• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMPERTANYAKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI IN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MEMPERTANYAKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI IN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

QUESTIONING THE MULTICULTURALIZATION OF EDUCATION Two trends of Multiculturalism Education in Indonesia

MEMPERTANYAKAN MULTIKULTURALISASI PENDIDIKAN

Dua Kecenderungan Pendidikan Multikulturalisme di Indonesia

Nur Rosyid

Abstraksi

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengulas secara kritis isu multikulturalisme yang menjamur dalam kajian pendidikan di Indonesia. Saya ingin mengkajinya lewat teks-teks bacaan, khususnya Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa proses pengenalan multikulturalisme di dunia pendidikan lebih banyak dituntun lewat buku panduan. Obyek kajian yang digunakan di sini adalah teks LKS (Lembar Kerja Siswa) kelas X MA dan SMA di kabupaten Boyolali. Dua buah teks ini akan diperbandingkan salah satu babnya dan kemudian dianalisis. Perbandingan ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana teks multikulturalisme diwacanakan di dua institusi yang berbeda. Dari hasil tinjauan ini terlihat ada perbedaan wacana dan orientasi pendidikan multikultural di dua institusi pendidikan tersebut. Kemudian hasil kajian ini direfleksikan kembali ke dalam pendidikan islam.

Kata-kunci: multikulturalisme, kewarganegaraan, perbandingan teks, Refleksi Abstract

This paper is aimed to critically review the issue of multiculturalism that began to spread in the study of education in Indonesia. I want to study it through reading texts, particularly Civic Education. It is based on the assumption that the introduction of multiculturalism in education is guided by more guidebooks. The object of study used here is the text of LKS (Student Worksheet) class X MA and SMA in Boyolali district. Two texts will be compared one of the chapter and later in analysis. This comparison is intended to see how the discourse of multiculturalism text in two different institutions. From the results of this review appears there was a difference discourse orientation and multicultural education at two educational institutions. Then the results of this study are reflected back into the Islamic education.

(2)

A. Isu Pendidikan Multikulturalisme

Perkembangan kehidupan bernegara dan berbangsa di Indonesia belakangan ini

selalu diwarnai oleh hiruk-pikuk konflik yang dilatarbelakangi motif primordialistik,

perebutan kepentingan antar kelompok, dan sebagainya. Selama tahun 2012 ada

beberapa kasus pertikaian mewarnai media massa kita. Ada sebuah situs memberitakan

peristiwa tawuran telah terjadi antara siswa SMAN 6 dan SMAN 70 Jakarta di kawasan

Bulungan pada Senin (24/9). Tawuran ini menyebabkan seorang siswa SMA 6 kelas X

berusia 15 tahun, tewas akibat kena bacok di bagian dada1. Berita lain mengabarkan

Hari Minggu (26/8), konflik bernuansa SARA, antara kelompok Islam Suni dengan

Islam Syiah terjadi di Sampang, Madura. Akibatnya, dua warga Syiah meninggal dunia

dan sejumlah rumah hangus terbakar2. Tidak hanya itu saja, konflik politik di Senayan

maupun demonstrasi di jalanan ikut meramaikan ketegangan ini.

Pertentangan atau ketegangan-ketegangan ini kalau kita selami betul akan

menimbulkan kesadaran bersama, “ada sesuatu yang ‘beda’ di antara kita”. Dalam arti

luas, Indonesia ternyata negara yang penuh dengan perbedaan-perbedaan kultural

maupun politik-ekonomi. Isu multikulturalisme kemudian menjadi wacana utama dalam

beberapa tahun terakhir yang dipelopori beberapa perguruan tinggi, khususnya ilmu

Humaniora. Multikulturalisme dipandang akan mampu meredam konflik, pertikaian

atau pertentangan-pertentangan itu.

