• Tidak ada hasil yang ditemukan

T2 092013003 BAB VIII

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T2 092013003 BAB VIII"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

D ela pa n

Perilaku Lingkungan Orang

Mbatakapidu

W ilayah M batakapidu merupakan salah kawasan konservasi di kawasan kecamatan Kota W aingapu. Hal ini dikarenakan M batakapidu merupakan daerah sumber mata air yang digunakan sebagai sumber air bersih bagi masyarakat di kecamatan Kota W aingapu dan Kambera. Pengalokasian air bersih ini dikelola oleh PDAM matawai amahu dan juga dikelola oleh salah satu perusahaan (PT. Aguamor) yang memproduksi air minum dalam kemasan. Di sisi lain, keberadaan padang rumput savana di M batakapidu menjadi perhatian seluruh orang M batakapidu dan pemerintah dalam mensikapi kejadian kebakaran padang yang selama ini terjadi di M batakapidu.

M enjaga Rumah Air Kehidupan

(2)

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2011.

Gambar 29. Peneliti bersama Beberapa W arga di Lokasi Mata Air di Kampung Kullu

Terkait dengan hal ini, bapak Yacob Tanda1 menyebut:

“Kedekatan antara orang M batakapidu dan alam khususnya hutan sangat tinggi. Di lokasi mata air Kullu ada pantangan untuk memotong pohon maupun mengambil kayu bakar. Ini merupakan nilai-nilai yang diwariskan oleh leluhur kami. Jika pohon-pohon di sekitar mata air dipotong secara membabi-buta maka akan mengakibatkan debit air di mata air Kullu akan semakin berkurang. Hal ini disebabkan karena pohon-pohon yang sejatinya harus mengikat air tanah sudah semakin berkurang. Tentu akan memberikan ekternalitas negatif terhadap pemenuhan akan kebutuhan air bersih. Kedekatan orang M batakapidu dengan alam bukan membuat mereka semakin tergantung dengan alam melainkan membuat mereka semakin bersahabat dengan alam”.

Senada dengan penuturan bapak Yacob Tanda, maka Kalikit Landjamara2 juga menyebut:

1

Wawancara tanggal 09 September 2014

2

(3)

“Saya menjadi penjaga mata air Kullu mulai tahun 1999-2014 (kurang lebih 14 tahun). Saya digaji oleh PDAM matawai amahu sebesar Rp 1.250.000,-. Sejak masa kecil dan sampai saya dipercayakan menjadi penjaga lokasi mata air ini dan tidak pernah ada orang M batakapidu yang berani mengambil kayu bakar dan memotong pohon di lokasi mata air. Hal ini disebabkan adanya nilai dan norma yang diyakini oleh orang M batakapidu untuk tidak sembarangan mengganggu keseimbangan ekologi di lokasi mata air”.

Hal ini kemudian dipertegas oleh bapak Alexander Viktor Umbu Retangu3 yang menyebut:

“Karena memegang teguh nilai dan norma maka membuat kami orang Mbatakapidu tidak berani untuk menebang pohon dan memungut kayu bakar di kawasan mata air. Tentunya hal ini membuat ekologi di sekitar kawasan mata air menjadi tetap seimbang”.

Dari penuturan bapak Yacob Tanda, Kalikit Landjamara dan Alexander Viktor Umbu Retangu tergambar bahwa penghargaan orang M batakapidu terhadap alam membuat mereka semakin bersahabat dengan alam. Inilah yang membuat lokasi mata air di kampung Kullu tetap aman dari gangguan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Artinya ada kesadaran secara komunal dari orang M batakapidu untuk menjaga ciptaan Tuhan.

