• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Donald Trump Melarang Masuknya Pengungsi Ke Amerika Serikat Ditinjau Dari Konvensi 1951 Dan Protokol 1967 Tentang Status Pengungsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan Donald Trump Melarang Masuknya Pengungsi Ke Amerika Serikat Ditinjau Dari Konvensi 1951 Dan Protokol 1967 Tentang Status Pengungsi"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERLINDUNGAN PENGUNGSI DALAM HUKUM INTERNASIONAL I. Tinjauan Umum Tentang Pengungsi

A. Pengertian Pengungsi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , Pengungsi berasal dari kata

dasar ungsi ( ung·si ) yang artinya pergi menghindarkan (menyingkirkan) diri dari

bahaya atau menyelamatkan diri (ke tempat yang dirasa aman). Jadi, kata

pengungsi berarti seseorang yang mengungsi dari negara asalnya pergi ke negara

lain untuk menyelamatkan diri dan mencari rasa aman.

Dalam ruang lingkup Hukum Internasional terdapat beberapa definisi yang

dapat kita temukan berkaitan dengan arti dari Pengungsi, dimulai dari definisi dari

Konvensi 1951 dan Protokol 1967 hingga definisi dan pengertian dari para ahli

yang memberikan pikiran serta pendapat mereka berkaitan dengan Pengungsi.

Pengertian tentang Pengungsi terdapat di dalam Pasal 1 Konvensi 1951 . Menurut

pasal tersebut maka “pengungsi” berlaku bagi setiap orang yang :

a. Telah dianggap sebagai pengungsi menurut Perjanjian 12 Mei 1926 dan

Perjanjian 30 Juni 1928, atau Konvensi 28 Oktober 1933, Protokol 14

September 1939 atau Konstitusi Organisasi Pengungsi Internasional ;

b. Sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 serta

disebabkan rasa takut yang benar-benar berdasarkan akan persekusi karena

alasan-alasan ras, agama , kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial

tertentu atau pendapat politik , berada di luar negara asal kewarganegaraannya

dan tidak dapat, atau disebabkan rasa takut yang dialami yang bersangkutan

(2)

tidak berkewarganegaraan dan sebagai akibat dari peristiwa tersebut berada di

luar negara bekas tempat tinggalnya, semula tidak dapat akan disebabkan rasa

ketakutan, tidak bersedia kembali ke negara itu;

c. Dalam hal seseorang yang memiliki lebih dari satu kewarganegaraan, istilah

“negara kewarganegaraan-nya” akan berarti masing-masing negara, dimana

dia menjadi warga negara, dan seseorang tidak akan dianggap tidak

mendapatkan perlindungan negara kewarganegaraannya bila, tanpa adanya

alasan yang dapat diterima, didasarkan rasa takut yang benar-benar ia alami

tidak memanfaatkan perlindungan salah satu dari negara dimana dia adalah

warga negaranya.13

Seseorang baru dapat dikatakan sebagai pengungsi apabila adanya unsur

‘rasa takut yang sangat akan persekusi (penganiayaan) berdasarkan ras, agama,

kebangsaan, keanggotaan pada salah satu organisasi sosial ataupun karena

pendapat politiknya’ dan mereka telah berada di luar wilayah negara dimana

mereka bertempat tinggal, karena mereka tidak ingin mendapatkan perlindungan

dari negara tersebut. Ini adalah landasan UNHCR untuk menentukan apakah

seseorang itu termasuk dalam kategori pengungsi atau tidak.14

• Malcom Proudfoot Pendapat Para Ahli :

Malcom Proudfoot memberikan pengertian pengungsi dengan melihat keadaan

para pengungsi akibat Perang Dunia II. Walaupun tidak secara jelas dalam

memberikan pengertian tentang pengungsi, pengertiannya yaitu :

13

Sulaiman Hamid, Lembaga Suaka Dalam Hukum Internasional ,(PT Rajagrapindo Persada: Jakarta, 2002) hlm. 138.

14

(3)

“These forced movements, …were the result of the persecution,

forcibledeportation, or flight of Jews and political opponents of the authoritarians

governments; the transference of ethnic population back to their homeland or to

newly created provinces acquired by war or treaty; the arbitatry rearrangement

of prewar boundaries of sovereign states; the mass flight of the air and the terror

of bombarment from the air and under the threat or pressure of advance or

retreat of armies over immense areas of Europe; the forced removal of

populations from coastal or defence areas underv military dictation; and the

deportation for forced labour to bloster the German war effort‟.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengungsi adalah orang-orang

yang terpaksa pindah ke tempat lain akibat adanya penganiayaan, deportasi secara

paksa, atau pengusiran orang-orang Yahudi dan perlawanan politik pemerintah

yang berkuasa, pengembalian etnik tertentu ke negara asal mereka atau provinsi

baru yang timbul akibat perang atau perjanjian, penentuan tapal batas secara

sepihak sebelum perang terjadi; perpindahan penduduk sipil secara besar-besaran

akibat adanya serangan udara dan adanya tekanan atau ancaman dari para militer

di beberapa wilayah Eropa; pindahan secara paksa penduduk dari wilayah pantai

atau daerah pertahanan berdasarkan perintah militer, serta pemulangan tenaga

kerja paksa untuk ikut dalam perang Jerman.

• Pietro Verri memberikan definisi tentang pengungsi dengan mengutip bunyi

pasal 1 United Nations Convention on the Status of Refugees tahun 1951

adalah :

“ applies to many person who has fled the country of his nationality to avoid

(4)

adalah orang-orang yang meninggalkan negaranya karena adanya rasa

ketakutan akan penyiksaan atau ancaman penyiksaan. Jadi terhadap mereka yang

mengungsi masih dalam lingkup wilayah negaranya belum dapat disebut sebagai

pengungsi menurut Konvensi Tahun 1951.

Rujukan lain berkaitan dengan batasan pengungsi dapat digunakan definisi

yang dibuat oleh The Group of Governmental Experts on International

Co-operation to Avert New Flows of Refugees:15

Pengertian lain tentang pengungsi diartikan sebagai “a person who flees or

is expelled from a country”.

“Refugees defined man-disaster in the following terms :wars, armed

conflict, acts of aggression, alien domination , foreign armed intervention ,

occupation , colonialism , oppressive segregationist and racially supremacist

regimes practicing policies of discrimination or persecution, apartheid, violations

of expulsions , economic and social factors threatening the physical integrity and

survival, structural problems of development; manmade ecological disturbances

and serve environmental damages”

16

15

Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, (Sinar Grafika, Jakarta Timur), Hlm. 99.

