BAB II
KEDUDUKAN SAKSI INSTRUMENTER DALAM AKTA NOTARIS
A. Sejarah Perkembangan Notaris
Sejarah dari lembaga Notariat yang dikenal sekarang ini dimulai dari abad
ke-11 atau ke-12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman itu di
Italia Utara. Daerah inilah yang merupakan tempat asal dari Notariat yang dinamakan
“Latijnse Notariaat” dan yang tanda-tandanya tercermin dari diri Notaris yang
diangkat oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima
uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum pula. Dengan demikian “Latijnse
Notariaat” tidak berasal dari Romawi Kuno, akan tetapi justru dinamakan demikian
berdasarkan kenyataan bahwa lembaga notariat sendiri meluaskan dirinya di Italia
Utara.
Nama “Notariat” sendiri berasal dari nama pengabdinya, yakni dari nama
“Notarius” yang menandakan suatu golongan orang-orang yang melakukan suatu
bentuk pekerjaan tulis-menulis tertentu, akan tetapi yang dinamakan Notaris
terdahulu tidak sama dengan Notaris yang dikenal sekarang.
Pendapat lain mengatakan bahwa kata Notaris berasal dari kata “Nota
Literaria”. Pertama kali kata “notarii” diberikan kepada orang-orang yang
pekerjaannya mencatat atau menuliskan pidato yang diucapkan dahulu oleh “CATO
kependekan isi materi/resume) atau “characters” dalam dunia jurnalis disebut
“stenographic”.55
Arti dari nama Notaris secara lambat laun berubah dari artinya semula. Dalam
abad ke-2 dan ke-3 sesudah Masehi dan bahkan jauh dari sebelumnya, sewaktu nama
atau title itu dikenal secara umum, yang dinamakan para Notarii tidak lain adalah
orang-orang yang memiliki keahlian untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan
cepat di dalam menjalankan pekerjaan mereka yang pada hakekatnya mereka itu
dapat disamakan dengan yang dikenal sekarang ini sebagaiStenografen.56
Pejabat-pejabat yang dinamakan Notarii ini merupakan pejabat-pejabat yang
menjalankan tugas untuk Pemerintah dan tidak melayani publik (umum), yang
melayani publik dinamakan “Tabelliones”.57 Sepanjang mengenai pekerjaannya,
mereka mempunyai beberapa persamaan dengan para pengabdi dari Notariat, oleh
karena mereka adalah orang-orang yang ditugaskan bagi kepentingan masyarakat
umum untuk membuat akta-akta dan lain-lain surat, walaupun jabatan atau
kedudukannya itu tidak mempunyai sifat kepegawaian dan tidak ditunjuk atau
diangkat oleh kekuasaan umum untuk melakukan sesuatu formalitas yang ditentukan
oleh undang-undang.58
55 A.A.Andi Prajitno,Apa dan Siapa Notaris Di Indonesia, cet 1, (Surabaya: Putra Media
Nusantara, 2010), hal. 9
56
G.H.S Lumban Tobing,Op.Cit.,hal. 6
Berdasarkan kenyataannya, bahwa akta-akta atau surat-surat yang dibuat oleh
Tabelliones ini tidak mempunyai kekuatan autentik, sehingga akta-akta atau
surat-surat tersebut hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan.
Kekuatan pembuktian dari akta yang dibuat oleh para tabelliones pada hakekatnya
jauh tertinggal dari yang dibuat di hadapan yang berwajib.
Disamping para tabelliones, masih terdapat satu golongan orang-orang yang
juga menguasai teknik menulis, mereka dinamakan Tabularii. Mereka ini termasuk ke
dalam pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk memegang dan mengerjakan
buku-buku dari keuangan kota-kota serta mengadakan pengawasan terhadap administrasi
dari magistrart kota. Mereka juga ditugaskan untuk menyimpan surat-surat
(dokumen-dokumen) bahkan diberikan wewenang juga untuk membuat akta.59
Pada dasarnya dalam dunia Notaris, terdapat perundang-undangan yang
digunakan dalam pelaksanaan jabatan Notaris, yang diantaranya adalah Peraturan
Jabatan Notaris (Notaris Reglement-Stbl. 1860-3), yang sekarang ini telah berumur
kurang lebih 120 tahun, sebagai pengganti dari “Instructie voor notarissen in
Indonesia” (Stbl. 1822 11).60 Pada tahun 1620 telah diangkat Notaris pertama di Indonesia yang bernama Melchior Kerchem.61
1. Sejarah Notaris di Indonesia
Lembaga Notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan
beradanya Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC) di Indonesia. Jan Pieterszoon
59R. Soegondo Notodisoerjo,
Op.cit., hal. 14
Coen sebagai Gubernur Jenderal di Jakarta antara tahun 1617 sampai 1629, untuk
keperluan para penduduk dan para pedagang di Jakarta menganggap perlu
mengangkat seorang Notaris yang disebut Notarium Publicum, sejak tanggal 27
Agustus 1620, mengangkat Melchoir Kerchem, sebagai Sekertaris College van
Schepenen (Urusan Perkapalan Kota) di Jakarta untuk merangkap sebagai Notaris
yang berkedudukan di Jakarta.
Instruksi mengenai tugas dan wewenangnya dicantumkan dalam surat
pengangkatannya yang isinya bahwa ia ditugaskan menjabat sebagai Notarium
Publicus dalam wilayah Kota Jakarta dan untuk kepentingan publik di wilayah itu
membuat akta-akta, surat-surat dan lainnya serta mengeluarkan salinan-salinannya.
Setelah pengangkatan Melchior Kerchem sebagai Notaris dalam tahun 1620,
jumlah Notaris terus bertambah, walaupun lambat, yang disesuaikan menurut
kebutuhan waktu itu. Dalam tahun 1650 ditentukan, bahwa di Batavia akan diadakan
hanya 2 orang Notaris dan untuk menandakan bahwa jumlah ini telah mencukupi,
dikeluarkan bersamaan dengan itu ketentuan bahwa para “Prokureur” dilarang untuk
mencampuri pekerjaan Notaris. Hal ini dimaksudkan agar dengan cara demikian
masing-masing golongan dapat memperoleh penghasilan secara adil.
Pada tahun 1654 jumlah Notaris di Batavia ditambah lagi menjadi 3 orang dan
kemudian pada tahun 1751 jumlah ini menjadi 5 dengan ditentukan bahwa 4 dari
padanya harus bertempat tinggal di dalam Kota, yakni 2 di daerah bagian Barat dan 2
Pada tahun 1949 melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan
di Den Haag, Nederland, terjadi Penyerahan Kedaulatan dari Pemerintahan Belanda
kepada Republik Indonesia Serikat untuk seluruh wilayah Indonesia kecuali Irian
Barat. Adanya penyerahan kedaulatan tersebut, membawa akibat kepada status
Notaris berkewarganegaraan Belanda yang ada di Indonesia, harus meninggalkan
jabatannya. Dengan demikian terjadi kekosongan Notaris di Indonesia dan untuk
mengisi kekosongan tersebut, sesuai dengan kewenangan yang ada pada Menteri
Kehakiman Republik Indonesia Serikat dari tahun 1049 sampai dengan tahun 1954,
menetapkan dan mengangkat Wakil Notaris untuk menjalankan tugas Jabatan Notaris
dan menerima protokol yang berasal dari Notaris yang berkewarganegaraan Belanda.
