BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SAKSI INSTRUMENTER DALAM MEMBERIKAN KETERANGAN DALAM AKTA NOTARIS
A. Pembuktian Kesaksian Oleh Saksi Akta di Depan Persidangan
Keterangan saksi atau suatu kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada
Hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam
perkara yang dipanggil di persidangan.
Keterangan yang harus diberikan oleh saksi di depan persidangan adalah
tentang adanya perbuatan atau peristiwa hukum yang saksi lihat, dengar dan alami
sendiri serta alasan atau dasar yang melatarbelakangi pengetahuan tersebut. Dalam
hal ini saksi tidak boleh menyimpulkan, membuat dugaan ataupun memberikan
pendapat tentang kesaksiannya, karena hal ini bukan dianggap sebagai kesaksian. Hal
ini sesuai dalam ketentuan Pasal 1907 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.135Jadi
dengan kesaksian yang diambil dari pendapat atau perkiraan yang diperoleh dengan
jalan pikiran, bukanlah suatu kesaksian.
Hakim dalam melihat alat pembuktian saksi, berdasarkan Pasal 1908
KUHPerdata diharuskan memperhatikan kesamaan/penyesuaian antara keterangan
para saksi, penyesuaian antara keterangan-keterangan dengan apa yang diketahui dari
135
segi lain tentang perkara, sebab-sebab yang mendorong para saksi mengemukakan
keterangannya, pada cara hidupnya, kesusilaannya, kedudukan para saksi dan segala
apa yang berhubungan dengan keterangan yang dikemukakan.
Keterangan saksi agar dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah, maka harus
memenuhi dua syarat, yaitu:136
1. Syarat Formil
Dalam syarat formil keterangan saksi harus diberikan dengan di bawah
sumpah/janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa akan memberi
keterangan sebenarnya dan tidak lain dari apa yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3)
KUHAP). Dalam hal mengucapkan sumpah atau janji menurut ketentuan Pasal 160
ayat (3); “Sebelum saksi memberi keterangan “wajib mengucapkan” sumpah atau
janji.
Adapun sumpah atau janji, yaitu :137
a. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing.
b. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberi keterangan yang
sebenar-benarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya.
Dalam Pasal 161 ayat (2) menunjukkan bahwa pengucapan sumpah merupakan
syarat mutlak : “Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan
janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan
136http://repository.unpas.ac.id/5159/5/9.%20BAB%20II.pdf, diakses pada tanggal 19 Maret
2016.
keterangan yang dapat menguatkan keyakinan Hakim”, Ini tidak berarti merupakan
kesaksian menurut undang-undang, bahkan juga tidak merupakan petunjuk, karena
hanya dapat memperkuat keyakinan Hakim.
2. Syarat Materil
Pasal 1 angka 27 Jo Pasal 185 ayat (1) KUHAP dimana ditentukan bahwa:
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang
pengadilan mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.”
Dalam hal ini haruslah diketahui bahwa tidak semua keterangan saksi
mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah
keterangan yang sesuai dengan isi pasal yang dikemukakan diatas, yakni jika
dijabarkan poin-poinnya adalah sebagai berikut :
1) Yang saksi liat sendiri;
2) Saksi dengar sendiri;
3) Saksi alami sendiri;
4) Serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.
Penilaian keterangan saksi sebagaimana menurut Pasal 185 KUHAP, bahwa:138
1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan (testimony)
2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya
138
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
4. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu
Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, Hakim harus dengan
sungguh-sungguh memperhatikan :
a. Persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan
tertentu
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
Hakim harus mampu melihat apakah saksi yang memberikan keterangan di
depan persidangan itu memang sudah memberikan kesaksian yang sebenarnya atau
terdapat kepalsuan di dalam kesaksiannya. Hakim juga harus melihat apa penyebab
mengapa saksi tersebut memberikan kesaksian palsu. Apakah diancam dari pihak lain
ataukah adanya sebab-sebab lain yang membuatnya harus memberikan keterangan
palsu berkaitan dengan akta yang disengketakan.
Demikian pula saksi yang telah memberikan keterangan palsu di persidangan,
sebagaimana menurut Pasal 174 KUHAP, yaitu:
pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
(2) Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, Hakim Ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan palsu.
(3) Dalam hal demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh Hakim Ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang.
(4) Jika perlu Hakim Ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.
Adapun yang dimaksud dengan keterangan palsu yang tercantum di dalam akta
autentik adalah suatu keterangan-keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang
bertentangan atau tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Keterangan palsu yang
terdapat dalam suatu akta umumnya berasal dari para pihak/penghadap yang meminta
untuk dibuatkan akta yang bertujuan untuk menguntungkan dirinya dan merugikan
pihak lain. Perbuatan ini dilakukan oleh para pihak/penghadap dengan cara sengaja
yakni pada saat para pihak/penghadap datang dan menghadap kepada Notaris untuk
meminta dibuatkan akta, di mana para pihak/penghadap tersebut memberikan
keterangan-keterangan dan identitas yang tidak benar serta
surat-surat/dokumen-dokumen yang tidak benar.
Adapun beberapa hal yang terkait dengan saksi ialah:139
1. Pembuktian dengan satu saksi, tanpa alat bukti lain tidak boleh diterima (Unus
Testis Nullus Testis) Pasal 1905 KUHPerdata
2. Setiap saksi harus menerangkan alasan-alasan bagaimana diketahuinya hal-hal
yang diterangkan dan dialami sendiri
3. Saksi tidak boleh menerangkan tentang pendapat, kesimpulan, dan dugaan
saksi
Dalam menimbang keterangan saksi, Hakim harus menimbang dan
memerhatikan dengan sungguh-sungguh segala hal, pekerjaan, kehidupan saksi, agar
dapat memperoleh keterangan saksi yang benar. Beberapa ketentuan tentang cara
memperoleh keterangan saksi yang benar, misalnya:140
1. Pasal 144 HIR
a. Saksi yang datang pada hari yang ditentukan itu dipanggil ke dalam
seorang demi seorang
b. Hakim menanyakan pada saksi tentang nama saksi, pekerjaannya,
umurnya, alamatnya, apakah ada hubungan darah/semenda dengan kedua
belah pihak atau salah satunya, apakah saksi ada hubungan kerja dengan
menerima upah dengan salah satu pihak.
2. Pasal 172 HIR
Dalam hal menimbang nilai kesaksian, Hakim haruslah memerhatikan dengan
sungguh-sungguh persesuaian keterangan saksi, segala hal yang mungkin
dapat memengaruhi saksi memberikan keterangan, kehidupan saksi, kebiasaan
saksi dan segala hal yang dapat menyebabkan saksi dapat dipercaya atau
tidak. .
3. Pasal 146 HIR
1) Orang yang boleh minta undur diri dari memberi penyaksian, yaitu :
a. Saudara laki-laki dan saudara perempuan, dan ipar laki-laki dan
perempuan dari salah satu pihak
b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki
dan perempuan dari laki atau isteri salah satu pihak
c. Sekalian orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya yang
salah satu diwajibkan menyimpan rahasia, akan tetapi semata-mata
hanya tentang hal, yang diberitahukan kepadanya karena martabat
pekerjaan atau jabatan itu sendiri.
2) Pengadilan Negerilah yang akan menimbang benar atau tidaknya
keterangan orang bahwa ia diwajibkan akan menyimpan rahasia itu.
Orang-orang yang memiliki hak undur diri itu boleh meminta dibebaskan dari
memberikan kesaksian, namun apabila mereka bersedia memberikan kesaksian,
mereka diperbolehkan memberikan kesaksian di muka pengadilan.