16

Bryan A. Garner. 1999. Black’s Law Dictionary , Eight Edition, Thomson West, St. Paul Minn. hlm 1285.

Menurut pengertian hukum tersebut, pengungsi

merupakan orang yang berada di luar negara asalnya atau tempat tinggal aslinya,

mempunyai dasar ketakutan yang sah akan diganggu keselamatannya sebagai

akibat dari kesukuannya, agama, kewarganegaraan , keanggotaan dalam kelompok

sosial tertentu atau pendapat politik yang dianutnya, serta tidak mampu dan tidak

ingin memperoleh perlindungan bagi dirinya dari negara asal tersebut, ataupun

(5)

B. Sejarah Asal Mula Pengungsi

Pengungsi dan pengungsian telah ada sejak lama di dalam peradaban

manusia. Pengungsi telah ada sejak umat manusia mengenal adanya konflik dan

peperangan, karena umumnya yang menjadi pengungsi adalah korban dari aksi

kekerasan atau mereka yang melarikan diri dari ganasnya perang yang terjadi di

wilayahnya atau di negaranya. Para pengungsi biasanya memasuki wilayah atau

negara lain untuk mencari tempat yang lebih aman. Jumlah pengungsi yang

meningkat tentu dapat menimbulkan gangguan kehidupan sosial, politik,

keamanan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu pengungsi merupakan

masalah serius dihadapi oleh masyarakat internasional yang penanggulangannya

memerlukan kerjasama masyarakat internasional secara keseluruhan.17

Masyarakat dunia mulai mengenal pengungsi yaitu pada saat terjadinya

Perang Dunia I (1914-1918) dimana terjadi perang Balkan (1912-1913) yang

mengakibatkan pergolakan-pergolakan di negara-negara tersebut terutama

Kekaisaran Russia. Diperkirakan 1-2 juta orang pengungsi meninggalkan wilayah

Russia dan menuju ke berbagai negara yang berada di kawasan Eropa atau Asia,

Asia Tengah dan Asia Selatan antara tahun 1918 dan 1922 dan juga tahun-tahun

selanjutnya.18

17

http://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2017/02/080204138%20-%20Nurina%20Sepvika%20(02-10-17-12-42-36).pdf diakses tanggal 9 Mei 2017.

Selama periode Liga Bangsa-Bangsa (1921-1946) berbagai badan

dibentuk untuk membantu Komisi Agung Pengungsi, antara lain The Nansen

International Office for Refugees (1931-1938), The Office of the High

Commisioner for Refugees Coming From Germany (1933-1938), The Office of

(6)

The High Commisioner of The League of Nations for Refugees (1939-1946), dan

Intergovernmental Committee for Refugees (1938-1947).

Catatan sejarah membuktikan, Benua Eropa telah beberapa kali

menyaksikan arus besar migrasi kaum tertindas, korban perang, dan masyarakat

marjinal lain yang memilih hidup di tanah Eropa. Berikut adalah 3 catatan sejarah

migrasi besar-besaran pengungsi perang ke Benua Eropa :

1. Sejarah Perang Dunia ke 2, Pengungsi Yahudi melarikan diri ke berbagai

negara Eropa

Sejarah pertama yang tercatat di abad modern tentang penerimaan

masyarakat Eropa terhadap gelombang pengungsi terjadi di masa Perang Dunia ke

2. Kala itu ketika Nazi menguasai Jerman dan mulai melebarkan pengaruh dan

kekuasaannya ke negara Eropa lainnya, jutaan orang Yahudi harus menjadi

Pengungsi dan melakukan migrasi besar-besaran menjauh dari kejaran Nazi.

Bahkan dikutip dari CNN, data dari Jewish Virtual Library menunjukkan fakta

memilukan, sekitar 6 juta etnis Yahudi di seluruh Eropa tewas di tangan pasukan

Nazi.

2. Perang Vietnam, etnis keturunan Indochina menjadi pengungsi di Benua

Eropa

Pasca Perang Dunia ke 2 berakhir, catatan masuknya imigran

besar-besaran yang terjadi di Benua Eropa muncul ketika Perang Vietnam pada 1955.

CNN melansir, catatan yang ditulis oleh Robinson, W Courtland dalam bukunya

Terms of Refugee terbitan Lembaga PBB urusan Pengungsi Dunia (UNHCR) ada

sekitar 46.348 warga Vietnam dalam waktu berdekatan mengungsi di Perancis,

(7)

Jerman. Sementara Inggris menampung 24.267 imigran Vietnam, Belanda

memberikan kesempatan suaka pada 11.546 imigran. Dan Negara-negara seperti

Norwegia, Swiss, Swedia, Denmark serta Belgia menampung sekitar

5.000-10.000 pengungsi akibat Perang Vietnam tersebut.

3. Perang Yugoslavia, konflik di tanah Eropa Timur memaksa ratusan ribu

mengungsi muslim Bosnia-Herzegovina melarikan diri ke Eropa Barat.

Sekitar dua dekade lalu, meletusnya Perang Yugoslavia pada 1991 telah

membuat ratusan ribu warga etnis muslim Bosnia-Herzegovina melarikan diri dari

amukan perang. Sedikitnya ada 1,1 juta penduduk Bosnia yang harus kehilangan

tempat tinggal dan kehidupan yang layak di negaranya.

Kala itu, CNN melansir ada 345 ribu pengungsi yang diterima oleh

Jerman, Austria ikut menampung 80 ribu pengungsi, dan negara Eropa barat

lainnya seperti Swedia, Inggris, Swiss, Belanda, Prancis dan Denmark ikut

menampung hampir 60 ribu pengungsi. Perang inilah yang kemudian

mencetuskan pendirian negara baru pecahan Yugoslavia yang bernama

Makedonia, Slovenia, Kroasia, Bosnia Herzegovina, lalu kemudian menyusul

pembentukan negara Serbia, Montenegro dan Kosovo.

Kini sejarah bangsa Eropa dalam menerima arus imigran kembali terulang.

