• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR - Wali Sufi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KATA PENGANTAR - Wali Sufi"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

WALI SUFI, KARAMAH WALI,

TAWASUL dan TABARRUK

MAKALAH

Dosen Pengampu:

Ali Kadarisman, M.HI.

Oleh: KELOMPOK IX

HBS A

Ali Nahrowi : 13220214

H. M. Jaini : 13220220

Novi Yuniasari : 13220202

Nurul Islami : 13220068

JURUSAN HUKUM BISNIS SYARIAH FAKULTAS SYARIAH

(2)

KATA PENGANTAR

ِمْيِح ّرلا ِنمْح ّرلا ِهللا ِمْسِب

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya lah kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Wali Sufi, Karamah Wali, Tawasul dan Tabarruk

Makalah ini diajukan guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Tasawuf, dengan dosen pembimbing Bapak Ali Kadarisman, M.HI

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi mahasiswa dan bermanfaat untuk pengembanngan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Malang, 11 November 2014

Penyusun

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah...1

C. Tujuan...2

PEMBAHASAN...3

A. Wali Sufi...3

B. Karamah Wali...10

C. Tawasul dan Tabarruk...15

PENUTUP...23

A. Kesimpulan...23

B. Saran...23

(4)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mengangkat tema tasawuf dan kaum Sufi terasa hampa dan kosong tanpa mencuatkan pemikiran mereka tentang wali dan demikian juga karamah. Pasalnya, mitos ataupun legenda lawas tentang wali dan karamah ini telah menjadi senjata andalan mereka didalam mengelabui kaum muslimin.

Lantas dalam gambaran kebanyakan orang, wali Allah adalah setiap orang yang bisa mengeluarkan keanehan dan mempertontonkannya sesuai permintaan. Selain itu, dia juga termasuk orang yang suka mengerjakan shalat lima waktu atau terlihat memiliki ilmu agama. Bagi siapa yang memililki ciri-ciri tersebut, maka akan mudah baginya untuk menyandang gelar wali Allah sekalipun dia melakukan kesyirikan dan kebid’ahan.

Sekarang, masyarakat islam banyak sekali yang tidak tahu tentang Tawassul dan Wasilah. Secara umumnya tawassul beerti mengambil sesuatu sebab yang dibenarkan syara’ untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.

Atau, melakukan sesuatu ibadah, yang mana ibadah tersebut dijadikan perantara untuk mendapat keredhaannya. Tawassul biasanya berkait dengan doa, dimana seseorang yang berdoa menjadikan sesuatu sebagai perantara supaya doanya dikabulkan oleh Allah.

Tabarruk adalah diantara amaliyah yang berlaku dalam kalangan ummat islam khususnya di Indonesia . Dalam kalangan santri tradisi tersebut biasanya berupa menghabiskan makanan atau minuman dari sisa para kiyai, ada juga yang bertabarruk dengan baju, sarung, tasbih atau apapun peninggalan dari orang-orang sholih.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, terdapat beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, antara lain:

1. Apa yang dimaksud dengan Wali Sufi?

(5)

2. Apa sajakah macam-macam Wali Sufi?

3. Bagaimana urutan Para Wali Sufi?

4. Apa sajakah dari Karamah Wali?

5. Apa yang dimaksud dengan Tawasul?

6. Apa sajakah macam-macam dari Tawasul?

7. Apa yang dimaksud dengan Tabarruk?

8. Apa sajakah macam-macam dari Tabarruk?

C. Tujuan

Tujuan utama penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Tasawuf yang diampu oleh Bapak Ali Kadarisman, M.HI. Selain itu, berikut beberapa tujuan penulisan makalah ini:

1. Untuk mengetahui definisi Wali Sufi.

2. Untuk mengetahui macam-macam Wali Sufi.

3. Untuk mengetahui urutan Para Wali Sufi.

4. Untuk mengetahui Karamah Wali.

5. Untuk mengetahui definisi Tawasul.

6. Untuk mengetahui macam-macam dari Tawasul.

7. Untuk mengetahui definisi Tabarruk.

(6)

PEMBAHASAN A. Wali Sufi

1. Pengetian

Secara etimologis kosa kata “wali”, jamaknya “auliya.” Berasal dari bahasa Arab yang merupakan siangkatan waliyullah atau auliya’ullah, yang maknanya orang yang mencintai dan dicintai Allah. Karenanya konsep wali sering diterjemahkan dengan “kesucian” yang melekat pada seseorang yang diyakini sebagai sahabat Allah (rafiqy al-a’la). Dalam konsep sufi, wali diyakini sebagai individu yang memiliki kekuatan supranatural atau berkat Illahiah (barakah) yang dianugerahkan oleh-Nya. Sehingga ia juga mampu memiliki karamah (kemuliaan khusus dari Allah yang sering dipahami mampu melakukan keajaiban-keajaiban (karamah).1

Wali Allah secara umum diartikan sebagai Kekasih Allah. Jamaknya adalah

auliya’ Allah. Jika kata “waliy” disandangkan untuk Allah terhadap orang beriman, maka artinya Allah pelindung orang beriman, “Allah pelindung orang-orang yang beriman; dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni nereka; mereka kekal di dalam-nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 257)

Istilah wali bukanlah istilah fiqh atau syari’at bi al-dzawahir (ajaran keagamaan yang bersifat lahiriah). Wali merupakan istilah sufi dan kerohanian. Maknanya adalah kekasih yang dicintai Allah. Persoalan “cinta” juga bukan masalah

fiqh, tetapi masalah spiritual atau rohani. Cinta dan “kekasih” bukanlah memakai alat ukur lahiriah namun dengan tolok ukur nalar hati atau rasa (dzauq). Ia bukan bunga tetapi nilai keindahan dan pesona dari bunga. Ini sejalan dengan pengertian walayah

dari akar kata yang sama dengan wali yang bermakna kewalian, atau kecintaan, kekasih. Sehingga dalam hal ini konsep “maula” menjadi timbal-balik, yakin yang dicintai sekaligus yang mencintai”.2

(7)

