• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Pendidikan Pondok Pesantren al (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Manajemen Pendidikan Pondok Pesantren al (2)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al Qur’an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. oleh Malaikat Jibril melalui metode hafalan. Di mana dalam prosesnya, Malaikat Jibril membacakan ayat demi ayat kemudian Nabi menirukan dan mengulang-ulangnya. Dengan menggunakan metode hafalan ini juga, Nabi menjaga keaslian dan menyampaikan wahyu Allah pada umatnya. Hingga saat ini, menghafal al Qur’an bahkan telah menjadi budaya di kalangan umat Islam.

Pentingnya menghafal al Qur’an selain untuk menjaga keaslian al Qur’an juga mempunyai banyak faedah. Di antaranya adalah surga dan syafaat al Qur’an yang telah Allah janjikan. Oleh karena itu, banyak dari umat Islam baik laki-laki maupun perempuan berlomba-lomba untuk mendapatkan keistimewaan tersebut.

Dewasa ini, untuk menampung dan memenuhi kebutuhan masyarakat tentang budaya menghafal al Qur’an, banyak lembaga pendidikan Islam baik formal maupun non formal yang menyelenggarakan program tahfidzul qur’an.

Khususnya pondok pesantren al Qur’an yang secara distingsi menyediakan dan menyelenggrakan program tahfidzul qur’an juga mulai tersebar seantero nusantara. Salah satu pondok pesantren al Quran tersebut seperti Pesantren Tahmidy Ilmu Qiro’at (PTIQ) al Furqon yang terletak di Kecamatan Buring, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Pendidikan PTIQ al Furqon merupakan miniatur pesantren yang memfokuskan santri untuk menghafal al Quran dengan konsep yang sedikit berbeda dengan kebanyakan pesantren al Quran.

(2)

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dapat di ambil dari latar belakang di atas sebagai berikut:

1. Bagaimana profil singkat PTIQ al Furqon Malang?

2. Bagaimana manajemen kepemimpinan dan kelembagaan PTIQ al Furqon Malang?

3. Bagaimana manajemen kesiswaan/kesantrian dan kurikulum PTIQ al Furqon Malang?

4. Bagaimana manajemen pembelajaran dan pembiayaan PTIQ al Furqon Malang?

5. Bagaimana manajemen informasi dan komunikasi PTIQ al Furqon Malang?

C. Tujuan Penulisan

Melihat rumusan masalah di atas, dapat diketahui bahwa tujuan penulisan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui profil singkat PTIQ al Furqon Malang.

2. Untuk memahami dan mendeskripiskan manajemen kepemimpinan dan kelembagaan PTIQ al Furqon Malang.

3. Untuk memahami dan mendeskripsikan manajemen kesiswaan/kesantrian dan kurikulum PTIQ al Furqon Malang.

4. Untuk memahami dan mendeskripsikan manajemen pembelajaran dan pembiayaan PTIQ al Furqon Malang.

(3)

BAB II PEMBAHASAN

A. Profil PTIQ al Furqon

Banyak dan menjamurnya Pondok Pesantren al Qur’an yang ada di Indonesia memberikan gambaran positif akan tingginya kesadaran masyarakat untuk mempertahankan dan melestarikan nilai-nilai al Qur’an. Salah satunya adalah Pesantren Tahmidy Ilmu Qiro’at (PTIQ) al Furqon yang bertempat di Jl. Mayjen Sungkono VI Kecamatan Buring Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Pesantren Tahmidy Ilmu Qiro’at (PTIQ) al Furqon merupakan lembaga pendidikan non formal yang menitikberatkan pada pembelajaran serta penanaman nilai-nilai qur’ani dan pengajaran membaca serta menghafal Al-Qur’an yang berorientasi pada pembentukkan akhlak dan kepribadian Islamiyah. Pesantren al Qur’an yang menampung santri putera dan puteri tersebut menerapkan pendidikan yang agaknya berbeda dengan pendidikan di luar.

