• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Komunikasi Nonverbal Pada Lesbian (Studi Deskriptif Pada Organisasi Cangkang Queer Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA - Komunikasi Nonverbal Pada Lesbian (Studi Deskriptif Pada Organisasi Cangkang Queer Medan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perspektif/Paradigma Kajian

Konstruktivisme berada di titik temu dua aluran besar dalam sejarah

sosiolog: sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) dan sosiologi sains

(sociology of science) (Kulka, 2003: 13).

Istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality),

menjadi terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowladge” pada tahun 1966. Ia menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara

terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif

(Bungin, 2008: 189).

Asal mula konstruksi sosial dari paradigma konstruktivisme, yang dimulai

dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld, pengertian

konstruktif kognitif muncul pada abad ini. Dalam tulisan Mark Baldwin yang

secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, apabila

ditelusuri, sebenarnya telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistimolog

dari Italia, ia adalah cikal bakal konstruktivisme (Suparno, 1997: 24).

Semua orang bisa saja mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas

suatu realitas. Karena setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi,

pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu. Selain plural,

konstruksi juga bersifat dinamis. Sebagai hasil dari konstruksi sosial maka realitas

tersebut merupakan realitas subjektif dan sekaligus realitas objektif (Eriyanto,

2002: 16).

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Komunikasi

nonverbal pada lesbian yang tergabung dalam Organisasi Cangkang Queer Medan

merupakan hasil dari sebuah konstruksi sosial. Oleh karena itu, perlu diteliti

karena setiap individu mempunyai latar belakang yang berbeda, status pendidikan

yang berbeda, dan lingkungan yang berbeda yang bisa menghasilkan penafsiran

(2)

nonverbal sendiri memiliki tingkat ambiguitas yang tinggi karena penafsirannya

tidak memiliki ketentuan yang berlaku secara universal. Lagi, pernafsirannya juga

dipengaruhi oleh latar belakang, pendidikan, lingkungan, dan lain-lain dari setiap

individu yang memberikan penafsiran.

2.2 Kerangka Teori

2.2.1 Komunikasi Antarmanusia

Komunikasi antarmanusia (human communications) merupakan ciri pokok

kehidupan manusia sebagai makhluk sosial pada tingkat kehidupan sederhana

maupun pada tingkat kehidupan modern yang lebih kompleks seperti sekarang ini.

Melalui komunikasi, manusia dapat mengalami kontak dan interaksi sosial, baik

antarpribadi, antarkelompok, antarsuku maupun antarbangsa.

Secara umum komunikasi antarmanusia dipahami sebagai komunikasi

antar individu-individu dengan latar belakang kepentingan berdasarkan latar

pribadi. Menurut DeVito (2011: 23) komunikasi antarmanusia adalah komunikasi

yang terjadi di antara dua orang yang memiliki hubungan mapan; orang-orang

yang dengan berbagai cara hubungan.

Definisi ini dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa komunikasi antarmanusia

melibatkan paling sedikit dua orang (dyadic) dalam sebuah relasi (relation).

Walaupun ketika seseorang berada pada sebuah kondisi triads (kelompok yang

terdiri atas tiga orang), dyads (relasi dua orang) tetap menjadi hal yang utama;

dyads selalu menjadi pusat dari relasi antarmanusia. Misal, komunikasi

antarmanusia dapat meliputi suatu proses pertukaran pesan di antara seorang anak

dan ayahnya, seorang atasan dan karyawannya, dua orang bersaudara, seorang

guru dan seorang muridnya, dua orang sahabat, dan sebagainya.

Dalam buku Komunikasi Antarmanusia, DeVito (2011) menggambarkan

komunikasi antarmanusia mengandung elemen-elemen yang ada di dalam setiap

tindakan komunikasi, terlepas dari apakah itu bersifat intrapribadi, antarpribadi,

kelompok kecil, organisasi, publik (terbuka), komunikasi antarbudaya, atau

komunikasi massa. Dalam komunikasi intrapribadi, DeVito mendefinisikannya

sebagai komunikasi dengan diri sendiri di mana memiliki tujuan untuk berpikir,

(3)

antarpribadi diartikan sebagai komunikasi antara dua orang yang dilakukan untuk

mengenal, berhubungan, mempengaruhi, bermain, maupun membantu. Kemudian,

pada komunikasi kelompok kecil didefinisikan sebagai komunikasi dalam

sekelompok kecil orang untuk berbagi informasi, mengembangkan gagasan,

memecahkan masalah, maupun membantu. Selanjutnya, komunikasi organisasi

adalah komunikasi dalam suatu organisasi formal demi meningkatkan

produktivitas, membangkitkan semangat kerja, maupun memberikan informasi

yang meyakinkan.

Selain itu, komunikasi publik diartikan DeVito sebagai komunikasi dari

pembicaraan khalayak yang mana untuk memberi informasi, meyakinkan,

maupun menghibur. Setelah itu, komunikasi antarbudaya yang arti singkatnya

adalah komunikasi antara orang dari budaya yang berbeda untuk mengenal,

berhubungan, mempengaruhi, bermain, maupun membantu. Terakhir, DeVito

mendefinisikan komunikasi massa sebagai komunikasi yang diarahkan kepada

khalayak yang sangat luas, disalurkan melalui sarana audio dan atau visual.

Komunikasi massa dikakukan untuk menghibur, meyakinkan, memberi informasi,

mengukuhkan status, membius, maupun menciptakan rasa persatuan.

Dari pemaparan sebelumnya, diketahui bahwa komunikasi antarmanusia

memiliki cakupan luas yang senantiasa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Saat berdiri dihadapan kaca, Anda mungkin akan menatap diri Anda dan

bergumam sendiri. Kemudian, ketika menjumpai ibu yang sedang memasak, mungkin Anda akan menanyakan “masak apa?”. Setelah itu, Anda berangkat ke sekolah dengan teman Anda dan kemudian terjadi pembicaraan di antara kalian

berdua. Setelah tiba di kelas, Anda dihadapkan dengan teman sekelas dan lagi,

terjadi pembicaraan yang mungkin melibatkan sebagian atau seluruh orang di

dalam kelas.

