• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan dan Evaluasi Sediaan Gastroretentif Metronidazol dari Film Alginat-Kitosan yang Ditambahkan HPMC

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembuatan dan Evaluasi Sediaan Gastroretentif Metronidazol dari Film Alginat-Kitosan yang Ditambahkan HPMC"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Ulkus

Ulkus peptikum merupakan istilah yang mengacu pada erosi lapisan mukosa di mana saja di saluran pencernaan, namun biasanya mengacu pada erosi di lambung atau duodenum. Ada dua penyebab utama ulkus: terlalu sedikit produksi mukus atau terlalu banyak asam yang diproduksi dalam lambung atau dikirim ke usus (Corwin, 2008).

2.1.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi mukus

Ulkus umumnya berkembang ketika sel-sel mukosa usus tidak menghasilkan mukus yang cukup untuk melindungi terhadap pencernaan asam. Penyebab penurunan produksi mukus dapat mencakup apa saja yang menurunkan aliran darah ke usus, menyebabkan hipoksia lapisan mukosa dan cedera atau kematian sel-sel yang memproduksi mukus. Jenis ulkus ini disebut ulkus iskemik. Penurunan aliran darah terjadi dengan semua jenis shock. Suatu jenis tertentu dari ulkus iskemik yang berkembang setelah luka bakar parah disebut ulkus Curling (Corwin, 2008).

(2)

stimulasi simpatis, stimulasi simpatis meningkat dengan stres kronis. Sehingga menjadi suatu rangkaian antara stres kronis dan pengembangan ulkus (Corwin, 2008).

2.1.2 Pertahanan mukosa lambung

Menurut Malik (1992), mukosa lambung merupakan sawar antara tubuh dengan berbagai bahan, termasuk makanan, produk-produk pencernaan, toksin, obat-obatan dan mikroorganisme yang masuk lewat saluran pencernaan. Bahan-bahan yang berasal dari luar tubuh maupun produk-produk pencernaan berupa asam dan enzim proteolitik yang dapat merusak jaringan mukosa lambung. Oleh karena itu, lambung memiliki sistem protektif yang berlapis-lapis dan sangat efektif untuk mempertahankan keutuhan mukosa lambung. Proteksi (faktor pertahanan) tersebut dilakukan oleh adanya beberapa faktor:

1. Faktor pre-epitelial

Faktor pre-epitel merupakan faktor proteksi paling depan saluran pencernaan yang letaknya meliputi secara merata lapisan permukaan sel epitel mukosa saluran pencernaan. Cairan mukus dan bikarbonat yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar dalam mukosa lambung berfungsi sebagai faktor preepitelial untuk proteksi lapisan epitel terhadap enzim-enzim proteolitik dan asam lambung. Bikarbonat berfungsi menetralisir keasaman di sekitar lapisan sel epitel. Suasana netral dibutuhkan agar enzim-enzim dan transpor aktif di sekeliling dan dalam lapisan sel epitel mukosa dapat bekerja dengan baik (Guyton dan Hall, 1997).

(3)

sedikit. Menurut teori dua komponen sawar mukus dari Hollander, lapisan mukus lambung yang tebal dan liat merupakan garis depan pertahanan terhadap autodigesti. Lapisan ini memberikan perlindungan terhadap trauma mekanis dan kimia (Wilson dan Lester 1994). Mukus menutupi lumen saluran pencernaan yang berfungsi sebagai proteksi mukosa. Fungsi mukus sebagai proteksi mukosa: (a) pelicin yang menghambat kerusakan mekanis (cairan dan benda keras), (b) sawar terhadap asam, (c) sawar terhadap enzim proteolitik (pepsin) dan (d) pertahanan terhadap organisme patogen (Julius 1992).

2. Faktor epitelial

Integritas dan regenerasi lapisan sel epitel berperan penting dalam fungsi sekresi dan absorbsi dalam saluran pencernaan. Kerusakan sedikit pada mukosa (gastritis/duodenitis) dapat diperbaiki dengan mempercepat penggantian sel-sel yang rusak. Sel-sel epitel saluran pencernaan terus menerus mengalami pergantian dan regenerasi setiap 1-3 hari dipengaruhi oleh banyak faktor (Malik, 1992).

3. Faktor sub-epitelial

(4)

sel-sel radang lokal saluran cerna (sel-sel plasma, limfosit, monosit) dan jaringan limpoid yang bersifat sistemik (Malik, 1992).