Dalam mengusahakan hutan untuk kebutuhan papan, orang M batakapidu tidak menggunakan pepohonan yang ada di sekitar lokasi mata air. M elainkan memanfaatkan pepohonan yang berada dilokasi tertentu dengan menjalankan aturan adat. Terkait dengan hal ini, bapak Yacob Tanda4 menyebut:

“Jika hendak memotong kayu maka harus dilakukan

hamayangu terlebih dahulu. Ini dilakukan untuk meminta

ijin atau permisi terhadap penghuni hutan.Setelah itu baru dimulai proses pemotongan kayu. Kayu yang dipotong juga tidak sembarangan atau ada kayu tertentu yang disarankan

3

Wawancara tanggal 08 Oktober 2014

4

(4)

oleh para tokoh adat. Setelah selesai memotong kayu maka di atas batang pohon harus diletakkan batu. Hal ini dilakukan dengan keyakinan bahwa setelah kita memotong kayu tersebut maka akan ada tunggul atau tunas baru yang tumbuh. Inilah salah satu bentuk penghargaan orang M batakapidu tehadap alam”.

Senada dengan hal ini, bapak Kalikit Landjamara5 menyebut:

“Saat mau potong kayu di hutan maka harus minta kepada pemilik. Sama halnya kalau mau masuk rumah harus ketuk pintu, sehingga kita harus melakukan hamayangu terlebih dahulu. Setelah dipotong, maka di atas bekas sensor (chain saw) harus diletakkan batu agar bisa tumbuh tunas baru”.

Bapak Umbu Ngguti Nggandung6 juga menyebut:

“Kalau ambil kayu di hutan maka harus hamayangu artinya harus minta di tuan tanah. Jika potong sembarang maka kita bisa sakit. Tepat di atas bekas tebasan katu harus diletakkan batu agar nantinya dapat tumbuh tunas yang baru. Inilah nilai budaya yang harus kita lestarikan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan”.

Dari penuturan bapak Yacob Tanda, Kalikit Landjamara, Alexander Viktor Umbu Retangu dan Umbu Ngguti Nggandung tergambar bahwa ada ketaatan dari orang M batakapidu untuk tidak secara sembarang dalam mengusahakan alam tepatnya dalam menjaga mata air dan menggunakan hasil hutan. Hal inilah yang membuat Schumacher (1979) berpandangan bahwa dengan menjunjung tinggi kearifan berarti maka akan memicu terciptanya kelestarian. Kearifan memungkinkan kita untuk tidak mengejar kepentingan-kepentingan material dan lebih kenderung untuk mengejar tujuan spiritual. Nilai moral dan spiritual bagaikan rambu lalu-lintas yang mampu mereduksi sifat serakah (greed) yang bisa menghancurkan manusia itu sendiri. Apabila manusia terus menuruti keserakahannya dan memandang

5

Wawancara tanggal 10 September 2014

6

(5)

bahwa alam memang diciptakan untuk dikuasai maka alam akan terus mengalami degradasi dan sangat sulit untuk dilakukan recovery. M anusia yang merasa telah menguasai alam dan menimbulkan kerusakan berarti secara tidak sadar menghancurkan diri sendiri karena manusia itu merupakan bagian dari alam.

Sang Penjaga Air Kehidupan

Keberadaan mata air tidak terlepas dari adanya sang penjaga. Orang M batakapidu meyakini bahwa di lokasi mata air bersemayam roh para leluhur. Sang leluhur menjaga mata air tersebut dari upaya destruksi yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Terkadang oknum yang bertindak di luar norma dan laranggan atau pantangan bisa sakit atau sampai berujung pada kematian. Terkait dengan hal ini bapak Kalikit Landjamara7 menyebut:

“Pada bulan Juli 2014 ada seorang pekerja bak di mata air Kullu yang mati mendadak. Hal ini disinyalir bahwa beliau telah melakukan hal yang tidak benar di lokasi mata air. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, almarhum sempat memberi tahu kalau dia pernah menagkap belut satu hari sebelumnya. Saat itu kondisinya sangat lemah, sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Oleh karena itu, sang pengawas berinisiasi untuk mengantarnya ke rumah sakit dengan menggunakan motor. Saat dalam perjalanan tepatnya di daerah pala kanjillu, orang itu semakin tidak sadarkan diri. Sang pengawas menjadi panik dan menurunkan dia bersama temannya di daerah tersebut dan langsung meluncur ke toko Nusantara untuk meminta bantuan mobil. Sesampainya di toko, sang pengawas tidak mendapatkan mobil, sehingga pengawas dengan tergesa-gesa pergi ke mako Brimob agar dapat mengangkut rekannya untuk di bawa ke RSUD Umbu Rara M eha. Saya sendiri marasa kaget karena sehari sebelum beliau wafat, beliau dan seorang temannya datang minta lombok di kebun belakang rumah. M ereka mendapatkan satu