Multikulturalisme, sebagaimana dijelaskan Bikhu Parekh, setidaknya

mengandung tiga kompenen pokok, yakni: (1) berhubungan dengan budaya (2) merujuk

pada pluralitas budaya, dan (3) cara khusus yang dipakai untuk merespon3. Selanjutnya,

multikulturalisme dipandang sebagai sebentuk ‘isme’ diharapakan akan bekerja dalam

pikiran seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Sebab kita tahu, sebagai kalangan

fenomenolog, segala perilaku manusia dibimbing oleh pengetahuan dan

       

1 Diambil dari

http://news.detik.com/read/2012/09/25/105804/2034457/10/ratusan-siswa-sma-6-antarkan-jenazah-alawy-ke-liang-lahat?9911012. Pada tanggal 26 September 2012 pukul 09:48 WIB

2 Diambil dari “Laporan harian monitoring isu publik”, Kementrian Komunikasi dan Informasi

http://infopublik.kominfo.go.id/download.php?f=d91cee6a6f17c849b0c6d1b160d44afd.pdf pada tanggal 26 September 2012 pukul 10:13 WIB 

3

(3)

pengalamannya. Hal ini menandakan pendidikan dapat menjadi arena pemasukan

ide-ide multikultur, sebagaimana pengenalan nilai-nilai kehidupan sosial lainnya. Nilai

inilah yang selanjutnya akan menentukan arah tindakan dan perilaku siswa-siswi.

Lantas bagaimana sebenarnya praktik multikulturalisasi4 itu akan dijalankan.

Lono Lastoro, telah memberikan keterangannya panjang dalam bagaimana menyikapi

atau mengekspresikan beragamnya kultur tersebut dengan mengenalkan konsep etnisitas

dalam prespektif relasional dari Eriksen (1993) dan Barker (2000). Menurutnya,

“Sumbangan yang diberikan prespektif ini berupa pandangan bahwa kelompok etnik merupakan salah satu bentuk pengorganisasian sosial, yang senantiasa melibatkan tindak ekslusi dan inklusi yang didasarkan pada konsep kesamaan dan perbedaan. Tindak pembedaan dan atau penyamaan

menuntut kehadiran dua atau lebih entitas sosial yang saling berinteraksi”5.

Jadi tindakan pengenalan multikulturalisme, pada intinya merupakan tindak

pembedaan dan penyamaan atas banyak entitas sosial. Dengan demikian, pendidikan di

sini menjadi arena yang tepat untuk mengajak siswa untuk mengenali pluralitas

Indonesia melalui tindak pembedaan dan penyamaan. Sebagaimana yang dijelaskan

Lono Lastoro, “Sekolah sebagai salah satu lembaga pengemban pendewasaan anak-anak

pun tidak luput dari proses penanaman tindak pembedaan dan penyamaan”6. Dan

selanjutnya, “Penyamaan dan pembedaan itu tidak hanya berlangsung dalam bidang

etnik atau ras, tetapi bahkan bisa saja didahului atau berbarengan dengan identifikasi

gender, agama, kelas sosial.”7.

Lebih lanjut lagi, Sugeng Wahyono telah mengidentifikasi setidaknya ada dua

hambatan besar yang harus dihadapi di dalam menerapkan pendidikan multikultural,

yaitu “menguatnya politik identitas dan makin kentalnya etnititas” (2005: 17-18). Kedua

hal ini, menurutnya telah dimanipulasi oleh negara dan agama, untuk menonjolkan

perbedaan dan klaim mutlak-mutlakan. Sehingga memacetkan komunikasi antar budaya

        4

Multikulturalisasi yang saya maksudkan di sini adalah suatu proses penyebaran atau pengenalan multikulturalisme.

5

Lono Lastoro. “Dari Perbedaan dan Kesamaan, Menuju Pembedaan dan Penyamaan” dalam Ahimsa-Putra (ed) “Esai-Esai Antropologi: Teori, Metodologi & Etnografi” Jurusan Antropologi Budaya UGM dan Kepel Press. 2006:78 

6

Dalam Y Sari Jatmiko dan Ferry Indriatno. “Pendidikan Multikultural yang Berkeadilan Sosial. Yogyakarta. 2006. hal:75

(4)

yang seharusnya berada dalam relasi kesetaraaan dan ketersalingan. Saya sendiri tidak

sepenuhnya sepakat dengan pendapat ini. Menurut saya, hambatan itu justru berada di

ranah pendidikan, sebab pewacanaan tentang dunia sosial dan sebagainya, bermula dari

sana. Hal ini bisa diketahui lewat bagaimana institusi pendidikan mewacanakannya ke

dalam teks-teks pengantar di kelas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Tilaar,

“Pendidikan multikultural mendasari dan menjiwai semua mata pelajaran di lembaga

pendidikan formal dan non formal” (2004 dalam Pramono. 2005:29). Charris Zubair

mengemukakan hal senada. Menurutnya, ada dua agenda mendesak yang harus

diselesaikan bagi terbangunnya kesadaran multikulturalisme. Pertama, mendekonstruksi

wacana-wacana dominan yang memproklamirkan ke-aku-annya di atas belantara

keragaman dan perbedaan. Kedua, mempersiapkan secara dewasa komunitas maupun

kelompok sosial untuk menghadapi klaim kebenaran yang dipancangkan kelompok

etnisitas lain8.