Pemerintah Republik Indonesia selanjutnya mengeluarkan Undang-undang
Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara. Dalam
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang tersebut menegaskan bahwa dalam hal Notaris tidak
ada, Menteri Kehakiman dapat menunjuk seorang yang diwajibkan menjalankan
pekerjaan-pekerjaan Notaris. Mereka yang ditunjuk dengan kewajiban tersebut dalam
pasal ini disebut sebagai Wakil Notaris. Sementara di Pasal 2 ayat (2) menegaskan
bahwa sembari menunggu ketetapan dari Menteri Kehakiman, Ketua Pengadilan
Negeri dapat menunjuk seorang untuk sementara menjalankan kewajiban yang
disebut sebagai Wakil Notaris Sementara.
Pada tahun 2004 diundangkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris atau disebut UUJN pada tanggal 6 Oktober 2004. Pada Pasal 91
a. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia (Stbl. 1860: 3) sebagaimana
telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 101
b. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris
c. Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954
d. Pasal 54 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
e. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949. Tentang Sumpah/janji Jabatan
Notaris
Dengan adanya UUJN tersebut, telah terjadi pembaharuan dan pengaturan
kembali secara menyeluruh dalam satu undang-undang yang mengatur Jabatan
Notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua
penduduk di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
2. Pengertian dan Wewenang Notaris
Notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia (selanjutnya disebut Menteri Hukum dan HAM) yang mempunyai
kewenangan secara atributif62 untuk membuat akta autentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh para pihak yang berkepentingan. Melalui
62
akta yang dibuatnya, Notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat yang menggunakan jasa Notaris.
Dalam Pasal 2 Undang-undang Jabatan Notaris disebutkan bahwa Notaris
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, sedangkan untuk dapat diangkat sebagai
Notaris harus dipenuhi persyaratan dalam Pasal 3 UUJN, antara lain :
1. warga negara Indonesia;
2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh tahun);
4. sehat jasmani dan rohani;
5. berijasah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
6. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan
Notaris dalam waktu 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada kantor
notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah
lulus strata dua kenotariatan
7. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat atau tidak
sedang memangku jabatan lain yang oleh Undang-Undang dilarang untuk
dirangkap dengan jabatan Notaris.
Secara yuridis, pengertian Notaris tercantum dalam peraturan
perundang-undangan sebagai berikut :
1. Staatsblad 1860 Nomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia
Di dalam Pasal 1 Staatsblad 1860 Nomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris
di Indonesia, telah dirumuskan pengertian sebagai berikut :
“Para Notaris adalah pejabat-pejabat umum, khususnya berwenang untuk membuat akta-akta autentik mengenai semua perbuatan, persetujuan dan ketetapan-ketetapan yang untuk itu diperintahkan oleh suatu undang-undang umum atau yang dikehendaki oleh orang-orang yang berkepentingan, yang akan terbukti dengan tulisan autentik, menjamin hari dan tanggalnya, menyimpan akta-akta dan mengeluarkan grosse-grosse, salinan-salinan dan kutipan-kutipannya; semuanya itu sejauh pembuatan akta-akta tersebut oleh suatu undang-undang umum tidak juga ditugaskan atau diserahkan kepada pejabat-pejabat atau orang-orang lain.”
2. undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Pengertian Notaris tercantum dalam Pasal 1 angka 1, yang berbunyi :
“Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau
berdasarkan undang-undang lainnya.
Secara umum dapat disimpulkan, yang dimaksud dengan Notaris adalah
Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua
perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan
Perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau
orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Menurut Abdul Kadir Muhammad,63 Notaris dalam menjalankan tugas dan
jabatannya harus bertanggung jawab, artinya :
1. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya
akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak
berkepentingan karena jabatannya.
2. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang
dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak para pihak yang
berkepentingan dalam arti sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris
menjelaskan kepada pihak yang berkepentingan kebenaran isi dan prosedur
akta yang dibuatnya itu.
3. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta Notaris itu
mempunyai kekuatan bukti sempurna.
Tugas Notaris adalah mengkonstantir hubungan hukum antara para pihak
dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu akta autentik.
Notaris adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.64
63
Abdul Kadir Muhammad, Dalam Buku Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2009), hal. 49.
64Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, Buku I (Jakarta: PT Ichtiar
Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berpedoman pada Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris (UUJN), dan peraturan perundang-undangan yang terkait
lainnya. UUJN dan peraturan perundang-undangan tersebut juga sekaligus menjadi
acuan bagi Notaris agar dapat melaksanakan fungsi dan perannya dengan baik dan
benar.
Notaris mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, karena mempunyai kewenangan yang telah
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.65
Wewenang merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan
kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
mengatur jabatan yang bersangkutan.66 Dengan demikian setiap wewenang ada batasannya sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya. Wewenang Notaris terbatas sebagaimana peraturan
perundang-undangan yang mengatur jabatan Pejabat yang bersangkutan.
Notaris sebagai pejabat publik mempunyai karakteristik sebagai berikut:67
a. Sebagai Jabatan
UUJN merupakan unifikasi dibidang pengaturan jabatan Notaris, artinya
satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan
65Salim. HS,
Teknik Pembuatan Akta Satu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hal. 47
Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan dengan Notaris di
Indonesia harus mengacu kepada UUJN. Jabatan Notaris merupakan suatu
lembaga yang diciptakan oleh Negara. Menempatkan Notaris sebagai jabatan
merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan
hukum untuk keperluan dan kewenangan tertentu serta sifat berkesinambungan
sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.
Menurut E. Utrecht,68bahwa jabatan (ambt) ialah suatu lingkungan pekerjaan
tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna
kepentingan Negara (kepentingan umum). Selanjutnya69 dikemukakan pula bahwa yang dimaksud dengan “lingkungan pekerjaan tetap: adalah suatu
lingkungan pekerjaan yang sebanyak-banyaknya dapat dinyatakan dengan
tepat-teliti (zoveel mogelijk nauwkeurig omsschreven) dan yang bersifat “duurzam”
(tidak dapat diubah begitu saja)
b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu
Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus dilandasi aturan
hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik dan tidak
bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian, jika seorang
pejabat (Notaris) melakukan tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan,
dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang.
68Utrecht, E.
Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan Keenam, (Jakarta: Ichtiar, 1963), hal. 159
Wewenang notaris tercantum dalam UUJN Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3).
Menurut Pasal 15 ayat (3) UUJN merupakan wewenang yang akan ditentukan
kemudian berdasarkan aturan hukum lain akan datang kemudian (ius
consituendum). Berkaitan dengan wewenang tersebut, jika Notaris melakukan
perbuatan di luar wewenangnya, maka produk atau akta Notaris tersebut tidak
mengikat secara hukum atau tidak dapat dilaksanakan. Pihak yang dirugikan oleh
tindakan Notaris tersebut, maka Notaris dapat digugat secara perdata ke
pengadilan negeri.
c. Diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah
Dalam UUJN Pasal 2 menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan
oleh pemerintah, dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1
angka 14 UUJN). Notaris meskipun secara administratif diangkat dan
diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi
(bawahan) dari yang mengangkatnya. Dengan demikian Notaris menjalankan
tugas jabatannya bersifat mandiri, tidak memihak siapa pun, tidak tergantung
siapa pun (independent), yang dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat
dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain.
d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya
Notaris walaupun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah tetapi tidak
dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan
cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.
e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat
Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan
dokumen hukum (akta autentik) dalam bidang hukum perdata, sehingga Notaris
mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat yang dapat menggugat
secara perdata, menuntut biaya, ganti rugi, dan bunga jika ternyata akta tersebut
dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Wewenang yang diperoleh suatu jabatan mempunyai sumber asalnya. Dalam
hukum administrasi, wewenang bisa diperoleh secara Atribusi, Delegasi atau
mandate. Wewenang secara Atribusi adalah pemberian wewenang yang baru kepada
suatu jabatan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum.