Berangkat dari keinginan masyarakat pada umumnya yang menginginkan anak setelah keluar dari sebuah lembaga atau pondok pesantren al Qur’an adalah bisa membaca, menghafal, dan menerapkan nilai-nilai al Qur’an dalam kehidupan sehari-harinya. PTIQ al Furqon berniat untuk bisa mewujudkan dan bahkan menjaga kesucian al Qur’an dari segala bentuk campur tangan. Oleh karena itu, pesantren al Qur’an yang pada tahun 2017 menampung 105 santri ini, melarang semua santrinya mengikuti pendidikan formal yang ada di luar pondok. Hal tersebut merupakan syarat utama yang harus dipenuhi wali santri dan santri yang akan menimba ilmu dalam PTIQ al Furqon. Tujuannya adalah supaya dalam proses menghafal al Qur’an, santri bisa lebih fokus.

(4)

Muhammad lahir, nur Muhammad ditempatkan ke dalamnya yang kemudian terbentuknya insan kamil.

“Akal yang diciptakan Allah kemudian digunakan dan dipraktekkan Nabi Muhammad, akal itu bersiap-siap untuk menerima wahyu dan iman kepada wahyu. Sehingga Nabi Muhammad pergi ke Gua Hiro dan lain-lain. Pendidikan yang diterima Nabi pertama kali oleh Allah adalah al Qur’an dan Nabi mendidik umatnya dengan al Qur’an pula. Selama al Qur’an belum selesai, Nabi melarang adanya penulisan hadits. Buktinya dengan Nabi berkata: man kataba anni syaian ghoiro al quran fal yamkuhu: barang siapa yang menuliskan dari saya selain al Qur’an maka hendaklah dihapus. Supaya al Qur’an tidak tercampur dengan hadits. Oleh karena itu, sesungguhnya cara mendidik anak sebelum dimasuki apa-apa, ini harus dimasuki al Qur’an terlebih dulu. Jangan sampai dimasuki hadits apalagi ilmu umum. Ini yang menjadi awal pendidikan PTIQ al Furqon. Bukan manajemen buatan manusia sekarang ini. Sedangkan, pendidikan pada umumnya sangat terbalik. Di mana anak dididik ilmu umum terlebih dulu seperti ditempatkan dalam SD, SMP, kalau sudah nakal baru ditempatkan di pondok.”1

Selain itu, pengasuh PTIQ al Furqon juga menjadikan surat al Baqoroh ayat 151 sebagai landasan:

ةةمةككححلكٱوة بةتةتكحلكٱ ممكمممللحعةيموة مككميكلحزةيموة انةتحيةتاءة مككميكلةعة ااولمتكية مككمنملح اللوسمرة مككميفح انةلكسةركأة امةكة

نةومملةعكتة ااونموكمتة مكلة املة مكمممللحعةيموة

Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (Q.S. al Baqoroh: 151). Setelah Nabi mengajarkan kitab yaitu al Quran, kemudian Nabi mengajarkan hikmah atau hadits baru setelah itu Nabi mengajarkan apa saja yang belum kamu ketahui yakni ilmu umum.

Abul Aliyyah Shilahul Hawa Amir juga menambahkan bahwa pentingnya pesantren al Qur’an ini didirikan adalah untuk membedakan makhluk sempurna Allah dengan makhluk lainnya. Akal yang diberikan Allah kepada manusia, baik laki-laki maupun perempuan hendaknya disirami dengan al Qur’an. Karena dengan itulah nur Muhammad akan tercermin.

(5)

“Harganya manusia bertempat pada akalnya. Misal, saya punya anak yang tidak punya akal atau dicabut kenikmatan akalnya, kemudian saya kasihkan kepada orang lain. Meskipun cuma-cuma jelas dia tidak mau. Tapi kalau saya punya kambing, saya kasihkan kambing itu pada orang lain, pasti mau-mau saja. Jika akal ini diisi dengan al Qur’an, otomatis akan barokah seperti al Quran, saya analogikan seperti satu kertas yang ditulisi ayat al Quran. Apabila kertas ini ditaruh disembarang tempat, maka yang meletakkan berdosa, kertasnya diinjak, maka yang menginjak dosa, sekalipun kertasnya tidak protes. Tapi, bandingkan jika kertas ini diberi tulisan umum. Koran misalnya. Diletakkan di mana saja, diinjak-injak, tidak masalah. Koran yang baru, terbitan hari ini, masih ada harganya. Tapi kalau sudah besok, atau koran seminggu lalu misalnya, sudah tidak ada harganya. Buat bungkus kacang, lombok, dll. Tidak ada harganya lagi. Beda dengan al Qur’an. Sampai kapanpun ila yaumil kiyamah, al Quran tetap sebagai kitab suci. Hal tersebut sama dengan anak. Jadi, anak kalau diisi dengan al Qur’an, maka anak ini akan sangat berharga”.2