Ratusan ribu pengungsi Suriah dan negara konflik di Timur Tengah lainnya

melarikan diri berlomba-lomba mencari suaka di Eropa. Menurut data dari

UNHCR, hingga September 2015 ini ada sedikitnya 360.000 pengungsi Suriah

dan Irak yang menyebrangi laut Mediterania menuju tanah Eropa. (CAL).19

(8)

Indonesia, meskipun tidak meratifikasi Konvensi 1951 ataupun Protokol

1967 juga mendapatkan gelombang pengungsi dari beberapa negara yang

terdampak konflik karena atas dasar kemanusiaan dan kebiasaan internasional,

misalnya saja cerita memilukan dari pengungsi Vietnam yang harus mengungsi

keluar dari negara asal mereka Vietnam akibat perang saudara yang terjadi disana.

Kisah ini dimulai 19 April 1975, saat pecah perang saudara di Vietnam. Perang

yang berlangsung panjang pada akhirnya selalu menyebabkan kesengsaraan.

Masyarakat umum yang sering tidak mengerti apa-apa akhirnya yang selalu

menjadi korban. Untuk menyelamatkan diri, daripada bertahan di Vietnam.

Celakanya, Vietnam bukanlah negara dengan wilayah besar di mana orang bisa

dengan leluasa bersembunyi. Mau tidak mau, pilihannya adalah keluar dari

Vietnam. Dan yang mengerikan adalah pilihan paling memungkinkan keluar dari

Vietnam adalah melalui laut, samudera yang ganas. Mau tidak mau, pilihan itulah

yang harus diambil daripada mati konyol oleh tantara Vietkong yang sangat

ganas.

Setelah kurang lebih selama satu bulan berlayar mengarungi Samudera,

tibalah rombongan pertama dari manusia perahu Vietnam ini pulau Natuna di

wilayah kepulauan Riau sekarang pada tanggal 21 Mei 1975. Mereka berjumlah

75 orang menumpang satu buah perahu kayu. Menyusul setelah itu, gelombang

para pengungsi Vietnam ini semakin lama semakin banyak hingga akhirnya

menjadi permasalahan di beberapa negara tetangga Vietnam, yaitu Malaysia,

Thailand dan Indonesia. Perserikatan Bangsa-Bangsa pun kemudian turun tangan.

(9)

negara di Bangkok yang akhirnya menetapkan menjadikan satu pulau di Indonesia

untuk dijadikan tempat pengungsian.

Pertanyaannya kemudian, siapa yang mendanai itu semua? Indonesia tentu

tidak sanggup ataupun tidak mau membiayai para pengungai yang jumlahnya

mencapai 250 ribu orang tersebut. UNHCR yang akhirnya membiayai, tentu saja

sumber dananya dari seluruh anggota PBB. Seluruh biaya hidup orang-orang di

pengungsian ini ditanggung UNHCR. Makan sehari-hari, pendidikan, hingga

kesehatan dijamin oleh lembaga PBB ini. Pokoknya hidup mereka sangatlah enak

karena tidak memikirkan kewajiban apapun. Semua sudah ditanggung. Karena

enak itulah, kamp pengungsian itu berjalan selama kurang lebih 16 tahun. Setelah

perang berakhir pihak UNHCR berniat memulangkan mereka ke Vietnam. Namun

ternyata tidak mudah. Para pengungsi yang ingin dipulangkan melakukan protes

berbagai hal. Menurut cerita Pak Said, penjaga museum sekarang, mereka

menenggelamkan perahu yang sudah dimiliki, bahkan beberapa orang melakukan

bunuh diri.20

Jika itu di Indonesia, maka pada masa ini, bisa kita lihat juga pengungsian

besar-besaran yang dilakukan oleh masyarakat Suriah karena konflik

berkepanjangan yang harus mereka hadapi di negara asal mereka. Tidak ada lagi

rasa aman bagi mereka. Ketakutan menjadi ancaman sehari-hari mereka. Per

tanggal 31 Maret 2017 dikutip dari Sindonews21

, pengungsi Suriah telah

menyentuh angka 5 juta orang yang melarikan diri dari perang sipil Suriah menuju

Turki, Lebanon, Yordania, Irak, dan Mesir.

(10)

Para pengungsi yang sebagian besar perempuan dan anak-anak itu

mencoba menjauh dari kota Hama yang dikuasai pemberontak. Warga Suriah juga

melarikan diri ke Eropa dalam jumlah besar. Sebanyak 884.461 orang

mengajukan suaka antara April 2011 dan Oktober 2016.

Hampir dua pertiga pengungsi itu meminta suaka di Jerman atau Swedia.

Ratusan ribu orang lainnya tinggal di negara-negara Teluk yang tidak menjadi

bagian dari Konvensi Pengungsi 1951 seperti Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat

Arab (UEA). Dengan demikian, mereka tidak tercatat sebagai pengungsi.

3. Prinsip Penentuan Status Pengungsi

Dalam memberikan status pengungsi kepada seseorang, ia haruslah

seorang yang memenuhi kriteria sebagai seorang pengungsi. Status pengungsi

merupakan Ketetapan/Declarator yang hanya menyatakan apa yang sebenarnya

sudah ada. Ini berbeda dengan Konstitutif yang menciptakan status yang baru.

Jadi, dengan kata lain, orang tersebut tidak menjadi pengungsi sebab pengakuan

tetapi justru pengakuan diadakan karena dia memang sudah pengungsi.22

Seseorang agar dapat disebut pengungsi kalau telah memenuhi persyaratan

yang telah ditentukan, misalnya dalam Konvensi 1951, ini berarti status pengungsi

itu sudah ada sebelum yang bersangkutan dinyatakan secara formal atau resmi.

Oleh karena itu, pengakuan seseorang menjadi pengungsi sebenarnya tidak

membuat orang itu menjadi pengungsi tetapi pengakuan hanya menyatakan bahwa

dia adalah pengungsi.23

Penetapan seseorang menjadi pengungsi (Status Refugee) sebenarnya

merupakan proses yang terjadi dalam dua tahap:

23

(11)

1. Penemuan atau penetapan yang menentukan bahwa dari fakta yang ada

memang orang tersebut adalah Refugee.

2. Fakta dihubungkan dengan persyaratan –persyaratan dalam Konvensi 1951

dan Protokol 1967. Setelah itu, dihubungkan apakah yang bersangkutan

memang merupakan pengungsi atau tidak.

