• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFLIK INTERNAL DAN PELEMBAGAAN PARTAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONFLIK INTERNAL DAN PELEMBAGAAN PARTAI"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Konflik Internal dan Pelembagaan Partai Politik

Zulpandi

Mahasiswa S2 Jurusan Politik Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Email : zulpandi@mail.ugm.ac.id

(Dimuat dalam Opini Riau Pos, 13 Mei 2015)

Pasca dinamika politik nasional yang melelahkan selama tahun 2014 yang lalu, setiap

partai politik (parpol) di Indonesia mulai disibukkan dengan agenda internalnya

masing-masing. Pesta demokrasi internal seperti kongres, muktamar dan munas menghiasi wajah

politik kepartaian di Indonesia akhir-akhir ini. Parpol di Indonesia silih berganti

melaksanakan agenda tersebut demi menyonsong dan mempersiapkan parpolnya pada

pemilihan umum tahun 2019 mendatang. Segala bentuk evaluasi dari perjuangan pada tahun

2014 yang lalu menjadi refleksi parpol untuk perbaikan kedepan. Namun ditengah proses

evaluasi dan konsolidasi menuju perbaikan tersebut, hal penting yang menarik untuk kita

lihat dari perhelatan demokrasi internal tersebut adalah terkait dengan maraknya konflik

horizontal yang terjadi didalam tubuh parpol di Indonesia.

Dalam wajah politik kepartaian di Indonesia saat ini, kita dapat melihat fenomena

konflik internal yang dihadapi oleh sejumlah parpol. Konflik yang berawal dari persaingan

dalam merebut puncak kepemimpinan dalam parpol tersebut menjadi isu hangat dalam

pembacaan politik nasional. Jabatan ketua umum yang menjadi rebutan dalam konflik

tersebut memiliki nilai tawar yang sangat penting karena dapat menentukan arah kebijakan

partai. Utamanya dalam menentukan arah koalisi parpol yang menjadi ranah pertarungan

politik baru pasca pemilu dilaksanakan. Hal ini dapat kita lihat seperti yang terjadi di internal

Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dimana saat ini

kedua partai tersebut terbagi menjadi dua kubu yang memiliki kepengurusan masing-masing.

(2)

Menurut Ramlan Surbakti (2010) konflik adalah sebuah gejala sosial yang selalu ada

dalam setiap lapisan masyarakat, yang berarti konflik tidak dapat dihilangkan. Namun, jika

konflik dibiarkan berkembang tanpa kendali justru dapat merusak masyarakat dan negara,

sehingga harus diambil tindakan nyata yang mampu menyelesaikan konflik sehingga tidak

timbul dampak negatif dari konflik. Pada dasarnya konflik dan parpol adalah dua elemen

yang lazim. Hal ini terkait dengan salah satu fungsi parpol sebagai sarana pengatur konflik

(conflict management). Sejatinya dalam Negara heterogen yang menganut paham demokrasi,

persaingan dan perbedaan pendapat yang mengundang konflik lumrah terjadi. Oleh sebab itu

peran parpol sebagai penguhung psikologis dan organisasional masyarakat sangat

dibutuhkan. Namun kondisi saat ini menunjukkan hal sebaliknya, parpol tidak lagi mampu

menjadi katalisator konflik tetapi kemudian justru menjadi pemantik konflik dengan adanya

konflik dalam internal parpol itu sendiri.

Pecahnya konflik internal seperti yang dialami Partai Golkar dan PPP menunjukkan

kegagalan parpol tersebut dalam menjalankan fungsi sebagai pengatur konflik, yang terjadi

justru sebagai penyulut konflik. Konflik yang dialami oleh kedua partai itu, setidaknya

menghasilkan beberapa dampak buruk yang mempengaruhi gerak langkah parpol tersebut.

Pertama, terganggunya kinerja anggota legislatif. Kader parpol yang saat ini sedang

menduduki kursi legislatif akan sulit bekerja karena dampak domino dari konflik tersebut

juga berimbas pada perpecahan kekuatan fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kedua,

terganggunya konsentrasi parpol dalam menghadapi pilkada. Seperti yang kita ketahui

bersama bahwa dalam waktu dekat, akan diadakan serangkaian pilkada serentak di Indonesia.

Dengan adanya konflik internal tersebut, konsentari parpol dalam upaya menguasai ranah

lokal akan terhambat dengan adanya konflik internal. Bahkan dengan adanya dualisme

kepengurusan parpol akan semakin mempersulit jalannya demokrasi electoral di tingkat lokak

(3)

konsekuensi logis dari perilaku parpol terhadap persepsi masyarakat. Tindakan buruk yang

tercermin dari gerak langkah parpol ini tentu akan semakin memperburuk citra publik

terhadap parpol. Tingkat kepercayaan publik terhadap parpol ataupun elit parpol akan hilang.

Tentu ini sangat merugikan bagi parpol, karena akan kehilangan konstituennya.