B. Kepemimpinan dan Kelembagaan

Sudah menjadi pandangan umum bahwa pesantren lekat dengan figur kyai sebagai figur sentral, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan perubahan. Pertama, kepemimpinan yang tersentralisasi pada individu yang bersandar pada kharisma serta hubungan yang bersifat paternalistik.

Hal tersebut juga berlaku pada PTIQ al Furqon yang menganut model kepemimpinan sentral. Di mana semua kebijakan dan pengelolaan dalam pesantren berada sepenuhnya di tangan kyai sebagai pemimpin tunggal. Struktural kelembagaan dan peraturan yang pada umumnya diberlakukan dalam setiap organisasi atau lembaga pendidikan nyatanya tidak berlaku dalam pesantren al Qur’an tersebut.

2Ibid.

(6)

Bagi kyai, terdapat kewajiban moral dalam mengasuh pesantren al Qur’an, seperti halnya mensosialisasikan dan mengondisikan kegiatan-kegiatan pesantren yang mengarah pada penguasaan dan pendalaman al Qur’an.4 Abul Aliyyah Shilahul Hawa Amir berpendapat bahwa kegiatan pokok dan kewajiban yang paling urgent bagi kyai tersebut tidak akan berjalan dengan baik apabila hanya disibukkan dengan permasalahan pengurus dan hukuman-hukuman bagi pelanggar peraturan pesantren. Oleh karena itu, dihapuskannya struktur pengurus dan peraturan tertulis dalam PTIQ al Furqon dianggap sebagai jalan yang mendukung peran kyai sebagai orang tua kedua santri. Pada dasarnya, kyai tetaplah seorang yang diberi amanah untuk mendidik santri-santrinya.

“Struktur lembaga? pernah menggunakan struktur secara resmi. Ada pengurus dan lain-lain. Akhirnya, hanya sibuk ngurusi kepengurusan. Jadi pengasuh hanya disibukkan dengan pengurus dan tidak ngajar-ngajar. Jadi, saya hanya istiqomah ngajar al Qur’an. Saya kan ibarat petani yang dititipi wali santri sawah. Mereka meminta tolong kepada saya agar sawahnya ditanami padi. Berati, saya harus menanam padi dan juga harus memberikan hasil beras yang terbaik. Oleh karena itu, cara merawatnya harus benar dan maksimal”.5

Tidak adanya aturan tertulis yang diterapkan dalam PTIQ al Furqon awalnya dianggap sebagai hal yang mustahil. Pasalnya, peraturan dibuat dengan tujuan menertibkan dan mengorganisir supaya organisasi atau lembaga yang dijalankan bisa sesuai dengan jalur yang digariskan. Faktanya, dalam kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh santri putera/puteri PTIQ al Furqon tetap berjalan dengan baik. Bahkan, adanya kesadaran yang tinggi pada masing-masing santri untuk tidak melakukan hal-hal negatif yang dapat merusak hafalan al Qur’an mereka, merupakan gambaran bahwa penghapusan peraturan tertulis yang dilakukan pengasuh sudah tepat. Karena yang terpenting adalah melahirkan kesadaran diri yang tinggi, bukan hanya melahirkan peraturan tingkat tinggi. Kepercayaan pengasuh PTIQ al Furqon terhadap barokah al Qur’an menjadi dasar dihapusnya peraturan tertulis dalam pesantren.

4Mujamil Qomar, Dimensi Manajemen Pendidikan Islam (Jakarta: Emir, 2015), 170.