Dalam konteks komunikasi, komunikasi yang terjadi antara manusia,

setidak-tidaknya, memiliki tiga dimensi.: fisik, sosial-psikologis dan temporal.

Konteks (lingkungan) fisik disini memiliki makna sebagai lingkungan nyata atau

berwujud. Lingkungan fisik ini pastilah memiliki pengaruh terhadap komunikasi

(4)

pesan yang Anda sampaikan di dalam kelas akan berbeda dengan pesan yang

Anda sampaikan di kantin. Perbedaan ini dapat berhubungan dengan tata bahasa.

Dimensi sosial-psikologis meliputi, misalnya tata hubungan status di

antara mereka yang terlibat, peran dan permainan yang dijalankan orang, serta

aturan budaya, masyarakat di mana mereka berkomunikasi (DeVito, 2011: 25).

Dimensi temporal mencakup waktu dalam sehari maupun waktu didalam

hitungan sejarah di mana komunikasi berlangsung. Hal yang paling penting adalah

bagaimana suatu pesan tertentu disesuaikan dengan rangkaian peristiwa

komunikasi.

Selain dimensi, hal lain yang terlibat saat terjadinya komunikasi adalah

sumber-penerima. Sumber dimaksudkan sebagai orang yang menyampaikan pesan

komunikasi atau yang lebih dikenal sebagai komunikator. Sedangkan penerima

adalah orang yang menerima pesan yang disampaikan oleh komunikator.

Penerima dapat disebut sebagai komunikan. Dalam proses menyampaikan dan

menerima pesan, terdapat istilah encoding dan decoding. Encoding adalah proses

penyampaian pesan yang menggunakan lambang atau kode tertentu. Sedangkan

decoding memiliki arti sebagai proses penerimaan pesan dengan menguraikan

lambang atau kode tersebut.

Lebih lanjut, guna menciptakan komunikasi yang efektif, dibutuhkannya

kompetensi komunikasi bagi seseorang yang hendak berkomunikasi. Menurut

DeVito (2011: 27) kompetensi komunikasi mengacu pada kemampuan Anda

untuk berkomunikasi secara efektif.

Pesan dan saluran merupakan hal yang terlibat saat komunikasi sedang

berlangsung. Pesan berupa informasi baik berupa verbal (lisan atau tertulis)

maupun nonverbal (tanpa kata). Sedangkan saluran komunikasi adalah media

yang digunakan dalam menyampaikan pesan.

Umpan balik dan gangguan juga merupakan hal yang bisa saja terjadi saat

komunikasi dilakukan antara manusia. Umpan balik berarti informasi yang

dikirimkan balik ke sumbernya. Misal, ketika Anda mengikuti acara seminar,

setelah acara selesai Anda mengacungkan jari untuk memberikan tanggapan

kepada pemateri. Sedangkan gangguan dalam konteks komunikasi dapat berupa

(5)

Gangguan fisik dapat digambarkan melalui contoh ketika Anda berbicara

dengan teman Anda, namun suara orang lain mengganggu pendengaran teman

Anda dan bisa saja pesannya tidak sampai. Sedangkan gangguan psikologis

datang dari si komunikator atau komunikan. Misal, prasangka yang telah

terbentuk sejak awal. Setelah itu, gangguan semantik di mana komunikator

dengan komunikan tidak memiliki kesamaan arti dalam memaknai pesan.

2.2.2 Komunikasi Nonverbal

Kajian pertama mengenai komunikasi nonverbal ditemukan pada zaman

Aristoteles sekitar 400 sampai 600 tahun Sebelum Masehi. Namun, studi

ilmiahnya yang berkaitan dengan retorika, baru dilakukan pada zaman Yunani dan

Romawi Kuno. Karya Cicero, Pronuntiatio atau cara berpidato, mungkin yang

pertama kali memperlakukan komunikasi nonverbal secara sistematis.

Bagaimanapun juga, karyanya telah dibatasi untuk menggunakan suara dan

gerakan-gerakan ragawi dalam konteks public speaking. Dari hasil karya Cicero

ini, kemudian orang lain mengkaji pengaruh bahasa nonverbal terhadap

komunikasi dalam hampir keseluruhan situasi public speaking (Sendjaja, 2002:

6.22)

Dalam tahun 1775, Joshua Steele memusatkan kajiannya mengenai

komunikasi nonverbal pada suara sebagai satu instrumen atau pada suatu konsep

yang disebut prosody. Konsep dari Steele ini menjelaskan bahwa bahasa dalam

drama atau puisi dapat “dibaca” hampir setiap notasi musik. Kemudian, pada tahun 1806, dijelaskan Sendjaja dalam Modul Teori Komunikasi (2010) bahwa

Gilbert Austin mengkonsentrasikan kajiannya pada gerakan-gerakan badan yang

dihubungkan dengan bahasa. Pendekatan ini menghasilkan sebuah sistem yang

disebut dengan elocutionary system di mana isyarat-isyarat yang “pantas”

dipelajari dan digunakan dalam pertunjukan drama. Elocutionary system adalah

seni deklamasi atau keahlian membaca/mengucapkan kalimat dengan logat dan

lagu yang baik di muka umum. Setelah itu, kajian yang lebih kompleks tentang

komunikasi nonverbal dikembangkan oleh Francois Delsarte. Delsarte

(6)

tersebut, Delsarte berusaha meyakinkan bahwa pesan-pesan atau komunikasi secara nonverbal merupakan “agents of heart”.

Dari penjelasan Joshua Steele, Gilbert Austin, maupun Francois Delsarte

terkait dengan kajiannya masing-masing, dapat dijabarkan bahwa perkembangan

komunikasi nonverbal mengalami kemajuan. Di mana prosody menyampaikan

pesan-pesan nonverbal melalui suara dan Elocutionary system menyampaikan

pesan-pesan nonverbal melalui gerakan tubuh. Dalam hal ini, Elocutionary system

hampir sama dengan impression management. Sedangkan Delsarte

menggabungkan keduanya antara suara dan gerakan tubuh.