Berdasarkan literatur di atas, saya berasumsi untuk melihat sejauh mana institusi

pendidikan sudah mewacanakan gerakan ke arah multikulturalisme, telaah teks

Kewarganegaraan SLTA sangat relevan. Pendidikan Kewarganegaraan kelas X SLTA.

Kajian teks ini menjadi penting untuk ditinjau kembali karena teks yang menuntun

tindakan peserta didik dan arah pembelajaran. Sugeng Wahyono, seorang dosen UNY,

sudah memberikan saran mengenai implementasi pendidikan multikultural. Salah satu

pendapat dari seorang Dosen UNY ini, “segera perlu mengimplementasikan pendidikan

multikultural ke sekolah-sekolah yang didukung kebijakan pemerintah untuk pengadaan

guru, materi pengajaran, dan pengadaan buku-buku pelajaran”. Saran tersebut tentu saja

patut kita tinjau sekarang pada teks yang pernah di susun oleh pemerintah maupun

tenaga kependidikan.

B. Kewarganegaraan dan Sumber yang Berbeda

Pendidikan Kewarganegaraan di sini saya pilih sebagai titik fokus kajian karena

ternyata pelajaran ini telah menyita perhatian beberapa ilmuwan sosial dan kritikus.

       

8 Dalam Fajar Riza Ul Haq. “Beban Visional Masyarakat Multikultural”. Dalam Kalimatun Sawa’. Vol.

(5)

Salah satunya, seorang Indonesianis Niels Mulder (dalam Salim. 2005: 46). Ia

menunjukkan,

“Pelajaran Kewarganegaraan yang diajarkan di sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, lebih banyak berisi pengarahan ideologi, dengan isi yang terus mengulang-ulang. Ideologi itu adalah suatu ketundukan total individu pada kolektivitas. Tenggang rasa dan toleransi yang ditekankan di sana lebih dimaksudkan untuk menekan perbedaan dalam rangka menciptakan harmoni”.

Selain itu ada juga ulasan dari Wahyono, Pendidikan kewarganegaraan sebagai

bagian dari Humaniora “harusnya mampu menembus batas-batas agama dan perspektif

ideologis lainnya, sehingga bisa mengatasi pandangan sempit primordial” (2005:15).

Dengan demikian, saya tertarik untuk memperdalam kajian ini atas materi

kewarganegaraan dari dua institusi yang berbeda, yakni: SMA di bawah lindungan

DIKNAS dan MA (Madrasah Aliyah) di bawah lindungan DEPAG. Jadi saya mencoba

membandingkan antara pendidikan ‘umum’ dengan ‘islami’9 untuk melihat apakah

kekhawatiran Wahyono tersebut memang terjadi? Apakah pelajaran ini memang telah

menembus batas-batas agama dan perspektif ideologis tertentu?

Saya mengawali analisis ini dengan mengidentifikasi teks terlebih dahulu. Buku

ajar ini berupa LKS (Lembar Kerja Siswa) yang berisi rangkuman materi dan soal-soal

ujian. Untuk MA, saya menggunakan LKS MODUL buatan MGMP10 PKn Eks

Karesidenan Surakarta tahun 2010. Sedangkan untuk SMA saya menggunakan LKS

KREATIF terbitan VIVA Pakarindo Klaten11.

C. Mendedah Bahasan LKS

Telaah selanjutnya, saya hendak menyodorkan beberapa kutipan dari bab

pertama kedua LKS mengenai “Hakekat Bangsa dan Negara”. Tema ini pada saya pilih

       

9 Istilah ‘umum’ dan ‘islami’ ini berawal dari anggapan masyarakat bahwa SMA itu ‘umum’ karena

memberi pelajaran-pelajaran yang umum. Begitu juga dengan MA, dianggap ‘islami’ karena pelajaran dan kegiatan akademik non-akademik lebih banyak berbau agama islam.

10 MGMP merupakan sebuah organisasi pra guru mata pelajaran tertentu dalam suatu wilayah pendidikan,

misalnya wilayah kabupaten atau karesidenan seperti pembuat LKS ini.