Karena sebenarnya “wali” adalah orang yang mencintai Allah dan dicintai Allah, maka bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mengetahui atau memasuki dunia kewalian, tentu harus memperhatikan kalimat kunci, “Allah yuhibbu” (Allah mencintainya) yang disebutkan sebanyak 18 kali dalam al-Qur’an. Dan akan kita temukan bahwa yang dicintai Allah adalah mereka yang:3

Pertama, al-muhsinin. Suka berbuat baik (Qs. Al-Baqarah/2: 95; Ali Imran/3: 137; al-Maidah/5: 13, 93). Dalam seluruh peribadatannya, ia selalu mampu menghadirkan Allah sebagai orientasi serta mampu merasakan kehadiran-Nya. Sementara itu, Allah hanyalah mencintai orang yang menghadirkan-Nya dalam semua gerak hidup dan ibadahnya. Pada konteks kemanusiaan, ia akan selalu bersikap longgar, pemaaf, bahkan terhadap orang yang telah berbuat salah.

Kedua, al-muqshitin. Berlaku adil dan mampu menjaga keseimbangan atau harmoni dalam segala hal (Qs. Al-Maidah/5: 42; Al-Hujurat/49: 9; al-Mumtahanah/60: 8). Ia selalu mampu menjaga posisinya sebagai ‘abidullah

(hamba Allah) sekaligus khalifatullah (wakil Tuhan) yang mewujudkan rahmatan lil’alamin di dunia ini.

Ketiga, al-shabirin. Bersabar (Qs. Ali Imran/3: 146). Ia memiliki daya tahan yang tinggi terhadap resistensi dunia. Ibarat ikan, ia mampu menyelam di air. Segala kehidupannya memang tergantung kepada air. Tidak seperti katak yang tidak mampu hidup kecuali dengan darat dan air. Ia hidup di darat, tetapi untuk eksis sesekali harus berada di air. Sabar adalah daya tahan untuk mampu dibakar dalam kehidupan dunia sebagai penjaranya. Ia harus mampu menjaga badan fisik sebagai penjara rohaninya. Pada saat yang sama ia juga harus mampu mengembangkan daya rohaninya menjelajah menuju Allah. Konsekuensinya, ia harus memahami bahwa kehidupan dunia meupakan kematian. Di mana ia harus mencari kehidupan abadi sebelum kematian fisik.

Keempat, al-mutawakkilin. Ber-tawakkal (Qs. Ali Imran/3: 159). Mengikuti kehidupan dzahir-nya, ia memiliki keinginan. Namun segala keinginan (‘azam) akan selalu disertai dengan tingkat kepasrahan sejak keinginan itu muncul sampai

(8)

mendatangkan hasil. Tawakkal merupakan sikap kepasrahan yang aktif, produktif, dan kreatif. Dalam tawakkal terdapat dimensi al-makhluq yang berkembang mendekati persifatan al-Khaliq.

Kelima, al-tawwabin. Bertaubat (Qs. Al-Baqarah/2: 222). Al-tawwwabin

bermakna manusia yang selalu kembali kepada Allah. Yang dicintai Allah bukan hanya orang yang tidak pernah berbuat keliru atau salah. Tetapi mereka yang setiap kali melakukan kekhilafan selalu mencoba serta berupaya kembali kepada Allah. Maka orang ini dicintai Allah. Ia menjadi orang yang banyak kembali menjadi ada karena tentunya pernah “pergi”, menjauh, atau menyeleweng, bahkan tersesat, atau pula sengaja pergi. Setelah petualangan itu terjadi, baik sengaja atau tidak, ia kembali lagi ke asalnya.

Keenam, al-mutathahhirin. Mencintai kesucian atau orang yang selalu mensucikan diri. (Qs. Al-Taubah/9: 108; al-Baqarah/2: 222). Mensucikan diri dalam konteks ini adalah tashfiyat al-qulub wa tazkiyatun-nafs. Membeningkan hati dan mensucikan jiwa atau nafsu. Oleh karenanya konteks nalar dan rasa serta seluruh perilaku lahiriah menjadi sasaran program penyucian ini. Selain itu orientasi kesucian bukan hanya untuk dirinya. Ia selalu melakukan proses penyucian diri dan kemudian berupaya untuk memberikan pencerahan atau proses pensucian terhadap orang lain.

Ketujuh, al-muttaqin. Orang yang bertaqwa. Ketakwaan adalah perpaduan antara ihsan, perbuatan baik yang mendatangkan ridha Allah dan “berpengetahuan”. Kebaikan dan segala kepositifan yang dilakukannya didasarkan pada cakrawala pengetahuan, bukan sekadar kebaikan itu sendiri. Perpaduan inilah yang mendatangkan harmoni sekaligus mendatangkan pencerahan rohani. Perpaduan ini akan mengantarkan seseorang menggapai maqamat ma’rifatullah.

Kedelapan, al-syakirin. Mereka yang selalu bersyukur. Konteks syukur adalah tindakan responsif yang digerakkan oleh jiwa, karena merasakan limpahan karunia bagi dirinya. Rasa keterlimpahan karunia juga bukan persoalan dzahir, namun merupakan spektrum rohani. Bagaimana ia mampu merasakan kehadiran Allah dalam hidupnya, akan melahirkan daya cengkeram rasa akan karunia (ni’mat).

(9)

Kedelapan perwatakan wali Allah tersebut merupakan hal yang lebih bersifat operasional dan aplikatif sebagai konsekuensi fisiknya yang menerima isinya rohani dari musyahadah batinnya.

Berbicara tentang waliyullah (wali Allah), maka menurut Ibnu Taimiyah, adalah seorang mu’min muttaqiy. Syarat dan ciri-ciri waliyullah adalah; ia melaksanakan apa-apa yang disukai dan diridahi Allah SWT. serta meninggalkan apa-apa yang dimurkai-Nya.4 Inilah wali yang dikehendaki dalam surat Yunus (10)

ayat 62:























“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Seorang waliyullah tidak takut menghadapi apa yang akan terjadi, dan tidak pula bersedih karena sesuatu yang telah terjadi. Jikalau ada orang mengaku, atau dianggap sebagai waliyullah, tetapi perilakunya tidak ta’at kepada Allah SWT. serta tidak mengikuti syariat Nabi Muhammad saw., maka ia bukan waliyullah namun waliyussyaithan (wali setan).