Wewenang secara Delegasi merupakan pemindahan/pengalihan wewenang yang ada
berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Sedangkan
wewenang secara Mandat sebenarnya bukan pengalihan atau pemindahan wewenang,
tetapi karena yang berkompeten berhalangan.70
Menurut Ateng Syafrudin, pengertian kewenangan yaitu :
“Ada perbedaan antara pengertian kewenangan dan wewenang. Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu “onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang yang merupakan lingkup
tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah, tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.”71
Ateng Syafrudin tidak hanya menyajikan konsep tentang kewenangan, tetapi
juga tentang wewenang. Unsur-unsur yang tercantum dalam kewenangan, meliputi :
1. Adanya kekuasaan formal, dan
2. Kekuasaan diberikan oleh undang-undang
H.D. Stoud, menyajikan pengertian tentang kewenangan, yaitu :
“Keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan
penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam
hubungan hukum publik.”72
Wewenang utama dari Notaris adalah untuk membuat akta autentik. Otensitas
dari akta Notaris bersumber dari Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Jabatan Notaris, dimana Notaris dijadikan sebagai pejabat umum,
sehingga dengan demikian akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya
tersebut memperoleh sifat akta autentik seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 1868
KUHPerdata.73
Mengenai wewenang yang harus dimiliki oleh pejabat umum untuk membuat
suatu akta autentik, seorang Notaris hanya boleh melakukan atau menjalankan
71
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, (Bandung: Universitas Parahyangan, 2000), hal. 22
jabatannya di dalam seluruh daerah yang ditentukan baginya dan hanya di dalam
daerah hukum yang menjadi wewenangnya. Akta yang dibuat oleh seorang Notaris di
luar daerah hukum (daerah jabatannya) adalah tidak sah.
Wewenang Notaris ini meliputi 4 (empat) hal, yaitu:74
1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya
2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang, untuk kepentingan
siapa akta itu dibuat
3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat
4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Kewenangan Notaris dalam sistem hukum Indonesia cukup luas, tidak hanya
membuat akta autentik semata, tetapi juga termasuk kewenangan lainnya.
Kewenangan Notaris telah ditentukan dalam pasal 15 UUJN. Kewenangan itu,
yaitu:75
a. Membuat Akta autentik
b. Menjamin kepastian tanggal pembuatan akta c. Menyimpan akta
d. Memberikan grosse e. Membuat salinan akta f. Membuat kutipan akta
g. Legalisasi akta di bawah tangan h. Waarmeking
i. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan
j. Pengesahan kecocokan fotocopi dengan surat aslinya k. Penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta l. Membuat akta pertanahan
m. Membuat akta risalah lelang
n. Kewenangan lain yang diatur dalam perundang-undangan
Oleh karena itu kewenangan Notaris dalam Pasal 15 UUJN haruslah
dihubungkan dengan Pasal 1868 KUH Perdata, yaitu:76akta harus dibuat oleh (door)
atau dihadapan(ten overstaan) seorang Pejabat Umum :
1. Akta harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan dalam undang-undang
2. Pejabat Umum oleh/atau di hadapan siapa akta dibuat harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta yang bersangkutan.
Notaris tidak berwenang membuat akta untuk kepentingan dirinya sendiri
ataupun setiap orang yang ada hubungan sedarah, keluarga semenda dari Notaris itu
dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan
derajat ketiga. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya tindakan memihak dan
penyalahgunaan jabatan.77
B. Hak dan Kewajiban Saksi Instrumenter dalam Akta Notaris
1. Jenis-jenis dan Pengertian Saksi Notaris
Jenis-jenis saksi dalam akta Notaris yaitu Saksi Instrumenter (Instrumentaire
Getulgen) dan saksi Pengenal (Attesterend Getulgen). Saksi pengenal (Attestterend
Betulgen) adalah saksi yang bertugas untuk memperkenalkan para penghadap kepada
Notaris. Saksi Instrumenter (Intrumentaire Getulgen) adalah saksi yang bertugas
76Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, cet 1, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2009), hal. 14
sepanjang mengenai akta partij, mereka harus hadir pada pembuatan akta tersebut,
dalam arti pembacaan dan penanda tanganan dari akta itu. Serta ikut menanda tangani
akta tersebut.78
Dalam setiap verlidjen (pembacaan dan penandatanganan) akta Notaris,
Notaris wajib menghadirkan 2 (dua) orang saksi akta. Dengan kehadiran saksi akta,
mereka dapat memberikan kesaksian bahwa formalitas-formalitas dalam pembuatan
akta yang ditentukan oleh undang-undang telah dipenuhi.
Peranan saksi akta Notaris dalam pembuatan akta sangatlah penting, sehingga
apabila keberadaan saksi akta ini tidak dipenuhi, maka berdasarkan Pasal 41 UUJN,
akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
Saksi adalah seseorang yang memberikan kesaksian, baik dengan lisan
maupun secara tertulis, yakni menerangkan apa yang ia saksikan sendiri, baik itu
berupa perbuatan atau tindakan dari orang lain atau suatu keadaan ataupun suatu
kejadian.
Pengertian saksi menurut Kamus Hukum adalah orang yang menyaksikan
sendiri suatu kejadian, orang yang memberikan penjelasan di dalam sidang
pengadilan untuk kepentingan semua para pihak yang terlibat di dalam perkara
terutama terdakwa dan pendakwa; orang yang dapat memberikan keterangan tentang
78
segala sesuatu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan mengenai suatu perkara pidana.79
Pasal 1 ayat (26) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
menyatakan bahwa, Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidik, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.80Saksi juga merupakan alat bukti yang sah.
Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan
Korban, pada Pasal 1 menyatakan bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
Pentingnya saksi dalam suatu peristiwa hukum, sehingga dalam hukum acara
perdata, alat bukti saksi merupakan alat bukti yang berada dalam urutan kedua setelah
alat bukti surat (Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).81 Bahkan dalam
79Sudarsono, Kamus Hukum, Cet VI, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 415
80 H.M.Kamaluddin Lubis, Hukum Pembuktian Pidana Dan Perdata Dalam Teori Dan
Praktek, (Medan: 1992), hal.18.
81
hukum acara pidana, alat bukti saksi merupakan alat bukti utama (Pasal 184 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana).82
Hukum acara perdata tidak menempatkan saksi sebagai alat bukti utama,
dikarenakan beberapa sebab, yaitu:83
a. manusia mudah lupa
b. ingatan manusia sangat terbatas
c. manusia suatu saat pasti meninggal, sehingga ada keterbatasan waktu.
Berdasarkan peranannya, saksi akta dapat bertindak sebagai saksi seperti yang
dimaksud dalam KUHAP tersebut mengingat saksi akta merupakan saksi yang secara
sengaja menyaksikan proses pembuatan akta Notaris.