Dalam kebanyakan peristiwa komunikasi yang berlangsung, hampir selalu

melibatkan penggunaan lambang-lambang verbal dan nonverbal secara

bersama-sama. Keduanya, bahasa verbal dan nonverbal, memiliki sifat holistik, bahwa

masing-masing tidak dapat saling dipisahkan. Dalam banyak tindakan

komunikasi, bahasa nonverbal menjadi komplemen atau pelengkap bahasa verbal.

Namun, lambang-lambang nonverbal juga dapat berfungsi kontradiktif,

pengulangan bahkan pengganti ungkapan-ungkapan verbal. Ketika kita

menyatakan terima kasih (bahasa verbal), kita melengkapinya dengan tersenyum

(bahasa nonverbal); kita setuju terhadap pesan yang disampaikan orang lain

dengan anggukan kepala (bahasa nonverbal). Dua peristiwa komunikasi tersebut

merupakan contoh bahwa bahasa verbal dan nonverbal bekerja secara

bersama-sama dalam menciptakan makna suatu perilaku komunikasi.

Komunikasi nonverbal adalah setiap informasi atau emosi yang

dikomunikasikan tanpa menggunakan kata-kata atau nonlinguistik. Komunikasi

nonverbal adalah penting, sebab apa yang sering kita lakukan mempunyai makna

jauh lebih penting daripada apa yang kita katakan ( Budayatna & Ganiem, 2011:

110).

Lebih lanjut, banyak ahli yang mendefinisikan komunikasi nonverbal dari

berbagai sudut pandang, sebagai berikut :

1. Frank EX Dance dan Carl E. Larson: Komunikasi nonverbal adalah

sebuah stimuli yang tidak bergantung pada isi simbolik untuk

memaknainya (a stimulus not dependent on symbolic content

(7)

2. Edward Sapir: Komunikasi nonverbal adalah sebuah kode yang luas

yang ditulis tidak di mana pun juga, diketahui oleh tidak seorang pun

dan dimengerti oleh semua (an elaborate code that is written nowhere,

known to none, and understood by all).

3. Malandro dan Barker memberikan batasan-batasannya sebagai berikut:

a. Komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa kata-kata.

b. Komunikasi nonverbal terjadi bila individu berkomunikasi tanpa

menggunakan suara.

c. Komunikasi nonverbal adalah setiap hal yang dilakukan oleh

seseorang yang diberi makna oleh orang lain.

d. Komunikasi nonverbal adalah studi mengenai ekspresi wajah,

sentuhan, waktu, gerak isyarat, bau, perilaku mata dan lain-lain

(Sendjaja, 2002: 6.23)

Komunikasi nonverbal merupakan kata yang sedang popular saat ini.

Setiap orang tampaknya tertarik pada pesan yang dikomunikasikan oleh gerakan

tubuh, gerakan mata, ekspresi wajah, penggunaan jarak (ruang), kecepatan dan

volume bicara, bahkan juga keheningan. Kita ingin belajar bagaimana “membaca

seseorang seperti sebuah buku”,

Komunikasi nonverbal dapat menjalankan sejumlah fungsi penting. Periset

nonverbal mengidentifikasi enam fungsi utama ( DeVito, 2011: 177), yaitu :

1. Untuk Menekankan. Kita menggunakan komunikasi nonverbal untuk

menonjolkan atau menekankan beberapa bagian dari pesan verbal.

Misal, Anda mungkin tersenyum untuk menekankan kata atau

ungkapan tertentu, atau Anda dapat memukulkan tangan Anda ke meja

untuk menekankan suatu hal tertentu.

2. Untuk Melengkapi (Complement). Kita juga menggunakan komunikasi

nonverbal untuk memperkuat warna atau sikap umum yang

dikomunikasikan oleh pesan verbal. Jadi, Anda mungkin tersenyum

ketika menceritakan kisah lucu, atau menggeleng-gelengkan kepala

ketika menceritakan ketidak-jujuran seseorang.

3. Untuk Menunjukkan Kontradiksi. Kita juga dapat secara sengaja

(8)

Sebagai contoh, Anda dapat menyilangkan jari Anda atau

mengedipkan mata untuk menunjukkan bahwa yang Anda katakan

adalah tidak benar.

4. Untuk Mengatur. Gerak-gerik nonverbal dapat mengendalikan atau

mengisyaratkan keinginan Anda untuk mengatur arus pesan verbal.

Mengerutkan bibir, mencondongkan badan ke depan atau membuat

gerakan tangan untuk menunjukkan bahwa Anda ingin mengatakan

sesuatu merupakan contoh-contoh dari fungsi mengatur ini. Anda

mungkin juga mengangkat tangan Anda atau menyuarakan jenak

(pause) Anda (misal, dengan menggumamkan “umm”) untuk

memperlihatkan bahwa Anda belum selesai berbicara.

5. Untuk Mengulangi. Kita juga dapat mengulangi atau

merumuskan-ulang makna dari pesan verbal. Misal, Anda dapat menyertai pernyataan verbal “Apa benar?” dengan mengangkat alis mata Anda, atau Anda dapat menggerakkan kepala atau tangan untuk mengulangi

pesan verbal “Ayo kita pergi.”

6. Untuk Menggantikan. Komunikasi nonverbal juga dapat menggantikan

pesan verbal. Anda dapat, misal, mengatakan “oke” dengan tangan

Anda tanpa berkata apa-apa. Anda dapat menganggukkan kepala untuk mengatakan “ya” atau menggelengkan kepala untuk mengatakan “tidak”.

Selain memiliki fungsinya, komunikasi nonverbal juga memiliki

hambatan. Adapun hambatan yaitu :

1. Hambatan Konsepsi Atau Pemahaman

Dalam berkomunikasi bisa menjadi kesalahpahaman antara

orang-orang yang berkomunikasi. Kesalahpahaman ini terjadi karena

beberapa sebab, yaitu :

a. Komunikasi nonverbal bersifat insting dan tidak dipelajari.

b. Adanya keyakinan bahwa fenomena nonverbal seperti ekspresi

wajah dan postur tubuh merefleksikan ciri biologis dan

(9)

c. Banyaknya gerak isyarat yang digunakan dalam berkomunikasi

membuatnya sulit untuk dipelajari secara praktis dan sistematis

dalam hubungannya dengan perilaku manusia.