2. Macam-macam

Auliya’ adalah segilintir manusia dari seluruh lautan manusia yang ada. Mereka adalah orang-orang yang telah berhasil menempuh jalan spiritual lebih tinggi dari sesama manusia. Mereka telah dipenuhi oleh cahaya Tuhan. Dari kelompok auliya’

ini, terdapat derajat yang bermacam-macam. Yang paling rendah di antara mereka (tentu saja di antara orang-orang yang tinggi tingkat kedekatannya kepada Allah) disebut sebagai autad (tiang-tiang pancang). Disebut demikian karena merekalah tiang-tiang yang menyangga kesejahteraan manusia di bumi. Karena kehadiran merekalah Tuhan menahan murka-Nya. Allah tidak menjatuhkan azab yang membinasakan umat manusia.

Ibnu Umar meriwayatkan hadits Nabi, “Sesungguhnya Allah menolakkan bencana – karena kehadiran muslim yang shalih – dari seratus keluarga tetangganya.” Kemudian ia membaca firman Allah, “Sekiranya Allah tidak

(10)

menolakkan sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya sudah hancurlah bumi” (Qs. Al-Baqarah/2: 251).

Penghulu para auliya’ adalah quthb rabbani. Di antara quthb dan autad

terdapat kelompok peringkat abdal (para pengganti). Disebut demikian karena bila salah seorang di antara mereka meninggal, Allah menggantikannya dengan yang baru.5

Abu Nu’aim dalam Hilyat al-Auliya’ meriwayatkan sabda Nabi, “karena merekalah Allah menghidupkan, mematikan, menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, dan menolak bencana. “Sabda ini terdengar begitu berat sehingga Ibnu Mas’ud bertanya, “Apa maksud karena merekalah Allah mematikan dan menghidupkan? Rasulullah bersabda, “Karena mereka berdo’a kepada Allah memperbanyak mereka. Mereka berdo’a agar para tiran dibinasakan, maka Allah membinasakan mereka. Mereka berdoa agar turun hujan, maka Allah menurunkan hujan. Karena permohonan mereka, Allah menumbuhkan tanaman di bumi. Karena do’a mereka, Allah menolakkan berbagai bencana.”

Pada sejarah kesufian telah banyak para wali yang sampai pada peringkat

quthb al-rabbani, seperti Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jailani, Syekh Manshur al-Hallaj, dan Syekh Siti Jenar. Demikian pula para wali abdal yang meneruskan perjuangan rohani mereka.

Jadi kunci menjadi wali abdal tak lain adalah kedermawanan dan kecintaan yang tulus kepada sesama orang muslim. Itulah yang mempercepat perjalanan kita kepada Allah. Tentu semua didasari dengan pengendalian hawa nafsu seta pembersihan dan menjaga kesucian hati.6

3. Urutan-urutannya

Wali-wali Allah itu ada dua peringkat:7

a. Sabiqunal Muqarrabun, yakni orang-orang yang paling muka, dan mereka itu yang dekat kepada Allah.

b. Ashabul yamiin Muqtashidun, yakni golongan kanan. Mereka ahli syurga.

5Muhammad Solikhin, Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar, h. 198. 6Muhammad Solikhin, Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar, h. 200.

7Ibnu Taimiyah, Karakateristik Wali Allah dan Wali Setan (Cet, I; Solo: CV. Ramadhani, 1989), h. 67.

(11)

Ibnu Abbas dan sebagian ulama salaf menjelaskan: Bagi Ashabul Yamin (golongan kanan) mereka disediakan minuman yang dicampur, sedang bagi golongan muqarrabuun mereka akan minum dengan kepuasan. Demikian menurut mereka, sebab Allah berfirman: Yasyrabu biha, meminum dengannya, dan bukan mengatakan

Yasyrabu minha, minum darinya. Yang demikian karena kata Yasyrabu itu identik dengan arti Yarwiya.

Jadi keterangan bahwa golongan Muqarrabun minum dengannya (dengan puas) artinya mereka tidak membutuhkan yang lain. Maka beda dengan ashabul yamin, karena minuman yang disediakan bagi mereka dicampur dengan campuran, ini persis dengan firman Allah SWT. :





















Artinya:

“...Yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya.”(Q.S. Al-Insan: 5-6).

Adapun hamba-hamba Allah yang tersebut dalam ayat di atas ialah golongan Muqarrabun. Dengan begitu bisa dimengerti bahwa balasan bagi orang itu tergantung jenis amal perbuatan-perbuatan, baik perihal kebaikan atau keburukan.8

Mengenai Al Abrar (orang-orang yang baik) mereka termasuk dalam kategori Ashabul Yamin. Sedang pendekatan mereka kepada Allah melalui kewajiban-kewajiban yang telah dibebankan. Mereka mengerjakan segala ketentuan wajib dan meninggalkan apapun yang diharamkan oleh Allah. Mereka tidak membebani jiwanya dengan ketentuan mandub (amalan yang menunjukkan sunnah), dan tidak pula mengambil ketentuan tentang keutamaan yang dimubahkan (amalan yang dibolehkan).

Adapaun As Sabuqunal Muqarrabun, cara mereka mendekatkan diri kepada Allah melalui amalah sunnah setelah membenamkan diri dalam amalan wajib, mereka kerjakan bentuk-bentuk wajib dan kesunahan-kesunahan. Sebaliknya meninggalkan tindakan haram dan yang dibenci oleh Allah. Manakala mereka

(12)

mendekatkan diri kepada Allah meliputi segala kemampuan yang dimiliki mereka, terdiri dari semua apa yang disukai Allah. Maka Allahpun mencintainya dengan kecintaan sempurna. Ini relevan dengan firman-Nya dalam Hadits Qudsi:

“Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku mencintainya.”