Para saksi harus dikenal oleh Notaris atau identitas atau wewenang mereka
dinyatakan kepada Notaris oleh seorang atau lebih dari para penghadap. Kecuali
dalam hal-hal yang mana oleh KUHPerdata dituntut kedudukan khusus disebutkan
tersendiri mengenai saksi-saksi, maka diperkenankan sebagai saksi-saksi semua orang
yang menurut ketentuan dalam KUHPerdata cakap untuk memberikan kesaksian di
bawah sumpah di muka pengadilan, mengerti bahasa akta dan dapat menuliskan tanda
tangannya di dalam akta.
Menurut keadaannya, saksi dapat dibagi atas:84
82
“Alat Bukti yang sah ialah : keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa”, Lihat Dalam Pasal 184 KUHAP, Permata Press, 1981.
83 Hari Sasangka, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata, Cet.I, (Bandung: Mandar
a. Saksi Kebetulan
Saksi Kebetulan yaitu saksi yang secara kebetulan melihat atau mengalami
sendiri peristiwa yang harus dibuktikan di muka Hakim.85Hari Sasangka juga
berpendapat saksi kebetulan adalah saksi yang secara kebetulan melihat atau
mendengar atau mengalami sendiri tentang perbuatan atau peristiwa hukum
yang menjadi perkara.86
b. Saksi Sengaja
Saksi Sengaja yaitu Saksi yang pada waktu pembuatan atau peristiwa hukum
itu dibuat, sengaja telah diminta menyaksikannya. Akta-akta Notaris dengan
tidak mengurangi ketentuan yang telah ada atau yang akan ditetapkan
dikemudian hari, mengenai bentuk dari beberapa di antaranya dibuat di
hadapan Notaris, dengan dihadiri dua orang saksi. Dalam peresmian suatu
akta Notaris, dikenal 2 orang saksi, yaitu saksi kenal dan saksi instrumenter.87 c. Saksi A Charge dan Saksi A De Charge
Saksi a charge adalah saksi yang memberikan keterangan di dalam
persidangan, dimana keterangan yang diberikannya mendukung surat
dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut JPU) atau
memberatkan terdakwa.88
84Ibid., hal. 62.
85R.Subekti,Op.Cit.,hal. 37 86
Hari Sasangka,Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana Untuk Mahasiswa Dan Praktisi, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hal. 62.
87Tan Thong Kie,Op.Cit.,hal. 647.
Saksi a de charge adalah saksi yang memberikan keterangan di dalam
persidangan, dimana keterangan yang diberikannya meringankan terdakwa
atau dapat dijadikan dasar bagi nota pembelaan (pledoi) dari terdakwa atau
penasehat hukumnya.89 Saksi yang meringankan atau saksi a de charge merupakan saksi yang diajukan terdakwa dalam rangka melakukan pembelaan
atas dakwaan yang ditujukan pada dirinya. Hal ini dilandasi Pasal 65 KUHAP
yakni tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan
saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan
keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.
Dalam Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP, dijelaskan mengenai saksi A
Charge dan Saksi A De Charge, yang berbunyi:
“Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan
terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang
diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama
berlangsung sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang
wajib mendengar keterangan saksi tersebut.”90 d. Saksi Berantai
Saksi Berantai yaitu Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri
tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti
yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain
89Darwan Prints,Op.Cit., hal. 139.
sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau
keadaan tertentu.
Saksi berantai tersebut juga diungkapkan oleh S.M. Amin, kesaksian berantai
ini ada 2 (dua) macam, yaitu:91
1. Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi, dalam satu perbuatan.
2. Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi, dalam beberapa perbuatan. Kesaksian berantai adalah beberapa orang saksi yang memberikan keterangan
tentang suatu kejadian yang tidak bersamaan, asalkan berhubungan yang satu
dengan yang lain sedemikian rupa dan tidak dikenaiunus testis nullus testis.92
e. Saksi Korban
Saksi Korban yaitu saksi yang dimintai keterangannya dalam suatu perkara
karena menjadi korban langsung dalam perkara tersebut. Korban adalah
seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.93 f. Saksi Pelapor
Saksi pelapor yaitu orang yang memberikan kesaksian berdasarkan
laporannya tentang suatu peristiwa pidana baik yang ia lihat atau alami
sendiri, namun ia tidak harus menjadi korban dari peristiwa pidana tersebut.
91S.M. Amin, Dalam Buku M.Kamaluddin Lubis,Op.Cit.,hal. 29. 92Hari Sasangka,Op.Cit.,hal. 87.
93Pasal 1 angka (2), Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang perubahan
Dalam perkembangannya istilah saksi pelapor ini digunakan dengan istilah
whistleblower. Walaupun secara terjemahan harafiah dalam Bahasa Indonesia,
whistleblower adalah “peniup peluit”, namun istilah tersebut dimaksudkan
adalah orang-orang yang mengungkapkan fakta kepada publik.94
2. Hak dan Kewajiban Saksi Akta dalam Akta Notaris
Hak dan kewajiban Notaris diatur dalam Pasal 16 UUJN. Hak dapat diartikan
sebagai kewenangan atau kekuasaan dari orang atau badan hukum untuk berbuat
sesuatu karena telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau kekuasaan
yang benar atas sesuatu atau menuntut sesuatu.95
Kekuasaan merupakan kemampuan atau kewenangan dari seseorang atau
badan hukum untuk mengurus atau menentukan sesuatu.96 Sedangkan kewajiban
dapat diartikan sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan oleh orang atau badan
hukum atau Notaris di dalam melaksanakan kewenangannya.
Hak dan kewajiban seorang Notaris meliputi:97
1. Bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.
2. Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris
3. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap para minuta akta 4. Mengeluarkan grosse akta, salinan akta atau kutipan akta berdasarkan minuta
akta
94Irenrera Putri,Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Karyawan Notaris sebagai Saksi
Dalam Peresmian Akta, diakses dari http:/www.google.com/lib.ui.ac.id/file digital/131194-T, pada tanggal 25 Juli 2016.
95
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 292.
96Ibid., hal. 467.
5. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya
6. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain
7. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku
8. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga
9. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan
10. Mengirimkan daftar akta atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya
11. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan
12. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan
13. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris
14. Menerima magang calon Notaris, dan 15. Kewajiban menyimpan minuta akta.
Dalam syarat pembuatan akta, Notaris harus menghadirkan saksi instrumenter
yang akan menyaksikan perbuatan hukum serta menandatangani akta setelah
dibacakan Notaris di hadapan para pihak. Kehadiran saksi instrumenter dapat
membuat akta tersebut menjadi akta autentik, sehingga jika terjadi masalah, saksi
akan dapat memberikan keterangan bahwa perbuatan hukum yang disebutkan di
Pada Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban menjelaskan
mengenai hak seorang saksi dalam tindak pidana, yaitu:98
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya,
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan,
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan d. Mendapat penerjemah
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
i. Mendapat identitas baru
j. Mendapatkan tempat kediaman baru
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan l. Mendapat nasihat hukum, dan/atau
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
Uraian di atas memberikan kesimpulan bahwasannya saksi akta atau dapat
dikatakan saksi intrumenter juga memiliki hak yang sama seperti ketentuan hak untuk
saksi dan korban yang tertera di Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban
tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa dalam memberikan keterangan mengenai
akta yang terjerat kasus hukum, Saksi Instrumenter yang ikut serta dalam lalu lintas
hukum atau ikut serta dalam perbuatan hukum di dalam akta, juga harus dilindungi
keselamatannya jika terjadi ancaman. Perlindungan tersebut memang tidak terlalu
jelas untuk saksi akta atau saksi instrumenter. Namun sesuai dengan ketentuan
undang-undang tersebut, jelas bahwa setiap orang yang dijadikan sebagai saksi,
98Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
mendapatkan perlindungan terhadap keterangan yang ia berikan selama kesaksian itu
bukan merupakan kesaksian palsu.
