• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP DAN PRINSIP DASAR KEKUASAAN DALAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP DAN PRINSIP DASAR KEKUASAAN DALAM"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP DAN PRINSIP DASAR KEKUASAAN DALAM POLITIK ISLAM

Rendra Khaldun1

Abstraksi

Piagam atau konstitusi Madinah dijadikan acuan oleh Nabi Muhammad SAW dalam memimpin masyarakat Madinah. Dengan adanya konstitusi Madinah, maka Nabi Muhammad SAW tidak mengalami kesulitan untuk memadukan misinya sebagai pemimpin moral dan agama dengan amanat yang diterimanya dari masyarakat untuk menduduki kepemimpinan politik.

Berbagai penafsiran oleh para ahli politik Islam tentang Piagam Madinah menjadi embrio dan diskusi yang hangat tentang bentuk ideal sebuah model kekuasaan dalam Islam. Persoalan politik, terutama konsepsi tentang negara dan pemerintahan telah menimbulkan diskusi panjang dan kontroversi di kalangan pemikir muslim dan memunculkan perbedaan pandangan yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaan tidak hanya terhenti pada tataran teoritis konseptual tetapi juga memasuki wilayah politik praktis sehingga acapkali membawa pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Tulisan ini berusaha untuk mengkaji relasi antara agama, politik dan kekuasaan dalam Islam. Bagaimana relasi agama dan negara dalam Islam, dasar dan prinsip politik Islam serta pembagian kekuasaan menurut para pemikir politik Islam.

Keyword: Politik Islam, Kekuasaan, Konsep, Islam.

Hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah merupakan sebuah momentum bagi kecemerlangan perjalanan Islam pada masa selanjutnya. Dalam waktu yang relatif singkat Rasulullah telah berhasil membina jalinan persaudaraan antara kaum Muhajirin sebagai imigran-imigran Makkah dengan kaum Ansar yang merupakan penduduk asli Madinah. Di Madinah beliau mendirikan Masjid, membuat perjanjian kerjasama dengan non muslim, serta meletakkan dasar-dasar politik, sosial dan ekonomi bagi masyarakat baru tersebut dan merupakan suatu fenomena yang menakjubkan ahli-ahli sejarah dahulu dan masa kini.2

1 Dosen Tetap Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram

(2)

Masyarakat muslim Madinah yang berhasil dibentuk Rasulullah oleh sebagian intelektual muslim masa kini disebut dengan negara kota (city state). Lalu, dengan dukungan kabilah-kabilah dari seluruh penjuru jazirah Arab yang masuk Islam, maka muncullah kemudian sosok negara bangsa (nation state). Walaupun sejak awal Islam tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana bentuk dan konsep negara yang dikehendaki, namun suatu kenyataan bahwa Islam adalah agama yang mengandung prinsip-prinsip dasar kehidupan termasuk politik dan negara. Pada waktu Nabi di Madinah inilah beliau menduduki posisi sebagai pemimpin yang bisa disebut sebagai negara dan di situ Nabi dipercaya sebagai pemimpinnya dan karenanya Nabi bisa disebut sebagai kepala Negara.3 Akan tetapi kedudukan itu diperolehnya bukan lantaran ada perintah langsung dari wahyu. Tidak ada perintah langsung dari wahyu yang memerintahkan beliau untuk mendirikan organisasi kekuasaan atau negara. Setelah melihat tidak adanya ayat-ayat yang secara tegas mewajibkan pada Muhammad SAW untuk membentuk pemerintahan, Ali Abd al-Raziq, seorang ulama al-Azhar permulaan abad kedua puluh berpendapat bahwa pembentukan pemerintahan tidaklah masuk dalam tugas yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad.4

Kedudukan politik itu diamanatkan kepada Nabi disamping karena ketinggian moralnya juga karena beliau pada dasarnya selalu memelihara empat sifat yang dimilikinya yakni sidiq (jujur atau memiliki integritas atau integrity),

amanat (menjunjung tinggi tanggung jawab yang dimanatkan atau accuntability),

tabligh (menjunjung tinggi keterbukaan atau transparency) dan fathanah

3Munawir Sjadzali menyebutkan bahwa batu-batu dasar yang telah diletakkan oleh Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah adalah : 1) semua pemeluk Islam, meskipun berasal dari banyak suku , tetapi merupakan satu komunitas. 2) hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara anggota komunitas Islam dengan anggota komunitaskomunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip (a) bertetangga baik (b) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama (c) membela mereka yang teraniaya (d) saling menasihati; dan (e) menghormati kebebasan beragama. Selanjutnya Munawir menambahkan bahwa Piagam Madinah, yang oleh banyak pakar politik didakwakan sebagai konstitusi negara Isam yang pertama itu, tidak menyebut agama negara. Untuk lebih jelasnya lihat Munawir Syadzali, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta . UI Press, 1990),h.15-16

(3)

(memiliki kecerdasan dan kemampuan atau capability). Kedudukan itu diterima Nabi berdasarkan ijtihad beliau pada waktu itu.

Sadar bahwa posisinya sebagai kepala negara atau pemimpin politik mau tidak mau akan menyeret beliau melakukan tindakan-tindakan tegas maka beliau merasa perlu membuat kesepakatan bersama, dimana kesepakan itu nantinya akan dijadikan aturan main dalam mengelola negara atau pemerintahan. Aturan main yang pada dasarnya merupakan kontrak sosial ini dikenal dengan sebutan mitsaq Madinah atau konstitusi Madinah. Konstitusi Madinah pada dasarnya merupakan kesepakan bersama yang dibuat oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat guna membangun tatanan pemerintahan yang adil dengan tanpa membedakan suku, ras, golongan atau agama.5

Piagam atau konstitusi Madinah inilah yang kemudian dijadikan acuan oleh Nabi Muhammad SAW dalam memimpin masyarakat Madinah. Dengan adanya konstitusi Madinah ini, maka Nabi Muhammad SAW tidak mengalami kesulitan untuk memadukan misinya sebagai pemimpin moral dan agama dengan amanat yang diterimanya dari masyarakat untuk menduduki kepemimpinan politik.6

Akan tetapi apa yang dilakukan oleh Nabi di Madinah bukanlah merupakan representasi sebagai seorang kepala negara melainkan berposisi sebagai seorang Nabi yang menyampaikan risalah ilahiyah, maka peran utama beliau adalah mengajak menegakkan syari’at. namun tampilnya Nabi dalam kedudukan demikian mempunyai implikasi politis karena telah menjadikan mereka yang tinggal di jazirah Arab satu umat yang tunduk pada satu pemerintahan. Artinya, kalau dulu kabilah yang dijadikan dasar kesatuan politik, kini dasar itu adalah umat. Pada saat Nabi dipercaya untuk memimpin umat, dibuatlah asas atau prinsip umum sebagai landasan berdirinya negara baru berikut