kabba (tempurung kelapa yang dijadikan sebaggai mangkuk)

besar dan setelah itu mereka langsung pamit pulang ke kemah di lokasi mata air. Sebelumnya saya telah memberi saran kepada sang kontraktor untuk melakukan ritus

hamayangu sebelum mengerjakan bak tersebut, namun pihak

7

(6)

kontraktor malah mengabaikannya. Saya sangat yakin bahwa inilah yang mengakibatkan peristiwa tragis tersebut terjadi”.

Senada dengan penuturan bapak Kalikit Landjamara, maka M baha Huru Landja8 juga menyebut:

“Lokasi mata air di kampung Manu Rara menyimpan pengalaman mistis. Di tempat ini sangat dikeramatkan. Inilah yang membuat lokasi ini tetap terjaga dari upaya eksploitasi dari orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Dulu ada orang Sabu dari Padadita datang untuk tembak kelelawar di lokasi mata air. Anehnya orang ini tetap nekad untuk masuk kawasan mata air, padahal kami sudah memberi peringatan kepadanya. Ketika sedang menembak beliau bertemu dengan seorang bapak dan anak yang lagi berdiri dekat lokasi mata air. Namun, tidak berbicara sedikitpun. Setelah selesai menembak, orang Sabu ini langsung menanyakan dan memberi tahu ciri-ciri kedua orang tersebut dan saya katakan bahwa kedua orang tersebut merupakan jenasah yang baru dikubur seminggu yang lalu di Manu Rara. Orang Sabu itu sangat kaget dan ketakutan ketika mendengarnya. Mulai waktu itu dan sampai sekarang orang Sabu itu tidak pernah datang ke kampung ini tepatnya di mata air untuk berburu kelelawar”.

Dari penuturan bapak Kalikit Landjamara dan M baha Huru Landja tergambar bahwa adanya keyakinan dari orang M batakapidu akan adanya roh yang mendiami suatu lokasi, sehingga di sini membuat orang-orang menjadi segan untuk bertindak secara sembarangan. Hal ini sejalan dengan pandangan Taylor (dalam Hadiwijono, 2009 : 3) yang dalam tulisannya yang berjudul Primitive Culture menyebut dalam konteks indigenous people terdapat kepercayaan mengenai adanya roh-roh dan makhluk-makhluk halus yang mendiami seluruh alam semesta ini. Hal ini kemudian dipertegas oleh pandangan Keraf (2002) yang menyebut kearifan lokal sebagai semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis

8

(7)

Antara Nilai dan Perilaku M enyimpang Oknum

Kejadian kebakaran padang di M batakapidu merupakan hal yang lumrah setiap tahunnya. Pemandangan ini akan terlihat dengan jelas saat musim kemarau. Pertanyaannya apakah ini memang merupakan anjuran dari nilai yang dianut oleh orang M batakapidu? Ataukah ini merupakan perbuatan oknum yang tidak bertanggungjawab? Terkait dengan hal ini, bapak Yacob Tanda9 menyebut:

“Khusus kami di desa M batakapidu tidak pernah ada nilai-nilai lokal yang menganjurkan dan membimbing masyarakat untuk membakar padang. Kalau memang ini akibat budaya leluhur maka harus ada ritual untuk membakar padang.