Sebagai orang yang cakap dalam memberikan kesaksian, saksi wajib untuk
memenuhi beberapa kewajiban sebagai berikut:99 a. Kewajiban mengadap.
Jika diperlukan dalam sidang pengadilan, Hakim dapat memanggil
saksi untuk hadir dalam sidang pengadilan. Dan apabila orang yang dipanggil sebagai
saksi tersebut adalah orang yang cakap untuk menjadi saksi, maka yang dipanggil
tersebut harus memberikan kesaksian di muka Hakim.100Jika tidak hadir, maka akan
terkena sanksi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 140 HIR, yaitu bahwa saksi
harus membayar biaya yang telah dikeluarkan dan harus dipanggil satu kali lagi atas
dasar biaya sendiri.
b. Kewajiban untuk bersumpah
Dalam suatu perkara kewajiban saksi untuk mengucap sumpah atau janji
merupakan syarat mutlak untuk suatu kesaksian. Jadi, sebelum memberikan
keterangan, saksi wajib mengucap sumpah atau janji menurut cara agamanya
masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain
daripada yang sebenarnya.101
99
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, (Bandung: Penerbit P.T. Alumni, 2004), hal. 70-72.
100
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diterjemahkan oleh R.Subekti, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1990), Pasal 1909.
Pengucapan sumpah adalah merupakan syarat mutlak untuk kesaksian. Hal ini
diatur dalam Pasal 1911 KUHPerdata dan Pasal 160 ayat (3) KUHAP. Kecuali pada
tingkat penyidikan, saksi diperiksa “tanpa disumpah”.102
Pada Pasal 1911 KUHPerdata, berbunyi: “Tiap saksi diwajibkan, menurut
cara agamanya, bersumpah atau berjanji bahwa ia akan menerangkan apa yang
sebenarnya.” Sedangkan pada Pasal 160 ayat (3) KUHAP berbunyi : “Sebelum
memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara
agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya
dan tidak lain daripada yang sebenarnya.”
c. Wajib memberikan keterangan yang benar.
Sebagai seorang saksi yang memberikan keterangan dalam suatu persidangan,
haruslah memberikan keterangan yang benar. Hal ini diatur dalam Pasal 148 HIR.
Jika tidak, maka saksi akan disanderakan atas perintah hakim, sampai saksi tersebut
memenuhi kewajibannya.
Kewajiban saksi ada 3 yaitu:103
1. Memenuhi panggilan
2. Mengangkat sumpah
3. Memberikan keterangan yang benar.
102
M. Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 142.
103 Bambang sugeng A.S., dan Sujayadi,Hukum Acara Perdata Dokumen Litigasi Perkara
Ada orang-orang yang dapat diminta dibebaskan dari kewajiban menjadi
saksi, yaitu:104
1. Mereka yang mempunyai hubungan keluarga
2. Mempunyai hubungan darah menurut garis lurus
3. Mereka yang karena jabatannya, pekerjaan, kedudukan diharuskan
menyimpan rahasia yang berhubungan dengan jabatan, pekerjaan dan
kedudukannya.
C. Syarat-Syarat Menjadi Saksi Dalam Akta Notaris dan Saksi Dalam
Memberikan Keterangan di Persidangan
Ketentuan bahwa dalam pembacaan akta Notaris harus dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi, hal ini sejalan dengan Asas yang diatur dalam pasal 169
HIR/Pasal 306 RBg yang berbunyi : “Keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat
bukti lain di muka pengadilan tidak boleh dipercaya.” Namun Undang-Undang HIR
yang kini telah dihapuskan dan diganti dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, juga telah menjelaskan mengenai keterangan saksi pada Pasal 185 ayat (2),
yang berbunyi : “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.”
Berdasarkan ketentuan di atas, jelas bahwa keterangan seorang saksi saja
adalah tidak cukup untuk membuktikan bahwa dalil yang dikemukakan dalam
gugatan terbukti. Hal ini sesuai dengan Asas dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana yaitu AsasUnus Testis Nullus Testis.
Setiap orang pada asasnya wajib menjadi saksi, akan tetapi tidak semua orang
dapat menjadi saksi. Adapun syarat untuk jadi saksi adalah sebagai berikut:105
1. Umur 15 tahun ke atas
2. Sehat akal jiwanya atau tidak ditaruh di bawah pengampuan
3. Bukan keluarga sedarah/semenda menurut garis lurus dengan salah satu pihak yang bersengketa
4. Bukan suami istri salah satu pihak, meskipun sudah cerai
5. Tidak mempunyai hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah
Syarat-syarat untuk menjadi saksi instrumenter diatur dalam suatu peraturan
tersendiri, yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris dan
Staatblad 1860 Nomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris tersebut telah jelas diatur
mengenai saksi instrumenter.
Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris di dalam Pasal 40
menetapkan syarat-syarat saksi, sebagai berikut :106
1) Setiap akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-perundangan menentukan lain.
2) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; b. Cakap melakukan perbuatan hukum;
c. Mengerti bahasa yang digunakan dalam akta; d. Dapat membubuhi tanda tangan dan paraf, dan
105Bambang sugeng A.S dan Sujayadi,
Op.Cit., hal. 71
106Pasal 40 Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun
e. Tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak. 3) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh Notaris atau
diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap.
4) Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam akta.
Dalam Pasal 40 ayat (2) UUJN dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
dewasa adalah telah berumur 18 tahun atau telah menikah. Seseorang yang akan
menjadi saksi harus sudah dewasa. Dewasa dalam hal ini adalah sudah berumur
paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah, ketentuan tentang usia
dewasa ini diatur dalam Pasal 40 ayat (2) huruf (a) UUJN.
Usia dewasa yang ditentukan dalam UUJN tersebut selaras dengan ketentuan
dalam KUHPerdata. Namun demikian, batas usia menurut KUHPerdata untuk
menjadi saksi harus sudah dewasa dengan usia 15 tahun. Pada intinya kedua
Undang-undang tersebut memiliki ketentuan yang sama untuk menjadi saksi, yakni sudah
dewasa. Tetapi untuk menjadi saksi dalam peresmian akta, dewasa diartikan berumur
18 tahun atau lebih atau sudah menikah.
Pada dasarnya setiap orang cakap untuk menjadi saksi, kecuali
undang-undang menyatakan orang tersebut tidak cakap untuk menjadi saksi. Dalam hal
peresmian akta untuk menjadi saksi juga harus memiliki kecakapan. Menurut Pasal
40 ayat (2) huruf b UUJN, untuk menjadi saksi Notaris, seseorang harus memiliki
kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, dan menurut Pasal 1909 KUHPerdata,
memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum tersebut tidak dengan
sendirinya cakap untuk menjadi saksi.
Dalam Pasal 40 ayat (2) UUJN tidak disebutkan dengan tegas para saksi yang
tidak cakap, namun tersirat ketidakcakapan orang menjadi saksi dari Pasal 40 ayat (2)
huruf e UUJN tersebut.
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa orang yang tidak cakap
menjadi saksi adalah orang yang mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan
darah dalam garus lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke
samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.