Selain beberapa faktor pertahanan di atas, pada selaput lendir saluran pencernaan juga terdapat komponen protektif mukosa yaitu prostaglandin (PG) (Julius 1992). Prostaglandin merupakan kelompok senyawa turunan asam lemak arakhidonat yang dihasilkan melaui jalur siklooksigenase (COX). Prostaglandin meningkatkan resistensi selaput lendir terhadap iritasi mekanis, osmotik, termis atau kimiawi dengan cara regulasi sekresi asam lambung, sekresi mukus, bikarbonat dan aliran darah mukosa. Dalam suatu telah telah ditunjukkan, bahwa pengurangan prostaglandin pada selaput lendir lambung memicu terjadinya ulkus. Hal ini membuktikan salah satu peranan penting prostaglandin untuk memelihara fungsi sawar selaput lendir (Kartasasmita, 2002).

Gambar 2.1.Faktor-faktor penyebab ulkus (Liu dan Crawford, 2005)

2.1.3 Cairan lambung (gastric juice)

(5)

hematopoietic (faktor intrinsik dan pengikat vitamin B12), hormon lambung, dan

mucosubstance (aminopolysaccharides, mucopolyuronides, mucoids, dan mucoproteins). Protease lambung yang utama adalah pepsin dan gastricsin, pepsinogen adalah prekursor yang diubah menjadi pepsin aktif oleh HCl bebas dan oleh proses autokatalitik (Perigard, 2000).

Pengujian fungsi lambung biasanya dilakukan pada sampel asam lambung yang dikumpulkan melalui intubasi langsung (direct intubation) ke dalam lambung. Kandungan lambung dalam puasa (normal, 20 – 30 ml) dan sekresi lambung tersebut dikumpulkan dalam keadaan basal, atau setelah stimulasi oleh pemberian oral kafein-benzoat atau alkohol, atau pemberian histamin parenteral, insulin, atau hormon pentagastrin. Sampel dikumpulkan melalui aspirasi terus menerus dan dianalisis untuk keasaman dan aktivitas protease lambung pada berbagai interval waktu (Dressman, et al., 1998; Perigard, 2000).

Keasaman dapat ditentukan dengan pengukuran pH secara sederhana dan konversi ke mEq H+ atau dengan titrasi asam lambung. Asam lambung yang keluar (basal acid output ) adalah sekitar 1 mEq/jam pada kondisi normal dan 2 sampai 4 mEq pada pasien ulkus duodenum. Puncak keluaran asam (peak acid output/PAO) setelah stimulasi histamin adalah 10 sampai 20 mEq/jam dalam normal dan 40 sampai 50 mEq/jam dalam ulkus duodenum, PAO setelah stimulasi pentagastrik mirip dengan histamin (Perigard, 2000).

2.1.5 Helicobacter pylori

(6)

karbon dioksida. Efek buffer lokal dari amoniak menciptakan lingkungan kecil yang netral di sekitar bakteri yang melindungi dari efek asam lambung yang mematikan. H.pylori juga memproduksi protein penghambat asam yang memungkinkan untuk beradaptasi dengan lingkungan pH rendah di lambung (Berardi dan Welage, 2005).

Kerusakan mukosa langsung dihasilkan oleh faktor virulensi (vacuolating cytotoxin, protein gen terkait cytotoxin dan faktor inhibitor pertumbuhan, enzim pengurai dari bakteri (lipase, protease, dan urease). H.pylori juga memproduksi protein toksin (Vac A) yang bertanggung jawab untuk pembentukan vakuola seluler. Lipase dan protease mendegradasi mukus, ammonia yang dihasilkan oleh urease bersifat toksik terhadap sel epitel dan penempelan bakteri meningkatkan pemasukan toksin ke dalam sel epitel. Infeksi H.pylori mengubah respon inflamasi dan merusak sel epitel secara langsung oleh mekanisme kekebalan yang dimediasi oleh sel atau secara tidak langsung dengan mengaktifkan neutrofil atau makrofag mencoba untuk memfagosit bakteri atau produk dari bakteri (Berardi dan Welage, 2005).

2.2 Metronidazol

2.2.1. Uraian umum metronidazol (Depkes RI, 1995) Sinonim : 2-Metil-5-nitroimidazol-1-etanol Rumus Molekul : C6H9N3O3

Berat Molekul : 171,16

(7)

Kelarutan : Sukar larut dalam eter; agak sukar larut dalam air, dalam etanol, dan dalam kloroform.