(7)

“Di pondok ini tidak ada peraturan yang mendesak. Karena saya percaya dengan barokah al Qur’an. Jadi, al Qur’an kalau dibaca dengan benar maka akan membarokahi yang membaca. Tapi jika dibaca dengan salah, maka akan melaknati pembaca. Jadi, penyebab anak menjadi rusak moralnya, bisa karena baca al Qur’annya tidak benar sehingga mendapat laknat al Qur’an. Jadi, sebelum membaca al Quran harus dibenahi dulu bacaannya”.6

Pada umumnya, pesantren al Qur’an didirikan oleh para kyai hufadz (penghafal al Qur’an) yang dahulu juga menjadi santri dalam mempelajari dan mendalami al Qur’an. Pengalaman dan pelajaran yang telah diterima dari pesantren dahulu tersebut rupanya berusaha dilestarikan dan diterapkan kepada santri-santrinya sekarang dengan mendirikan pesantren al Qur’an.7 Meskipun tidak sepenuhnya menerapkan sistem pendidikan yang diajarkan pada pesantren sebelumnya, pengasuh PTIQ al Furqon nyatanya juga mengadopsi dan menerapkan beberapa hal yang dianggap cocok untuk diterapkan dalam pesantren yang diasuhnya sekarang. Seperti halnya beberapa metode dan kaidah yang diterapkan di Ponpes Roudhotul Qur’an Singosari, Malang, juga dipakai dalam sistem pembelajaran PTIQ al Furqon.

C. Manajemen Kesiswaan/Kesantrian dan Kurikulum

Terkait dengan problem pendidikan pesantren dalam interaksinya dengan perubahan sosial akibat modernisasi ataupun globalisasi, biasanya kalangan internal pesantren sendiri sudah banyak melakukan pembenahan, mendirikan model pendidikan formal unggulan, seperti SD unggulan, SLTP atau SMU Plus, MAPK dan lain sebagainya yang dikembangkan pesantren secara kompetitif dalam menarik minat masyarakat. Di sana, terdapat semacam waranty atau jaminan keunggulan output (lulusan) yang siap bersaing dalam berbagai sektor kehidupan sosial. Pengembangan model pendidikan formal semacam ini telah menjadi trend di berbagai pesantren.8

6Ibid.

7Mujamil Qomar, Dimensi Manajemen...170.

(8)

Untuk dapat memainkan peran edukatif dalam penyediaan sumber

daya manusia yang berkualitas tersebut, pesantren seharusnya terus

meningkatkan mutu (quality improvement) sekaligus

memperbaharui model

pendidikannya. Sebab, model pendidikan pesantren yang

mendasarkan diri

pada sistem konvensional atau klasik tidak akan banyak cukup membentuk

dalam penyediaan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi

integratif baik dalam penguasaan pengetahuan agama, pengetahuan

umum, dan kecakapan teknologis. Padahal, ketiga elemen ini merupakan

pra syarat yang tidak bisa diabaikan untuk konteks perubahan

sosial akibat

modernisasi.9

Tipe ideal model pendidikan pondok pesantren yang banyak

dikembangkan saat ini adalah tipe integral antara sistem pendidikan klasik dan sistem pendidikan modern. Pengembangan

tipe ideal ini tidak

akan merubah total wajah dan keunikan sistem pendidikan pesantren

menjadi sebuah model pendidikn umum yang cenderung reduksionistik

terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam sistem pendidikan

(9)

pondok pesantren.10

Apabila kebanyakan pesantren dengan bermacam-macam background

berbondong-bondong mengubah model pendidikan agar sesuai dengan perubahan zaman, hal tersebut tidak untuk PTIQ al Furqon. Seperti halnya penerapan syarat penerimaan santri baru dalam pesantren tersebut adalah, calon santri bersedia untuk tidak mengikuti pendidikan formal yang ada di luar pesantren. Selain karena beberapa alasan yang telah dikemukakan di awal, banyaknya waktu dan konsentrasi santri yang seharusnya tidak terpecah karena harus fokus pada al Qur’an juga menjadi pertimbangan terbesar. Selain syarat tersebut, tidak ada syarat khusus seperti tes masuk, batas umur, dan kemampuan calon santri yang boleh mendaftar dalam pesantren.

