• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN PROSES BELAJAR MENGAJAR MELA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENINGKATAN PROSES BELAJAR MENGAJAR MELA (1)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

IMPROVING TEACHING LEARNING PROCESS

THROUGH THE CONTEXTUAL LEARNING STRATEGY

KHAIRUL IKSAN STAI Al-Khairat, Pamekasan Email: khairul.iksan123@email.com

Abstract

The teaching and learning process will increase in terms of students' activeness, creativity and pleasure, because in contextual learning the teacher seeks to bring the real world into the classroom and encourages students to make connections between their knowledge and application in their daily lives. While students acquire knowledge and skills from a limited context, bit by bit, and from the process of constructing itself, as a provision to solve problems in his life as a member of society

Keywords: Learning-teaching, learning, contextual learning

Abstrak

Proses belajar mengajar akan mengalami peningkatan dari sisi keaktifan, kreatifitas dan kesenangan siswa, karena dalam pembelajaran kontekstual guru berusaha menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota masyarakat.

(2)

Pendahuluan

Pendidikan merupakan masalah yang komplek, antara lain ia mencakup soal

kurikulum, para guru, keadaan masyarakat dan kiranya juga soal politik. Walaupun

kurikulumnya baik, tetapi jika korps guru kurang kemampuannya dalam menyampaikan

ilmu kepada anak didiknya,maka kurikulum yang baik itu tidak banyak manfaatnya.

Bila kurikulumnya baik para gurupun bermutu, namun jika para murid pada umumnya

bersifat santai, malas belajar dan tidak disiplin, maka kedua faktor yang terdahulupun

tidak akan banyak manfaatnya. Dan mendangkalnya mutu pendidikan sekarang ini

kiranya juga merupakan akibat dari politik Pemerintah yang berupa pemerataan

pendidikan yang lebih mengutamakan memperbanyak materi pelajaran daripada

menghidupkan kemampuan (kompetensi) anak didik.

Alhamdulillah saat ini Pemerintah sudah memandang tiba saatnya untuk

memperbaiki mutu pendidikan, misalnya dengan mengadakan berbagai macam

workshop kepada para guru dari semua tingkatan perguruan. Pemerintahpun

merencanakan memperbaiki penghasilan para guru di tahun depan atau pada masa-masa

yang akan datang,sebagaimana yang disebutkan dalam UU tentang Standar Pendidikan

Nasional dan UU tentang Guru. Hal ini penting sekali, karena bagaimana mungkin para

guru dapat mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya kepada tugas-tugasnya

bilamana mereka terus dirongrong oleh beban hidup yang berat.

Tetapi tindakan perbaikan dari pemerintah saja tidak cukup. Semua wajib

membantu usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan para guru dari

semua tingkatan perguruan, antara lain wajib bekerja penuh dedikasi, berdisiplin dan

senantiasa meningkatkan pengetahuannya, sedangkan para orang tua wajib membantu

dalam menegakkan disiplin belajar dan perilaku putra-putrinya.

Sekolah Dasar yang merupakan pendidikan awal dan menjadi dasar dari segala

pendidikan yang ada diatasnya, diperlukan pendidikan yang profesional, sehingga murid

betul-betul bisa melanjutkan pendidikannya kepada pendidikan yang ada di atasnya.

Selain iu Sekolah Dasar juga mempersiapkan anak didiknya agar dapat terjun dalam

masyarakat dan dapat mengembangkan sikap belajar sesuai dengan prinsip-prinsip

pendidikan seumur hidup ( Way of life education ). Hal ini sebagaimana disebutkan

dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005

(3)

Reformasi pendidikan meliputi hal-hal berikut : Pertama ; penyelenggaraan

pendidikan dinyatakan sebagai suatu proses pembudayaan dan perberdayaan peserta

didik yang berlangsung sepanjang hayat , dimana dalam proses tersebut harus ada

pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta

mengembangkan potensi dan kreatifitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan

adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke

paradigma pembelajaran. Paradigma pengajaran yang lebih menitikberatkan peran

pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser

pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta

didik untuk mengembangkan potensi dan kreatifitas dirinya dalam rangka membentuk

manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berahlak mulia, berkepribadian,

memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan

yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Meskipun demikian, pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional

telah banyak berusaha mengatasi permasalahan pendidikan yang dihadapinya terutama

masalah relevansi dan kualitas pendidikan pada berbagai tingkat dan jenis pendidikan.

Upaya tersebut antara lain berupa pembaharuan kurikulum dan metodologi pengajaran,

pengadaan buku pelajaran dan buku bacaan berkualitas, peyelenggaraan berbagai

penataran / pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, pengadaan alat peraga,

peningkatan manajemen sekolah, pemberian block-grant kepada sebagian sekolah, dan

berbagai macam bantuan lainnya. Cukup banyak usaha yang telah dilakukan

pemerintah, akan tetapi dampaknya terhadap kualitas proses dan hasil belajar siswa

belum optimal. Hal inilah yang membuat pemerintah terus berusaha mencari solusi yang

terbaik untuk memecahkan masalah pendidikan tersebut. Salah satu wujud upaya

tersebut yaitu berupa pengembangan kurikulum, model-model pembelajaran dan

pendekatan atau strategi pembelajaran.

Persoalan mendasar yang hingga kini masih sangat dilematis dan kerap dihadapi

Guru Sekolah Dasar (SD) di dalam proses belajar mengajar, adalah membangun suasana

pembelajaran yang aktif-partisipatif ,yang mampu melibatkan siswa dalam interaksi

dialogis dan berkualitas dengan guru, dan atau antar siswa. Akibatnya , iklim kelas

pembelajaranpun kurang menarik, menyenangkan, dan membetahkan bagi siswa. Siswa

(4)

berinteraksi dengan guru. Persoalan tersebut juga dihadapi oleh para Guru di SD Negeri

segugus IV Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan.