Pada awalnya status pengungsi bukanlah bernama pengungsi, mereka

adalah pencari suaka, dimana pencari suaka ini adalah orang yang telah

mengajukan permohonan untuk mendapatkan perlindungan namun

permohonannya sedang dalam proses penentuan. Apabila permohonan seorang

pencari suaka itu diterima, maka ia akan disebut sebagai pengungsi, dan ini

memberinya hak serta kewajiban sesuai dengan undang-undang negara yang

menerimanya.

Penentuan praktis apakah seseorang disebut pengungsi atau tidak,

diberikan oleh badan khusus pemerintah di negara yang ia singgahi atau badan

PBB untuk pengungsi UNHCR. Persentase permohonan suaka yang diterima

sangat beragam dari satu negara ke negara lain, bahkan untuk satu negara yang

sama. Setelah menunggu proses selama bertahun-tahun, para pencari suaka yang

mendapatkan jawaban negatif tidak dapat dipulangkan ke negara asalnya, yang

membuat mereka terlantar. Para pencari suaka yang tidak meninggalkan negara

yang disinggahinya biasanya dianggap sebagai imigran tanpa dokumen. Pencari

suaka, terutama mereka yang permohonannya tidak diterima, semakin banyak

yang ditampung di rumah detensi.

Tentu sangat tidak memungkinkan bagi pencari suaka untuk meninggalkan

(12)

banyak pencari suaka terpaksa memilih perjalanan yang mahal dan berbahaya

untuk memasuki negara-negara secara tidak wajar di mana mereka dapat

memperoleh status pengungsi.

Sering sekali terminologi pencari suaka dan pengungsi menimbulkan

kebingungan. Seorang pencari suaka adalah seseorang yang menyebut dirinya

sebagai pengungsi, namun permintaan mereka akan perlindungan belum selesai

dipertimbangkan.

Tahap-tahap yang harus dilalui oleh pencari suaka untuk mendapatkan status

pengungsi:24

A. Registrasi atau pendaftaran terhadap para pencari suaka

Sebelum memulai tahap ini, petugas UNHCR yang ahli dibidangnya

memberikan formulir isian dan memberikan semacam briefing mengenai proses

yang akan dilakukan ini kepada para pencari suaka. Briefing yang dilakukan

adalah ditemani oleh seorang interpreter terpercaya berdasarkan kebutuhan pada

saat registrasi, bahasa apakah yang digunakan. Kemudian selanjutnya, para

pencari suaka memasuki tahap registrasi. Dalam tahap registrasi ini, para pencari

suaka dicatat seluruh detailnya, mulai dari nama, asal, suku, agama, warganegara,

bahasa yang digunakan, tanggal keberangkatan dari Negara asal, tempat transit,

data keluarga, alasan lari dari negaranya, dan lain sebagainya.

Setelah tahap ini selesai, UNHCR akan memberikan suatu semacam

attestation letter, atau suatu surat yang menerangkan bahwa orang tersebut sedang

mengikuti proses penentuan status pengungsi. Karena ini masih tahap awal, maka

attestation letter yang dikeluarkan adalah asylum seeker certificate. Jangka waktu

(13)

sertifikat ini biasanya bervariasi. Untuk mereka yang berkategori minor, wanita,

atau orangtua, atau sering kita sebut sebagai golongan rentan (vulnerable),

biasanya mereka akan mendapatkan waktu wawancara tahap awal lebih cepat.

Jangka waktu sertifikat ini tergantung jangka waktu tahap awal wawancara

tersebut. Tetapi untuk golongan yang biasa, mereka biasanya akan mendapatkan

sertifikat dengan jangka waktu 2 bulan. Setelah dua bulan, mereka diminta datang

kembali ke UNHCR untuk kemudian mendapatkan renewal dari sertifikat yang

telah diberikan tersebut beserta mendapatkan kepastian tanggal wawancara tahap

awal tersebut. Pemilihan tanggal wawancara juga berdasarkan ketersediaan

interpreter yang ada, seperti misalnya apabila interpreter bahasa Belanda hadir

pada hari jumat, maka jadwal mereka pun ditempatkan pada hari jumat. Penelitian

yang meneliti soal ini, menyatakan bahwa jadwal wawancara yang disusun oleh

pihak UNHCR sudah mencapai tahun berikutnya. Jadi bisa saja dia daftar tahun

ini, namun mendapatkan jadwal wawancara tahun depannya. Attestation letter

yang dikeluarkan oleh UNHCR ini memiliki prinsip non-refoulement, prinsip

yang sudah diakui dalam hukum kebiasaan internasional, yaitu suatu negara tidak

boleh mengembalikan orang yang diduga sebagai pengungsi ke negara dimana

orang tersebut takut akan dipersekusi atau dianiaya.

B. Wawancara (interview)

Wawancara tahap awal atau yang disebut sebagai 1st instance interview

adalah wawancara yang dilakukan oleh seorang officer UNHCR untuk menggali

lebih dalam mengenai kasus seorang pencari suaka sebelum diberikan

rekomendasi untuk diterima atau ditolak kasusnya. Dalam setiap wawancara ini,

(14)

yang diajukan bersifat detail, dan pihak officer UNHCR sudah menyatakan bahwa

segala pernyataan yang diajukan selama proses wawancara bersifat rahasia dan

tidak akan ada pihak lain yang tahu kecuali UNHCR sendiri. Sebelum dimulainya

wawancara, biasanya para officer sudah mengetahui nomor kasus yang akan

dihadapi sekaligus mengadakan riset kecil-kecilan mengenai Negara asal pencari

suaka, informasi negaranya, kasus-kasus lain yang serupa dengan alasan pencari

suaka tersebut melarikan diri dari negaranya, dan lain sebagainya. Proses

wawancara ini biasanya memakan waktu cukup lama. Satu orang pencari suaka

biasanya memakan waktu sekitar 4 sampai 5 jam.