Setelah terdaftar dalam pesantren, pengasuh akan menyimak bacaan al Qur’an dari masing-masing santri agar lebih mudah mengelompokkan ke dalam kelas/tingkatan. Adapun kegiatan santri PTIQ al Furqon pada umumnya adalah sebagai berikut:

1. Tahajud berjama’ah 2. Sholat subuh berjama’ah

3. Ngaji dhuha dan kuba bertempat di kelas masing-masing dengan mempelajari qiro’ah sab’ah bin nadhor

4. Kemudian setoran hafalan al Quran

5. Siap-siap belajar kitab kuning (nasikh mansukh, dll.) berlangsung hingga pukul 10.00 WIB.

6. Kegiatannya bebas. Tanam padi, membuat batako, kembala kambing, dll. (pekerjaan dilaksanakan 1-3 jam)

7. Dhuhur berjama’ah

8. Setelah itu belajar Bahasa Arab (mempelajari isinya al Qur’an) 9. Lalaran untuk persiapan setoran hafalan

10. Ashar berjama’ah

11. Pembelajaran kitab-kitab kaidah ‘Utsmani

(10)

12. Maghrib berjama’ah

13.Nderes/ngaji al Qur’an (halaqoh/simaan) 14. Berjama’ah Isya

15. Kemudian setoran hafalan sampai selesai.

Dalam pelaksaan kegiatan tersebut, pengasuh PTIQ al Furqon mengatakan bahwa “Tidak ada istilah istirahat. Jika kamu selesai ibadah wajib maka kerjakan ibadah sunnah. Jika kamu selesai ibadah sunnah kerjakan urusan dunia”.11 Oleh karena itu, pada kegiatan bebas yang dilakukan santri seperti tanam padi, membuat batako, kembala kambing, mencari rumput, dan lain sebagainya merupakan kegiatan yang tidak bersifat memaksa. Santri diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan sesuai yang diingkan dengan alokasi waktu 1-3 jam. Adapun semua lahan dan objek yang dikerjakan, hasil dan manfaat sepenuhnya kembali pada diri santri masing-masing.

Pendataan kualitas dan kuantitas hafalan santri dilakukan pada jam simaan yang diadakan setiap hari oleh teman santri lain yang kemudian dilaporkan dan divalidkan oleh pengasuh.

Kurikulum PTIQ al Furqon dibuat secara mandiri dan independen yakni langsung dari kyai. Pelaksanaan kurikulum dituangkan dalam proses pembelajaran santri pemula dan lanjutan. Bagi santri pemula, kitab yang menjadi acuan berjudul adzarii’atu ilaa kalaamillaahi ta’ala. Sedangkan bagi santri lanjutan menggunakan beberapa kitab seperti al Bayan riwayat Hafesh Thoriq Syathiby, Tarikh Mushohaf al ‘Utsmaniyah, Tarikh al Mushaf al Imam (kaidah rosem ‘utsmani) dan kitab tafsir, serta kitab Bahasa Arab lain untuk menunjang keilmuan santri. PTIQ al Furqon lebih menekankan bacaan al Qur’an dengan memakai kaidah ‘utsmani. Oleh karena itu, banyak dari kitab dan rujukan/risalah yang dipakai menggunakan rose ‘Utsmani. Sedangkan, santri lanjutan yang sudah bagus dalam bacaan al

(11)

Qur’annya, kemudian memulai menghafal juz 30. Setelah disetorkan pada pengasuh dan dianggap mampu untuk menghafal lebih banyak lagi, baru dilanjutkan pada surat al Baqoroh dan seterusnya hingga hatam 30 juz.

D. Manajemen Pembelajaran dan Pembiayaan

Dalam menghafalkan Al-Qur`an sebanyak 30 juz bukan merupakan suatu pekerjaan yang mudah. Semua pekerjaan atau program akan berjalan lancar dan berhasil dalam mencapai target yang telah ditetapkan, bergantung kepada pemilihan dan penerapan suatu metode.12 Setiap penghafal Al-Qur’an, tentunya menginginkan waktu yang cepat dan singkat, serta hafalannya menancap kuat di memori, hal tersebut dapat terlaksana apabila penghafal menggunakan metode yang tepat, rajin, dan istiqamah dalam menjalani prosesnya, walaupun cepatnya menghafal seseorang tidak terlepas dari otak atau IQ yang dimiliki.13

Mengingat hal tersebut, pengasuh PTIQ al Furqon juga tidak menetapkan waktu minimal atau maksimal bagi santrinya untuk menghafal al Qur’an. Berapapun waktu yang diperlukan untuk menghafal al Qur’an, baik dalam waktu singkat ataupun lama, kualitas penghafal itu sendiri yang menjadi patokan dalam menyelesaikan studi dalam pesantren.