Justru karena kedekatanya dengan lingkungan menjadi ciri khas nilai-nilai leluhur. Kebakaran padang yang selama ini terjadi akibat ulah oknum yang tidak bertanggungjawab. Contoh: ada seorang pengembala ternak yang ingin ternaknya mendapatkan rumput mapu (rumba mappu) yang hijau pada musim kemarau maka dia harus membakar padang dan terkadang juga ada oknum yang membuang puntung rokok di tengah padang. Akibat ulahnya ini membuat api menjalar membakar sebagian besar padang dan merambat sampai ke hutan. Berbeda ketika orang hendak membakar hasil tebasan, di mana mereka harus membakarnya pada awal musim penghujan, sehingga dengan sendirinya hujan akan memadamkan api tersebut dan tidak menjalar sampai ke padang maupun hutan”.

Dari penuturan bapak Yacob Tanda tergambar bahwa pembakaran padang yang selama ini terjadi di M batakapidu adalah murni karena ulah oknum dan bukan dianjurkan oleh nilai-nilai lokal. Ulah oknum cenderung menimbulkan eksternalitas negatif, sedangkan perilaku budaya seperti membakar tebasan sesuai dengan ketentuan adat akan menghasilkan eksternalitas yang positif.

Akibat dari perbuatan oknum yang selama ini merusak alam khususnya padang membuat tanah menjadi rusak (hilang kesuburannya) dan ternak orang M batakapidu mengalami luka di

9

(8)

sekujur mulut yang berujung pada kematian. Hal ini dibenarkan oleh bapak M baha Huru Landja10 yang menyebut:

“Kalau kami tidak sembarangan bakar padang. Kami menghormati nilai-nilai budaya untuk menjaga alam. Ini biasa dilakukan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Akibatnya, tanah menjadi rusak dan ketika kuda makan rumput maka bisa bengkak mulutnya (mbbua nguara) karena kuda tersebut mengkonsumsi kanjirru mappu (batang rumput mapu yang masih berdiri tegak dan tajam)”.

Dari penuturan bapak M baha Huru Landja tergambar bahwa masyarakat di kampung M anu Rara sangat sensitif dengan tindakan membakar padang. Apalagi yang sampai membuat tanah menjadi rusak dan ternak terluka. Hal ini terjadi karena mereka diikat oleh nilai dan norma yang mereka yakini. Kegiatan yang berhubungan dengan bakar-membakar hanya akan dilakukan pada bulan Oktober atau November ketika hujan telah turun. Di mana warga akan melakukan kegiatan membersihkan kebun lalu membakar residunya. Hal ini dilakukan agar tetap menjaga keseburan tanah.

Pembakaran padang yang dilakukan oleh oknum ini ternyata ditenggarai oleh adanya unsur kesengajaan dan pengaruh kecemburuan sosial. Hal ini dibenarkan oleh bapak Alexander Viktor Umbu Retangu11 yang menyebut:

“Seseorang (oknum) membakar padang karena adanya kecemburuan sosial. Artinya seseorang membakar padang agar ternak milik sesamanya bisa kekurangan pakan. Ini semua merupakan perilaku menyimpang dari oknum dan bukan merupakan anjuran dari nilai-nilai yang dianut orang

M batakapidu. Orang (oknum) sengaja melakukan

pembakaran padang biasanya karena dia tidak memiliki ternak dan tidak mampu mencuri ternak milik sesamanya, sehingga jalan pintas seperti membakar padang dianggap pantas. Kami orang M batakapidu memegang teguh petuah leluhur yang menyebut namma mbaddi lima, tunnu padangu dangu namma uli eti djaka na laku la omangu na yappa ya

kataru, na laku la luku na huaba ya wuya (yang suka

10

Wawancara tanggal 17 September 2014

11

(9)

mencuri, bakar padang dan tinggi hati jika dia pergi ke hutan akan digigit oleh ular dan kalau dia pergi ke sungai akan ditelan oleh buaya)”.

Dari penuturan bapak Alexander Viktor Umbu Retangu tergambar bahwa kecemburuan sosial telah membuat seseorang bertindak di luar nilai dan norma, sedangkan nilai dan norma yang dianut orang oleh orang M batakapidu mengatur agar tidak merusak alam khususnya padang tempat penggembalaan ternak.