11

(6)

karena ada kesesuaian dengan apa yang tengah dibicarakan di sini. Akan tetapi sebelum

masuk ke materi, kita kaji dahulu standar kompetensi apa yang hendak dibekalkan

kepada siswa melalui tema tersebut.

Mari kita buka kedua LKS ini bersama-sama. Di halaman pertama LKS MA,

dalam kolom Standar Kompetensi berbunyi: ”Kemampuan menganalisis hakekat bangsa

dan negara serta menentukan sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik

Indonesia”. Dari satu poin kompetensi ini, terdapat dua hal menarik menurut saya.

Pertama, kemampuan “menganalisis” di sini, kalau kita pahami berarti kemampuan

yang diharapkan dari peserta didik di bidang kognitifnya. Siswa diajak untuk berpikir

lebih jauh tentang bangsa dan negara, bahkan sampai ke hakekatnya. Kedua, setelah

siswa diajak untuk berpikir, selanjutnya diajak untuk menentukan sikap, untuk bertindak

positif. Inilah aspek afektif yang diharapkan nantinya bisa berkembang di dalam pribadi

siswa. Dengan demikian, terdapat dua kompetensi yang hendak dikembangkan kepada

siswa MA.

Pada halaman yang sama dari standar kompetensi LKS SMA, terpampang

sebuah kalimat “Memahami hakekat bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Kompetensi ini diawali dengan “memahami” saja, tidak seperti kompetensi sebelumnya.

Ini artinya, pengembangan siswa SMA lebih ditekankan pada aspek kognitif saja. Jika

memang demikian, pertanyaan selanjutnya mengapa pada siswa SMA tidak ada aspek

afektifnya? Padahal tadi di atas kita mendapati saran dari teoretikus, bahwa

multikulturalisme menyangkut “tindak” pembedaan dan penyamaan. Tentu saja tidak

segampang ini. mari kita lanjutkan membaca lagi.

Paragraf awal LKS MA dimulai dengan penegasan posisi manusia sebagai

makhluk individu dan sosial. Perhatikan paragraf berikut,

(7)

Penjelasan ini saya kira cukup fatal. Siswa diberi pemahaman, apa yang

menjadi dunia sosialnya, dibatasi oleh Sembilan kriteria. Menariknya lagi, kelima

kriteria itu didasarkan pada “kesamaan”, entah kesamaan agama, kesamaan ideologi,

cita-cita, bahasa, dan wilayah tempat tinggal. Apakah dunia sosial yang kita diami

sekarang terbentuk dari kesamaan-kesamaan entitas seperti itu? Dengan demikian, siswa

diajak untuk memahami dirinya sebagai makhluk sosial karena kesamaan-kesamaan itu,

bukan oleh perbedaan. Penjelasan yang berbeda kita temukan di dalam LKS SMA. Di

sana disebutkan, “manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri dan selalu

membutuhkan peran, bantuan, serta keberadaan manusia lain dalam hidupnya” (hal:3).

Penjelasan ini kalau kita salami, mengandaikan dunia sosial manusia itu terkonstuksi

melalui kekurangan, perbedaan, dan disitulah rasa saling membutuhkan akhirnya

tumbuh.

Selanjutnya, konsep “bangsa” dikenalkan terlebih dahulu dengan

mengambilkan beberapa pandangan para ahli. Kebetulan saya menemukan, kedua LKS

itu merujuk pada satu tokoh yang sama, yakni Ernest Renan, seorang ahli kenegaraan

asal Prancis itu. LKS MA berbunyi, “Bangsa terbentuk adanya keinginan untuk hidup

bersama/hasrat bersatu dengan perasaan kesetiakawanan yang agung.”(hal:4).

Deskripsi WJS Purwadarminto, penulis KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) juga

tertuang dalam materi tersebut. Konsep bangsa didefinisikan sebagai “kesatuan dari

orang-orang yang sama atau bersama asal keturunan, bahasa, adat, dan sejarahnya,

yang di bawah pemerintahan sendiri, misalnya Bangsa Indonesia”(hal:4).

Kutipan-kutipan cetak miring tersebut, menginformasikan satu pandangan bagi penyusun LKS

MA, yakni MGMP. Mereka memahami bangsa dibangun melalui kesamaan keturunan,

bahasa, adat, dan sejarahnya.