Sebagaimana diketahui bahwa kuantitas Notaris sangatlah tinggi, oleh
karenanya pelanggaran-pelanggaran terhadap pembuatan akta cenderung sangat
Penyilidikan141, Penyidikan142 dan Persidangan serta proses hukum lainnya, baik itu
secara perdata maupun pidana. Terkait dengan hal-hal yang demikian, sering kali
permasalahan tersebut masuk dalam ranah hukum pidana. Sengketa hukum ini
tentunya tidak hanya berimplikasi pada Notaris yang membuat akta saja, tetapi juga
berimplikasi pada akta itu sendiri.
Permasalahan hukum yang telah memasuki ranah hukum pidana tentunya
menyebabkan Notaris pembuat akta yang bermasalah tersebut dapat menjadi
tersangka maupun seorang saksi, yang selanjutnya menimbulkan pertanyaan
bagaimana dengan status akta Notaris itu sendiri.
Apabila seorang Notaris melakukan penyimpangan akan sebuah akta yang
dibuatnya sehingga menimbulkan suatu perkara pidana, maka Notaris harus
mempertanggungjawabkan secara pidana apa yang telah dilakukannya tersebut.
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (verwijbaarheid) yang
obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan
Hukum Pidana yang berlaku, dan secara subyektif kepada pelaku yang memenuhi
persyaratan untuk dapat dikenakan pidana karena perbuatannya itu.143
141 Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan suatu keadaan atau
peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. Lihat dalam Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 101.
142 Pada penyidikan titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta
mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Lihat dalam Yahya Harahap, Ibid., hal. 109.
143 Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Notaris yang tidak jarang terjerat kasus hukum dalam menjalankan tugasnya,
dibatasi dengan aturan-aturan hukum yang berlaku. Aturan-aturan tersebut termuat di
dalam UUJN yang secara jelas mengatur setiap tindakan seorang Notaris dalam
menjalankan jabatannya. Pemerintah juga mengadakan pengawasan pada Notaris agar
seorang Notaris tidak bersikap sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya.
Menurut Sujamto, pengawasan dalam arti sempit adalah segala usaha atau
kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang
pelaksanaan tugas atau pekerjaan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.
Sedangkan pengawasan dalam arti luas adalah sebagai pengendalian, pengertiannya
lebih forceful daripada pengawasan, yaitu sebagai usaha atau kegiatan untuk
menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan sesuai
dengan semestinya.144
Sejak kehadiran institusi Notaris di Indonesia, pengawasan terhadap Notaris
selalu dilakukan oleh lembaga peradilan dan pemerintah, bahwa tujuan dari
pengawasan adalah agar para Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya memenuhi
semua persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris, demi
untuk pengamanan kepentingan masyarakat, karena Notaris diangkat oleh
pemerintah, bukan untuk kepentingan diri Notaris sendiri melainkan untuk
kepentingan masyarakat yang dilayaninya.145
144
Sujamto,Aspek-Aspek Pengawasan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1987), hal. 53.
Tujuan lain dari pengawasan terhadap Notaris, bahwa Notaris dihadirkan
untuk melayani kepentingan masyarakat yang membutuhkan alat bukti berupa akta
autentik, sehingga Notaris sendiri dengan kesadaran dan penuh tanggung jawab
dalam tugas jabatannya menjalankan berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Hal ini
tidak terlepas dari peranan masyarakat untuk mengawasi dan senantiasa melaporkan
tindakan Notaris yang dalam melaksanakan tugas jabatannya tidak sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku kepada Majelis Pengawas Notaris setempat.
B. Perbedaan Saksi Instrumenter dalam Akta dan Saksi di Luar Instrumenter
Peresmian akta Notaris mengharuskan adanya dua orang saksi untuk turut
hadir dalam menyaksikan pembacaan akta serta membubuhkan tanda tangan agar
akta tersebut dapat menjadi akta yang autentik. Pengertian saksi yang ada di dalam
lembaga Notaris terdapat 2 (dua) jenis, yaitu saksi instrumenter dan saksi Attesterend.
Saksi instrumenter adalah saksi dalam akta Notaris yang merupakan para
saksi yang ikut serta di dalam pembuatan terjadinya akta.146 Para saksi ikut serta di
dalam pembuatan terjadinya akta (instrument) itu dan itulah sebabnya dinamakan
saksi instrumenter (instrumentaire getuigen) dengan jalan membubuhkan tanda
tangan, memberikan kesaksian tentang kebenaran adanya dilakukan dan dipenuhinya
formalitas-formalitas yang diharuskan oleh undang-undang, yang disebutkan dalam
akta itu dan yang disaksikan oleh para saksi.147
Saksi Attesterend/saksi pengenal, yakni saksi yang memperkenalkan
penghadap kepada Notaris dikarenakan penghadap tersebut tidak bisa dikenal oleh
Notaris atau dikarenakan tidak memiliki identitas atau Notaris meragukan
identitasnya, maka Notaris minta diperkenalkan oleh saksi attesterend. Pengenalan
penghadap tersebut harus dinyatakan dalam akta.
Untuk seorang penghadap yang tidak dikenal maka disyaratkan ada satu orang
saksi attesterend, sedangkan bila terdapat lebih dari 2 (dua) orang penghadap, maka
mereka dapat saling memperkenalkan kepada Notaris.
Dengan demikian, dalam salah satu atap verlidjen yaitu pada saat
penandatanganan akta, seorang saksi attesterend tidak diharuskan menandatangani,
namun apabila mereka tetap ingin membubuhkan tandatangannya tidak ada larangan
untuk hal tersebut.148
Saksi Instrumenter yang tidak lain adalah Karyawan Notaris149 itu berperan
sebagai saksi instrumenter dalam peresmian akta, sudah masuk dalam lalu lintas
hukum yang memiliki akibat hukum, sehingga apabila suatu akta Notaris dikemudian
hari terjadi masalah atau kasus maka karyawan Notaris dengan sendirinya ikut terlibat
dalam masalah atau kasus tersebut.
Sebagaimana saksi dalam kasus lain, maka karyawan Notaris150sebagai saksi
dalam kasus akta Notaris juga harus mendapat perlindungan hukum dan harus
148G.H.S. Lumban Tobing,Ibid., hal. 204 149R. Soegondo Notodisoerjo,Op.Cit.,hal. 139.
150http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20316810-T31529-Perlindungan%20hukum.pdf diakses
dijamin keselamatannya dalam hal terjadi kasus atau gugatan di Pengadilan, terhadap
suatu akta dimana karyawan tersebut menjadi saksi. Walaupun tindakan karyawan
Notaris sebagai saksi instrumenter dalam peresmian akta Notaris sudah termasuk
dalam bidang kenotariatan, akan tetapi Undang-undang Jabatan Notaris tidak
memberikan perlindungan hukum terhadap saksi dalam peresmian akta, terutama
terhadap karyawan Notaris.