Demikian gambaran Al Muqarrabun, amalan-amalan mubah dijadikan hanya sebagai kepatuhan. Mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan kemubahan itu. Maka jadilah seluruh amal perbuatannya sebagai ibadah karena Allah. Karena itu mereka pun bisa meminum dengan penuh kepuasan seperti mereka beramal secara puas.9

Maka barangsiapa melaksanakan setiap kewajiban yang telah dibebankan oleh Allah dan melakukan kemubahan-kemubahan yang disukai Allah berarti ia termasuk di antara golongan Al Muqarrabun. Tetapi barang siapa hanya mengerjakan apa yang disukai Allah dan menjadi kerelaannya dan bertumpu pada pertolongan yang dimubahkan baginya atas perkara yang diperintah Allah, berarti ia termasuk Ashabul Yamin Al Abrar.10

B. Karamah Wali

Akhir-akhir ini banyak orang yang mempertanyakan tentang karamah. Apakah dia memang ada dalam syariat? Apakah dia mempunyai dalil dari al-Qur’an dan Sunnah? Apa hikmah dari diberikannya karamah kepada para wali yang bertakwa? Dan seterusnya. Gelombang kekafiran dan materialis, serta aliran-aliran keraguan dan kesesatan yang begitu banyak sekarang ini, mempengaruhi pemikiran anak-anak kita, menyesatkan banyak orang di antara para pemikir kita dan mendorong mereka untuk mengingkari adanya karamah, meragukannya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang aneh. Semua ini disebabkan oleh lemahnya iman mereka kepada Allah dan kepada takdir-Nya, serta minimnya kepercayaan mereka kepada para wali dan kekasih-Nya.11

9Ibnu Taimiyah, Karakateristik Wali Allah dan Wali Setan, h. 78. 10Ibnu Taimiyah, Karakateristik Wali Allah dan Wali Setan, h. 82.

11Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf (Cet. XII; Jakarta Timur: Qisthi Press, 2010), h.316.

(13)

Allah SWT menganugerahkan kehormatan atau kemuliaan (karamah) kepada siapa saja dari kalangan hamba-hamba-Nya yang saleh, menurut kehendak-Nya, baik mereka yang dari kalangan umat Muhammad SAW. maupun dari kalangan para pengikut Nabi-nabi atau Rasul-rasul sebelum beliau. Allah memberi ampunan kepada pihak yang satu demi kemaslahatan pihak yang lain, dan menolong pihak yang satu untuk keselamatan pihak yang lain. Menurut salah satu dari hadis tersebut Allah SWT berfirman kepada para malaikat mengenai orang-orang yang berwuquf di padang ‘Arafat dan berdoa: “Kukabulkan doa mereka dan Kukarunia maaf orang-orang yang buruk dari mereka demi kemaslahatan orang-orang-orang-orang yang baik dari mereka” (ْمِهيِن ِسسس ْحُمِل ْمِهْيِئْي ِسسسُم ُتْبَه َو َو ْمُه َءاسسَعُد ُتْبَجَا ْيّنِا ) . Demikianlah yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la.12

Karamah adalah sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan, yang tidak dihubungkan dengan pengakuan kenabian. Karamah adalah suatu pertolongan bagi sang wali karena ketaatan, serta sebagai penguat bagi keyakinannya, serta sebuah keberhasilan atas keistiqamahannya, sebagai tanda yang menunjukkan kebenaran pengakuan tentang kewaliannya, jika ia memintanya karena kebutuhan dan didukung oleh syari’at.13 Karamah merupakan aktivitas yang bertolak belakang dengan adat di

saat-saat pemaksaan dan merupakan realitas sifat kewalian tentang makna pembenaran dalam situasi (keadaan) nya.14

Dalam “Bustan Al-‘Arifin, “Imam An-Nawawi menulis, “Ketahuilah, bahwa madzhab ahli kebenaran menetapkan adanya karamah bagi para wali. Karamah tersebut terjadi, ada, dan berlangsung dalam setiap zaman.Hal tersebut bisa dibuktikan dengan dalil akal dan dalil naqli.

Adapun dalil akal, karamah adalah hal yang mungkin terjadi. Kejadiannya tidak akan menyebabkan hilang satu dasar dari berbagai dasar agama (ushuluddin).

12H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah. (Cet. IV; Bandung: Pustaka

Hidayah, 2008), h. 150.

13Louis Massignon, Mustafa Abdur Raziq, Islam dan Tasawuf, terj. Irwan Raihan, (Jakarta: Fajar Pustaka

Baru, 2001), h. 81.

14Abul Qosim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi, Risalah Qusyairiyah; Sumber Kajian

(14)

Allah wajib disifati dengan kekuasaan. Jika ada hal yang bisa dilakukan, ia bisa terjadi. Adapun naql, banyak ayat Al-Qur’an dan hadits.15

Mengenai tentang terjadinya karamah, seperti terdapatnya kisah ashab al-kahfi dan lamanya tidur mereka dalam keadaan hidup dan sehat, selama tiga ratus sembilan tahun, sebagaimana terjadi di dalam Al-Qur’an.16

1. Pembuktian Karamah

Keberadaan karamah para wali telah ditetapkan dalam al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, serta atsar sahabat dan orang-orang setelah mereka, sampai zaman sekarang ini. Keberadaannya juga diakui oleh mayoritas ulama Ahli Sunnah yang terdiri dari para ahli fikih, para ahli hadits, para ahli ushul dan para syaikh tasawuf, yang karangan-karangan mereka banyak berbicara tentangnya. Selain itu, keberadaannya juga telah dibuktikan dengan kejadian-kejadian nyata di berbagai masa. Dengan demikian, karamah tetap (terbukti) secara mutawatir maknawi, meskipun rinciannya diriwayatkan secara ahad (sendiri-sendiri). Karamah tidak diingkari kecuali oleh ahli bid’ah dan kesesatan yang imannya kepada Allah, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya lemah.17

2. Dalil Karamah dari al-Qur’an18

a. Cerita Ashabul Kahfi yang tertidur panjang dalam keadaan hidup dan selamat dari bencana selama 309 tahun, dan Allah menjaga mereka dari panasnya

matahari. Allah berfirman, “Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit,

condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri.” (QS. Al-Kahfi: 17) “Dan kamu mengira mereka itu bangun, Padahal mereka tidur; dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua.” (QS. Al-Kahfi: 18) “Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (QS. Al-Kahfi: 25)

15Yusuf Al-Qaradhawi, Akidah Salaf dan Khalaf, terj. Arif Munandar Riswanto, (Jakarta: Pustaka

Al-Kautsar, 2009), h. 250.