C. Penentuan status pengungsi

Proses penentuan status pengungsi atau biasa disebut dengan proses

Refugee Status Determination (RSD), adalah suatu tahap dimana officer yang

telah selesai melakukan wawancara di tahap pertama, bertanggung jawab terhadap

penyelesaian kasus tersebut, hingga memberikan laporan dan rekomendasi apakah

kasus mereka ditolak ataukah diterima oleh UNHCR. Dalam tahap ini, para

officer ini menulis semacam laporan yang telah ditentukan formatnya oleh

UNHCR pusat di Geneva, dalam bahasa Inggris, yang tebalnya mencapai minimal

10 halaman untuk satu kasus. Ditahap ini, mereka menggali segala informasi yang

didapat di tahap wawancara, dari informasi Country of Information (CoI),

berita-berita terbaru mengenai daerah konflik dimana pencari suaka tersebut mengaku

berasal dari sana, serta pedoman dari UNHCR pusat mengenai berbagai hal

tertentu. Selain itu, untuk beberapa kasus tertentu, seringkali para officer ini juga

berkorespondensi dengan para officer lainnya dibelahan dunia lainnya yang

(15)

mencari suaka di negara lainnya. Tugas para officer ini hampir menyerupai tugas

seorang hakim. Namun bedanya, Jika seorang hakim untuk memutuskan

seseorang bersalah atau tidak harus menggunakan suatu majelis, dan dibantu

seorang panitera untuk mencatat putusan, maka untuk officer UNHCR ini, mereka

sendirilah yang mengerjakannya mulai dari tahap wawancara, menggali kasus,

hingga memberikan rekomendasi dan mengetiknya. Mereka ini terkadang masih

harus mengerjakan kasus lainnya yang apabila dihitung-hitung berjumlah sekitar

20 kasus perbulannya.

D. Pemberian Status/Penolakan Kasus

Setelah seorang officer menyelesaikan suatu kasus, maka officer tersebut

memberikan rekomendasi kasus tersebut kepada officer yang lebih tinggi untuk

dilakukan review ulang. Seringkali diperiksa mulai dari inti kasus tersebut, alasan,

dasar pemberian rekomendasi, bahkan hingga grammar dan titik koma penulisan.

Ini semua bertujuan untuk menciptakan suatu rekomendasi yang berkualitas.

Setelah direview dan dirasa cukup mendapatkan perbaikan, maka officer

yang lebih tinggi ini biasanya memanggil officer yang mengerjakan kasus tersebut

untuk mengetahui lebih detail lagi kenapa kasus tersebut sampai diterima atau

ditolak. Setelah itu, barulah finalisasi. Bagi mereka yang diterima kasusnya dan

dinyatakan layak sebagai pengungsi internasional, maka mereka diberikan status

sebagai pengungsi internasional. Pihak UNHCR segera mengabarkan orang

tersebut untuk diberikan kabar gembira, dan meminta dia untuk datang ke

UNHCR untuk menukar attestation letter mereka yang tadinya asylum seeker

certificate menjadi refugee certificate. Sedangkan bagi mereka yang kasusnya

(16)

mempunyai hak untuk mengajukan banding yang jangka waktunya diberikan

selama satu bulan.

Permintaan banding diberikan secara tertulis, disertai alasannya. Biasanya

para pencari suaka yang ditolak ini kemudian memberikan berbagai fakta baru

ataupun cerita lainnya dengan harapan status mereka akan dipikirkan kembali oleh

UNHCR. Apabila permintaan banding mereka diterima oleh pihak UNHCR, maka

UNHCR akan memberikan jadwal baru untuk mereka datang kembali melakukan

interview tambahan atau appeal interview. Namun interview tersebut bukanlah

suatu keharusan. Apabila officer yang menangani merasa sudah cukup informasi

yang diberikan pada saat pengajuan surat banding, maka hal tersebut sudah tidak

perlu dilakukan.

4. Macam-macam Pengungsi

Haryo Mataram dalam Prasetyo Hadi membagi dua macam Refugees (

Pengungsi ) , yaitu Human Rights Refugees dan Humanitarian Refugees :25

a. Human Rights Refugees adalah pengungsi yang (terpaksa) meninggalkan

negara atau kampung halamannya karena adanya “fear of being persecuted”,

disebabkan masalah ras, agama, kebangsaan, atau keyakinan politik.

b. Humanitarian Refugees adalah pengungsi yang terpaksa meninggalkan negara

atau kampung halamannya karena merasa tidak aman disebabkan adanya

konflik bersenjata yang berkecamuk dalam negaranya. Pada umumnya, di

negara tempat mengungsi.

Achmad Romsan memberikan enam istilah yang berhubungan dengan

pengungsi, yaitu:26

25

ArfanEffendi,Konsep Dasar Hukum Pengungsi

Internasiona

(17)

I. Economic Migrant yang didefinisikan sebagai “person who, in pursuit

of employment or a better over all standard of living (that is, motivated

by economic considerations), leave their country to take up

residence elsewhere”. Economic migrant merupakan seseorang atau

sekelompok orang yang mencari pekerjaan dan harus meninggalkan negaranya

dengan pertimbangan aspek ekonomi.

II. Refugee Sur Place yang didefinisikan sebagai “A person who was not

a refugee when she left her country, but who became a refugee at a later date.

A person become a refugee sur place due to circumstances arising in her

country of origin during her absence”. Refugee sur

place merupakan seseorang atau sekelompok orang yang bukan pengungsi

sewaktu berada di negaranya namun kemudian menjadi pengungsi karena

keadaan di negara asalnya sewaktu orang atau kelompok orang tersebut tidak

berada di negaranya.

III. Statutory Refugees yang didefinisikan sebagai “Person who meet

the definitions of international instruments concering refugees prior to

the 1951 Convention are usually referred to as statutory refugees”.

Statutory refugees merupakan seseorang atau sekelompok orang yang

memenuhi kriteria pengungsi menurut instrumen

internasional sebelum tahun 1951.

IV. War Refugees (pengungsi perang) yaitu Person compelled to leave their

country of origin as a result of international or national armed conflicts are

not normally considered refugees under the 1951 Conventions of 1967

(18)

Protocol. They do, however, have the protection provided for in other

international instruments, i. e. the Geneva Convention of 1949, et. al. In the

case of forces invasion and subsequent occupation, occupying forces may

begin to persecute segments of the populations. In such cases, asylum seekers

may meet the conditions of the Convention definition. War refugees ialah

seseorang atau sekelompok orang yang terpaksa meninggalkan negara asalnya

akibat pertikaian bersenjata yang bersifat internasional maupun nasional.

Pengungsi jenis ini mendapat perlindungan menurut instrumen internasional

yang lain, yaitu Konvensi 1951 tentang Pengungsi.