LKS SMA justru lain bunyinya. Di sana disebutkan, “bangsa adalah

sekelompok manusia yang dipersatukan karena persamaan nasib, latar belakang

sejarah, dan cita-cita yang sama”. Sebagai tambahan, “pemersatu bangsa bukanlah

kesamaan bahasa atau suku bangsa, akan tetapi tercapainya hasil gemilang di masa

(8)

mengapa tulisan yang merujuk pada satu tokoh, bisa menjadi berbeda ketika dituangkan

ke dalam teks sekolah di dua macam institusi?

Tidak dihadirkannya perbedaan di dalam pengertian bangsa, lagi-lagi kita

dapatkan dari kalimat selanjutnya di LKS MA. Arti bangsa secara

sosiologis/antropologis dideskripsikan sebagai suatu “kelompok paguyuban yang secara

kodrati ditakdirkan untuk hidup bersama dan senasib sepenanggungan di dalam suatu

negara”. Hanya sesederhana ini saja deskrisinya mengenai bangsa secara antropologis.

Penjelasan mendetail justru kita temui di dalam LKS SMA. Bangsa dalam perspektif

yang sama, dimaknai sebagai “persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan

masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut, terikat oleh kesatuan ras, bahasa, agama,

dan adat istiadat. Ikatan tersebut dinamakan ikatan primordial.” Selanjutnya, “dapat

disimpulkan bahwa dalam satu negara terdapat dua bangsa, yaitu bangsa dalam arti

politis misalnya bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa yang ada di dalamnya

(sosiologis-antropologis) seperti bangsa Batak, Jawa, Bugis, dan sebagainya. Dan

untuk mempermudah pembedaan tersebut, maka bangsa dalam arti

sosiologis-antropologis dinamakan suku, etnis, atau suku-bangsa”. Dari kutipan-kutipan ini

dapatlah dikatakan, kebermaknaan bangsa Indonesia dihadirkan di dalam bahasan SMA

melalui kesatuan berbagai entitas etnik, agama, dan adat-istiadat. Bukan

menyederhanakannya sebagai suatu kelompok yang ditakdirkan karena senasib dan

seperjuangan.

Kita lanjutkan lagi pada halaman berikutnya mengenai “Unsur-unsur

pembentuk bangsa”. LKS MA menyebutkan bangsa, dengan mengutip Hans Kohn,

dibentuk karena faktor-faktor obyektif tertentu yang membedakan dari bangsa lain,

yakni “kesamaan keturunan, wilayah, bahasa, adat-istiadat, kesamaan politik,

perasaan, dan agama”. Kalau mengacu pada kutipan ini, kita mendapati kesimpulan,

bangsa akan “identik” dengan agama, kebudayaan, politik, atau sebaliknya.

Pendapat Ernest Renan justru diambil lagi didalam bahasa LKS SMA, bangsa

terbentuk karena “kesamaan jiwa, sehingga walaupun berasal dari berbagai macam

suku, budaya, dan agama namun kehendak unutk bersatu menjadikan satu kekuatan

(9)

jiwa dan kehendak untuk bersatu. Perbedaan-perbedaan entitas sosial seperti

suku-bangsa, agama, dan budaya lainnya tidak menjadi masalah dalam proses integrasi

nasional. Pemahaman ini terlihat lebih jelas pada penjelasan selanjutnya,

“berdasarkan pada pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur terbentuknya bangsa meliputi sebagai berikut: (a) ada sekelompok manusia yang mempunyai kemauan untuk bersatu, (b) berada dalam suatu wilayah tertentu, (c) ada kehendak untuk membentuk atau berada di bawah pemerintahan yang dibuatnya sendiri, (d) secara psikologis merasa senasib, sepenanggungan, setujuan, dan secita-cita, dan (e) ada kesamaan karakter, identitas, budaya, bahasa, dan lain-lain sehingga dapat dibedakan dengan bangsa lain”.

Kata atau frase yang saya cetak miring di atas, merupakan bentuk penekanan

tentang adanya wacana “kesamaan” dan “perbedaan” dalam struktur sebuah bangsa.

Sebagai contoh, kalimat terakhir terdapat kalimat “kesamaan karakter, identitas, budaya,

bahasa, dan lain-lain, sehingga dapat dibedakan dengan bangsa lain”. Kalimat ini kalau

kita pahami, mengandung makna praktikal dari multikulturalisme sebagaimana yang

dijelaskan Lono Lastoro. Secara kognitif, siswa SMA telah diajak melakukan tindak

“penyamaan dan pembedaan” yang merupakan dari esensi multikulturalisme. Tindak

penyamaan dan pembedaan ternyata masih terus dilanjutkan dengan forum diskusional.