16Louis Massignon, Mustafa, Islam dan Tasawuf, h. 85. 17Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, h. 317. 18Syaikh ‘Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, h. 317.

(15)

b.

Kisah Maryam yang menggoyang pohon kurma yang kering. Seketika itu juga, pohon tersebut menjadi rindang dan berjatuhanlah kurma yang sudah masak di luar musimnya. “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam: 25)

c. Apa yang diceritakan Allah dalam al-Qur’an kepada kita bahwa setiap kali Zakaria masuk ke mihrab Maryam, dia menemukan rezeki di dalamnya, padahal tidak ada yang masuk ke situ selain dia. Lalu dia berkata, “Wahai Maryam, dari manakah engkau memperoleh ini?” Maryam menjawab, “Ini semua dari Allah.”

“Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan

di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". (QS. Ali Imran: 37)

d. Cerita Ashif ibn Barkhiya bersama Sulaiman a.s., sebagaimana dikatakan oleh mayoritas mufassirin, “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab, "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". (QS. An-Naml: 40) Maka di pun membawa singgasana ratu Bilqis dari Yaman ke Palestina sebelum mata berkedip.

3. Dalil Karamah dari Sunnah19

a. Kisah Juraij al-Abid yang berbicara dengan bayi yang masih dalam buaian. Ini adalah hadits shahih yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam ash-Shahihain.

b. Kisah seorang anak laki-laki yang berbicara ketika masih dalam buaian.

c. Kisah ketiga orang laki-laki yang masuk ke dalam gua dan bergesernya batu besar yang sebelumnya menutupi pintu gua tersebut. Hadits ini yang sepekati keshahihannya.

d. Kisah lembu yang berbicara dengan pemiliknya. Hadits ini adalah hadits shahih yang masyhur.

4. Dalil Karamah dari Atsar Para Sahabat20

(16)

Diceritakan banyak hal dari para sahabat tentang karamah.

a. Kisah Abu Bakar r.a bersama para tamunya tentang bertambah banyaknya makanan. Sampai setelah mereka selesai makan, makanan tersebut menjadi lebih banyak dari sebelumnya.

b. Kisah Umar r.a. ketika dia berada di atas mimbar di Madinah dan dia memanggil panglima perangnya yang sedang berada di Persia, “Wahai Sariah, gunung!” c. Kisah Utsman r.a. bersama seorang laki-laki yang datang kepadanya, lalu

Utsman memberi tahu tentang apa yang terjadi ketika dia sedang dalam perjalanan melihat seorang perempuan asing.

d. Kisah Ali ibn Abi Thalib yang mampu mendengarkan pembicaraan orang-orang yang sudah mati, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Baihaqi.

e. Kisah Abbad ibn Basyar dan Asid ibn Hadhir ketika tongkat salah seorang di antara mereka mengeluarkan cahaya sewaktu mereka keluar dari kediaman Rasulullah SAW pada malam yang gelap. Ini adalah hadits shahih yang dikeluarkan oleh Bukhari.

f. Kisah Khabib r.a. dan setandan anggur yang ada di tangannya. Dia memakannya di luar musimnya. Ini adalah hadits shahih.

g. Kisah Sa’ad dan Said r.a. ketika masing-masing dari keduanya memohonkan azab atas orang yang telah berdusta atasnya. Doa tersebut lalu dikabulkan. Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim.

h. Kisah Abur al-Alla’ ibn al-Hadhrami yang membelah laut di atas kudanya, dan air muncul berkat doanya. Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat al-Kubra.

i. Kisah Khalid ibn Wali r.a ketika meminum racun. Kisah ini dikeluarkan Baihaqi, Abu Nuaim, Thabrani dan Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih. j. Jari-jari tangan Hamzah al-Aslami yang bercahaya ketika malam gelap gulita.

Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari.

k. Kisah Ummu Aiman dan bagaiman dia kehausan ketika hijrah. Lalu turun kepadanya ember dari langit, dan dia pun minum. Kisah ini diriwayatkan oleh Abu Nuaim dalam al-Hilyah.

(17)

l. Kisah seorang sahabat yang bisa mendengarkan suara orang yang membaca surah al-Mulk dari kuburan setelah tenda dipasang di atasnya. Kisah ini diriwayatkan oleh Tirmidzi.

m. Bertasbihnya piring besar yang dipakai untuk makan oleh Salman al-Farisi dan Abu Darda r.a. dan mereka berdua mendengar tasbih tersebut. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nuaim.

n. Kisah Safinah r.a., budak laki-laki Rasulullah dan seekor singa. Kisah ini diriwayatkan oleh Hakim dalam al-Mustdarak dan Abu Nuaim dalam al-Hilyah.

Ini hanyalah sebagian kecil dari banyak kejadian tentang karamah para sahabat Rasulullah SAW. Kemudian, karamah juga banyak terjadi pada para wali di masa tabiin dan para pengikut tabiin, sampai saat sekarang ini, sehingga sangat sulit untuk dihitung jumlahnya. Para ulama telah mengarang berjilid-jilid buku tentang hal itu. Dan para-para imam besar juga menulis buku-buku yang membuktikan adanya karamah bagi para wali.

Di antara mereka adalah Fakhruddin ar-Razi, Abu Bakar al-Baqilani, Imam Haramain, Abu Bakar ibn Faurak, al-Ghazali, Nasiruddin al-Baidhawi, Hafiduddin an-Nasafi, Tajuddin as-Subki, Abu Bakar al-Asy’ari, Abu Qasim al-Qusyairi, Nawawi, Abdullah al-Yaffi, Yusuf an-Nabhani dan ulama lainnya yang tidak terhitung jumlahnya. Maka jadilah hal tersebut ilmu yang kuat, meyakinkan dan tetap. Tidak ada lagi keraguan atau syubhat di dalamnya.