5 Menurut analisis Watt, Nabi Muhammad bukan hanya sebagai seorang Nabi bahkan beliau juga merupakan seorang kepala negara. Untuk lebih jelasnya lihat W. Montgomery Watt,

Muhammad Prophet and Statesman menyatakan bahwa Muhammad SAW bukan hanya nabi tapi juga kepala negara (negarawan)

(4)

perundang-undangannya (qawanin). Oleh karena itu pemerintahan Rasul sampai batas tertentu adalah pemerintahan agama. Pemerintahan ini bersandar pada keyakinan masyarakat bahwa aturan atau prilaku Nabi dibimbing wahyu dari Allah dan atas dasar perintah-Nya. Jadi pemerintahan ini didasarkan atas adanya ikatan agama yang menggantikan ikatan kabilah. Inilah yang menjadikan beberapa kabilah mau tunduk dan bergabung dalam satu panji. Akan tetapi disamping itu dijumpai adanya atribut-atribut pemerintahan politik yang melekat pada tangan Nabi, semacam memimpin militer, memutus persengketaan dan menarik harta. Selanjutnya dalam neyelesaikan persoalan-persoalan yang tidak disingung oleh wahyu, kedudukan Nabi seperti syaikhul kabilah akan bermusyawarah dan minta pendapat tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar.7

Persoalan politik, terutama konsepsi tentang negara dan pemerintahan telah menimbulkan diskusi panjang dan kontroversi di kalangan pemikir muslim dan memunculkan perbedaan pandangan yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaan tidak hanya terhenti pada tataran teoritis konseptual tetapi juga memasuki wilayah politik praktis sehingga acapkali membawa pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam.8 Tulisan ini berusaha untuk mengkaji relasi antara agama, politik dan kekuasaan dalam Islam. Bagaimana relasi agama dan negara dalam Islam, dasar dan prinsip politik Islam serta pembagian kekuasaan menurut para pemikir politik Islam.

Hubungan Antara Agama dan Negara dalam Islam

Secara garis besar para teoretisi politik Islam merumuskan teori-teori tentang hubungan agama dan negara serta membedakannya menjadi tiga paradigma yaitu Paradigma Integralistik, Paradigma Simbiotik, dan Paradigma Sekularistik.9 Pertama, Paradigma Integralistik. Paradigma ini menerangkan bahwa agama dan negara menyatu (integrated), negara merupakan lembaga

7 Nurrohman, Politik Islam antara Cita dan Realita dalam Jurnal Al-Qurba, 2 (1):14-30, 2011, h. 21

8Said Agil Husin al-Munawar, “Fikih Siyasah dalam Konteks Perubahan Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Ilmu Sosial Keagamaan, Vol. 1, No. 1, Juni 1999, h. 17.

(5)

politik dan keagamaan sekaligus, politik atau negara ada dalam wilayah agama. Karena agama dan negara menyatu maka ini berakibat masyarakat tidak bisa membedakan mana aturan negara dan mana aturan agama, karena itu rakyat yang menaati segala ketentuan dan peraturan negara dalam paradigma ini dianggap taat kepada agama, begitu juga sebaliknya. Karena rakyat tidak dapat melakukan kontrol terhadap penguasa yang selalu berlindung dibalik agama maka otoritarianisme dan kesewenang-wenangan oleh penguasa tentu saja sangat potensial terjadi dalam negara dengan model seperti ini. Kepala negara merupakan “penjelmaan” dari Tuhan yang meniscayakan ketundukan mutlak tanpa ada alternatif yang lain. Atas nama “Tuhan” penguasa bisa berbuat apa saja dan menabukan perlawanan rakyat.10 Secara singkat dapat dikatakan bahwa inti landasan teologis paradigma pertama ini adalah keyakinan akan watak holistik Islam. Premis keagamaan ini dipandang sebagai petunjuk bahwa Islam menyediakan ajaran yang lengkap mengenai semua aspek kehidupan. Bahkan, sudut pandang khusus ini menjadi basis utama pemahaman bahwa Islam tidak mengakui pemisahan antara agama dan negara, antara yang transendental dan yang profan11

Kedua, Paradigma Simbiotik. Paradigma ini berpandangan bahwa agama dan negara berhubungan secara mutualistik, yaitu berhubungan timbal balik dan saling membutuhkan-menguntungkan. Dalam kaitan ini, agama membutuhkan negara. Sebab, melalui negara, agama dapat berbiak dengan baik. Hukum-hukum agama juga dapat ditegakkan melalui kekuasaan negara. Begitu juga sebaliknya, Negara memerlukan kehadiran agama, karena hanya dengan agama suatu negara dapat berjalan dalam sinaran etik-moral.12

Ketiga, Paradigma Sekularistik. Paradigma ini memisahkan agama atas negara dan memisahkan negara dari agama. Dengan pengertian ini secara tidak langsung akan menjelaskan bahwa paradigma ini menolak kedua paradigma

10 Dalam terminologi Islam hal ini dikenal dengan nama din wa dawlah. Untuk lebih jelasnya lihat Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam, dalam Jurnal Ulumul Qur`an, Nomor 2, Vol. IV, tahun 1992, h. 4-7.

11Lihat Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, h. 57. Bandingkan dengan Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 1

(6)

sebelumnya. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam pada bentuk negara tertentu.13

Namaun saat ini pemikiran tentang politik Islam mengenai pemerintahan, paling tidak mengerucut kedalam tiga kelompok besar. Pertama, Kelompok konservatif. Mereka berpendapat bahwa Islam adalah entitas yang serba lengkap (perfect), seluruh umatnya hanya tinggal mempraktekkan secara konsekuen dan bertanggungjawab, kapan dan dimanapun mereka berada. Sistem pemerintahan dan politik yang digariskan Islam tak lain hanya sistem yang pernah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan empat al-Khulafā’ ur-rasyidīn.

Kelompok ini secara spesifik terbagi lagi kedalam dua aliran yakni tradisionalisme dan fundamentalisme. Kalangan tradisionalis adalah mereka yang tetap ingin mempertahankan tradisi pemerintahan ala Nabi dan keempat khalifah, dan tokoh sentral dari kalangan ini adalah Muhammad Rasyid Ridha. Kalangan fundamentalis adalah mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial, sistem pemerintahan dan negara untuk kembali kepada konsep Islam secara total dan menolak konsep selainnya, dan Abu al-A’la al-Maududi adalah salah satu tokoh utamanya. Kedua, Kelompok Modernis. Kelompok ini memandang bahwa Islam mengatur masalah keduniaan (termasuk pemerintahan dan negara) hanya pada tataran nilai dan dasar-dasarnya saja dan secara teknis umat bisa mengambil sistem lain yang dirasa bernilai dan bermanfaat. Diantara tokoh kelompok ini adalah Muhammad Abduh, Muhammad Husain Haikal dan Muhammad Asad.

