• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Sosial Tentang Pemena pada Masyarakat Desa Gunung Kabupaten Tanah Karo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Representasi Sosial Tentang Pemena pada Masyarakat Desa Gunung Kabupaten Tanah Karo"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Representasi Sosial

1. Definisi Representasi Sosial

Moscovici (dalam Smith, 2011) mengartikan reprensentasi sosial sebagai sebuah sistem dari kumpulan nilai, gagasan, dan praktek yang memiliki fungsi membangun urutan pada individu untuk menyesuaikan atau mengorientasikan dirinya pada dunia materi dan sosial mereka serta untuk menguasai lingkungannya. Dalam pengertian ini, represntasi sosial menjadi proses pemahaman suatu objek sosial yang terdapat dalam masyarakat. Ia juga menambahkan bahwa representasi sosial merupakan proses sosial yang tidak universal tetapi bersifat khusus dalam suatu masyarakat tertentu.

Flick (1998) menambahkan bahwa representasi sosial sering terbentuk melalui pendapat-pendapat masyarakat awam dan professional. Dengan kata lain representasi sosial memberikan suatu dampak bagi individu untuk mempersepsikan sebuah objek sosial dan memberikan arah untuk berprilaku.

Berdasarkan definisi representasi sosial dari beberapa tokoh di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa representasi sosial adalah nalar sosial yang ada di dalam masyarakat yang berfungsi untuk panduan dalam berpikir, berprilaku dan berkeyakinan.

(2)

2. Proses Pembentukan Representasi Sosial

Moscovici (dalam Smith, 2011) menjelaskan bahwa Representasi sosial dapat merubah suatu hal yang tidak lazim dan atau tidak dikenal menjadi sesuatu hal yang dapat dikenali, melalui dua proses pembentukan.

Proses pembentukan representasi sosial tersebut terjadi dalam dua tahapan. (Deuaxdan Philogene, 2001) menjelaskan tahap pertama adalah Anchoring yang merupakan proses pengenalan atau pengaitan suatu objek tertentu dalam pikiran individu. Pada proses ini informasi yang baru didapat diintegrasikan ke dalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki oleh individu sebelumnya. Tahap kedua adalah Objectification yang merupakan proses penerjemahan ide-ide yang abstrak dari suatu objek ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit atau mengaitkan abstraksi tersebut dengan objek konkrit. Proses ini dipengaruhi oleh kerangka sosial individu, misalnya norma, nilai, dan kode-kode yang merupakan bagian dari proses kognitif atau afek dari komunikasi serta pemilihan dan penataan representasi mental atas objek tersebut.

3. Elemen Representasi Sosial

(3)

B. Agama

1. Definisi Agama

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada TuhanYang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungan. Sedangkan definisi beragama adalah menganut agama, taat kepada agama, dan sangat memuja-muja.

Semuel Patty (2009) menjelaskan agama merupakan kata yang berasal dari Bahasa Arab yang telah menjadi Bahasa Indonesia yang dimaknai sebagai suatu sistem kepercayaan manusia yang memuja atau menyembah sesutau yang dianggap memiliki kemampuan luar biasa yang tidak dimiliki oleh manusia itu sendiri. Setiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang konsep agama atau religi hal tersebut dikarenakan masing-masing orang memiliki pengalaman keagamaan yang tidak sama.

(4)

Dalam penelitian ini peneliti menyimpulkan agama sebagai suatu kepercayaan dan keyakinan yang dipegang oleh seseorang dalam sisi dan dimensi kehidupa seperti aktivitas sehari-hari, rasa keagamaan tersebut bersumber dari perasaan keterbatasan dan kelemahan yang di miliki manusia sehingga manusia mencari kekuatan yang lebih besar yang dapat dijadikan pelindung dalam kehidupan yang dijalani.

Rudolf Pasaribu (1980) mendefinisikan agama suku merupakan agama yang dianut oleh suku tertentu dengan batasan tertentu pula, agama tersebut hanya berlaku pada kumpulan orang-orang yang memiliki Suku yang sama dan mempercayai Tuhan yang hanya memberkati Suku tertentu saja.

C. Kepercayaan Suku Karo 1. Sejarah Kepercayaan Suku Karo

Sarjani (2011) mengatakan kepercayaan tradisional Karo dahulu disebut perbegu. Secara etimologi perbegu berasal dari bahasa Karo yaitu begu yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai mahkluk halus. Kemudian berganti dengan istilahpemena hal itu dikarenakan untuk menghidari pemahaman yang negatif pada kata begu yang sering disamakan dengan setan, hantu dan sebagainya.