2. Hambatan Sejarah

Pada awalnya cara pergerakan dalam pengucapan bahasa dianggap

perlu dilakukan untuk menarik perhatian audience, bukan sebagai

pelengkap dan penguat pesan yang ingin disampaikan.

3. Hambatan metodologi

Diperlukan peralatan yang mahal untuk mempelajari komunikasi

nonverbal.

(http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PSIKOLOGI/19660516200012

2-HERLINA/IP-TM5_KOMUNIKASI_NONVERBAL.pdf).

Secara umum, DeVito dalam bukunya Komunikasi Antarmanusia (2011)

membagi jenis komunikasi nonverbal menjadi tiga, yaitu :

1. komunikasi tubuh.

2. ruang, kewilayahan, dan komunikasi sentuhan.

3. parabahasa dan waktu.

Jalan pertama di antara semua jalan komunikasi nonverbal adalah tubuh.

Kita mengkomunikasikan pikiran dan perasaan kita seringkali dan secara akurat

melalui gerakan-gerakan tubuh, gerakan wajah, dan gerakan mata (DeVito, 2011:

187). Gerakan tubuh tebagi terbagi atas lima, yaitu emblim, ilustrator, affect

display, regulator, dan adaptor.

a. Emblim

Emblim adalah perilaku nonverbal yang secara langsung

menerjemahkan kata atau ungkapan. Emblim meliputi, misal, isyarat

untuk “oke”, “jangan ribut”, “kemarilah”, dan “saya ingin menumpang” (DeVito, 2011: 187). Akan tetapi, Emblim meninggalkan ambiguitas karena mereka mempunyai kebebasan makna, sehingga

setiap orang dapat memiliki pemaknaan yang berbeda-beda terhadap

isyarat yang sama. Sebab, faktor suku bangsa juga mempengaruhi

(10)

Indonesia, maka lain halnya di India. Mereka menggunakan isyarat

menggelengkan kepala untuk menyetujui atau membenarkan suatu hal.

b. Ilustrator

Ilustrator adalah perilaku nonverbal yang menyertai dan secara harfiah “mengilustrasikan” pesan verbal. Dalam mengatakan “ayo bangun” misal, Anda mungkin menggerakkan kepala dan tangan Anda ke arah menaik (DeVito, 2011: 188). Ilustrator merupakan komunikasi

nonverbal yang lebih universal daripada emblim. Selain itu, Ilustrator

memiliki fungsi untuk menyertai pesan verbal. Sedangkan emblim

memiliki fungsi sebagai pengganti pesan nonverbal.

c. Affect display

Affect display adalah gerakan-gerakan wajah yang mengandung

makna emosional; gerakan ini memperlihatkan rasa marah dan rasa

takut, rasa gembira dan rasa sedih, semangat dan kelelahan.ekspresi wajah demikian “membuka rahasia kita” bila kita berusaha untuk menampilkan citra yang tidak benar dan membuat orang berkata, “Anda kelihatan kesal hari ini, mengapa?”. Tetapi, kita dapat secara

sadar mengendalikan affect display, seperti aktor yang memainkan

peran tertentu (DeVito, 2011: 189). Berbeda dengan ilustrator, affect

display kurang bergantung pada pesan verbal. Kita bisa saja

mengkomunikasikan pesan nonverbal yang berkontradiksi dengan

pesan verbal. Misalnya, saat orang menanyakan apakah Anda marah, Anda menjawab “tidak” namun, dengan nada tinggi dan ekspresi wajah merah, serta mata terbelalak.

d. Regulator

Lebih lanjut, gerakan tubuh berikutnya adalah regulator. DeVito

dalam bukunya Komunikasi Antarmanusia (2011) mendefinisikan

regulator sebagai perilaku nonverbal yang “mengatur”, memantau,

memelihara, atau mengendalikan pembicaraan orang lain. Regulator

merupakan perilaku nonverbal yang dilakukan komunikan saat

berkomunikasi dengan komunikator. Isyarat yang digunakan

(11)

pembicaraan. Misal, komunikan mengernyitkan dahi di tengah

pembicaraan. Melalui isyarat tersebut, komunikator dapat mengerti

bahwa komunikan kurang memahami pesannya sehingga komunikator

mengulangi pesannya atau bahkan memberikan penjelasan secara

detail.

e. Adaptor

Gerakan tubuh yang terakhir adalah adaptor yang merupakan perilaku

nonverbal yang bila dilakukan secara pribadi atau di muka umum tetapi

tidak terlihat. Misal, saat sendiri, Anda menggaruk kepala ketika kepala

Anda gatal sampai rasa gatalnya hilang. Namun, bila di depan umum,

Anda mungkin melakukan perilaku nonverbal ini hanya sebagian.

Mungkin saja Anda hanya menggunakan jari telunjuk dan menggaruk

dengan pelan.

Setelah gerakan tubuh, jenis komunikasi tubuh berikutnya adalah gerakan

wajah. Sendjaja dalam Modul Teori Komunikasi menjelaskan bahwa ketika kita

berkomunikasi dengan orang lain, ekspresi wajah kita akan selalu berubah tanpa

melihat apakah kita sedang berbicara atau mendengarkan. Paul Ekman dan

Wallace Friesen telah mengidentifikasikan enam emosi dasar bahwa ekspresi

wajah mencerminkan keheranan, ketakutan, kemarahan, kebahagiaan, kesedihan,

dan kebencian atau kejijikan. Sedangkan menurut DeVito (2011), gerakan wajah dapat mengkomunikasikan sedikitnya “kelompok emosi” berikut : kebahagiaan, keterkejutan, ketakutan, kemarahan, kesedihan, dan memuakkan atau penghinaan.

Aspek komunikatif yang utama dari perilaku mata adalah siapa dan apa

yang sedang kita lihat dan untuk berapa lama. Mata kita merupakan saluran

komunikasi nonverbal yang tak kalah penting. Tidak hanya selama berinteraksi,

tetapi juga sebelum dan sesudah interaksi berakhir. Dengan memelihara kontak

mata dan tersenyum, orang-orang yang terlibat mengindikasikan bahwa mereka

tertarik dengan persoalan yang sedang diperbincangkan.