Dari beberapa kali pengamatan ditemukan fakta bahwa pada setiap proses

belajar mengajar, siswa cenderung pasif, kurang menunjukkan gairah,minat, dan

antusiasme untuk belajar. Ada indikasi munculnya kejenuhan dan kebosanan pada diri

siswa untuk belajar . Interaksi memang kadang terjadi, sejauh karena diminta atau

ditunjuk oleh Guru. Dalam suatu kesempatan proses belajar mengajar penulis mencoba

berinteraksi dengan para siswa di dalam suatu dialog kelas, dengan mengajukan

pertanyaan kepada kelas secara keseluruhan, dengan harapan sedikitnya ada satu dua

orang siswa untuk menjawab. Akan tetapi, ternyata tak seorang siswapun yang tampak

berupaya untuk merespon pertanyaan kami.

Fenomena ini, telah dirasakan berlangsung lama. Untuk mengubah siswa agar

mau berpartisipasi-aktif dalam pembelajaran dirasakan sangat sulit. Untuk itu harus ada

usaha berkonsultasi dengan orang-orang yang dianggap memiliki kompetensi dalam

berbagai pendekatan dan atau strategi pembelajaran atau membaca berbagai buku atau

VCD yang berisi penemuan baru tentang pendekatan dan atau strategi pembelajaran.

Akhirnya penulis temukan sebuah buku dan CD tentang pendekatan dan atau

srategi tentang pembelajaran kontekstual. Setelah membaca penjelasan yang terdapat

dalam buku tersebut, penulis berharap inilah pendekatan yang akan mampu

membangun kreatifitas murid agar dapat menjadi pembelajar yang aktif-partisipatif.

Bertitik tolak dari harapan tersebut, maka penulis tertarik untuk menulis sebuah karya

tulis dengan mengambil judul “Peningkatan Proses belajar mengajar Melalui Strategi

Pembelajaran Kontekstual “

Adapun rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah :

“ Mungkinkah Proses belajar mengajar bisa ditingkatkan Melalui Strategi

Pembelajaran Kontekstual ?

Konsep Belajar Dan Pembelajaran

Makna Belajar Dan Mengajar

Belajar dan mengajar adalah dua aktivitas yang hampir tidak dapat dipisahkan

satu dari yang lainnya, terutama dalam prakteknya di sekolah-sekolah. Bahkan apabila

(5)

belajar-mengajar akan segera terjadi. Sehubungan dengan hal ini ada baiknya kedua istilah

tersebut untuk dibahas.

Belajar

Kita masih ingat bahwa “belajar” pernah dipandang sebagai proses penambahan

pengetahuan. Bahkan pandangan ini mungkin hingga sekarang masih berlaku bagi

sebagian orang di negeri ini. Akibatnya, “mengajar” pun dipandang sebagai proses

penyampaian pengetahuan atau keterampilan dari seorang guru kepada siswanya.

Pandangan semacam itu tidak terlalu salah, akan tetapi masih sangat parsial,

terlalu sempit, dan menjadikan siswa sebagai individu-individu yang pasif. Oleh sebab

itu, pandangan tersebut perlu diletakkan pada perspektif yang lebih wajar sehingga

ruang lingkup substansi belajar tidak hanya mencakup pengetahuan, tetapi juga

keterampilan, nilai dan sikap.

Sebagai landasan pembahasan mengenai apa yang dimaksud dengan belajar,

berikut ini kami kemukakan beberapa definisi belajar yang dikemukakan oleh

Drs.M.Ngalim Purwanto.MP (1990).

a) Hilgard dan Bower, dalam buku Theories of Learning (1975). “Belajar

berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi

tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam

situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar

kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat

seseorang ( misalnya kelelahan, pengaruh obat, dan sebagainya ).”

b) Gagne, dalam buku The conditions of Learning (1977). “ Belajar terjadi apabila

suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatan mempengaruhi siswa

sedemikian rupa sehingga perbuatannya ( performance-nya) berubah dari waktu

sebelum ia mengalami situasi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.”

c) Morgan, dalam buku Introduction to Psychology (1978). “ Belajar adalah setiap

perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu

hasil dari latihan atau pengalaman.”

d) Witherington,dalam buku Educational Psychology. “ Belajar adalah suatu

(6)

daripada reaksi yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan, kepandaian, atau suatu

pengertian.”

Dari definsi-definisi yang dikemukakan diatas, dapat dikemukakan adanya beberapa

elemen yang penting yang merincikan pengertian tentang belajar, yaitu bahwa :

 Belajar merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku dimana perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik, tetapi juga ada

kemungkinan mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk.

 Belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan dan pengalaman : dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau

kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar; seperti perubahan-perubahan

yang terjadi pada diri seorang bayi.

 Untuk dapat disebut belajar, maka perubahan itu harus relatif mantap; harus merupakan akhir daripada suatu periode waktu yang cukup panjang. Berapa lam

periode waktu itu berlangsung sulit dtentukan dengan pasti, tetapi perubahan itu

hendaknya merupakan akhir dari suatu periode yang mungkin berlangsung

berhari-hari, berbulan-bulan ataupun bertahun-tahun. Ini berarti kita harus

mengenyampingkan perubahan-perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh

motivasi, kelelahan, adaptasi, ketajaman perhatian atau kepekaan seseorang,

yang biasanya hanya berlangsung sementara.

 Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis, seperti: Perubahan dalam

pengertian, pemecahan suatu masalah / berfikir, keterampilan, kecakapan,

kebiasaan, ataupun sikap.