Ketiga, Kelompok Sekuler. Yang memisahkan Islam dengan urusan pemerintahan, karena mereka berkeyakinan bahwa Islam tidak mengatur masalah keduniawian termasuk pemerintahan dan negara. Tokoh aliran ini yang paling terkenal dan bersuara lantang adalah Ali ‘Abd ar-Raziq.14

Prinsip dan Dasar Kekuasaan Dalam Politik Islam

13Ibid., h. 28.

(7)

Sedangkan untuk masalah dasar dan prinsip politik Islam para pemikir Islam kontemporer merumuskan beberapa prinsip dan dasar politik Islam. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip dasar dalam uraian ini adalah dasar-dasar atau asas-asas kebenaran fundamental, petunjuk peraturan moral yang terkandung dalam suatau ajaran yang dijadikan sebagai landasan berpikir, bertindak, dan bertingkah laku manusia dalam mengelola suatu negara. Al-Maududi, Jamal al-Banna, Abdul Qadir Audah, M. Husein Haikal, Yusuf Musa, Abdul Rahman Abdul Kadir Kurdi, Mohamed S. Elwa mengemukakan beberapa prinsip dan dasar politik Islam antara lain:

Pertama, kedaulatan, yakni kekuasaan itu merupakan amanah. Kedaulatan yang mutlak dan legal adalah milik Allah. Kepercayaan itulah yang merupakan satu-satunya titik awal dari filsafat politik dalam Islam. Kedaulatan mutlak dalam pandangan Jamal al-Banna dikenal dengan termninologi keimanan, menurutnya, iman adalah prinsip dasar Islam yang pertama dan utama bagi pengelolaan hidup bermasyarakat dan bernegara.15 Pendapat senada juga disampaikan oleh Husain Haikal, dengan istilah yang berbeda, yaitu tauhid16.

Kedua, prinsip keadilan. Salah satu ciri khas kehidupan Islami dan masyarakat muslim adalah ditegakkannya keadilan. keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang asasi dan menjadi pilar bagi berbagai aspek kehidupan, baik kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat. Keadilan adalah memberikan sesuatu kepada setiap anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperoleh tanpa diminta; tidak bersifat berat sebelah, atau tidak memihak kepada salah satu pihak; mengetahui hak dan kewajiban serta megerti mana yang benar dan mana yang salah, bertindak jujur dan tepat menurut peraturan yang diterapkan. Keadilan tersebut tidak mungkin terealisasi jika tidak ada suatu sistem atau lembaga yang menegakkannya. Keadilan yang dimaksud adalah keadilan ekonomi dan keadilan dalam hukum, Keadilan dalam menentukan kebijakan, dan

15Jamal Al-Banna, Al-Ushul al-Fikriyyah lid- Daulah, al-Islamiya. (Kairo: Dār Thabā’ah al-Hadītsah, 1979), h. 9

(8)

keadilan dalam perlindungan anak.17 Ketika sebuah negara mampu menciptakan keadilan akan dapat menciptakan suatu negara ideal tanpa adanya penindasan dan eksploitasi, sehingga rakyat merasa mulia dan terhormat.

Ketiga, syura dan ijma’ yakni mengambil keputusan di dalam semua urusan kemasyarakatan dilakukan melalui konsensus dan konsultasi dengan semua pihak yakni rakyat melalui pemilihan secara adil, jujur, dan amanah. Syuro merupakan sebuah sistem permusyawaratan yang digunakan Nabi dalam setiap proses pengambilan keputusan mengenai urusan-urusan publik. Di luar urusan wahyu dari Allah swt, nabi Muhammad dikenal tidak pernah mengambil keputusan apa pun juga kecuali melalui musyawarah dengan sesama para sahabat. Bahkan, untuk urusan-urusan yang penting dan menyangkut kepentingan orang banyak dan masyarakat yang luas, Rasulullah selalu mengundang tokoh-tokoh sahabat yang berasal dari kabilah, suku, atau pun kalangan-kalangan yang bersangkutan untuk diajak bermusyawarah.

Mengapa permusyawaratan dianggap sangat penting dalam sistem sosial Islam? Alasan konseptualnya jelas, karena Islam sangat menekankan kedudukan setiap manusia sebagai pribadi yang otonom, yang masing-masing orang per orang diberi predikat sebagai ‘khalifah’ Allah di atas muka bumi. Berbeda dari pengertian ‘khalifah rasul’, ‘khalifah Allah’ adalah konsep tentang seluruh umat manusia yang dipandang sebagai khalifah atau pengganti Tuhan untuk mengolah dan mengelola kehidupan di atas muka bumi. Dengan status yang sama sebagai khalifah Tuhan, maka setiap manusia bersifat otonom, berkesamaan dan bersifat egaliter. Oleh sebab itu, dalam proses pengambilan keputusan untuk kepentingan yang sama, semua orang harus diperlakukan sama (equal treatment), tidak boleh ada diskriminasi atas dasar ras dan kesukuan. Bahkan, diskriminasi juga dilarang atas dasar perbedaan jenis kelamin maupun perbedaan keyakinan beragama.18

17Hendra Meygautama, “Legislasi Hukum Islam Melalui Mekanisme Syura”, ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Vol II No. II. 2009, h. 110. Bandingkan dengan Muhammad Alim, Asas-Asas Negara Hukum Modern. (Jokyakarta: LKIS, 2010), h. 316.

(9)

Ketiga, semua warga negara dijamin hak-hak pokok tertentu. Beberapa hak warga negara yang perlu dilindungi adalah: jaminan terhadap keamanan pribadi, harga diri dan harta benda, kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat dan berkumpul, hak untuk mendapatkan pelayanan hukum secara adil tanpa diskriminasi, hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, pelayanan medis dan kesehatan, serta keamanan untuk melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi.19

Keempat, hak-hak negara. Semua warga negara, meskipun yang oposan atau yang bertentangan pendapat dengan pemerintah sekalipun, mesti tunduk kepada otoritas negara yaitu kepada hukum-hukum dan peraturan negara.

Kelima, hak-hak khusus dan batasan-batasan bagi warga negara yang non-Muslim memiliki hak-hak sipil yang sama. Karena negara ketika itu adalah negara ideologis, maka tokoh-tokoh pengambilan keputusan yang memiliki posisi kepemimpinan dan otoritas (ulu al-amr), mereka harus sanggup menjunjung tinggi syari’ah. Dalam sejarah politik Islam, prinsip dan kerangka kerja konstitusional pemerintahan seperti ini, terungkap dalam Konstitusi Madinah atau “Piagam Madinah” pada era kepemimpinan Rasulullah di Madinah, yang mengayomi masyarakat yang plural.