Sistem pembelajaran yang dilakukan di PTIQ al Furqon yaitu dengan adanya halaqoh pengajian yang digunakan para santri untuk belajar al Qur’an, muroja’ah, ziadah, dan lain sebagainya. Pengasuh yang dibantu oleh beberapa ustadz terpercaya selain mengajarkan al Qur’an juga mengajarkan beberapa kitab yang berkenaan dengan al Qur’an seperti tafsir dan ilmu Bahasa Arab dengan menggunakan metode sorogan/wetonan. Pengajaran kitab-kitab tersebut digunakan untuk menunjang khazanah keilmuan santri penghafal al Qur’an. Pada prakteknya, pengajaran kitab-kitab penunjang dilakukan dalam kelas-kelas sesuai dengan angkatan masuk dalam pesantren. Namun, tidak adanya evaluasi khusus

12Ibid., 225.

(12)

dalam kitab kuning menjadi salah satu kekurangan yang dirasakan pengasuh PTIQ al Furqon.

Pada tingkatan pemula, langkah yang dilakukan dalam mendalami al Qur’an adalah sebagai berikut:14

1. Anak dikenalkan huruf hijaiyah (ejaan) sampai mereka hafal, sekalian mengenalkan macam-macam harokat.

2. Anak dikenalkan makhorijul huruf kemudian dilatih untuk mengeluarkan dan mengucapkan huruf-huruf tersebut dengan benar dan tepat secara berulang-ulang. Biasanya pada tahap kedua ini, membutuhkan waktu yang relatif lama. Cara mengeluarkan huruf hijaiyah dianggap paling urgent

dalam menentukan kualitas bacaan al Qur’an.

3. Anak dikenalkan sifat-sifat huruf yang lazimah seperti hames, jaher, syiddah, rikhwah, dan lain-lain. Kemudian dilatih untuk mempraktekkan huruf demi huruf dengan suara yang agak keras, dan dapat membedakan antara sifat satu dengan yang lain.

4. Anak dikenalkan sifat-sifat huruf yang ‘aridhoh seperti qoshor, mad, tafkhim, idzhar, dan lain-lain. Kemudian dilatih dengan baik untuk mengucapkan sifat-sifat tersebut, maksudnya kalimat demi kalimat dan ayat demi ayat.

5. Anak dituntun membaca surat pendek seperti al fatihah, an nas, al falaq, al ikhlas, dan lain-lain. Dengan cara, pengajar membaca satu ayat, dua ayat, kemudian anak membacanya berulang-ulang sampai mereka hafal. Pada hari berikutnya, anak-anak mengadakan ‘urdhoh (menampilakn bacaan yang telah dihafal) di muka pengajar.

6. Anak mulai silkah (nglalar) dari surat al Baqoroh hingga akhir/khatam dengan ‘urdhoh ¼ juz atau ½ juz, bergantung persiapan dan kecerdasan anak.

Beberapa metode yang digunakan dalam PTIQ al Furqon adalah pertama, metode tahfidz yakni cara menghafal ayat baru yang belum pernah dihafal. Di mana santri diperbolehkan menghafal sesuai dengan kemampuan dan ketajaman

(13)

hafalan masing-masing santri. Jika diambil rata-rata, baik santri putera atau puteri yang menghafal bisa menambah hafalan baru sebanyak 1 halaman hingga 6 halaman (3 lembar) per-harinya.