Pasal 1910 KUHPerdata dengan tegas mengatakan bahwa ada golongan atau
orang-orang tertentu yang dianggap tidak cakap untuk menjadi saksi dan tidak boleh
didengar kesaksiannya ialah para anggota keluarga dan semenda dalam garis lurus
dari salah satu pihak, begitu pula suami atau istri, sekalipun setelahnya suatu
perceraian.
Namun demikian KUHPerdata dalam Pasal 1910 juga memberikan
pengecualian terhadap anggota keluarga sedarah dan semenda menjadi cakap untuk
menjadi saksi dalam perkara-perkara tertentu, yaitu:
a. Dalam perkara-perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak;
b. Dalam perkara-perkara mengenai nafkah, yang harus dibayar menurut Buku
Ke Satu, termasuk pembiayaan pemeliharaan dan pendidikan seorang anak
c. Dalam suatu pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang dapat menyebabkan
pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua atau perwalian;
d. Dalam perkara-perkara mengenai suatu perjanjian perburuhan.
Dalam perkara-perkara sebagaimana dimaksud, maka mereka yang disebutkan
dalam Pasal 1910 khususnya (a) dan (b), tidak berhak untuk minta dibebaskan dari
kewajiban memberikan kesaksian.
Dalam ketentuan Pasal 40 ayat (2) huruf c UUJN menyebutkan bahwa salah
satu syarat untuk menjadi saksi Notaris adalah harus mengerti bahasa yang digunakan
dalam akta. Artinya saksi harus mengerti bahasa yang ada dalam akta agar dapat
mengerti juga pembacaan akta yang akan dilakukan oleh Notaris yang berisi
kehendak para pihak yang menghadap pada Notaris.
Bahasa dalam pembuatan akta Notaris menggunakan Bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia yang dimaksud dalam akta adalah Bahasa Indonesia yang tunduk
pada kaedah Bahasa Indonesia yang baku.107Apabila Notaris tidak bisa menjelaskan atau menerjemahkannya, akta itu diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang
peterjemah resmi.
Peterjemah resmi yang dimaksud adalah peterjemah yang disumpah.
Kemudian jika pihak yang berkepentingan menghendaki bahasa lain dan dipahami
oleh Notaris maka akta dapat dibuat dalam bahasa lain tersebut sepanjang saksi juga
memahami bahasa tersebut. Sehingga sewaktu akta dibacakan, yang merupakan
kewajiban Notaris, bisa dipahami oleh saksi.
Segera setelah selesai dibacakan oleh Notaris, semua akta Notaris harus
dibubuhi tanda tangan oleh para penghadap. Selain itu juga ditandatangani oleh
Notaris dan para saksi pada akhir akta tersebut. Dari kalimat tersebut dengan jelas
dapat diketahui bahwa pembacaan dan penandatanganan akta merupakan suatu
perbuatan yang tidak terbagi-bagi dengan suatu hubungan yang tidak terpisah.
Dengan demikian, tidak diperkenankan bahwa penghadap yang satu menandatangani
akta itu pada hari ini dan penghadap lainnya pada esok harinya.
Apabila penandatanganan akta itu dilakukan pada hari-hari yang berlainan,
maka tentunya pembacaan dan penandatanganannya itu dilakukan pada hari-hari yang
berlainan pula dan dengan demikian akta itu harus pula mempunyai lebih dari satu
tanggal, hal mana bertentangan dengan bunyi pasal 28 Peraturan Jabatan Notaris yang
mengatakan “segera setelah akta dibacakan”, persyaratan mana tidak memungkinkan
adanya dua tanggal.108Akta itu juga harus ditandatangani oleh penterjemah apabila di dalam pembuatan akta tersebut harus ada penterjemah.109
Menurut Pasal 2 Staatblad 1860 Nomor 3 Tentang Peraturan Jabatan Notaris
di Indonesia, syarat-syarat menjadi saksi instrumenter adalah sebagai berikut :110
a. Para saksi harus dikenal oleh Notaris atau identitas dan wewenang mereka harus dinyatakan kepada Notaris oleh seorang atau lebih dari pada penghadap, dengan kewajiban bagi Notaris untuk memberitahukan hal itu dalam akta
108G.H.S. Lumban Tobing,Op.Cit.,hal.168.
109Pasal 44 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. 110
yang bersangkutan; Dikenal dalam arti tidak terbatas pada identitas para saksi tersebut, akan tetapi juga meliputi wewenangnya.
b. Para saksi harus cakap menurut ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk memberikan kesaksian di bawah sumpah di muka pengadilan. Dalam hal ini yang dianggap cakap adalah berdasarkan pasal 1912 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu telah mencapai umur 15 tahun, tidak dibawah pengampuan juga tidak dalam tahanan.
c. Para saksi harus mengerti bahasa, dalam mana akta itu dibuat; Pasal 944 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menetapkan bahwa selain mengerti bahasa yang dipergunakan dalam akta, saksi harus sudah dewasa dan Warga Negara Indonesia.
d. bahwa selain mengerti bahasa yang dipergunakan dalam akta, saksi harus sudah dewasa dan Warga Negara Indonesia.
e. Para saksi harus dapat menulis tanda tangan mereka.
D. Kedudukan Saksi Instrumenter dalam Pembuatan Akta
Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya wajib berpedoman secara
normative kepada aturan hukum yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan
diambil untuk kemudian dituangkan dalam akta.111 Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku akan memberikan kepastian kepada para pihak, bahwa akta yang
dibuat dihadapan atau oleh Notaris telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,
sehingga jika terjadi permasalahan, akta Notaris dapat dijadikan pedoman oleh para
pihak.
Maka dari itu, kedudukan Notaris dalam masyarakat masih sangat disegani.
Masyarakat membutuhkan seseorang (figur) yang keterangan-keterangannya dapat
diandalkan, dapat dipercayai, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya)
memberikan jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasehat
111 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau unimpeachable), yang tutup mulut dan
membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari-hari yang akan datang.112 Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN yang menentukan sebagai berikut bahwa
Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian,
dan penetapan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik. Menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka seorang Notaris senantiasa dibutuhkan
oleh masyarakat pada umumnya, khususnya bagi masyarakat yang telah memiliki
kesadaran hukum yang baik tentang diperlukannya kepastian hukum dalam setiap
perbuatan hukum yang dilakukannya, dengan menuangkan dalam suatu alat bukti
autentik, yakni akta Notaris. Hal tersebut melahirkan kepercayaan masyarakat
terhadap Notaris karena akta yang dibuatnya, yang menyebabkan jabatan Notaris
sering pula disebut dengan jabatan kepercayaan, yaitu kepercayaan pemerintah
sebagai instansi yang mengangkat dan memberhentikan Notaris sekaligus pula
kepercayaan masyarakat sebagai pengguna jasa notaris.
Kedudukan saksi akta Notaris tentunya berbeda dengan kedudukan saksi pada
umumnya yang merupakan saksi yang mendengar dan/atau melihat sendiri suatu
peristiwa yang terjadi.