Gerakan mata mengkomunikasikan pesan-pesan yang bergantung pada

durasi, arah, dan kualitas dari perilaku mata. Misal, saat Anda berkata “saya

(12)

melainkan ke arah yang lain. Menurut DeVito (2011: 191) terdapat enam fungsi

utama komunikasi mata, yaitu sebagai berikut :

1. Mencari Umpan Balik. Kita seringkali menggunakan mata kita untuk

mencari umpan balik dari orang lain. Dalam berbicara dengan

seseorang, kita memandangnya dengan sungguh-sungguh, seakan-akan mengatakan, “Nah, bagaimana pendapat Anda?’. Seperti mungkin yang Anda duga, pendengar memandang pembicara lebih banyak

ketimbang pembicara memandang pendengar. Riset mengungkapkan

bahwa presentasi waktu interaksi yang digunakan untuk memandang

sambil mendengarkan adalah antara 62 dan 75 persen. Sedangkan

presentase waktu yang digunakan untuk memandang sambil berbicara

adalah antara 38 persen dan 41 persen.

2. Menginformasikan Pihak Lain untuk Berbicara. Fungsi kedua adalah

menginformasikan pihak lain bahwa saluran komunikasi telah terbuka

dan bahwa ia sekarang dapat berbicara. kita melihat ini dengan jelas di

ruang kuliah, ketika dosen mengajukan pertanyaan dan kemudian

menatap salah seorang mahasiswa. Tanpa mengatakan apa-apa, dosen

ini jelas mengharapkan mahasiswa tersebut untuk menjawab

pertanyaannya.

3. Mengisyaratkan Sifat Hubungan. Fungsi ketiga adalah mengisyaratkan

sifat hubungan antara dua orang. Misal, hubungan positif yang ditandai

dengan pandangan terfokus yang penuh perhatian. Hubungan negatif

yang ditandai dengan penghindaran kontak mata. Kita juga dapat

mengisyaratkan tata hubungan status dengan mata kita. Ini khususnya

menarik karena gerakan mata yang sama mungkin mengisyaratkan

subordinasi atau superioritas. Sebagai contoh, seorang atasan mungkin

menatap bawahannya atau tidak mau melihatnya langsung saat

berkomunikasi. Demikian pula, bawahan mungkin menatap langsung

atasannya atau barangkali hanya menatap lantai.

4. Mengkompensasi Bertambahnya Jarak Fisik. Akhirnya gerakan mata

dapat mengkompensasi bertambah jauhnya jarak fisik. Dengan

(13)

yang memisahkan kita. Bila kita menangkap pandangan mata

seseorang dalam sebuah pesta sebagai contoh, secara psikologis kita

menjadi dekat meskipun secara fisik jarak di antara kita jauh.

5. Fungsi Penghindaran Kontak Mata. Penghindaran kontak mata dapat

mengisyaratkan ketiadaan minat terhadap seseorang, pembicaraan,

atau rangsangan visual tertentu. Ada kalanya, seperti burung unta, kita

menyembunyikan mata kita untuk menghindari rangsangan yang tidak

menyenangkan.

6. Pembesaran Pupil Mata. Selain terhadap gerakan mata, banyak pula

riset yang telah dilakukan menyangkut pembesaran pupil mata (pupil

dilation), atau pupilometri, sebagian besar sebagi akibat dorongan dari

ahli psikologi Ekhard Hess (1975). Pada abad kelimabelas dan

keenambelas di Italia, kaum perempuan bisa meneteskan belladonna

(secara harfiah berarti “perempuan cantik”) ke mata mereka untuk membesarkan pupil mata sehingga mereka kelihatan lebih cantik. Pupil

mata juga menunjukkan minat dan tingkat kebangkitan emosi kita.

Pupil mata kita membesar bila kita tertarik pada sesuatu atau bila

secara emosional kita terangsang. Barangkali kita menganggap pupil

mata yang membesar sebagai hal yang menarik karena kita

menganggap pupil mata yang membesar dari seseorang menunjukkan

bahwa yang bersangkutan tertarik pada kita.

Menurut Sendjaja dalam Modul Teori Komunikasi, bentuk lain dari

kinesics yang dimaksud DeVito adalah komunikasi tubuh adalah gerakan tangan,

kaki, dan kepala. Orang-orang yang terlibat dalam tindak komunikasi sering

menggerakkan kepala dan tangannya selama berinteraksi. Beberapa dari gerakan

kepala dan tangan tersebut dilakukan secara sadar dan beberapa lainnya

dilaksanakan secara tidak sengaja.

Gerakan-gerakan yang dilakukan saat melakukan tindak komunikasi

pastilah memiliki makna. Gerakan tangan cenderung digunakan paling banyak

oleh orang yang sedang berbicara. Misal, ketika mahasiswa membawakan materi

saat presentasi di depan kelas atau ketika pembicara memaparkan materi saat

(14)

Berbeda dengan pembicara, pendengar cenderung menggunakan gerakan

kepala. Gerakan kepala yang paling umum digunakan oleh orang-orang yang

sedang mendengar adalah anggukkan dan gelengan kepala. Gerakan kepala yang

lain adalah dengan mengernyitkan atau mengerutkan dahi. Gerakan ini bermakna

bahwa orang yang sedang mendengarkan memberikan umpan balik (feedback)

kepada pembicara (Sendjaja, 2002: 6.19)

Gerakan tangan menyajikan banyak fungsi pesan bagi pembicara selama

interaksi berlangsung, yaitu menegaskan atau menjelaskan apa yang dikatakan,

memberi penekanan pada pembicaraan dan mengilustrasikan apa yang sedang

dikatakan. Tujuan dari gerakan tangan ini adalah untuk menunjukkan intensitas

pesan. Misal, berjabat tangan dengan cepat untuk mengekspresikan kegembiraan.

Selain komunikasi tubuh, komunikasi nonverbal selanjutnya adalah ruang,

kewilayahan, dan komunikasi sentuhan. Dalam konteks ini, ruang yang dimaksud

adalah jarak yang memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Komunikasi ruang

sering disebut dengan proxemics. DeVito (2011) menjelaskan bahwa pemusatan

perhatian dalam pembahasan terkait komunikasi ruang adalah jarak ruang

(spasial). Terdapat empat jarak spasial yaitu :

1. Jarak Intim. Dalam jarak intim, mulai dari fase dekat (bersentuhan)

sampe ke fase jauh sekitar 15 sampai 45 cm, kehadiran seseorang

sangat jelas. Masing-masing pihak dapat mendengar, mencium, dan

merasakan napas yang lain.