(18)

C. Tawasul dan Tabarruk

1. Pengertian Tawasul

Tawasul berasal dari bahasa Arab: wasala-yasilu-wasilatan, yang berarti jalan.

Wasilah biasa dimaknai sebagai jalan untuk dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Atau dengan kata lain mengerjakan sesuatu amal kebaikan, yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.21

Dalil (alasan) yang biasa digunakan unutk menunjukkan kebolehan bertawasul

adalah firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah

dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (al wasilah), dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Maidah/5:35).

Berdoa dengan tawasul juga didasarkan pada hadits Nabi saw: “Adalah Sayyidina Umar bin Khaththab ra, apabila terjadi kemarau beliau berdoa dengan bertawasul dengan Abbas bin Abdul Muthathlib (paman Nabi). Umar bin Khathathab berdoa: Ya Allah... Bahwasanya kami pernah berdoa dengan bertawasul kepada Engkau dengan Nabi, maka Engkau turunkan hujan, dan sekarang kami bertawasul dengan paman Nabi kami, maka Ya Allah, turunkan hujan. Anas berkata: Maka turunlah hujan kepada kami (HR. Bukhari dari Anas bin Malik).

Berdasarkan ayat dan hadits tersebut, maka yang dimaksud dengan berdoa secara bertawasul adalah berdoa kepada Tuhan (bukan kepada yang lain-Nya), dengan memperingatkan sesuatu yang dikasihi Allah. Ulama berbeda pendapat tentang kebolehan berdoa dengan cara bertawasul ini.

Menurut mayoritas ulama ahlus sunnah wal jama’ah, berdoa dengan cara yang demikian diperbolehkan, bahkan nilai sebagai suatu kebaikan dan memiliki nilai pahala. Dasar yang dipakai oleh ulama ahlus sunnah adalah ayat dan hadits yang disebutkan.22

Wasilah tak ubahnya meminta pertolongan kepada seseorang yang dekat dengan pimpinan. Berdoa kepada Tuhan juga dapat dilakukan dengan jalan 21Amin Syukur, Tasawuf Bagi Orang Awam (Cet. I; Yogyakarta: LPK-2, Suara Merdeka, 2006), h. 157. 22Amin Syukur, Tasawuf Bagi Orang Awam, h. 158.

(19)

bertawasul, baik dengan orang yang masih hidup atau pun yang sudah meninggal. Contoh berdoa dengan bertawasul, sebagai berikut:

Kita datang kepada seorang ulama yang kita anggap mulia dan dikasihi Tuhan, lalu kita katakan kepada beliau: “Saya akan berdoa, memohon sesuatu kepada Tuhan, tetapi saya meminta ‘tuan guru’ juga berdoa kepada Allah bersama saya, supaya permintaan saya dikabulkan oleh Allah.” Lalu keduanya berdoa bersama-sama. Ini cara bertawasul dengan orang yang masih hidup.

Sedangkan jika bertawasul dengan orang yang sudah meninggal, caranya seperti ini:

Kita berziarah ke suatu makam seorang ulama besar, lalu kita berdoa kepada Tuhan: “Ya Allah, Ya Tuhan Yang Pengasih dan Penyayang, saya mohon ampunan dan keridhaan-Mu, atas kemuliaan Nabi dan kekasih-Mu. Kabulkanlah permohonan saya, Ya Allah yang Rahman dan Rahim.”

Atau kita bertawasul atas nama amal baik yang pernah kita lakukan, seperti berikut ini: “Ya Allah, saya telah mengerjakan amalan yang baik, yakni saya tetap hormat kepada kedua orang tuaku, tidak pernah saya durhaka kepadanya, dan Engkau pun tahu hal ini ya Allah. Kalau amal itu Engkau terima, maka kabulkanlah permohonan saya.” Cara yang demikian juga berdoa dengan cara bertawasul.

Orang Islam yang berdoa dengan cara seperti itu, pada dasarnya tidak meminta kepada Nabi, wali, atau ulama, tetapi semata-mata hanya kepada Allah SWT.23

2. Macam-macam Tawasul a).Tawassul kepada Dzat Allah

Tawassul kepada Dzat Allah seperti ucapan “Laa Haula wa laa Quwwata billah.” Seperti ayat,

(QS. Al-Kahfi: 39)

Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu "maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah.

(An-Nahl: 127)

(20)

bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah.

(Al-A’raf: 128)

"Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah.”

(Al-Fatihah: 5)











Hanya Engkaulah yang Kami sembah dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.

Ketika kita memohon pertolongan kepada Allah, kita bertawassul dengan Dzat-Nya.hal tersebut seperti sabda Nabi ketika dalam doa bepergian:

Ya Allah, dengan kamu aku mendobrak, berkeliling, dan berjalan.

b).Tawasul dengan Nama dan sifat Allah

Tawasul dengan nama-nama terbaik Allah (Asmaul Husna) dan sifat-sifatnya yang Maha Tinggi adalah salah satu syariat yang disepakati. Allah telah berfirman, (QS. Al-A’raf :180)

Hal tersebut diterangkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya,

“Ya Allah, aku adalah Hambamu, anak hambamu, anak budak perempuan, ubun-ubunku ada dalam genggamanmu, hukummu tajam dan keputusanmu adil. Aku meminta kepadamu dengan setiap nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan untuk dirimu, atau Engkau turunkan di dalam Kitabmu atau Engkau ajarkan kepada salah satu seorang makhlukMu, atau Engkau istimewaan di alam ghaib. Agar Engkau menjadikan Al-Qur’an sebagai kebun hatiku, cahaya dadaku, pengobat sedihku, dan pelipur laraku.”

c). Tawassul dengan Amal Shaleh

Salah satu tawassul yang disyari’atkan dan tidak ada perselisihan adalah tawassul denga amal shaleh. Terutama, dengan amal ikhlasa yang mengharap ridha Allah, yang belum dikotori oleh tujuan-tujuan dunia, mengharapkan manfaat, syahwat, atau pujian dari manusia.