(5)

serupa juga dikatakan oleh Milala (2008) bahwa kepercayaan Suku Karo adalah animisme karena masih percaya pada roh-roh leluhur dan percaya pada kekuatan magis yang terdapat dalam benda-benda, alam, dan diri manusia.

Ginting (1999) mengatakan konsep kepercayaan Masyarakat Karo yang paling tua adalah Animisme dan Dinamisme didalamnya dilakukan pemujaan dan penyembahan kepada sesuatu yang dianggap suci dan berkuasa, konsep kepercayaan ini diperkirakan berasal dari zaman pra Hindu yaitu sejak Proto Melayu masuk ke daerah yang sekarang diduduki oleh masyarakat Suku Karo. Selanjutnya konsep kepercayaan Suku Karo juga dipengaruhi agama Hindu yang dibawa oleh pedagang yang berasal dari India diperkiran pada abad ke-III dan pada saat itu Masyarakat Karo mulai mengenal konsep Dewata yang di dalam bahasa Karo disebut Dibata, dan akhirnya Masyarakat Karo memiliki konsep kepercayaan yang berasal dari kombinasi antara animisme, dinamisme dan konsep agama Hindu.

Dari uraian di atas peneliti mengambil kesimpulan bahwa kepercayaan awal Suku Karo adalah animisme dan dinamisme ini ditandai dengan penyembahaan kepada alam, benda-benda tua serta roh-roh nenek moyang, kemudian kepercayaan Suku Karo berkembang dengan adanya konsep dewa-dewa yang dipengaruhi oleh ajaran Agama Hindu yang di bawa oleh pedagang dari India sehingga Masyarakat Karo memiliki konsepDibata Sitelu.

2. Konsep Tuhan dalam Kepercayaan Suku Karo

(6)

yaituGuru Butara yang menguasai langit, Padukah ni Aji yang menguasi dunia atau tempat manusia tinggal, dan Banua Koling yang menguasai alam bawah atau di bawah tempat manusia tinggal.

Ginting (1999) Menurut konsep kosmologi yang dimiliki Suku Karo alam semesta ini dibagi atas tiga bagian yaitu dunia atas, bawah, dan tengah yang diciptakan oleh sang Maha Kuasa yaituDibata Kaci-Kaci, tempat Dibata tersebut berubah-ubah sesuai dimana Dia berada baik di dunia atas, bawah, atau tengah karenaDibata Kaci-Kcai merupakan satu kesatuan denganDibata Sitelu.

3. Guru Sibaso dalam Kepercayaan Suku Karo

Ginting (1999) kepercayaan Suku Karo juga mengenal istilah guru yang merupakan orang-orang pilihan Dibata, guru tersebut memiliki berbagai fungsi dan keahlian yang biasanya menjadi pemimpin dalam upacara tradisional Karo, keahlian yang dimiliki oleh seorang guru antara lain: meramal, memimpin ritual, berkomunikasi dengan roh-roh atau mahluk gaib, serta dapat mengobati suatu penyakit. Ginting (1999) juga menjelaskan guru memiliki suatu pengetahuan tentang aspek-aspek kehidupan yang tidak dimiliki oleh orang-orang biasa, peran guru tersebut sering disamakan dengan dukun, paranormal atau orang pintar.

(7)

Karo yang memiliki kekuatan supranatural, dan mempunyai keahlian-keahlian mistis.

Sarjani (2011) mengatakan Guru dalam kepercayaan Suku Karo terbagi ke dalam beberapa jenis sesuai keahlian antara lain: Guru Belin (Mbelin) guru atau orang yang sanggup mengobati pelbagai penyakit,Guru Penawar yaituguru yang membuat obat-obatan dalam bentuk tawar(ramuan obat), Guru Pengarkari yaitu yang pandai melakukan upaya-upaya untuk menghindari kemalangan yang mungkin terjadi di dalam sebuah keluarga, Guru Ngolak (ken) yaitu yang pandai untuk pengobatan suatu penyakit yang dibuat oleh orang lain dan atas bantuan si guru ngolakken penyakit tersebut dikembalikan kepada si pembuatnya.

(8)

Sri Alem (2002) menambahkan peran sebagai guru yang dimiliki seseorang merupakan sebuah takdir yang ditentukan dari lahir oleh Sang Pencipta dan setiap guru pasti mempunyai roh pelindung, roh tersebut membantu seorang guru ketika melakukan ritual-ritual dalam upacara Suku Karo, masyarakat Suku Karo menyebut roh tersebut dengan istilahJenunjung.