Mengajar

Pada uraian di atas telah dikemukakan bahwa istilah belajar pernah dipandang

sebagai proses penambahan pengetahuan. Senada dengan nuansa penafsiran terhadap

belajar seperti itu, maka “mengajar “ pun pernah dianggap sebagai proses pemberian

atau penyampaian pengetahuan. Pandangan demikian membawa konsekuensi logis

terhadap situasi belajar –mengajar yang diwujudkan oleh guru, yakni proses

belajar-mengajar (PBM) yang terjadi di dalamnya bersifat teacher-centered. Pengajaran

menjadi berpusat pada guru mengajar lebih dominan daripada belajar. Guru berperan

(7)

givers) atau dengan nama lain sebagai instructor. Oleh sebab itu, sumber belajar yang

digunakan, maksimal hanya sebatas apa yang ada diantara dua kulit buku dan empat

dinding kelas. Bahkan, banyak diantara mereka yang menjadikan dirinya sebagai

satu-satunya sumber belajar. Akibatnya, siswa-siswa menjadi individu-individu yang pasif,

kedaulatan merekapun pada akhirnya harus tunduk pada kekuasaan guru. Mereka tidak

dididik untuk berfikir kritis, berlatih menemukan konsep atau prinsip, ataupun untuk

mengembangkan kreatifitasnya. Mereka tidak dipersiapkan untuk menghadapi

kehidupan yang perubahan-perubahannya sangat cepat, bahkan dapat terjadi dalam

hitungan detik seperti sekarang ini. Hal ini bisa terjadi pada masa mendatang, karena

dengan penerapan konsep mengajar semacam itu, siswa-siswa tidak dididik untuk

belajar sebagai manusia seutuhnya, sementara kita berharap agar kelak siswa-siswa

menjadi orang-orang yang terdidik, tidak sekedar tersekolah atau belajar.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka mengajar sepantasnya dipandang

sebagai upaya atau proses yang dilakukan oleh seorang guru untuk membuat

siswa-siswanya belajar. Dalam hal ini guru berupaya untuk membelajarkan siswa-siswa-siswanya,

dan sebaliknya para siswa menjadi pembelajar-pembelajar yang aktif, kritis dan kreatif.

Dengan cara ini interaksi belajar mengajar dapat terjadi, dan pengajaran tidak lagi

bersifat teacher-centered, karena telah bergeser pada kontinum pengajaran yang lebih

bersifat student-centered. Pertanyaan selanjutnya, yang menggelitik kita selaku guru

yang bertugas pada era informasi ini yaitu : Apakah diantara kita yang terlanjur telah

menerapkan pengajaran bersifat teacher-centered akan segera berubah kearah

student-centered ?

Makna Pembelajaran

Istilah pembelajaran mengundang berbagai kontroversi diberbagai kalangan

pakar pendidikan, terutama di antara guru-guru di sekolah. Hal ini disebabkan oleh

demikian luasnya ruang lingkup pembelajaran, sehingga yang menjadi subyek belajar

atau pembelajarpun bukan hanya siswa dan mahasiswa, tetapi juga peserta

penataran/pelatihan atau pendidikan dan pelatihan (diklat), kursus, seminar, diskusi

panel, symposium, dan bahkan siapa saja yang berupaya membelajarkan diri sendiri.

Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatau system atau proses

(8)

dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subyek didik/pembelajar dapat

mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien (Depdiknas,Model

pembelajaran IPA SD,2003). Dengan demikian, jika pembelajaran dianggap sebagai

suatu system, maka berarti pembelajaran terdiri dari sejumlah komponen yang

terorganisir antara lain tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, strategi dan metode

pembelajaran, media pembelajaran/alat peraga, pengorganisasian kelas, evaluasi

pembelajaran, dan tindak lanjut pembelajaran. Sebaliknya bila pembelajaran dianggap

sebagai suatu proses, maka pembelajaran merupakan rangkaian upaya atau kegiatan

guru dalam rangka membuat siswa belajar. Proses tersebut dimulai dari merencanakan

program pengajaran tahunan, semester, dan penyusunan persiapan mengajar (lesson

plan) berikut penyiapan perangkat kelengkapannya antara lain alat peraga, dan alat-alat

evaluasi. Persiapan pembelajaran ini juga mencakup kegiatan guru untuk membaca

buku-buku atau media cetak lainnya yang berkaitan dengan materi pelajaran yang akan

disajikan kepada para siswa dan mengecek jumlah dan keberfungsian alat peraga yang

akan digunakan.

Setelah persiapan tersebut, guru melaksanakan kegiatan-kegiatan pembelajaran

dengan mengacu pada persiapan pembelajaran yang telah dibuatnya. Pada tahap

pelaksanaan pembelajaran, struktur dan dan situasi pembelajaran yang diwujudkan guru

akan banyak dipengaruhi oleh pendekatan atau strategi dan meode-metode

pembelajaran yang telah dipilih dan dirancang penerapannya, serta filosofi kerja dan

komitmen guru yang bersangkutan, persepsi, dan sikapnya terhadap siswa. Jadi

semuanya itu akan menentukan terhadap struktur pembelajaran.

TINJAUAN TENTANG PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

Latar Belakang

Pembelajaran kontekstual sebagai salah satu strategi dalam proses pembelajaran

bermula dari pandangan ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada tahun 1916

mengajukan teori kurikulum dan metodologi pengajaran yang berhubungan dengan

pengalaman dan minat siswa. Filosofi pembelajaran kontekstual berakar dari paham

progresivisme John Dewey. Intinya, siswa akan belajar dengan baik bilamana apa yang

(9)

belajar akan produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah. Diantara

pokok-pokok pandangan progresivisme antara lain :

1. Siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat mengkonstruksi sendiri pemahaman mereka tentang apa yang diajarkan oleh guru.

2. Anak harus bebas agar bisa berkembang wajar.

3. Penumbuhan minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang belajar 4. Guru sebagai pembimbing dan peneliti

5. Harus ada kerjasama antara sekolah dan masyarakat

6. Sekolah progresif harus merupakan laboratorium untuk melakukan eksperimen.

Selain teori progresivisme John Dewey, teori kognitif juga melatarbelakangi

filosofi pembelajaran kontekstual. Siswa akan belajar dengan baik apabila mereka

terlibat secara aktif dalam segala kegiatan di kelas dan berkesempatan untuk

menemukan sendiri. Siswa menunjukkan hasil belajar dalam bentuk apa yang mereka

ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan. Belajar dipandang sebagai usaha atau

kegiatan intelektual untuk membangkitkan ide-ide yang masih laten melalui kegiatan

introspeksi.