V. Mandate Refugee, istilah ini digunakan untuk menunjuk orang-orang

yang diakui statusnya sebagai pengungsi oleh UNHCR sesuai dengan fungsi,

wewenang, atau mandat yang ditetapkan oleh Statuta UNHCR . Pengungsi

mandat adalah seseorang yang telah memenuhi persyaratan serta berhasil

menempuh beberapa tahapan agar diakui sebagai pengungsi. Oleh karenanya

mereka mendapat perlindungan dari PBB dan lembaga internasional lainnya.

VI. Statute Refugee yaitu orang-orang yang berada di dalam wilayah

negara-negara pihak pada Konvensi 1951 yaitu setelah mulainya berlaku Konvensi

1951 atau sejak 22 April 1954 dan Protokol 1967 yang mulai berlaku pada

tanggal 4 Oktober 1967 yang status pengungsinya diakui oleh negara-negara

pihak berdasarkan kriteria yamg ditetapkan oleh indtrumen-instrumen

tersebut.

(19)

Hukum pengungsi internasional adalah hukum yang relatif baru. Gagasan

ini muncul karena adanya kesadaran bahwa masalah pengungsi tidak hanya

berhubungan dengan masalah bantuan materi belaka. Permasalahan pengungsi

juga harus dihubungkan dengan aspek yuridis.

Untuk menempatkan istilah pengungsi dengan tepat di ranah yuridis,

terdapat tiga peristilahan, yaitu suaka, pencari suaka, dan pengungsi. Suaka

adalah penganugerahan perlindungan dalam wilayah suatu negara kepada

orang-orang dari negara lain yang datang ke negara bersangkutan karena menghindari

pengejaran atau bahaya besar. Suaka inilah kemudian menjadikan seorang pencari

suaka (ayslum seeker) menjadi pengungsi. Pada draf yang dibuat UNHCR, suaka

diartikan sebagai pengakuan secara resmi oleh negara bahwa seseorang adalah

pengungsi dan memiliki hak dan kewajiban tertentu.27

Hukum Pengungsi internasional adalah turunan dan salah satu pengaturan

hukum internasional. Hukum pengungsi internasional lahir demi menjamin

keamanan dan keselamatan pengungsi internasional di negara tujuan mengungsi.

Selain memberikan perlindungan di negara tujuan, seorang pengungsi juga

dilindungi oleh negara- negara yang dilewatinya dalam perjalanan ke negara

tujuan mengungsi. Dalam dunia intemasional yang mengalami perkembangan

baik dari segi informasi, teknologi serta juga dalam bidang hukum internasional.

Sejumlah instrumen internasional menetapkan dan menjelaskan standar-standar

pokok tentang perlakuan terhadap pengungsi. Instrumen yang paling penting

(20)

adalah Konvensi PBB tentang Status Pengungsi (1951) dan Protokol tentang

Status Pengungsi (1967).28

Hukum pengungsi internasional mengatur bahwa tidak semua orang atau

kelompok yang berpindah dari satu wilayah negara ke wilayah negara lainnya

dengan serta merta dikategorikan sebagai pengungsi. Banyak dari orang atau

kelompok yang berpindah dari negaranya dengan cara illegal. Illegal disini

maksudnya dengan menjadi imigran gelap atau memasuki wilayah suatu negara

dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan hukum internasional.29

Hukum pengungsi selalu dipahami dalam kerangka pengungsi

internasional. Di negara-negara maju kajian tentang hukum pengungsi sudah

merupakan bahasan yang spesifik. Sejak tahun 1950-an kajian terhadap hukum

pengungsi lebih intens terutama pada pembakuan istilah-istilah. Pada kurun 1920

sampai dengan 1950-an , definisi “pengungsi” diterapkan secara parsial dan

spesifik per negara atau per kelompok. Untuk membahasnya lebih jelas harus Dalam penelusuran historis pembentukan hukum pengungsi internasional

berjalan setahap demi setahap berdasarkan pengalaman-pengalaman pengungsian,

terutama di Eropa. Hukum Pengungsi mulai tumbuh di era tahun 1920-an.

Pertumbuhan dan perkembangan dari hukum pengungsi, terkait dengan perlakuan

terhadap pengungsi yang tadinya hanya sebatas memberikan bantuan humaniter

bagi kelangsungan hidupnya saja. Pada perkembangannya kemudian menjadi

penyelesaian secara tetap dan berjangka panjang. Sejak tahun 1951 dilakukan

pembakuan . Mulai saat itu pulalah pengungsi dalam format universal diakomodir

secara universal.

28

Hak Asasi Manusia dan Pengungsi Lembar Fakta No. 20.

29

(21)

dimulai dengan pembahasan kerangka induknya yakni hukum Internasional

terlebih dahulu.30

Hukum pengungsi didefinisikan sebagai serangkaian aturan yang objeknya

adalah pengungsi. Untuk hak tersebut, hukum pengungsi memerlukan batasan

atau pengertian dari ‘pengungsi’. Pengertian tersebut merupakan suatu istilah

yuridis yang dibedakan dengan tegas dari pengerian atau istilah lainnya. Batasan

hukum pengungsi internasional yang pernah dibahas dalam Seminar tentang

Pengungsi dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Internasional disebutkan bahwa

hukum pengungsi internasional merupakan sekumpulan peraturan yang

diwujudkan dalam beberapa instrumen-instrumen internasional dan regional yang

mengatur tentang standar baku perlakuan terhadap pengungsi. Disebutkan pula

bahwa Hukum Pengungsi Internasional merupakan cabang dari Hukum Hak Asasi

Manusia.31

2. Perlindungan Hak Asasi Manusia Pengungsi

Pencari suaka dan para pengungsi mempunyai hak atas semua hak dan

kebebasan dasar seperti yang tercantum di dalam instrumen hak asasi manusia

internasional. Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia

semenjak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami

bahwa Hak Asasi Manusia tersebut tidaklah bersumber dari negara dan hukum,

tetapi semata bersumber dari Tuhan sebagai pencipta alam semesta beserta isinya,

sehingga hak asasi manusia itu tidak dapat dikurangi ( non-derogable right ). Oleh

karena itu, yang diperlukan dari negara dan hukum adalah suatu pengakuan dan

30

Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, (Sinar Grafika, Jakarta Timur), Hlm. 84.

31

(22)

jaminan pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia

tersebut.

Perjuangan untuk memperoleh pengakuan dan jaminan terhadap Hak

Asasi Manusia , sepanjang sejarah umat manusia selalu mengalami pasang surut.