Forum ini hanya saya temukan di LKS SMA saja, sedangkan LKS MA seusai bahasan

langsung diarahkan pada soal-soal pengayaan.

Melalui forum diskusi ini, siswa SMA diajak untuk merenungkan lebih lanjut

urgensi pluralitas Indonesia atau Indonesia yang multikultur. Diskusi ini terdiri empat

pertanyaan yang ditarik dari gagasan para tokoh pluralis12 sebagai berikut:

“(1) bagaimana seharusnya kita memahami nilai-nilai kebangsaan dalam konteks kekinian? (2) apakah anda sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Sultan HB X, mengenai moto Bhineka Tunggal Ika sebagai strategi integrasi? (3) apakah anda sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Masdar F Mas’udi bahwa dalam melihat agama harus ditempatkan sebagai moralitas transeden dalam wawasan kebangsaan? (4) bagaimana pula pendapat anda mengenai apa yang disampaikan Frans Magnis-Suseno dalam seminar tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan dalam forum diskusi ini secara garis besar dapat

ditangkap sebagai bentuk reapresiasi dari materi sebelumnya. Kata kunci yang saya

       

(10)

cetak miring, semuanya merupakan bentuk-bentuk pemahaman. Jadi tindak

“penyamaan” dan “pembedaan” yang hendak ditanamkan anak SMA berada pada

tataran kognitif.

D. Pengenalan Sebuah ‘Bangsa’: Dua kecenderungan

Konstuksi teks pengetahuan mengenai ‘Bangsa’ dalam bahan ajar di atas,

mengindikasikan bentuk-bentuk kecenderungan tertentu. Seusai pembacaan kritis ini,

pada LKS MA kita belum menemukan dua macam kompetensi secara penuh. LKS ini

hanya menonjolkan aspek kognitifnya saja. Saya belum tahu apakah di luar teks guru

Kewarganegaraan akan mengimprovisasi aspek efektif di kelas. Secara tekstual, saya

hanya menemukan aspek pertama saja, aspek kognitif. Belum adanya pengembangan

afektif ini dapat dilihat dari tidak adanya referensi atau acuan baku ke arah mana siswa

akan “menentukan sikap positif terhadap Negara”.

Dengan mengikuti arahan dari Lono Lastoro di atas, siswa MA belum diajak

melakukan tindak penyamaan dan pembedaan. Kata “persamaan, kesamaan (sama)”

selalu muncul di dalam deskripsi bahan ajar LKS MA. Kita tidak mendapatkan satu pun

kata oposisinya, “perbedaan (beda)”. Terbentuknya bangsa masih tertulis karena adanya

kesamaan keturunan, wilayah, bahasa, adat-istiadat, kesamaan politik, perasaan, dan

agama”. Padahal faktanya bangsa tidak dibentuk karena kesamaan-kesamaan di atas.

Sebagai contoh, suku-bangsa jawa tidak identik dengan Islam atau suku-bangsa Dayak

tidak identik dengan Katolik. Isu-isu faktual mengenai perbedaan semacam ini belum

ditampilkan secara tekstual di LKS MA. Dengan demikian, secara kognitif siswa MA

masih berada dalam taraf tindak penyamaan saja.

Pada LKS SMA kita mendapati capaian-capaian yang berbeda. SMA secara

sadar mengembangkan aspek kognitif saja. Dalam konteks multikulturalisme ini, saya

rasa kompetensi yang ditanamkan pada siswa sudah cukup, meskipun data-data faktual

“kebangsaan” masih belum maksimal. Paling tidak, upaya membangun pemahaman

untuk tindak penyamaan dan pembedaan sudah ada. Sebagai contoh, bangsa terbentuk

karena “kesamaan jiwa, sehingga walaupun berasal dari berbagai macam suku,

(11)

terbentuknya bangsa. Kalimat ini mengindikasikan satu kesatuan tindak

multikulturalisme. Siswa pertama kali diajak melihat kesamaan jiwa sebagai kesamaan

anggota suatu bangsa. Melalui kata “walaupun”, tindak negasi dari pernyataan pertama

secara langsung ditampilkan. Sehingga untuk menjadi anggota suku-bangsa Jawa

misalnya, yang dibutuhkan adalah menyamakan jiwanya dengan jiwa orang Jawa pada

umumnya. Arti tindak pembedaan di sini adalah memberi pemahaman baru bahwa

identitas agama atau budaya tidak menghalangi penyatuan itu. Dengan demikian siswa

SMA bisa dikatakan cukup dalam pendidikan multikulturalismenya secara praksis.