Keenam,ikhtilaf dan konsensus yang menentukan. Perbedaan-perbedaan pendapat diselesaikan berdasarkan keputusan dari suara mayoritas yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat. Prinsip mengambil keputusan menurut suara mayoritas ini sangat penting untuk mencapai tujuan bersama.

Ketujuh, Istilah syar’iyyah adalah paduan dari dua kata Asy-Syar’u dan

Asy-Syarī’ah yang merupakan salah satu prinsip utama negara Islam. Menurut Jamal al-Banna, Syar’iyyah meliputi beberapa hal: Pertama, Undang-undang atau hukum yang diberlakukan tidak berlandaskan atas suatu keinginan pribadi, penguasa, kehendak sewenang-wenang dari lembaga yudikatif, atau hanya menguntungkan salah satu kelompok masyarakat. Undang-undang dikeluarkan harus berdasarkan al-Qur’an dan Sunah Nabi yang shahih atau yang mengandung atau sejalan dengan nilai-nilai dari keduanya. Kedua, dalam syariat Islam, suatu

(10)

undang-undang tidak hanya diilhami dari al-Qur’an dan Sunah nabi, namun juga didasari oleh realita dan prinsip-prinsip keadilan seperti apa yang difirmankan Allah dalam kitab-kitab yang diturunkan kepada rasul-rasul -Nya. Sejarah mencatat kitab-kitab tersebut adalah buku petunjuk yang paling berharga bagi kehidupan manusia. Ketiga, Syar’iyyah adalah hukum tertinggi dalam suatu masyarakat. Penerapan undang-undang diberlakukan kepada seluruh masyarakat tanpa pandang bulu atau pilih kasih kepada siapapun, bahkan kepada seorang nabi sekalipun yang diperintahkan untuk menjalankan hukum seperti apa yang telah ditetapkan oleh Allah Swt.20

Prinsip-prinsip politik tersebut mengejawantah pada periode Negara Madinah era kepemimpinan Rasulullah. Dalam Piagam Madinah, digalang suatu perjanjian untuk menetapkan persamaan hak dan kewajiban semua komunitas dalam kehidupan sosial politik. Muatan piagam ini menggambarkan hubungan antara Islam dan ketatanegaraan dan undang-undang yang diletakkan oleh Nabi SAW, untuk menata kehidupan sosial-politik masyarakat Madinah. Dengan mengetahui dan mempelajari tentang politik Islam, dimana semua prinsip-prinsip yang terkandung telah dilaksanakan oleh Rasulullah SAW, maka sepatutnya kita juga mengikuti alur dari prinsip-prinsip politik Islam sehingga segala persoalan politik negara di era globalisasi tidak menjadi kacau dan dapat terlaksana dengan baik.21

Pembagian Kekuasaan Dalam Perspektif Islam

Dari hasil penelitian Zainuddin Maliki, agama dengan simbol-simbol yang yang dilahirkannya seringkali diambil oleh para pemegang kekuasaan sebagai sumber legitimasi.22 Menurutnya tingkat persebaran dan kemampuan agama memberi makna serta signifikansi terhadap kehidupan dunia yang profan menjadi sesuatu yang berarti secara transendental menyebabkan agama memiliki tingkat

20Hasan Al-Banna, Al-Ushul… h. 56

21Efrinaldi, Fiqh Siyasah Dasar-Dasar Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Granada Press, 2007).

(11)

efektifitas legitimasi yang begitu tinggi dan dapat dikelola sebagai sumber daya politik yang efektif. 23

Karenanya dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Apalagi jika kekuasaan itu di warnai dengan paham teokrasi yang menggunakan prinsip kedaulatan Tuhan, maka kekuasaan Raja semakin absolute dan tak terbantahkan sebagaimana yang telah tergoreskan dalam sejarah peradaban Mesir, Yunani dan Romawi kuno, peradaban China, India, hingga peradaban Eropa.24 Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan.

Prinsip pemisahan/pembagian kekuasaan merupakan asas perlawanan yang bersandar dari sistem pemerintahan demokrasi. Prinsip ini memandang perlunya memberikan jaminan kebebasan/al-hurriyah serta menghapus kediktatoran dan kesewenang-wenangan/al-istibdad. Maksudnya, prinsip ini memberikan kekuasaan Negara kepada beberapa lembaga yang berbeda dan independent tanpa memusatkan kekuasaan pada satu tangan atau lembaga.

Pemikir politik Islam pada zaman kontemporer yang banyak menyumbangkan pemikiran dalam kajian kekuasaan yudikatif adalah Abul A la‟

al-Maududi, menurutnya kekuasaan negara dilakukan oleh tiga lembaga atau badan legislatif,25 eksekutif26 dan yudikatif, dengan ketentuan bahwa badan

yudikatif atau lembaga peradilan itu sepenuhnya berada di luar lembaga eksekutif

23 Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, Makna Agama di tangan Elit Penguasa, (Jogjakarta: Pustaka Marwa, 2004) h. 3.

24M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlurrahman, (Jogjakarta: UII Press, 2006) h. 35-42

25Ada beberapa hal yang membedakan antara kekuasaan eksekutif dalam Islam dan dewan eksekutif dalam sistem demokrasi khususnya di indonesia yakni: Struktur legislatif terdiri dari Majlis al Syuri al Islami (dewan legislasi), Majlis Fuqaha (Dewan yuris), dan Majlis al-Khubara (dewan Profesional), untuk lebih jelasnya tentang jenis legislasi dalam Islam lihat Abdulrahman Abdul Kadir Kurdi, Tatanan Sosial Islam Studi Berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 153

26Untuk peran dan fungsi dari lembaga eksekutif dalam Islam lihat Abdul Kadir Kurdi,

(12)

yang berarti mandiri, objektif dan profesional, oleh karena hakim tugasnya adalah melaksanakan hukum-hukum Allah atas hamba-hamba-Nya, bukan mewakili atau atasnama kepala negara (eksekutif). 27

Dalam sidang pengadilan menurut Maududi, kedudukan kepala negara adalah sama tinggi dengan orang-orang lain dan tidak dapat dibenarkan pemberian dispensasi kepada seseorang untuk tidak hadir pada sidang pengadilan hanya karena kedudukannya dalam pemerintahan atau dalam masyarakat. Dari sini terlihat jelas bahwa prinsip equality among the law benar-benar diterapkan oleh Maududi dimana antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif keduanya sama, termasuk apabila aparat eksekutif melanggar hukum, maka proses penerapan hukumnya sama di mata hukum dan hakim sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif bebas mandiri tanpa intervensi pihak manapun sehingga penegakan hukum dapat berjalan tanpa tebang pilih dan pandang bulu.28