Sejauh ini pendidikan di Indonesia masih didominasi oleh pandangan bahwa

pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus

pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah sebagai pilihan

utama strategi belajar. Untuk itu, perlu sebuah strategi belajar baru yang lebih

memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa

menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan

pengetahuan di benak mereka sendiri.

Berpijak pada dua pandangan itu, filosofi pembelajaran konstrukivisme

berkembang. Dasarnya, pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari konteks

yang terbatas dan sedikit demi sedikit. Siswa yang harus mengkonstruksi sendiri

pengetahuannya.

Melalui landasan filosofi konstrukivisme, CTL dipromosikan menjadi alternatif

strategi belajar yang baru. Melalui strategi CTL, siswa diharapkan belajar melalui

mengalami, bukan menghafal. Pembelajaran konstektual (Contextual Teaching and

Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang

diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat

(10)

mereka sehari-hari, dengan melibatkannya dalam tujuh komponen utama pembelajaran

efektif, yakni: konstruktivisme (Contructivism), bertanya (Questioning), menemukan

(Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan

penilaian sebenarnya (Authentic Assesment).

Menurut filosofi konstruktivisme, pengetahuan bersifat non-objektif,temporer,

berubah, dan tidak menentu. Kitalah yang memberi makna terhadap realitas yang ada.

Pengetahuan tidak pasti dan tidak tetap. Belajar adalah pemaknaan pengetahuan, bukan

perolehan pengetahuan dan mengajar diartikan sebagai kegiatan atau proses menggali

makna, bukan memindahkan pengetahuan kepada orang yang belajar. Otak atau akal

manusia berfungsi sebagai alat untuk melakukan interpretasi sehingga muncul makna

yang unik.

Salah satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak

boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus

membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini

dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan

sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk

menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan dengan mengajak siswa agar

menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat

memberikan kepada siswa tangga yang dapat membantu mereka mencapai tingkat

pemahaman yang lebih tinggi, tetapi harus diupayakan agar siswa sendiri yang

memanjat tangga tersebut.

Dengan paham konsrukivisme, siswa diharapkan dapat membangun

pemahamannya sendiri dari pengalaman atau pengetahuan terdahulu. Pemahaman yang

mendalam dikembangkan melalui pengalaman-pengalaman belajar bermakna (

akomodasi ). Siswa diharapkan mampu mempraktekkan pengetahuan / pengalaman

yang telah diperoleh dalam konteks kehidupan. Siswa diharapkan juga melakukan

refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Dengan demikian, siswa

dapat memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan yang dipelajari

.Pemahaman ini diperoleh siswa karena ia dihadapkan kepada lingkungan belajar yang

bebas yang merupakan unsur yang sangat esensial.

Hakekat teori konstruktivisme adalah bahwa siswa harus menjadikan informasi

(11)

memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lama dan

memperbaiki aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Teori konstruktivis menuntut

siswa berperan aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Karena penekanannya pada

siswa yang aktif, maka strategi konstruktivis sering disebut sebagai pengajaran yang

berpusat pada siswa ( Student centered instruction ). Di dalam kelas yang

pengajarannya terpusat pada siswa, peranan guru adalah membantu siswa menemukan

fakta, konsep, atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau

mengendalikan seluruh kegiatan di kelas.

Beberapa proposisi yang dapat dikemukakan sebagai implikasi dari teori

konstruktivistik dalam praktek pembelajaran di sekolah-sekolah kita sekarang ini adalah

sebagai berikut :

a. Belajar adalah proses pemaknaan informasi baru.

b. Kebebasan merupakan unsur esensial dalam lingkungan belajar.

c. Strategi belajar yang digunakan menentukan proses dan hasil belajar.

d. Belajar pada hakekatnya memiliki aspek sosial dan budaya.

e. Kerja kelompok dianggap sangat berharga.

Dalam pandangan konstrukivistik, kebebasan dipandang sebagai penentu

keberhasilan karena kontrol belajar dipegang oleh siswa itu sendiri. Tujuan

pembelajaran konstruktivistik menekankan pada penciptaan pemahaman, yang

menuntut aktivitas yang kreatif dan produktif dalam konteks nyata. Dengan demikian,

paham konstruktivistik menolak pandangan behavioristik.

Pengertian Pembelajaran Kontekstual

Apa yang dimaksud dengan pembelajaran kontekstual tidak ada sebuah

definisi atau pengertian tunggal. Setiap pakar dan komunitas pakar memberikan definisi

beragam. Namun mereka bersepakat bahwa hakekat pembelajaran kontekstual adalah

sebuah sistem yang mendorong pembelajar untuk membangun keterkaitan,

independensi, relasi-relasi penuh makna antara apa yang dipelajari dengan realitas,

lingkungan personal, sosial dan kultural yang terjadi sekarang ini (Moh.Imam

(12)

Beberapa definisi pembelajaran kontekstual yang pernah ditulis dalam beberapa

sumber, yang dikemukakan oleh Nurhadi,dkk dalam bukunya “ Kontekstual dan

penerapannya dalam KBK “.

1. Sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu

siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara

menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari, yaitu,

dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya. Untuk

mencapai tujuan tersebut, system CTL akan menuntun siswa melalui

kedelapan komponen utama CTL: melakukan hubungan yang bermakna,

mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri,

bekerjasama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara/ merawat pribadi siswa,

mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan assessment autentik.

2. Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa

memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan

akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan diluar sekolah untuk

memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Pembelajaran

kontekstual terjadi ketika siswa menerapkan dan mengalami apa yang

diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah riel yang berasosiasi dengan

peranan dan tanggung jawab mereka sebagai angota keluarga, anggota

masyarakat, siswa, dan selaku pekerja. Pengajaran dan pembelajaran

kontekstual menekankan berfikir tingkat tinggi, transfer pengetahuan melalui

disiplin ilmu, dan mengumpulkan, menganalisis dan mensintesiskan informasi

dan data dari berbagai sumber dan sudut pandang.

3. Pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi belajar

mengajar yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan situasi

dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara

pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota

keluarga, anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar.

Pengajaran dan pembelajaran kontekstual dilakukan dengan berbasis masalah,

menggunakan cara belajar yang diatur sendiri, berlaku dalam berbagai macam

(13)

menggunakan penilaian autentik, dan menggunakan pula kelompok belajar

yang bebas.

Delapan Komponen Utama Dalam Sistem Pembelajaran Kontekstual

1. Melakukan hubungan yang bermakna (making meaningful connections). Siswa

dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam

mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri

atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar sambil berbuat (

learning by doing ).

2. Melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan ( doing significant work ). Siswa

membuat hubungan-hubungan antara sekolah dan berbagai konteks yang ada

dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai anggota masyarakat.

3. Belajar yang diatur sendiri ( self-regulated learning ). Siswa melakukan

pekerjaan yang signifikan : ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada

hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya / hasilnya yang

sifatnya nyata.

4. Bekerjasama (collaborating). Siswa dapat bekerja sama. Guru membantu siswa

bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami

bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi.

5. Berfikir kritis dan kreatif (critical and creative thinking). Siswa dapat

menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi secara kritis dan kreatif : dapat

menganalsis, membuat sintetis, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan

menggunakan logika dan buki-bukti.

6. Mengasuh atau memelihara pribadi siswa (nurturing the individual). Siswa

memelihara pribadinya : mengetahui, memberi perhatian, memilki

harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Siswa tidak dapat

berhasil tanpa dukungan orang dewasa. Siswa menghormati temannya dan juga

orang dewasa.

7. Mencapai standar yang tinggi (reaching high standards). Siswa mengenal dan

mencapai standard yang tinggi : mengidentifikasi tujuan dan memoivasi siswa

untuk mencapainya. Guru memperlihatkan kepada siswa cara mencapai apa

(14)

8. Menggunakan penilaian autentik ( using authentic assessment ). Siswa

menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu

tujuan yang bermakna. Misalnya, siswa boleh menggambarkan informasi

akademis yang telah mereka pelajari dalam pelajaran sains, kesehatan,

pendidikan, matematika, dan pelajaran bahasa inggris dengan mendesain sebuah

mobil, merencanakan menu sekolah atau membuat penyajian perihal emosi

manusia.

Maksud Konteks

Kontekstual adalah salah satu prinsip pembelajaran yang memungkinkan siswa

belajar dengan penuh makna. Dengan memperhatikan prinsip kontekstual, proses

pembelajaran diharapkan mendorong siswa untuk menyadari dan menggunakan

pemahamannya untuk mengembangkan diri dan menyelesaikan berbagai persoalan yang

dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip kontekstual sangat penting untuk

segala situasi belajar. Pertanyaannya, apakah yang dimaksud konteks itu ?

Ada sembilan konteks belajar yang melingkupi siswa, yaitu :

1. Konteks tujuan ( tujuan apa yang akan dicapai ? ).

2. Konteks isi ( Materi apa yang akan diajarkan ? )

3. Konteks sumber ( Sumber belajar bagaimana yang bisa dimanfaatkan ? )

4. Konteks target siswa ( Siapa yang akan belajar ? )

5. Konteks guru ( Siapa yang akan mengajar ? )

6. Konteks metode ( Strategi belajar apa yang cocok diterapkan ? )

7. Konteks hasil ( Bagaimana hasil pembelajaran yang akan diukur?)

8. Konteks kematangan ( Apakah siswa telah siap dengan hadirnya sebuah konsep

atau pengetahuan baru ? )

9. Konteks lingkungan ( Dalam lingkungan yang bagaimanakah siswa belajar ? )

Mengapa Pembelajaran Kontekstual

Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan

belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika

anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahui-nya. Pembelajaran yang

(15)

jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam

kehidupan jangka panjang. Dan, itulah yang terjadi di kelas-kelas sekolah kita!

Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL) merupakan

konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya

dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara

pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai

anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan

lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk

kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa.

Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil. Dalam konteks itu, siswa perlu

mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana

mencapainya. Mereka sadar bahwa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya nanti.

Dengan begitu mereka memposisikan sebagai diri sendiri yang memerlukan suatu bekal

untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan

berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, mereka memerlukan guru sebagai pengarah

dan pembimbing.

Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai

tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi

informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerjasama untuk

menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca:

pengetahuan dan keterampilan) datang dari 'menemukan sendiri', bukan dari 'apa kata

guru'. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan

kontekstual.kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi

pembelajaran yang lain. Kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran

berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa

harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada. Berikutnya akan dibahas persoalan

yang berkenaan dengan pendekatan kontekstual dan implikasi penerapannya.

Kecenderungan Pemikiran Tentang Belajar Dalam Pembelajaran Kontekstual

Pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecendrungan pemikiran tentang

(16)

a. Proses Belajar

 Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri.

 Anak belajar dari mengalami. Anak mencatatr sendiri pola-pola bermakna dasri pengetahuan baru, dan bukan di beri begitu saja dari guru.

 Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki ole seseorang yang terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang

sesuatu persoalan (subject matter).

 Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi menceerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.

 Manusia mempunya tingkatan yang berbeda dalam menyilapi situasi baru.

 Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan seiring perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan

seseorang. Untuk itu perlu dipahami, strategi belajar yang salah dan terus

menerus dipajankan akan mempengaruhi struktur otak, yang pada akhirnya

mempengaruhi cara orang berprilaku.

 Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dcengan ide-ide.

b. Transfer Belajar

 Sisiwa belajar dari mengalami sendiri, bukan dari "pemberian orang lain".

 Keterampilan dan penetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sempit), sedikit demi sedikit.

 Yang penting bagi siswa tahu 'untuk apa' ia belajar, dan 'bagaimana' ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.

c. Siswa sebagai pembelajar

 Manusia mempunya kecendrungan untuk belajar dalam bidang tertentu , dan seorang anak mempunyai kecendrungan untuk belajar dengan cepat hal-hal

(17)

 Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi untuk hal-hal yang sulit, strategi belajar amat penting.

 Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara 'yang baru' dan yang sudah diketahui.

 Tugas guru memfasilitasi : agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide mereka

sendiri, dan menyadarkan siswa untuk menerapkan strategi mereka sendiri.

d. Pentingnya lingkungan belajar

 Belajar efektif itu di mulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada siswa. Dari "guru akting didepan kelas, siswa menonton: ke "siswa akting bekerja

dan berkarya , guru mengarahkan".

 Pengajaran harus berpusat pada "bagaimana cara" siswa menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan

hasilnya.

 Umpan balik amat penting bagi siswa, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar.

 Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.

Motto

STUDENTS LEARN BEST BY ACTIVELY CONSTRUCTING THEIR OWN

UNDERSTANDING (CTL Academy Fellow, 1999) (Cara belajar terbaik adalah

siswa mengkonstruksikan sendiri secara aktif pemahamannya).

Kata-Kata Kunci Pembelajaran Ctl

1. REAL WORLD LEARNING

2. MENGUTAMAKAN PENGALAMAN NYATA 3. BERPIKIR TINGKAT TINGGI

4. BERPUSAT PADA SISWA

5. SISWA AKTIF, KRITIS, DAN KREATIF

6. PENGETAHUAN BERMAKNA DALAM KEHIDUPAN 7. DEKAT DENGAN KEHIDUPAN NYATA

8. PERUBAHAN PRILAKU

(18)

10.LEARNING BUKAN TEACHING

11.PENDIDIKAN (EDUCATION) BUKAN PENGAJARAN(INSTRUCTION) 12.PEMBENTUKAN 'MANUSIA'

13.MEMECAHKAN MASALAH

14.SISWA 'AKTING' GURU MENGARAHKAN

15.HASIL BELAJAR DIUKUR DENGAN BERBAGAI CARA BUKAN HANYA DENGAN TEST

Strategi Pengajaran Yang Berasosiasi Dengan CTL

1. CBSA

2. PENDEKATAN PROSES 3. LIFDE SKILLS EDUCATION 4. AUTHENTIC INSTRUCTION 5. INQUIRY-BASED LEARNING 6. PROBLEM-BASED LEARNING 7. COOPERATIVE-LEARNING 8. SERVICE LEARNING

Lima Elemen Belajar Yang Konstruktivistik

Menurut Zahorik (1995:14-22) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam

praktek pembelajaran konstektual.

1. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge).

2. Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari

secara keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya.

3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara

menyusun (1) konsep sementara (hipotesis), (2) melakukan sharing kepada

orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu (3)

konsep tersebut direvisi dan dikembangkan.

4. Mempraktekkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge).

5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan

pengetahuan tersebut.

Beberapa Strategi Pengajaran Yang Dapat Dikembangkan Melalui Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran berbasis masalah

Sebelum memulai proses belajar-mengajar di dalam kelas, siswa terlebih dahulu

diminta untuk mengobservasi suatu fenomena terlebih dahulu. Kemudian siswa diminta

untuk mencatat permasalahan-permasalahan yang muncul. Setelah itu, tugas guru

(19)

Tugas guru adalah mengarahkan siswa untuk bertanya, membuktikan asumsi, dan

mendengarkan perspektif yang berbeda dengan mereka.

Memanfaatkan lingkungan siswa untuk memperoleh pengalaman belajar

`Guru memberikan penugasan yang dapat dilakukan di berbagai konteks

lingkungan siswa antara lain di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Penugasan yang

diberikan oleh guru memberikan kesempatan bagi siswa untuk belajar di luar kelas.

Misalnya, siswa keluar dari ruang kelas dan berinteraksi langsung untuk melakukan

wawancara. Siswa diharapkan dapat memperoleh pengalaman langsung tentang apa

yang sedang dipelajari. Pengalaman belajar merupakan aktivitas belajar yang harus

dilakukan siswa dalam rangka mencapai penguasaan standar kompetensi, kemampuan

dasar dan materi pembelajaran.

Memberikan aktivitas kelompok

Aktivitas belajar secara kelompok dapat memperluas perspektif serta

membangun kecakapan interpersonal untuk berhubungan dengan orang lain. Guru dapat

menyusun kelompok terdiri dari tiga, lima maupun delapan siswa sesuai dengan tingkat

kesulitan penugasan.

Membuat aktivitas belajar mandiri

Peserta didik tersebut mampu mencari, menganalisis dan menggunakan

informasi dengan sedikit atau bahkan tanpa bantuan guru. Supaya dapat melakukannya,

siswa harus lebih memperhatikan bagaimana mereka memproses informasi, menerapkan

strategi pemecahan masalah, dan menggunakan pengetahuan yang telah mereka peroleh.

Pengalaman pembelajaran kontekstual harus mengikuti uji-coba terlebih dahulu;

menyediakan waktu yang cukup, dan menyusun refleksi; serta berusaha tanpa meminta

bantuan guru supaya dapat melakukan proses pembelajaran secara mandiri (independent

learning).

Membuat aktivitas belajar bekerjasama dengan masyarakat

Sekolah dapat melakukan kerja sama dengan orang tua siswa yang memiliki

(20)

pengalaman belajar secara langsung dimana siswa dapat termotivasi untuk mengajukan

pertanyaan. Selain itu, kerja sama juga dapat dilakukan dengan institusi atau perusahaan

tertentu untuk memberikan pengalaman kerja. Misalnya meminta siswa untuk magang

di tempat kerja.

Menerapkan penilaian autentik

Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian autentik dapat membantu siswa

untuk menerapkan informasi akademik dan kecakapan yang telah diperoleh pada situasi

nyata untuk tujuan tertentu. Menurut Johnson (2002: 165), penilaian autentik

memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk menunjukkan apa yang telah mereka

pelajari selama proses belajar-mengajar. Adapun bentuk-bentuk penilaian yang dapat

digunakan oleh guru adalah portfolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan

tertulis.