Mereka sudah dikenalkan dengan perbedaan dan persamaan, yang selanjutnya

direfleksikan kembali untuk melakukan pembedaan dan penyamaan sebagaimana yang

tertuang di dalam pertanyaan-pertanyaan diskusional sesudah bahasan habis.

Ada satu hal yang perlu kita dalami lagi. Di antara kutipan-kutipan di atas,

frasa “persamaan agama” hanya muncul pada kolom LKS MA dan tidak muncul di

kolom LKS SMA. Mengapa? Bukankah hal ini nampak aneh? Hasil telaah teks

menunjukkan, pendidikan di MA belum mampu menembus batas-batas agama dan

perspektif ideologis lainnya, sehingga belum bisa mengatasi pandangan sempit

primordial.

E. Refleksi Pendidikan Multikulturalisme

Pendidikan multikulturalisme, secara praksis sebagaimana yang diharapkan

Lono Lastoro, merupakan tindak penyamaan dan pembedaan. Hal ini bisa dilakukan

setelah dikenalkan suatu persamaan dan perbedaan antara entitas sosial yang satu

dengan yang lainnya. Di dalam studi perbandingan teks ini, ternyata boleh dikatakan

pendidikan multikulturalisme belum sepenuhnya dilakukan di berbagai institusi Sekolah

Lanjutan Tingkat Atas dalam tingkatan kelas yang sama dan mata pelajaran yang sama,

yakni Pendidikan Kewarganegaraan kelas X.

Dari hasil analisis perbandingan yang dilakukan, ditemukan dua

kecenderungan pendidikan SLTA di Indonesia dalam mata pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan tersebut. Saya menyimpulkan beberapa hal. Pertama, arah

(12)

kultural. Mereka masih terjebak di dalam sistem pendidikan Kewarganegaraan yang “

lebih banyak berisi pengarahan ideologi, dengan isi yang terus mengulang-ulang.

Dengan mengacu pada Mulder, ideologi di sini maksudnya “suatu ketundukan total

individu pada kolektivitas”. Siswa tidak dikenalkan pemahaman bahwa suatu bangsa

terdapat kelas-kelas sosial yang bisa tidak senasib dan sepenanggungan, berbeda

ideologi, berbeda agama. Intinya, mereka belum diajak untuk melakukan pembedaan,

hanya tindak penyamaan saja yang dibangun.

Kedua, pendidikan di SMA saya kira telah melaksanakan strategi pendidikan

multikultural sebagaimana yang disarankan oleh Lono Lastoro, melalui konstruksi

materi. Guru secara tidak langsung “alih-alih mengajari/mendikte tentang perbedaan

dan persamaan pada siswa, tumbuhkan kepekaan siswa tentang tindak membedakan dan

menyamakan”. Melalui upaya ini, para siswa akan peka terhadap hal-hal yang berbeda

dari dirinya.

Dengan melihat kondisi pendidikan kewarganegaraan di salah satu semester

kelas X ini, maka kekhawatiran Wahyono di atas boleh dikatakan masih ada. Melalui

teks di atas, upaya membangun kembali masyarakat Indonesia yang diwarnai oleh relasi

sosial yang saling berkelindan dan saling apresiatif belum maksimal. Akan tetapi justru

disitulah letak persoalannya, prospek pendidikan multikultural di Indonesia menjadi

suram karena terbentur pada semakin menguatnya politik identitas…”13.

Secara tekstual, wajah Kewarganegaraan di MA belum mampu untuk

menghadirkan perbedaan. Memang pendidikan di MA lebih diarahkan ke

pengembangan iman dan taqwa, tetapi apakah caranya memang demikian. Pendidikan

Kewarganegaraan seharusnya merupakan media pengenalan dan pembelajaran

mengenai negara Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Musa Asy’arie, bahwa

pendidikan kewarganegaraan diadakan sebagai bagian dari proses usaha membangun

multikultural untuk memperkuat wawasan kebangsaan. Setidaknya, format pendidikan

Kewarganegaraan di MA lebih diarahkan untuk memberi perhatian pada toleransi dan

       

13 Sugeng Bayu Wahyono. Prospek Pendidikan Multikultural di Indonesia. Dalam Jatmiko dan

(13)

kerukunan antarumat beragama. Hal ini menurut saya sangat penting. Sikap toleran dan

terbuka, bagaimanapun juga merupakan bagian dari ubudiyah islam sebagai penguatan

civil society di Indonesia.