Selanjutnya Maududi juga secara tegas memaparkan bahwa dalam Islam, badan yudikatif harus bebas sama sekali dari badan eksekutif. Tugas seorang hakim dalam pandangan Maududi ialah melaksanakan dan memaksakan syariat Allah di kalangan abdi-Nya. Dia bukanlah menduduki jabatan pengadilan itu dalam kapasitas wakil khalifah atau amir (pemimpin), melainkan sebagai wakil Allah Yang Mahakuasa. Kedudukan seorang hakim di sini sangat jelas bahwa sosok seorang hakim menurut Maududi bukan hanya sebagai pelaksana kekuasaan yudikatif yang bebas, mandiri dan profesional, melainkan lebih dari itu hakim mempunyai hak sepenuhnya untuk melaksanakan hukum Allah terhadap khalifah. Hukum yang dimaksud bukan hanya hukum yang terkodifikasi dalam bentuk undang-undang, tetapi lebih dari itu adalah hukum yang bersumber dari al-Quran dan Hadits.29

Dari pandangan Maududi tersebut, nampaknya terdapat kejanggalan dalam memandang konsep kekuasaan yudikatif. Maududi yang kita kenal sangat kental dengan pemikiran Islam, karena latar belakang beliau yang dibesarkan dalam lingkungan Islam yang taat, dan pembinaan yang beliau terima sepanjang hidup

27Abul A’la al-Maududi, Political Theory of Islam, (Lahore 1939), h.60.

28Ibid

(13)

sehingga terbentuklah karakter seorang Abul A’la al-Maududi yang anti Barat. Maududi sangat gigih memperjuangkan syariat Islam sehingga pendapat beliau tentang kekuasaan yudikatif benar-benar jelas dan terperinci. Hukum yang ditegakkan adalah hukum Islam yang bersumber dari nash. Hakim adalah sebagai wakil Allah yang menjalankan hukum nash.

Akan tetapi, penulis mencermati bahwa konsep Maududi tentang kekuasaan negara yang dilakukan oleh badan eksekutif, legislatif dan yudikatif merupakan konsep Trias Politica yang pada dasarnya berasal dari Barat, yang secara keras ditolak oleh Maududi. Sebenarnya, baik dalam ajaran maupun sejarah Islam tidaklah terdapat gagasan Trias Politica, Maududi menjanjikan sistem politik Islam yang paripurna tanpa harus melihat kepada sistem Barat. Tetapi, ketika sampai kepada persoalan pembagian kekuasaan Negara, beliau masih menganut sistem Barat dengan konsep Trias Politica dan belum memberikan konsep alternatif yang benar-benar bersumber dari nash.

Selain Ibnu Taimiyah yang mewakili pemikir politik Islam zaman klasik dan pertengahan, dan Abul Ala al-Maududi yang muncul sebagai pemikir Islam kontemporer, sekarang penulis akan memaparkan pemikir Islam kontemporer sebagai pelengkap dari para pemikir sebelumnya. Adalah Abd al-Wahhab Khallaf seorang pakar hukum Islam pada fakultas hukum Universitas Kairo di Mesir, sejauh ini kita mengenal Prof. Abd al-Wahhab Khallaf sebagai ahli dalam bidang hukum Islam terutama kajian ushul al-Fiqh (dasar-dasar hukum Islam) bukan yang lain. Akan tetapi, disanalah uniknya, ternyata Prof. Abd al-Wahhab Khallaf juga banyak mengamati persoalan hukum tata negara Islam dan aliran politik Islam. Hal itu dapat dilihat dalam bukunya berjudul Al-Siyasah al-Syar’iyyah, beliau membahas dasar-dasar politik dan pemerintahan dalam perspektif Islam. Pembahasan beliau dalam buku tersebut banyak berkaitan dengan upaya pelaksanaan prinsip-prinsip syariat Islam dan kemaslahatan umat. Artinya, untuk melaksanakan dua aspek ini dari segi siyasah syar’iyah memerlukan adanya lembaga sebagai instrument pelaksanaannya, yaitu pemerintahan.30

(14)

Menurut Khallaf, pembagian kekuasaan adalah sebuah keniscayaan, sebagai konsekuensi dari pemerintahan konstitusional yang bersendikan musyawarah. Kewenangan kepala negara berasal dari rakyat dan adanya pertanggung jawaban kepala negara. Lebih lanjut Khallaf menegaskan bahwa kekuasaan negara dapat didelegasikan kepada, kekuasaan membuat undang-undang (al-sulthat at-tasyri iyat ), kekuasaan peradilan atau kekuasaan kehakiman sulthat al-qadhaiyat), dan kekuasaan melaksanakan undang-undang (al-sulthat al-tanfiziyat) masing-masing istilah dapat diidentikkan dengan istilah kekuasaan legislatif, eksekutif dan kekuasaan yudikatif.31

Dari ketiga pemikiran para ahli tersebut di atas, konsep kekuasaan yudikatif dalam pemikiran politik Islam lebih mengena pada pemikiran Abd al-Wahhab Khallaf. Alasannya, Ibnu Taimiyah dan Abul A’la al-Maududi sama-sama berpendapat bahwa kekuasaan negara dibagi dalam tiga aspek, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan kekuasaan yudikatif, hal itu sejalan dengan pendapat Abd al-Wahhab Khallaf. Tetapi, dalam penerapan hukum yang dilakukan seorang hakim sebagai pelaksana badan yudikatif, Ibnu Taimiyah tidak secara spesifik menjelaskan, hanya sebatas penerapan hukum pidana dan hukum muamalah saja, sementara Abul A’la al-Maududi lebih berani menyatakan bahwa penerapan hukum tidak boleh pandang bulu dan tebang pilih, prinsip persamaan di muka hukum harus ditegakkan tanpa terkecuali. Hukum yang dimaksudkan beliau adalah hukum Allah yang bersumber dari nash. Akan tetapi argumentasi Maududi dimentahkan dengan kiprah beliau yang anti Barat, dan fanatik pada syariat Islam, sedangkan pendapat beliau tentang Trias Politica sangat bertentangan dengan tindak tanduk beliau.

Mengamati dua pendapat pemikir politik Islam tersebut, nampaknya pemikiran Abd al-Wahhab Khallaf lebih mudah diterima dan dipahami,

(15)

kendatipun Khallaf tidak terperinci memaparkan konsep pembagian kekuasaan dalam negara, tetapi istilah yang ditawarkan beliau sejalan dengan konsep Trias Politica. Khallaf tidak serta merta menjadikan al-Qur’an dam hadits sebagai referensi utama pelaku kekuasaan yudikatif (kehakiman) yaitu hakim. Namun demikian, Khallaf juga memberikan tawaran bijaksana bahwa ijtihad masih terbuka lebar dan menjadi sumber hukum bagi penguasa, sepanjang tidak bertentangan dengan nash dan kemaslahatan rakyat.