Pentingnya Pelembagaan Parpol

Konflik internal parpol yang berujung pada terpecahnya partai menjadi dua kubu

menunjukkan kegagalan parpol dalam proses pelembagaannya. Menurut Vicky Randall dan

Lars Svasand (2002), sebagai sebuah organisasi yang memiliki aturan dan tujuan formal,

parpol dapat terlihat melembaga dengan baik jika parpol tersebut mapan dalam hal pola-pola

perilaku, sikap, dan budaya secara terintegrasi. Pelembagaan parpol yang baik merupakan

prasyarat utama agar internal parpol bisa berjalan stabil. Seperti yang pernah diungkapkan

Huntington pada tahun 1969 yang lalu, bahwa pelembagaan parpol sebagai proses dimana

sebuah partai/ organisasi dan prosedur memperoleh nilai dan derajat stabilitas.

Dengan mengacu pada definisi tersebut, maka dapat kita baca bahwa pecahnya konflik

internal seperti yang dialami Partai Golkar dan PPP tersebut adalah bentuk kelengahan dari

internal partai untuk mengawal proses pelembagaannya. Meskipun kedua parpol ini

tergabung dalam parpol tertua di Indonesia, namun dapat kita lihat bahwa pelembagaannya

masih belum berjalan dengan baik. Parpol yang pelembagaannya baik tentu akan mampu

mengelola perbedaan pendapat sehingga tidak terjadi perpecahan didalam tubuh parpolnya.

Mengingat pentingnya pelembagaan parpol sebagai upaya perbaikan politik kepartaian

di Indonesia, setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh parpol saat ini.

Seperti diungkapkan oleh Vicky Randall dan Lars Svasand (2002) dalam “Party

Institutionalization in New Democracies”, ada 4 (empat) aspek yang harus diperbaiki oleh

parpol, diantaranya adalah : Pertama, Kesisteman (Systemness), yaitu pelaksanaan

(4)

disepakati dan ditetapkan oleh partai politik baik formal maupun nonformal. Pelembagaan

parpol akan baik jika dalam menjalankan fungsinya sesuai dengan aturan yang ada dan

hingga membentuk sebuah struktur yang teratur. Kedua, Identitas nilai (Value Infusion), yaitu

ideologi atau platform partai, basis sosial pendukungnya, dan identifikasi anggota terhadap

pola dan arah perjuangan partai. Parpol yang memiliki ideology dan basis yang jelas akan

menggambarkan pelembagaan yang baik. Dalam hal ini sangat dibutuhkan kejelasan identitas

ideology yang diperjuangkan oleh setiap parpol. Ketiga, Otonomi Kebijakan (Decisional

Autonomy), yaitu berkaitan dengan hubungan partai dengan aktor diluar partai, baik dengan

otoritas tertentu (penguasa) maupun sumber dana dan sumber dukungan massa. Otonomi ini

berkaitan dengan bentuk saling ketergantungan yang ada, di mana partai tidak sepenuhnya

tergantung pada lembaga pendukung, kelompok, maupun terkait dengan lembaga tersebut.

Keempat, Reifikasi (Reification), yaitu bagaimana partai mampu memberikan citra yang baik

ke publik yang mampu mengangkat nilai kesetian konstituen dalam memberikan

dukungannya. Parpol yang mampu bertahan pada citra baik dihadapan masyarakat

menggambarkan pelembagaan parpol yang baik pula. Keberhasilan mereka dalam

menjalankan fungsi dan menyelesaikan konflik internal merupakan salah satu indikator dari

penilaian masyarakat terhadap citra tersebut.

Jika setiap parpol di Indonesia mampu mengawal keempat aspek dalam pelembagaan

yang baik tersebut, maka tentunya suhu dunia politik kepartaian di Indonesia akan berjalan

dengan efektif. Jika pelembagaan parpol sudah baik, tentu akan berdampak juga terhadap

perbaikan kualitas demokrasi di Indonesia. Kinerja parpol sebagai pilar demokrasi tentu akan

semakin kokoh dan membawa perbaikan pada efektivitas pemerintahan dan lebih jauh untuk

(5)

Referensi

Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta. Grasindo

Randall, Vicky dan Svasand, Lars. 2002. Party Institutionalization in New Democracies.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Panel juri independen Danamon Award 2008 terdiri dari para individu terkenal dengan latar belakang yang beragam, yaitu; Ade Suwargo Mulyo, Senior Project Manager

Kelulushidupan tertinggi terjadi pada frekuensi pemberian pakan empat kali, tanpa adanya ikan yang mati, hal ini diduga karena dengan tercukupinya pakan yang

Satir adalah suatu gaya/aliran dalam penulisan (yang juga ditemukan di bidang lain seperti musik, film, politik, dan lain-lain) yang menertawakan, mengolok-olok,

Menurut Ardi Winoto (2008:3) dalam bukunya “ Mikrokontroler adalah Sebuah sistem microprocessor dimana didalamnya sudah terdapat CPU, ROM, RAM, I/0, clock dan

Utvrđivanje prometnih tokova jedna je od najvažnijih informacija prilikom prometnog planiranja. Višegodišnje sustavno prikupljanje podataka o prometu, te analiziranje

10.2 Bagi strategi publisiti Majlis Makan Malam Rasmi JPATI, poster akan ditampal di papan kenyataan rasmi Jabatan Pengajian Arab dan Tamaddun Islam dan di

Salah satu upaya diplomasi kebudayaan yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia adalah melalui Wisata Selancar Internasional Ombak Bono di Riau.. Olahraga merupakan event