Satu hal lagi, LKS MA yang sedemikian cacatnya ini disusun melalui MGMP.

Ini artinya, sewilayah karesidenan telah mendapati bentuk pengajaran yang serupa.

Sehubungan dengan tema besar kita, pendidikan islam mendapati masalah besar.

Menurut saya, pendidikan islam justru harus bergulat dengan tantangan baru mengenai

penyusunan kembali konsep pendidikan multikulturalismenya. Dengan demikian,

pendidikan islam ke depan nanti diharapkan harus apresiatif terhadap persoalan ini.

(14)

Daftar Pustaka

Jatmiko, Sari dan Ferry Indriatno (edt). 2006. “Pendidikan Multikultural yang

Berkeadilan Sosial. Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar (DED) dan

MISEREOR

Kisbiyah, Yayah dan Atiqa Sabardila. 2004. Pendidikan Apresiasi Seni: Wacana

dan Praktik untuk Toleransi Budaya. Surakarta: PSBPS UMS

Lono Lastoro. Dari Perbedaan dan Persamaan, Menuju Pembedaan dan

Penyamaan. Dalam Ahimsa-Putra (ed). 2006. “Esai-Esai Antropologi:

Teori, Metodologi & Etnografi”. Yogyakarta: Jurusan Antropologi Budaya UGM dan Kepel Press.

Niels, Mulder. 2000. Indonesian Images: The Culture of Public World. Yogyakarta: Kanisius

Sunarto, Kamanto. Russel HKH, dan Achmad Fedyani S. 2004. Multicultural Education in Indonesia and Southeast Asia: Stepping into the Unfamiliar.

Depok: Jurusan Antropologi UI bekerjasama dengan TIFA Foundation

LKS KREATIF. Pendidikan Kewarganegaraan SMA/MA kelas Xa. Semester Gasal. Klaten: VIVA Pakarindo

LKS Modul.. Pendidikan Kewarganegaraan. Untuk kalangan sendiri MAN/MAS. Semester 1. MGMP Eks Karesidenan Surakarta

Sumber Jurnal

Fajar Riza Ul Haq. “Beban Visional Masyarakat Multikultural”. Kalimatun Sawa’. Vol. 01, No. 02 (2004). Hal 4-8

Sumber Website

Anonym, “Ratusan Siswa SMA 6 Antarkan Jenazah Alawy ke Liang Lahat”. http://news.detik.com/read/2012/09/25/105804/2034457/10/ratusan-siswa-sma-6-antarkan-jenazah-alawy-ke-liang-lahat?9911012. (diakses tanggal 26 September 2012 pukul 09:48 WIB)

Referensi

Dokumen terkait

Rumah Sakit lbu dan Anak Aceh dalam operasionalnya dapat digolongkan sebagai organisasi pelayanan jasa, kemampuan memberikan pelayanan yang berkualitas kepada pasien ditentukan

(8A) Walau apa pun apa-apa jua dalam Perlembagaan ini, jika di dalam mana- mana Universiti, Kolej dan institusi pendidikan lain yang memberikan pendidikan selepas Malaysian

Menyusun kubus menyerupai stupa, digunakan untuk , mengenalkan warna mengenalkan jumlah motorik halus konsentrasi Harga Rp.45.000,- Menara Balok Digunakan untuk :

(Menunjukkan jalan, cara metode yang dapat membantu mahasiswa mengerti mengenai kebutuhan dasar pada ibu dalam proses persalinan yaitu digunakan metode ceramah tanya jawab, small

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan Hidayah-Nya kepada Peneliti, sehingga penelitian yang berjudul: Problematika

 Dalam welfare state, hak kepemilikan diserahkan kepada swasta sepanjang hal tersebut memberikan insentif ekonomi bagi pelakunya dan tidak merugikan secara sosial,

1) Persepsi kegunaan, persepsi kemudahan penggunaan, persepsi manfaat, dan persepsi biaya secara simultan berpengaruh terhadap niat menggunakan PC Tablet

Adapun beberapa hal pada rancangan yang perlu untuk diperbaiki dan menjadi masukkan untuk perancangan Perancangan Kampung Kebun Bersusun di Jogoyudan, dengan Pendekatan Open