Hal tersebut karena di dalam UUJN yang mendapat perlindungan hukum
hanya Notaris, sehingga perlindungan hukum terhadap karyawan Notaris sebagai
saksi instrumenter dalam peresmian akta Notaris tidak ditemukan dalam
undang-undang tersebut. Dengan tidak adanya pengaturan dalam Undang-undang-undang Jabatan
Notaris tentang perlindungan bagi karyawan Notaris yang menjadi saksi instrumenter
dalam peresmian akta, maka perlindungan hukum terhadap karyawan Notaris yang
berperan sebagai saksi tersebut baru dapat ditemui dalam ketentuan diluar peraturan
jabatan Notaris, yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Walaupun dalam undang-undang tersebut tidak mengatur secara khusus mengenai
saksi dalam peresmian akta Notaris, akan tetapi ketentuan-ketentuan dalam
undang-undang tersebut dapat diaplikasikan terhadap kedudukan karyawan Notaris sebagai
menyeluruh untuk seluruh saksi yang dipanggil dalam suatu proses perkara di
pengadilan.151
Dalam hal diperkenalkannya para saksi kepada Notaris tidak cukup hanya
dengan menunjukan identitas saja, tapi yang lebih penting dari itu adalah kecakapan
untuk bertindak sebagai saksi dan memenuhi syarat-syarat sebagai saksi sesuai Pasal
40 UUJN. Apabila ada salah satu dari persyaratan tersebut tidak terpenuhi maka
Notaris berwenang untuk menolaknya demi untuk menjamin otensitas suatu akta
yang akan dibuatnya. Untuk menjaga keautentikan dari akta Notaris, maka Notaris
harus berhati-hati dalam hal menghadirkan dan mendudukkan orang sebagai saksi
dalam hal memberikan kesaksian suatu perbuatan hukum/peristiwa hukum yang
dinyatakan dalam akta Notaris. Sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam Pasal 40
ayat (3), yaitu saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh Notaris
atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan
kewenangan kepada Notaris oleh penghadap.
Pengertian dikenal bukan dalam arti kenal akrab, misalnya sebagai teman atau
sudah kenal lama, kalaupun para penghadap sudah dikenal sebelumnya oleh Notaris,
hal ini merupakan nilai tambah untuk Notaris saja, tapi kenal yang dimaksud dalam
arti yuridis, artinya ada kesesuaian antara nama dan alamat yang disebutkan oleh
yang bersangkutan di hadapan Notaris dan juga dengan bukti-bukti atau identitas atas
dirinya yang diperlihatkan kepada Notaris. Para pihak juga harus memiliki
151Berdasarkan Wawancara dengan Notaris/PPAT Bapak Suprayitno, SH, MKn., pada
kewenangan untuk melakukan suatu tindakan hukum yang nantinya akan disebutkan
di dalam akta. Sehingga diharapkan tidak akan terjadi sengketa di kemudian hari yang
mengakibatkan para pihak atau Notarisnya sendiri terjerat kasus hukum, baik hukum
pidana maupun hukum perdata.
C. Perlindungan Hukum Bagi Saksi Instrumenter dalam Memberikan Keterangan dan Dasar Hukumnya
Keberadaan saksi di Indonesia diatur di dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, diantaranya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, yakni
Pasal 164 sampai Pasal 172 Bab kesembilan HIR stb.1941 No.44, yang mengatur
tentang saksi dalam suatu pemeriksaan perkara dalam proses persidangan untuk
perkara perdata yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri. Serta terdapat pula
dalam Rbg. Stb.1927 No.227 tentang saksi pada Bab keempat tentang tata cara
mengadili perkara perdata dalam tingkat pertama menjadi wewenang Pengadilan
Negeri serta Bab kelima tentang bukti dalam perkara perdata.152
Selanjutnya tentang saksi juga diatur di dalam KUHPerdata pada Buku
keempat Bab ketiga tentang pembuktian dan saksi dalam Pasal 1895 KUHPerdata,
1902 KUHPerdata, dan Pasal 1904 sampai 1912 KUHPerdata. Pengaturan tentang
saksi juga terdapat di dalam KUHAP diantaranya Pasal 1 angka 26, Pasal 159 sampai
dengan Pasal 158 KUHAP.153
152
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/57491/3/Chapter%20II.pdf, diakses pada tanggal 19 Maret 2016.
153 Irenrera Putri, diakses dari http:/www.google.com/lib.ui.ac.id/file digital/131194-T,pada
Saksi instrumenter dalam memberikan keterangan perihal akta yang
disengketakan, mendapatkan perlindungan sebagaimana Notaris jika dijadikan saksi
di depan persidangan. Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban menjelaskan
secara jelas bahwa seseorang mendapatkan perlindungan oleh Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban sejak dimulainya penyelidikan hingga berakhirnya proses.
Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang terdapat dalam Pasal 3
menerangkan bahwa undang-undang ini berdasarkan atas:154
a. Asas Perlindungan.
Maksud dari asas ini mengacu pada kewajiban Negara untuk melindungi
warga negaranya terutama mereka yang dapat terancam keselamatannya
baik fisik maupun mental.
b. Hak Atas Rasa Aman.
Dalam hak ini termasuk pula hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara
kejam dan tidak manusiawi
c. Hak Atas Keadilan.
Tersangka dan terdakwa telah diberikan seperangkat hak dalam KUHAP dan
seyogyanya seorang saksi harus pula mendapat keadilan.
d. Penghormatan Atas Harkat dan Martabat Manusia.
154
Peran seorang saksi selama ini tidak pernah mendapat perhatian yang
memadai dari penegak hukum walaupun ia berperan besar dalam
mengungkapkan suatu tindak pidana.
Pada Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban
menyatakan bahwa “Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan
harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikannya”. Hal ini membuktikan bahwa Saksi dalam
memberikan keterangan di persidangan, akan dijamin keselamatannya oleh
undang-undang dan diberikan perlindungan bukan hanya dirinya pribadi saja, melainkan
keluarga dan harta benda juga masuk ke dalam perlindungan Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK).
LPSK dalam menjalankan tugasnya, memiliki wewenang sebagai berikut:155
a. meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pemohon dan pihak lain terkait dengan permohonan;
b. menelaah keterangan, surat, dan/atau dokumen yang terkait untuk mendapatkan kebenaran atas permohonan;
c. meminta salinan atau fotokopi surat dan/atau dokumen terkait yang diperlukan dari instansi manapun untuk memeriksa laporan pemohon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum;
e. mengubah identitas terlindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. mengelola rumah aman;
g. memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih aman; h. melakukan pengamanan dan pengawalan;
i. melakukan pendampingan Saksi dan/atau Korban dalam proses peradilan; j. melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian Restitusi dan Kompensasi.
155 Pasal 12A ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang
Dalam hal seorang Notaris dijadikan sebagai saksi di depan persidangan,
Penyidik yang memanggil Notaris untuk diperiksa, harus mengikuti proses yang
dibuat pemerintah sebagai pengawasan Notaris. Pengawasan untuk Notaris dalam hal
ini dilakukan oleh MPD. Dalam melakukan pemeriksaan Notaris atas permintaan
penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk kepentingan proses peradilan, MPD
akan bersidang dan menilai tindakan Notaris dalam akta Notaris yang bersangkutan
berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) dan Hukum Kenotariatan
Indonesia.
Namun, berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun
2016, pengawasan terhadap Notaris mengenai tindakan Notaris dalam akta hingga
dilakukannya pemeriksaan oleh tim penyidik, penuntut umum maupun Hakim,
beralih kepada Majelis Kehormatan Notaris (atau yang selanjutnya disebut MKN).
Ketika MKN tidak mengizinkan seorang Notaris untuk memenuhi panggilan
penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan alasan Notaris yang bersangkutan
dalam membuat akta telah sesuai dengan prosedur pembuatan akta yang benar
bedasarkan UUJN, maka untuk Notaris yang bersangkutan telah selesai perbuatan
hukumnya. Artinya, akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris telah memenuhi
syarat lahir, formal, dan materil.