Jarak lebur : antara 159 dan 163oC

N N NO2

OH

CH3

Gambar 2.1 Rumus bangun metronidazol

2.2.2 Farmakologi metronidazol

Metronidazol mempunyai aktivitas antibakteri yang mampu melawan semua cocci anaerobik dan basil anaerobik gram negatif (termasuk Bacteroides spp.) serta basil anaerobik gram positif penghasil spora (Brunton, et al., 2008). Metronidazol digunakan dalam amubiasis hepatik dan intestinal, giardiasis, trichomoniasis saluran urogenital dan vaginosis bakterial. Juga digunakan dalam pengobatan infeksi mikroba anaerob di gigi dan profilaksi pembedahan saluran cerna, serta dalam infeksi campuran aerobik-anerobik lainnya. Metronidazol juga diandalkan dalam penanganan ulkus duodenal akibat H.pylori dalam kombinasi dengan obat lain (Yellanki, et al., 2010).

(8)

yang suseptibel melalui mekanisme radical-mediated yang merusak DNA (Brunton, et al., 2008). Selain bersifat antiinfeksi, metronidazol juga bersifat antiinflamasi. Ia mempengaruhi motilitas neutrofil, aksi limfosit, dan imunitas seluler (Haveles, 2007).

2.3 Gastroretentive Drugs Delivery System (GDDS)

Kandidat obat yang sesuai untuk sediaan yang tertahan di lambung atau gastroretentif (Garg dan Gupta, 2008; Swetha, et al., 2012):

a. Obat-obat untuk aksi lokal dalam lambung misalnya: misroprostol, antasida, dan antibiotik yang digunakan untuk mengobati infeksi Helicobacter pylori.

b. Obat-obat yang kelarutan rendah dalam pH alkalis misalnya: furosemida, diazepam, verapamil, dan klordiazepoksida.

c. Obat-obat yang terutama diabsorbsi dalam lambung atau bagian atas dari saluran pencernaan misalnya: amoksisilin.

d. Obat-obat yang mempunyai rentang absorpsi sempit dalam saluran pencernaan misalnya: siklosporin, metotreksat, levodopa, dan riboflavin.

e. Obat-obat yang diabsorbsi cepat dari saluran pencernaan misalnya: metronidazol, dan tetrasikilin.

f. Obat-obat yang tidak stabil dan terdegradasi didalam kolon misalnya ranitidin, metronidazol, dan metformin HCl.

g. Obat-obat yang mengganggu mikroba kolon misalnya antibiotik untuk Helicobacter pylori.

Kelebihan sediaan gastroretentif (Swetha, et al., 2012): a. Digunakan untuk aksi lokal dalam lambung.

(9)

c. Digunakan untuk penghantaran obat-obat dengan rentang absorbsi yang sempit. d. Mengurangi frekuensi pemberian.

e. Meningkatkan bioavailabilitas obat.

f. Digunakan untuk obat-obat yang tidak stabil di dalam cairan usus. g. Digunakan untuk menahan penghantaran obat.

h. Digunakan untuk mempertahankan konsentrasi obat sistemik dalam rentang terapeutik.

Kekurangan sediaan gastroretentif (Swetha, et al., 2012):

a.Memerlukan jumlah yang cukup besar cairan lambung, bagi sistem untuk mengapung dan bekerja efisien.

b.Tidak cocok untuk obat-obat dengan masalah stabilitas dan kelarutan dalam lambung serta obat-obat yang mempunyai efek iritasi pada lambung.

2.3.1 Jenis-jenis gastroretentif

Pendekatan untuk sistem penghantaran obat tertahan di lambung secara umum terdiri dari :

1. Sistem pengembangan dan pembesaran (swelling and expandable system).

(10)

Gambar 2.2 GDDS dengan sistem pengembangan dan pembesaran (Kumar, 2012)

2. Sistem bioadhesif (bioadhesive systems).

Sistem bioadhesif digunakan sebagai perangkat penyampaian obat untuk meningkatkan absorpsi di tempat spesifik (site specific) dalam lambung. Pendekatan ini melibatkan penggunaan polimer bioadhesif, yang dapat menempel pada permukaan epitel di lambung (Dubernet, et al., 2004). Beberapa eksipien yang paling menjanjikan yang telah umum digunakan di sistem ini meliputi polycarbophil, karbopol, kitosan dan gliadin (Kumar, et al., 2012). Sistem bio/muko-adhesif dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 GDDS dengan sistem bio/muko-adhesif (Al-Qadi, et al., 2012)

(11)

a.Adhesi yang dimediasi oleh Hidrasi

Polimer hidrofilik tertentu memiliki kecenderungan untuk menyerap sejumlah besar air dan menjadi lengket, sehingga memperoleh sifat bioadhesif. Gastroretensi yang diperpanjang dari sistem pengiriman bio/muko-adhesi selanjutnya dikendalikan oleh laju disolusi polimer.