Portfolio merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan siswa dalam konteks

belajar di kehidupan sehari-hari. Siswa diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut

supaya lebih kreatif. Mereka memperoleh kebebasan dalam belajar. Selain itu, portfolio

juga memberikan kesempatan yang lebih luas untuk berkembang serta memotivasi

siswa. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan penilaian angka, melainkan melihat pada

proses siswa sebagai pembelajar aktif. Sebagai contoh, siswa diminta untuk melakukan

survey mengenai jenis-jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya.

Tugas kelompok dalam pembelajaran kontekstual berbentuk pengerjaan proyek.

Kegiatan ini merupakan cara untuk mencapai tujuan akademik sambil mengakomodasi

perbedaan gaya belajar, minat, serta bakat dari masing-masing siswa. Isi dari proyek

akademik terkait dengan konteks kehidupan nyata, oleh karena itu tugas ini dapat

meningkatkan partisipasi siswa. Sebagai contoh, siswa diminta membentuk kelompok

proyek untuk menyelidiki penyebab pencemaran sungai di lingkungan siswa.

Dalam penilaian melalui demonstrasi, siswa diminta menampilkan hasil

penugasan kepada orang lain mengenai kompetensi yang telah mereka kuasai. Para

penonton dapat memberikan evaluasi pertunjukkan siswa. Sebagai contoh, siswa

diminta membentuk kelompok untuk membuat naskah drama dan mementaskannya

(21)

Bentuk penilaian yang terakhir adalah laporan tertulis. Bentuk laporan tertulis

dapat berupa surat, petunjuk pelatihan teknis, brosur, essai penelitian, essai singkat.

Menurut Brooks&Brooks dalam Johnson (2002: 172), bentuk penilaian seperti

ini lebih baik dari pada menghafalkan teks, siswa dituntut untuk menggunakan

ketrampilan berpikir yang lebih tinggi agar dapat membantu memecahkan masalah yang

dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan penjabaran yang telah dikemukakan diatas, kurikulum berbasis

kompetensi perlu dikembangkan supaya dapat diterapkan secara efektif di dalam proses

belajar mengajar. Guru sebagai pelaksana kurikulum dapat menerapkan strategi

pembelajaran kontekstual supaya dapat memberikan bentuk pengalaman belajar.

Dengan demikian, siswa diharapkan dapat memiliki kecakapan untuk memecahkan

permasalahan hidup sesuai dengan kegiatan belajar yang mengarahkan siswa untuk

terlibat secara langsung dalam konteks rumah, masyarakat maupun tempat kerja.

Keberhasilan penerapan pembelajaran kontekstual perlu melibatkan berbagai

pihak. Dalam hal ini, penulis menyarankan supaya pihak sekolah dan masyarakat

memiliki kesadaran akan pentingnya beberapa hal, yaitu:sumber belajar tidak hanya

berasal dari buku dan guru, melainkan juga dari lingkungan sekitar baik di rumah

maupun di masyarakat; strategi pembelajaran kontekstual memiliki banyak variasi

sehingga memungkinkan guru untuk mengembangkan model pembelajaran yang

berbeda dengan keajegan yang ada; pihak sekolah dan masyarakat perlu memberikan

dukungan baik materiil maupun non-materiil untuk menunjang keberhasilan proses

belajar siswa.

Kesimpulan

Pembelajaran kontekstual sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran

terbukti sangat efektif dan efisien dalam menumbuh kembangkan atau meningkatkan

proses belajar mengajar di kelas. Hal ini ditemukan pada beberapa indikator kegiatan

belajar siswa diantaranya :

 Melakukan hubungan yang bermakna

(22)

 Belajar yang diatur sendiri

 Bekerjasama

 Berfikir kritis dan kreatif

 Memelihara atau mengasuh pribadi siswa

 Mencapai standar yang tinggi

 Terdeteksi oleh penilaian autentik

Saran-saran

Sebagai tindak lanjut dari penulisan karya tulis ini, penulis mengajukan

beberapa saran sebagai berikut :

1. Hendaknya setiap pegelola pendidikan khususnya para guru selalu berusaha

untuk mengembangkan lagi berbagai strategi atau pendekatan pembelajaran

yang ada.

2. Sebaiknya para guru dalam melaksanakan tugasnya berpegang teguh pada

prinsip daya guna ( efisiensi ) dan hasil guna ( efekifitas ) dalam mewujudkan

tugas-tugas yang telah direncanakan dalam persiapan pembelajaran dan atau

rencana pembelajaran.

3. Hendaknya para guru selalu berusaha untuk lebih memahami faktor-faktor yang

dapat mendorong ataupun menghambat terjadinya proses belajar mengajar.

12. CONTOH SKENARIO RENCANA PEMBELAJARAN BERBASIS

KONTEKSTUAL

Mata Pelajaran : SAINS Kelas / Semester : III / I

Aspek : Mahluk Hidup dan Proses Kehidupan

Kompetensi dasar : Mengidentifikasi cirri-ciri umum mahluk hidup dan kebutuhannya

Indikator : 1. Siswa dapat menyebutkan ciri-ciri mahluk Dan contohnya

2. Siswa dapat mengidentifikasi ciri-ciri dari mahluk hidup yang diberikan

(23)

itu tumbuh, berkembang biak, bergerak me nerima rangsangan

Materi Pokok : Ciri-ciri mahluk hidup Waktu : 2 x 35 menit

LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN

A.Kegiatan Awal

1. Guru memperlihatkan gambar orang yang sedang melakukan aktivitas (misalnya

bekerja) dan orang yang sudah meninggal ( dalam peti jenazah/tandu) dan guru

bertanya “ Apa perbedaan pada kedua gambar ini ?”. Siswa diarahkan pada

jawaban “orang hidup dan orang mati.

2. Guru memperlihatkan gambar binatang dan memberikan pertanyaan sehingga

siswa dapat menyimpulkan bahwa binatang itu hidup.

