TINJAUAN PUSTAKA
Ultisol
Ultisol adalah tanah mineral yang berada pada daerah kering sampai
tropika, mempunyai horison argilik atau kandik atau fragipan dengan lapisan liat
tebal. Dalam Legend of Soil yang disusun oleh FAO, Ultisol mencakup sebagian
tanah laterik serta sebagian besar tanah podsolik, terutama tanah Podsolik Merah
Kuning (Munir, 1996).
Ultisol hanya ditemukan di daerah-daerah dengan suhu tanah rata-rata
lebih dari 80 C. Ultisol adalah tanah dengan horison argilik bersifat masam dengan kejenuhan basa rendah. Kejenuhan basa pada kedalaman 1,8 m dari permukaan
tanah kurang dari 35%. Tanah ini merupakan bagian terluas dari lahan kering di
Indonesia yang belum dipergunakan untuk pertanian. Sebagian besar merupakan
hutan tropika dan padang alang-alang (Hardjowigeno, 2003).
Proses terbentuknya Ultisol diawali oleh proses podsolisasi yang
merupakan proses pencucian yang mirip dengan latosolisasi. Hasil dari proses ini
adalah tanah yang mempunyai lapisan atas pucat, karena semua unsur tercuci
kecuali silikat (sebagai kuarsa). Curah hujan dan suhu yang tinggi memungkinkan
terjadinya pencucian terhadap basa-basa sehingga dalam waktu yang relatif
singkat menyebabkan kejenuhan basa rendah dan tanah menjadi masam.
Kelangsungan proses podsolisasi tersebut ditunjang oleh adanya asam-asam
organik hasil dekomposisi bahan organik yang mempunyai daya pelarut yang
Dalam Soil Survey Staff (2014) Ultisol mempunyai salah satu berikut :
1. Horison argilik atau kandik, tetapi tanpa fragipan, dan kejenuhan basa
(berdasarkan jumlah kation) sebesar kurang dari 35 persen pada satu
kedalaman berikut :
a. Apabila seluruh epipedon mempunyai kelas besar-butir berpasir atau
skeletal-berpasir :
(1) Pada kedalaman 125 cm di bawah batas atas horison argilik (tetapi
tidak lebih dari 200 cm di bawah permukaan tanah mineral, mana
saja yang lebih dalam ; atau
(2) Pada kontak densik, litik, paralitik, atau petroferik, apabila lebih
dangkal; atau
b. Yang paling dangkal dari kedalaman berikut :
(1) Pada 125 cm di bawah batas atas horison argilik atau kandik; atau
(2) Pada 180 cm di bawah permukaan mineral; atau
(3) Pada kontak densik, litik, paralitik, atau petroferik; atau
2. Fragipan dan kedua sifat berikut :
a. Horison argilik atau kandik yang berada di atas, di dalam, atau di
bawahnya, atau memilih lapisan liat tipis setebal 1 mm atau lebih pada
satu subhorisonnya atau lebih; dan
b. Kejenuhan basa (berdasarkan jumlah kation) sebesar kurang dari 35
persen pada kedalaman paling dangkal berikut :
(1) Kedalaman 75 cm di bawah; batas atas fragipan; atau
(2) Kedalaman 200 cm di bawah permukaan tanah mineral; atau
Inceptisol
Inceptisol adalah tanah yang belum matang (Immature) dengan
perkembangan profil yang lebih lemah dibanding dengan tanah matang, dan
masih banyak menyerupai sifat bahan induknya. Beberapa Inceptisol terdapat
dalam keseimbangan dengan lingkungan dan tidak akan matang bila lingkungan
tidak berubah (Hardjowigeno, 2003).
Kata Inceptisol berasal dari kata Inceptum yang berarti
permulaan.Umumnya mempunyai horison kambik. Tanah ini belum berkembang
lanjut, sehingga kebanyakan dari tanah ini cukup subur.Padanan dengan sistem
klasifikasi lama adalah termasuk tanah Aluvial, Andosol, Regosol, Gleihumus,
dan lain-lain (Soil Survey Staff, 2010).
Inceptisol dapat berkembang dari bahan induk batuan beku, sedimen dan
metamorf. Biasanya memiliki tekstur yang beragam dari kasar hingga halus,
dalam hal ini tergantung tingkat pelapukan bahan induknya. Di dataran rendah
pada umumnya dijumpai solum yang tebal, sedangkan pada daerah lereng curam
solumnya tipis (Munir, 1996).
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembentukan Inceptisol adalah :
1. Bahan induk yang resisten.
2. Posisi dalam landskap yang ekstrim yaitu daerah curam atau lembah.
3. Pembentukan geomorfologi yang muda, sehingga pembentukan tanah
belum lanjut.