b.Adhesi yang dimediasi oleh ikatan

Adhesi polimer pada mukus/permukaan sel epitel melibatkan berbagai mekanisme ikatan. Ikatan fisik atau mekanik dapat dihasilkan dari deposisi dan masuknya bahan perekat di celah-celah mukosa tersebut. Ikatan kimia sekunder, berkontribusi terhadap sifat bioadhesif, terdiri dari interaksi disperssif (yaitu interaksi van der Walls) dan interaksi ikatan hidrogen. Gugus fungsional hidrofilik bertanggung jawab untuk membentuk ikatan hidrogen adalah hidroksil (-OH) dan kelompok karboksilat (-COOH) (Chien, 1992).

c.Adhesi yang dimediasi oleh reseptor

Polimer tertentu memiliki kemampuan untuk mengikat reseptor spesifik pada permukaan sel. Peristiwa yang dimediasi reseptor berfungsi sebagai pendekatan potensial dalam bio/muco-adhesi, sehingga meningkatkan retensi lambung dari bentuk sediaan (Kumar, et al., 2012).

2.Sistem pengapungan (floating systems)

(12)

floating dapat dibagi ke dalam sistem effervescent dan non-effervescent (Kumar, 2012). Sistem floating dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 GDDS dengan sistem floating (Kumar, 2012) 3.Sistem berdensitas tinggi (High Density Systems)

Sedimentasi telah digunakan sebagai mekanisme retensi untuk pelet yang cukup kecil untuk disimpan dalam lipatan lambung dekat daerah pilorus, yang merupakan bagian dari organ dengan posisi terendah dalam postur tegak. Pelet padat (sekitar 3 g/cm-3) terjebak dalam lipatan juga cenderung untuk menahan gerakan peristaltik dari dinding lambung, seperti terlihat pada Gambar 2.5. Waktu transit GI dapat diperpanjang rata-rata 5,8 - 25 jam, tergantung pada kepadatan dan diameter pellet tersebut. Eksipien yang biasa digunakan adalah barium sulfat, seng oksida, titanium dioksida dan serbuk besi. Bahan-bahan ini meningkatkan kepadatan hingga 1,5 - 2,4g/cm-3 (Kumar, et al., 2012).

(13)

2.3.2 Penelitian terdahulu tentang GDDS dan sediaan gastroretentif di pasaran

Penelitian terdahulu telah menjelaskan tentang sistem penyampaian obat-obat yang tertahan di lambung (Gastroretentive Drugs Delivery System/GDDS), diantaranya sebagai berikut:

a. Sediaan gastroretentif dengan pembawa alginat-kitosan:

- Formulasi mikropartikel alginat-kitosan sebagai mukoadhesif yang mengandung prednisolon untuk pelepasan terkontrol (Wittaya, et al., 2006).

- Sediaan floating dan mukoadhesif dari bead alginat-kitosan yang mengandung amoksisilin sebagai gastroretentif mampu memperpanjang pelepasan obat selama lebih dari 6 jam dalam lambung (Sahasathian, et al., 2010).

- Sediaan mikrobead dari campuran natrium alginat dengan natrium NaCMC dan disalut enterik dengan kitosan untuk tujuan pelepasan terkontrol dari amoksisilin di dalam lambung (Angadi et al., 2012).

- Pengembangan jenis baru dari floating beads inner berpori. Bead dibuat dengan tetesan larutan busa ke dalam larutan CaCl2, larutan busa terdiri dari berbagai gelembung mikro dengan poloxamer 188 sebagai agen pembusa, dan alginat sebagai stablizer (Yao Huimin, et al., 2012).

b. Sediaan gastroretentif dari bahan lainnya:

(14)

c. Sediaan gastroretentif antasida:

- Sediaan antasida dengan masa tinggal yang diperpanjang di lambung (Antacid Compositions With Prolonged Gastric Residence Time) telah ditemukan dan dipatentkan oleh Spickett, et al., (1994 ). Sediaan ini memiliki fase internal antasida yang padat (serbuk, tablet) dan dikelilingi oleh excipient dengan fasa eksternal padat yang mengandung suatu substansi hidrofobik seperti ester dari gliserol dengan asam palmitat atau stearat, polialkena hidroksilasi dan emulsifier non-ionik. - Sediaan antasida dengan durasi diperpanjang (Extended duration antacid product)

juga dipatentkan oleh Wallach, et al., (1996), merupakan suatu produk antasida yang memiliki masa tinggal diperpanjang dalam lambung dan sistem pencernaan bagian atas. Produk antasida ini memuat campuran 10-70% nonfosfolipid dalam bentuk vesikel lipid. Penelitian ini menunjukkan bahwa selama enam jam dari sediaan masih dipertahankan dalam lambung.

d. Sediaan gastroretentif dengan bentuk film.