Dalam menjalankan tugasnya, Majelis Kehormatan Notaris Pusat memiliki
yang berkaitan dengan tugasnya. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Majelis Kehormatan Notaris Pusat mempunyai fungsi melakukan
pengawasan terhadap Majelis Kehormatan Notaris Wilayah.
Majelis Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai tugas:
a. melakukan pemeriksaan terhadap permohonan yang diajukan oleh penyidik,
penuntut umum, dan hakim; dan
b. memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permintaan persetujuan
pemanggilan Notaris untuk hadir dalam penyidikan, penuntutan, dan proses
peradilan.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Majelis
Kehormatan Notaris Wilayah mempunyai fungsi melakukan pembinaan dalam
rangka:
a. menjaga martabat dan kehormatan Notaris dalam menjalankan profesi
jabatannya; dan
b. memberikan perlindungan kepada Notaris terkait dengan kewajiban Notaris
untuk merahasiakan isi Akta.
Tugas pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Kohormatan Notaris tidak
lepas dari pada penegakan Etika Notaris, meliputi norma agama, norma hukum,
norma kesusilaan, dan norma kesopanan.
Peran penting dari lembaga MKN ini adalah “menggantikan” peran MPD
dalam menyetujui atau menolak pemanggilan Notaris dan pengambilan fotokopi
badan yang bersifat independen dalam mengambil keputusan yang mempunyai tugas
dan kewajiban untuk memberikan bimbingan atau pembinaan dalam rangka
memperkuat institusi Notaris dalam menegakkan Undang-Undang Jabatan Notaris
bagi setiap orang yang menjalankan jabatan sebagai Notaris. Mengenai tugas dan
kewenangan MKN ini sebenarnya belum diatur secara tegas di dalam suatu bentuk
peraturan perundang-undangan. Namun kewenangan MKN telah diatur di dalam
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis
BAB IV
AKIBAT HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM MEMBERIKAN KETERANGAN DALAM AKTA NOTARIS
A. Akibat Hukum Bagi Saksi dalam Hukum Pidana
Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman/sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi pelakunya.156
Adapun unsur-unsur dari perbuatan pidana tersebut adalah sebagai berikut:157
a. Perbuatan (manusia)
Yaitu perbuatan yang terjadi karena kelakuan dan kejadian yang ditimbulkan oleh pelaku
b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (Syarat formil)
Untuk dapat disebut sebagai tindak pidana, suatu perbuatan harus memenuhi rumusan dalam undang-undang. Hal ini sesuai dengan ketentuan asas legalitas yaitu bahwa tidak ada perbuatan yang tidak dilarang dan diancam dengan pidana, apabila tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perbuatan perundang-undangan.
c. Bersifat melawan hukum (syarat materil)
Disamping memenuhi syarat-syarat formil, perbuatan harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, sebab bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan yakni masyarakat yang bahagia, adil dan sejahtera.
Secara umum tindak pidana dapat dibedakan secara kualitatif berupa:158
a. Kejahatan (Rechtdelicht);
156 Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:
PT. Pradnya Paramita, 1995), hal. 15
157
Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, (Yogyakarta: Center For Documentation and Studies of Business Law (CDBSL), 2003), hal. 143-147
158Tongat,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang:
Kejahatan merupakan suatu perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
keadilan, terlepas apakah perbuatan tersebut diancam pidana dalam suatu
undang ataupun tidak. Meskipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam
undang-undang, namun perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bentuk
perbuatan yang bertentangan dengan keadilan.
b. Pelanggaran (wetsdelicht);
Pelanggaran merupakan suatu perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru
disadari sebagai suatu tindak pidana, dikarenakan undang-undang merumuskannya
sebagai suatu delik.
Munir Fuady mengemukakan :
“Perbuatan melawan hukum termasuk setiap berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya dan bertentangan dengan tata susila, dengan kepatutan, kebiasan dan undang-undang, maka orang yang karena kesalahannya menyebabkan timbulnya kerugian bagi orang lain sebagai akibat dari perbuatannya wajib membayar ganti rugi.”159
Menurut Hermin Hediati Koeswadji suatu perbuatan melawan hukum dalam
konteks pidana atau pebuatan yang dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan
pidana mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar manusia yang dapat
berupa:
1. Suatu tindakan atau tindak tanduk yang dilarang dan diancam dengan
sanksi pidana, seperti memalsukan surat, sumpah palsu, pencurian.
159 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), (Bandung: PT.
2. Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam sanksi pidana oleh
undang-undang, seperti pembunuhan, penganiayaan.
3. Keadaan atau hal-hal yang khusus dilarang dan diancam sanksi pidana
oleh undang-undang, seperti menghasut, melanggar kesusilaan umum.
b. Unsur subjektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam diri manusia,
berupa:
1. Dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaarheid).
2. Kesalahan (schuld).160
Sanksi pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP, dimana sanksi pidana dibagi
menjadi pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri atas pidana mati,
pidana penjara, pidana kurungan dan denda, sedangkan pidana tambahan berupa
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman
putusan hakim.
Keberadaan sanksi pidana tambahan disini berupa adanya pencabutan hak,
dapat didasarkan pada ketentuan Pasal 38 KUHP yang menyatakan mengenai adanya
suatu pencabutan hak. Pada Pasal 38 KUHP lebih menekankan adanya sanksi
tambahan tidak dapat dijadikan dasar sebagai adanya komulasi atau penggabungan
penerapan sanksi dalam Hukum Pidana. Karena dalam prakteknya dan dalam
yurisprudensi-yurisprudensi yang menjatuhkan pidana terhadap Notaris yang
melakukan perbuatan melawan hukum tidak ditemukan sanksi tambahan berupa
160 Liliana Tedjosapatro,Mal Praktek Notaris dan Hukum Pidana, (Semarang: CV Agung,
pencabutan hak seorang Notaris sebagai seorang pejabat umum yang berwenang
membuat akta autentik.
Perihal saksi dan kesaksian, dalam konteks kasus pidana telah diatur secara
jelas dalam KUHP atau Wetboek van Strafrecht (Bahasa Belanda) dan dalam UU No
8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dikenal dengan nama KUHAP.
Ketentuan pidana ini (materi dan acara) merupakan hukum positif di Indonesia, atau
hukum/ketentuan yang berlaku saat ini.
Dalam hukum kenotariatan, tidak jarang para pihak mencantumkan
keterangan palsu baik dalam akta maupun di persidangan. Perbuatan hukum tersebut
tidak jarang menarik Notaris turut menjadi saksi maupun korban dalam hukum
pidana, yang kemudian dapat menimbulkan Notaris tersebut terkena hukuman pidana
sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Notaris tidak akan dapat dituntut jika nantinya akta yang ia buat itu
mengalami masalah mengenai keterangan palsu yang diberikan oleh para pihak.
Notaris akan terlindung dari sengketa suatu akta jika ia tidak ikut turut serta
memberikan keterangan palsu atau mencantumkan keterangan palsu dari para pihak
ke dalam akta autentik tersebut. Seperti dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 731
K/Pid/2008.
Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 731 K/Pid/2008 menerangkan
kesalahan para pihak pembuat akta yang dengan sengaja memberikan keterangan
palsu perihal masih adanya hak dari Tuan Kosin Kunardi selaku mantan suami dari
Cianjur. Tanpa sepengetahuan dari Tuan Kosin Kunardi, Ny. Idahjaty menjual Villa
tersebut kepada Ny. Lina selaku pembeli dengan harga Rp. 375.000.000,- (tiga ratus
tujuh puluh lima juta rupiah), dan membuatkan akta jual beli di hadapan Notaris Sri
Madiathie dengan menyembunyikan perihal kesepakatan yang pernah dibuat saat
keduanya masih dalam status pernikahan.