Puncak keberhasilan perjuangan untuk memperoleh pengakuan dan jaminan

perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, ditandai dengan lahirnya Piagam

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia yang dikenal dengan “

Universal Declaration of Human Rights “ . Semenjak itu, masalah hak asasi

betul-betul telah menjadi perhatian dunia, terlebih-lebih sesudah berakhirnya

perang dingin, terutama di negara-negara maju.32

Konsep hak asasi manusia hakikatnya merupakan konsep tertib dunia.

Tanpa memperhatikan konsep hak asasi manusia, apa yang disebut ketertiban

dunia menjadi sia-sia, tujuan hukum, tata hukum beserta ilmu sosial dan iptek

lainnya bersama-sama berusaha mengangkat derajat manusia agar lebih sejahtera,

aman, tentram, tenang, adil dan makmur. Sehubungan dengan itu, pandangan

lama yang menganggap individu bukan subjek hukum Internasional sudah lama

ditinggalkan. “… The new law buried the old dogma that the individual is not a

“subject” of its own nationals is a matter of domestic, not international concern.

It penetrated the veil of sovereignity. It removed the exclusive identification with

his government. It gave the individual a part in International polities and right in

international law, independently of his government. It also gave the individual

32

(23)

protectors other thanhis government, indeed protectors and remedies against his

government…” ( John Gerard Ruggie, 1983 : 105 ).33

Untuk menjamin hak-hak mereka, hak-hak para pengungsi telah diatur di

dalam konvensi-konvensi PBB misalnya saja seperti Konvensi tahun 1954 tentang

Orang-Orang tanpa Kewarganegaraan, Konvensi tahun 1961 tentang Pengurangan

Keadaan Orang Tanpa Kewarganegaraan , Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang

Perlindungan Warga Sipil dalam Waktu Perang serta Deklarasi PBB tahun 1967

tentang Suaka Teritorial dan sebagainya.

Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia , kita ambil contoh di

dalam Pasal 3, 4 dan 5. Dalam pasal-pasal tersebut, kita akan menemukan

dasar-dasar Hak Asasi Manusia :

Pasal 3

Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu.

Jika kita melihat pasal 3 dan kita kaitkan misalnya dengan Pengungsi

Suriah, maka kita akan menemukan fakta bahwa para Pengungsi dari Suriah yang

akhirnya harus mengungsi tidak mendapatkan kehidupan, kebebasan dan

keselamatan di negara mereka, Suriah. Mereka hidup dalam ketakutan dan

keselematan hidup serta kebebasan mereka terancam di Suriah. Konflik

berkepanjangan yang sungguh menghancurkan segalanya.

Tak terkecuali, para pengungsi. Salah satu Hak Asasi Manusia mendasar

yang tidak mereka dapatkan adalah hak atas rasa aman. Para pengungsi berhak

atas rasa aman dan nyaman di dalam hidup mereka. Tanpa ancaman yang

mengancam kehidupan mereka. Mereka memiliki hak untuk itu.

33

(24)

Pasal 4

Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan

perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang.

Seperti yang kita ketahui bahwa fakta yang terjadi di Suriah adalah ISIS

memperbudak rakyat Suriah dan bahkan wanita sana diperjual belikan layaknya

barang dagangan.

Pasal 5

Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan

atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina.

Para tawanan ISIS disiksa dengan sangat kejam dan sangat tidak

berperikemanusiaan dan tentu saja ini sungguh melanggar semangat Hak Asasi

Manusia.

Pencari suaka dan para pengungsi mempunyai hak atas semua hak dan

kebebasan dasar seperti disebutkan dalam instrumen hak asasi manusia

internasional. Dengan demikian maka perlindungan bagi pengungsi harus dilihat

dalam konteks perlindungan hak asasi manusia yang lebih luas.

Pada tahun 1951, lahir sebuah Konvensi yang secara khusus mengatur

tentang Pengungsi dan 16 tahun kemudian lahir Protokol 1967 tentang Status

Pengungsi sebagai tambahan dari Konvensi PBB tahun 1951 tentang Status

Pengungsi. Di dalam Konvensi serta Protokol tersebut telah diuraikan secara jelas

apa saja hak-hak yang harus diberikan oleh negara penerima serta juga kewajiban

para pengungsi di dalam masa pengungsian-nya di negara penerima.

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pengungsi adalah

(25)

para penguasa baik di negara mereka sendiri ataupun di negara mereka

mengungsi. Sebagai individu, kelompok masyarakat dan sebagai “manusia”

mereka berhak mendapat perlakuan yang manusiawi sebagaimana seorang

manusia harusnya diperlakukan. Setiap pengungsi berhak mendapatkan

perlindungan baik dalam hukum nasional maupun hukum internasional. Hak-hak

yang dimiliki oleh para pengungsi sama dengan hak-hak yang dimiliki oleh warga

negara di tempat mereka mencari perlindungan, seperti hak untuk hidup, hak

untuk tidak mendapatkan penyiksaan, hak untuk mendapatkan status

kewarganegaraan, hak untuk bergerak, hak mendapatkan pendidikan,

mendapatkan pekerjaan, mendapatkan pengupahan yang wajar, hak dalam bidang

kesehatan, hak untuk menjalankan perintah agama dan pendidikan agama untuk

anak-anak mereka, hak untuk tidak dapat disebutkan satu persatu, sejauh hak itu

melekat pada diri mereka sebagai individu manusia, maka berlaku juga bagi

pengungsi.

Secara garis besar hak-hak yang melekat kepada diri seorang pengungsi

adalah hak-hak yang menyangkut hak-hak sipil , politik, ekonomi, sosial dan

budaya, yang berlaku untuk semua orang, warganegara, dan juga bukan

warganegara. Hak-hak yang disebutkan diatas dirangkum dalam The International

Bill of Human Rights yang terdiri dari Universal Declaration of Human Rights,

The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights.

III. Kewajiban dan Hak-Hak Pengungsi 1. Kewajiban Pengungsi

Sejalan dengan hak asasi yang dimiliki oleh pengungsi, para pengungsi

(26)

negara dimana ia melakukan pengungsian. Pengungsi seperti yang telah kita

kemukakan diatas, merupakan individu yang sama dengan manusia lainnya.

Mereka memiliki Hak Asasi Manusia yang telah melekat dalam diri mereka.