Pembagian Kekuasaan dalam Teori Politik Modern (Sebuah Perbandingan) 1) Prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam teori politik

kenegaraan (konstitusional).

a. Pemisahanatau pembagian Kekuasaan Menurut John Locke

John Locke, ketika masa pemerintahan parlementer/al-hukumah an-niyabiyah dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurutnya agar pemerintah tidak sewenang-wenang, maka harus ada pembagian pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam tiga macam kekuasaan-kekuasaan,yaitu:

1. Kekuasaan Legislatif/Sulthah Tasyri'iyah (membuat undang-undang) 2. Kekuasaan Eksekutif/Sulthah Tanfidziyah (melaksanakan undang-undang) 3. Kekuasaaan Federatif/Sulthah Ittihadiyah atau Ta'ahudiyah (melakukan

(16)

Pendapat John Locke inilah yang mendasari munculnya teori pembagian kekuasaan sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut) dalam suatu negara.

b. Pemisahan atau pembagian Kekuasaan Menurut Montesquieu

Menurut Montesquieu dengan teorinya trias politica yang tercantum dalam bukunya “L’esprit des Lois” selaras dengan pikiran John Locke, membagi kekuasaan dalam tiga cabang :

1. Kekuasaan Legislatif sebagai pembuat undang-undang 2. Kekuasaan Eksekutif sebagai pelaksana UU

3. Kekuasaan Yudikatif yang bertugas menghakimi.

Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan Negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive function), dan yudisial (the judicial function).32

Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:

1. Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.

2. Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.

3. Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima.

c. Pemisahan Kekuasaan Menurut Rousseau

(17)

Menurut Rousseau filsuf kelahiran Geneva/jenewa abad 18, kekuasaan terbatas pada eksekutif yang merupakan hak rakyat semata. Dan kekuasaan ini tidak di lakukan kecuali hasil kesepakatan rakyat. Adapun legislatif menurutnya hanyalah penengah dan perantara rakyat dengan kekuasaan eksekutif yang menetapkan undang-undang dan tunduk sepenunya pada kekuasaan eksekutif yang merupakan representasi dari keinginan umum rakyat. Dia juga setuju dengan adanya kekuasaan yudikatif.

Dan dari pemikirannya ini, sebagian ahli hukum berpendapatbahwa Rousseau bukanlah pendukung gagasan pemisahan kekuasaan Negara, karena kekuasaan menurutnya hanya pada rakyat yang sekaligus bertindak sebagai eksekutor. Dan legislative hanyalah perantara belaka.33

Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari kekuasaan-kekuasaan itu antara lain: .

Cabang kekuasaan legislatif: 1. Fungsi Pengaturan (legislasi)

Fungsi legislasi ini menyangkut 4 kegiatan:

a. Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation); b. Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);

c. Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval);

d. Pemberian persetujuan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hokum yang mengikat lainnya (binding decision making on international agreement treaties or other legal binding documents).34

2. Fungsi Pengawasan (control)

33Fuad Muhammad An-Naadi, An-nuzum as-siyasiyah, (Libanon: Darl al Fikr, tt), h.205.

(18)

Fungsi-fungsi control atau pengawasan oleh parlemen sebagai berikut: a. Pengawasan terhadap penentuan kebijakan (control of policy making); b. Pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan (control of policy executing); c. Pengawasan terhadap penganggaran dan pembelanjaan Negara (control of

budgeting)

d. Pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran dan belanja Negara (control of budget implementations);

e. Pengawasan terhadap kinerja pemerintahan (control of government performances);

f. Pengawasan terhadap pengangkatan pejabat public (control of political appointment of public officials).35

3. Fungsi perwakilan (representation)

Ada 3 (tiga) system perwakilan yang di praktikkan di berbagai Negara demokrasi, ketiga fungsi itu adalah :36

a. System perwakilan politik (political representation);

b. System perwakilan territorial (territorial or regional representation); c. System perwakilan fungsional (functional representation).

Cabang Kekuasaan Yudikatif terdiri dari : 1. Kedudukan kekuasaan kehakiman

Dalam kegiatan bernegara, kedudukan hakim pada pokoknya bersifat sangat khusus. Dalam hubungan kepentingan yang bersifat triadik (triadic relation) antara Negara (state), pasar (market), dan masyarakat madani (civil society), kedudukan hakim haruslah berada di tengah. Demikian pula dalam hubungan antara negara (state) dan warga negara (citizens), hakim juga harus berada di antara keduanya secara seimbang. Jika Negara dirugikan oleh warga negara, karena warga Negara melanggar hukum negara, maka hakim harus

35 Ibid, h. 36.

(19)

memutuskan hal itu dengan adil. Jika warga negara dirugikan oleh keputusan-keputusan negara, baik melalui perkara tatausaha negara maupun perkara pengujian peraturan, hakim juga harus memutusnya dengan adil. Jika antarwarga negara sendiri atau pun dengan lembaga-lembaga negara terlibat sengketa kepentingan perdata satu sama lain, maka hakim atas nama Negara juga harus memutusnya dengan seadil-adilnya pula.

Oleh karena itu, hakim dan kekuasaan kehakiman memang harus ditempatkan sebagai cabang kekuasaan yang tersendiri. Oleh sebab itu, salah satu ciri yang dianggap penting dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen dan tidak berpihak (independent and impartial). Apapun sistim hukum yang dipakai dan sistim pemerintahan yang dianut, pelaksanaan the principles of independence and impartiality of the judiciary haruslah benar-benar dijamin di setiap negara demokrasi konstitusional (constitutional democracy).37

Lembaga peradilan tumbuh dalam sejarah umat manusia dimulai dari bentuk dan sistimnya yang sederhana. Lama-lama bentuk dan sistim peradilan berkembang menjadi semakin kompleks dan modern. Oleh karena itu, seperti dikemukakan oleh Djokosoetono38 ada empat tahap dan sekaligus empat macam rechtspraak yang dikenal dalam sejarah, yaitu:

a. Rechtspraak naar ongeschreven recht (hukum adat), yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti pengadilan adat; b. Rechtspraak naar precedenten, yaitu pengadilan yang didasarkan atas prinsip

presedent atau putusan-putusan hakim yang terdahulu, seperti yang dipraktikkan di Inggris;

c. Rechtspraak naar rechtsboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas kitab-kitab hukum, seperti dalam praktik dengan pengadilan agama (Islam) yang menggunakan kompendium atau kitab-kitab ulama ahlussunnah wal-jama’ah atau kitab-kitab ulama syi’ah; dan

37 Ibid, h. 47-48.

(20)

d. Rechtspraak naar wetboeken, yaitu pengadilan yang didasarkan atas ketentuan undang-undang atau pun kitab undang-undang. Pengadilan demikian ini merupakan penjelmaan dari paham hukum positif atau moderne wetgeving yang mengutamakan peraturan perundang-undangan yang bersifat tertulis (schreven wetgeving).