Tidak ada proses pedogenik yang dominan kecuali leaching, meskipun proses
pedogenik adalah aktif. Ditempat dengan bahan induk yang resisten, proses
Inceptisol mempunyai salah satu sifat berikut :
1. Satu atau lebih sifat berikut :
a. Horison kambik yang batas atasnya di dalam 100 cm dari permukaan tanah
mineral dan batas bawahnya pada kedalaman 25 cm atau lebih di bawah
permukaan tanah mineral; atau
b. Horison kalsik, petrokalsik, gipsik, petrogipsik, atau placik, atau duripan,
yang batas atasnya di dalam kedalaman 100 cm dari permukaan tanah
mineral; atau
c. Fragipan, atau horison oksik, sombrik, atau spodie, yang batas atasnya di
dalam 200 cm dari permukaan tanah mineral; atau
d. Horison sulfurik yang mempunyai batas atas di dalam 150 cm dari
permukaan tanah mineral; atau
e. Rejim suhu cryik dan horison kambik; atau
2. Tidak terdapat bahan sulfidik di dalam 50 cm dari permukaan tanah mineral;
dan kedua sifat berikut :
a. Satu horison atau lebih di antara kedalaman 20 dan 50 cm di bawah
permukaan tanah mineral, baik memiliki nilai n 0,7 atau kurang, atau
kandungan liat dalam fraksi tanah-halus kurang dari 8 persen; dan
b. Salah satu kedua sifat berikut :
(1) Terdapat horison salik atau epipedon histik, molik, plagen, atau
umbrik; atau
(2) Pada 50 persen atau lebih lapisan-lapisan yang terletak di antara
permukaan tanah mineral dan kedalaman 50 cm, persentase natrium
13 atau lebih), yang berkurang seiring bertambahnya kedalaman di
bawah 50 cm, dan juga terdapat air tanah di dalam 100 cm dari
permukaan tanah mineral pada sebagian waktu selama setahun ketika
tanah tidak membeku di beberapa bagiannya
(Soil Survey Staff, 2014).
Klasifikasi Tanah
Klasifikasi tanah adalah ilmu yang mempelajari cara-cara membedakan
sifat-sifat tanah satu sama lain, dan mengelompokkan tanah ke dalam kelas-kelas
tertentu berdasarkan atas kesamaan sifat yang dimiliki. Dengan cara ini maka
tanah-tanah yang mempunyai sifat-sifat yang sama dapat dimasukkan ke dalam
satu kelas yang sama, dan demikian pula sebaliknya. Klasifikasi tanah sangat erat
kaitannya dengan pedogenesis atau proses pembentukan tanah karena proses yang
berbeda akan menghasilkan tanah yang berbeda pula (Hardjowigeno, 2003).
Di Indonesia, sejak tahun 1975 dikenal dengan tiga (3) sistem klasifikasi
tanah yang banyak digunakan oleh Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi, Dinas
Teknis dan Teknisi di lapangan, yaitu :
1. Sistem Klasifikasi Tanah Nasional (Dudal & Soepraptohardjo, 1957;
Soepraptohardjo, 1961),
2. Sistem Klasifikasi Tanah Internasional, dikenal sebagai Taksonomi Tanah
(Soil Taxonomy, USDA, 1975; 2003), dan
3. Sistem FAO/UNESCO (1974). Namun dalam perkembangan penggunaannya,
Sistem Taksonomi Tanah sejak tahun 1988 lebih banyak digunakan sesuai dengan
hasil keputusan Kongres Nasional Himpunan Ilmu Tanah Indonesia
Tujuan klasifikasi tanah adalah :
− Mengorganisasi (menata) pengetahuan kita tentang tanah.
− Untuk mengetahui hubungan masing-masing individu tanah satu sama lain.
− Memudahkan mengingat sifat-sifat tanah.
− Mengelompokkan tanah untuk tujuan-tujuan yang lebih yang lebih praktis
dalam hal : menaksir sifat-sifatnya, menentukan lahan-lahan terbaik, menaksir
produktivitasnya, dan menentukan areal-areal untuk penelitian.
− Mempelajari hubungan-hubungan dan sifat-sifat tanah yang baru.
(Buol, dkk, 2011).
Klasifikasi sangat penting dan praktis untuk komunikasi baik secara ilmiah
maupun awam. Dalam hal ini nama tanah dapat memudahkan komunikasi di
antara manusia dalam pembicaraan sosial (pertanian) dan ekonomi. Demikian
pula di kalangan akademisi pembicaraan percobaan atau penelitian pertanian akan
terkait erat dengan nama tanah di mana penelitian tersebut diadakan
(Rachim dan Arifin, 2011). Ilmuwan membuat suatu sistem klasifikasi tanah
dalam usahanya untuk memudahkan pengelompokannya dan dalam usaha untuk
memudahkan interpretasinya (Balai Penelitian Tanah, 2004).