Terkadang juga akibat faktor malas dari seseorang oknum membuat padang menjadi terbakar. Hal ini dibenarkan oleh bapak Hina Kapu Enda12 yang menyebut:

“Ada orang M batakapidu (oknum) yang ketika pulang dari

paranggangu (pasar tradisional) di desa Pambotandjara

membawa banyak barang bawaan di atas kuda. Oleh karena bebanya terlalu berat maka di tengah perjalanan orang tersebut menurunkan sebagian barangnya dan karena tidak ada pilihan lain dia membakar sebagian barang tersebut di tengah padang. Hal ini yang menyebabkan padang menjadi terbakar dan menjalar sampai ke hutan. Inilah ulah dari manusia yang tidak bertanggungjawab. Nilai dan norma yang diajarkan oleh leluhur orang M batakapidu sangat bertentangan dengan tindakan oknum tersebut”.

Dari penuturan bapak Hina Kapu Enda tergambar bahwa sikap malas dari seorang oknum mampu mengakibatkan suatu padang penggembalaan dan hutan bisa terbakar. Hal ini terjadi karena dalam diri oknum tersebut sudah tidak ditanamkannya lagi nilai dan norma yang sejatinya menjadi menjadi self control agar tidak melakukan perilaku menyimpang.

Dari penuturan bapak Yacob Tanda, M baha Huru Landja, Alexander Viktor Umbu Retangu dan Hina Kapu Enda dapat tergambar bahwa kebakaran padang yang selama ini terjadi murni karena ulah oknum dan bukan anjuran nilai dan norma yang diyakini oleh orang

12

(10)

M batakapidu. Hal ini sejalan dengan pandangan Schumacher (1979) yang menyebut keserakahan, iri hati dan perilaku menyimpang lainnya membuat manusia cenderung mengabaikan kearifan lokal (local wisdom).

Kesimpulan

Kepercayaan orang M batakapidu bahwa di lokasi mata air dan hutan terdapat roh yang mendiaminya merupakan suatu bentuk local wisdom yang membuat mereka segan dan sensitif untuk melakukan tindakan yang sejatinya destruktif bagi eksistensi mata air dan hutan. Hal inilah yang membuat orang M batakapidu menjadikan alam sebagai sahabat, bukan untuk mengeksploitasinya secara tidak bertanggung-jawab, tetapi menjaga keberlanjutan alam dengan pengetahuan lokal tradisional yang mereka miliki.

Gambar

Gambar 29. Peneliti bersama Beberapa Warga di Lokasi Mata Air di Kampung

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi BAB I PENDAHULUAN ... Pengertian Guru PPkn ... Tugas Dan Peran Guru PPkn ... Kompetensi Guru PPkn ... Pendidikan Pancasila dan Kewearganegaraan ...

Sesuai dengan rumusan masalah yang ada dan sudah ditetapkan, maka tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kualitas tidur antara bayi yang

Pengaruh suplementasi kholin khlorida dalam ransum terhadap bobot badan akhir, persentase organ dalam, usus halus, lemak abdominal, dan lemak hati pada ayam

 Mengerjakan soal dengan baik yang berkaitan dengan cara menghitung turunan fungsi dengan menggunakan definisi turunan, menggunakan teorema-teorema umum turunan

Surat Izin Penangkapan Ikan ( SIPI ) adalah surat izin yang harus dimiliki setiap kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan kegiatan penangkapan ikan

berdasarkan pengetahuan sebelumnya atau dalam pengalaman dalam kehidupan sehari-hari, dapat berpikir secara kritis dan aktif, dan mampu berkomunikasi dengan

Solusi yang ditawarkan dalam program pengabdian ini adalah mengadakan sosialisasi dan workshop pemanfaatan media pembelajaran e-learning Quipper School untuk

sedangkan nilai masa depan dari jatuh tempo anuitas dapat dilihat kejadiannya sebagai kejadian sebagai kejadian pada. awal periode arus