4. Upacara dan Ritual Kepercayaan Suku Karo

Sri Alem (2005) mengatakan bahwa sebuah ritual dilakukan apabila terjadi ketidakseimbangan antara jiwa perasaan, nafas dan pikiran dalam diri seseorang sebagai sebuah semesta kecil (mikro-kosmos). Ketidakseimbangan ini akan menyebabkan berbagai kerugian, seperti bangger (sakit), mara (malapetaka) dan akhirnya kematen (kematian). Daya pikir manusia dianggap mempunyai tanggungjawab ke kosmos (alam semesta) yang meliputi dunia gaib, kesatuan sosial, dan lingkungan alam sekitar.

Dalam adat Suku Karo terdapat beberapa jenis upacara atau ritual yang dalam prakteknya masih ada kekuatan magis, dan terdapat juga interaksi antara orang-orang yang melakukan ritual dengan roh-roh nenek moyang yang sudah meninggal dunia. Sarjani (2011) mengatakan terdapat beberapa jenis upacara yang masih sering dilakukan oleh Masyarakat Karo, antara lain:

a. Erpangir ku lau

(9)

Erpangir ku lau dilaksanakan di sebuah sungai biasanya Guru sibaso akan mencari tempat yang cocok untuk dilakukannya ritual, adapun bahan-bahan yang diperlukan antara lain seperti sebelas jenis Jeruk, daun-daun, pisang emas, dan seekor ayam hitam. Gurutersebut akan meramu semua bahan-bahan untuk dimandikan ke seseorang yang melakukan ritual tersebut.

b. Raleng Tendi

Raleng tendi bertujuan untuk memanggil roh seseorang untuk masuk kembali ke tubuhnya, hal ini sesuai dengan kepercayaan Masyarakat Karo bahwa tubuh seseorang bisa saja tidak lagi memilik roh namun masih tetap dapat hidup. Sarjani (2011) mengatakan seseorang yang rohnya tidak lagi berada dalam tubuhnya biasanya akan berperilaku aneh, seperti tiba-tiba menjadi sangat pendiam, tiba-tiba marah tanpa sebab, dan tidak menghiraukan apapun yang terjadi di sekelilingnya. Masyarakat Karo percaya bahwa roh yang tidak lagi berada ditubuh orang yang masih hidup dikarenakan adanya roh-roh jahat yang membawanya pergi ke tempat-tempat tertentu. Ritual ini juga dipimpin olehguru dengan doa-doa dan mantra yang dikuasai oleh seorangguru.

c. Perumah Begu

(10)

d. Ndilo Wari Udan

Ndilo wari udan yaitu suatu ritual yang dilakukan oleh masyarakat secara beramai-ramai dan juga dipimpin oleh guru, ritual ini dilakukan untuk mendatangkan hujan adapun peralatan yang dipakai dalam ritual ini berupa tempat air dari bambu, selang dari bambu dan wadah tempat air yang dibawa masing-masing oleh masyarakat. Untuk memulainya guru dan masyarakat berdoa bersama kepada leluhur untuk meminta bantuan agar hujan turun setelah itu semua orang yang ikut dalam ritual tersebut saling menyiram satu dengan yang lain dan berteriak memanggil hujan agar segera turun.

D. Demografi Desa Gunung

1. Letak Geografis Desa Gunung

Desa gunung terletak di Kabupaten Tanah Karo dan berada dalam wilayah Kecamatan Tigabinanga. Letak Desa Gunung berada di sebelah barat daya Kabanjahe. Jarak Desa Gunung dari kecamatan Tigabinanga sekitar 2 Km dan dari Kabanjahe jarak tempuh sekitar 36 Km. Desa Gunung memiliki batas di sebelah utara dengan Kelurahan Tigabinanga, sebelah timur berbatasan dengan Desa Pergendangen, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Perlamben, sebelah barat berbatasan dengan Desa Lau kapur.

2. Kondisi Perekomoniman Masyarakat Desa Gunung

(11)

jagung, coklat, padi sawah, kemiri, dan sirsak. Sisanya memiliki mata pencaharian sebagai supir, buruh bangunan, pegawai negeri/swasata.

3.Sarana dan Prasarana Keagamaan Desa Gunung

Desa Gunung memiliki beberapa sarana tempat ibadah yaitu Gereja GBKP (Gereja Batak Karo Protestan), Gereja Katolik Santo Fransiskus, satu Masjid Al-hasanah, dan satu Musolah Gunung Jaya. Kondisi tempat ibadah tersebut dikategorikan baik namun untuk Musolah Gunung Jaya kondisi musolah tersebut ada kerusakkan ringan di bagian atapnya.