(21)

Al-Qur’an telah menyebutkan banyak sekali doa orang-orang beriman dan orang-orang shaleh yang bertawassul kepada Allah denga iman dan amal shaleh. Seperti firman Allah SWT

(QS. Al-Imran:16) (QS.Al-Imran: 193) (QS.Ali-Imran :53)

Dalil paling jelas dari hal itu adalah, kisah orang-orang goa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain. Dari Ibnu Umar ra. Dia berkata bahwa Rasulullah SAW pernahbersabda ada tiga orang sebelum kalian yan sedang berjalan, tiba-tiba mereka terkena hujan. Lalu, mereka berlinding ke sebuah goa tetapi mereka terkunci. Lalu, mereka berkata satu denga yang lain; “Demi Allah, tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian kecuali shadaqah, hendaklah salah seorang dari kalian berdoa dengan hal yang telah dishadaqahkannya. Lalu, salah seorang diantara mereka berkata; “Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa aku mempunyai seorang pekerja yang bekerja untukku sebanyak 1 faraq beras. Lalu, orang tersebut datang kepadaku meminta upahnya. Aku berkata; “Ambillah sapi tersebut dan giringlah dia.” Dia berkata kepadaku; “Aku meninggalkan satu faraq beras kepadamu. Aku berkata:”Ambil sapi tersebut, karena ia adalah faraq tersebut, kemudian kirimlah ia. Jika Engkau mengetahui aku melakukan hal itu karena takut kepadaMu, bebaskanlah kami dari bencana ini. Lalu, batupun terbuka.

Lelaki yang lain berkata; “Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa sayamempunyai dua orang tua yang sangat tua. Setiap malam saya memberinya susu dari kambing milik saya. Pada suatu malam saya datang terkambat. Ketika tiba,mereka berdua telah tidur, sedangkan keluargaku menangis karena rasa lapar. Aku tidak memberi mereka minum kecuali setelah kedua orang tuaku minum. Aku tidak ingin membangunkan dan mengajak mereka. Lalu, kami diam hingga mereka minum. Akupun menunggu hingga terbit fajar. Jika Engkau mengetahui aku melakukan hal itu karena takut kepadaMu, bebaskanlah kami dari bencana ini. Lalu, batupun terbuka hingga mereka bisa melihat langit.

(22)

menggodanya, tetapi dia menolak kecuali jika aku memberinya seratus dinar. Lalu, akupun memintanya hingga mampu. Akupun mendatanginya dengan uang itu dan memberikan kepadanya. Diapun memberikan dirinya kepadaku. Ketika aku hendak menggaulinya, dia berkata :”Bertakwalah kepada Allah, jangan memecahkan cincin kecuali dengan haknya. Lalu, akupun berdiri dan meninggalkan seratus dinar. Jika Engkau mengetahui aku melakukan hal itu karena takut kepadaMu, bebaskanlah kami dari bencana ini. Lalu, batupun terbuka hingga mereka keluar.

3. Pengertian Tabarruk

Tabarruk berasal dari kata barakah.Makna tabarruk ialah mengharapkan keberkahan dari Allah SWT dengan sesuatu yang mulia dalam pandangan Allah.24

Sebelum dikemukakan dalil mengenai diperbolehkannya tabarruk, berikut adalah penjelasan ringkas mengenai tabarruk.

Tabarruk mengandung pengertian yang sama dengan tawassul, yaitu tawassul kepada Allah SWT dengan harapan akan memperoleh berkah-Nya. Tabarruk boleh dilakukan orang dengan barang-barang pusaka, tempat ataupun orang dengan syarat sesuatu yang digunakan dalam tabarruk itu mulia dalam pandangan Allah SWT. Misalnya pribadi Rasulullah SAW, pusaka-pusaka peninggalannya, makam dan lain sebagainya. Tabarruk juga boleh dilakukan dengan pribadi para waliyullah, para ulama dan orang-orang shaleh lainnya, termasuk pusaka-pusaka peninggalan mereka dan tempat-tempat pemakaman atau tempat-tempat lain yang pernah mereka jamah atau pernah mereka jadikan tempat bertaqarrub kepada Allah SWT.25

Syarat lainnya lagi ialah, orang yang ber-tabarruk harus mempunyai keyakinan penuh, bahwa sarana yang dijadikan tabarruk ini tidak dapat mendatangkan manfaat maupun mudharat tanpa seizin Allah SWT. Sebab, bagaimanapun juga setiap Muslim harus berkeyakinan bahwa segala sesuatu berada di dalam kekuasaan Allah SWT.

Satu hal yang perlu ditentangkan, bahwa barang-barang pusaka ataupun tempat-tempat apa saja nilai kemuliaannya bukan karena substansinya sendiri,

24H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah, h. 240. 25H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah, h. 240.

(23)

melainkan karena kaitannya dengan kemuliaan orang atau pribadi yang pernah memanfaatkannya untuk beribadah kepada Allah SWT. Dengan dimanfaatkannya barang-barang pusaka itu atau tempat-tempat itu oleh para hamba Allah yang shaleh untuk mendekatkan diri pada Allah SWT, maka dengan sendirinya pada barang-barang atau tempat-tempat itu pernah turun rahmat Allah, dijamah atau didatangi oleh malaikat Allah hingga menjadi sarana yang dapat menimbulkan perasaan tenang dan tentram. Itulah keberkahan yang diminta oleh orang-orang yang bertabarruk dari Allah SWT. Di tempat-tempat itulah, atau dengan barang-barang pusaka itulah orang yang ber-tabarruk menghadapkan diri kepada Allah SWT dengan memanjatkan doa dan beristighfar serta merenungkan peristiwa-peristiwa besar di tempat-tempat itu, atau dengan benda-benda pusaka itu. Yaitu peristiwa dan kejadian yang pernah menggerakkan jiwa umat manusia ke arah kebajikan dan keberuntungan , hingga orang yang ber-tabarruk itu tergerak pula jiwanya untuk berteladan kepada pribadi mulia yang pernah memanfaatkan benda-benda pusaka dan tempat-tempat itu.26

4. Macam-macam Tabarruk

Ada beberapa macam tabarruk yang syar’i yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan, tempat dan waktu:27

a). Ucapan. Misalnya membaca Al Qur’an. Sebagaimana hadits Abu Umamah Al Bahili Radiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim bahwa

Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Bacalah Al Qur’an karena dia (Al Qur’an) akan datang sebagai syafaat pembacanya pada hari kiamat.”

b). Amalan perbuatan. Misalnya shalat berjama’ah di masjid berdasarkan hadits ‘Utsman bin ‘Affan Radiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Muslim bahwa beliau (Utsman bin ‘Affan) berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

”Barang siapa yang berwudhu untuk menunaikan sholat lalu dia menyempurnakan wudhunya, kemudian berjalan kaki untuk sholat wajib lalu sholat bersama manusia

26H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah, h. 241.