Namun, tidak hanya itu yang melekat pada diri para Pengungsi. Para pengungsi

selain dilindungi, mereka juga memiliki kewajiban dan hak yang harus mereka

lakukan dan mereka dapatkan. Kewajiban-Kewajiban yang harus dipatuhi oleh

Pengungsi seperti yang tertulis di dalam Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi

( pasal 2 tentang Kewajiban Umum ) yaitu :

“Tiap pengungsi mempunyai kewajiban-kewajiban pada negara, di mana ia

berada, yang mengharuskannya terutama untuk menaati undang-undang serta

peraturan-peraturan negara itu dan juga tindakan-tindakan yang diambil untuk

memelihara ketertiban umum”.

2. Hak Pengungsi

Pengungsi di dalam pengungsiannya memiliki hak-hak yang melekat di

dalam diri mereka yang dijamin oleh Konvensi 1951. Para pengungsi yang

melakukan pengungsian di negara yang meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol

1967 tentang Status Pengungsi maupun yang tidak meratifikasinya tetap

mendapatkan hak mereka sebab pada dasarnya ini merupakan sebuah kebiasaan

Internasional.

Negara-negara pihak akan memberlakukan ketentuan-ketentuan dalam

Konvensi 1951 terhadap para pengungsi termasuk hak-hak yang telah diatur di

dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi. Berikut

adalah hak-hak yang diperoleh para pengungsi:34

34

(27)

1. Mengenai status pribadi para pengungsi diatur sesuai dengan hukum dimana

mereka berdomisili. Jika mereka tidak mempunyai domisili, status pribadi

mereka diatur olehhukum dimana mereka ditempatkan (place of residence).

Hak yang berkaitan dengan perkawinan juga harus diakui oleh negara peserta

konvensi dan Protokol (pasal 12). Ini merupakan hak status pribadi.

2. Seorang pengungsi mempunyai hak yang sama dalam hal untuk mempunyai

atau memiliki hak milik baik bergerak maupun tidak bergerak dan

menyimpannya seperti halnya orang lain dan juga dapat menstransfer assetnya

ke negara dimana dia akan menetap (Pasal 13, 14 dan 30). Ini merupakan hak

kesempatan atas hak milik.

3. Negara peserta Konvensi harus mengakui kebebasan pengungsi untuk

berserikat dengan mendirikan perkumpulan termasuk perkumpulan dagang

sepanjang perkumpulan itu bersifat non&profit dan non& politis (Pasal 15 ).

Ini merupakan hak berserikat.

4. Apabila ada suatu perkara yang dialami oleh para pengungsi dimana mereka

ingin menyelesaikannya melalui badan peradilan, maka dalam hal ini mereka

harus dianggap sama dengan warganegara lainnya jadi mereka mempunyai

kebebasan untuk mengajukan gugatannya di sidang pengadilan dimana

mereka ditempatkan bahkan bila diperlukan mereka harus diberikan bantuan

hukum (Pasal 16 ). Ini merupakan hak berperkara di pengadilan.

5. Bagi para pengungsi yang telah ditempatkan secara tetap di suatu negara dan

telah diakui menurut hukum, maka mereka mempunyai hak untuk

mendapatkan pekerjaan serta mendirikan suatu perusahaan dagang dan

(28)

ketentuan yang telah diakui, seperti tanda sertifikat, gunanya adalah

mengetahui keahlian untuk ditempatkan pada suatu pekerjaan yang cocok

(pasal 17, 18 dan 19). Ini merupakan hak atas pekerjaan yang menghasilkan.

6. Setiap pengungsi akan mendapat perlakuan yang sama dengan warganegara

lainnya atas hak memperoleh pendidikan sekolah dasar. Karenanya, setiap

pengungsi berhak pula atas pembebasan biaya pendidikan tertentu termasuk

juga hak untuk memperoleh beasiswa(Pasal 22). Ini merupakan hak atas

pendidikan dan pengajaran.

7. Setiap pengungsi diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk memilih di

daerah atau provinsi mana mereka akan menetap sepanjang pilihan itu masih

berada dalam territorial negara dimana ia ditempatkan (Pasal 26). Ini

merupakan hak kebebasan bergerak.

8. Setiap pengungsi akan dapat menikmati hak-hak atas kesejahteraan sosial,

seperti hak untuk bekerja, perumahan, mendapatkan upah dari pekerjaan yang

mereka lakukan .Pasal 20 dan 22). Ini merupakan hak atas kesejahteraan

sosial.

9. Setiap pengungsi berhak atas surat-surat identitas dan dokumen perjalanan ke

luar dari teritorial negara dimana dia ditempatkan kecuali karena alasan

keamanan dan kepentingan umum. Dokumen perjalanan yang dikeluarkan atas

perjanjian internasional akan diakui oleh negara peserta konvensi (Pasal 27

dan 28). Ini merupakan hak atas tanda pengenal dan dokumen perjalanan.

10. Dalam hal ini pengungsi telah ditempatkan secara tetap di suatu negara, tidak

akan ada dilakukan tindakan pengusiran ke wilayah dimana kehidupannya

(29)

masuk secara tidak sah, kecuali jika keamanan nasional menghendaki lain,

seperti mereka melakukan kekacauan dimana mereka tinggal (pasal 31,32, dan

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian untuk menjelaskan dan menganalisis hak-hak para pengungsi Vietnam telah terpenuhi berdasrkan konvensi Wina 1951 tentang pengungsi baik dari UNHCR maupun

Protokol New York tahun 1967. 3) ― Kebijakan Indonesia terhadap Masalah Pengungsi: Alasan Indonesia tidak meratifikasi Konvensi PBB tahun 1951 dan Protokol tambahan

Dari penjelasan di atas maka kita telah mengetahui penyebab Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967 tersebut. Secara rasional kedatangan para

Pencari suaka mengajukan diri untuk mendapat status pengungsi ke negara penerima Sedangkan pengungsi menurut Konvensi Status Pengungsi Tahun 1951 adalah

Inti tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk menjelaskan faktor-faktor apa saja yang menjadi kepentingan Indonesia yang menyebabkan ditundanya ratifikasi Konvensi

PENULISAN SKRIPSI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DAN ASAS NON- REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI SURIAH OLEH YUNANI DITINJAU DARI KONVENSI JENEWA 1951 DAN DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI

25 maka negara tersebut dapat menentukan status seseorang sebagai pengungsi.36 Dalam Pasal 1A ayat 2 Konvensi Jenewa 1951 memberikan definisi pengungsi sebagai berikut: “As a result