2. Jarak pribadi. Kita semua memiliki daerah yang kita sebut dengan

jarak pribadi. daerah ini melindungi kita dari sentuhan orang lain.

Dalam fase dekat jarak pribadi ini (antara 45 sampai 75 cm), kita

masih dapat saling menyentuh atau memegang tetapi hanya dengan

mengulurkan tangan kita.

3. Jarak Sosial. Dalam jarak sosial kita kehilangan detil visual yang kita

peroleh dalam jarak pribadi. Fase dekat (dari 12 sampai 210cm) adalah

jarak jarak yang kita gunakan bila melakukan pertemuan bisnis dan

(15)

4. Jarak Publik. Pada fase dekat dari jarak publik (360 sampai 450 cm)

orang terlindung oleh jarak. Pada jarak ini seseorang dapat mengambil

tindakan defensive bila terancam.

Dalam Modul Teori Komunikasi, Antropolog Edward T. Hall

mendefiniskan empat jarak yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, Ia

menjelaskan bahwa kita memilih satu jarak khusus bergantung pada bagaimana

kita merasakan terhadap orang lain pada suatu situasi tertentu, konteks percakapan

dan tujuan-tujuan pribadi kita. Namun, empat jarak ini hanya menggambarkan

perilaku orang Amerika Utara dan sangat mungkin berbeda dengan

orang-orang yang berasal dari budaya lain.

Lebih lanjut, jenis komunikasi nonverbal berikutnya adalah kewilayahan.

Kewilayahan disini memiliki hubungan dengan kekuasaan. Ketika suatu wilayah

dikuasai oleh seekor harimau jantan, maka harimau jantan itu akan

memperbolehkan calon pasangannya untuk memasuki wilayahnya. Dalam konteks

kehidupan manusia, kekuasaan bisa berupa jabatan. Misal, dalam sebuah

perusahaan, seorang direktur utama memiliki kekuasaan untuk memasuki tiap

ruangan di perusahaan tersebut.

Tak hanya berhubungan dengan kekuasaan, kewilayahan juga dapat

memberikan pesan nonverbal yang dapat merepresentasikan pemilik wilayahnya.

Misal, rumah yang dapat merefleksikan makna tertentu yang berkaitan dengan

empunya. Ketika kita memasuki rumahnya, dengan segera kita dapat memperoleh

kesan mengenai kepribadian empunya. Demikian pula dengan kesan yang

diberikan oleh barang-barang yang dimilikinya. Hal ini terjadi karena orang

cenderung memilih benda atau lingkungan tempat tinggal yang dapat

merefleksikan citra diri dan kepribadiannya.

Komunikasi sentuhan atau disebut juga dengan haptics. Dari segi

perkembangan, sentuhan barangkali merupakan sense yang pertama kali kita

gunakan. Menurut DeVito (2011: 203) terdapat lima makna utama sentuhan,

yaitu:

1. Afeksi Positif. Sentuhan dapat mengkomunikasikan emosi positif. Ini

utamanya terjadi antara pasangan intim atau semacamnya yang

(16)

2. Bercanda. Sentuhan dapat mengkomunikasikan keinginan kita

bercanda, dengan perasaan kasih sayang ataupun secara agresif.

3. Mengarahkan/Mengendalikan. Sentuhan mungkin juga mengarahkan

perilaku, sikap, atau perasaan orang lain. Pengarahan demikian dapat

mengkomunikasikan sejumlah pesan dalam bentuk perintah sebagai

contoh, kita menyentuh orang lain untuk mengkomunikasikan “pindahlah”.

4. Ritual. Sentuhan ritualistic terpusat pada salam dan perpisahan.

Menjabat tangan untuk mengatakan “halo” atau “sampai jumpa”

merupakan contoh jelas dari sentuahan ritualistic.

5. Ketertarikan dengan Tugas. Sentuhan yang berkaitan dengan tugas

dilakukan sehubungan dengan pelaksanaan fungsi tertentu. Ini dapat

bermacam-macam mulai dari menghilangkan debu dari kerah baju

seseorang sampai membantu seseorang keluar dari mobilnya.

Haptics atau sentuhan atau kontak tubuh dikatakan oleh Emmert dan

Donaghy sebagai cara terbaik untuk mengkomunikasikan sikap pribadi, baik yang

positif maupun negatif. Frekuensi dan durasi sentuhan dapat menjadi indikator

tentang persahabatan dan rasa suka di antara orang yang melakukannya. Sentuhan

dapat pula menjadi indikator yang paling ekstrim dari rasa tidak suka atau

kemarahan, seperti menampar, menyepak, memukul, dan sebagainya (Sendjaja,

2002: 6.21).

Cara-cara atau jenis sentuhan dapat pula menunjukkan posisi seseorang

dalam hubungannya dengan orang lain, khususnya dalam pengertian dominan dan

submisif (seperti mengelus kepala, mencium tangan, dan sebagainya).

Terakhir, parabahasa dan waktu. Parabahasa dan waktu adalah jenis

komunikasi nonverbal terakhir. DeVito dalam bukunya Komunikasi

Antarmanusia (2011) mengatakan bahwa parabahasa meliputi tekanan atau tinggi

rendahnya pengucapan kata, kecepatan, volume, dan irama. Parabahasa juga

mencakup vokalisasi yang kita lakukan ketika menangis, berbisik, mengerang,

bersendawa, menguap, dan berteriak. Kemudian, waktu (chronemics). Dalam

(17)

1. Waktu Kultural. Waktu kultural terbagi atas tiga. Pertama, waktu

ilmiah yang menggunakan milidetik dan tahun atomik. Biasanya hanya

digunakan di ruang laboratorium. Kedua, waktu formal yang

menggunakan hitungan normal biasanya seperti detik, menit, jam, hari,

minggu, dsb. Ketiga, waktu informal yang menggunakan kata-kata

sepeti selamanya, segera, secepat mungkin, dsb.