27http://salafy.or.id/blog/2005/05/14/mengais-berkah-para-wali-dalam-tinjauan-islam/ diakses pada

(24)

atau jama’ah atau di dalam masjid maka Allah ampuni dosa-dosanya.” c). Tabarruk dengan tempat-tempat tertentu yang memang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan padanya barakah jika ditunaikan amalan-amalan yang syar’i di dalamnya. Diantaranya Masjid-Masjid Allah Subhanahu wa Ta’ala terkhusus Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha, kota Makkah, kota Madinah dan Syam.

d). Tabarruk dengan waktu-waktu yang telah dikhususkan oleh syari’at dengan anugerah barakah, misalnya bulan Ramadhan, Lailatul Qadar, sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, hari Jum’at, sepertiga malam terakhir setiap harinya, dan lain-lain. Tentunya di dalam waktu-waktu tersebut dipenuhi dengan amalan-amalan syar’i untuk mendapatkan barakah.

(25)

PENUTUP A. Kesimpulan

Istilah wali bukanlah istilah fiqh atau syari’at bi al-dzawahir (ajaran keagamaan yang bersifat lahiriah). Wali merupakan istilah sufi dan kerohanian. Maknanya adalah kekasih yang dicintai Allah. Persoalan “cinta” juga bukan masalah

fiqh, tetapi masalah spiritual atau rohani.

Karamah adalah sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan, yang tidak dihubungkan dengan pengakuan kenabian. Karamah adalah suatu pertolongan bagi sang wali karena ketaatan, serta sebagai penguat bagi keyakinannya, serta sebuah keberhasilan atas keistiqamahannya, sebagai tanda yang menunjukkan kebenaran pengakuan tentang kewaliannya, jika ia memintanya karena kebutuhan dan didukung oleh syari’at.

Tawasul berasal dari bahasa Arab: wasala-yasilu-wasilatan, yang berarti jalan.

Wasilah biasa dimaknai sebagai jalan untuk dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Atau dengan kata lain mengerjakan sesuatu amal kebaikan, yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan.

Tabarruk berasal dari kata barakah.Makna tabarruk ialah mengharapkan keberkahan dari Allah SWT dengan sesuatu yang mulia dalam pandangan Allah.

Tabarruk mengandung pengertian yang sama dengan tawassul, yaitu tawassul kepada Allah SWT dengan harapan akan memperoleh berkah-Nya. Tabarruk boleh dilakukan orang dengan barang-barang pusaka, tempat ataupun orang dengan syarat sesuatu yang digunakan dalam tabarruk itu mulia dalam pandangan Allah SWT.

B. Saran

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Solikhin, Muhammad. Ajaran Ma’rifat Syekh Siti Jenar. Cet. II. Yogyakarta: Narasi, 2007.

Syukur, Amin. Tasawuf Kontekstual. Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Taimiyah, Ibnu. Karakateristik Wali Allah dan Wali Setan. Cet. I. Solo: CV. Ramadhani, 1989.

Isa, Syaikh ‘Abdul Qadir. Hakekat Tasawuf. Cet. XII. Jakarta Timur: Qisthi Press, 2010.

Al-Husaini, H.M.H. Al-Hamid. Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah. Cet. IV. Bandung: Pustaka Hidayah, 2008.

Massignon, Louis dan Raziq, Mustafa Abdur. Islam dan Tasawuf. terj. Irwan Raihan. Jakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.

An-Naisaburi, Abul Qosim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi. Risalah Qusyairiyah; Sumber Kajian Ilmu Tasawuf.terj. Umar Faruq. Cet. II. Jakarta: Pustaka Amani, 2007.

Al-Qaradhawi, Yusuf. Akidah Salaf dan Khalaf. terj. Arif Munandar Riswanto, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009.

Syukur, Amin. Tasawuf Bagi Orang Awam. Cet. I. Yogyakarta: LPK-2, Suara Merdeka, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah memetakan lokasi dan kapasitas dari informasi inventarisasi mata air di Kecamatan Cidahu, mengkaji variasi dari data deret waktu mata air yang

Faktor produksi pada usahatani tanaman tembakau yang ditinjau adalah lahan, benih, pupuk, pestisida dan tenaga

September, 2016. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui pengaruh kreativitas belajar terhadap hasil belajar. 2) Untuk mengetahui pengaruh kemampuan komunikasi

membangun kemitraan pengembangan pendidikan lingkungan hidup di sekolah dibuktikan denagn kerja sama dengan dari BLH Kabupaten Wonosobo. Berdasarkan hasil penelitian

Tujuan teks berbeda dengan teks negosiasi , dimana tujuan teks deskripsi sangat jelas yaitu agar orang yang membaca teks ini seolah-olah sedang merasakan langsung apa yang sedang

Cara kerja Beauty Magic Stick adalah elektron yang bebas terikat bersama dengan kelembaban kulit sehingga menjadi ion negatif, dan diserap kedalam kulit, peredaran darah

1) Mengujikan soal pilihan ganda berdasarkan hasil uji coba yang telah diperbaiki kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya kepada siswa kelas VII C untuk

Sinar Sengon Sejahtera tersedia Dokumen V- Legal untuk produk yang wajib dilengkapi dengan Dokumen V-Legal, dan telah sesuai dengan dokumen PEB dan dokumen invoice,