi vakum, air menguap pada
suhu yang lebih rendah. Air menguap tersebut ditampung dalam suatu bagian alat
pengering vakum (Estiasih & Ahmadi, 2009).
Keuntungan penggunaan suhu yang lebih rendah adalah kerusakan akibat
panas dapat diminimalisir. Selain itu, proses oksidasi terhadap bahan selama
komponen-komponen yaitu, wadah vakum (vacuum chamber), sumber panas, pompa vakum
dan alat untuk menampung uap air (Estiasih & Ahmadi, 2009).
Pengering vakum telah digunakan untuk mengeringkan berbagai produk
pangan yang peka terhadap panas dan proses oksidasi. Karena suhu yang
digunakan rendah dan dalam kondisi vakum, maka perubahan produk akibat
proses pengeringan dapat diminimalisir. Bahan yang dikeringkan dapat berbentuk
cairan, pasta, partikel diskret seperti tepung, maupun produk dalam bentuk
potongan atau serpihan (flake) (Estiasih & Ahmadi, 2009).
2.3.3 Metode Destilasi
Prinsip penentuan kadar air dengan destilasi adalah menguapkan air
dengan cairan kimia yang mempunyai titik didih lebih tinggi daripada air dan
tidak dapat bercampur dengan air serta mempunyai berat jenis lebih rendah
daripada air. Zat kimia yang dapat digunakan antara lain: toluen, xylen, benzen,
tetrakhlorethilen dan xylol (Sudarmadji, dkk., 1989).
2.3.4 Metode Kimiawi a. Cara Titrasi Karl Fischer
Cara ini adalah dengan mentitrasi sampel dengan larutan iodin dalam
metanol. Reagen lain yang digunakan dalam titrasi ini adalah sulfur dioksida dan
piridin. Dalam pelaksanaannya titrasi harus dilakukan dengan kondisi bebas dari
pengaruh kelembapan udara. Untuk keperluan tersebut dapat dilakukan dalam
ruang tertutup. Cara titrasi Karl Fischer ini telah berhasil dipakai untuk penentuan
kadar air dalam alkohol, ester-ester, senyawa lipida, lilin, pati, tepung gula, madu
memberikan hasil yang tepat dan tingkat ketelitiannya lebih kurang 0,5 mg dan
dapat ditingkatkan lagi dengan sistem elektroda yaitu dapat mencapai 0,2 mg
(Sudarmadji, dkk., 1989).
b. Cara Kalsium Karbid
Cara ini berdasarkan reaksi antara kalsium karbid dan air menghasilkan
gas asetilin. Cara ini sangat cepat dan tidak memerlukan alat yang rumit.
Penentuan kadar air dengan cara kalsium karbid telah berhasil untuk menentukan
kadar air dalam tepung, sabun, kulit, biji vanili, mentega dan air buah
(Sudarmadji, dkk., 1989).
c. Cara Asetil Khlorida
Penentuan kadar air dengan cara ini berdasarkan reaksi asetil khlorida dan
air menghasilkan asam yang dapat dititrasi menggunakan basa. Cara ini telah
berhasil dengan baik untuk penentuan kadar air dalam bahan minyak, mentega,
margarin, rempah-rempah dan bahan-bahan yang berkadar air sangat rendah
(Sudarmadji, dkk., 1989).
2.3.5 Metode Gravimetri
Analisis gravimetri adalah proses isolasi serta penimbangan suatu unsur
atau senyawaan tertentu dari unsur tersebut, dalam bentuk yang semurni mungkin.
Unsur atau senyawaan itu dipisahkan dari suatu porsi zat yang sedang diselidiki,
yang telah ditimbang (Basset, et. al., 1994).
Gravimetri merupakan cara pemeriksaan jumlah zat yang paling tua
dibandingkan dengan cara pemeriksaan kimia lainnya. Analisis gravimetri
Pekerjaan analisis secara gravimetri dapat dibagi dalam beberapa langkah sebagai
berikut, yaitu pengendapan, penyaringan, pencucian endapan, pengeringan,
pemanasan atau pemijaran, dan penimbangan endapan hingga konstan (Rohman,
2007).
Gravimetri dapat digunakan untuk menentukan hampir semua anion dan
kation anorganik serta zat-zat netral seperti air, belerang dioksida, karbon dioksida
dan iodium. Selain itu, berbagai jenis senyawa organik dapat pula ditentukan
dengan mudah secara gravimetri. Contoh-contohnya antara lain: penentuan kadar
laktosa dalam susu, salisilat dalam sediaan obat, fenolftalein dalam obat pencahar,
nikotina dalam pestisida, kolesterol dalam biji-bijian dan benzaldehida dalam
buah-buahan tertentu. Jadi, sebenarnya cara gravimetri merupakan salah satu cara
yang paling banyak dipakai dalam pemeriksaan kimia (Rivai, 1995).
Pengeringan adalah penghilangan cairan dari sistem padat, gas atau sistem
cair. Ini diartikan penghilangan sisa lembab yang terdiri dari air atau pelarut
organik. Dalam gravimetri endapan dikeringkan pada suhu kamar dalam eksikator
yang berisi zat pengering seperti asam sulfat pekat, silika gel, fosfor pentoksida,
kalium hidroksida padat. Pengeringan berlangsung lama sampai didapat berat
yang konstan, yaitu jika hasil dua penimbangan berturut-turut tidak berbeda lebih