3. Guru memperlihatkan gambar tumbuhan dan memberikan pertanyaan sehingga

siswa dapat menyimpulkan bahwa tumbuhan itu hidup

4. Guru memperlihatkan/menunjukkan benda-benda di sekitar dan bertanya apakah

benda-benda tersebut mahluk hidup atau mahluk tak hidup (misalnya: pena,

batu, dan bangku sebagai mahluk hidup. Sedangkan lalat, bunga, dan siswa

sebagai mahluk hidup. Tanya jawab berdasarkan pengamatan siswa tersebut

dilakukan hingga guru yakin bahwa siswa memahami mahluk hidup terdiri dari

manusia, hewan dan tumbuhan. Dan siswa dapat membedakan mahluk hidup

dan mahluk tak hidup secara garis besar.

5. Guru menanyakan “Apa ciri-ciri mahluk hidup?” Besar kemungkinan siswa

tidak dapat menjawab lengkap. Selanjutnya, Guru mengatakan “Nah,sekarang

kita akan membicarakan cirri-ciri mahluk hidup.

B. Kegiatan Inti

1. Guru memperlihatkan gambar anak kecil, remaja dan orang dewasa, kemudian

memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menggiring pada kesimpulan bahwa

manusia itu tumbuh. Begitu juga untuk hewan dan tumbuhan. Kemudian, guru

meminta siswa untuk menuliskannya pada format yang dibuat di papan tulis,

sebagai berikut.

(24)

1. Tumbuh

2. Guru meminta siswa melakukan aktifitas bergerak dan memberikan pertanyaan

yang menggiring pada kesimpulan bahwa manusia ‘bergerak’ (berjalan, menulis,

dll). Begitu juga untuk hewan (akifitas bergerak) dan tumbuhan ( kuncup bunga

dan bunga mekar). Lalu menuliskan kata ‘bergerak’ pada format dan melakukan

pengisian format.

3. Guru melakukan proses yang sama untuk membahas cirri-ciri ‘berkembang

biak’ misalnya dengan memperlihatkan gambar ibu dengan anaknya, pisang

dengan tunasnya, ayam dengan anaknya, dll.

4. Kegiatan seperti di atas dapat dilanjutkan dengan membahas cirri-ciri mahluk

hidup yang lain, seperti menanggapi rangsangan, bernafas, dll. Untuk

pengayaan.

5. Guru bersama siswa menarik kesimpulan berdasarkan hasil kegiatan-kegiatan di

atas.

6. Guru meminta siswa mengulangi kesimpulan berdasarkan format yang telah

ditulis di papan tulis.

C. Kegiatan Akhir

Salah satu kegiatan akhir adalah melakukan evaluasi. Evaluasi dapat dilakukan

secara lisan, tertulis dan perbuatan.

Contoh evaluasi lisan

1. Sambil memegang benda (misalnya kapur), guru bertanya :

a. Apakah benda ini termasuk mahluk hidup atau mahluk tak hidup ?

b. Sebutkan cirri-ciri mahluk hidup ! ( Guru menunjuk beberapa siswa untuk

menjawab ).

Siswa menjawab : bergerak, tumbuh, berkembang biak,dll.

2. Guru menunjuk / menyebutkan nama tumbuhan yang ada di sekitar sekolah

(misalnya : tanaman jambu ) dan bertanya :

a. Apakah benda ini termasuk mahluk hidup atau mahluk tak hidup ? Siswa

(25)

b. Berikan contoh lain yang termasuk mahluk hidup ! ( guru menunjuk

beberapa siswa untuk menjawab ).

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V.

PT.Rineke Cipta. Jakarta.

Depdiknas.2003. Model Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Sekolah dasar. Jakarta.

Farisi,M.I. 2005. Belajar dan pembelajaran. Paket untuk Mahasiswa program S1 FKIP

UIM Pamekasan. Pamekasan : Tidak ditebitkan.

Hadi,S.1980. Metodologi Research. Jilid I, Cetakan ke IX. Yogyakarta. Yayasan

Penerbitan Fakultas Psikologi UGM.

Iksan,K. 1991. Pengaruh Tahapan Administrasi Program Pengajaran Terhadap

Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar Di SDN.Lawangan Daya III Kecamatan

Pademawu. Skripsi S1 jur.PAI.IAIN Pamekasan. Tidak diterbitkan.

Johnson,E.B. 2002. Contextual Teaching and Learning. California : Corwin Press, Inc.

A sage Publications Company.

Ngalim Purwanto.M. 1990. Psikologi Pendidikan. PT.Remaja Rosdakarya.Bandung.

Ngalim Purwanto.M. 1995. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis.. PT.Remaja

Rosdakarya. Bandung.

Nurhadi,Dkk. 2004. Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Universitas Negeri

Malang (UMPRESS). Malang.

Pusat Data dan Informasi Pendidikan,Balitbang Depdiknas. Peraturan Pemerintah RI

Nomer 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. http://

WWW.Depdiknas.or.id. (7 Agustus 2005 ).

Pusat Data dan Informasi Pendidikan,Balitbang Depdiknas. Rancangan Undang-undang

tentang Guru . http:// WWW.Depdiknas.or.id. (Revisi 06 April 2005 ).

Referensi

Dokumen terkait

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA Jl. Raya Bogor Km 46,

Pengaruh Metode Pengajaran Tutor Sebaya Terhadap Motivasi Belajar Siswa D alam Mata Pelajaran Akuntansi D i Smk Negeri 11 Bandung.. (studi eksperimen pada materi jurnal khusus

Pejabat Pengadaan Kegiatan Pameran Potensi/Promosi pada Dinas Perikanan Tahun Anggaran 2014, telah melaksanakan Proses Evaluasi Kualifikasi dan Penawaran dalam

bahwa dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pembangunan Zona Integritas

Hasil penelit- ian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna dari perawatan metode kanguru terhadap respons fisiologis bayi prematur seperti pe- ningkatan suhu tubuh ke

bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 98 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,

In a multi-level policy context like the EU, the interme- diaries, like National Regulatory Agencies (NRAs) between different levels play im- portant role. Target groups are