Kedua, metode takrir. Metode ini merupakan suatu metode untuk mengulang-ulang hafalan yang sudah diperdengarkan kepada instruktur. Metode takrir ini sangat penting diterapkan, karena menjaga hafalan merupakan suatu kegiatan yang sulit dan kadangkala terjadi kebosanan. Sangat dimungkinkan sekali suatu hafalan yang sudah baik dan lancar menjadi tidak lancar atau bahkan menjadi hilang sama sekali.15 Dalam pelaksaannya, PTIQ al Furqon juga menerapkan metode takrir yang dikemas dalam kegiatan simaan harian. Adanya simaan yang dilakukan setiap hari juga menjadi salah satu kegiatan wajib santri untuk memperbaiki kualitas hafalan.

Kegiatan simaan ini dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 3 orang santri (2 santri junior dan 1 santri senior). Setiap harinya, kelompok-kelompok kecil ini melakukan simaan di mana salah satu melakukan hafalan dan yang lain menyimak serta mencatat jumlah kesalahan selama proses takrir. Untuk lebih mudahnya, pembagian jadwal juz dalam simaan dibagi menjadi tiga ranah. Ranah 1 (juz 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10), ranah 2 (juz 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20), ranah 3 (juz 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30). Misalnya, hari pertama juz yang dijadikan bahan takrir adalah ranah 1 yakni juz 1,2, dan 3 maka hari ke dua loncat pada ranah 2 yakni juz 11, 12, dan 13. Hari ke tiga masuk pada ranah 3 yaitu juz 21, 22, dan 23. Hari ke empat kembali pada ranah 1 namun diteruskan pada juz 4, 5, 6, dan begitu seterusnya sampai habis 30 juz.

Ketiga, yakni metode kitabah. Di mana santri dianjurkan untuk bisa menulis ayat-ayat yang telah dihafalkannya dengan benar. Pada metode ini, PTIQ al Furqon menerapkan dengan kondisional. Pengasuh bisa sewaktu-waktu menerapkan metode ini pada santri. Caranya yakni, ketika santri menyetorkan hafalan baru pada kyai, santri harus siap apabila sewaktu-waktu diperintahkan untuk menulis hafalannya dalam kertas.

(14)

Pada proses evaluasi, ini dilakukan setiap hari pada kegiatan simaan. Tolok ukurnya adalah banyaknya kesalahan bacaan atau hafalan yang dilakukan. Semakin banyak kesalahan yang dilakukan, menunjukkan bahwa kualitas hafalan santri tersebut kurang bagus dan harus dilakukan perbaikan-perbaikan kembali. Begitupun sebaliknya, apabila kesalahan hafalan yang dilakukan sedikit bahkan tidak ada sama sekali, mengindikasi bahwa kualitas hafalan santri sudah bagus. Pada tahap evaluasi akhir, kyai sendiri yang akan menilai hafalan santri-santrinya mulai dari juz 1-30.

Demikianlah manajemen pembelajaran yang diterapkan di PTIQ al Furqon. Adapun pembiayan atau manajemen keuangan yang dapat diketahui adalah bersumber dari kontribusi santri dalam bentuk pembayaran syahriyah

(bulanan) santri sebesar Rp 300.000 yang dialokasikan untuk uang makan dan kebutuhan sehari-hari santri. Uang administrasi dan jariyah bangunan yang biasanya dijadikan persyaratan masuk dalam pesantren tidak ditentukan nominal dan jumlahnya. Pengasuh hanya memberikan instruksi ‘seikhlasnya’ bagi siapapun yang ingin menyuntikkan dana pada PTIQ al Furqon.

Selain pembayaran syahriyah, sumber dana lain bisa berasal dari hasil sawah, penjualan batako, dan kegiatan bebas lainnya yang dilakukan oleh santri.

E. Manajemen Informasi dan Komunikasi

Pengembangan pesantren dalam hal memanfaatka teknologi informasi dan komunikasi seharusnya menjadi hal yang mendapat perhatian khusus. Berbagai fasilitas yang ada pada zaman modern ini juga bisa dijadikan sebagai bahan dan sumber penyebar maupun pencari informasi yang dibutuhkan.

