REVISI ESAI KRITIK
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kritik Sastra Dosen Pengampu: Nazla Maharani Umaya S.S., M.Hum.
Oleh:
Nama : Uswatun Hasanah NPM : 11410087
Kelas : 5F
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
▸ Baca selengkapnya: struktur kritik dan esai
(2)PENGGAMBARAN TOKOH PEREMPUAN DALAM NOVEL LAYAR TERKEMBANG
Novel Layar Terkembang karya Sultan Takdir Alsjahbana (STA) menggambarkan perbedaan sifat yang mencolok antara dua perempuan kakak beradik. Perempuan seringkali dipandang hanya memiliki pengalaman terbatas, melahirkan, mengurus anak, ibu rumah tangga dan melayani suami. Penggambaran tokoh perempuan dalam novel tersebut adalah Tuti dan Maria. Keduanya merupakan anak dari Raden Wiriatmaja, bekas wedana di daerah Banten, yang pada ketika itu hidup pensiunan di Jakarta bersama kedua anaknya. Karakter kedua perempuan tersebut terlihat berbeda melalui imajinasi yang ditampilkan oleh pengarang. Usaha membedakan perempuan masa kini dan perempuan dahulu sangat menarik untuk dipahami.
Pengarang mencoba mengubah pandangan bahwa kodrat perempuan yang hanya berdiri di belakang laki-laki dan selalu tertindas melalui tokoh Tuti. Tuti adalah perempuan yang tidak mudah kagum, sangat menjunjung tinggi harga diri, cakap, jarang memuji, selalu memiliki pertimbangan yang masak, tetap pada pendirian, berjuang untuk bangsanya dan orang yang teliti. Sedangkan Maria adalah perempuan yang mudah kagum, mudah memuji dan memuja, mudah tersenyum, ucapannya sesuai dengan perasaanya yang bergelora, ceria dan pancaran perasaannya tiada terhambat-hambat. Perbedaan kedua perempuan tersebut merupakan cerminan dari kehidupan mereka.
Pengarang memunculkan hal baru dalam novelnya. Perempuan yang biasanya sering diperbudak oleh laki-laki juga mempunyai hak yang sama untuk diperjuangkan. Hadirnya tokoh Tuti menjadi sarana pengarang untuk menyeimbangkan hak laki-laki dan perempuan. Penggambaran kedudukan perempuan terhadap laki-laki tercermin ketika Tuti melakukan pidato.
mempunyai pikiran dan pemandangan sendiri, yang mempunyai hidup sendiri, perempuan hanya hamba sahaya, perempuan hanya budak yang harus bekerja dan melahirkkan anak bagi laki-laki, dengan tiada mempunyai hak. Setinggi-tingginya ia menjadi perhiasan, menjadi permainan yang dimulia-muliakan selagi disukai, tetapi dibuang dan ditukar apabila telah kabur cahayanya, telah hilang serinya. (Alisjahbana, 1982: 33-34)
Kutipan tersebut menggambarkan pertentangan kaum perempuan terhadap laki-laki. Tuti berpidato menjelaskan kepada orang yang hadir dalam suatu rapat mengenai perempuan. Isi dari pidato Tuti merupakan bentuk sindiran yang ingin diungkapkan oleh pengarang terhadap sikap laki-laki. Perempuan di era itu pada umumnya hanya bisa tunduk terhadap kekuasaan laki-laki. Seringkali laki-laki memperlakukan dan memmposisikan perempuan semaunya sendiri. Ketika laki-laki sedang membutuhkan perempuan, maka perempuan dipuja-puja. Namun, ketika laki-laki sedang tidak butuh perempuan, maka saat itu perempuan dibuang dan tidak dianggap. Kemunculan tokoh Tuti sebagai gambaran bahwa perempuan tidak serta merta berada di bawah laki-laki.
Dalam novel Layar Terkembang terungkap adanya kebebasan memilih laki-laki sebagai pendamping hidup. Hal tersebut sudah berbeda dengan konsep memilih pendamping pada zaman dahulu. Dahulu perempuan dipilihkan atau dijodohkan oleh orang tuanya. Namun dalam novel ini perempuan sudah bebas memilih sendiri calon pendampingnya. Tokoh perempuan yaitu Maria dan Tuti mempunyai karakter masing-masing dalam hal laki-laki. Maria setia dan selalu tulus mencintai seorang laki-laki.
Sifat Maria yang seperti itu menurut Tuti terlalu berlebihan dan hanya akan merendahkan derajat perempuan dihadapan laki-laki. Baginya sifat perempuan yang sangat bergantung dengan laki-laki membuat perempuan mudah dipermainkan oleh laki-laki. Maria sebagai wanita terlalu cinta terhadap laki-laki, hingga tak peduli apa pun yang terjadi. Seharusnya sebagai perempuan dalam segala hal tidak harus bergabtung dengan laki-laki. Namun dalam novel ini, Maria tidak pernah merasa rendah untuk mengungkapkan cintanya, sampai nyawa pun rela ia korbankan asalkan tidak kehilangan cinta Yusuf. Berbeda dengan kisah Tuti dalam percintaan, seperti kutipan berikut.
Belum lagi ia menjadi istri Hambali dahulu, ia sudah hendak mengatur hidupnya. Sudah berhari-hari ia bersedia menanti temannya, ketua pedoman besar Putri Sedar dari Bandung. Pada malam kedatangan teman separtainya itu benar, Hambali mengajak ia berjalan-jalan ke Serang bersua dengan orang tuanya. Tentu permintaan itu ditolakya, ia harus menyambut temannya itu dahulu, permusyawaratan perkumpulannya lebih penting harus diselesaikan dahulu. Hambali berkecil hati mengumpatnya mengatakan ia lebih memerlukan temannya daripada dia dan orang tuanya. Dijawabnya dengan tenang, bahwa yang perlu harus diperlukan. (Alisjahbana, 1982: 67)
Karakter Tuti berbeda dengan Maria, dari kutipan terlihat jelas, perempuan yang demikian mempuyai prinsip lebih baik tidak menikah daripada menikah hanya dipermainkan laki-laki. Seperti kisah Tuti yang tidak mau diatur oleh Hambali. Tuti lebih mementingkan cita-citanya dan hal-hal yang menjadi masa depannya daripada sekedar jalan-jalan dan bertemu dengan orang tua Hambali. Sifat perempuan yang seperti ini bukan merendahkan atau tidak mau menghormati laki-laki, melainkan Tuti mendahulukan hal yang lebih penting.
laki-laki. Memang dalam percintaan itu harus saling mencintai, tetapi sebagai perempuan harus tahu batas agar tidak mudah dipermainkan.
Perbedaan perempuan wanita dalam novel Layar Terkembang antara Tuti dan Maria adalah perwujudan dari pengarang yang ingin mengubah pandangan masyarakat. Tidak selamanya perempuan sebagai orang yang menuruti semua kemauan laki-laki dan hanya berdiri di belakang. Tuti jelas sebagai sosok yang aktif dalam organisasi, ingin merubah dunia, mempunyai pandangan yang luas dan tidak mau melihat kaum wanita yang selalu tertindas oleh laki-laki. Untuk memerjuangkan hak-hak wanita tidak hanya berorganisasi seperti yang dilakukan Tuti tapi juga harus mampu bersosialisasi dengan sekitar. Meskipun beberapa kali gagal menjalin hubungan dengan laki-laki, tak lantas membuat Tuti menutup diri dari kehidupan cinta yang terdapat di sekelilingnya. Hal tersebut membuktikan bahwa seorang perempuan yang pernah gagal dalam percintaa, ia tidak serta merta putus asa.