- Sediaan gastroretentif bentuk matriks film dengan menggunakan HPMC dan eudragit sebagai polimer dan dibutil ftalat sebagai plastisizer menunjukkan bahwa sediaan film mampu bertahan dalam lambung hingga 6 ± 0,5 jam dalam kondisi puasa dan 8 jam dalam keadaan makan (Sathish, et al., 2013).

2.4Natrium alginat

(15)

Pemerian : Serbuk tidak berbau dan berasa, putih sampai coklat kekuningan pucat.

Kelarutan : Larut dalam air, praktis tidak larut dalam etanol, eter, pelarut organik dan asam.

Tak tercampurkan : Dengan turunan acridine, kristal violet, fenilmerkuri asetat dan nitrat, garam kalsium, logam berat (Rowe, dkk., 2009)

Natrium alginat adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu β-D-mannuronat

(M) dan α-L-guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang membentuk rantai

linier. Kedua unit tersebut berikatan pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu (MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, et al., 1981). Struktur alginat dapat dilihat pada Gambar 2.6.

(16)

2.5 Kitosan

Kitosan merupakan aminopolisakarida hasil deasetilasi dari kitin, kitosan terdapat dalam cangkang crustacea seperti udang, lobster dan kepiting. Kitosan menunjukkan sifat polimer biomedis seperti nontoksik, biokompatibel dan biodegradabel (Felt, et al., 1998). Kitosan merupakan biopolimer yang linear, tidak bercabang, polimer yang dibangun dari monomer-monomer glukosamin dan N-asetilglukosamin yang terikat pada pola β-(1-4). Struktur kimia dari kitosan ditunjukkan seperti pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Struktur kimia kitosan (Felt, et al., 1998) 2.6Interaksi antara Alginat dengan Kitosan

Alginat yang merupakan polianionik dan kitosan yang merupakan polikationik dapat berinteraksi melalui gugus asam karboksilat dari alginat dan gugus amino dari kitosan membentuk kompleks polielektrolit dari muatan mereka yang berlawanan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.8.

Kompleks polielektrolit yang terbentuk diharapkan dapat memberikan aplikasi farmasetika yang lebih baik karena keunikan struktur dan sifatnya (Takahashi, et al., 1990).

Gambar

Gambar 2.1.Faktor-faktor penyebab ulkus (Liu dan Crawford, 2005)
Gambar 2.2 GDDS dengan sistem pengembangan dan pembesaran  (Kumar, 2012)
Gambar 2.4 GDDS dengan sistem floating (Kumar, 2012)
Gambar 2.6 Rumus bangun β-D-mannuronat dan α-L-guluronat (Rees dan  Welsh,1977)
+2

Referensi

Dokumen terkait

We shall emphasize horizontal (basic) and vertical (clinical) integration of disciplines that relate energy metabolism with fluid, electrolyte, and acid-base balances. The setting

[r]

Adanya situs web yang memuat informasi mengenai panduan gizi makanan anak batita diharapkan dapat memecahkan masalah yang dihadapi kaum ibu terutama ibu muda yang baru mempunyai

Berdasarkan Perpres 54 Tahun 2010 beserta perubahannya dan aturan turunannya serta memperhatikan hasil evaluasi/penilaian dokumen penawaran dan kualifikasi untuk

Penulis dalam penulisan ilmiah ini akan menggunakan Microsoft Visual Basic 6, untuk membuat aplikasi MP-3 Player yang dapat digunakan di dalam komputer. Dengan aplikasi yang

Berdasarkan tahapan dan jadwal seleksi pekerjaan ''Flekssibility Study (Study Kelayakan Tenaga Listrikan)'' yang telah ditetapkan, dengan ini kami mengundang Saudara untuk

Pada aplikasi ini di dalamnya terdapat berbagai informasi mengenai cara mengenal dan mengucapkan kata-kata buah-buahan, hewan dan berbagai macam sebutan bagi keluaraga yang

451.948.000,- (Empat Ratus Lima Puluh Satu Juta Sembilan Ratus Empat Puluh Delapan Ribu Rupiah) Pada Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Tengah, maka dengan ini