Kedudukan saksi instrumenter sebagai salah satu syarat formal suatu akta
Notaris disebutkan dalam Pasal 38 ayat (4) huruf c UUJN, bahwa pada akhir atau
penutup akta harus memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan,
jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi. Ketika syarat formal ini
tidak dipenuhi, akta tersebut terdegradasi kedudukannya menjadi kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
Para saksi instrumenter harus hadir pada pembuatan, yakni pembacaan dan
penandatanganan akta itu. Hanya dengan hadirnya pada pembuatan akta, mereka
dapat memberikan kesaksian, bahwa benar telah dipenuhi formalitas-formalitas yang
ditentukan oleh undang-undang, yakni bahwa akta itu sebelum ditandatangani oleh
para pihak, telah terlebih dahulu dibacakan oleh Notaris kepada para penghadap dan
kemudian ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan, hal mana semuanya itu
dilakukan oleh Notaris dan para pihak dihadapan para saksi-saksi.113
Peran saksi instrumenter dalam setiap pembuatan akta Notaris tetap
diperlukan. Karena keberadaan saksi instrumenter selain berfungsi sebagai alat bukti
juga dapat membantu posisi seorang Notaris menjadi aman dalam hal akta yang
dibuat oleh Notaris diperkarakan oleh salah satu pihak dalam akta atau pihak
ketiga.114
113
Hasyim Soska,Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Akta Notaris, diakses dari http:/www.google.com/hasyimsoska.blogspot.com/2011/11/perlindungan-hukum-terhadap saksi-dalam. html, pada tanggal 19 Nopember 2014.
Dilihat dari sifat dan kedudukannya sebagai saksi, maka para saksi turut
mendengarkan pembacaan dari akta itu, juga turut menyaksikan perbuatan atau
kenyataan yang dikonstantir itu dan penandatanganan dari akta itu. Para saksi tidak
perlu harus mengerti apa yang dibacakan itu dan juga bagi mereka tidak ada
kewajiban untuk menyimpan isi dari akta itu dalam ingatannya. Namun, para saksi
berkewajiban untuk mengetahui apa saja yang menjadi perbuatan hukum di
dalamnya. Karena dengan begitu jika terjadi sengketa pada akta tersebut, penyidik
dapat meminta keterangan perihal perbuatan hukum di dalam akta, atau hal-hal yang
menyangkut pembacaan akta di hadapan Notaris. Hadir atau tidaknya para pihak saat
pembacaan atau keterangan identitas para pihak saat diberikan kepada Notaris.115 Para saksi tidak bertanggung jawab terhadap isi akta itu.116
E. Pembuktian Keterangan Saksi di dalam Akta Notaris
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada
Hakim yang memeriksa suatu perkara untuk memberikan kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang dikemukakan.117
Prof. R. Subekti118 mengemukakan bahwa hukum pembuktian memberikan aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu perkara di muka Hakim. Menurut
115Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Notaris/PPAT Bapak Suprayitno, SH., MKn, Pada
tanggal 15 Agustus 2016
116
G.H.S. Lumban Tobing,Op.Cit.,hal.171.
117
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004), Hal. 83
Prof. Subekti119 alat bukti adalah alat-alat yang dipergunakan untuk membuktikan dalil-dalil suatu pihak di muka pengadilan, misalnya bukti-bukti yang bersifat tulisan,
dan bukti-bukti yang bukan tulisan seperti kesaksian, persangkaan, sumpah dan
lainnya.
Pada hakikatnya tujuan pembuktian adalah untuk menghasilkan suatu putusan,
yang menyatakan salah satu pihak menang dan pihak lainnya kalah. Jadi tujuan
pembuktian adalah putusan Hakim yang didasarkan pada pembuktian itu.120
Tujuan dari pembuktian itu sendiri juga dapat diartikan untuk memperoleh
kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna
mendapat putusan Hakim yang benar dan adil.121
Hukum pembuktian dalam berperkara merupakan bagian yang sangat
kompleks dalam proses litigasi. Pembuktian berkaitan dengan kemampuan
merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu sebagai suatu kebenaran.122
Berhubungan dengan itu, “pembuktian” dalam arti luas adalah memperkuat
kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Dalam arti yang terbatas,
pembuktian hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan oleh penggugat
dibantah oleh tergugat. Dengan kata lain, membuktikan berarti menjelaskan
119Subekti dan Tjitrosoedibio,Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hal. 21 120 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembukian Perdata, (Kencana
Prenadamedia, 2013), hal. 57
121
Jan Michiel Otto, Kepastian Hukum di Negara Berkembang, terjemahan Tristam Moeliono, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional, 2003), hal. 5
122 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
(menyatakan) kedudukan hukum sebenarnya berdasarkan keyakinan Hakim atas
dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa.
1. Pembuktian Keterangan Saksi dari Sudut Hukum Perdata
Sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara perdata adalah “sistem
positif” dimana Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai
hal-hal yang diajukan penggugat dan tergugat.123 Dalam sistem pembuktian formal, jika alat bukti sudah mencukupi secara hukum, Hakim harus mempercayainya
sehingga unsur keyakinan Hakim dalam sistem pembuktian perdata tidak berperan.124 Dalam sistem pembuktian hukum acara perdata, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1866 KUHPerdata bahwa yang disebut alat bukti, yaitu :
1. Alat bukti tertulis (Surat)
2. Alat bukti saksi
3. Alat bukti persangkaan
4. Alat bukti pengakuan, dan
5. Alat bukti sumpah
Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian.
123
Munir Fuady,Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 2
Kekuatan pembuktian akta autentik secara formil menurut Pasal 1871
KUHPerdata, bahwa segala keterangan yang tertuang di dalamnya adalah benar
diberikan dan disampaikan penandatanganan kepada pejabat yang membuatnya.
Menurut Irawan Soerodjo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar
terpenuhinya syarat formal suatu akta autentik, yaitu:125 1. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum
3. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang untuk
itu dan di tempat di mana akta itu dibuat.
Notaris dalam tugasnya sebagai pejabat umum, sering dijadikan sebagai
tergugat oleh pihak yang lainnya. Beberapa pihak yang menganggap bahwa tindakan
hukum yang tersebut dalam akta dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan
hukum Notaris atau Notaris dengan pihak lainnya yang juga tersebut dalam akta. Di
dalam kontruksi hukum kenotariatan, bahwa salah satu tugas jabatan Notaris yaitu
“memformulasikan keinginan/tindakan penghadap/para penghadap ke dalam bentuk
akta autentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.”
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia juga menyebutkan, yaitu: “… Notaris fungsinya hanya mencatatkan/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap Notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk menyelidiki secara materil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan Notaris tersebut.” Hal ini jelas disebutkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 702 K/Sip/1973, 5 September 1973.126
125 Irawan Soerodjo,
Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia, (Surabaya: Arkola, 2003), hal. 148.
Berdasarkan substansi atau makna Putusan Mahkamah Agung tersebut, jika
akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris bermasalah oleh para pihak itu sendiri,
maka hal tersebut menjadi urusan para pihak sendiri, Notaris tidak perlu dilibatkan
dan Notaris sendiri bukan termasuk pihak dalam akta.
Pada Pasal 84 ditentukan ada 2 (dua) jenis sanksi perdata, jika Notaris
melakukan tindakan pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu dan juga sanksi yang
sama jenisnya tersebar dalam pasal-pasal yang lainnya, yaitu :
1. Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan, dan
2. Akta Notaris yang menjadi batal demi hukum.
Akibat pelanggaran akta itulah, maka dapat menjadi alasan bagi para pihak
yang menderita kerugian untuk menutut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga
kepada Notaris.