2. Waktu Psikologis. Waktu psikologis mengacu pada tingkat

kepentingan kita letakkan pada masa lalu, masa kini, dan masa

mendatang. Pada orientasi masa lalu, kita menghargai masa lampau.

Sedangkan dalam orientasi masa kini, kita hidup untuk saat ini, bukan

untuk esok. Berbeda halnya dengan orientasi masa kini, kita

memandang ke depan dan hidup untuk hari esok.

2.2.3 Orientasi Seksual

Dalam buku Sexuality Now : Embracing Diversity, orientasi seksual

merujuk pada seseorang yang tertarik secara emosional, fisik, seksual, dan

romantis. Heteroseksual adalah seseorang yang tertarik dengan lawan jenisnya,

sedangkan homoseksual tertarik dengan jenis kelamin yang sama; dan biseksual

tertarik dengan keduanya, pria dan perempuan (kata gay sering digunakan untuk

homoseksual laki-laki, sedangkan kata lesbian sering digunakan untuk

homoseksual perempuan).

“Sexual orientation refers to the genders that a person is attracted to emotionally, physically, sexually, and romantically. Heterosexuals are

predominantly attracted to members of the other sex; homosexuals to

members of the same sex; and bisexual are attracted to both men and

women (the word gay is often used to refer to a male homosexual, while

the word lesbian is often used to refer to a female homosexual)” (Carroll,

2010: 314).

Sebelum tahun 1980-an sebagian besar penelitian yang dipublikasikan

tentang homoseksualitas difokuskan pada penyebab atau gangguan mental (karena

(18)

dan AIDS mendominasi studi penelitian, sehingga penelitian tentang

homoseksualitas kurang popular.

Spencer dalam bukunya Sejarah homoseksualitas dari Zaman Kuno

Hingga sekarang (2004) menjelaskan bahwa sejak jaman prasejarah homoseksual

sudah ada. Dikisahkan pada jaman itu suku Marind dan Kiman di kepulauan

Melanesia selalu memperlakukan seorang laki-laki yang sudah mulai remaja

untuk tidak lagi tidur bersama ibu, dan mulai tidur dengan ayahnya. Ketika

memasuki fase pubertas, anak tersebut diserahkan oleh ayahnya kepada pamannya

untuk mendapatkan penetrasi pada anus. Perlakuan penetrasi ini dilengkapi

dengan sperma, yang mana dipercayai akan membuat anak laki-laki tersebut

tumbuh menjadi anak yang kuat dikemudian hari. Setelah tiga tahun kebiasaan

tersebut ditinggalkan. Walaupun suku ini mengenal ritual heteroseksual, tetapi

kebanyakan diantara penduduk suku ini tetap menjalankan kebiasaan ini pada

anak-anaknya, sehingga turut menyebabkan terjadinya jalinan homoseksual, yakni

antara sesama laki-laki.

Lebih lanjut, menurut Oetomo, Mitologi Yunani penuh dengan kisah

hubungan percintaan sesama jenis kelamin. Misal, antara Zeus dan Ganymede,

Herakles dan Iolaus (Hylas), Apollo dan Hyakinthus, dan Iskandar Agung

(Iskandar Zulkarnain), sang penakluk dari Macedonia. Berbeda dengan

masyarakat Yunani Kuno, Kemaharajaan Romawi sebaliknya dikenal dengan

moralitas yang mengharamkan perbuatan homoseks dan bahkan mengatur

pengharaman itu melalui berbagai undang-undang (Oetomo, 2001: 53). Namun,

itu tidak berarti bahwa tidak ada kehidupan homosekseksual di Roma. Oetomo

mencatat bahwa terdapat maharaja (kaisar) Roma yang menyukai perbuatan

homoseks, antara lain Yulius Kaisar, yang konon pernah bercinta dengan Raja

Nikomedes dari Bythinia. Juga sastrawan Romawi seperti Virgil, Horatius,

Catullus dan Tibullus yang konon pernah mengalami cinta homoseks yang

demikian intensnya sehingga mewarnai karya-karya agung mereka.

Sejalan dengan Oetomo, Morton Hunt, seorang pakar yang pada tahun

1979 menulis sebuah buku berjudul Gay : What You Should Know About

Homosexuality menyatakan bahwa 2400 tahun yang lalu di Athena, Yunani,

(19)

kalangan terhormat. Bahkan bangsa Sparta di Barat daya Yunani, yang terkenal

gagah dan ahli perang, juga merupakan orang-orang yang melakukan praktik

homoseksual. Demikian pula di kalangan suku bangsa Chukchi di Timur Laut

Siberia yang kebudayaannya mirip dengan orang-orang Eskimo, pada kira-kira

150 tahun masih mengenal apa yang dinamakan berdache. Berdache adalah

remaja-remaja pria yang merasa dirinya tidak kuat melakukan

pekerjaan-pekerjaan berat (berburu dan berperang) dan karena itu mereka mengubah diri

menjadi perempuan, berpakaian dan bertingkah laku sebagai perempuan dan

kemudian bahkan dinikahi oleh pria. Kaum berdache ini dianggap menjadi

demikian karena kekuatan gaib, karena itu mereka tidak dianggap abnormal,

bahkan dianggap mempunyai kemampuan gaib untuk menyembuhkan penyakit

(Sarwono, 2011: 229 – 230)

Selain gay, lesbian juga merupakan jenis relasi homoseksual. Dalam

Kartono (2009: 249), lesbian atau lesbianisme berasal dari kata Lesbos yaitu pulau

di tengah Lautan Egeis yang pada zaman kuno dihuni oleh para perempuan.

Konon siapa saja yang lahir di pulau itu nama belakangnya akan diikuti kata

Lesbia, namun tidak semua orang yang memakai nama tersebut adalah lesbian.

Mereka meneruskan kebiasaan tersebut untuk menghormati leluhur sebelumnya

dan agar kebiasaan itu tidak hilang oleh waktu karena semakin zaman terus

berkembang orang-orang pun lebih mengenal istilah lesbian sebagai lesbian.