(15)

Penyebaran informasi terkait pesantren kepada masyarakat umum juga tidak dilakukan dengan menggunakan website atau brosur seperti halnya pesantren pada umumnya. PTIQ al Furqon hanya mengandalkan getok tular dalam istilah jawa dengan alasan bahwa semakin banyak santri yang datang menimba ilmu, maka semakin berat pula amanah yang pengasuh emban. Karena bagaimanapun, santri yang berdomisili di sana adalah tanggungjawab pengasuh yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah swt.16

Adapun penerapan lainnya seperti penyimpanan data santri dan penyusunan buku ajar dilakukan di kediaman pengasuh melalui satu komputer milik pribadi. Selain itu, fasilitas telpon rumah juga disediakan khusus untuk alat komunikasi antara wali santri dan santri yang bersangkutan.

(16)

BAB III PENUTUP

A. Simpulan

Di bawah ini merupakan simpulan yang dapat diambil dalam penulisan makalah adalah:

1. Pesantren Tahmidy Ilmu Qiro’at (PTIQ) al Furqon yang bertempat di Jl. Mayjen Sungkono VI Kecamatan Buring Kabupaten Malang, Jawa Timur merupakan lembaga pendidikan non formal yang menitikberatkan pada pembelajaran serta penanaman nilai-nilai qur’ani dan pengajaran membaca serta menghafal Al-Qur’an yang berorientasi pada pembentukkan akhlak dan kepribadian Islamiyah.

2. Pesantren Tahmidy Ilmu Qiro’at (PTIQ) al Furqon dalam manajemen kepemimpinan dan kelembagaan menganut sistem otoritatif dan sentral serta tidak diberlakukannya struktur kelembagaan dalam mengatur pesantren tersebut.

(17)

4. Manajemen pembelajaran dilakukan oleh pengasuh dan beberapa ustadz terpercaya yang membimbing santri melalui beberapa metode seperti tahfidz, takrir, dan kitabah. Sedangkan pembiayaan dalam PTIQ al Furqon didapat dari pembayaran syahriyah santri serta hasil dari kegiatan bebas santri.

5. Manajemen informasi dan komunikasi tidak sepenuhnya berbasis IT. Namun, lebih mengedapankan pada kepercayaan dan presepsi masyarakat sekitar dalam penyebaran informasi terkait pesantren.

B. Implikasi

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Alh, Nasokah, dan Ahmad Khoiri. “Pembelajaran Tahfidzul Qur’an Pondok Pesantren Ulumul Qur’an Kalibeber Wonosobo”, Jurnal Al-Qalam Vol.XIII.

Hawa, Abul Aliyah Shilahul. Pengantar Membaca al Qur’an dengan Tepat dan Benar, Malang: PTIQ, 2015.

httpabcd.unsiq.ac.idsourceLP3MPBJurnalAl%20QalamDesember%20201415.pdf

Maksum. Pola pembelajaran di pesantren, Jakarta: Departemen Agama RI, 2003.

Masyhud, Sulthon. dkk. Manajemen pondok pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2003.

Qomar, Mujamil. Dimensi Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta: Emir, 2015.

Turmudi, Endang. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan,

Yogyakarta: LkiS, 2004.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini tentu saja menjadikan Apotek Tridadi farma dituntut akan peningkatan kualitas pelayanan yang diberikan sekarang ini menjadi lebih baik lagi, tidak hanya sekedar

Pada penelitian ini membuat program aplikasi yang telah dibuat yaitu sebuah sistem informasi penilaian siswa yang berbasis komputerisasi dan berjalan dengan teknik stand alone (PC)

Selanjutnya apabila user akan melakukan perubahan data pada hasil inputan Ujian Sertipikat Penilai, maka klik hasil entrian data tersebut dan akan muncul gambar

Kelompok pertama terdiri dari 9 kecamatan dengan sembilan variabel yang berpengaruh signifikan terhadap jumlah kasus TB yaitu persentase penduduk yang berusia ≥ 65

Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 86 Tahun 2017 tentang tata cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah

Hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara minat belajar terhadap hasil belajar kimia siswa kelas XI IPA SMA Mataram

banyak orang yang mau terjun langsung untuk mengikuti pelayanan.. gerejani.Hal ini tidak terjadi dalam proses pendampingan di gereja. Meskipun demikianpendamping PIA

Model pendukung keputusan ini akan menguraikan masalah multi factor atau multi kriteria menjadi suatu bentuk hirarki,Dari hasil pengujian tersebut rengking dan