Akta autentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak dan
ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapatkan hak dari padanya. Dengan
demikian, ini berarti bahwa isi akta tersebut oleh hakim dianggap benar selama
ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan.127
Akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai di bawah tangan
dan akta Notaris menjadi batal demi hukum adalah dua istilah yang berbeda. Pada
Pasal 84 UUJN tidak secara tegas menentukan batasan kedua sanksi tersebut. Oleh
karena itu, untuk menentukan akta Notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan, dapat dilihat dan ditentukan dari :
1. Isi (dalam) pasal-pasal tertentu yang menegaskan secara langsung jika Notaris
melakukan pelanggaran, maka akta yang bersangkutan termasuk akta yang
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
2. Jika tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal yang bersangkutan sebagai
akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan,
maka pasal lainnya yang dikategorikan melanggar menurut Pasal 84 UUJN,
termasuk ke dalam akta batal demi hukum.
Pasal 1869 KUHPerdata menentukan batasan akta Notaris yang mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi
ketentuan, karena :
1. Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan
2. Tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan
3. Cacat dalam bentuknya
Meskipun demikian, akta tersebut tetap mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta di bawah tangan, jika akta tersebut ditandatangani oleh para pihak.
Ketentuan-ketentuan tersebut dicantumkan secara tegas dalam pasal-pasal tertentu
dalam UUJN yang menyebutkan jika dilanggar oleh Notaris, sehingga akta Notaris
1. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m, yaitu tidak membacakan akta
di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit dua orang saksi dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris
2. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf m dan ayat (7), yaitu jika Notaris
pada akhir akta tidak mencantumkan kalimat bahwa para penghadap
menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap membaca sendiri,
mengetahui dan memahami isi akta
3. Melanggar ketentuan Pasal 41 dengan menunjuk kepada Pasal 39 dan Pasal
40, yaitu tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan :
1) Pasal 39, bahwa :
a. Penghadap paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah dan
cakap melakukan perbuatan hukum
b. Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya
oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18
tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum
atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.
2) Pasal 40 menjelaskan bahwa setiap akta dibacakan oleh Notaris dengan
dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi paling sedikit berumur 18 tahun
atau telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa
yang digunakan dalam akta dan dapat membubuhkan tanda tangan dan
paraf serta tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah
dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau
para pihak
4. Melanggar ketentuan Pasal 52, yaitu membuat akta untuk diri sendiri,
isteri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan
Notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta
dalam garis kesamping sampai dengan derajat ketiga serta menjadi pihak
untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan
perantaraan kuasa.
Akta yang tidak bermasalah dari aspek lahir, formal dan materil dan hanya
dipermasalahkan oleh para pihak sendiri, sangatlah bertentangan dengan kaidah
dalam pengadilan Indonesia, yaitu :
1. Notaris yang bersangkutan diajukan dan dipanggil sebagai saksi di pengadilan
menyangkut akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris yang dijadikan alat
bukti dalam suatu perkara
2. Notaris dijadikan sebagai tergugat di pengadilan menyangkut akta yang
dibuatnya dan dianggap merugikan bagi pihak penggugat, di peradilan umum
dalam perkara perdata.
Namun pengajuan gugatan kepada Notaris memiliki batasan atau parameternya
sendiri. Batasan tersebut berkaitan dengan pelanggaran aspek-aspek seperti:128
128 Agusting, Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Autentik Yang Dibuat Dan
1. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan waktu menghadap Notaris
2. Para pihak (orang) yang menghadap Notaris
3. Kebenaran tanda tangan penghadap
4. Salinan akta yang tidak sesuai dengan minuta akta
5. Dibuat salinan akta tanpa adanya minuta
6. Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap oleh penghadap dan saksi
tetapi salinannya dikeluarkan
7. Renvoi tidak diparaf dengan benar dan sempurna
Pengingkaran atas hal-hal tersebut dilakukan dengan cara menggugat Notaris
secara perdata ke Pengadilan Negeri, maka para pihak tersebut wajib membuktikan
hal-hal yang ingin diingkarinya.
Jika gugatan terhadap pengingkaran tersebut tidak terbukti, maka akta Notaris
tersebut tetap berlaku dan mengikat para pihak dan pihak-pihak yang terkait
sepanjang tidak dibatalkan oleh para pihak sendiri atau berdasarkan keputusan
pengadilan. Demikian pula jika gugatan tersebut terbukti, maka akta Notaris
terdegradasi kedudukannya dari akta autentik menjadi akta di bawah tangan. Sebagai
akta di bawah tangan, maka nilai pembuktiannya tergantung pada para pihak dan
Hakim yang akan menilainya.
Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan dalam Pasal 1895
KUHPerdata yang berbunyi ”Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam
segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Jadi prinsipnya, alat bukti
undang-undang sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan dengan akta, barulah
alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.
2. Pembuktian Keterangan Saksi dari Sudut Hukum Pidana
Keberhasilan suatu proses peradilan sangat bergantung pada alat bukti yang
berhasil diungkap atau ditemukan.129 Dalam proses persidangan, terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi
yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Padahal, adanya saksi dan korban
merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan. Keberadaan saksi
dan korban dalam proses peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian
masyarakat dan penegak hukum.
Secara umum keterangan saksi adalah alat bukti yang sah. Sebagai alat bukti
yang sah, saksi adalah seorang yang memberikan kesaksian, baik dengan lisan
maupun secara tertulis atau tanda tangan, yakni menerangkan apa yang ia saksikan
sendiri (waarnemen), baik itu berupa perbuatan atau tindakan dari orang lain atau
suatu kejadian.130
Kesaksian mempunyai arti penting dalam suatu pembuktian baik perdata
maupun pidana. Dalam memutuskan perkara, Hakim terikat kepada alat-alat bukti
yang sah yang salah satunya adalah alat bukti kesaksian. Sebagai alat bukti, kesaksian
129http://hasyimsoska.blogspot.co.id/2011/11/perlindungan-hukum-terhadap-saksi dalam.html,
diakses pada tanggal 27 April 2016.
mempunyai arti penting dalam memberikan tambahan keterangan untuk menjelaskan
suatu perkara perdata maupun pidana
Peran saksi instrumenter dalam setiap pembuatan akta Notaris tetap
diperlukan. Karena keberadaan saksi instrumenter selain berfungsi sebagai alat bukti
juga dapat membantu posisi seorang Notaris menjadi aman dalam hal akta yang
dibuat oleh Notaris diperkarakan oleh salah satu pihak dalam akta atau pihak ketiga.
Dalam praktik sekarang ini ditemukan kenyataan bahwa ketika penyidik
melakukan pemanggilan untuk para pihak dalam akta perihal keterangan palsu atau
kesalahan yang ada di dalam akta itu, penyidik biasanya akan memanggil saksinya
terlebih dahulu.131 Penyidik dalam mengumpulkan bukti-bukti, berhak memanggil siapa saja untuk menjadi saksi, baik itu karyawan Notaris itu sendiri maupun orang
lain yang dianggap cakap dan sesuai dengan peraturan undang-undang mengenai
syarat menjadi saksi dalam persidangan.132
Dari kewajibannya sebagai saksi, maka para saksi turut mendengarkan
pembacaan dari akta itu, juga turut menyaksikan perbuatan dan penandatanganan dari
akta itu. Para saksi harus mengerti isi dari akta tersebut agar jika terjadi sengketa
perihal akta yang dibuat, Saksi mampu menjelaskan perbuatan hukum yang terjadi di
dalam akta.
131
Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Notaris/PPAT Bapak Suprayitno, SH, MKn., tanggal 15 Agustus 2016
132Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Notaris Ibu Mufida Noor, SH, tanggal 11 Agustus