Pelembagaan Kekuasaan

Hubungan antara negara dan kekuasaan sama sekali tidak dapat dipisahkan. Negara merupakan lembaga yang mempunyai kekuasaan tertinggi, dan dengan kekuasaan itu pula negara melakukan pengaturan terhadap masyarakatnya. Dalam kaitan ini Arief menyatakan bahwa kekuasaan negara yang sedemikian besar akibat negara merupakan pelembagaan dari kepentingan umum . Sejumlah teoritisi juga menyatakan bahwa negara berhak serta mempunyai kekuasaan penuh terhadap masyarakatnya. Hal ini, misalnya, diwakili oleh pandangan Plato dan Aristoteles, agama Kristen (yang diwakili oleh institusi gerejanya), Grotius dan Hobbes, serta Hegel.

Dalam berbagai analisis terhadap pemikiran para teoritisi tersebut, seringkali, muncul suatu tendensi untuk melakukan kecaman. Thomas Hobbes seringkali dikecam karena pandangan-pandangannya yang ekstrem dalam mendudukkan negara untuk mendapatkan otoritas tertinggi. Bahkan Hobbes sendiri menyatakan secara tegas bahwa ketakutan yang diciptakan oleh kekuasaan (negara) akan menjadikan penguasaan semakin efektif. Sebab, dengan cara demikian, masyarakat yang diliputi oleh berbagai ketakutan secara otomatis bergerak bagaikan jarum jam. Di sinilah Hobbes mendambakan negara sebagaimana layaknya Leviathan. Namun, pandangan Hobbes yang sangat ekstrem itu haruslah diketahui konteks kelahirannya. Karena, apabila membaca pikiran-pikiran Hobbes sama sekali tercerabut dari peristiwa yang mendahuluinya, akan melahirkan berbagai penilaian yang sangat a-historis.39

Demikian juga pendapat Hegel mengenai negara integral yang seolah-olah bersifat totaliter serta mengungkung masyarakat tanpa memberikan ruang gerak

(21)

sedikit pun. Bayangan Hegel mengenai keberadaan negara adalah suatu lembaga kekuasaan yang rasional. Dalam lembaga negara tersebut haruslah didukung oleh aparat-aparat yang bersih, terutama dari tindak korupsi. Bahkan, dalam pandangan Hegel, negara menjadi sarana bagi masyarakat untuk menemukan kebebasannya yang hakiki. Maka negara menjadi institusi yang menuntun masyarakat ke arah kesempurnaan sejarah. Negara mempunyai kedudukan sebagai roh obyektif yang mampu mewadahi roh-roh subyektif dalam masyarakat. 40

Kalau teori negara Hegelian ini kemudian diterapkan secara fasistik oleh Hitler, barangkali inilah salah satu strategi penguasaan di mana filsafat dijadikan ideologi pembenaran. Bukankah Hegel yang secara brilian mengajarkan persoalan dialektika sejarah, yang intinya justru pada pandangan yang bersifat negativisme, yakni selalu mempertanyakan keadaan yang serba mapan? Demikian juga pandangan negara integralistik Soepomo yang secara dominan dipengaruhi oleh Hegelianisme, sehingga memunculkan pandangan manunggaling kawula-Gusti

(menyatunya Tuan-hamba). Agaknya Soepomo memadukan secara eklektik antara filsafat negara Hegel dengan pandangan kekuasaan Jawa yang sangat feodalistis.

Konklusi yang dapat dipahami dari berbagai pandangan teoritisi yang memposisikan negara sebagai lembaga kekuasaan tertinggi adalah bahwa negara dipandang selalu dapat bertindak netral. Negara secara inheren di dalam dirinya mempunyai tujuan-tujuan baik bagi masyarakat, serta tidak mungkin akan merugikan kehidupan warganya. Inilah pandangan teori Negara Organis. Hal serupa juga ditunjukkan oleh Teori Marxisme-Leninisme di mana negara merupakan perwujudan dari diktatur proletariat. Dalam kondisi ini, negara berfungsi sebagai perealisasi dari masyarakat yang egaliterian untuk menuju sebuah akhir sejarah, yaitu masyarakat komunisme yang tanpa kelas. Artinya adalah kemutlakan negara sangat dibutuhkan pada saat berlangsungnya peralihan dari sosalisme ke komunisme. Apabila masyarakat yang sama-rata sama-rasa sudah tercipta, maka lembaga negara tidak lagi diperlukan.

(22)

Namun dalam proses selanjutnya, justru acapkali negara menjadi lembaga yang sangat otonom serta sama sekali telah mengabaikan berbagai kepentingan masyarakatnya. Negara bahkan selalu difungsikan sebagai alat serta mesin pembenar bagi aparatusnya untuk melakukan represi. Maka, hubungan negara dengan masyarakat tidak selalu dalam kondisi yang harmonis dan saling mengisi. Justru antara negara dan masyarakat berdiri dalam posisi yang saling berlawanan. Relasi yang tercipta adalah keinginan untuk saling menundukkan. Karena, negara tidak lagi menjadi “kendaraan” bagi masyarakat untuk mencapai proses progresivitas sejarah pada titik kemuliaan. Namun, justru sebagai lembaga kekuasaan yang menciptakan relasi-relasi konfliktual.

Tipologi Kekuasaan Dalam Islam

Perbincangan tentang pengelolaan kekuasaan atau politik dalam hubungannya dengan agama (religio-political power) telah banyak dilakukan terutama setelah abad pertengahan. Secara garis besar setidaknya saat ini konsep tentang pengeloaan kekuasaan dibagi menjadi dua tipologi yakni yakni tipologi konsep organik dan tipologi konsep sekuler.

Tipologi kekuasaan agama organik, adalah mereka yang mengklaim perlunya penyatuan agama dan kekuasaan karena jangkauan agama meliputi seluruh aspek kehidupan, sedangkan tipologi kekuasaan agama sekuler, mereka cenderung mengklaim perlunya pemisahan antara agama dan kekuasaan antara lain untuk tujuan menjaga kesempurnaan dan kemurnian agama.

(23)

representasi, tetapi merupakan presentasi dari agama itu sendiri. Sayyid Qutb dan al Maududi menjadi tokoh kunci dalam tipologi jenis ini.