Desa Gunung juga memiliki satu rumah adat Karo yang disebut dengan Rumah Siwaluh Jabu, di dalam rumah adat tersebut beberapa Masyarakat Desa Gunung tinggal dan di dalamnya. Rumah adat Karo juga diisi tulang belulang leluhur yang di simpan oleh masyarakat. Satu gedung serba guna khas Suku Karo (Jambur) yang biasa dipakai masyarakat untuk keperluan acara-acara adat, seperti pesta kematian, pernikahaan, kerja tahun dan sebagainya.

E. Paradigma Teori Penelitian

Smith (2011) mengatakan Fungsi dari representasi sosial sendiri adalah memberikan sebuah model pada sumber dan transformasi pengetahuan sosial dan fungsinya dalam komunikasi dan interaksi.

(12)

pandang representasi sosial peneliti dapat memahami apa yang diketahui orang-orang tentang objek tertentu dan bagaimana mereka menggunakan pengetahuan tersebut dalam interaksi dan perilaku yang muncul.

Masyarakat yang tinggal di Desa Gunung secara keseluruhan sudah memeluk agama resmi pemerintah seperti Kristen, Katolik dan Islam. Sesuai dengan definisi agama yang ada dalam penelitian ini bahwa agama adalah suatu kepercayaan, keyakinan yang dipegang dan dijalankan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupannya Masyarakat Desa Gunung sudah menjalankan ajaran-ajaran yang berasal dari agama-agama resmi pemerintah yang dianut hal ini terlihat dari tempat-tempat ibadah seperti Gereja, Mesjid dan Musolah di Desa Gunung tersebut.

Kenyataanya dalam kehidupan sehari-hari ada hal yang tidak dapat ditinggalkan dan sampai saat ini masih dijalankan oleh masyarakat di Desa Gunung yaitu mereka masih tetap memiliki kepercayaan animisme, dinamisme dan masih melaksakan ritual-ritual yang berasal dari konsep pemena hal ini senada dengan Sri Alem (2005) mengatakan era globalisasi, dan kemajuan teknologi dunia maya ternyata tidak mampu melengserkan beberapa praktek-praktek ritual tradisional dari sekelompok orang-orang Karo yang tinggal di Tanah Karo.

(13)

roh-roh nenek moyang hal tersebut sekaligus membuat mereka merasa takut untuk mengubah adat-istiadat dan tradisi yang berasal dari nenek moyang.

Hal tersebut juga terjadi pada Masyarakat Desa Gunung yang masih sangat dekat dengan leluhurnya dalam kehiduapan sehari-hari. Fenomema tersebutlah yang membuat peneliti tertarik untuk melihat bagaimana Masyarakat Desa Gunung memaknai dan memahamipemena melalui teori representasi sosial.

(14)

Diagram Paradigma Penelitian:

PEMENA AGAMA RESMI

PEMERINTAH

• Agama Suku Karo

• Animisme dan Dinamisme • Guru Sibaso

• Kristen, Islam, Katolik • Tempat ibadah

• Beribadah

Masyarakat Desa Gunung

Masyarakat Karo yang tinggal di Desa Gunung sudah memeluk agama resmi pemerintah, dan menjalankan sesuai ajaran. Tetapi disatu sisi dalam kehidupan mereka masih sangat dekat dengan konseppemena, seperti menghormati leluhur, ritual-ritual dan Guru Sibaso.

Referensi

Dokumen terkait

Implikasi penelitian pada skripsi ini adalah karena klausula eksenorasi yang diberlakukan oleh PT.Pos Indonesia (Persero) cabang Bulukumba mengikat konsumen, maka

Makna yang dipadukan dengan warna merah dan kuning memiliki makna tersendiri melalui pandangan dari orang Manado, Tionghoa dan Batak' Orang Manado mengatakan"

Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukan bahwa perlakuan naungan berpengaruh sangat nyata terhadap pertambahan diameter, jumlah helai daun dan persen hidup

Kabupaten Lamandau yang berada di provinsi Kalimantan Tengah, memiliki beraneka ragam objek pariwisata merupakan sektor penting bagi pendapatan daerah. Selain

Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa Customer experience dan brand trust berpengaruh positif dan signifikan terhadap customer loyalty, sehingga hal tersebut berarti

Untuk penggantian Personil bagi kepala teknik/penyelidik, pilih data yang ada pada daftar dengan cara klik radio button, kemudian tekan tombol “Ganti Personil”,

Pembuatan perda dan surat keputusan Kepala Daerah berkenaan dengan peta wilayah adat merupakan sarana penyerahan pengelolaan hutan adat kepada masyarakat hukum

Dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014) yang berjudul Analisis Pengaruh Variabel NPF, FDR, dan CAR Terhadap Tingkat Profitabilitas Pada Bank Umum