Kesepatakan itu menyatakan bahwa villa tersebut nantinya akan dijual dan
dibagi rata. Sementara Ny. Idahjaty tanpa meminta persetujuan Tuan Kosin, langsung
menjual villa tersebut dengan membawakan Surat Putusan Pengadilan yang berisikan
bahwasanya Ny. Idahjaty telah mendapatkan persetujuan dari Tuan Kosin mengenai
penjualan villa tersebut. Padahal kenyataannya Tuan Kosin sendiri tidak mengetahui
perihal penjualan tersebut.
Merujuk dari contoh kasus di atas terlihat jelas bahwa Notaris dalam
menjalankan tugasnya dapat terjerat kasus hukum yang diakibatkan kesalahan dari
para pihak di dalam akta. Notaris dalam membuat akta autentik, hanya berdasarkan
keterangan dari para pihak yang datang menghadap kepadanya.161 Notaris tidak
mempunyai kewajiban untuk meneliti suatu objek yang menjadi dasar dalam
pembuatan akta secara mendalam.162 Notaris hanya berdasarkan dari identitas para
pihak, keterangan dan bukti surat-surat yang dimiliki oleh para pihak untuk nantinya
dimasukkan ke dalam akta autentik.
161
Berdasarkan Wawancara dengan Notaris/PPAT Bapak Suprayitno, SH, MKn., pada tanggal 18 Agustus 2016
162Berdasarkan Wawancara dengan Notaris Ibu Mufida Noor, SH., pada tanggal 11 Agustus
Menurut Habib Adjie, dalam perkara pidana seringkali Notaris dijerat dengan
Pasal dalam KUHP sebagai berikut:
1. Membuat surat palsu/yang dipalsukan dan menggunakan surat palsu/yang
dipalsukan (Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP)
2. Melakukan pemalsuan terhadap akta autentik (Pasal 264 KUHP)
3. Menyuruh mencantumkan keterangan palsu dalam akta autentik (Pasal 266
KUHP)
4. Melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan (Pasal 55 Jo. Pasal
263 ayar (1) dan (2) KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP)
5. Membantu membuat surat palsu/atau yang dipalsukan dan menggunakan surat
palsu/yang dipalsukan (Pasal 56 ayat (1) dan (2) Jo. Pasal 263 ayat (1) dan (2)
KUHP atau Pasal 264 atau Pasal 266 KUHP)
Dalam Ketentuan Pasal 266 KUHP, diatur mengenai keterangan palsu yang
berbunyi:
1. Barang siapa menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta autentik tentang sesuatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan akta itu seolah-olah keterangan itu cocok dengan sebenarnya, maka kalau dalam mempergunakannya itu dapat mendatangkan kerugian, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun
2. Dengan hukuman serupa itu juga dihukum barang siapa dengan sengaja menggunakan akta itu seolah-olah isinya benar dengan hal yang sebenarnya jika pemakaian surat itu dapat mendatangkan kerugian.
Sementara itu, di dalam Pasal 242 KUHP diatur mengenai hal yang sama,
1. Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, dengan lisan atau tulisan, secara pribadi atau melalui kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun
2. Bila keterangan palsu di atas diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun.
Unsur-unsur dari tindak pidana sumpah palsu dalam Pasal 242 ayat (1)
KUHPidana, yang diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun, adalah sebagai berikut:
1. Dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi
keterangan di atas/di bawah sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada
keterangan yang demikian;
2. Dengan sengaja;
3. Memberi keterangan palsu di atas/di bawah sumpah, baik dengan lisan atau
tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, nantinya akan ada tindak pidana sumpah
palsu apabila pemeriksaan terhadap saksi yang bersangkutan telah selesai. Selama
saksi itu masih diperiksa, saksi tersebut masih dapat menarik kembali keterangannya.
Jika saksi menarik kembali keterangannya sebelum pemeriksaan terhadap dirinya
sebagai saksi belum selesai, maka belum terjadi tindak pidana sumpah palsu yang
Pasal-pasal dalam KUHAP yang berkenaan dengan tindak pidana sumpah
palsu adalah Pasal 163 dan 174. Dalam Pasal 163 KUHAP ditentukan bahwa, “Jika
keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita
acara, Hakim Ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan
mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acâra pemeriksaan sidang.”163
Demikian pula saksi yang telah memberikan keterangan palsu di persidangan,
sebagaimana menurut Pasal 174 KUHAP, yaitu:164
a. Apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
b. Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan palsu.
c. Dalam hal demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntu umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang.
d. Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.
B. Akibat Hukum Bagi Saksi dalam Hukum Perdata
Dalam proses Hukum Acara Perdata, Hakim berperan menerapkan Hukum
Pembuktian dalam 4 (empat) klasifikasi, yaitu:165
163 Abdul Hakim G. Nusantara, et al, KUHAP dan Peraturan-peraturan Pelaksana,
(Djambatan: Jakarta, 1986), hal. 57.
164Ibid.,
hal. 59.
165 H.P. Panggabean, Hukum Pembuktian Terori Praktek dan Yurisprudensi Indonesia,
1. Menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya di antara kedua belah pihak
yang disengketakan
2. Membebankan pembuktian kepada salah satu pihak atau kepada kedua belah
pihak
3. Memberikan penilaian atas alat-alat bukti dengan/atas hubungan hukum di
antara pihak-pihak
4. Menemukan hukum di antara persengketaan kedua belah pihak.
Dalam hukum pembuktian tercakup berbagai materi Hukum Pembuktian yang
memerlukan landasan operasional, terutama terletak pada asas-asas. Pada hukum
acara perdata, asas-asas pembuktian tersebut adalah:166
1. Hakim bersifat menunggu (Pasal 118 HIR)
Asas ini memuat ketentuan bahwa proses peradilan baru berjalan jika ada
pencari keadilan yang menuntut haknya. Dalam proses peradilan Pasal 10 ayat (1)
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menentukan
bahwa Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili dengan dalil
Hakim tidak atau kurang jelas karena ada anggapan bahwa Hakim belum tahu akan
hukumnya (ius curia novit).
Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menentukan bahwa para Hakim wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hidup dalam masyarakat.
2. Hakim Pasif
Asas ini menentukan batasan terhadap Hakim sehingga ruang lingkup
pemeriksaan dan pemutusan perkara terikat pada peristiwa dalam sengketa yang
diajukan pencari keadilan (secundum allegata iudicare).
3. Sifat terbukanya persidangan
a) Pasal 179 ayat (1), yang menentukan asas terbukanya persidangan untuk
umum dengan tujuan terjadinya objektifitas peradilan.
b) Persidangan juga dapat dilakukan tertutup jika ditentukan lain oleh
undang-undang atau apabila ada alasan-alasan yang penting menurut
perintah Hakim.
4. Mendengar kedua belah pihak
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 memuat asas “Audi et
alteram partem”, yaitu ketentuan bahwa kedua belah pihak harus
diperlakukan sama sehingga pengakuan alat bukti harus dilakukan dimuka
sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak.