Klaim yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara agama dan politik dalam Islam berakar dari tradisi pemikiran skriptualistik, idealistik, dan formalistik dalam memahami teks-teks keagamaan. Pemikiran skriptualistik lebih menekankan terhadap makna agama secara tekstual. Dalam memahami kekuasaan dalam Islam, kelompok ini cenderung berangkat dari asumsi ascending of power, yakni legitimasi penguasa harus berasal dari Tuhan, dan dengan demikian penguasa tidak lain adalah representasi dari kekuasaanNya yang nantinya memunculkan apa yang dikenal dengan nama pemerintahan teokratis

Sedangkan varian pemikiran idealistik cenderung melakukan idealisasi terhadap sistem pemerintahan dengan menawarkan nilai-nilai Islam ideal. Biasanya varian jenis ini bercorak filosofis dan ahistoris. Kaum idealistik dalam memahami penyelenggaraan politik pemerintahan cenderung menolak format kenegaraan yang ada, dan tidak sesuai dengan pemerintahan yang ideal menurut mereka. Sementara itu varian formalistik lebih mengedepankan bentuk (body) daripada isi (mind). Dalam hal penyelenggaraan pemerintahan, negara dipandang sebagai simbol agama, sehingga perlu politik yang islami dengan cara membentuk negara Islam atau partai Islam.

Sementara itu dalam pengelolaan kekuasaan yang berbentuk sekuler, penguasa tidak akan mengambil bentuk simbol-simbol keagamaan dalam kehidupan publik. Demikian juga seorang penguasa tidak akan merasa berkewajiban untuk mengakomodasi kepentingan dan tutntutan kelompok-kelompok keagamaan. Sebaliknya, penguasa akan merumuskan sejumlah aturan-aturan, mulai dari yang bersifat fleksibel hingga restriktif.

(24)

atau pemerintahan Islam, tetapi nilai spiritualistik, etik, dan moral yang dipesankan Islam harus menjadi prioritas. Pemikiran rasionalistik ini menggunakan asumsi ascending of power yakni legitimasi kekuasaan bersumber dari rakyat.

Klaim pemisahan agama ini juga berasal dari tradisi pemahaman realistik yang cenderung meligitimasi kekuasaan yang ada atau melakukan koreksi lewat pemberian isyarat pesan moral dalam format kenegaraan yang tengah berlangsung. Sementara itu, jenis tradisi pemikiran substansialisme lebih mengedepankan isi daripada bentuk, yang dalam penyelenggaraan kekuasaan lebih mengedepankan pengembangan ide, etika, dan nilai-nilai keagamaan daripada formalisasi ajaran-ajaran agama.

Kesimpulan

Relasi antara agama dan politik misalnya secara garis besar para teoretisi politik Islam merumuskan teori-teori tentang hubungan agama dan negara serta membedakannya menjadi tiga paradigma yaitu Paradigma Integralistik, Paradigma Simbiotik, dan Paradigma Sekularistik.Paradigma Integralistik. Berpendapat bahwa agama dan negara menyatu (integrated), negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus, politik atau negara ada dalam wilayah agama. Paradigma Simbiotik berpandangan bahwa agama dan negara berhubungan secara mutualistik, yaitu adanya hubungan timbal balik dan saling membutuhkan-menguntungkan. Paradigma Sekularistik yang memisahkan agama atas negara dan memisahkan negara dari agama.

(25)
(26)

BIBLIOGRAPHY

Abdul Rahman Abdul Kadir Kurdi, Tatanan Sosial Islam Studi Berdasarkan al-Qur’an dan Hadits, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000)

Ali Abd al-Raziq, Khilafah dan Pemerintahan dalam Islam, (Bandung, Pustaka, 1985).

Abul A’la al-Maududi, Political Theory of Islam, (Lahore: 1939).

Alimuddin, Kekuasaan Yudikatif dalam Pemikiran Politik Islam, makalah, tidak dipublikasikan, tt.

Din Syamsuddin, Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam, dalam Jurnal Ulumul Qur`an, Nomor 2, Vol. IV, tahun 1992. Efrinaldi, Fiqh Siyasah Dasar-Dasar Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Granada

Press, 2007).

Jamal Al-Banna, Al-Ushul al-Fikriyyah lid- Daulah, al-Islamiya. (Kairo: Dār Thaba’ah al-Haditsah, 1979)

Marzuki Wahid & Rumaidi, “Fiqh Madzhab Negara” Kritik Atas Politik Hukum Islam Di Indonesia (Yogyakarta: LkiS, 2001)

W. Montgomery Watt, Muhammad Prophet and Statesman, (Oxford: Oxford University Press, 1961)

(27)

Jimly Asshiddiqie, Islam dan Tradisi Negara Konstitutional, Makalah, Disampaikan sebagai Keynote Speech dalam Seminar Indonesia-Malaysia yang diselenggarakan oleh UIN/IAIN Padang, 7 Oktober 2010.

M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlurrahman, (Jogjakarta: UII Press, 2006)

Masykuri Abdilah, Gagasan dan Tradisi Bernegara dalam Islam: Sebuah Perspektif Sejarah dan Demokrasi Modern, Tashwirul Afkar, No. 7, Th. 2000.

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1981).

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta . UI Press, 1990)

Muhammad Alim, Asas-Asas Negara Hukum Modern. (Jokyakarta: LKIS, 2010)

Musdah Mulia, Negara Islam; Pemikiran Politik Husain Haikal. (Jakarta: Paramadina.: 2001)

Nurrohman, Politik Islam antara Cita dan Realita dalam Jurnal Al-Qurba, 2 (1):14-30, 2011

Said Agil Husin al-Munawar, “Fikih Siyasah dalam Konteks Perubahan Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Ilmu Sosial Keagamaan, Vol. 1, No. 1, Juni 1999.

Subhi Mahmassani, Arkan Huquq al-Insan, (Haiderabad: Darl al-Maktabah, 1986).

(28)

Referensi

Dokumen terkait

Survei pendahuluan di Puskesmas Mergangsan membuktikan bahwa dari populasi sebanyak 120 bayi usia 12-24 bulan, terdapat 9 kasus bayi gizi kurang, 4 kasus bayi gizi buruk, 3

Intensitas Serangan Kutu Kebul pada Daun Kedelai yang Diaplikasi dengan Insektisida Nabati Bengkuang, Mimba, dan Tembakau.. Perlakuan Intensitas

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa secara umum perlakuan uap etanol memberikan pengaruh nyata dalam memperlambat perubahan warna, mempertahankan

Hasil penelitian, dengan manajemen laba sebagai variable moderasi diperoleh Tangibility, Size, Growth, Liquidity, Komisaris independen, Institutional Ownership dan

Membran mikrofilter memiliki ukuran diameter poros antara 0,22 – 0,45 µm (Baker, 2000) Penelitian ini bertujuan mencari kondisi operasi optimum untuk variabel temperatur

Pada Gambar 9.2 ditunjukan hasil dari percobaan library yang menampilkan hasil fungsi index dengan menggunakan class view. Apabila pada salah satu menu di klik maka akan

Pembimbing penulisan skripsi saudara Kasnawati NIM : 40400109058, mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar setelah dengan

Artinya, untuk produk Nutrilon Royal sebesar 94,00 % dari perubahan volume penjualan dapat dijelaskan oleh perubahan variabel harga jual produk, sedangkan sisanya