Di negara-negara yang telah maju pertaniannya, klasifikasi tanah
merupakan bahan penting dalam mempersiapkan rencana pengembangan
pertanian sebagai pedoman penggunaan lahan. Tujuan umum klasifikasi tanah
adalah menyediakan suatu susunan yang teratur (sistematik) bagi pengetahuan
mengenai tanah dan hubungannya dengan tanaman, baik mengenai produksi
maupun perlindungan kesuburan tanah. Tujuan ini meliputi berbagai segi, antara
akibat proses erosi atau longsor, klasifikasi tanah disertai dengan petanya
digunakan sebagai langkah pertama dalam usaha perbaikan kesuburan tanah
(Darmawijaya, 1997).
Taksonomi Tanah
Taksonomi tanah adalah bagian dari klasifikasi tanah baru yang
dikembangkan oleh Amerika Serikat dengan nama Soil Taxonomy (USDA, 1975)
menggunakan 6 kategori yaitu ordo, sub ordo, great group, sub group, family dan
seri (Rayes, 2007).
Sistem Taksonomi Tanah (Soil Taxonomy, USDA) merupakan sistem
klasifikasi tanah internasional, diperkenalkan pada tahun 1975 dan berkembang
cepat. Dasar klasifikasi tanah dengan pendekatan morfometrik, dimana sifat
penciri horison dan sifat tanah lainnya terukur secara kuantitatif
Prosedur taksonomi tanah adalah mengikuti :
1. Deskripsi profil tanah.
2. Penentuan horison penciri (epipedon dan horizon bawah penciri).
3. Penentuan sifat-sifat lain.
4. Pemakaian kunci taksonomi dengan urutan : ordo (ada 12 ordo), sub ordo,
kelompok besar (great group), anak kelompok (sub group), keluarga (family)
dan seri.
(Soil Survey Staff, 1998).
Dalam mengklasifikasi suatu tanah tertentu penggunaan taksonomi tanah
memulai dengan melakukan pengecekan pada seluruh “Kunci Ordo Tanah” guna
dengan tanah yang diklasifikasi. Langkah berikutnya adalah mencari halaman
yang telah ditentukan untuk memperoleh “Kunci Sub Ordo” dari ordo yang
bersangkutan. Selanjutnya pengguna secara sistematis mempelajari seluruh kunci
untuk mengidentifikasi sub ordo dari tanah yang diklasifikasi, yaitu yang pertama
dijumpai dalam daftar, semua kriteria yang diperlukan dipenuhi oleh tanah yang
diklasifikasi. Prosedur yang sama digunakan untuk mengidentifikasi kelas group
yang terdapat dalam “Kunci Group” dan kelas sub group yang terdapat dalam
“Kunci Sub Group” sampai pada kelas seri tanah (Soil Survey Staff, 2014).
Menurut Taksonomi Tanah 2014 terdapat :
- 8 epipedon penciri yaitu :
Mollik, Antropik, Umbrik, Folistik, Histik, Melanik, Okrik dan Plagen ;
- 19 horison bawah penciri yaitu :
Agrik, Albik, Anlydritik, Argilik, Duripan, Fragipan, Glosik, Gipsik, Kalsik,
Kandik, Kambik, Natrik, Orstein, Oksik, Petrokalsik, Petrogipsik, Placik,
Salik, Sombrik dan Spodik.
- 12 ordo yaitu :
Gelisol, Histosol, Spodosol, Andisol, Alfisol, Oksisol, Vertisol, Aridisol,
Ultisol, Mollisol, Inceptisol, Entisol
Dalam taksonomi tanah 2014 terdapat pembagian sub ordo dan great group yang
dibagi berdasarkan setiap jenis tanah (Soil Survey Staff, 2014).
Berikut data sekunder yang diperoleh dari penelitian sebelumnya di profil
yang sama pada Arboretum USU Kwala Bekala, Kecamatan Pancur Batu,
-120 Tabel 1. Hasil Identifikasi Penentuan Jenis Mineral Tanah Dengan Analysis
Differential Thermal (DTA)
Horizon Kedalaman Puncak Endotermik (0C)
Sumber : Puncak Termogram Pada Profil 3 (Podsolik Merah Kuning) Arboretum USU Kwala Bekala, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang ; Kuhon (2009)
Gambar 1. Pola Distribusi Mineral Liat Pada Profil 3 (Podsolik Merah Kuning); Kuhon (2009)
Pola distribusi mineral liat pada profil yaitu mineral alofan-A dengan pola
maksimum, mineral imogolit dengan pola berkurang. Mineral imogolit banyak
terbentuk pada lapisan yang dekat dengan permukaan tanah (litosfer) sehingga
telah terjadi perkembangan mineral dari mineral amorpus menuju kristalin yang
ditunjukkan dengan adanya pertambahan jumlah mineral imogolit yang terbentuk