5. Putusan harus disertai alasan-alasan :
1. Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan peraturan yang
dijadikan dasar untuk mengadili, sehingga peraturan itu dapat dinilai
memiliki nilai objektif
2. Dalam praktik peradilan, penilaian atas ada atau kurang adanya
sebagai alasan pembatalan di tingkat kasasi sebagai alasan onvoldoende
gemotiveerd,yaitu tidak cukup dipertimbangkan
3. Dalam sistem peradilan, putusan Hakim sering didasarkan pada dukungan
Jurisprudensi. Dalam praktik sehari-hari Hakim mengikuti Jurisprudensi
melalui pola pikir “the persuasive force of precedent” artinya pendirian
atau keyakinan Hakim yang menerima putusan terdahulu sebagai
pedoman untuk memutuskan perkara yang sejenis.
6. Beracara dikenakan biaya
Asas pembebanan biaya perkara yang dimaksud dalam hal ini dipelukan
untuk:
a. Biaya kepaniteraan
b. Biaya pemanggilan pihak-pihak
c. Biaya materai
d. Biaya jasa pengacara, mediator
7. Tidak ada keharusan mewakilkan
Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada Hakim di persidangan
tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan
pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang di panggil di
persidangan. Jadi keterangan yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian
yang telah ia alami sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara
Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895
KUHPerdata yang berbunyi ”Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam
segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti
saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila
undang-undang sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah
alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.
C. Pertanggungjawaban Saksi Dalam Memberikan Keterangan Di Persidangan
Seorang Notaris dalam menjalankan kewenangan dan kewajibannya memiliki
tanggung jawab yang cukup penting sehingga dituntut adanya kinerja yang optimal
dalam melayani jasa pembuatan akta. Oleh karena itu dalam melaksanakan
pekerjaannya Notaris memerlukan karyawan Notaris. Mengingat Notaris memiliki
tanggung jawab cukup besar dalam melayani jasa pembuatan akta, maka
karyawannya juga dituntut memiliki kinerja yang optimal juga, sehingga tanggung
jawab dalam melaksanakan tugasnya karyawan Notaris benar-benar dapat membantu
kinerja Notaris yang bersangkutan.
Saksi instrumenter dalam akta Notaris sebagian besar adalah karyawan Notaris.
Para karyawan Notaris tersebut hanya dapat bersaksi sebatas tanggung jawabnya
dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh Notaris. Dan tentu saja mereka,
sebagai saksi instrumenter tidak bertanggung jawab terhadap isi akta.
Notaris tetap bertanggung jawab atas isi akta apabila dikemudian hari akta
Notarislah yang berhadapan langsung dengan para pihak dalam akta tersebut.
Sedangkan saksi akta, hanya bertanggung jawab sebatas tanggung jawabnya sebagai
saksi yang menyaksikan peresmian akta tersebut.
Sebagai saksi dalam akta Notaris, saksi instrumenter mempunyai tanggung
jawab yang cukup besar, terutama dalam peresmian suatu akta Notaris. Seorang saksi
instrumenter harus hadir dalam peresmian suatu akta Notaris. Dalam hal ini, tanggung
jawab saksi instrumenter adalah menyaksikan apakah suatu akta Notaris tersebut
telah dilakukan penyusunan, pembacaan dan penandatanganan para pihak dihadapan
Notaris, sebagaimana disyaratkan oleh undang-undang sebagai syarat otentitas suatu
akta.167
Saksi akta hanya bertanggung jawab terhadap formalitas-formalitas akta
sebatas yang ditugaskan oleh Notaris, seperti dalam pengetikan akta, pencocokan
identitas, data dan surat-surat yang berkaitan dengan para pihak dalam akta, serta
turut menyaksikan pembacaan dan penandatanganan suatu akta, serta turut
menandatanganinya.
Akan tetapi, apabila saksi instrumenter ini diminta keterangan dalam
persidangan, maka saksi bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang telah
disaksikannya yang berkaitan dengan peresmian suatu akta Notaris, yaitu apakah
Notaris telah memenuhi syarat-syarat dalam peresmian akta tersebut seperti yang
telah diperintahkan oleh undang-undang.
Keterangan saksi dalam proses peradilan sangat penting untuk mengungkap
kebenaran, akan tetapi dalam mengungkapkan keterangannya itu tidak menutup
kemungkinan adanya ancaman ataupun teror yang membahayakan saksi baik fisik,
mental maupun harta bendanya, untuk kondisi tersebut tidak menutup kemungkinan
juga saksi enggan untuk memberikan keterangan yang diperlukan. Untuk menjamin
kesediaan saksi dalam memberikan keterangan di depan persidangan maka peraturan
perundang-undangan memberikan sejumlah hak kepada saksi. Akan tetapi hal yang
sangat sering terjadi di Indonesia adalah kurangnya peranan dari lembaga-lembaga
Negara dalam memfasilitasi atau menjamin penegakan hak asasi dari saksi tersebut.
Ketiadaanjaminan ini mengakibatkan saksi enggan untuk memberi keterangan
di Pengadilan, terutama dalam kasus-kasus tertentu.168 Namun demikian walaupun
terdapat hak saksi, akan tetapi karena kurangnya peranan dari lembaga Negara dalam
memfasilitasi penegakan hak dari saksi tersebut, mengakibatkan saksi enggan
memberikan keterangan terutama dalam kasus-kasus tertentu.
Suatu akta Notaris yang telah diresmikan atau ditandatangani telah mempunyai
peranan sebagai alat bukti autentik. Bahkan Pasal 1870 jo 1871 KUHPerdata, akta
Notaris yang mempunyai kekuatan autentik tersebut tidak diperlukan lagi alat bukti
lainnya dalam pembuktian karena akta autentik itu sebagai alat bukti yang sempurna
bagi kedua belah pihak atau ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak
darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut. Akta autentik yang merupakan
168http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/131194-T%2027313-Tinjauan%20yuridis-Analisis.pdf,
bukti yang lengkap (mengikat) berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta
tersebut harus diakui oleh Hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar, selama
kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya.169
Saksi yang berasal dari karyawan notaris yang dihadirkan dalam persidangan
tersebut, memberikan kesaksian sebatas tanggung jawabnya dalam melaksanakan
kewajibannya yakni dalam melaksanakan perintah atau tugas yang diberikan oleh
Notaris. Dari sifat kedudukannya sebagai saksi, maka para saksi turut mendengarkan
pembacaan dari akta itu, juga turut menyaksikan perbuatan atau kenyataan yang
dikonstantir itu dan penandatanganan dalam akta itu. Dalam hal ini, para saksi tidak
perlu harus mengerti apa yang dibacakan dan bagi mereka tidak ada kewajiban untuk
menyimpan isi dari akta itu dalam ingatannya. Para saksi (termasuk saksi sebagai
karyawan Notaris) tidak bertanggung jawab terhadap isi akta itu.170
D. Pertanggungjawaban Notaris Dalam Akta di Depan Persidangan
Dalam hal seorang Notaris dijadikan sebagai saksi dalam kasus hukum, Notaris
dituntut tanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya, mematuhi dan tunduk pada
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 dan Kode Etik Notaris, tetapi tidak menutup
kemungkinan bahwa di luar pengetahuan Notaris, para pihak/penghadap yang
meminta untuk dibuatkan akta memberikan keterangan yang tidak benar dan
menyerahkan surat/dokumen yang tidak benar sehingga setelah semuanya dituang ke
dalam akta lahirlah sebuah akta yang mengandung keterangan palsu.
169Teguh Samudera,Op.Cit., hal. 49.