Istilah “lesbian” bermula dari kisah dewi dan penyair dari mitologi Yunani, Sappho. Kata “lesbian” diambil dari kata Lesbos, tempat kelahiran penyair Sappho. Sappho adalah penyair Yunani Kuno yang terlahir di kota

Eressos di Pulau Lesbos. Di tanah kelahirannya itulah kebudayaan terpusat selama

abad ketujuh sebelum Masehi. Dia digambarkan sebagai seorang perempuan

berperawakan mungil, berkulit gelap, dan berwajah buruk. Banyak puisi cinta

Sappho yang ditujukan bagi perempuan. Kata lesbian sendiri diambil dari nama

pulau (Lesbos) kelahiran penyair itu. Nama Sappho pun merupakan kata awal bagi jenis puisi yang jarang ditemui, yakni ”sapphic”. Ia banyak menulis syair-syair cinta terhadap sesama perempuan pada abad ketujuh sebelum Masehi.

Kata-katanya yang penuh luapan emosi dinyanyikan, dengan iringan kecapi. Sajak

(20)

mengejutkan, sekaligus disukai, oleh para pembaca dari beberapa generasi sejak

puisi tersebut dituliskan. ”Dari puisi ini, sangat jelas terasa Sappho punya

hubungan spesial dengan perempuan-perempuan dalam hidupnya. Sangat mungkin itu hubungan seksual,” kata Martin West, penerjemah puisi asal

Universitas Oxford. ”Para perempuan itu bergabung dalam sebuah komunitas

yang sering berinteraksi antarsesama, dan tidak melibatkan kaum adam. Secara

jelas mereka juga menikmati kebahagiaan mereka,” katanya

(https://mesappho.wordpress.com/2014/03/18/sejarah-lesbian/).

Penelitian berfokus pada kehidupan lesbian dan komunitas lesbian

khususnya, memang masih tertinggal jauh dari penelitian pada gay terdahulu.

Menurut Carroll (2010), secara keseluruhan, penelitian tentang lesbianisme

menunjukkan identitas seksual perempuan kurang tegas daripada laki-laki.

Perempuan tidak digolongkan ke dalam kategori homoseksual-heteroseksual.

Mungkin ini adalah karena fakta bahwa masyarakat kurang terancam oleh

seksualitas lesbian dari sekitar seksualitas gay. Temuan menarik lainnya tentang

lesbian termasuk fakta bahwa lesbian juga bergantung pada penerimaan dari orang

tua mereka. Lesbian yang merasa bahwa ibu mereka telah menerima orientasi

seksual mereka, maka mereka memiliki harga diri yang lebih tinggi dan lebih

nyaman dengan lesbianisme mereka.

“Again, much of this hinges on the amount of acceptance from their parents. Lesbians who feel that their mothers are accepting about their

sexual orientation have been found to have higher self-esteem and report

being more comfortable with their lesbianism (Carroll, 2010: 340).

Menurut dr. Lukas, sering kali orang tua memiliki konsep hidup yang ideal

tentang memiliki anak, menikahkan, dan akhirnya mempunyai cucu. Ketika

anaknya coming out sebagai homoseksual, tentu mengagetkan. Sedikitnya ada tiga

tipe respon orang tua ketika anaknya coming out. Pertama, respon yang ekstrem.

Orang tua cenderung keras dan bahkan bahkan bisa menyiksa hingga membunuh

anaknya karena homoseks. Kedua, respon yang normatif. Pada awalnya orang tua

bingung dan kurang menerima, kemudian bisa menjadi toleran. Ketiga, respon

(21)

Perempuan mungkin menyadari identitas lesbian mereka melalui

hubungan dekat dengan perempuan lain, sedangkan pria mungkin menemukan

homoseksualitas mereka melalui kontak sosial/seksual kasual. Setelah

orang-orang mulai menerima identitas lesbian mereka sendiri, mereka biasanya

memasuki masa eksplorasi, mencoba untuk menentukan apa artinya baik secara

sosial maupun seksual. Akan tetapi, jika identitas lesbian mereka masih ditutupi,

hal itu bukan tanpa alasan.

Manaf dalam Kami Tidak Bisu (2011) mengatakan bahwa ketertutupan

lesbian selama ini bukan tanpa alasan. Membuka jalan hidup sebagai lesbian yang

minoritas dan terpinggirkan memang dapat mengancam keamanan mereka sendiri.

Apalagi adanya fakta lesbian yang trauma akibat penolakan dari orang tua, teman

dekat, dan lingkungan kerja. Ditambah lagi pemberitaan tentang perlakuan

masyarakat yang homofobia terhadap lesbian, membuat teman-teman tidak

Referensi

Dokumen terkait

Tindak pidana pencurian ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia "setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan "dalam beberapa pasal Undang-Undang

Rusak atau baiknya pendidikan sangat ditentukan oleh kepedulian seluruh komponen pendidikan di sekolah maupun di kampus untuk selalu menyorot pola hubungan sosial dan

Jenis ikan buntal yang paling banyak ditemukan di Muara Perairan Bengkalis Kabupaten Bengkalis berada pada muara Sungai Pakning yaitu 7 spesies.. Hal ini

Setelah dilakukan penelitian terhadap 136 mahasiswa kebidanan semester II yang hasilnya disajikan dalam bentuk tabel, yang selanjutnya akan dilakukan pembahasan untuk

Penerapan UU NO: 32 tahun 2012 pemerintahan daerah sebagai pengganti UU NO: 23 tahun 1999,sangat di warnai oleh adanya paradigm enovasi

ANALYSIS OF MANUAL MATERIAL HANDLING TECHNIQUE AND ITS ASSOCIATION WITH LOW BACK PAIN (LBP) AMONG FISHERMEN IN KANGKUNG VILLAGE, BANDAR LAMPUNG1. Diana Mayasari 1* ,

Ketika jual beli telah memenuhi ‘ A>qid (orang yang melakukan akad), sighat (lafad ijab dan Kabul), dan Ma’qu>d (benda yang dijadikan objek jual beli),

Berdasarkan hasil perhitungan kebutuhan ruang parkir dengan ruang parkir yang tersedia pada off street parking , lokasi parkir yang masih mencukupi adalah lokasi