170
Notaris dalam menjalankan tugasnya di bidang kenotariatan, khususnya dalam
pembuatan akta tidak jarang terkena masalah akibat kurangnya ketelitian dan
kehati-hatian dan memeriksa identitas atau pembuatan akta. Akibat hal ini, tidak jarang
Notaris harus menjadi saksi bahkan terdakwa dalam kasus pidana maupun perdata.
Para pihak yang dengan sengaja memberikan keterangan palsu ke hadapan Notaris,
juga dapat membuat Notaris terjerat kasus hukum.
Ketentuan mengenai keterangan palsu, dapat dilihat dalam Pasal 266 ayat (1)
Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi :
“Barang siapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta autentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangan itu sesuai dengan kebenarannya, diancam bila pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Berdasarkan Pasal 266 di atas, apabila para pihak atau saksi memberikan
keterangan palsu ke dalam suatu akta Notaris tidak terkecuali Notaris itu sendiri,
maka akan diberikan sanksi sesuai dengan yang diatur di dalam KUHPidana tersebut.
Walaupun tidak jarang pertimbangan-pertimbangan lainnya yang dapat membuat
hukuman tersebut berkurang sesuai keputusan pengadilan tempat perkara itu
diperiksa.
Pertanggungjawaban bagi Notaris dalam pembuatan akta autentik yang
memuat keterangan palsu antara lain adalah pertanggungjawaban secara pidana atas
akta yang dibuatnya dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang berwenang
Pertanggungjawaban secara perdata berupa ganti rugi yang diberikan oleh Notaris
apabila dapat dibuktikan bahwa adanya kerugian yang diderita akibat dibuatnya akta
autentik atau terdapat hubungan kausal antara kerugian yang diderita dengan
pelanggaran atau kelalaian dari Notaris.
Pertanggungjawaban secara administrasi diberikan jika Notaris melanggar
UUJN dan Kode Etik Notaris berupa sanksi secara berjenjang mulai dari teguran lisan
sampai dengan pemberhentian tidak hormat. Faktor yang menyebabkan tindak pidana
penempatan keterangan palsu dalam akta autentik adalah faktor dari Notaris yaitu
kurang teliti, kurang pengetahuan, terlalu percaya kepada orang lain dan tidak
profesional, dan faktor dari penghadap yaitu maksud ingin tercapai, itikad buruk dan
untuk kepentingan pribadi.
Dalam pembuatan akta autentik, Notaris harus bertanggung jawab apabila atas
akta yang dibuatnya terdapat kesalahan atau pelanggaran yang disengaja oleh Notaris.
Sebaliknya apabila unsur kesalahan atau pelanggaran itu terjadi dari para pihak
penghadap, maka sepanjang Notaris melaksanakan kewenangannya sesuai peraturan.
Notaris bersangkutan tidak dapat diminta pertanggungjawabannya, karena Notaris
hanya mencatat apa yang disampaikan oleh para pihak untuk dituangkan ke dalam
akta. Dalam hal ini, Notaris hanya dapat dijadikan sebagai saksi di depan persidangan
untuk memberikan keterangan perihal perbuatan hukum yang terjadi di dalam akta
atau kesesuaian identitas para pihak saat hadir di hadapannya.
Keterangan palsu yang disampaikan oleh para pihak adalah menjadi tanggung
Notaris ialah apabila penipuan atau tipu muslihat itu bersumber dari Notaris
sendiri.171 Selama Notaris tidak berpihak dan hati-hati dalam menjalankan
jabatannya, maka Notaris akan lebih terlindungi dalam menjalankan kewajibannya.
Namun dalam pembuatan Akta Rapat Umum Pemegang Saham, itu sepenuhnya
merupakan tanggung jawab Notaris.
Notaris dapat dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam konteks
Hukum Pidana sekaligus juga melanggar kode etik dan UUJN jika dengan sengaja
ikut serta dalam pemberian keterangan palsu ke dalam akta, sehingga syarat
pemidanaan menjadi lebih kuat. Apabila hal tersebut tidak disertai dengan
pelanggaran kode etik atau bahkan dibenarkan oleh UUJN, maka mungkin hal ini
dapat menghapuskan sifat melawan hukum suatu perbuatan dengan suatu alasan
pembenar.
Seseorang yang merasa dirugikan karena perbuatan seseorang, sedangkan
diantara mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian),
maka berdasarkan undang-undang akan timbul atau terjadi hubungan hukum antara
orang tersebut yang menimbulkan kerugian itu.172
Abdul Ghofur Anshori menyebutkan bahwa dalam hubungannya dengan
kebenaran materil, maka tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum dibedakan
menjadi 4 (empat), yaitu:173
171 Notodisoerjo,Hukum Notarial di Indonesia (suatu penjelasan), (Jakarta: Rajawali Pers,
1982), hal. 229.
172AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Diapit Media, 2002), hal. 77.
173
1. Tanggung jawab secara perdata
Tanggung jawab perdata terhadap kebenaran materil terhadap akta yang
dibuat oleh Notaris dilihat dari perbuatan melawan hukum, yang dapat
dibedakan berdasarkan sifat aktif dan pasif. Perbuatan melawan hukum yang
bersifat aktif adalah melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada
pihak lain. Sedangkan perbuatan melawan hukum yang bersifat pasif adalah
tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain
menderita kerugian. Oleh karena itu, dalam hal ini unsur dari perbuatan
melawan hukum adalah adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan
dan adanya kerugian yang ditimbulkan.
2. Tanggung jawab secara pidana
Ketentuan pidana dalam hal tanggung jawab Notaris tidak diatur di dalam
UUJN, namun tanggung jawab Notaris secara pidana dapat diberikan apabila
Notaris tersebut melakukan perbuatan pidana. Dalam UUJN, sanksi yang
didapat hanya berupa akta yang dibuat oleh Notaris tidak memiliki kekuatan
autentik atau hanya sebagai akta di bawah tangan. Menurut UUJN, Notaris
dalam hal ini dapat diberikan sanksi yang berupa teguran lisan, teguran
tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian hormat dan secara tidak
hormat.
3. Tanggung jawab secara jabatan
Ruang lingkup pertanggungjawaban Notaris dalam jabatannya hanya meliputi
tanggung jawab formil Notaris hanya terhadap keabsahan akta autentik yang
dibuatnya, bukan terhadap isi akta tersebut. Sanksi atas kesalahan Notaris
dalam menjalankan jabatannya terdapat di dalam UUJN Pasal 84 dan Pasal
85.
4. Tanggung jawab secara kode etik
Profesi Notaris merupakan profesi yang berkaitan dengan individu, organisasi
profesi, masyarakat dan Negara. Hubungan profesi Notaris dengan
masyarakat dan Negara telah diatur di dalam UUJN, sedangkan hubungan
profesi Notaris dengan organisasi profesi Notaris diatur di dalam kode etik
Notaris. Ruang lingkup kode etik berlaku bagi seluruh anggota perkumpulan
organisasi Ikatan Notaris Indonesia (INI) maupun orang lain yang
menjalankan jabatan Notaris. Sanksi sebagai bentuk upaya penegakan kode
etik Notaris atas pelanggaran kode etik dituangkan dalam Pasal 6, yang
menyatakan bahwa sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan
pelanggaran kode etik berupa teguran, peringatan, pemecatan sementara dari
keanggotaan perkumpulan dan pemberhentian dengan tidak hormat dari
keanggotaan perkumpulan.174
Notaris mempunyai pertanggungjawaban secara administrasi, perdata,
maupun pidana. Ada kemungkinan bahwa pertanggungjawaban di satu bidang hukum
tidak menyangkut bidang hukum yang lain. Sebaliknya, tindakan yang menimbulkan
tuntutan berdasarkan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) dapat
menimbulkan pertanggungjawaban di bidang hukum pidana.175
Apabila akibat kelalaian atau kesalahan Notaris dalam membuat akta dapat
dibuktikan, maka kepada Notaris yang bersangkutan dapat dimintakan
pertanggungjawaban baik secara pidana maupun perdata. Oleh karena itu guna
melindungi dirinya, sikap kewaspadaan dan ke hati-hatian sangat dituntut dari
seorang Notaris. Namun demikian, dalam prakteknya tidak sedikit Notaris yang
mengalami masalah sehubungan dengan akta yang telah dibuatnya dinyatakan batal
demi hukum oleh putusan pengadilan sebagai akibat ditemukannya cacat hukum
dalam pembuatannya, misalnya dalam keterangan palsu yang dilakukan para pihak.
Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 731 K/Pid/2008 yang telah
dijelaskan di atas, terlihat bahwa Notaris tidak melakukan kesalahan apa pun. Notaris
telah memeriksa data yang menjadi syarat dalam pembuatan akta jual beli berupa
identitas para pihak dengan sangat teliti. Namun Ny. Idahjaty selaku pihak yang
membuat akta ternyata dengan sengaja memalsukan keterangan bahwasannya Tuan
Kosin selaku mantan suami telah memberikan persetujuannya untuk menjual villa
tersebut. Akibatnya Tuan Kosin mengalami kerugian akan haknya yang tidak
dipenuhi oleh Ny. Idahjati atas penjualan villa tersebut. Disamping itu Ny. Lina
selaku penjual juga mengalami kerugian karena membeli villa tersebut dengan harga
Rp. 375.000.000,- (tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah).
175 http://www.notary.my.id/2015/08/batasan-batasan-notaris-dapat-dituntut.html, diakses
Berdasarkan contoh kasus di atas, terlihat bahwa setiap orang dalam
melakukan suatu tindak pidana yang dalam hal ini adalah menempatkan keterangan
palsu di dalam akta, harus dapat mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya.
Dalam hal ini, Ny. Idahjaty selaku terdakwa oleh Mahkamah Agung dijatuhi sanksi
pidana yang berupa kurungan penjara selama 1 (satu) tahun dan terdakwa dikenakan
biaya ganti rugi perkara akibat perbuatannya sendiri. Para pihak yang hadir di
hadapan Notaris, seharusnya memberikan keterangan yang sebenar-benarnya agar
Notaris maupun saksi intrumenter tidak terjerat kasus hukum yang menimbulkan
sanksi akibat perbuatannya tersebut.
Para pihak dalam hal memberikan keterangan palsu, akan menempatkan
Notaris sebagai saksi di depan persidangan jika Notaris tersebut tidak turut ikut dalam
menempatkan keterangan palsu di dalamnya. Pada Putusan Mahkamah Agung di atas
jelas bahwa Notaris tidak ikut dalam penempatan keterangan palsu, sehingga status
Notaris di dalam persidangan Putusan tersebut hanya menjadi saksi. Notaris hanya
menyatakan perihal kedatangan para pihak dan syarat-syarat pembuatan akta yang
telah terpenuhi dan ia teliti dengan hati-hati sebelum membuat akta jual beli tersebut.
Tanggung jawab Notaris dalam hal pembuktian akta apabila terdapat
kekhilafan atau kesalahan sehingga akta yang dibuatnya kehilangan otentisitasnya.
Notaris seharusnya melaksanakan tugas dan kewajibannya sebaik-baiknya agar tujuan
pembuatan akta ini tercapai, berlaku sebagai akta yang autentik.
Lumban Tobing menyatakan Notaris bertanggung jawab atas akta yang
a. Di dalam hal-hal yang secara tegas ditentukan oleh Undang-Undang Jabatan
Notaris.
b. Jika suatu akta karena tidak memenuhi syarat-syarat mengenai bentuknya
(gebrek in de vorm), dibatalkan di muka pengadilan, atau dianggap hanya
berlaku sebagai akta di bawah tangan.
c. Dalam segala hal, dimana menurut ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1365 s/d
Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat kewajiban untuk
membayar ganti kerugian, artinya semua hal-hal tersebut harus dilalui proses
pembuktian yang seimbang.
Pembuktian dalam pengadilan terutama dalam kasus akta Notaris,
menerapkan sanksi sebagai tanggung jawab hukum Notaris dalam menjalankan
profesinya yang dapat digolongkan dalam 2 (dua) bentuk yaitu:176
1. Tanggung jawab hukum Perdata yaitu apabila Notaris melakukan kesalahan
karena ingkar janji sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1234
KUHPerdata atau perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang ditentukan
Pasal 1365 KUHPerdata;
2. Tanggung jawab Hukum Pidana bilamana Notaris telah melakukan perbuatan
hukum yang dilarang oleh undang-undang atau melakukan
kesalahan/perbuatan melawan hukum baik karena sengaja atau lalai
menimbulkan kerugian pihak lain.
176
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Kedudukan Saksi Instrumenter Dalam Akta Notaris yaitu sesuai dengan yang
disebutkan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, bahwa pada
akhir atau penutup akta harus memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi. Ketika
syarat formil ini tidak dipenuhi, akta tersebut terdegradasi kedudukannya
menjadi kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Jadi dalam hal ini,
setiap Notaris berkewajiban mengahadirkan dua orang saksi untuk turut serta
pada akta dalam menyaksikan pembuatan akta tersebut. Karena di dalam akta
Notaris, kedudukan saksi instrumenter adalah sebagai salah satu syarat formil
suatu akta agar akta tersebut dapat menjadi suatu akta yang autentik.
2. Perlindungan Hukum Bagi Saksi Instrumenter Akta Notaris dalam memberikan
keterangan dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
LPSK menjamin perlindungan keselamatan baik pada diri sendiri ketika seorang
saksi dalam memberikan keterangan, sampai pada perlindungan dari ancaman
dari pihak lain yang dapat membuat seorang saksi enggan memberikan
3. Akibat Hukum Terhadap Saksi Dalam Memberikan Keterangan di dalam Akta
Notaris terjadi jika saksi melakukan perbuatan melawan hukum dengan
memberikan keterangan palsu ketika berada di persidangan. Dan akibat hukum
yang akan diterima berupa teguran yang selanjutnya jika saksi tersebut masih
memberikan keterangan palsu, maka hakim ketua sidang karena jabatannya atau
atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya
saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah
palsu. Dan jika saksi terbukti bersalah, akan dijatuhi pidana kurungan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
B. Saran
1. Hendaknya diatur lebih jelas mengenai pentingnya kedudukan saksi dalam
memberikan keterangan perihal perbuatan hukum yang terjadi di dalam akta
Notaris di dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 dengan melakukan revisi
terhadap Undang-undang Peraturan Jabatan Notaris tersebut.
2. Mengenai perlindungan saksi instrumenter di dalam akta Notaris dalam
memberikan keterangan di depan persidangan hendaknya dimuat secara jelas di
dalam Undang-Undang dengan melakukan revisi pada Undang-Undang
Peraturan Jabatan Notaris tersebut, agar seorang saksi dalam memberikan
keterangan perihal akta Notaris, dapat merasa aman ketika memberikan
3. Notaris diharapkan dapat lebih teliti dalam memeriksa berkas-berkas dan
identitas para pihak yang hadir di hadapannya. Hal ini dilakukan agar baik
Notaris maupun Saksi Instrumenter tidak terjerat kasus hukum baik pidana